Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ATRIAL


FIBRILASI RAPID DI RUANG ANTURIUM RSD. dr SOEBANDI
JEMBER

OLEH:
Tira Anjeli Rahmah, S.Kep
NIM 182311101104

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan pada pasien dengan Arteri Fibrasi Rapid di Ruang


Anturium Rumah Sakit Daerah dr.Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan
pada:
Hari, Tanggal : , Juli 2019
Tempat : Ruang rawat Anturium RSD dr.Soebandi Jember

Jember, Juli 2019

Mahasiswa

Tira Anjeli Rahmah, S.Kep.


NIM 182311101104

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang Anturium
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

(
NIP 19840102 201504 1 002

i
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

LAPORAN PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT ........................................................ 1


1.1 Anatomi Fisiologi .............................................................................. 1
1.2 Definisi Penyakit ................................................................................ 3
1.3 Epidemiologi ...................................................................................... 4
1.4 Etiologi ............................................................................................... 5
1.5 Patofisiologi ....................................................................................... 6
1.6 Klasifikasi .......................................................................................... 7
1.7 Manifestasi Klinis .............................................................................. 8
1.8 Pathway.............................................................................................. 10
1.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 11
1.10Penatalaksanaan ................................................................................. 12
1.11 Evidance Based ................................................................................ 13
BAB 2. PROSES KEPERAWATAN ............................................................ 15
2.1 Pengkajian .......................................................................................... 15
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin Muncul ................................. 21
2.3 Intervensi/Nursing Care Plan ............................................................ 23
2.4 Discharge Planning ........................................................................... 29
DAFTAR REFERENSI ................................................................................. 30

i
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Anatomi Jantung

Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa


darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung
manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang dengan
orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara normal
terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara sternum di sebelah anterior
dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan
dengan diafragma.

Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi eksternal


dan anatomi internal.

a. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-lapisan
pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung,
yaitu pericardium, miokardium dan endokardium. Lapisan perikardium
merupakan lapisan jantung bagian luar yang terbuat oleh jaringan ikat
yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium parietal
yang berada dibagian luar dan perikardium visceral yang berada dibagian
dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium visceral
dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer.
Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan
jantung.
Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling
tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari
3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot
atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis dibandingkan dengan
otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas
jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot
atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi yang sama,

1
sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang konduksi
jantung.
Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah
suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar yang
membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan
berhubungan langsung dengan jantung.
b. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan
kiri (atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang
dinamakan septum cordis. Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah
katup jantung, yang terdiri dari katup trikuspidalis, katup
mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar aorta.
1. Atrium Kanan

Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk


menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena kava
superior. Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena kava
superior bermuara pada dinding bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan
vena kava inferior bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium
kanan.
2. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena
akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya melewati
katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.
3. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang
berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonalis
yang bermuara pada dinding postero-posterior atau postero-lateral.
4. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi
memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai tebal

2
lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini
dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri.

5. Katup Semilunar

Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis
dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama,
tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan katup
semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara
ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi
sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun
katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra
dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner
dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.
6. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis dan
katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun katup
yang berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini adalah katup
anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium
kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak
sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis (mitral)
mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup mitral anterior dan
posterior. Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua
katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus, daun
katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam komponen ini
merupakan rangkaian unit fungsional dalam proses aliran darah, sehingga bila
terjadi gangguan pada salah satu komponen akan mengakibatkan gangguan
hemodinamik yang serius.

3
Gambar 1. Anatomi Jantung

1.2 Lapisan Jantung


Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun
secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus (Sherwood,
Lauralee, 2001). Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan berbeda, yaitu:
a. Perikardium (Epikardium)
Epi berarti “di atas”, cardia berarti “jantung”, yang mana bagian ini adalah
suatu membran tipis di bagian luar yang membungkis jantung. Terdiri dari dua
lapisan, yaitu (Setiadi, 2007):
1) Perikarduim fibrosum (viseral), merupakan bagian kantong yang membatasi
pergerakan jantung terikat di bawah sentrum tendinium diafragma, bersatu
dengan pembuluh darah besar merekat pada sternum melalui ligamentum
sternoperikardial.
2) Perikarduim serosum (parietal), dibagi menjadi dua bagian, yaitu Perikardium
parietalis membatasi perikarduim fibrosum sering disebut epikardium, dan
Perikarduim fiseral yang mengandung sedikit cairan yang berfungsi sebagai
pelumas untuk mempermudah pergerakan jantung.

