Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SKULL DEFECT


DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Tantia Ismi Nitalia, S.Kep
NIM 182311101148

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada pasien dengan Skull Defect di Instalasi Bedah


Sentral RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, Tanggal :
Tempat : Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Mei 2019

Mahasiswa

Tantia Ismi Nitalia, S.Kep


NIM 182311101148

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Intalasi Bedah Sentral
Universitas Jember RSD dr. Soebandi

Ns. Mulia Hakam,M.Kep.,Sp.Kep.MB Ns. Muhammad Syafari, S.Kep


NIP. 19810319 201404 1 001 NIP. 19780212 200501 1 010
BAB 1. KONSEP TEORI

1.1 Anatomi dan Fisiologi


Tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi
dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang
kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar
dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur
yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fossa; fossa anterior di
dalamnya terdapat lobus frontalis, fossa tengah berisi lobus temporalis,
parientalis, oksipitalis, fossa posterior berisi otak tengah dan sereblum.

a. Otak
Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling
berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual. Otak
melaksanakan semua fungsi yang disadari dan bertanggung jawab terhadap
pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi atau rangsangan terhadap
kemampua manusia untuk melakukan gerakan-gerakan yang disadari dan
kemampuan untuk melaksanakan berbagai macam proses mental seperti ingatan
atau memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat atau
kepribadian.
Secara anatomis otrak terdiri dari cerebrum (otak besar), cerebellum (otak
kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system (sistem limbik). Otak
merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagian-bagiannya
adalah:
1. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks (permukaan otak), ganglia
basalis, dan sistem limbic. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh
serabut padat yang disebut dengan corpus calosum. Otak besar memiliki
fungsi untuk mengatur semua aktivitas mental yang berkaitan dengan
kepandaian (intelegensia), ingatan (memori), kesadaran dan pertimbangan.

Gambar 2. Anatomi Otak manusia

Gambar 3. Bagian-bagian Cerebrum


Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus yaitu:
a) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual, seperti
kemampuan berpiki abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri),
pusat penghidu, dan emosi. Lobus frontalis mengandung pusat pengontrolan
gerakan volunteer di gyrus presentralis (area motoric primer) dan terdapat
area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca
yang mengatur ekspresi bicara, lobis ini juga mengatur gerakan sadar,
perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.

Gambar 4. Lobus Frontalis


b) Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
kebawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-
oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan
perkembangan emosi.

Gambar 5. Lobus Temporalis


c) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
(White, 2008).
Gambar 6. Lobus Parietal
d) Lobus Okspitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan dengan
informasi saraf lain dan memori (White, 2008).

Gambar 7. Lobus Oksipitalis

e) Lobus Limbik
Lobus limbic berfungsi untuk mengatur emosi, memori emosi, dan
bersama hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom.
Gambar 8. Lobus Lim
2. Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot
dan tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta untu berfungsi
mengkoordinasi gerakan yang halus dan luwes. Cerebelum berada pada
bagian bawah dan belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah. Pada
otak kecil terdapat tiga pengelompokkan bagian-bagian otak kecil yaitu:
1) Berdasarkan lobus pada otak kecil dibagi menjadi tiga yaitu lobus
anterior (depan), lobus posterior (belakang) dan lobus frocculonadular.

Gambar 9. Lobus Otak Kecil


2) Berdasarkan zonanya cerebellum dibagi menjadi tiga bagian yaitu
vermis yang memisahkan otak kecil menjadi dua hemisfer kiri dan
kanan, zona intermediate, dan lateral hemisfer

