Anda di halaman 1dari 17

Pemphigus vulgaris

Definisi

Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang

bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula

pada epidermis (Murtiastutik et al, 2011). Kata pemphigus diambil dari bahasa

Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan

dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh Wichman

pada tahun 1971 (Zeina, 2008). Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula

autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara histologis

berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan

antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun

sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit (Stanley,

2012).

Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit

erupsi bula di kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit bulosa

pun diklasifikasikan dengan lebih tepat (Zeina, 2011). Pada tahun 1964, penelitian

menunjukkan adanya anti-skin antibodies yang ditemukan pada pasien-pasien

pemfigus yang diketahui dari pengecatan imunofloresensi tak langsung. Sejak itu,

dengan adanya perkembangan teknik imunofloresensi imunologis, antigen yang

menyebabkan penyakit ini pun berhasil diidentifikasi. Perkembangan medis ini

tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam memahami patogenesis

pemfigus tetapi juga mengarahkan pada perkembangan protein rekombinan , yang


diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) untuk

diagnosis pemfigus (Chan, 2002).

Etiologi

Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan

perbandingan yang sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan

jarang terjadi pada anak-anak. Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih

banyak terjadi pada usia muda. Ras Yahudi, terutama Yahudi Ashkenazi memiliki

kerentanan terhadap pemfigus vulgaris. Di Afrika Selatan, pemfigus vulgaris lebih

banyak terjadi pada populasi India daripada warga kulit hitam dan kaukasia.

Kasus pemfigus lebih jarang ditemukan di negara-negara barat (Wojnarowska dan

Venning, 2010).

Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga

generasi pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini

daripada kelompok kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi yang

lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien

pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1

0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan

struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan

pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein

tertentu juga memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya menambah

efek yang diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat disebabkan

pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam pemrosesan pada

antigen HLA kelas I (Wojnarowska dan Venning, 2010).


Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam gambar

berikut ini :

Gambar 2.1 Klasifikasi Pemfigus

Identifikasi target antigen spesifik untuk autoantibodi pada penyakit bula

autoimun melibatkan penelitian mengenai berbagai komponen desmosome dan

kompleks adhesi yang menghubungkan dermis-epidermis. Pemfigus dapat terjadi

pada pasien yang memiliki berbagai jenis gangguan lainnya yang

dikarakteristikkan dengan gangguan iminologis tertentu. Timoma atau miastenia

gravis dilaporkan terdapat pada beberapa pasien pemfigus. Pemfigus juga dapat

terjadi pada pasien lupus eritematosus. Pemfigus dilaporkan terjadi pada pasien

dengan penyakit limfoproliferatif seperti tumor Castleman. DNA virus terdeteksi

pada beberapa biopsy kulit atau sel mononuclear dari sampel darah perifer pasien
pemfigus dan dapat muncul bersamaan dengan infeksi HIV. Penelitian

epidemiologis pada pasien pemfigus vulgaris di Iran menunjukkan adanya

korelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi oral dan paparan pestisida serta

kemungkinan efek protektif dari kebiasaan merokok terhadap kejadian pemfigus

vulgaris (Wojnarowska dan Venning, 2010).

Epidemiologi

Insidensi

Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2

kasus per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari

seluruh kasus pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di

negara-negara timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah

(Wojnarowska dan Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi

keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini

merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina,

2011). Predominansi etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF).

Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi, Timur

Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di

New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di Iran 12:1,

sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1. Insidensi pemfigus

vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan

1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000

populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis

dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun (Stanley, 2012).
Mortalitas dan Morbidias

Pemfigus vulgarisadalah penyakit mukokutaneus autoimun yang

berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien

pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada umumnya,

Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi.

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum steroid

sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit penyerta.

Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan

pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-

70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula

dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas

penderita (Zeina, 2011).

Patofisiologi

Struktur Desmosom

Penting untuk terlebih dahulu memahami fungsi desmosom untuk dapat

selanjutnya memahami patofisiologi pemfigus vulgaris. Desmosom (atau maculae

adherens) merupakan organel yang bertanggung jawab terhadap perlekatan

antarsel pada keratinosit. Bagian ekstraselulernya, yaitu desmoglea, tersusun dari

glikoprotein perlekatan transmembran yang merupakan bagian dari cadherin,

meliputi desmoglein dan desmocollin. Bagian intraseluler, plak desmosomal,

memiliki dua kelompok protein. Kelompok pertama adalah kelompok plakin

(desmoplakin, envoplakin, periplakin, plectin), yang berikatan pada filamen

sitokeratin). Kelompok kedua adalah plakoglobin dan plakofilin, yang berikatan


pada area intraseluler cadherin. Antibodi pemfigus berikatan dengan antigen pada

desmosom dan menyebabkan akantolisis (Chan, 2002).