4
b. Miokardium
Myo berarti “otot”, merupakan lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung,
membentuk sebagian besar dinding jantung. Serat-serat otot ini tersusun secara
spiral dan melingkari jantung (Sherwood, Lauralee, 2001). Lapisan otot ini yang
akan menerima darah dari arteri koroner (Setiadi, 2007).
c. Endokardium
Endo berarti “di dalam”, adalah lapisan tipis endothelium. Suatu jaringan epitel
unik yang melapisi bagian dalam seluruh sistem sirkulasi (Sherwood, Lauralee,
2007).

1.3 Persarafan Jantung

Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis
dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah
atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf
parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-otot
atrium.

Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis


torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan
parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan
diperantarai oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi
kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam
mengontrol irama dan menurunkan laju denyut jantung.

1.3 Vaskularisasi Jantung (Pembuluh Darah)


Pembuluh darah adalah prasarana jalan bagi aliran darah. Secara garis
besar peredaran darah dibedakan menjadi dua, yaitu peredaran darah besar yaitu
dari jantung ke seluruh tubuh, kembali ke jantung (sirkulasi sistemik), dan
peredaran darah kecil, yaitu dari jantung ke paru-paru, kembali ke jantung
(sirkulasi pulmonal).
1) Arteri
Suplai darah ke miokardium berasal dari dua arteri koroner besar yang berasal
dari aorta tepat di bawah katub aorta. Arteri koroner kiri memperdarahi sebagian

5
besar ventrikel kiri, dan arteri koroner kanan memperdarahi sebagian besar
ventrikel kanan (Setiadi, 2007).
a) Arteri Koroner Kanan
Berjalan ke sisi kanan jantung, pada sulkus atrioventrikuler kanan. Pada
dasarnya arteri koronarian kanan memberi makan pada atrium kanan,
ventrikel kanan, dan dinding sebelah dalam dari ventrikel kiri. Bercabang
menjadi Arteri Atrium Anterior Dextra (RAAB = Right Atrial Anterior
Branch) dan Arteri Coronaria Descendens Posterior (PDCA = Posterior
Descending Coronary Artery). RAAB memberikan aliran darah untuk
Nodus Sino-Atrial. PDCA memberikan aliran darah untuk Nodus Atrio-
Ventrikular (Aurum, 2007).
b) Arteri Koroner Kiri
Berjalan di belakang arteria pulmonalis sebagai arteri coronaria sinistra
utama (LMCA = Left Main Coronary Artery) sepanjang 1-2 cm.
Bercabang menjadi Arteri Circumflexa (LCx = Left Circumflex Artery)
dan Arteri Descendens Anterior Sinistra (LAD = Left Anterior Descendens
Artery). LCx berjalan pada Sulcus Atrio-Ventrcular mengelilingi
permukaan posterior jantung. LAD berjalan pada Sulcus Interventricular
sampai ke Apex. Kedua pembuluh darah ini bercabang-cabang dan
memberikan aliran darah diantara kedua sulcus tersebut (Aurum, 2007).
2) Vena
Distribusi vena koroner sesungguhnya paralel dengan distribusi arteri
koroner. Sistem vena jantung mempunyai 3 bagian, yaitu (Setiadi, 2007) :
a) Vena tabesian, merupakan sistem terkecil yang menyalurkan sebagian
darah dari miokardium atrium kanan dan ventrikel kanan.
b) Vena kardiaka anterior, mempunyai fungsi yang cukup berarti
mengosongkan sebagian besar isi vena ventrikel langsung ke atrium kanan.
c) Sinus koronarius dan cabangnya, merupakan sistem vena yang paling
besar dan paling penting, berfungsi menyalurkan pengembalian darah vena
miokard ke dalam atrium kanan melalui ostinum sinus koronaruis yang
bermuara di samping vena kava inferior.

6
1.4 Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung

a. Fisologi Jantung

Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat


adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung,
yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik (kontraksi), tetapi
tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik yang tidak melakukan
kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai fungsi dalam mencetuskan
dan menghantarkan potensial aksi.

Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik
jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung
dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi
dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga
proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk
memicu kontraksi otot jantung.

Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi pembukaan


saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan perubahan
potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv. Setelah
mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan segera menutup
yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan saluran Ca2+ terjadi
secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan influks Ca2+ dari
ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa saat,
saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K+. Pembukaan
saluran K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan
keluarnya atau effluks K+ ke ekstraseluler.

7
Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung

Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial
aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran Ca2+ secara
lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca2+ atau
kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua
mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase plateu
pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan intraseluler
(sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari
ekstraseluler.

Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan Ca2+


dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan kontraksi
otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal (miosin)
dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek tiap sarkomer.
Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan troponin akan menyebabkan stimulasi
proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca2+ yang tidak berikatan dengan
troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic reticulum dan sebagian
Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke ekstraseluler terjadi

8
karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di ekstraseluler.
Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara
aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase.

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung


b. Sistem Konduksi Jantung

Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga


menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan
elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-
ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut purkinje.
Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus sino-atrial
(Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan. Terjadinya sinyal
elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium, baik atrium kanan
ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara atrium kanan dan kiri
dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui traktus inter-atrial yang
merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA memiliki kemampuan mencetuskan
potensial elektrik (pacemaker) tercepat bila dibandingkan dengan sistem konduksi
jantung yang lain, yaitu sebesar 60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini
menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol utama rangsangan elektrik jantung
(overdrive pacemaker) dan mengendalikan sistem konduksi jantung.

9
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :

1) Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi


ventrikel dimulai
2) Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
3) Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.

Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus atrio-


ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui traktus
internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV merupakan satu-
satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan ventrikel. Disamping
itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan mencetuskan potensial elektrik
(pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-60 potensial aksi/menit. Hal ini
memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol dan pengendali sistem konduksi
jantung apabila terjadi blok pada rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis,
nodus AV sebenarnya memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu
sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam
memberikan waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu
dalam proses mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu
pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi.

Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his


sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal
dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke
ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang
kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle branch)
merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai struktur tunggal
di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian RBB akan terbagi

10
menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian
RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju
bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman
purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri
(LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur
percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian
masing-masing percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti
pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju
ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat.
Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga
keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan
ventrikel kiri.

Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung

11
1.4 Definisi Atrial Fibrilasi (AF)

Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum
(ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan irama denyut jantung iregular dan
peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan
aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik
atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung.

Dari gambaran elektrokardiogram AF dapat dikenali dengan absennya


gelombang P, yang diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara 400-700 permenit
dengan berbagai bentuk, ukuran, jarak dan waktu timbulnya yang dihubungkan
dengan respon ventrikel yang cepat dan tidak teratur bila konduksi AV masih
utuh. Irama semacam ini sering disebutsebagai gelombang “f”.

1.5 Etiologi Atrial Fibrilasi (AF)


1. Penyebab penyakit kardiovaskuler
a. Penyakit jantung iskemik
b. Hipertensi kronis
c. Kelainan katup mitral (stenosis mitral)
d. Perikarditis
e. Kardiomiopati, gagal jantung, Sindrome WPW, dan LVH
f. Tumor intracardiac
2. Penyebab non kardiovaskuler
a. Kelainan metabolik :
- Tiroksikosis
- Alkohol akut/kronis
b. Penyakit pada paru
- Emboli paru
- Pneumonia
- PPOM
- Kor pulmonal

12
c. Gangguan elektrolit : Hipokalemia, Magnesium, dan Calsium
d. Simpatomimetik obat-obatan dan listrik
1.6 Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal
diantaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi,
berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan
bentuk gelombang P. Beberapa kepustakaan tertulis ada beberapa sistem
klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
a. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit.
b. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari
60 kali permenit.
c. Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100
kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi :
a. AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark
miokard akut).
b. AF dengan hemodinamik stabil.
3. Klasifikasi menurut American Heart Association (AHA), atrial fibriasi (AF)
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
a. AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih
kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya
kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
c. AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke
irama sinus.

