Anda di halaman 1dari 21

Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

PENGUATAN KONEKTIFITAS REGIONAL MELALUI PEMBANGUNAN


INFRASTRUKTUR JALAN PROVINSI DENGAN SKEMA INVESTASI
LEMBAGA PEMBIAYAAN

Fadly Ibrahim
Karyawan PT. Yodya Karya (Persero)
Kantor Cabang Utama Makassar Jl. AP. Pettarani No. 74 Makassar
fadly_surur@yahoo.co.id

Abstrak: Provinsi Sulawesi Selatan sebagai bagian dari koridor ekonomi MP3EI masih
diperhadapkan oleh permasalahan konektifitas wilayah, sehingga pusat keunggulan (centre
of excellent) yang tersebar di Wilayah Sulsel belum dapat dikembangkan secara optimal
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Rendahnya konektifitas tersebut
dipengaruhi oleh kondisi jalan provinsi yang tingkat pelayanannya sudah sangat menurun.
Dari panjang 1147,51 km terdapat 458,54 km dalam kondisi baik atau 39.86%, 399,33 km
atau 34.80% kondisi sedang, dan 209,06 km atau 18.22% kondisi rusak ringan, serta 74,58
km atau 6.50% rusak berat, dan sisanya 6,00 km atau 0,52% belum tembus.Variasi kondisi
jalan provinsi tersebut tersebar pada 45 ruas jalan yang masing-masing memiliki tingkat
kepentingan dan keterdesakan penanganan yang berbeda.
Penilaian terhadap ruas-ruas strategis yang perlu ditingkatkan dalam mendukung
konektifitas regional mempertimbangkan 7 kriteria yakni; (1) Akomodasi kebutuhan perjalanan,
(2) Kesesuaian dengan kebijakan daerah (3) Tingkat kerusakan jalan, (4) Memberikan manfaat
terhadap masyarakat dan pertumbuhan ekonomi regional, (5) Meningkatkan aksessibilitas dan
interaksi kawasan, (6) Jaringan jalan melintasi kawasan strategis dan daerah yang memiliki
potensi/komoditas unggulan, dan (7) Dilintasi trayek angkutan umum. Dengan menggunakan
pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP) mengindikasikan bahwa dari ruas-ruas yang
dianalisis terdapat 10 ruas yang strategis dan prioritas untuk ditangani dengan estimasi biaya
konstruksi dan pemeliharaan Rp. 638,070 Milyar.
Dengan mempertimbangkan trend alokasi belanja daerah untuk pembangunan jalan
dan kompleksitas kebutuhan pembiayaan untuk sektor lainnya, maka diproyeksi pencapaian
kondisi mantap ruas-ruas strategis tersebut sangat sulit dipenuhi dalam waktu singkat sesuai
dengan skenario pembangunan daerah. Oleh karena itu untuk mempercepat pencapaian
target tersebut sekaligus mengantisipasi laju percepatan kerusakan jalan, maka pemerintah
provinsi dapat memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema pinjaman. Hasil
analisis Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi
Sulsel cukup mampu mengembalikan pinjaman tersebut.
Sedangkan dari persfektif investasi menunjukkan bahwa hasi analisis BOK dengan
menggunakan metode harga tetap dihasilkan saving BOK setelah penanganan sebesar
Rp. 138,303 Milyar/tahun, dan dengan menggunakan metode income approach diestimasi
saving nilai waktu setelah penanganan jalan sebesar Rp. 50,576 Milyar/tahun. Apabila
angka ini diproyeksi sesuai dengan umur proyek (10 tahun) dan diintegrasikan dengan
kecenderungan peningkatan jumlah kendaraan di masa mendatang, maka didapatkan
akumulasi biaya manfaat sebesar Rp. 2,609 Trilyun. Angka ini sangat besar dibandingkan
dengan total biaya investasi yang hanya mencapai Rp. 638,070 Milyar Sehingga berdasarkan
kriteria investasi akan didapatkan nilai NPV pada akhir proyek sebesar Rp. 457.574 Milyar,
nilai BCR 2.28 (>1,0) dan IRR 23.51% untuk discount factor 12% dan 15%. Nilai kriteria
tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan pada kondisi skenario optimis dan
pesimis (±25%). Hal ini mengindikasikan bahwa proyek ini layak secara ekonomi dan tidak
sensitif terhadap perubahan parameter investasi.

Kata Kunci: Konektifitas, Jalan Provinsi, Investasi, Pinjaman

Fadly Ibrahim 1
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

1. PENDAHULUAN
Indonesia cukup optimis dalam melakukan transformasi ekonomi yang
berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi SDA setiap daerah agar daerah di
Indonesia mampu mengembangkan kekuatan ekonomi lokal berdasarkan ciri khas
daerah itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini jajaran Kementerian Perekonomian telah
merumuskan program perecepatan pembangunan perekonomian yang dikenal dengan
program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi).
Program MP3EI mengusung tiga tema utama yaitu : 1) Pengembangan Potensi Ekonomi
Melalui Koridor Ekonomi, 2) Penguatan Konektivitas Nasional dan, 3) Penguatan
Kemampuan SDM Dan IPTEK Nasional.
Sinergis dengan program strategis tersebut, maka pemerintah daerah perlu
membangun suatu hubungan interaksi yang saling menguntungkan antara daerah-daerah
yang berada disekitarnya (mutually ekslusive), hal ini juga untuk menghindari
terbentuknya ego spasial yang akan melemahkan kekuatan ekonomi suatu daerah.
Interaksi regional ini perlu dikembangkan mengingat struktur ekonomi suatu kawasan
tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya apabila tidak didukung oleh wilayah
hinterland-nya. Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara kota sebagai pusat
pertumbuhan (Growth Pole) dan daerah belakangnya harus memiliki keharmonisan
mengingat wilayah hinterland menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat kota.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa upaya peningkatan konektifitas nasional
perlu didukung dengan penguatan konektifitas regional, sehingga terbentuk konektifitas
yang berhirarki, yang tidak hanya menghubungkan antara simpul-simpul ekonomi
nasional tapi juga simpul-simpul ekonomi regional/kawasan.
Interkoneksitas spasial selain untuk mereduksi potensi terciptanya kesenjangan
perekonomian dan kesejahteraan yang semakin tajam dalam masyarakat antar daerah,
juga diharapkan terwujudnya saling keterkaitan yang bersifat sinergis dan simbiosis
mutualistis dalam berbagai kegiatan pembangunan wilayahnya, sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah yang tentunya akan berdampak positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mendukung interaksi antara pusat-pusat pelayanan tersebut dan mencapai
tingkat perkembangan wilayah perkotaan yang optimal, maka dibutuhkan konstribusi
sektor transportasi sebagai prasarana dan sarana dalam mendorong perkembangan
wilayah, menurut Kaiser, EJ, dkk (1995), bahwa interaksi antara sistem transportasi
dengan tata guna lahan betujuan untuk mencapai keseimbangan, dan interkasi tersebut
dijadikan sebagai dasar perencanaan mengingat transportasi merupakan determinan
penting dalam proyeksi perkembangan wilayah dan rencana tata guna lahan. Sedangkan
menurut Wegener (1995 :157) kebijaksanaan transportasi merupakan cara cepat untuk
mempengaruhi pertumbuhan wilayah, begitupun sebaliknya kebijaksanaan tata guna
lahan juga merupakan cara cepat untuk mempengaruhi sistem transportasi.
Oleh karena peningkatan ekonomi dan pengembangan suatu wilayah
kabupaten/kota sangat berkaitan dengan peran sektor transportasi darat dalam hal ini
prasarana jaringan transportasi, maka pada prinsipnya diperlukan suatu pelayanan
transportasi yang efektif dan efesien dalam mendukung aktifitas dan mobilitas
masyarakat pada suatu kawasan. Tingkat pelayanan infrastruktur transportasi dalam
mendukung pembangunan daerah dan pengembangan wilayah sangat menentukan
pencapaian pertumbuhan dan pemerataan secara sosial ekonomi. Tamin (2002)
menjelaskan bahwa infrastruktur jaringan transportasi yang efesien dan berkualitas
tinggi akan meningkatkan produktifitas dan memudahkan pergerakan angkutan barang
melalui penurunan biaya transportasi.