Gambar berikut ini menunjukkan ilustrasi komponen molekuler pada

keratinosit yang terdiri dari desmosom, desmoplakin, Dsg1, Dsg3, N. amino

terminal, plakoglobin, plakophilin.

Antibodi Pemfigus Vulgaris

Antibodi terbanyak pada penyakit pemfigus vulgaris bersifat melawan

Dsg3. Antibodi pemfigus berikatan dengan domain ekstraseluler pada region

amino terminal Desmoglein 3 (Dsg3) yang secara langsung mempengaruhi

cadherin desmosomal. Desmoglein 3 ditemukan pada desmosom dan semua

membran sel keratinosit, terutama bagian bawah epidermis dan paling kuat

diekspresikan pada mukosa bukal serta kulit kepala. Sebaliknya, pola ekspresi

antigen desmoglein 1 (Dsg1) yang banyak dijumpai pada pemfigus foliaseus

banyak ditemukan di epidermis, terutama lapisan atas dan terekspresi dengan

sangat lemah pada mukosa (Wojnarowska dan Venning, 2010). Adanya antibodi

terhadap Dsg1 dn Dsg3 berhubungan dengan manifestasi klinis berupa lesi

mukokutaneus, jika autoantibodi hanya melawan Dsg3, lesi dominan terdapat

pada mukosa. Baik autoimunitas humoral maupun seluler penting dalam

patogenesis lesi kulit. Antibodi dapat mengakibatkan akantolisis, walaupun tanpa

keterlibatan komplemen dan sel-sel radang. IgG1 dan IgG4 autoantibodi terhadap

Dsg3 ditemukan pada pasien PV, tetapi beberapa data penelitian menunjukkan

bahwa IgG4 lah yang bersifat paling patogenik. Plasminogen activator

berhubungan dengan terjadinya akantolisis yang dimediasi antibodi. Sel T yang


terlbat adalah sel CD4 α./β yang mensekresikan Th2-like-cytokine profiles. Sel

Th1 juga terlibat dalam produksi antibodi pada penyakit kronis. IgG ditemukan

baik pada kulit normal maupun sakit. Deposit C3 tampak lebih banyak pada sel-

sel akantolitik (Harman et al, 2002).

Terbentuknya bula pada pemfigus vulgaris disebabkan oleh ikatan

autoantibodi IgG di permukaan molekul keratinosit. Antibodi pemfigus vulgaris

ini akan berikatan dengan desmosom keratinosit dan area bebas desmosom pada

membran keratinosit. Ikatan autoantibodi megakibatkan hilangnya perlekatan

antarsel, atau disebut dengan akantolisis (Zeina, 2011).

Antigen PV (130-kD transmembrane desmosomal glycoprotein)

menunjukkan adanya homologi dengan molekul adhesi sel. Banyak penelitian

yang mengindikasikan adanya predisposisi genetik pada pemvigus vulgaris.

Analisis statistik menunjukkan kecenderungan distribusi antigen HLA. Sebagian

besar pasien memiliki fenotip HLA DR4 atau DR8. Adanya fragmen restriksi

HLA-DQ β telah teridentifikasi pada beberapa pasien pemfigus vulgaris (Harman,

et al 2002).

Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis

dan imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Klasifikasi Pemfigus Berdasarkan Target Antigen


Imunofloresensi

Penemuan imunofloresensi utama pada pemfigus adalah adanya

autoantibodi IgG yang melawan permukaan keratinosit. Autoantibodi ini pertama

ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian

dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien, Diagnosis pemfigus belum dapat

ditegakkan jika hasil imonofloresensi direk negatif. Berdasarkan imunofloresensi

indirek, 80% pasien pemfigus IgG permukaan antiepitelial di sirkulasi. Pasien

dengan lokaslisasi dini dan pasien remisi kemungkinan besar akan menunjukkan

hasil negtif pada tes imonoflorsensi indirek (Stanley, 2012)

Antigen Pemfigus
Bukti imunologis dan cloning molekuler menunjukkan bahwa antigen

pemfigus adalah Desmoglein, yang merupakan glikoprotein transmembran pada

desmosom (berperan dalam struktur perlekatan antarsel). Mikroskop

imonoelektron menunjukkan adanya antiden di permukaan keratinosit pada

desmosomal junction. Pasien PV yang secara predominan terserang pada

membran mukosa cenderung hanya memiliki autoantibodi desmoglein 3,

sedangkan pasien dengan lesi mukokutaneus memiliki antibodi anti-Dsg3 dan

anti-Dsg1 (Stanley, 2012).

