Tutorial Sken 1 Gadar
Tutorial Sken 1 Gadar
1. Pemeriksaan Fisik
a. E3V3M4
b. TD = 240/140 mmHg
c. Suhu = 39,9oC
d. RR = 40x/menit, napas Kusmaul
e. HR = 120x/menit teraba lemah
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Hb = 10,99 gr %
b. Leukosit = 19.000/200 µl
c. Trombosit = 173.000/ µl
d. GDS = 400 mg/dl
e. Ureum = 40 mg/dl
f. Kreatinin = 1,5 U/L
1
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Penurunan Kesadaran
Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam
kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan Penurunan
kesadaran berarti berkurangnya respons fisiologis terhadap stimulus
eksternal atau kebutuhan dalam diri sendiri.
2. Glibenklamid
Glibenklamid merupakan obat antibiabetik oral yang digunakan
pada DM tipe 2 dari golongan sulfonil urea. Obat ini bekerja dengan cara
menstimulasi pengeluaran insulin dengan cara menghambat penempelan
reseptor sulfonil urea di sel β pulau langhears dan akhirnya menyebabkan
adanya tegangan pembukaan calsium chanel yang akhirnya terjadi
peningkatan kalsium intra sel β. (Tresnawati & Febrina, 2015)
2
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
3
BAB III
CURAH PENDAPAT
4
g. Intoksikasi
Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri),
makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara
jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak
terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran
(Ropper dan Brown, 2005).
Lesi struktural dapat menyebabkan koma melalui dua macam
mekanisme, yakni melalui lesi kompresi dan lesi destruktif. Lesi kompresi
dapat menyebabkan koma melalui dua cara, melalui penekanan langsung
atau melalui disposisi jaringan otak sedemikian rupa sehingga menekan
sistem arousal asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan. Lesi
destruktif menyebabkan koma dengan kerusakan langsung di sistem arousal
asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan, namun untuk menyebabkan
koma lesi destruktif biasanya harus difus dan bilateral. Lesi destruktif
minimal dapat menyebabkan koma bila lokasinya tepat di garis tengah dari
sistem arousal asenden di otak tengan atau kaudal dari diensefalon, untuk
lesi subkortikal dan kortikal harus difus dan bilateral untuk dapat
menyebabkan koma (Mumenthaler et al., 2006).
2. Mengapa saat pasien dipanggil dan digoyangkan badannya tetap tidak
sadar?
Kesadaran merupakan kondisi dimana seorang individu memiliki
kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal.
Penilaian kesadaran dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif
(DeMyer, 2004). Secara kualitatif dibagi menjadi:
a. Compos mentis
Yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Klien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
5
b. Apatis
Keadaan di mana klien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap
lingkungannya.
c. Delirium
Yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus
tidur bangun yang terganggu. Klien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
d. Somnolen (letergia, obtundasi, hypersomnia
Yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang,
tetapi bila rangsang berhenti, klien akan tertidur kembali.
e. Sopor (stupor)
Keadaan mengantuk yang dalam, klien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi klien
tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik.
f. Semi-koma (koma ringan)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang
nyeri tidak adekuat.
g. Koma
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,
termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan,
kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan
berlebihan di dalam rongga tulang kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran
memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular
mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas (DeMyer, 2004).
3. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu dan riwayat minum
obat dengan keluhan?
6
A. Hipertensi emergensi ( darurat )
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi
akut.
Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan
subarakhnoid.
Hipertensi ensefalopati.
Aorta diseksi akut.
Oedema paru akut.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Funduskopi KW III atau IV.
Insufisiensi ginjal akut.
Infark miokard akut, angina unstable.
Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.
B. Hipertensi urgensi ( mendesak )
Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi
dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak
dijumpai keadaan pada tabel I.
KW I atau II pada funduskopi.
Hipertensi post operasi.
Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
C. Hipeglikemik hiperosmolar
Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) atau
Sindrom hiperglikemik hiperosmolar (SHH) adalah komplikasi yang
mengancam nyawa dari penyakit diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
terkontrol. Sindrom Hiperglikemik hiperosmolar (SHH) ditandai dengan
peningkatan konsentrasi glukosa yang ekstrim dalam darah yang
disertai dengan hiperosmolar tanpa adanya ketosis yang signifikan, dan
7
biasanya jarang terjadi pada anak-anak. Namun hasil studi kasus
belakang ini menjelaskan bahwa kejadian SHH pada anak diprediksi
akan meningkat. Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan
adanya peningkatan hiperglikemi parah yang dapat dilihat peningkatan
osmolaltias serum dan bukti klinis adanya dehidrasi tanpa akumulasi α-
hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids. Hiperglikemi disebabkan
karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena penurunan respon
insulin dari jaringan (resistensi insulin).
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis.
Munculnya kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas
pengenceran urin oleh ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air yang
lebih parah. Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan sebagai katup
penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan
mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut.
D. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan kedaruratan pada diabetes
melitus (DM) tipe I. Dengan tata laksana yang adekuat, angka kematian
dapat ditekan sampai 2%. Definisi Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah
adanya kadar gula darah > 300 mg/dl, ketonemia, dan asidosis (pH < 7,32
dan kadar bikarbonat < 15 mEq/L. KAD dapat dicegah dengan tata
laksana DM yang baik. Edukasi pada pasien sangat penting. Ketoasidosis
Diabetik (KAD) dapat didiagnosis melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut :
Anamnesis
a. Kasus baru DM tipe 1 seringkali bermanifestasi sebagai KAD
sehingga manifestasi klasik DM yaitu poliuria, polidipsia, dan
polifagia dapat ditemukan.
b. Gejala-gejala lain seperti asidosis dikeluhkan sebagai pernafasan
cepat dan dalam (Kussmaul) dengan bau pernafasan aseton.
8
d. Dalam keadaan KAD berat (pH < 7.1 dan kadar bikarbonat serum <
10 mEq/L) pasien datang berobat dalam keadaan syok dengan atau
tanpa koma.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala asidosis, dehidrasi
sedang sampai berat dengan atau tanpa syok, bahkan sampai koma.
Pemeriksaan penunjang awal yang utama adalah kadar gula darah (>300
mg/dl), urinalisis (ketonuria), dan analisis gas darah (pH < 7.3). Kadar
elektrolit darah, keton darah, darah tepi lengkap, dan fungsi ginjal
diperiksa sebagai data dasar. Apabila terjadi syok, atasi syok terlebih
dahulu dengan memberikan cairan NaCl 0,9% 20 ml dalam 1 jam sampai
syok teratasi.
9
4. Apa yang terjadi pada pasien?
Pasien datang ke UGD dibawa keluarganya dengan keluhan
penurunan kesadaran. Berdasarkan hasil alloanamnesis, pasien tiba-tiba
tidak sadarkan diri kurang lebih 3 jam yang lalu. Saat dipanggil dan
digoyangkan badannya, tidak membuka mata. Pasien merupakan penderita
DM dan Hipertensi tak terkontrol tetapi rutin minum Glibenclamid.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS E3V3M4, tekanan darah
240/140, suhu 39,9oC, laju pernafasan 40x/menit dan kussmaul, nadi
120x/menit dan teraba lemah. Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10,99
gr%, leukosit 19.000/200/µL, trombosit 173.00/µL, GDS 400 mg/dl, ureum
40 mg/dl, kreatinin 1,5 mg/dl, kalium 3,3 mmol/L. Dari hasil pemeriksaan
tersebut, kemungkinan pasien mengalami Ketoasidosis Diabetik (KAD)
dengan hipertensi emergensi.
5. Apa tatalaksana awal yang perlu diberikan?
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu
segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
1. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari
arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi
kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
2. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik, tentukan penyebab
krisis hipertensi , singkirkan penyakit lain yang menyerupai
krisis HT, tentukan adanya kerusakan organ sasaran.
3. penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD
sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang
dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis
hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ).
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
4. Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke
otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa
10
hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting
anneurysma aorta.
5. TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu
atau dua minggu (Majid, 2004).