Gambar 10. Zona Otak Kecil


3) Berdasarkan fungsinya, terdiri dari cerebrocerebellum yang merupakan
bagian terbesar dari otak keci dengan fungsi utama untuk mengatur
pergerakan mortik dan evaluasi terhadap informasi sensoris agar dapat
melakukan gerakan yang tepat; Spinocerebellum berfungsi untuk
mengatur pergerakan tubuh melalui sistem propriosepsi yaitu sensasi
yang didapatkan tubuh melalu stimulasi dan aktivitas otot;
Vestibulocerebelum berfungsi untuk mengatur keseimbangan tubuh
daris sistem vestibular dari semicircular kanal di telinga dan gerakan
bola mata yang menerima informasi dari kortek visual.
3. Brainstem
Brainstem atau yang sering disebut Batang otak berada di dalam
tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai
medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah,
denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila
terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa
muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. Batang otak terdiri dari
tiga bagian, yaitu:
1) Pons (dalam bahasa latin berarti “Jembatan”) berbentuk jembatan
serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebellum, serta
menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata
di bawah. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior.
Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Muttaqin, 2008).
2) Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata
terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan
dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan
dari pons dan medulla (Moore & Argur, 2007).
3) Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
(Moore & Argur, 2007).
d. Sistem limbik
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup
komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem
limbik berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah
laku individu.
b. Suatu respon sadar terhadap lingkungan.
c. Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar
dan memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan.
d. Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali
simpanan memori yang diperlukan.
e. Merespon suatu pengalaman dan ekspresi suasana hati, terutama reaksi
takut, marah, dan emosi yang berhubungan dengan perilaku seksual.
1) Meninges
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen yang melindungi
struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi sejenis cairan,
yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Duramater
Durameter atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrosus. Secara
konvensional durameter ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang
tempat-tempat tertentu terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan
endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi
permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan
durameter yang sebenarnya sering disebut dengan Cerebral durameter. Terdiri
dari jaringan fibrosus yang padat dan kuat yang membungkus otak dan
berlanjut menjadi durameter spinalis setelah melewati foramen magnum yang
berakhir sampai segmen kedua dari os sacrum. Pada pemisahan dua lapisan
durameter ini, diantaranya terdapat sinus duramatris yang berisi darah vena.
Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak
dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini
dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior,
sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranni antara lain,
sinus sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus. Pada durameter
terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan
sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-ujung saraf ini dapat menimbulkan
sakit kepala yang hebat.
b) Selaput Arakhnoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus yang
menutupi otak dan terletak diantara piameter dan durameter. Membrane ini
dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaituspatium subdurale, dan
dari piameter oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.
Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu rongga atau
ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piameter pada bagian
dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang
pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus
membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoidales disebut sebagai
granulations arachnoidales. Villi arachnoidales berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid ke dalam darah. Arachnoid berhubungan
dengan piameter melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan
dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke otak menuju
cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.
c) Pia mater
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang
belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang
halus serta dilalui pembuluh darah yang member nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai
end feet dalam piameter untuk membentuk selaput piaglia. Selaput ini
berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan ke dalam
susunan saraf pusat. Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus
tertius dan quartus dan menyatu dengan ependyma membentuk plexus
choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.

Gambar 1. Lapisan Pelindung Otak


2) Sistem ventrikulus
Otak sangat lembut dan kenyal sehingga sangat mudah rusak. Selain
lapisan meninges, otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal (CSS)
di subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung
sehingga mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang
dipengaruhi oleh gravitasi dan juga meilndungi otak dari guncangan
yang mungkin terjadi. CSS ini terletak dalarn ruang-ruang yang saling
berhubungan satu dengan yang lain. Ruang-ruang ini disebut dengan
ventrikel (ventricles). Ventrikel berhubungan dengan bagian
subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung pada canal
pusat (central canal) dari tulang belakang. Ruang terbesar yang berisi
cairan terutama ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle).
Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle)
yang terletak di otak bagian tengah (midbrain). Ventrikel ketiga
dihubungkan ke ventrikel keempat oleh cerebral aqueduct yang
menghubungkan ujung caudal ventrikel keempat dengan central canal.
Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan ventrikel kedua
(Puspitawati, 2009).
CSS merupakan konsentrasi dari darah dan plasma darah yang
diproduksi oleh choroid plexus yang terdapat dalam keempat ventrikel
tersebut. Sirkulasi CSS dimulai dalam ventrikel lateral ke ventrikel
ketiga, kemudian mengalir ke cerebral aqueduct ke ventrikel keempat.
Dari ventrikel keempat mengalir ke lubang-lubang subarachnoid yang
melindungi keseluruhan SSP. Volume total CSS sekitar 125 ml dan
daya tahan hidupnya (waktu yang dibutuhkan oleh sebagian CSS untuk
berada pada sistem ventrikel agar diganti oleh cairan yang baru) sekitar
3 jam. Apabila aliran CSS ini terganggu, misalnya karena cerebral
aqueduct diblokir oleh tumor dapat menyebabkan tekanan pada
ventrikel karena dipaksa untuk mengurangi cairan yang terus menerus
diproduksi oleh choroid plexus sementara alirannya untuk keluar
terhambat. Dalam kondisi ini, dinding-dinding ventrikel akan
mengembang dan menyebabkan kondisi hydrocephalus. Bila kondisi ini
berlangsung terus menerus, pembuluh darah juga akan mengalami
penyempitan dan dapat menyebabkan kerusakan otak (Puspitawati,
2009).