Fadly Ibrahim 2
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Berdasarkan data Dinas Binamarga Provinsi Sulsel panjang dan kondisi jalan di
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2012 mencapai 2,970.03 km yang terdiri dari
1,722.79 km jalan nasional dan 1,147.51 km jalan provinsi. Untuk jalan nasional
kondisnya relatif baik, dengan proporsi 92% kondisi baik, dan 8% dalam kondisi rusak
ringan dan berat. Khusus untuk jalan provinsi kondisi perkerasannya cukup bervariasi,
yakni 458.54 km dalam kondisi baik atau 39.86%, 399.33 km atau 34.80% kondisi
sedang, dan 209.06 km atau 18.22% kondisi rusak ringan, serta 74.58 km atau 6.50%
rusak berat, dan sisanya 6.00 km atau 0,52% belum tembus. Data tersebut,
mengindikasikan bahwa kondisi jalan provinsi di Sulawesi Selatan kinerjanya masih
rendah, sehingga belum optimal untuk mendukung aksessibilitas dan mobilitas
masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kinerja dengan melakukan
pembangunan dan perbaikan konstruksi pada ruas-ruas yang cukup parah tingkat
kerusakannya, sehingga pelayanan transportasi dapat meningkat dan tentunya akan
berimplikasi pada peningkatan produktifitas masyarakat sekitar.
Ditengah kompleksitas kebutuhan pembiayaan pembangunan dan anggaran
pemerintah daerah yang terbatas sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur
yang memadai untuk mendukung prekonomian daerah. Oleh karena itu, pemerintah
daerah dapat mempertimbangkan skema penyediaan infrastruktur melalui investasi
lembaga pembiayaan pemerintah maupun swasta.

2. SASARAN PENELITIAN
Sasaran penelitian ini adalah tersedianya kerangka analisis terkait dengan upaya
penguatan konektifitas wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan melalui pembangunan
infrastruktur jalan kolektor dengan memanfaatkan pembiayaan dari lembaga investasi
pemerintah, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi bagi daerah-daerah lain dalam
membuat kebijakan pembangunan infrastruktur wilayah yang menguatkan koridor
ekonomi nasional MP3EI.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Tahap 1. Evaluasi tingkat interaksi wilayah dan pelayanan transportasi
Pada tahap ini akan dilakukan analisis interaksi wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
yang diukur berdasarkan parameter indeks konektifitas, tingkat aksessibilitas, tingkat
mobilitas dan tingkat pelayanan. Penilaian indeks konektifitas didasarkan pada metode
yang dikembangkan oleh KJ. Kansky dengan formulasi rasio antara jumlah jalan dengan
jumlah kota. Sedangkan penilaian tingkat aksessibilitas, mobilitas dan pelayanan
transportasi didasarkan pada Permen PU Nomor 14 /PRT/M/2010.

Tahap 2. Penentuan tingkat kepentingan penanganan jalan provinsi


Untuk menentukan tingkat kepentingan penanganan jalan provinsi, maka dibutuhkan
kriteria sebagai alat penilaian. Adapun kriteria penilaiannya adalah (1) Akomodasi
kebutuhan perjalanan, (2) Kesesuaian dengan kebijakan daerah, (3) Tingkat kerusakan
jalan, (4) Memberikan manfaat terhadap masyarakat dan pertumbuhan ekonomi
regional, (5) Meningkatkan aksessibilitas dan interaksi kawasan, (6) Jaringan jalan
melintasi kawasan strategis dan daerah yang memiliki potensi/komoditas unggulan, dan
(7) Dilintasi trayek angkutan umum.
Penilaian tingkat kepentingan kriteria dan ruas pada studi ini memanfaatkan metode
Analisis Hirarki Proses (AHP) yang dikembangkan oleh Thomas, L. Saaty. AHP adalah
prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi
atribut-atribut kualitatif. Atribut-atibut tersebut secara matematik dikuantitatif dalam

Fadly Ibrahim 3
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode


lainnya adalah karena adanya struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari criteria
yang dipilh, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetail. Mempertimbangkan
validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai criteria dan alternative
yang dipilih oleh para pengambil keputusan (Saaty, 1990). Pendekatan AHP
menggunakan skala banding berpasangan sebagaimana disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Skala penilaian antar kriteria (Saaty, L, 1993)

Tingkat
Definisial Penjelasan
kepentingan
1 Sama penting Sama pentingnya dibanding yang lain
3 Relatif lebih Moderat pentingnya dibanding yang lain
Penting
5 Lebih penting Kuat pentingnya dibanding yang lain
7 Sangat penting Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain
9 Jauh lebih penting Ekstrim pentingnya dibanding yang lain
2, 4, 6, 8 Nilai antara Nilai di antara dua penilaian yang
berdekatan.
Kebalikan jika elemen i memiliki salah satu
angka di atas ketika dibandingkan elemen j,
Kebalikan
maka memiliki nilai kebalikannya ketika
dibandingkan elemen i

Penilaian kriteria dan ruas dilakukan berdasarkan preferensi responden yang dinilai
memiliki kompetensi (expert) dalam bidang perencanaan jalan melalui kuesioner.

Tabel 2. Contoh kuesioner AHP


A: Ruas 1 Vs B: Ruas 2
Ditinjau dari kriteria “akomodasi kebutuhan perjalanan” yang manakah ruas lebih strategis 1 2
ditangani. X
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Berapa tingkat kepentingannya?
X

Dalam penilaian kepentingan relatif, dua elemen berlaku aksioma reciprocal.


Artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka elemen j harus 1/3
kali pentingnya dibanding elemen-i. Dua elemen yang berlainan bisa saja dinilai sama
penting, yang mana angka yang sama akan menghasilkan angka 1, artinya sama penting.
Jika terdapat n elemen, maka akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran n
x n.
Selanjutnya adalah sintesa prioritas dengan cara mencari eigenvector dari setiap
matriks pairwise comparison untuk mendapatkan prioritas lokal. Dalam ANP/AHP,
logical consistency menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian.
Rasio konsistensi (consistency ratio) dihitung dengan rumus CR = CI / RI. Consistency
Index (CI) diperoleh dari CI = (λmax – n) / (n – 1), di mana λmax = nilai eigen vector
terbesar dari matriks perbandingan berpasangan, dan n = ukuran matriks. Sebagai
contoh, jika A lebih penting dari B dan B lebih penting dari C, tapi C lebih penting dari
A, maka tidak konsisten. Nilai CR harus kurang dari 10%, karena jika lebih maka

Fadly Ibrahim 4
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

penilaian perbandingan berpasangan harus diulang (Saaty dan Vargas, 1994). Dalam hal
random index (RI), secara berturut-turut (RI/orde matriks) adalah (1/0), (2/0), (3/0,58),
(4/0,9), (5/1,12), (6/1,24), (7/1,32), (8/1,41), (9/1,45), (10/1,49).
Untuk memudahkan proses analisis, semua langkah dilakukan menggunakan
perangkat lunak Super Decision yang yang dikembangkan oleh William J. Adams dari
Embry Riddle Aeronautical University, Florida, bekerjasama dengan Rozann W. Saaty
(Saaty, 2003).

Tahap 3. Kajian biaya manfaat penanganan jalan provinsi


Efektifitas dan efesiensi proyek pembangunan infrastruktur dinilai dari seberapa
besar manfaat yang diberikan dengan biaya investasi yang rendah. Untuk itu
dibutuhkan kajian seberapa besar biaya manfaat yang dapat disaving masyarakat
(Ibrahim, F, 2010). Manfaat yang didapatkan dari perbaikan jalan adalah peningkatan
kecepatan yang kemudian berpengaruh pada penurunan Biaya Operasional Kendaraan
(BOK) dan pengurangan waktu tempuh (Puslitbang PU, 2005). Hal senada juga
dijelaskan oleh Tamin, OZ (2003) bahwa komponen biaya manfaat peningkatan jalan
dapat diukur dalam bentuk saving BOK dan nilai waktu sebelum dan setelah
peningkatan kinerja jalan.
Komponen BOK terdiri dari konsumsi bahan bakar, pelumas, biaya pemakaian ban,
biaya pemeliharaan, modal dan asuransi. Analisis BOK pada studi ini berdasarkan
pendekatan harga tetap yang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
(pdt 026/t/BT/1995) dengan persamaan seperti diuraikan pada tabel 3.

Table 3. Persamaan analisis Biaya Operasional Kendaraan (BOK)

No. Parameter Persamaan Keterangan


2
1. Konsumsi bahan bakar Y = 0.07629 x S -8.45703 x S + 349.7911
2. Konsumsi pelumas 0.0032
3. Biaya pemakaian ban Y = 0.00088 x S + 0.0045333 Y = koefisen biaya
dengan satuan Rp /
Biaya pemeliharaan (suku 1000 km
4. Y = 0.00000064 x S + 0.0005567
cadang)
S = kecepatan
Biaya Pemeliharaan dengan satuan
5. Y = 0.00362 x S + 0.36267
(montir) km/jam
6. Bunga modal Y = (0.15 x 10000)/ (500x S)
7. Biaya asuransi Y = (0.35 x 1000 x 0.5) / (500 x S)

Sedangkan nilai waktu merupakan penghematan waktu tempuh perjalanan yang


dikonversi dalam bentuk biaya produktifitas masyarakat. Interurban Road Management
System (IRMS) mengestimasi nilai satuan waktu tempuh (Rp/jam/kendaraan)
berdasarkan “metode pendekatan pendapatan” tradisional. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam menghitung satuan nilai waktu per kendaraan untuk IRMS
adalah; (1) Pendapatan bulanan penumpang menurut kelompok kedenaraan, (2) Tingkat
upah bayangan (=0,85%), (3) Waktu kerja bulanan (=191 jam), (4) Nilai waktu istirahat
(=28% dari nilai waktu kerja), (5) Persentase tujuan perjalanan untuk bekerja dan
perjalanan bukan untuk bekerja menurut kelompok kendaraan, dan (6) Jumlah
penumpang per kendaraan (Average Occupancy).