11
BAB IV
SKEMATIKA MASALAH
Datang ke UGD
Gangguan pada
ARAS
Penurunan
kesadaran
Pemeriksaan fisik
- Peningkatan tekanan
darah
- Peningkatan RR
- Peningkatan denyut
nadi
12
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
13
BAB VI
BELAJAR MANDIRI
14
BAB VII
CURAH PENDAPAT
15
Gambar 1. Hipertensi emergensi dan urgensi
16
b. Kriteria
1. Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan
minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran.
2. KW I atau II pada funduskopi
3. Hipertensi post operasi
4. hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati perioperatif (Gifford, 1991).
c. Patofisiologi
1. Teori “Over Autoregulation”
Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada
arteriole mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi.
Meningginya permeabilitas kapiler akan men yebabkan pecahnya
dinding kapiler,udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro
infark.
2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation”
Bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibatkan
transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages,
fibrinoid dari arteriole (Houston, 1989).
d. Diagnosa
1. Anamnesis
a) Riwayat hipertensi: lama dan beratnya.
b) Obat antihipertensi yang digunakan dan kepatuhannya
c) Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
d) Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan
mental, ansietas ).
e) Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine
berkurang ).
f) Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung,
kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
g) Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h) Riwayat kehamilan : tanda eklampsi (Kaplan, 1986).
17
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan
berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan
neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan
komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun
payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit
penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang di lakukan dua cara yaitu :
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
1. darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolik, KGD.
2. urine : Urinalisa dan kultur urine.
3. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
4. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu
setelah pengobatan terlaksana).
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan
hasil pemeriksaan yang pertama ) :
1. Sangkaan kelainan renal: IVP, Renald angiography (
kasus tertentu ), Biopsy renald ( kasus tertentu).
2. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah
neurologi ,Spinal tab, CAT Scan.
3. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam
untuk Katekholamine, metamefrin, venuman delic Acid (VMA
) (Anvekar, 1974).
4. Diagnosis banding
a. Hipertensi berat
b. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan
c. Ansietas dengan hipertensi labil
d. Oedema paru dengan payah jantung kiri
5. Penanggulangan hipertensi urgensi
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di
rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang,
18
tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap
masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi
urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan :
a. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10
menit).Buccal (onset 5 –10 menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 –
15 menit secara sublingual/buccal). Efek samping : sakit kepala,
takikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
b. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60
menit. Duration of Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dilanjutkan
0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping : sedasi,mulut
kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart block,
bradikardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan
tolazoline.
c. Captopril : Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan
dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio
neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal
arteri sinosis.
d. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan
diulang perjam bila perlu. Efek samping :first dosyncope, hipotensi
orthostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala (Gonzale, 1988).
4. Menjelaskan all about Hipertensi Emergensi!
a. Definisi
Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD
Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran
yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut.
Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya
sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu
dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di
ruangan intensive care unit atau (ICU) (Alpert,2012).
19
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ
sasaran tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari
tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan
usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir
kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi,
sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi
hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan
kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya
pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru
dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi
ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati
dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.
b. Patofisiologi
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya
hipertensi ensefalopati yaitu :
20
Patofisiologi hipertensi emergensi
c. Diagnosis
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin,
karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan
tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh
walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat
mendiagnosa suatu krisis hipertensi (Alpert,2012).
21
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa
singkat.
Hal yang penting ditanyakan :
a. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
d. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan
mental, ansietas ).
e. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine
berkurang ).
f. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung,
kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
g. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (
baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran (
retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,
altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi
dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif
dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti
penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
b. urine : Urinelisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat
ditunggu setelah pengobatan terlaksana ).
22
2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan
hasil pemeriksaan yang pertama ) :
a. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus
tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).
b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi :
Spinal tab, CAT Scan.
c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk
Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).