13
d. AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten).
1.6 Patofisiologi
Adanya regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding
atrium diantara vena pulmonalis atau vena cava junctions merupakan pencetus
AF. Daerah ini dalam keadaan normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron,
namun pada regangan akut dan aktifitas impuls yang cepat, dapat menyebabkan
timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered. Triggered yang
dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkaran-
lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple.
Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat (multiple)
dan berukuran mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam
berbagai ukuran dengan amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias).
Berbeda halnya dengan flutter atrium yang merupakan suatu lingkaran reentry
yang makro dan tunggal di dalam atrium (macroreentrant tachycardias).
AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan
muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya
lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan
terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry.
Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik
(electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan
ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring terjadinya
perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
Atrium tidak adekuat memompa darah selama AF berlangsung. Walaupun
demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan
efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena
itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat
hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium,
walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. Atrial
fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari

14
biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi
sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium
kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. trombus ini meningkatkan resiko
terjadinya stroke emboli dan gangguan hemostasis. Kelainan tersebut mungkin
akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya
tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von
Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. AF
akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya AF.
1.7 Manifestasi Klinis
1. Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau
“berdebar” dalam dada).
2. Perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada).
3. Sesak napas/dispnea.
4. Pusing, atau sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat
peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik ventrikel.
5. Kelelahan, kelemahan/kesulitan berolahraga/beraktifitas.

Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik (National


Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Trombus dapat terbentuk
dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi
atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga atrial
fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke (Philip and
Jeremy, 2007).
1.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik :
a. Tanda vital : Denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan
darah, dan pernapasan meningkat.
b. Tekanan vena jugularis.

15
c. Ronkhi pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif.
d. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung.
e. Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan.
f. Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif.
2. Laboratorium :
a. Darah rutin : Hb, Ht, Trombosit.
b. TSH (Penyakit gondok)
c. Enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung.
d. Elektrolit : K, Na, Ca, Mg.
e. PT/APTT.
3. Pemeriksaan EKG :
Merupakan standar baku cara diagnostik AF
a. Irama EKG umumnya tidak teratur dengan frekuensi bervariasi (bisa
normal/lambat/cepat). Jika kurang dari 60x/menit disebut atrial fibrilasi
slow ventricular respons (SVR), 60-100x/menit disebut atrial fibrilasi
normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika >100x/menit
disebut atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR).
b. Gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat
dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan.
c. Interval segmen PR tidak dapat diukur.
d. Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat
4. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOM, kor
pulmonal.
5. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium
dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow.
6. TEE ( Trans Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium
kiri.

16
1.9 Penatalaksanaan
AF paroksimal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan
pada kontrol aritmianya (rhytm control). Namun pada pasien dengan AF yang
persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba
mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju
denyut ventrikular (rate control) saja. Terdapat 3 kategori tujuan perawatan AF
yaitu :
1. Terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli
2. Mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal
3. Memperbaiki irama yang tidak teratur.

Berikut penatalaksanaan AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) RS


Harapan Kita Edisi III 2009, yaitu:

1. Farmakologi
a. Rhythm control. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama
sinus / irama jantung yang normal. Diberikan anti-aritmia gol. I
(quinidine, disopiramide dan propafenon). Untuk gol.III dapat
diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi
dengan DC shock.
b. Rate control. Rate control bertujuan untuk mengembalikan /
menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan obat-obat yang
bekerja pada AV node seperti : digitalis, verapamil, dan obat
penyekat beta (β bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat
dipakai untuk rate control.
c. Profilaksis tromboemboli. Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan
AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan anti- koagulan untuk
mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai
kontraindikasi terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet.
2. Non-farmakologi
a. Kardioversi. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan
pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder,

17
seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu.
Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan
antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3
minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat
emboli. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila
sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan
transesofageal ekhokardiografi.
b. Pemasangan pacu jantung (pacemaker). Beberapa tahun belakangan
ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu
jantung yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian
menunjukkan bahwa pacu jantung kamar ganda (dual chamber),
terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu
jantung kamar tunggal (single chamber).
c. Ablasi kateter. Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE
procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter difokuskan pada vena-
vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV
dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu
jantung permanen.
1.10 Komplikasi
1. Cardiac arrest / gagal jantung
2. Stroke
3. Demensia

18
1.11 Pathway

Faktor usia, obat-obatan Kardiomiopati,


(alkohol), keturunan/genetik tumor intracardiac Pericarditis,miocarditis

Kelainan katup atrium

Resistensi atrium dextra

Suplai O2 otak menurun


Vol. Atrium meningkat

Sinkop palpitasi
Pengosongan atrium inadekuat

ADL menurun Atrium fibrilasi (AF) Sesak nafas

Tachicardi supraventrikel dextra


Pola nafas tidak efektif

Pengisian darah ke paru-paru menurun

Renal flow menurun Atrial flow velocities menurun Suplai darah jaringan
menurun
RAA meningkat Trombus atrium sinistra
Metabolisme anaerob