Fadly Ibrahim 5
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Tahap 4. Evaluasi kelayakan investasi


Evaluasi kelayakan investasi bertujuan untuk menilai sejauhmana proyek dapat
diterima secara ekonomi dan tidak sensitif terhadap perubahan kondisi yang dapat
mempengaruhi investasi. Kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan investasi
adalah NPV, BCR dan IRR. Sedangkan untuk menguji sensitivitas investasi digunakan
pendekatan kondisi optimis dan pesimis (+/- 25%).
Table 4. Persamaan evaluasi kelayakan investasi
No. Kriteria Persamaan Keterangan

Bt Ct B t = penerimaan
∑ −∑
1. Net Present Value

(1 + i)t (1 + i)t
(NPV) NPV =
pada tahun t
C t = pengeluaran
n Bt

2. Benefit Cost Ratio
atau biaya

(1 + i)
(BCR)
t pada tahun t
B / C = t =0 i = tingkat bunga
n C
∑ t
t =0 (1 + i )
t

Bt − Ct
∑ =0
3. Internal Rate of Return

(1 + r )t
IRR =

Tahap 5. Evaluasi keuangan daerah dan kemampuan pengembalian pinjaman


Pada tahap ini akan dilakukan evaluasi kinerja keuangan daerah dan sejauhmana
kapasitas keuangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mampu mengembalikan
pinjaman dari lembaga pembiayaan. Evaluasi kinerja keuangan dilakukan dengan
pendekatan deskriptif dengan mempertimbangkan trend alokasi pendapatan dan belanja
daerah. Sedangkan analisis kemampuan pengembalian pinjaman dihitung berdasarkan
pendekatan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) sebagaimana Peraturan pemerintah
Nomor 30 tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah dengan formula sebagai berikut.

DSCR = {PAD + DAU + (DBH-DBHDR)} – BW


DSCR = ≥X
Pokok pinjaman + Bunga + BL

DSCR = Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman Daerah yang


bersangkutan;
PAD = Pendapatan Asli Daerah;
DAU = Dana Alokasi Umum;
DBH = Dana Bagi Hasil;
DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi;
BW = Belanja Wajib;
Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman;
Bunga = Beban Bunga Pinjaman;
BL = Biaya Lain.
DSCR Pemerintah Daerah ≥ X
X = Rasio kemampuan membayar kembali pinjaman (DSCR) yang
ditetapkan oleh Pemerintah (>2.5)

Fadly Ibrahim 6
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

4. ANALISIS PEMBAHASAN
4.1. Posisi Provinsi Sulawesi Selatan dalam Koridor Ekonomi MP3EI
Koridor Ekonomi Sulawesi mempunyai tema Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil
Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Pertambangan Nikel Nasional. Koridor ini
diharapkan menjadi garis depan ekonomi nasional terhadap pasar Asia Timur, Australia,
dan Amerika. Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki potensi tinggi di bidang ekonomi
dan sosial dengan kegiatan-kegiatan unggulannya. Meskipun demikian, secara umum
terdapat beberapa hal yang harus dibenahi di Koridor Ekonomi Sulawesi:
(1) Rendahnya nilai PDRB per kapita di Sulawesi dibandingkan dengan pulau lain di
Indonesia; (2) Kegiatan ekonomi utama pertanian, sebagai kontributor PDRB terbesar
(30 persen), tumbuh dengan lambat padahal kegiatan ekonomi utama ini menyerap
sekitar 50 persen tenaga kerja; (3) Investasi di Sulawesi berasal dari dalam dan luar
negeri relatif tertinggal dibandingkan daerah lain; (4) Infrastruktur perekonomian dan
sosial seperti jalan, listrik, air, dan kesehatan kurang tersedia dan belum memadai.
Pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi berfokus pada kegiatan-kegiatan ekonomi
utama pertanian pangan, kakao, perikanan dan nikel. Selain itu, kegiatan ekonomi
utama minyak dan gas bumi dapat dikembangkan yang potensial untuk menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi di koridor ini. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kontributor
terbesar untuk semua sektor ekonomi utama MP3EI.

Tabel 5. Potensi Sektor Ekonomi Utama di Provinsi Sulawesi Selatan


Produksi Produksi Pulau
No Sektor Presentase
Sulsel (ton) Sulawesi (ton)
1 Kakao 198.682 631.289 31.47
2 Padi 4.511.336 7.277.,189 61.99
3 Jagung 1.416.182 2.761.649 51.28
4 Perikanan* 218.819 970.616 22.54
5 Nikel 66.910.476 122.346.463 54.68
Sumber : BPS 2012 *perikanan tangkap

Pembangunan struktur ruang diarahkan pada pemahaman pola pergerakan barang


dari hasil perkebunan (kakao) maupun tambang nikel, dan migas, menuju tempat
pengolahan dan atau kawasan industry, yang berlanjut menuju ke pelabuhan. Untuk itu,
penentuan prioritas dan kualitas pembangunan serta pemeliharaan infrastruktur jalan
dan jembatan di setiap provinsi diarahkan untuk melayani angkutan barang di sepanjang
jalur konektivitas ekonomi di provinsi yang bersangkutan. Demikian pula pembangunan
infrastruktur air dan energi dilakukan untuk mendukung produksi pertanian pangan,
kakao, maupun pertambangan yang ada di setiap provinsi, yang berujung pada
peningkatan manfaat dan nilai tambah produk yang dihasilkan.
Pembangunan struktur ruang Koridor Ekonomi Sulawesi akan berkembang sejalan dengan
pembangunan dan keberadaan jalan raya trans Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi bagian
selatan hingga utara. Struktur ruang koridor ini mengalami dinamika yang tinggi seiring dengan
percepatan pergerakan barang dan orang dari intra dan inter pusat-pusat pertumbuhan di dalam
Koridor Ekonomi Sulawesi maupun antar Koridor Ekonomi Sulawesi dengan koridor ekonomi
lainnya di Indonesia. Selain itu, mengingat bahwa koridor ini berada di sisi Samudra Pasifik dan
jalur pelayaran internasional, maka sangat penting untuk dapat menentukan lokasi yang akan
berfungsi sebagai hub internasional. Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara, atau Pelabuhan
Makassar di Sulawesi Selatan merupakan alternatif pelabuhan yang dapat dikembangkan
menjadi hub internasional. Penetapan hub internasional di kawasan Indonesia Timur diharapkan
dapat mempercepat pembangunan di Indonesia Timur yang lebih didominasi oleh pulau-pulau.

Fadly Ibrahim 7
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Gambar 1. Peta koridor ekonomi sulawesi

4.2. Evaluasi Tingkat Konektifitas Wilayah dan Pelayanan Transportasi


Untuk menilai kekuatan interaksi antar wilayah ditinjau dari infrastruktur jalan
sebagai prasarana transportasi, dapat ditentukan dengan pendekatan grafik yang
membandingkan antara jumlah kota atau daerah dengan banyaknya jaringan jalan yang
menghubungkan kota-kota tersebut. Kekuatan interkasi ditentukan dengan indeks
konektifitas. Semakin banyak jalan yang menghubungkan antar wilayah semakin tinggi
indeks konektifitasnya. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap potensi pergerakan
manusia, barang dan jasa karena infrastruktur jalan dapat meningkatkan aksessibilitas
dan mobilitas wilayah. Dengan jumlah kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan
sebanyak 24 yang didukung dengan 60 link jalan nasional dan provinsi didapatkan
indeks konektifitas wilayah sebesar 2.5. angka ini mengekspresikan bahwa tingkat
konektifitas wilayah di provinsi Sulawesi Selatan relatif tinggi.
Demikian pula bila diukur dari persfektif aksessibilitas, secara umum tingkat
aksesibilitas kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan relatif tinggi. Parameter
aksessibilitas dapat diekspresikan sebagai total panjang jalan dalam daerah tertentu
(km/km2). Berdasarkan hasil analisis terdapat 17 kabupaten dengan kepadatan
penduduk 100 s/d 500 jiwa/km2 yang memiliki tingkat aksessibilitas >0,44, dan 3
kabupaten dengan kepadatan penduduk <100 jiwa/km2 yang memiliki tingkat
aksessibilitas >0.19, sedangkan untuk Kota Parepare dan Makassar yang kepadatan
pendudukanya masing-masing >1000 jiwa/km2 dan 5000 jiwa/km2 memiliki tingkat
aksessibilitas 12.71 dan 14.03. SPM jalan mensyaratkan bahwa kabupaten/kota yang
memiliki kepadatan penduduk <100 jiwa/km2 memiliki tingkat aksessibilitas 0.05,
kabupaten/kota dengan kepadatan >100 jiwa/km2 memiliki tingkat aksessibilitas 0.15,
sedangkan kabupaten/kota yang memiliki kepadatan penduduk >500 jiwa/km2