Gambar . Sistem Ventrikel Otak

b. Sistem Saraf Tepi


Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf
kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama
atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I),
optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abducens
(VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus
(X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).
Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial
SARAF KRANIAL KOMPONEN FUNGSI
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi
pupil, sebagian besar gerakan
ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang
ke lateral
Sensorik 1. Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala,
mukosa mata, mukosa hidung dan
rongga mulut, lidah dan gigi
2. Refleks kornea atau refleks
mengedip, komponen sensorik
dibawa oleh saraf kranial V, respons
motorik melalui saraf kranial VI
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot
dahi, sekeliling mata serta mulut,
lakrimasi dan salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis,
asam, dan asin)
VIII Cabang Sensorik Keseimbangan
Vestibularis
Cabang koklearis Sensorik Pendengaran
IX Glossofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa
pahit
X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks muntah, fonasi;
visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah, visera
leher, thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian
atas dari otot trapezius: pergerakan kepala
dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sumber: Muttaqin, 2008:17

Gambar 11. saraf Kranial


1.2 Definisi Penyakit
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia.
Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah
kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull
defek dapat terjadi akibat trauma, nekrosis jaringan, penyakit infeksi dan
degeneratif, pertumbuhan tulang abnormal, atau tindakan medis yang disengaja
seperti craniectomy dan bedah kecantikan. Skull effect adalah adanya pengikisan
pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan
massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang
(Burgener & Kormano, 1997).
Skull Defek dapat menyebabkan berkurangnya fungsionalitas tulang kranial
dan perubahan anatomi (Szpalski et al., 2009). Perubahan anatomi tersebut dapat
berpengaruh negatif terhadap kehidupan sosial pasien yaitu kelemahan psikologis
dan menurunnya kepercayaan diri dalam hubungan sosial. Skull defect dapat
terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan
anenchephaly dan juga skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk
membantu pengeluaran cairan atau pendarahan atau massa yang ada di kepala atau
otak.
1.3 Etiologi
Penyebab terjadinya skull defect adalah:
a. Fraktur cranium
b. Tumor
c. Penipisan tulang
d. Kelainan kongenital (enchephalocele)
e. Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
f. Post op trepanasi
g. Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
h. Reseksi tumor tengkorak
i. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

1.4 Manifestasi Klinik


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
a. Bentuk kepala asimetris
b. Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
c. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan
atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale).
Pada cedera kepala berat nilai GCS nya 3-8.
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.

1.5 Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi
2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma
dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang
kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala
intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu
kecelakaan mobil atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma
tembus dada yaitu luka tusuk dan luka tembak. Cedera pada dada sering
mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi
seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas, cedera pada parenkim paru,
sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan pneumothoraks.
Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari pembuluh
besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di
dalam sakus perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan
ventilasi dan perfusi yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia,
dan kematian (Smeltzer, 2001).

1.6 Pemeriksaan khusus dan penunjang


Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
a. CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri. Pada pasien dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan
sebagai berikut:
b. Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang
makin dittinggalkan. Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi
jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus
alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. Hasil yag
diperoleh pada foto kepala pasien dengan skull defect adalah sebagai
berikut:

c. MRI (Magnetik Resonance Imaging)


Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. EEG (Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis

1.7 Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan
operasi trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH
(epidural hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan
kraniotomi). Cranioplasty adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan
menggunakan bahan plastic atau metal plate. Epidural Hematoa (EDH) adalah
suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater;
Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara
lapisan duramater dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini
diindikasikan pada pasien 1) Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat
cedera kepala akibat berbagai faktor,2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi,3)
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien
post trepanasi adalah memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total,
pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi/fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal,
mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga, pemberian informasi tentang
proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Cranioplasty
a. Definisi
Cranioplasty adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk
memperbaiki atau membentuk kembali penyimpangan atau
ketidaksempurnaan dalam tengkorak. Untuk memperbaiki cacat atau celah
dalam tengkorak, dapat digunakan cangkok tulang dari tempat lain di dalam
tubuh atau bahan sintesis.
b. Indikasi
Beberapa faktor yang dapat ditangani dengan tindakan cranioplasty adalah:
1) Premature closing dari sutura tengkorak atau craniosynostosis
2) Tengkorak yang tidak berkembang
3) Faktor genetik yang mengakibatikan cacat lahir
4) Trauma
5) Cacat tengkorak lain yang mengakibatkan lubang atau daerah sensitif pada
tengkorak
6) Kelainan tengkorak yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi
penampilan
Cranioplasty umumnya dilakukan terhadap pasien yang mengalami cedera
traumatis. Dengan anak berusia kurang dari 3 tahun, growing skull fractures
dan anomali kongenital adalah penyebab umum. Pada semua kelompok
umur, pengangkatan tumor atau craniectomies decompressive adalah
penyebab cacat tengkorak yang paling sering terjadi. Tujuan cranioplasty
bukan hanya masalah kosmetik tetapi juga perbaikan dari cacat tengkorak
memberikan bantuan kepada kelemahan psikologis dan meningkatkan
kinerja sosial. Selain itu, kejadian epilepsi terbukti menurun setelah
cranioplasty.
c. Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk cranioplasty adalah adanya hidrosefalus, infeksi, dan
pembengkakan otak. Pada anak-anak di bawah usia 4 tahun, jika dura mater
utuh, tengkorak dapat menutup dengan sendirinya. Saat menunggu untuk
melakukan cranioplasty, penting untuk mencegah perkembangan autograft
devitalized atau allograft infeksi. Biasanya operasi rekosntruktif dilakukan
setelah 3 sampai 6 bulan. Namun, jika ada daerah yang mengalami infeksi,
masa tunggu ini bisa selama satu tahun. Beberapa alasan yang menyebabkan
seseorang untuk melakukan cranioplasty antara lain :
1) Kosmetik : akibat terdapat lubang di kepala yang menggangu penampilan
2) Protection : Untuk melindungi otak yang terekspose sehingga mengurangi
kerusakan berlanjut pada bagian otak tersebut.
3) Nyeri Kepala : Nyeri kepala dapat timbul jika tulang tengkorak yang telah
di angkat tidak digantikan dengan tulang baru.
4) Fungsi Neurologis: Pada beberapa pasien dapat mengalami perbaikan yang
nyata dalam fungsi neurologis jika tulang di ganti.
d. Tehnik Operasi

1) Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up
kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala
miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada
sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri
dan sebaliknya.
2) Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi
3) Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk
kosmetik, sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui
lokasi, zygoma sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita)
4) Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi
dengan doek steril.
5) Operasi
a) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
b) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
c) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan
kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh
darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada
pangkal flap dan fiksasi pada doek.
d) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian
dan rawat perdarahan.
e) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai
gambar CT scan.
f) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
g) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
h) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup
lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
i) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.
j) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi
dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat
mematahkan tulang.
k) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang
dapat dihentikan dengan bone wax.
l) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
m) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila
ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch
stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah
tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri)
tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali
dicurigai berasal dari sinus.
n) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0
secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada
lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
o) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater.
p) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait
dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai
terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan
otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut
melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural,
dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
q) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan
untuk pembuluh darah kulit atau subkutan.
r) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak
dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
s) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan
di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi.
t) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian
otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak
bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar,
untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai
alat bantu kauterisasi.
u) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila
tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis
dengan cara sebagai berikut:
1. Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
2. Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
3. Pasang drain subgaleal.
4. Jahit galea dengan vicryl 2.0.
5. Jahit kulit dengan silk 3.0.
6. Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
v) Operasi selesai
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama
pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah
tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat
lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang
akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan
untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
1.8 Komplikasi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau
menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar
dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative
state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya
penglihatan ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.
BAB 2. CLINICAL PATHWAY

