OLEH:
Tira Anjeli Rahmah, S.Kep
NIM 182311101104
i
LEMBAR PENGESAHAN
Mahasiswa
(
NIP 19840102 201504 1 002
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
i
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT
a. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-lapisan
pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung,
yaitu pericardium, miokardium dan endokardium. Lapisan perikardium
merupakan lapisan jantung bagian luar yang terbuat oleh jaringan ikat
yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium parietal
yang berada dibagian luar dan perikardium visceral yang berada dibagian
dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium visceral
dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer.
Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan
jantung.
Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling
tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari
3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot
atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis dibandingkan dengan
otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas
jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot
atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi yang sama,
1
sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang konduksi
jantung.
Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah
suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar yang
membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan
berhubungan langsung dengan jantung.
b. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan
kiri (atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang
dinamakan septum cordis. Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah
katup jantung, yang terdiri dari katup trikuspidalis, katup
mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar aorta.
1. Atrium Kanan
2
lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini
dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri.
5. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis
dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama,
tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan katup
semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara
ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi
sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun
katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra
dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner
dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.
6. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis dan
katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun katup
yang berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini adalah katup
anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium
kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak
sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis (mitral)
mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup mitral anterior dan
posterior. Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua
katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus, daun
katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam komponen ini
merupakan rangkaian unit fungsional dalam proses aliran darah, sehingga bila
terjadi gangguan pada salah satu komponen akan mengakibatkan gangguan
hemodinamik yang serius.
3
Gambar 1. Anatomi Jantung
4
b. Miokardium
Myo berarti “otot”, merupakan lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung,
membentuk sebagian besar dinding jantung. Serat-serat otot ini tersusun secara
spiral dan melingkari jantung (Sherwood, Lauralee, 2001). Lapisan otot ini yang
akan menerima darah dari arteri koroner (Setiadi, 2007).
c. Endokardium
Endo berarti “di dalam”, adalah lapisan tipis endothelium. Suatu jaringan epitel
unik yang melapisi bagian dalam seluruh sistem sirkulasi (Sherwood, Lauralee,
2007).
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis
dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah
atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf
parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-otot
atrium.
5
besar ventrikel kiri, dan arteri koroner kanan memperdarahi sebagian besar
ventrikel kanan (Setiadi, 2007).
a) Arteri Koroner Kanan
Berjalan ke sisi kanan jantung, pada sulkus atrioventrikuler kanan. Pada
dasarnya arteri koronarian kanan memberi makan pada atrium kanan,
ventrikel kanan, dan dinding sebelah dalam dari ventrikel kiri. Bercabang
menjadi Arteri Atrium Anterior Dextra (RAAB = Right Atrial Anterior
Branch) dan Arteri Coronaria Descendens Posterior (PDCA = Posterior
Descending Coronary Artery). RAAB memberikan aliran darah untuk
Nodus Sino-Atrial. PDCA memberikan aliran darah untuk Nodus Atrio-
Ventrikular (Aurum, 2007).
b) Arteri Koroner Kiri
Berjalan di belakang arteria pulmonalis sebagai arteri coronaria sinistra
utama (LMCA = Left Main Coronary Artery) sepanjang 1-2 cm.
Bercabang menjadi Arteri Circumflexa (LCx = Left Circumflex Artery)
dan Arteri Descendens Anterior Sinistra (LAD = Left Anterior Descendens
Artery). LCx berjalan pada Sulcus Atrio-Ventrcular mengelilingi
permukaan posterior jantung. LAD berjalan pada Sulcus Interventricular
sampai ke Apex. Kedua pembuluh darah ini bercabang-cabang dan
memberikan aliran darah diantara kedua sulcus tersebut (Aurum, 2007).