Disfungsi ventrikel
sinistra
Aldosteron meningkat
Asidosis metabolik

ADH meningkat Penurunan curah jantung

Penimbunan as. Laktat


Retensi Na+ + H2o Gagal jantung kongesti & ATP menurun

Kelebihan vol. cairan fatigue

Intoleransi aktivitas

19
1

BAB 2. PROSES KEPERAWATAN


2.1 Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan berlebihan.Temuan fisik
berupa disritmia, perubahan tekanan darah dan denyut jantung saa aktivitas.
b. Sirkulasi
Melaporkan adanya riwayat penyakit jantung koroner (90 -95 % mengalami
disritmia), penyakit katup jantung, hipertensi, kardiomiopati, dan CHF.
Riwayat insersi pacemaker. Nadi cepat/lambat/tidak teratur, palpitasi.
Temuan fisik meliputi hipotensi atau hipertensi selama episode disritmia.
Nadi ireguler atau denyut berkurang. Auskultasi jantung ditemukan adanya
irama ireguler, suara ekstrasisitole. Kulit mengalami diaforesis, pucat,
sianosis. Edema dependen, distensi vena jugularis, penurunan urine output.
c. Neurosensori
Keluhan pening hilang timbul, sakit kepala, pingsan. Temuan fisik : status
mental disorientasi, confusion, kehilangan memori, perubahan pola bicara,
stupor dan koma. Letargi (mengantuk), gelisah, halusinasi; reaksi pupil
berubah. Reflek tendon dalam hilang menggambarkan disritmia yang
mengancam jiwa (ventrikuler tachicardi atau bradikardia berat).
d. Kenyamanan
Keluhan nyeri dada sedang dan berat (infark miokard) tidak hilang dengan
pemberian obat anti angina. Temuan fisik gelisah.
e. Respirasi
Keluhan sesak nafas, batuk, (dengan atau tanpa sputum ), riwayat penyakit
paru, riwayat merokok. Temuan fisik perubahan pola nafas selam periode
disritmia. Suara nafas krekels mengindikasikan oedem paru atau fenomena
thromboemboli paru.
f. Cairan dan Nutrisi
2

Keluhan berupa intoleransi terhadap makanan, mual, muntah. Temuan fisik


berupa tidak nafsu makan, perubahan turgor atau kelembapan kulit.
Perubahan berat badan akibat odema.
g. Apakah ada riwayat pengguna alkohol.
h. Keamanan : Temuan fisik berupa hilangnya tonus otot.
i. Psikologis : Merasa cemas, takut, menarik diri, marah, menangis, dan mudah
tersinggung.
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan kontraktilitas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveolus.
3. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan
4. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan/kelelahan.
3

2.2 Intervensi/Nursing Care Plan


No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Penurunan curah jantung Tujuan: Cardiac Care
berhubungan dengan Setelah dilakukan perawatan x24 jam penurunan 1. Evaluasi adanya nyeri dada ( intensitas,lokasi,
gangguan kontraktilitas curah jantung teratasi durasi)
Kriteria Hasil: 2. Catat adanya disritmia jantung
1. Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
darah, Nadi, respirasi) cardiac putput
2. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan 4. Monitor status kardiovaskuler
3. Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada 5. Monitor status pernafasan yang menandakan
asites gagal jantung
4. Tidak ada penurunan kesadaran 6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan
perfusi
7. Monitor balance cairan
8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
9. Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan antiaritmia
10. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
11. Monitor toleransi aktivitas pasien
12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
ortopneu
13. Anjurkan untuk menurunkan stress

Vital Sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
4

berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor adanya pulsus paradoksus
8. Monitor adanya pulsus alterans
9. Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Gangguan pertukaran gas Tujuan: Airway Management
Setelah dilakukan perawatan x24 tidak terdapat 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
berhubungan dengan
gangguan pertukaran gas. jaw thrust bila perlu
perubahan membran Kriteria Hasil: 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
1. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan ventilasi
kapiler-alveolus.
oksigenasi yang adekuat 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
2. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari jalan nafas buatan
tanda tanda distress pernafasan 4. Pasang mayo bila perlu
3. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
dengan mudah, tidak ada pursed lips) tambahan
4. Tanda tanda vital dalam rentang normal 8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
6