Tumor, perdarahan di otak



Tindakan operasi trepanasi/craniotomy

Skull Defect

Pre Operasi
Intra Operasi Post Operasi

Kerusakan kontinuitas jaringan,


tulang, kulit, otot, Resiko Luka insisi
Kurang pengetahuan Peningkatan tekanan Pelepasan dan laserasi pembuluh darah pembedahan
Infeksi
terkait tindakan intrakranial mediator
nyeri Anastesi selama
Sel melepaskan
Ketakutan kematian Gg. Suplai darah Port de’ entry bakteri, Resiko pembedahan
mediator nyeri
virus Perdarahan
Fungsi otak Penurunan
Iskemia Implus ke otak
menurun kesadaran Impuls ke pusat
ansietas nyeri di otak
Resiko Infeksi
Hipoksia Presepsi nyeri Resiko
pembedahan Peningkatan
Penurunan kekurangan Risiko
volume sekresi respirasi
kesadaran Jatuh Somasensori korteks
Resiko Nyeri Akut cairan otak: nyeri
Ketidakefektifa dipersepsikan
n perfusi Resiko jatuh Penumpukan sekret
jaringan otak
Resiko aspirsi Nyeri Akut
BAB 3. PROSES KEPERAWATAN

J. Pengkajian Keperawatan
1) Anamnesis
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan,
golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis
medis.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Umumnya pasien dengan Skull Defect yang terjadi sejak lahir
(enchephalocele) tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada Skull Defect
akibat trauma, tumor atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan nyeri
bagian kepala hingga diikuti penurunan kesadaran.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan Skull Defect biasanya pernah
mengalami craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
d) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus Skull Defect adalah penurunan
tingkat kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang,
gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan
untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati
nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi
yang pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti
kanker.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
a) Keadaan Umum
Pada pasien Skull Defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya pasien
tidak sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri di bagian
kepalanya.
b) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
1) Respon membuka mata (E)
Membuka mata dengan spontan (4)
Membuka mata dengan perintah (3)
Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
Tidak reaksi reaksi apapun (1)
2) Respon motorik (M)
Mengikuti perintah (6)
Melokalisir nyeri (5)
Menghindar nyeri (4)
Fleksi abnormal (3)
Ekstensi abnormal (2)
Tidak ada reaksi apapun (1)
3) Respon verbal (V)
Orientasi baik dan sesuai (5)
Disorienasi tempat dan waktu (4)
Bicara kacau (3)
Mengerang (2)
Tidak ada reaksi apapaun (1)
Kesadaran pasien dengan Skull Defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan Rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh
tulang teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut
bisa berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/
cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan Skull Defect akibat trauma dapat tidak simetris dan
bisa terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila Skull Defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada
papil, rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada Skull Defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan Bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan Skull Defect
h) Leher
Bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,
perubahan bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien Skull Defect akibat
trauma bisa terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada
pasien dengan Skull Defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan
jalan nafas oleh sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar suara
ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian
perut, biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien Skull
Defect