4. Faktor presifitasi pada krisis hipertensi
Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dapat dibedakan hipertensi emergensi urgensi dan
faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan-
keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi, antara lain :
23
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan krisis hipertensi sesuai dengan hasil
pemeriksaan yang sudah dilakukan apakah termasuk ke dalam
hipertensi emergensi atau urgensi. Berikut ini adalah alur algoritma
JACC 2017 yang dapat digunakan dalam melakukan tatalaksana
24
Rekomendasi dalam Target Menurunkan Tekanan Darah
Pada pasien dewasa dengan hipertensi emergensi, perawatan di ICU
direkomendasikan sebagai bentuk monitoring yang kontinyu dari penurunan
tekanan darah dan kerusakan organ target, serta pemberian terapi secara
parenteral. Pada kasus diseksi aorta, preeklampsia berat dan eklampsia, serta
pheokromositoma dengan krisis hipertensi, diperlukan penurunan tekanan
darah sistolik secara cepat hingga <140 mmHg pada satu jam pertama, atau
<120 mmHg pada diseksi aorta (Calhoun,2014).
Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat meningkatkan risiko
terjadinya kerusakan ginjal, otak, dan iskemik koroner, sehingga perlu
dihindari bila tidak perlu. Oleh karena itu, pemberian dosis antihipertensi baik
secara oral maupun intravena harus diperhatikan.
Pada pasien tanpa adanya kondisi yang memperberat, tekanan darah
sistolik dapat diturunkan tidak lebih dari 25% pada 1 jam pertama. Apabila
tekanan darah stabil, maka dapat diturunkan menuju 160/100 mmHg pada 2 –
6 jam berikutnya, hingga mencapai nilai normal pada 24-48 jam kemudian.
Tidak ada penelitian RCT yang menjelaskan bahwa pemberian obat
antihipertensi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan hipertensi emergensi. Namun demikian, pemberian antihipertensi
berdasarkan pengalaman klinis memberi efek yang cukup baik dalam
penanganan hipertensi emergensi. Beberapa obat antihipertensi dari beragam
kelas farmakologi dapat digunakan sebagai terapi hipertensi emergensi.
Kejadian terganggunya sistem autoregulasi perfusi jaringan pada hipertensi
emergensi membuat pemberian antihipertensi dengan titrasi intravena secara
kontinu diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan organ target.
Pemilihan antihipertensi yang tepat pun harus didasarkan pada farmakologi
obat tersebut, patofisiologi yang mendasari terjadinya hipertensi pada pasien,
dan keberadaan komorbid.
25
Medikamentosa
Beberapa obat yang dapat diberikan pada pasien dengan Hipertensi Emergensi
adalah sebagai berikut:
Tabel Medikamentosa Pada Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi
26
Pada laju tetesan ≥4-10
mcg/kg/menit atau durasi
> 30 menit, dapat
diberikan tiosulfat untuk
mencegah keracunan
sianida
27
Dosis inisial 0.3-1.0
mg/kg, maksimum 20 mg,
IV pelan setiap 10 menit Kontraindikasi pada penyakit
Adrenergik atau 0.4-1.0 mg/kg/jam saluran napas reaktif.Dapat
bloker – infus IV hingga 3 memperburuk gagal jantung.
kombinasi mg/kg/jam. Dosis Sebaiknya tidak diberikan
alfa 1 dan maksimal kumulatif pada pasien dengan blokade
nonselektif adalah 300 mg.Dapat jantung derajat 2-3 ataupun
beta bloker Labetalol diulang dalam 4- 6 jam bradikardia
Adrenergik
bloker –
nonselektif Bolus IV 5 mg. Bolus Baik digunakan pada
alfa tambahan setiap 10 menit hipertensi emergensi yang
reseptor Phentolamin sesuai kebutuhan hingga disebabkan oleh kelebihan
antagonis e target TD tercapai katekolamin
28
berhubungan dengan aktivitas
renin plasma yang tinggi.
Onset relatif lambat dan respon
terhadap TD tidak dapat
diprediksi.
29
b. Faktor Pencetus
Ada sekitar 20% paseien KAD yang baru diketahui menderita DM
untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya,
80% dapat dikenali adanya faktor pencetus ini penting untuk pengobatan dan
pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk
terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut,
penggunaan obat golongan steroid,mengehentikan atau mengurangi dosis
insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak ditemukan faktor pencetus.
c. Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, ketokolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi
glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan
hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD
dapat dkelompokkan menjadi dua bagian yaitu akibat hiperglikemia dan
akibat ketosis.