2) Vena
Distribusi vena koroner sesungguhnya paralel dengan distribusi arteri
koroner. Sistem vena jantung mempunyai 3 bagian, yaitu (Setiadi, 2007) :
a) Vena tabesian, merupakan sistem terkecil yang menyalurkan sebagian
darah dari miokardium atrium kanan dan ventrikel kanan.
b) Vena kardiaka anterior, mempunyai fungsi yang cukup berarti
mengosongkan sebagian besar isi vena ventrikel langsung ke atrium kanan.
c) Sinus koronarius dan cabangnya, merupakan sistem vena yang paling
besar dan paling penting, berfungsi menyalurkan pengembalian darah vena
miokard ke dalam atrium kanan melalui ostinum sinus koronaruis yang
bermuara di samping vena kava inferior.
6
1.4 Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung
a. Fisologi Jantung
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik
jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung
dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi
dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga
proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk
memicu kontraksi otot jantung.
7
Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung
Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial
aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran Ca2+ secara
lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks Ca2+ atau
kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat dua
mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase plateu
pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan intraseluler
(sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari
ekstraseluler.
8
karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di ekstraseluler.
Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara
aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase.
9
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
10
menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian
RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju
bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman
purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri
(LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur
percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian
masing-masing percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti
pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju
ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat.
Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga
keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan
ventrikel kiri.
11
1.4 Definisi Atrial Fibrilasi (AF)
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum
(ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan irama denyut jantung iregular dan
peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan
aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik
atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung.
12
c. Gangguan elektrolit : Hipokalemia, Magnesium, dan Calsium
d. Simpatomimetik obat-obatan dan listrik
1.6 Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal
diantaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi,
berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan
bentuk gelombang P. Beberapa kepustakaan tertulis ada beberapa sistem
klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
a. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit.
b. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari
60 kali permenit.
c. Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100
kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi :
a. AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark
miokard akut).
b. AF dengan hemodinamik stabil.
3. Klasifikasi menurut American Heart Association (AHA), atrial fibriasi (AF)
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
a. AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih
kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya
kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
c. AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke
irama sinus.
13
d. AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten).
1.6 Patofisiologi
Adanya regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding
atrium diantara vena pulmonalis atau vena cava junctions merupakan pencetus
AF. Daerah ini dalam keadaan normal memiliki aktifitas listrik yang sinkron,
namun pada regangan akut dan aktifitas impuls yang cepat, dapat menyebabkan
timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered. Triggered yang
dijalarkan kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkaran-
lingkaran gelombang reentry yang pendek (wavelets of reentry) dan multiple.
Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat (multiple)
dan berukuran mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam
berbagai ukuran dengan amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias).
Berbeda halnya dengan flutter atrium yang merupakan suatu lingkaran reentry
yang makro dan tunggal di dalam atrium (macroreentrant tachycardias).
AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan
muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya
lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan masa refrakter dan
terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry.
Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik
(electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan
ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring terjadinya
perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
Atrium tidak adekuat memompa darah selama AF berlangsung. Walaupun
demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan
efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena
itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat
hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium,
walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. Atrial
fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari
14
biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi
sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium
kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. trombus ini meningkatkan resiko
terjadinya stroke emboli dan gangguan hemostasis. Kelainan tersebut mungkin
akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya
tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von
Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. AF
akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh
lamanya AF.
1.7 Manifestasi Klinis
1. Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau
“berdebar” dalam dada).
2. Perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada).
3. Sesak napas/dispnea.
4. Pusing, atau sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat
peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik ventrikel.
5. Kelelahan, kelemahan/kesulitan berolahraga/beraktifitas.
15
c. Ronkhi pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif.
d. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung.
e. Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan.
f. Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif.
2. Laboratorium :
a. Darah rutin : Hb, Ht, Trombosit.
b. TSH (Penyakit gondok)
c. Enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung.
d. Elektrolit : K, Na, Ca, Mg.
e. PT/APTT.
3. Pemeriksaan EKG :
Merupakan standar baku cara diagnostik AF
a. Irama EKG umumnya tidak teratur dengan frekuensi bervariasi (bisa
normal/lambat/cepat). Jika kurang dari 60x/menit disebut atrial fibrilasi
slow ventricular respons (SVR), 60-100x/menit disebut atrial fibrilasi
normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika >100x/menit
disebut atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR).
b. Gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat
dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan.
c. Interval segmen PR tidak dapat diukur.
d. Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat
4. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOM, kor
pulmonal.
5. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium
dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow.
6. TEE ( Trans Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium
kiri.
16
1.9 Penatalaksanaan
AF paroksimal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan
pada kontrol aritmianya (rhytm control). Namun pada pasien dengan AF yang
persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba
mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju
denyut ventrikular (rate control) saja. Terdapat 3 kategori tujuan perawatan AF
yaitu :
1. Terapi profilaksis untuk mencegah tromboemboli
2. Mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal
3. Memperbaiki irama yang tidak teratur.
1. Farmakologi
a. Rhythm control. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama
sinus / irama jantung yang normal. Diberikan anti-aritmia gol. I
(quinidine, disopiramide dan propafenon). Untuk gol.III dapat
diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi
dengan DC shock.
b. Rate control. Rate control bertujuan untuk mengembalikan /
menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan obat-obat yang
bekerja pada AV node seperti : digitalis, verapamil, dan obat
penyekat beta (β bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat
dipakai untuk rate control.
c. Profilaksis tromboemboli. Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan
AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan anti- koagulan untuk
mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai
kontraindikasi terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet.
2. Non-farmakologi
a. Kardioversi. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan
pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder,
17
seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu.
Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan
antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3
minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat
emboli. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila
sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan
transesofageal ekhokardiografi.
b. Pemasangan pacu jantung (pacemaker). Beberapa tahun belakangan
ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu
jantung yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian
menunjukkan bahwa pacu jantung kamar ganda (dual chamber),
terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu
jantung kamar tunggal (single chamber).
c. Ablasi kateter. Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE
procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter difokuskan pada vena-
vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV
dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu
jantung permanen.
1.10 Komplikasi
1. Cardiac arrest / gagal jantung
2. Stroke
3. Demensia
18
1.11 Pathway
Sinkop palpitasi
Pengosongan atrium inadekuat
Renal flow menurun Atrial flow velocities menurun Suplai darah jaringan
menurun
RAA meningkat Trombus atrium sinistra
Metabolisme anaerob
Disfungsi ventrikel
sinistra
Aldosteron meningkat
Asidosis metabolik
Intoleransi aktivitas
19
1
berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor adanya pulsus paradoksus
8. Monitor adanya pulsus alterans
9. Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Gangguan pertukaran gas Tujuan: Airway Management
Setelah dilakukan perawatan x24 tidak terdapat 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
berhubungan dengan
gangguan pertukaran gas. jaw thrust bila perlu
perubahan membran Kriteria Hasil: 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
1. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan ventilasi
kapiler-alveolus.
oksigenasi yang adekuat 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
2. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari jalan nafas buatan
tanda tanda distress pernafasan 4. Pasang mayo bila perlu
3. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
dengan mudah, tidak ada pursed lips) tambahan
4. Tanda tanda vital dalam rentang normal 8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
6
Ketidak seimbangan antar diharapkan klien dapat melakukan aktivitas secara 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
suplai okigen. mandiri melakukan aktivitas
Kriteria Hasil: 2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai terhadap keterbatasan
peningkatan tekanan darah, nadi dan RR 3. Kaji adanya factor yang menyebabkan
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) kelelahan
secara mandiri 4. Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik
dan emosi secara berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler terhadap
aktivitas
7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien
Activity Therapy
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
Medik dalammerencanakan progran terapi
yang tepat.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
dan social
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
8
Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial
fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3):
792–7.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.
Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1996.
Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
Volume 2. Jakarta: EGC, 2001.