Fadly Ibrahim 8
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

memiliki tingkat aksessibilitas 0.5. Selanjutnya kabupaten/kota yang memiliki tingkat


kepadatan >5000 jiwa/Km2 memiliki tingkat aksessibilitas >5.0. Persyaratan ini
mengindikasikan bahwa secara umum indeks aksessibilitas kabupaten/kota di Sulawesi
Selatan memenuhi persyaratan.
Selain ukuran konektifitas dan aksessibilitas, tingkat mobilitas penduduk dapat
menjadi tolak ukur keterkaitan antar kawasan. Angka mobilitas adalah rasio antara
jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat-pusat kegiatan terhadap
jumlah total penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai
dengan statusnya, dinyatakan dalam satuan Km/(1000 jiwa). Hasil analisis
memperlihatkan bahwa terdapat 8 kabupaten dengan PDRB perkapita <Rp 1 juta yang
memiliki tingkat mobilitas pada kisaran 3.46 s/d 7.1. selanjutnya terdapat 14
kabupaten/kota dengan PDRB perkapita >Rp. 1 juta yang memiliki tingkat mobilitas
berkisar antara 2.45 s/d 11.1, dan terdapat 1 kabupaten yakni Luwu Timur dengan
PDRB perkapita >Rp. 2 juta yang memiliki tingkat mobilitas 7.24. Sedangkan Kota
Makassar dengan PDRB perkapita >Rp. 10 juta memiliki tingkat mobilitas yang rendah
dengan nilai 1.84. SPM jalan mensyaratkan bahwa kabupaten/kota dengan PDRB
perkapita <Rp. 1 juta memilik tingkat mobilitas 0.2, dan kabupaten/kota dengan PDRB
perkapita >Rp. 1 juta memiliki tingkat mobilitas 0.5. Selanjutnya kabupaten/kota
dengan PDRB perkapita <Rp. 2 juta memiliki tingkat mobilitas 2.0, sedangkan
kabupaten/kota dengan PDRB perkapita sangat tinggi <Rp. 10 juta memiliki tingkat
mobilitas 5.0. persyaratan ini mengindikasikan bahwa secara umum indeks mobilitas
penduduk kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memenuhi persyaratan kecuali Kota
Makassar.

Tabel 6. Tingkat aksessibilitas wilayah dan mobilitas penduduk


di Provinsi Sulawesi Selatan
Status Jalan PDRB T. Pelayanan (%)
Total Kepadatan
Perkapita akses- Mobi-
No. Kab/Kota Panjang (jiwa/
N P K (Rp x sibilitas litas N P K
(km) km2)
1000)
1 Kepulauan Selayar 0 105 689 794 135 927 0.88 6.51 0.00 73.20 72.30
2 Bulukumba 37 109 1343 1489 342 954 1.29 3.77 98.50 42.00 70.25
3 Bantaeng 36 19 556 611 446 1,037 1.54 3.46 98.10 35.00 66.55
4 Jeneponto 53 41 1447 1541 457 663 2.06 4.50 96.60 43.00 69.80
5 Takalar 30 0 856 886 476 762 1.56 3.29 99.00 0.00 74.90
6 Gowa 17 194 2469 2680 347 778 1.42 4.10 97.00 63.60 80.30
7 Sinjai 45 72 1318 1435 279 1,229 1.75 6.27 87.30 42.70 65.00
8 Maros 86 0 1392 1478 197 814 0.91 4.63 88.60 0.00 78.30
9 Pangkep 84 0 790 874 275 1,759 0.79 2.86 87.20 0.00 68.50
10 Barru 65 33 851 949 141 1,004 0.81 5.72 88.30 33.00 60.65
11 Bone 208 166 2504 2878 157 1,049 0.63 4.01 84.60 42.40 63.50
12 Soppeng 0 121 819 940 149 1,219 0.63 4.20 0.00 38.20 73.70
13 Wajo 138 75 1380 1593 154 1,405 0.64 4.14 88.30 49.90 69.10
14 Sidrap 65 40 1395 1500 144 1,238 0.80 5.52 93.20 48.50 70.85
15 Pinrang 70 51 740 861 179 1,507 0.44 2.45 89.50 53.20 71.35
16 Enrekang 83 33 1033 1149 107 1,010 0.64 6.04 94.50 72.80 83.65
17 Luwu 118 0 1454 1572 111 1,118 0.52 4.73 93.20 0.00 82.10
18 Tana Toraja 90 55 1424 1569 69 666 0.49 7.10 92.00 73.40 82.70
19 Luwu Utara 78 45 1325 1448 38 1,067 0.19 5.04 91.50 34.00 62.75
20 Luwu Timur 193 0 1567 1760 35 3,429 0.25 7.24 85.20 0.00 69.30
21 Toraja Utara 111 35 2560 2706 188 692 2.35 12.48 93.20 72.20 82.70
22 Makassar 78 22 2366 2466 7,616 10,928 14.03 1.84 92.00 58.50 75.25
23 Pare pare 28 0 1234 1262 1,301 1,390 12.71 9.76 100.00 0.00 78.30
24 Palopo 49 0 1593 1642 598 1,316 6.63 11.10 100.00 0.00 81.20
Sumber: BPS dan hasil analisis

Fadly Ibrahim 9
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Ditinjau dari persfektif ketersediaan infrastruktur jalan di Provinsi Sulawesi Selatan,


dapat dijustifikasi bahwa potensi keterkaitan antar kawasan cukup tinggi, baik diukur
berdasarkan indeks konektifitas, aksessibilitas, maupun mobilitas. Namun demikian dari
persfektif pelayanan transportasi belum mampu memberikan dukungan secara optimal
terhadap proses interaksi wilayah. Hal ini ditandai oleh tingkat pelayanan jalan yang
bervariasi pada masing-masing klasifikasi jalan. Khusus untuk jalan nasional
pendukung utama koridor nasional memiliki tingkat pelayanan yang cukup baik berkisar
antara 84.60 s/d 100%, begitupula pada koridor yang menghubungkan sub-sub pusat
kegiatan yang tersebar di seluruh kecamatan tingkat pelayanan jalannya berkisar antara
63.5 s/d 83.65 %. Sedangkan ruas-ruas jalan provinsi yang mendukung konektifitas
antara Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) justru memiliki tingkat pelayanan yang buruk
yakni rata-rata 39.80% atau berkisar antara 33.00 s/d 73.20%. Kondisi eksisting jalan
provinsi yang kurang mantap memberikan dampak negatif terhadap pergerakan manusia
dan barang pada koridor ekonomi Sulawesi Selatan.
Tingkat pelayanan transportasi yang rendah tersebut umumnya terjadi pada daearah-
daerah yang merupakan basis ekonomi utama koridor MP3EI, seperti perikanan,
pertanian tanaman pangan dan perkebunan kakao. Kabupaten/kota tersebut diantaranya,
Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, Bulukumba, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang,
Luwu Utara, dan Makassar. Untuk itu sebagai upaya penguatan konektifitas wilayah
dan memberikan dukungan terhadap koridor ekonomi MP3EI di Provinsi Sulawesi
Selatan, maka perlu dilakukan perbaikan kinerja ruas-ruas yang dinilai strategis dalam
mengoptimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya atau komoditas unggulan pada
kawasan strategis dan kawasan andalan Sulawesi Selatan.

4.3. Kebijakan Penanganan Infrastruktur Jalan Provinsi


Dengan mempertimbangkan peran strategis Provinsi Sulawesi Selatan dalam
dinamika pembangunan nasional, serta upaya pemanfaatan potensi sumber daya yang
dimiliki, maka kebijakan penanganan infrastruktur jalan di Provinsi Sulawesi Selatan
harus diarahkan pada; (1) Peningkatan koordinasi dan sinkronisasi penyusunan
program, penyiapan data, perencanaan pembangunan infrastruktur jalan, (2)
Peningkatan pengendalian, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur
jalan sesuai dengan NSPM kebinamargaan. (3) Perkuatan konektifitas nasional dan
regional dalam rangka mendorong perkuatan centre of excellence dan memantapkan
prekonomian nasional. (4) Peningkatan kapasitas penyelenggara pembangunan
infrastruktur jalan melalui pelibatan perguruan tinggi dan asosiasi profesi. (5)
Peningkatan pemanfaatan dan pengelolaan infrastruktur jalan yang didukung dengan
knowledge based society.
Khusus pada kebijakan perkuatan konektifitas nasional dan regional terdapat 2
strategi utama yang dapat dilakukan yaitu; (1) Meningkatkan interaksi antar wilayah
pada koridor ekonomi sulawesi dan Kawasan Strategis Nasional, (2) Meningkatkan
aksessibilitas Kawasan Strategis Provinsi dan pemerataan jangkauan pelayanan pada
kawasan terkebelakang.