Walaupun sel tubh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem
homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibat lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam
lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati
dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal
kadar 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang
tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel
tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel,
memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen ,
menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak
30
bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses
oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi
tersebut akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber
energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan
defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin,
meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan
elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.
d. Peranan Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap
hormon kontra regulasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oelh resistensi
insulin atau suplai insulin endogen ataieksogen yang berkurang. Defisiensi
aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata
pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan yang terjadi
terutama meibatka metabolisme lemak dan karbohidrat (gambar 1).
e. Peranan Glukagon
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling
berperan dalam ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat proses
glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA adalah suatu
penghambat cartnitine acyl transferase (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada
transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan
ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi
dengan baik, bila kadar insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat
meningkatserta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-
sel lemak dan hati.
31
Hormon Kontra Regulator Insulin lain
Kadar epinefrin dan kortisol darah menngikat pada KAD.
Hormon pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD kadarnya kadang-
kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi
yang pada akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda
keton, glukonoegenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali
proses KAD terjadi maka akan terjadi stres berkepanjangan.
f. Gejala Klinis
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor
kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai
hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah
tercium.
Areataeus menjelas gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan
poliuri, dan polidipsi seringa kali mendahului KAD serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah
merpakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula
dijumapi nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastroparesis-dilatas lambung.
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Walaupun faktor
pencetusnya adalah infeksi, kebanakan pasien tidak mengalami demam.bila
dijumapi nyeri abdomen perlu dipikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia
usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila pasien tidak
menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD maka perlu
dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses
perirektal).
g. Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun
hiperglikemia hiperosmolar nenketotik. Beberpa hiperglikemia, ketonemia,
dan asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD (tabel 1).
32
Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yagn cepat dan teliti dengan terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang penting dan mudah untuk segera
dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan
urin dengan mengunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urin. Pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparah KAD
meliputi kadar HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan
pemeriksan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.
h. Prinsip Pengobatan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1) Penggantian cairan dan garam yang hilang
2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
3) Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
33
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari
pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit ada 6 hal yang perlu diberikan
: 5 diantaranya ialah : cairan, garam ,insulin, kalium dan glukosa. Sedangkan
yang terakhir terapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini
diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan
stabil.
34
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari skenario seorang pasien laki-laki berusia 53 tahun dibawa ke
UGD oleh keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran. Kemudian
dari hasil alloanamnesis didapatkan informasi bahwa pasien tiba-tiba tidak
sadarkan diri kurang lebih 3 jam yang lalu, saat dipanggil dan digoyangkan
badannya tidak membuka mata, diketahui apsien adalah penderita DM dan
hipertensi yang tidak terkontrol tetapi rutin minum glibenclamid. Hasil
informasi tambahan didapatkan kesadaran pasien E3V3M4, pemeriksaan
tanda vital didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg, suhu 39,9 derajat
celcius, pernafasan 40x/menit (kussmaul) serta nadi yaitu 120x/menit
(lemah). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 10.99 gr
%, leukosit 19.000/200 mL, trombosit 173.000, GDS 400 mg/dL, ureum 40
mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, kalium 3,3 mEq/L. Kemudian pasien diberikan
cairan ringer laktat lalu dibawa ke ICU diberikan tetes insulin.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dapat disimpulkan bahwa pasien terdiagnosis ketoasidosis diabetik dengan
hipertensi emergensi.
B. Saran
1. Diharapkan mahasiswa mencari sumber informasi yang lebih akurat dan
memperluas pengetahuan secara mandiri.
2. Sesi kedua tutorial di harapkan semua sasaran pembelajaran sudah
terhabas semua, apabila belum dapat di tambahkan kembali pada laporan
kelompok.
3. Diharapkan mahasiswa lebih aktif pada diskusi tutorial selanjutnya.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
37