Anda di halaman 1dari 7

1 BAB I

2 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Lapindo Brantas Inc. merupakan salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi di
Indonesia. Salah satu pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo adalah pengeboran di Dusun
Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
Indonesia – 2006 silam. Tahun 2006 merupakan tahun bencana bagi Indonesia, bertubi-tubi petaka
melanda. Belum selesai konsentrasi publik oleh terjadinya gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter
(SR) di Yogyakarta, tiba-tiba muncul semburan (blow out) lumpur panas di lokasi pengeboran
minyak bumi Sumur Banjar Panji-1 (BPJ-1), desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Jawa Timur.
Sumur itu dioperasikan oleh PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), anak perusahaan PT Energi Mega
Persada Tbk.
Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo pun menjadi perhatian dunia karena kejadian
ini terbilang amat langka dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Mengenai penyebabnya, banyak
pihak yang cenderung meyakini bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan manusia. Di Cape
Town, Afrika Selatan, sebagaimana diwartakan Liputan6 (31 Oktober 2008), digelar forum yang
melibatkan 90 ahli geologi dari seluruh dunia. Sebagian besar peserta pertemuan ini
menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan karena faktor kesalahan prosedur
pengeboran. Kesimpulan yang lebih mengejutkan terungkap dari hasil penelitian Drilling
Engineers Club. Salah satu penelitinya, Kersam Sumanta, dilansir Kompas (7 Agustus 2012),
menyatakan: “Semburan lumpur di Desa Siring - salah satu desa di Porong yang bersumber dari
pengeboran PT Lapindo Brantas tidak disebabkan oleh bencana alam. Semburan lumpur Lapindo
itu karena kesalahan operasi pemboran yang disengaja." Ali Azhar Akbar melalui buku Konspirasi
di Balik Lumpur Lapindo (2007), menuliskan, Kersam yang pernah cukup lama bekerja di
Pertamina juga mantan anggota Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo menegaskan ada
unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar teknik pengeboran dan menyebabkan
munculnya semburan lumpur tersebut.
Bencana yang terjadi akibat bisnis eksplorasi yang tidak mengikuti etika bisnis memberikan
dampak negatif bagi para korban, baik secara langsung maupun dampak tak langsung.
Berdasarkan informasi yang diwartakan oleh CNN Indonesia pada Jumat, 29 Mei 2019, melalui
media online, telah ditetapkan DPR bahwa tragedy lumpur lapindo sebagai bencana alam dan PT
Lapindo tidak bisa dipidanakan. Sedangkan seperti yang telah dilontarkan oleh peneliti nasional
dan internasional, bahwa Bencana Lapindo ini tidak diakibatkan oleh bencana alam, melainkan
kelalaian Lapindo.
Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang terkena
jeratan hukum, dikarenakan Mahkamah Agung (MA) menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai
dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI. Walaupun
demikian, di sisi lain dari bagian pemerintahan, Sri Mulyani tidak tinggal diam dengan putusan
yang ditetapkan oleh MA, dengan menyatakan bahwa Ia akan pastikan Grup Bakrie akan
membayar hutang ganti rugi Lapindo1.
Saat ini (2019), lima korban Lapindo belum mendapatkan ganti rugi2. Bahkan LSM yang
berusaha memperjuangkan ganti rugi para korban menilai Lapindo ‘Hina’ ganti rugi bagi korban3.

1.2. Rumusan Masalah


1.3. Batasan Masalah
3 BAB II
4 LANDASAN TEORI

2.1. Dasar Etika Bisnis

Etika diambil dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak, perasaan atau cara berpikir.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan bisnis menurut KBBI memiliki arti
usaha komersial dalam dunia perdagangan. Jadi bila digabungkan, etika bisnis memiliki artian
pertimbangan baik dan buruk secara hak dan kewajiban moral dalam sebuah usaha komersial.
Adapun menurut John dan Ferrell (2008) dalam bukunya yang berjudul Business Ethics: Ethical
Decision Making and Cases, etika bisnis memiliki makna dimana dalam menjalankan bisnis perlu
adanya aturan, standar dan prinsip moral yang dapat menentukan benar atau salahnya sesuatu
dalam situasi tertentu.

2.2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta Bencana

Didalam etika bisnis termasuk diantaranya adalah etika yang memperhatikan kesehatan dan
keselamatan kerja yang tidak terbatas secara sempit hanya kepada pekerja namun juga secara luas
harus memperhatikan dampak kepada lingkungan sosial dimana kegiatan usaha tersebut berada.
Kelalaian yang terjadi dalam menjalankan standar keamanan pada kesehatan dan keselamatan
kerja dapat menjadi sebuah bencana.
Bencana sendiri menurut KBBI memilki arti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan)
kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Sedangkan menurut Quarantelli dan Dynes (1977),
bencana terbentuk ketika suatu peristiwa ekstrem terjadi melebihi kemampuan komunitas untuk
mengatasi peristiwa itu. Menurut mereka pula bencana dapat membawa beberapa dampak seperti
dampak fisik dimana didalamnya dapat berupa jatuhnya korban dan kerugian, dampak sosial,
dampak psikososial, dampak demografis, dampak ekonomi, dan dampak politik. Sehingga secara

1
Source: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190617183650-532-404001/sri-mulyani-pastikan-grup-
bakrie-bayar-utang-lapindo
2
Source: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4215669/12-tahun-menunggu-5-korban-lumpur-lapindo-
belum-terima-ganti-rugi
3
Source: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190529140201-92-399472/13-tahun-lapindo-lsm-sebut-
ganti-rugi-masih-hina-korban
etika sebuah bisnis harus dapat meminimalkan risiko bencana yang dapat memberi banyak dampak
bagi manusia dan lingkungan.