4.4. Ruas-ruas Strategis Pendukung Konektifitas Wilayah


Berdasarkan SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan terdapat 45 ruas jalan provinsi
yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Ditinjau dari sisi simpul jalan, 45 ruas tersebut
dapat dikelompokkan menjadi 26 ruas. Masing-masing ruas memiliki keunggulan baik
dari aspek akomodasi perjalanan, peningkatan aksessibilitas, kesesuaian kebijakan,
dukungan terhadap komoditas unggulan, dan manfaat pemakai jalan.

Fadly Ibrahim 10
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan nilai inconsistency index 0.054 menunjukkan
bahwa kriteria yang paling dominan dipertimbangkan dalam menilai ruas-ruas strategis
dan prioritas untuk ditangani adalah kriteria potensi ekonomi dan komoditas unggulan
dengan bobot 0.2168. Selanjutnya adalah kriteria jumlah pendduk yang memanfaatkan
jalan dengan bobot 0.1956, dan kriteria manfaat pemakai jalan dengan bobot 0.1697,
menyusul kriteria pemerataan aksessibilitas dengan bobot 0.1612, berikutnya adalah
kriteria ketersediaan trayek angkutan umum dengan bobot 0.07208 dan kriteria yang
terakhir dipertimbangkan adalah kesesuaian dengan kebijakan daerah dengan bobot
0.0656.
Selanjutnya hasil analisis sintesis terhadap bobot masing-masing ruas dan bobot
prioritas kriteria didapatkan bobot akhir ruas-ruas strategis dan prioritas untuk ditangani
dalam rangka mendukung konektifitas wilayah pada koridor ekonomi Sulawesi Selatan.

Tabel 7. Skala prioritas penanganan ruas jalan provinsi


No.
No Bobot
Rua Ruas Panjang Penilaian
. Prioritas
s
1 063 Sungguminasa - Malino - Batas - Tondong 151 0.02824 Tidak Prioritas
2 064 Palangga - Sapaya - Boro 93.57 0.04095 Prioritas
3 065 Boro - Bantaeng 25.36 0.04095 Prioritas
4 066 Boro - Jeneponto 33.83 0.04095 Prioritas
5 067 Tanete - Tanaberu 57.36 0.04095 Prioritas
Kurang
6 068 Kajang - Sinjai 32.3 0.03502
Prioritas
7 069 Tanabatue - Senrego - Pallatae 31.34 0.04020 Prioritas
8 070 Ujung Lamuru - Pallatae - Bojo 67.37 0.04095 Prioritas
9 071 Ujung Lamuru - Takkalalla - Cabbenge - Salonro 48.96 0.03868 Prioritas
Kurang
10 072 Salaonro - Ulu Galung 20.04 0.03672
Prioritas
11 073 Salaonro - Pompanua 22.2 0.04429 Sangat Prioritas
Kurang
12 074 Impa Impa - Anabanua 16.93 0.03642
Prioritas
13 075 Pekkae - Batas Soppeng - Takalalla 59.65 0.04399 Sangat Prioritas
14 076 Taccipi - Waempubbu - Pompanua 38 0.04054 Prioritas
15 077 Solo - Paneki - Kulampu 45.81 0.04284 Sangat Prioritas
16 078 Cabbenge - Soppeng - Pangakajene - Rappang 78.82 0.04224 Sangat Prioritas
17 079 Pinrang - Rappang 19.68 0.04224 Sangat Prioritas
Kurang
18 080 Pincara - Malimpung - Malaga - Kabere 27.02 0.03628
Prioritas
Kurang
19 081 Tuppu - Bakaru (Salimbogan) 20 0.03746
Prioritas
20 082 Malauwe - Surakan (Batas Pinrang) 28.02 0.03182 Tidak Prioritas
21 083 Se'seng - Batas Provinsi Sulawesi Barat 26.98 0.02824 Tidak Prioritas
22 084 Sa'bang - Tallang - Sae - Batas Sulbar 146.5 0.04470 Sangat Prioritas
23 085 Jalan Jendral Sudirman - Ratulangi 3.41 0.03192 Tidak Prioritas
24 086 Jalan Dr. Laimena - Antang - Syech Yusuf 13.88 0.03272 Tidak Prioritas
25 087 Pacciro - Galesong - Pattallasang 39.3 0.04125 Prioritas
26 Perintis - Parangloe 5.4 0.03943 Prioritas
Sumber: Hasil analisis

Fadly Ibrahim 11
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Penanganan ruas-ruas strategis dan prioritas tersebut membutuhkan dana yang cukup
besar yakni Rp. 638.07 Milyar yang terdiri dari biaya konstruksi, biaya pemeliharaan
sampai dengan umur proyek, biaya Detail Design Engineering, dan biaya supervisi.
Khusus untuk biaya konstruksi masing-masing ruas dapat dilihat pada tabel berikut.

Table 8. Rekapitulasi rencana anggaran biaya proyek

Target Panjang
No. Ruas (km) Estimasi Biaya

1 Sabbang – Tallang - Sae 20.5 39,600,000,000.00


2 Pekkae Takkalala - Ujung Lamuru 44.6 94,350,000,000.00
3 Ujung Lamuru - Bajo - Tanabatue Palattae 29.69 97,875,000,000.00
4 Tanete – Tanaberu 16 33,500,000,000.00
5 Palangga - Sapaya - Jeneponto - Bantaeng 18.36 32,350,000,000.00
6 Solo - Peneki - Kulampu 10 22,500,000,000.00
7 Soppeng - Pangkajene - Sidrap 12 45,960,000,000.00
8 Pacciro - Galesong - Patalassang 15 30,000,000,000.00
9 Salonro - Pompanua - Taccipi 10.7 48,865,000,000.00
10 Perintis - Parangloe 5.4 55,000,000,000.00
Total 182.25 500,000,000,000.00
Sumber: hasil analisis

Kebutuhan pendanaan tersebut cukup besar dibanding dengan trend alokasi dana
APBD untuk belanja pembangunan infrastruktur jalan. Pada tahun 2008 APBD hanya
membelanjakan Rp. 130 Milyar dengan target panjang 82.9 km, selanjutnya pada tahun
2009 mengalami peningkatan menjadi Rp. 149 Milyar dengan target panjang 92.01 km.
Pada tahun 2010 APBD kembali membelanjakan pembangunan jalan sebesar Rp. 198
Milyar dengan target panjang 75.78 km. Peningkatan yang cukup drastis terjadi pada
tahun 2011 dan 2012 dengan alokasi masing-masing Rp. 332.6 Milyar dan Rp. 312.5
Milyar. Alokasi yang cukup besar tersebut pada 2 tahun terakhir dengan target total
645.1 km belum mampu menyelesaikan permasalahan rendahnya kinerja jaringan jalan.
Karena masih terdapat ruas yang sangat penting untuk ditangani, disamping itu ruas-
ruas yang sudah ditangani pada tahun sebelumnya sudah mengalami penurunan kinerja.
Pada tahun 2013 dipastikan bahwa alokasi APBD untuk pembangunan jalan, akan
mengalami penurunan dibanding pada tahun 2011 dan 2012, hal ini disebabkan oleh
kebijakan Gubernur terpilih lebih akan meningkatkan alokasi belanja pada program
kesehatan gratis, pendidikan gratis, SPP gratis 2 semester untuk mahasiswa baru,
bantuan modal usaha, dll. Oleh karena itu ditengah kompleksitas kebutuhan pembiayaan
tersebut, pembiayaan sektor infrastruktur yang jumlahnya cukup besar akan didanai
melalui skema pinjaman.

4.5. Komponen Biaya Manfaat Penanganan Jalan Provinsi


Komponen biaya manfaat yang didapatkan adalah Saving BOK dan nilai waktu,
saving BOK merupakan hasil penghematan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang
didapatkan setelah perbaikan dan peningkatan kinerja jalan. Komponen BOK terdiri
dari biaya BBM, Pelumas, suku cadang, dan servis. Sedangkan Saving Nilai Waktu,
merupakan potensi pendapatan dari pengguna jalan yang didapat dari hasil penghematan
waktu tempuh setelah perbaikan dan peningkatan kinerja jalan.