3. Nyeri berhubungan dengan Tujuan: 2210. Pemberian Analgesik


iskemia jaringan Setelah dilakukan perawatan x24 tidak terdapat1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
gangguan pertukaran gas. keparahan nyeri sebelum mengobati klien
Kriteria Hasil: 2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
1605. Kontrol Nyeri dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
1. Mengenali kapan nyeri terjadi dari skala 1 menjadi
3. Cek adanya riwayat alergi obat
skala 3 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
2. Menggambarkan faktor penyebab nyeri dari skala pemberian analgesik
1 menjadi skala 3 5. Berikan analgesik sesuai dengan waktu
3. Menggunakan tindakan pengurangan nyeri (tanpa paruhnya
analgesik) dari skala 1 menjadi skala 3 1400. Manajemen Nyeri
4. Melaporkan nyeri terkontrol dari skala 1 menjadi 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif dengan
skala 4 teknik PQRST
2102. Tingkat Nyeri 2. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
1. Nyeri yang dilaporkan dari skala 1 menjadi skala 4 mengetahui pengalaman nyeri
2. Ekspresi wajah nyeri dari skala 1 menjadi skala 33. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi dari ketidaknyamanan
akibat prosedur
4. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
5. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan tepat.
6. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan
tim kesehatan lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan penurunan
nyeri sesuai kebutuhahan.
4 Aktivitas intoleran Tujuan: NIC :
berhubungan dengan : Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam Energy Management
7

Ketidak seimbangan antar diharapkan klien dapat melakukan aktivitas secara 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
suplai okigen. mandiri melakukan aktivitas
Kriteria Hasil: 2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai terhadap keterbatasan
peningkatan tekanan darah, nadi dan RR 3. Kaji adanya factor yang menyebabkan
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) kelelahan
secara mandiri 4. Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik
dan emosi secara berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler terhadap
aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien

Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
Medik dalammerencanakan progran terapi
yang tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
8

6. Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang


disukai
7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
diwaktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual

4. Gangguan pola tidur Tujuan: 1850. Peningkatan Tidur


(000198) berhubungan Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam 1. Kaji pola tidur dan aktivitas klien.
dengan gangguan diharapkan klien tidak mengalami gangguan pola tidur
2. Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama
kenyamanan fisik dengan klien sakit.
Kriteria Hasil: 3. Monitor/catat waktu dan pola tidur klien.
1. Memiliki jam tidur yang teratur 4. Atur lingkungan (misalnya pencahayaan, suara
2. Memiliki pola tidur yang teratur berisik, suhu, kasur, dan tempat tidur) untuk
3. Mengalami tidur yang berkualitas mempermudahkan klien tidur.
4. Merasa segar kembali setelah tidur 5. Minta klien untuk menghindari makanan atau
5. Bangun pada waktu yang tepat minuman yang dapat mempengaruhi tidur.
6. Berikan lingkungan yang nyaman dengan
melakukan pijatan, posisi yang tepat dan
sentuhan afektif.
7. Berikan obat yang dapat membantu klien tidur.
5. Resiko Infeksi (00004) Tujuan: 6540. Kontrol Infeksi
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi selama x24 jam 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan
9