Komplemen

Antibodi pemfigus mengisi komponen komplemen pada permukaan sel

epidermal. Ikatan antibodi dapat mengaktivasi komplemen dengan pelepasan

mediator inflamasi dan pemanggilan sel T yang teraktivasi. Sel T sangat

diperlukan untuk produksi autoantibodi, tetapi perannya dalam patogenesis

pemfigus vulgaris masih belum banyak diteliti. Interleukin 2 adalah aktivator

utama pada T limfosit dan adanya peningkatan reseptor terlarut telah dapat

terdeteksi pada pasien dengan pemfigus vulgaris aktif (Zeina, 2011).

Patofisiologi Akantolisis

Autoantibodi pemfigus merupakan faktor patogenis pada pemfigus

vulgaris. Adanya kejadian pemfigus vulgaris neonatal menunjukkan bahwa IgG

maternal dapat melewati plasenta dan menyebabkan timbulnya penyakit ini,

walaupun sangat jarang terjadi. Secara esensial, neonatal PV diakibatkan oleh

transfer pasif IgG pada fetus. Pada eksperimen, terlihat bahwa IgG mengakibatkan

akantolisis pada lapisan suprabasilar dan granular epidermis. Akantolisis yang


diinduksi antibodi dalam sistem ini tidak dipengaruhi oleh komplemen.

Autoantibodi patologis pada pemfigus adalah antibodi yang secara langsung

melawan desmoglein 1 dan 3. IgG yang terdapat pada ekstraseluler menyebabkan

akantolisis suprabasilar, yang merupakan penemuan histologis tipikal pada lesi

pemfigus vulgaris. Hal ini didukung oleh bukti dari hasil penelitian lebih lanjut

yang menunjukkan bahwa autoantibodi dapat secara langsung menyebabkan

hilangnya ikatan keratinosit (Stanley, 2012).

Antibodi antidesmoglein 3 menyebabkan interferensi langsung pada

fungsi desmoglein dalam desmosom, berakibat pada terpecahnya desmosom,

tanpa retraksi keratinosit pada area akantolisis. Inaktivasi desmoglein akibat

antibodi antidesmoglein mengakibatkan timbulnya bula (Stanley, 2012).

Berdasarkan hipotesis kompensasi desmoglein, menerangkan variasi

fenotip klinis pemfigus. Dijelaskan bahwa adanya autoantibodi terhadap

Desmoglein 1 dan Desmoglein 3 menyebabkan timbulnya bula di mukosa dan

epidermis superfisial pada kasus PV mukokutaneus, antidesmoglein 3

bermanifestasi pada PV predominan mukosa, dan antidesmoglein 1

mengakibatkan pemfigus foliaseus dengan manifestasi klinis bula hanya pada

epidermis superfisial (Chan, 2002).

Gejala Klinis

Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding

tipis, mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal atau

eritematosa. Isi bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau

seropurulen. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah


berdarah, dan sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas

hiperpigmentasi. Dalam beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana

didapatkan erosi lebih banyka daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai

muncul pada mukosa mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka,

leher, ketiak, lipat paha atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai infeksi

sekunder yang menyebabkan bau tidak enak (Murtiastutik et al, 2011).

Diagnosis dan Differential Diagnosis

Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :

1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :

a. Nikolsky Sign : penekanan datau penggosokan pada lesi menyebabkan

terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.

b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan  isinya tampak menjauhi

tekanan

2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa  tampak sel

akantolitik atau sel tzanck

3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari

adanya bula intraepidemal.