Fadly Ibrahim 12
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Berdasarkan hasil perhitungan biaya operasional kendaraan (BOK) dengan


menggunakan komponen biaya tetap dan menggunakan parameter kecepatan kendaraan
yang bervariasi, maka didapatkan besaran biaya operasional kendaraan di Provinsi
Sulawesi Selatan sebagaimana digambarkan pada grafik berikut.
Tabel 9. BOK untuk kecepatan 30 km/jam

Persamaan Biaya (Rp)


Komponen Biaya
Golongan I Golongan IIA Golongan IIB Golongan I Golongan IIA Golongan IIB
Konsumsi Bahan Bakar 127.119904 287.9685321 369.6710368 572,039.57 1,295,858.39 1,663,519.67
Konsumsi Pelumas 0.0032 0.006 0.0049 144.00 270.00 220.50
Biaya Pemakaian Ban 0.0220107 0.0306013 0.0407257 5,502.68 8,415.36 40,725.70
Biaya pemeliharaan (suku
cadang) 0.0007487 0.0030851 0.002113 748.70 4,627.65 4,226.00
Biaya Pemeliharaan (montir) 0.47127 2.67063 1.6653 23,563.50 133,531.50 83,265.00
Bunga modal 0.0022 0.0022 0.0022 429,000.00 550,000.00 1,100,000.00
Biaya asuransi 0.002533333 7.77778E-05 0.001186111 494,000.00 19,444.44 593,055.56
Total Biaya Operasional Kendaraan / 1000 km 1,524,998.44 2,012,147.35 3,485,012.42
Biaya Operasional Kendaraan / 1 km 1,525.00 2,012.15 3,485.01
Sumber: hasil analisis

10000
9000
8000 y = 7.705x3 - 34.44x2 + 162.2x + 2758.
R² = 0.996
7000
Rupiah/km

6000
5000
4000
3000
2000 y = 8.289x3 - 64.49x2 + 245.9x + 961.3
1000 R² = 0.996

0
60

50

40

31

26

21

13

Kecepatan km/jam

LV-Kendaraan Ringan Kendaraan Berat

Gambar 2. Grafik hubungan kecepatan dan BOK

Grafik diatas mengindikasikan bahwa semakin rendah kecepatan akan berpengaruh


signifikan terhadap peningkatan BOK begitupun sebaliknya semakin tinggi kecepatan
akan berpengaruh pada pengurangan BOK. Dengan kondisi jalan yang buruk (kecepatan
< 20 km/jam) masyarakat harus mengeluarkan biaya operasional kendaraan
>Rp. 2.000/km untuk kendaraan ringan dan >Rp. 3.800/km untuk kendaraan berat.
Apabila kondisi jalan baik (kecepatan antara 30 s/d 60 km/jam) masyarakat hanya
mengeluarkan biaya per kilometernya antara Rp. 1.200 s/d 1.150 untuk kendaraan
ringan, dan Rp. 3.400 s/d 3.000 untuk kendaraan berat. Oleh karena itu apabila ruas-ruas
strategis di Provinsi Sulawesi Selatan ditingkatkan kinerjanya akan memberikan
kontribusi berupa penghematan BOK sebesar Rp. 138,3 milyar/tahun (lihat Tabel 12).
Selanjutnya dengan menggunakan metode IRMS dengan pendekatan metode
pendapatan tradisional, maka besaran nilai waktu atau potensi pendapatan pengguna
jalan di Provinsi Sulawesi Selatan berkisar antara Rp. 4.212 s/d 20.792 kendaraan/jam.
Sehingga apabila dilakukan perbaikan jalan yang berdampak pada penghematan waktu
tempuh akan didapatkan akumulasi nilai saving nilai waktu sebesar Rp. 50,576
Milyar/tahun

Fadly Ibrahim 13
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Tabel 10. Besaran Nilai Waktu Perjalanan


Angkutan Angkutan Bus Sepeda
Komponen Sedan Bus Kecil Truk
Umum Barang Besar motor
Pendapatan/bulan 3,650,000 1,095,000 986,000 1,095,000 1,095,000 986,000 1,460,000
Pendapatan menurut SWR
3,102,500 930,750 838,100 930,750 930,750 838,100 1,241,000
(tingkat upah bayangan 85%)
Waktu kerja/bulan (7 jam/hari) 191 191 191 191 191 191 191
TTC Penumpang per Jam
Nilai waktu kerja 16,243 4,873 4,388 4,873 4,873 4,388 6,497
Nilai waktu istirahat 4,548 1,364 1,229 1,364 1,364 1,229 1,819
% Perjalanan kerja 50% 30% 75% 30% 30% 75% 50%
% Perjalanan bukan untuk bekerja 50% 70% 25% 70% 70% 25% 50%
Penumpang (org) 2.0 8.0 1.0 16.0 32.0 1.0 1.2
TTC/penumpang/jam (Rp.) 10,396 1,871 4,212 1,871 1,871 4,212 4,158
TTC/kendaraan/jam (Rp.) 20,792 14,970 4,212 29,940 59,880 4,212 4,990
Sumber: Hasil analisis

Nilai waktu yang didapatkan tersebut harus dikalibrasi dengan membandingkan nilai
waktu yang didapatkan pada studi-studi sebelumnya. sebagai bahan pembanding Tabel
11 menunjukkan besaran nilai waktu menurut hasil perhiungan IRMS tahun 2006 dan
HLPI Sulawesi tahun 2001.
Tabel 11. Nilai Waktu Perjalanan berdasarkan HLIP dan IRMS
Nilai
Nilai Waktu/jam/org Jenis Waktu/jam/kendaraan
Kategori
HLIP 2001 IRMS Kendaraan HLIP 2001 IRMS
(Sulwesi)* 2006** (Sulwesi)* 2006**
Penggunaan mobil,
9.735 11.749 Mobil 11.560 15.038
bekerja
Angkutan
Penggunaan bus, bekerja 3.809 3.720 12.850 14.763
Barang
Penggunaan mobil, bukan
2.920 3.290 Bus Sedang 26.226 29.525
kerja
Penggunaan bus, bukan
1.143 1.042 Bus Besar 53.996 59.050
kerja
*: Heavy Loaded Road Improvement Project II, Master Plan Review Study for National Network Roads, Laporan Akhir
Volume 2 Desember 2001
**: IRMS : Updating the VOC Equation Coefficients, 2006
Sumber: JICA 2008
Tabel 12. Rekapitulasi Biaya Manfaat
Saving (Rp)
No Ruas
BOK Nilai Waktu Jumlah
1 Sungguminasa-Malino-Batas Sinjai 28,050.02 1,872.61 29,922.63
2 Pekkae Takkalala - Ujung Lamuru 57,434.81 16,917.09 74,351.90
3 Ujung Lamuru - Bajo - Tanabatue Palattae 1,334.10 2,685.64 4,019.74
4 Tanete - Tanaberu 946.04 941.46 1,887.49
5 Palangga - Sapaya - Jeneponto - Bantaeng 6,351.24 5,117.16 11,468.40
6 Solo - Peneki - Kulampu 943.26 628.33 1,571.59
7 Soppeng - Pangkajene - Sidrap 1,870.21 1,731.66 3,601.87
8 Pacciro - Galesong - Patalassang 5,166.02 3,484.68 8,650.70
9 Salonro - Pompanua - Taccipi 2,838.47 2,982.59 5,821.06
10 Perintis - Parangloe 33,369.00 14,214.97 47,583.97
Jumlah 138,303.17 50,576.18 188,879.35
Sumber: hasil analisis

Fadly Ibrahim 14
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

4.6. Kelayakan dan Sensitifitas Investasi


Pada prinsipnya kriteria yang digunakan dalam analisa ekonomi adalah
membandingkan antara keuntungan yang diperoleh dari penghematan biaya operasi
kendaraan dengan biaya investasi, pemeliharaan dan biaya operasi kendaraan yang
dikeluarkan untuk membangun jalan provinsi, selama umur pelayanan jalan tersebut.
Hasil analisis NPV didapatkan angka sebesar Rp. 457.574, dalam evaluasi ekonomi
apabila NPV bernilai positip maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar, yang
berarti bahwa proyek tersebut dibenarkan untuk dilaksanakan. Sedangkan Benefit Cost
Ratio merupakan perbandingan antara besarnya keuntungan (benefit) dengan besarnya
biaya (cost) menurut tingkat present value (nilai sekarang). Apabila nilai B/C Ratio
lebih besar dari 1, maka proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Ambang batas nilai
B/C Ratio adalah 1, bila lebih kecil dari 1, maka proyek tersebut tidak layak
dilaksanakan. Hasil analsis menunjukkan bahwa BCR yang didapatkan 2,28 (>1).
Sedangkan Internal Rate of Return (IRR) merupakan besaran yang dinyatakan
dengan suatu tingkat diskonto dimana nilai sekarang dari keuntungan (benefit) adalah
sama besarnya dengan nilai sekarang dari biaya-biaya (cost) yang dikeluarkan. Dengan
kata lain IRR merupakan tingkat diskonto dimana NPV = 0. Hasil analisis didapatkan
nilai IRR 23.51%.
Mengingat fluktuatifnya kondisi makro ekonomi, maka mengharuskan proyek-
proyek yang akan diinvestasikan harus mempertimbangkan kemungkinan perubahan-
perubahan tersebut. Untuk itu investasi proyek harus tidak sensitif dengan
kecenderungan perubahan yang mungkin terjadi. Analisis sesitivitas menunjukan bahwa
pada kondisi optimis dimana terjadi perubahan parameter investasi berupa peningkatan
biaya manfaat sebesar 25% dan penurunan biaya investasi sebesar 25% didapatkan NPV
Rp. 777.431, BCR 3.54 dan IRR 25,94%. Sedangkan pada kondisi pesimis dimana
perolehan biaya manfaat lebih kecil 25% dari asumsi dan biaya investasi meningkat
25% dari estimasi awal, didapatkan nilai NPV Rp. 160.935, BCR 1.46 dan IRR 19.11%.
hal ini mengindikasikan bahwa baik pada kondisi optimis maupun pesimis proyek
peningkatan jalan provinsi sangat layak dan tidak sensitif terhadap perubahan parameter
investasi.