tindakan invasif diharapkan kondisi klien dapat menunjukkan perawatan klien


Kriteria Hasil: 2. Ganti IV perifer dan tempat saluran penghubung
1. Klien dapat secara konsisten dapat serta balutannya sesuai dengan pedoman CDC
mengidentifikasi faktor risiko infeksi saat ini
2. Tanda dan gejala infeksi teridentifikasi 3. Pastikan tekhnik perawatan luka yang tepat
3. Perubahan status kesehatan termonitor dengan 4. Berikan terapi antibiotic yang sesuai
baik 5. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai
bagaimana menghindari infeksi
6. Batasi jumlah pengunjung
7. Dorong untuk beristirahat
8. Defisiensi pengetahuan NOC NIC
(00126) Pengetahuan: proses penyakit (1803) Pengajaran: individu (5606)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 1. Bina hubungan baik
jam pasien memiliki pengetahuan yang baik dengan 2. Pertimbangan kesiapan pasien untuk belajar
kriteria hasil: 3. Tentukan kemampuan pasien untuk mempelajari
1. Memahami karakter spesifik penyakit informasi (tingkat pengetahuan, status fisiologi,
2. Memahami faktor penyebab penyakit kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, dan
3. Faktor resiko adaptasi terhadap penyakit)
4. Etiologi fisiologi penyakit 4. Berikan lingkungan yang kondusif
5. Tanda dan gejala penyakit Pengajaran: proses penyakit (5602)
6. Proses perjalanan penyakit 5. Kaji tingkat pengetahuan terkait dengan proses
7. Strategi meminimalkan perkembangan penyakit penyakit
6. Jelaskan mengenai penyakit yang dialami
7. Jelaskan tanda dan gejala yang umum terjadi
pada penyakit pasien
8. Identifikasi perubahan kondisi fisik pasien
9. Berikan informasi kepada pasien sesuai dengan
yang dibutuhkan
10
2.4 Discharge Planning
1. Anjurkan pada pasien untuk hindari aktivitas yang bisa memperburuk
keadaan selama di rawat.
2. Anjurkan kepada pasien hindari makanan dan minuman yang dapat
memperlambat proses penyembuhan selama dirawat.
3. Anjurkan kepada pasien tidak melakukan aktivitas berlebih di rumah.
4. Anjurkan pada pasien untuk memperhatikan pola makan dan minum di
rumah.
5. Anjurkan pada pasien untuk berhenti merokok atau minum beralkohol
kalau pasien seorang perokok atau peminum.
Anjurkan pada pasien untuk mengkonsumsi obat yang diberikan sesuai dosis.
DAFTAR REFERENSI

Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship


between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient
with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation
Journal 67.

Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial
fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3):
792–7.

"Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-


12-

Archived from the original on 2009-03-28.

Mappahya AA. Atrium Fibrilation Theraphy To Prevent Stroke: A Review. The


Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-
489.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.

Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation


mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac.
Surg. 61 (2): 755–9.

Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.

Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1996.

Emergency Cardiovascular Care Program, Advanced Cardiac Life Support,


1997-1999, American Heart Association.

Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
Volume 2. Jakarta: EGC, 2001.

Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic


assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
ANALISIS PICO (Problem, Intervention, Conparative, Outcome)

1. Problem (Masalah Yang Ditemukan Di Tempat Praktek)

Berdasarkan jurnal yang ditemukan terkait penyakit atrial fibrilation.


Penyakit atrial fibrilation dapat meningkatkan risiko stroke pada individu yang
tidak mendapatkan terapi anti koagulan. Selain itu, penyakit ini menyebabkan
terbatasnya aktivitas harian, kecemasan, dan perawatan yang terus menerus di
rumah sakit pada pasien.oleh karena itu, tenaga medis diharapkan dapat
mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup, menghemat biaya pengobatan,
dan mengubah gaya hidup pasien terutama pada pasien atrial fibrilation rapid.
3.1.2 Intervention

Tenaga medis berperan penting dalam intervensi manajement diri pasien.


Intervensi yang dilakukan termasuk solusi atau penanganan, model dan strategi
yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit
kronis. Intervensi yang dilakukan dengan cara memberikan edukasi terkait gaya
hidup termasuk diet, menghindari alkohol, rokok, kafein dan mengontrol tekanan
darah dari kolesterol. Intervensi manajemen diri yang dilakukan berupa edukasi,
dan konsultasi atau folowup melalui telfon dpatmeningkatkan berbagai aspek
gaya hidup pada pasien denga atrial fibrilasi. Sehingga, dpat membantu tenaga
medis, mencegah masalah fisik, psikologis dan sosial yang berefek negatif pada
gaya hidup pasien

3.1.3 Comparation Intervension


Tindakan yang dapat dilakukan di ruangan pasien.
3.1.4 Outcome
Hasil pada jurnal terdapat peningkatan asupan nutrisi, aktivitas fisik, manajemen
stres, kepercayaan pasien dengan perawat dan peningkatan spirritual pasien secara
signifikan. Perawat sebagai edukator merupakan peran penting dalam
meningkatkan manajemen diri pada pasien.
Hasil studi dapat menurunkan asupan lemak dan peningkatan aktivitas fisik. Studi
lain menunjukkn bahwa intervensi manajemen diri dapat mengubah gaya hidup
pasien.

Anda mungkin juga menyukai