4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik :

Leukositosis

Eosinofilia
Serum protein rendah

Gangguan elektrolit

Anemia

Peningkatan laju endap darah

(Murtiastutik, 2011)

5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Autoantibodi ditemukan pada

serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian dengan

imunofloresensi direk pada kulit pasien. Pemeriksaan dengan ELISA memberikan

hasil yang lebih sensitive dan spesifik daripada imunofloresensi (dapat

membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. DIbandingkan dengan

imunofolresensi, pemeriksaan ELISA juga memiliki korelasi lebih baik dengan

aktivitas penyakit (Stanley, 2012).

Diagnosis banding untuk pemfigus vulgaris dapat meliputi semua

penyakit bulosa didapat (acgquired). Dpat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Pamfigus Vulgaris


Terapi Pemfigus Vulgaris

Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di

bawah pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.

Terapi antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan infeksi sekunder.

Untuk terapi topikal, dilakukan kompres dengan Aluminium Diasetat 5%, perak

nitrat 0.005%, atau solusio kalium permanganate 0,01% pada area yang terkena

setiap 4 jam. Hal ini diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan

mengurangi risiko infeksi sekunder. Kortikosteroid dosis tinggi diperlukan untuk

mengontrol kondisi pasien. Dosis harus diturunkan perlahan-lahan ketika sudah

terjadi stabilisasi hingga mencapai dosis terendah untuk memelihara remisi.

Prednisolon atau prednisone oral dapat digunakan sebagai pilihan terapi.

Tambahan obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprine atau Cyclophosphamid


digunakan apabila pasien tidak dapat menoleransi kortikosteroid dosis minimum

untuk menjaga kondisi remisi. Efek imunosupresif muncul perlahan-lahan dan

biasanya tidak terdeteksi sampai 4-6 minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid

harus sudah dihentikan sebelum penghentian terapi imunosupresif (World Health

Organization, 2013).

Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris berdasarkan Pedoman

Diagnosis dan Terapi RSUD dr.Soetomo adalah sebagai berikut :

1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan

yang tepat.

2. Topikal :

a. Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl0.9%)

b. Lesi Kering : talcum Acidum Salicylicum 2%.

3. Sistemik :

a. Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya

dilakukan:

 pemeriksaan gram

 kultur dan tes sensitivitas

 Antibiotik spectrum luas 7-10 hari

b. Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris,

diberikan Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat


diberikan 3-4 mg Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak

timbul bula baru, dosis dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan

Azathioprine untuk mencegah relaps, sampai dengan dosis terandah yang

tidak menimbulkan bula baru.

c. Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat

diberikan Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1

tablet.

Prognosis

Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi,

tetapi mayoritas pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi

kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%.

Pemfigus vulgaris yang yang tidak mendapatkan terapi adekuat akan berakibat

fatal karena penderita rentan terhadap infeksi serta gangguan yang muncul akibat

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar kasus kematian terjadi

pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari

5 tahun, prognosisny akan lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan

lebih mudah dikontrol daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas

akan meningkat apabila terjadi keterlamabatan terapi (Zeina, 2011).

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis

kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya

penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia

lanjut dan yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada
anak-anak. Pada sebagian kecil kasus pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi

menjadi pemfigus foliaseus (Zeina, 2011).

Komplikasi

Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi pada

kulit dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi multipel.

Infeksi kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan

risiko timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat

berakibat pada infeksi dan keganasan sekunder ( seperti Kaposi Sarkoma), karena

adanya gangguan imunitas. Retardasi pertumbuhan dilaporkan terjadi pad aanak-

anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid dan imunosupresan sistemik.

Supresi sumsum tulang dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi

imunosupresan. Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan

terjadi pada imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang

disebabkan oleh kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat

mengakibatkan penyebaran infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-

tanda infeksi sehingga berakibat terjadinya septicemia. Osteoporosis dan

insufisiensi adrenal dilaporkan terjadi setelah penggunaan kortikosteroid jangka

panjang (Zeina, 2011)

Edukasi

Pasien dan keluarganya harus diberikan edukasi mengenai :


 Meminimalisasi kemungkinan terjadinya trauma pad akulit karena

kulit pasien sangat rapuh akibat penyakitnya sendiri maupun efek

samping dari steroid sistemik dan topikal.

 Pemahaman bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang

bersifat kronis.

 Terapi yang diberikan  dosis obat, efek samping, dan gejala

toksisitas obat sehingga jika terjadi dapat segera menghubungi

dokter.

 Perawatan luka yang adekuat.

Anda mungkin juga menyukai