Tabel 13. Analisa sensitivitas untuk perubahan 25% keuntungan dan biaya

BCR BCR
Uji NPV IRR
(12%) (15%)
Kondisi dasar 457,574 23.51% 2.28 2.00
Uji 1: Biaya Invetasi turun 25%, manfaat naik 25%
777,431 25.94% 3.54 3.11
(Kondisi Optimis)
Uji 2: Biaya Invetasi naik 25%, manfaat turun 25%
160,935 19.11% 1.46 1.28
(Kondisi Pesimis)
Sumber: hasil analisis

4.7. Keuangan Daerah dan Kemampuan Pengembalian Pinjaman


Sulawesi Selatan mengalami perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam lima
tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), pergeseran struktur PDRB, pendapatan perkapita,
pertumbuhan ekonomi, perbaikan penanaman modal, penurunan angka kemiskinan dan
penurunan angka pengangguran, dalam kondisi pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi. Perkembangan ini berlangsung dalam kondisi membaiknya pelayanan publik,

Fadly Ibrahim 15
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

meningkatnya belanja pemerintah daerah, dan meningkatnya pembangunan


infrastruktur.
Perekonomian Sulawesi Selatan didorong oleh sektor pertanian melalui komoditas
unggulannya. Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian menyumbang 27 persen
PDRB provinsi dan menyerap hampir separuh tenaga kerja (2009). Ini menunjukkan
bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih ditopang oleh produk primer dan sumber
daya manusia di pertanian tradisional. Tantangan dalam mengelola komoditas unggulan
seperti kakao, komoditas pangan (padi dan jagung), serta komoditas kelautan (perikanan
dan rumput laut) harus dihadapi dengan berorientasi pada agro industri dan agribisnis.
Perkembangan kinerja keuangan pemerintah derah tidak terlepas dari batasan
pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam: (1) Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (2) Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (3) Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 juncto Permendagri Nomor 59 tahun 2007
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Antara tahun 2005 hingga 2010, pendapatan meningkat dua kali lipat, tetapi masih
sangat bergantung pada transfer dari pusat. Selama periode tersebut, pendapatan
tumbuh sebesar 76 persen mencapai hampir Rp. 16 triliun. Pendapatan pemerintah
kabupaten/kota dengan tumbuh 11 persen per tahun, sementara pendapatan pemerintah
provinsi tumbuh 9 persen per tahun. Transfer pusat menyumbang 76 persen pendapatan
di Sulawesi Selatan, hingga mencapai Rp. 11 triliun pada tahun 2010. Hanya 7 persen
dari pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Sementara 58 persen pendapatan pemerintah provinsi berasal dari PAD.
Daya serap anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tergolong rendah.
Rendahnya daya serap ditandai oleh besarnya Sisa Lebih Perhitungan Angggaran
(SiLPA) tahun anggaran, dimana SiLPA tahun sebelumnya mendominasi sumber
penerimaan pembiayaan tahun berjalan, baik pada pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi SiLPA tahun sebelumnya
terhadap penerimaan pembiayaan tahun berjalan mencapai 87 persen (2007), meskipun
cenderung menurun menjadi 50 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada Pemerintah
Provinsi, seluruh penerimaan pembiayaan bersumber dari SiLPA (2010).
Sulawesi Selatan perlu meningkatkan kualitas komposisi anggarannya. Hampir
separuh belanja pemerintah di Sulawesi Selatan (44 persen) digunakan untuk belanja
pegawai, sementara belanja modal menghabiskan 26 persen dari total anggaran. Belanja
terbesar Pemerintah Provinsi adalah transfer ke daerah bawahan (37 persen), belanja ini
sebagian besar digunakan untuk Program Kesehatan Gratis dan Pendidikan Gratis.
Belanja pendidikan mendominasi belanja pemerintah kabupaten kota, sebesar 33 persen
dari total belanja. Porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah mendominasi
jenis belanja lainnya, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Proporsi alokasi
belanja untuk sektor strategis (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian)
masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pemerintahan umum.
Dengan kualitas komposisi anggaran yang lebih didominasi untuk belanja program
pendidikan dan kesehatan gratis, mengharuskan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
mencari sumber-sumber pembiayaan untuk mendanai pembangunan infrastruktur jalan
yang tingkat keterdesakannya sama dengan sektor-sektor lainnya.
Pinjaman Daerah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan
meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman

Fadly Ibrahim 16
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan
daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu,
pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman
daerah.
Di Indonesia, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) atau rasio kemampuan
membayar kembali pinjaman digunakan untuk menentukan batas maksimal pinjaman
jangka panjang. Semakin besar DSCR suatu daerah maka semakin bagus pula keadaan
keuangan daerah tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
30 tahun 2011 Tentang Pinjaman daerah mengenai Persyaratan Pinjaman Daerah, batas
maksimum jumlah pinjaman jangka panjang adalah: (1) Jumlah kumulatif Pokok
Pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan
umum APBD tahun sebelumnya. (2) Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran
Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, DSCR paling sedikit 2,5 (dua
setengah). Tabel dibawah memperlihatkan bahwa dengan kapasitas PAD yang dimiliki
> Rp. 2,3 Trilyun didapatkan nilai DSCR 18.91 s/d 45.65. angka ini menjelaskan
bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sangat memiliki kemampuan untuk
mengembalikan pinjaman dari lembaga pembiayaan.

Tabel 14. Proyeksi DSCR Provinsi Sulawesi Selatan (Rp x 1 Milyar)


No. Komponen 2012 2013 2014 2015 2016 2017
A Komponen Pendapatan dan Belanja
1 PAD 2,348.70 2,536.59 2,739.52 2,958.68 3,195.37 3,451.00
2 DAU 996.94 1,077.69 1,164.98 1,259.35 1,361.36 1,471.63
3 DBH 284.16 308.88 335.75 364.97 396.72 431.23
4 DBH Dana Reboisasi - - - - - -
5 Belanja Wajib: (899.83) (755.90) (622.21) (603.20) (515.21) (515.21)
- Belanja Pegawai - - - - - -
- Belanja DPRD - - - - - -
Jumlah 2,729.96 3,167.26 3,618.05 3,979.80 4,438.24 4,838.65
B Komponen Pinjaman - - - - - -
1 Angsuran Pokok Pinjaman - 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
2 Bunga Pinjaman - 30.00 24.00 18.00 12.00 6.00
3 Administrasi (0.75%) - 37.50 - - - -
Jumlah - 167.50 124.00 118.00 112.00 106.00
DSCR (> 2.5) - 18.91 29.18 33.73 39.63 45.65
Sumber: hasil analisis

Tabel diatas juga menunjukkan bahwa alokasi APBD untuk membayar angsuran pokok
dan bunga pinjaman setiap tahunnya yang berkisar antara Rp 106 Milyar s/d Rp. 167.5
Milyar relatif lebih kecil dibanding trend alokasi APBD untuk belanja infrastruktur
jalan. Sehingga pembiayaan infastruktur jalan melalui skema pinjaman dapat
dideskripsikan sebagai akumulasi belanja infrastruktur selama 5 tahun yang
angsurannya ekivalen dengan belanja infrastruktur jalan setiap tahunnya.

4.8. Skema Pinjaman


Persyaratan dan mekanisme pinjaman yang digunanakan pada penelitian ini
didasarkan pada skema yang ditetapkan Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Lembaga

Fadly Ibrahim 17
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

pembiayaan ini merupakan badan investasi pemerintah yang memiliki peran dalam
percepatan pembangunan ekonomi dan menjadi salah satu factor penting dalam
pertumbuhan investasi kehususnya pembiayaan infrastruktur. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah, PIP menjalankan tugas dan fungsi
operator investasi pemerintah yaitu melaksanakan pengelolaan investasi saham, surat
utang dan investasi langsung yang dapat berupa pinjaman, kerjasama Pemerintah-
Swasta dan penyertaan modal dalam pembiayaan proyek. PIP mengembangkan kriteria
umum bagi daerah yang dapat dibiayai pembangunan infrastrukturnya melalui pinjaman
daerah seperti dideskripsikan pada gambar 3. Proses pengajuan pinjaman daerah ke PIP
seperti diskemakan pada gambar 4.