K. Diagnosis Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2) Resiko jatuh berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3) Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian
4) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan suplai
darah ke otak menurun
b. Intra Operasi
1) Resiko Perdarahan berhubungan dengan pembedahan
2) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
3) Resiko infeksi pembedahan berhubungan pertahan tubuh primer tidak
adekuat
c. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan kesadaran
3) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
4) Risiko aspirasi berhubungan dengan penumpukan sekret selama operasi
L. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rasional
No Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Pre Operasi
1 Nyeri akut NOC : Perilaku Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Meminimalkan rasa
berhubungan Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan Intervensi : nyeri yang dirasakan
dengan Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau 1. Berikan pereda nyeri pasien
peningkatan TIK mengalami nyeri atau nyeri minimalnya bukti-bukti dengan manipulasi 2. Mengurangi rasa nyeri
menurun sampai tingkat ketidaknyamanan lingkungan (misal lampu 3. Mengurangi rasa nyeri
yang dapat diterima pasien b. TIK dalam batas normal ruangan redup, tidak ada 4. Pasien bisa mimilih
c. Tidak menunjukkan kebisingan, tidak ada teknik yang tepat untuk
bukti-bukti peningkatan gerakan tiba-tiba). mengurangi nyeri
TIK 2. Berikan analgesia sesuai 5. Dukungan keluarga
d. Belajar dan ketentuan, observasi dapat memotivasi
mengimplementasikan adanya efek samping. pasien
strategi koping yang 3. Lakukan strategi sesuai 6. Mengantisipasi nyeri
efektif. non farmakologi untuk yang berulang
membantu mengatasi
nyeri.
4. Gunakan strategi yang
dikenal pasien atau
gambarkan beberapa
strategi dan biarkan
pasien memilih.
5. Libatkan keluarga dalam
pemilihan strategi
6. Ajarkan pasien untuk
menggunakan strategi
non farmakologi
sebelum terjadi nyeri
atau sebelum menjadi
lebih berat.
2 Resiko jatuh NOC : Keamanan Sosial Kriteria hasil : NIC : Mencegah Jatuh 1. Pasien mengetahui
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Bebas dari cedera 1. Tekankan pentingnya tujuan perawatan
dengan mengalami cedera b. Pasien dan keluarga mematuhi program 2. Memberikan dukungan
perubahan menyetujui aktivitas atau terapeutik 3. Mencegah terjadi
fungsi modifikasi aktivitas yang 2. Dampingi pasien selama cedera
neurologis tepat aktivitas yang diijinkan 4. Mencegah terjadinya
3. Jaga agar penghalang dekubitus
tempat tidur tetap
terpasang
4. Bantu ambulasi dan
aktivitas hidup sehari-
hari dengan tepat
3 Ansieras NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
kematian diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
4. Risiko NOC : Kriteria hasil: NIC 5.
ketidakefektifan Status Neurologi (0909) 1. Kesadaran membaik Monitor Neurologi (2620)
Perfusi Jaringan 2. Mampu mengontrol 1. Monitor tingkat
Setelah dilakukan tindakan
otak keperawatan selama 3 x 24 motorik sentral kesadaran
jam perfusi jaringan otak 3. mampu melakukan 2. Monitor tanda-tanda
membaik fungsi sensorik dan vital : suhu, tekanan
motorik kranial darah, denyut nadi, dan
4. Komunkasi yang tepat respirasi
dengan situasi 3. Monitor kesimetrisan
wajah
4. Monitor karakteristik
berbicara : kelancaran,
adaya aphasia, atau
kesulitan menemukan
kata
5. Monitor respon terhadap
stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia :
mati rasa dan kesemutan
Intra Operasi
1 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Catat intake dan output cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab 2. Monitor status hidrasi 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, seperti membran dehidrasi
dengan TTV normal mukosa, nadi, tekanan 3. Mengatur balance
kehilangan darah dengan cepat. cairan
cairan 3. Beri cairan yang sesuai
dengan terapi
2 Resiko infeksi NOC : Kontrol Infeksi Kriteria hasil : NIC : Kontrol Infeksi 1. Agar ruangan selalu
pembedahan intraoperatif Tidak menunjukkan tanda- intraoperatif bersih
berhubungan Tujuan : Pasien tidak tanda infeksi 1. Bersihkan debu dan 2. Mencegah invasi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau permukaan mendatar mikroorganisme
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda dengan pencahayaan di 3. Mencegah invasi
adekuat infeksi pada pasien. ruang operasi mikroorganisme
2. Monitor dan jaga suhu 4. Mencegah invasi
ruangan antara 20o dan mikroorganisme dan
24 o C udara tetap bersih
3. Monitor dan jaga 5. Mencegah inos
kelembaban relatif antara 6. Mencegah terjadinya
20% dan 60 % infeksi
4. Monitor dan jaga aliran 7. Mencegah terjadinya
udara yang berlapis infeksi
5. Batasa dan kontrol lalu 8. Mencegah inos
lalang pengunjung 9. Mencegah inos
6. Verifikasi bahwa 10. Mencegah inos
antibiotik profilaksis 11. Mencegah penggunaan
telah diberikan dengan alat yang tidak steril
tepat 12. Mencegah penggunaan
7. Lakukan tindakan- alat yang tidak steril
tindakan pencegahan 13. Mencegah invasi
universal/ universal mikroorganisme
precautions 14. Mencegah penyebaran
8. Pastikan bahwa personil infeksi
yang akan melakukan 15. Mencegah terjadinya
tindakan operasai infeksi menyebar dan
mengenakan pakaian memastikan anggota
yang sesuai tim dalam keadaan
9. Lakukan rancangan steril
tindakan isolasi yang 16. mencegah inos
sesuai 17. Mencegah penggunaan
10. Monitor teknik isolasi alat non steril
yang sesuai 18. Memonitor
11. Verifikasi keutuhan pembedahan selalu
kemasan steril dalam keadaan steril
12. Verifikasi indikator 19. Mencegah penyebaran
indikator sterilisasi infeksi
13. Buka persediaan 20. Memastikan area
peralatan steril dengan pembedahan steril
menggunakan teknik 21. mencegah penyatuan
septik cairan antimikroba
14. Sediakan sikat, jubah, 22. mencegah infeksi
dan srung tangan sesuai 23. mencegah infeksi
kebijakan institusi 24. mencegah infeksi
15. Bantu pemakaian jubah 25. Mencegah inos
dan sarung tangan 26. Mencegah alergi pada
anggota tim klien
16. Bantu mengenakan 27. Mencegah inos
pakaian pasien, 28. Mencegah infeksi
memastikan 29. membatasi
perlindungan mata, dan kontaminasi.
meminimalkan tekanan 30. Mencegah invasi
terhadap bagian bagian mikroorganisme
tubuh tertentu 31. Mencegah inos
17. Pisahkan alat-alat yang
steril dan non steril
18. Monitor area yang steril
untuk menghilangkan
kesterilan dan penentuan
waktu istirahat yang
benar sesuai indikasi
19. Jaga keutuhan kateter
dan jalur intravaskular
20. Periksa kulit dan
jaringan di sekitar lokasi
pembedahan
21. Letakkan handuk basah
untuk mencegah
penyatuan cairan
antimikroba
22. Oleskan salep
antimikroba pada lokasi
pembedahan sesuai
kebijakan
23. Angkat handuk basah
24. Dapatkan kultur jaringan
jika diperlukkan
25. Batasi kontaminasi yang
terjadi
26. Berikan terapi antibiotik
yang sesuai
27. Jaga ruangan tetap rapi
dan teratur untuk
membatasi kontaminasi
28. Pakai dan amankan
pakaian-pakaian bedah
29. Angkat penutup beserta
barang barang yang lain
untuk membatasi
kontaminasi.
30. Bersihkan dan sterilisasi
instrumen
31. Koordinasikan
pembersihan dan
persiapan ruang operasi
untuk pasien berikutnya