2.3. Cakupan Etika Bisnis

John Fraedrich (1986), memberikan 4 (empat) macam kegiatan yang dapat dikategorikan
sebagai cakupan etika bisnis.

a. Penerapan prinsip-prinsip etika umum pada praktek-praktek khusus dalam bisnis.


b. Etika bisnis tidak hanya menyangkut penerapan prinsip etika pada kegiatan bisnis, tetapi
merupakan “meta-etika” yang juga menyoroti apakah perilaku yang dinilai etis atau tidak
secara individu dapat diterapkan pada organisasi atau perusahaan bisnis.
c. Bidang penelaahan etika bisnis menyangkut asumsi mengenai bisnis. Dalam hal ini, etika
bisnis juga menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu
Negara pada khususnya.

d. Etika bisnis juga menyangkut bidang yang biasanya sudah meluas lebih dari sekedar etika,
seperti misalnya ; ekonomi dan teori organisasi.

2.4. Prinsip-prinsip Etika Bisnis

Sony Keraf (Keraf, 1998) mencatat beberapa hal yang menjadi prinsip dari etika bisnis.
Prinsip-prinsip tersebut dituliskan dengan tidak melupakan kekhasan sistem nilai dari masyarakat
bisnis yang berkembang. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah :
a. Prinsip otonomi.
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa manusia dapat bertindak secara bebas berdasarkan
kesadaran sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan, tetapi otonomi juga
memerlukan adanya tanggung-jawab. Artinya, kebebasan yang ada adalah kebebasan yang
bertanggung-jawab. Orang yang otonom adalah orang yang tidak saja sadar akan
kewajibannya dan bebas mengambil keputusan berdasarkan kewajibannya saja, tetapi juga
orang yang mempertanggung-jawabkan keputusan dan tindakannya, mampu bertanggung-
jawab atas keputusan yang diambilnya serta dampak dari keputusan tersebut.
b. Prinsip berbuat baik dan tidak berbuat jahat.
Berbuat baik (beneficence) dan tidak berbuat jahat (non-maleficence) merupakan prinsip
moral untuk bertindak baik kepada orang lain dalam segala bidang. Dasar prinsip tersebut
akan membangun prinsip-prinsip hubungan dengan sesama yang lain, seperti ; kejujuran,
keadilan, tanggung-jawab, dsb.
c. Prinsip keadilan
Prinsip keadilan merupakan prinsip yang menuntut bahwa dalam hubungan bisnis, seseorang
memperlakukan orang lain sesuai haknya. Didalam prinsip tersebut, tentunya keseimbangan
antara hak dan kewajiban menjadi bagian terpenting dalam sebuah bisnis.
d. Prinsip hormat pada diri sendiri
Prinsip ini sama artinya dengan prinsip menghargai diri sendiri, bahwa dalam melakukan
hubungan bisnis, manusia memiliki kewajiban moral untuk memperlakukan dirinya sebagai
pribadi yang memiliki nilai sama dengan pribadi lainnya.

2.3. Teori Utiliarisme


Teori utilitarianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika
bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. Teori etika ini
mengajarkan bahwa kita dapat menentukan kategori etis atau tidak melalui apapun kita dengan
melihat konsekuensi dari tindakan itu. Utilitarianisme biasanya diidentifikasi dengan kebijakan
"memaksimalkan kebaikan keseluruhan" atau, dalam versi yang sedikit berbeda, menghasilkan
"kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar” (Laura P Hartman, 2018). Banyak penganut
utilitarianisme menerapkan konsep ini untuk transaksi bisnis, dan untuk kepentingan orang lain
serta lingkungan baik didalam maupun diluar perusahaan. Teori turunan dari teori teologi (teori
konsekuensialis), bisa dikatakan pula bahwa “Perbuatan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
banyak orang” (Jeremy Bentham)
5 BAB III
6 GAMBARAN UMUM MASALAH

3.1. Tragedi Lumpur Lapindo Brantas


Bencana Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi
suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi area persawahan, pemukiman
penduduk dan kawasan industri. Peristiwa ini diawali dengan kegiatan PT Lapindo Brantas
yang melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006. Kegiatan tersebut
bekerjasama dengan perusahaan kontraktor pengeboran yaitu PT Medici Citra Nusantara.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter)
untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung
bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi
potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi)
dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung.

Berdasarkan dokumen rapat teknis PT Lapindo Brantas rekanan pada 18 Mei 2006. PT
Medco Energi sebagai pemegang 32% saham Lapindo (2006), telah memperingatkan agar
operator segera memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9 5/8 inci. Tetapi
hingga pengeboran mencapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 2.833,7 meter), prosedur baku
pengeboran diabaikan. Casing hanya dipasang sampai kedalaman 2.580 kaki, sisanya
hampir 1.700 meter lebih, dibiarkan bekerja tanpa casing.
Saat pengeboran mencapai kedalaman 9.279 kaki, Sabtu pagi, 27 Mei 2006, Lapindo
mengaku kehilangan lumpur atau loss. Hal tersebut terjadi karena masuknya lumpur
pengeboran yang berfungsi sebagai pelumas, dan mengangkat serpihan batu hasil
pengeboran. Kejadian tersebut ditanggulangi dengan menggunakan LCM (lost-circulation
materials) yang terdiri mineral fiber, mika/plastik dan butiran marbel, kayu, dan kulit biji
kapas.setelah itu, sumur tidak lagi kehilangan lumpur.
PT Lapindo mengira target sudah tercapai, namun sebenarnya mereka hanya menyentuh
titik luar batu gamping saja. Titik luar batu gamping tersebut banyak lubang sehingga
mengakibatkan lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur dari bawah sudah habis, lalu
PT Lapindo berusaha menarik bor, tetapi gagal, akhirnya bor dipotong dan operasi
pengeboran dihentikan serta perangkap BOP (Blow Out Proventer) ditutup. Namun fluida
yang bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sehingga fluida tersebut harus mencari
jalan lain untuk bisa keluar. Hal ini yang menyebabkan penyemburan tidak hanya terjadi di
sekitar sumur melainkan di beberapa tempat. Peristiwa inilah yang akhirnya disebut sebagai
bencana alam semburan lumpur lapindo. (Gambar tertera pada lampiran)

Berdasarkan beberapa pendapat ahli geologi, lumpur keluar disebabkan karena adanya
patahan akibat teknik pengeboran yang tidak sesuai dengan SOP sehingga berdampak pada
penyebaran lumpur hingga ke banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai
ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, luapan lumpur juga ada di Jawa Tengah
(Bledug Kuwu). (Laura P Hartman, 2018)

Keraf, D. S. (1998). Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Laura P Hartman, e. a. (2018). Business ethics, Decision Making for Personal Integrity & Social
Responsibility. New York: Mc-Graw Hill Education.

3.2. Dampak Bencana PT Lapindo


Volume lumpur yang tumpah saat itu diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter
kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Dampak
yang ditimbulkan dari semburan lumpur lapindo menyangkut beberapa aspek, seperti
dampak sosial dan pencemaran lingkungan.

Dampak pada perekonomian mengakibatkan PT Lapindo melalui PT Minarak Lapindo


Jaya mengeluarkan dana untuk mengganti tanah masyarakat dan membuat tanggul sebesar
6 Triliun Rupiah. Tinggi genangan lumpur yang mencapai 6 meter di pemukiman warga
sudah membuat warga rugi atas rumah/tempat tinggal, lahan pertaniannya dan perkebunan
yang rusak. Pabrik-pabrik pun rusak tidak bisa difungsikan untuk proses produksi, sarana
dan prasarana (jaringan telepon dan listrik) juga tidak dapat berfungsi, serta terhambatnya
ruas jalan tol Malang-Surabaya yang mengakibatkan aktivitas produksi dari Mojokerto dan
Pasuruan yang selama ini menjadi salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Berdasarkan Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi
Ganti Rugi Lahan Terdampak yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) pada bulan Februari tahun 2008, tercatat jumlah korban di area terdampak
saat itu adalah sebanyak 37.850 jiwa. Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami
perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam
terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender, relasi intergenerasi
(Fauzan dan Batubara, 2010) bahkan memori mereka (Batubara, 2009c). Mereka bahkan
mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa akibat rusaknya rumah
tinggal mereka karena tenggelam oleh lumpur.

Dampak berikutnya adalah pencemaran lingkungan, dampak ini sebenarnya sudah


berhubungan dengan dampak-dampak yang lain, dampak kesehatan misalnya. Dari
lingkungan yang lama setelah semburan lumpur tak tertanggulangi akan menimbulkan
pencemaran yang luar biasa. Pencemaran ini sungguh merugikan sekali, karena lingkungan
yang sangat berdampak dengan aktifitas manusia harus punah dan tidak bisa digunakan lagi.
Dampak-dampak yang timbul telah lama dimintai pertanggung-jawaban oleh warga. Namun
warga belum merasakan ganti rugi oleh PT Lapindo serta tindakan pemerintah atas
meluapnya lumpur panas tersebut. Akhirnya perpecahan mulai muncul antara pemerintah,
PT Lapindo Brantas dan warga korban lumpur lapindo.

Anda mungkin juga menyukai