LKPD 3 tahun
(WDP)
Persetujuan DPRD Tdk memiliki
tunggakan

Tdk melebihi 75%


Penerimaaan
Sesuai RPJMD
umum APBD

Batas maksimal
DSCR > 2.5 kl defisit 6%

Fasilitas
pembiayaan PIP

Gambar 3. Kriteria umum fasilitasi pembiayaan infrastruktur PIP

Pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh PIP setidaknya didasarkan pada prinsip-
prinsip yaitu; (1) Proyek investasi merupakan kegiatan prioritas baik dari skala nasional
maupun daerah, (2) Proyek investasi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dan meningkatkan akses pada sentra-sentra pertumbuhan ekonomi, (3)
Merupakan proyek yang bertujuan meningkatkan pelayanan publik dan memberikan
dampak terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi dan manfaat lainnya bagi masyarakat.

Gambar 4. Skema pinjaman daerah

Skema tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut; (1) Pemda mempunyai proyek
pembangunan/revitalisasi infrastruktur, pembangunan proyek lebih dari 1 tahun dan

Fadly Ibrahim 18
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

telah dimasukkan dalam RPJMD, (2) APBD Pemda tidak mencukupi untuk pembiayaan
pembangunan dan mengajukan permohonan pinjaman kepada PIP, (3) PIP memberikan
pinjaman kepada Pemda untuk pembangunan proyek infrastruktur dan dimasukkan
dalam APBD, (4) Dana pinjaman PIP oleh Pemda digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, (5) Proyek infrastruktur member manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat
lainnya kepada daerah, dan (6) Pemda mengembalikan kewajiban (pokok, bunga, dan
lain-lain jika ada) kepada PIP yang ditetapkan dengan Perda selama jangka waktu masa
pinjaman.
Pada studi ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memanfaatkan dana dari PIP
untuk membangun infrastruktur jalan provinsi dengan masa waktu pinjaman 5 tahun
dan skema pembayaran hutang pokok dan bunga dilakukan setiap tahun. Besaran bunga
pinjaman 6% dan administrasi 0.65% yang dibayarkan pada tahun pertama. Tabel
berikut menunjukkan skema pembayaran pinjaman.

Tabel 11.4. Skema pembayaran pinjaman


Pembayaran Sisa Pinjaman
Pembayaran bunga dan biaya Jumlah
Bulan dan hutang pokok jasa bank pembayaran
No.
tahun (6%/thn)
(Rp.) (Rp.) (Rp.) (Rp.)
1 Tahun 2012 1,250,000,000.00 1,250,000,000.00
1,000,000,000.00 1,000,000,000.00
1,000,000,000.00 1,000,000,000.00
2 Februari 2013 50,000,000,000.00 15,000,000,000.00 65,000,000,000.00 517,500,000,000.00
3 Oktober 2013 50,000,000,000.00 13,500,000,000.00 63,500,000,000.00 454,000,000,000.00
4 Februari 2014 50,000,000,000.00 12,000,000,000.00 62,000,000,000.00 392,000,000,000.00
5 Oktober 2014 50,000,000,000.00 10,500,000,000.00 60,500,000,000.00 331,500,000,000.00
6 Februari 2015 50,000,000,000.00 9,000,000,000.00 59,000,000,000.00 272,500,000,000.00
7 Oktober 2015 50,000,000,000.00 7,500,000,000.00 57,500,000,000.00 215,000,000,000.00
8 Februari 2016 50,000,000,000.00 6,000,000,000.00 56,000,000,000.00 159,000,000,000.00
9 Oktober 2016 50,000,000,000.00 4,500,000,000.00 54,500,000,000.00 104,500,000,000.00
10 Februari 2017 50,000,000,000.00 3,000,000,000.00 53,000,000,000.00 51,500,000,000.00
11 Oktober 2017 50,000,000,000.00 1,500,000,000.00 51,500,000,000.00 -
TOTAL 500,000,000,000.00 85,750,000,000.00 585,750,000,000.00
*inklud biaya administrasi sebesar 0.65%
Sumber: Hasil analisis

5. KESIMPULAN
Untuk mendukung implementasi program MP3EI, maka diperlukan sinergi dan
konektifitas baik skala nasional maupun regional. Rendahnya tingkat pelayanan transportasi
yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai akibat dari penurunan kinerja ruas jalan
harus segera ditingkatkan kualitasnya khususnya pada ruas-ruas yang strategis dalam
mendukung penguatan konektifitas wilayah. Konsekwensi biaya yang dibutuhkan untuk
pembangunan jalan tersebut dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan yang disiapkan oleh
lembaga investasi pemerintah (PIP). Pinjaman ini pada dasarnya dapat dideskripsikan sebagai
akumulasi belanja infrastruktur selama 5 tahun yang angsurannya ekivalen dengan belanja
infrastruktur jalan setiap tahunnya. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis kelayakan, proyek
pembangunan infastruktur jalan provinsi sangat layak untuk didanai dan tidak sensitif
terhadap perubahan makro ekonomi. Disamping itu kapasitas keuangan daerah cukup kuat
untuk mengembalikan pinjaman tersebut.

Fadly Ibrahim 19
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

DAFTAR PUSTAKA

Cheng, E.W.L. and Li, H. (2005). “Analytical Network Process Applied to Project Selection”, Journal of
Construction Engineering and Management, 131 (4), 459-466.
Departement for Communities and Local Government. (2009). Multi Criteria Analysis: a Manual,
Communities and Local Government Publication, London.
Ibrahim, F. (2010). “Pemilihan Trase Jalan dengan Pendekatan Analisis Multi Kriteria”. Proceeding
Konfrensi Pascasarjana Teknik Sipil. ISBN-978-979-16225-5-4. Hal 79.ITB.
____ (2011). “Kajian Penanganan Geometrik Jalan Pada Kawasan Konservasi Taman Nasional Babul
Provinsi Sulawesi Selatan”. Proceeding Konfrensi Pascasarjana Teknik Sipil. ISBN-978-979-
16225-5-4. Hal 79.ITB.
Guillermo A, Mandoza, dan Phill Macaun. (1999). Panduan Untuk Menerapkan Anlisis Multi Kriteria
Untuk Menilai Kriteria dan Indikator, Center for International Forestry Research. Jakarta.
Hemanta, dan Xiao-Hua. (2008). “Modelling Multi-Criteria Decision Analysis for Benchmarking
Management Practices in Project Management”, International Conference On Information
Technology In Construction. Oktober 2008.
Kodoatie, R. J. (2005). Pengantar Manajemen Infrastruktur. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kaiser, E. J. David, Godshalck, dan Chapin, F.S. (1995). Urband Land Use Palnning. University of
Illionis Press. Urbana and Chicago.
Sjafruddin A.(2004), Studi Kelayakan dan Pendanaan Infrastruktur, Institut Teknologi Bandung.
Saaty, T.L. (1988). Multicriteria Decision Making : The Analytic Hierarchy Process. British Library.
USA.
Sekaryadi, Y. (2006). Penentuan Trase Jalan dengan AMK, Jurnal Teknik Sipil, 2 (1), 34-43.
Rozann, W.S. (2003). Decision Making In Complex Environments: The Analytic Hierarchy Process
(AHP) for Decision Making and The Analytic Network Process (ANP) for Decision Making with
Dependence and Feedback. Super Decisions Tutorial.
Riduwan. (2007). Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Edisi 5. Alfabeta, Bandung.
Tamin, O. Z. Syafruddin, A. (2005). “Determination Priority Of Road Improvement Alternatives Based
On Region Optimization Case Study: Bandung City Indonesia”, Proceedings of the Eastern Asia
Society for Transportation Studies, 5, 1040 – 1049.
Tamin, O. Z. (2004). Manajemen Operasi Lalu-lintas, ITB.
Tarigan, R. (2004). Perencanaan dan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara Jakarta.
Tamin, O. Z. (2002). “Konsep Pengembangan Transportasi Wilayah di Era Otonomi Daerah”. Makalah
pada Kuliah Tamu Program Pascasarjana Universtas Hasanuddin. 17-18 Januari 2002.

Fadly Ibrahim 20
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013

Biografi Penulis

Nama : Fadly Ibrahim


Tempat Tanggal lahir : Bone, 28 November 1978
Alamat : Perumahan Grand Aroepala Blok C. 16
Makassar Provinsi Sulsel

Telepon : 081336002226
Pekerjaan
2002 – 2004 : Direktur Eksekutif Lembaga Kajian
Pengembangan Infrastruktur Kota (LENSA
KOTA) Makassar

2004 – Sekarang : Karyawan PT. Yodya Karya (Persero)


Pendidikan
Pendidikan S1 : Teknik Sipil UMI Makassar 2003
Pendidikan S2 : Teknik Sipil UNHAS 2009
Organisasi Profesi : Anggota Himpunan Pengembang Jalan
Indonesia (HPJI)

: Anggota Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi


Indonesia (ATAKI)

Aktifitas luar profesi : Aktif pada kegiatan peningkatan kapasitas


masyarakat perdesaan. (2007 – sekarang)

Fadly Ibrahim 21

Anda mungkin juga menyukai