Post Operasi
1 Nyeri akut NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
2 Resiko jatuh NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
berhubungan Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli tepat sehingga
dengan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
penurunan operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
kesadaran yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya
dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 32. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 32. Pantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 33. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 33. Rawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 34. Mencegah inos
34. Memelihara teknik 35. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
35. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
M. Evaluasi
1) Tidak ada tanda peningkatan TIK
2) Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian dan
orientasi baik
3) Peningkatan tingkat kesadaran (GCS15, tidak ada gerakan involunter
4) TTV dalam batas normal (TD:120/80, RR16-20x/mnt, Nadi80-100x/mnt, Suhu

36,5-37,5oC)
5) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
non farmakologi untuk mengurangi nyeri)
6) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
7) Mampu mengenali nyeri(skala, intensitas, frekuensi dan tandanyeri)
8) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

N. Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus sudah
dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
1) Pengertian dari penyakit Skull Defect
2) Penjelasan tentang penyebab Skull Defect
3) Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
4) Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila ada
gejala yang memberatkan penyakitnya
5) Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam menaati
program pemulihan kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M., Wagner,
Cheryl M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi Keenam
Edisi Bahasa Indonesia. Editor Nurjannah, Intansari dan Tumanggor, Roxsana
Devi. Indonesia: CV. Mocomedia..

Corwin, Elizabeth J. (2009).Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, Meridean L., Swanson, Elizabeth.


2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes
Kesehatan. Edisi Kelima Edisi Bahasa Indonesia. Editor Nurjannah, Intansari
dan Tumanggor, Roxsana Devi. Indonesia: CV. Mocomedia.

Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA International. 2018. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC

Neal, M.J. 2006. At a Glance: Farmakologi Medis.

Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai