Fadly Ibrahim
Karyawan PT. Yodya Karya (Persero)
Kantor Cabang Utama Makassar Jl. AP. Pettarani No. 74 Makassar
fadly_surur@yahoo.co.id
Abstrak: Provinsi Sulawesi Selatan sebagai bagian dari koridor ekonomi MP3EI masih
diperhadapkan oleh permasalahan konektifitas wilayah, sehingga pusat keunggulan (centre
of excellent) yang tersebar di Wilayah Sulsel belum dapat dikembangkan secara optimal
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Rendahnya konektifitas tersebut
dipengaruhi oleh kondisi jalan provinsi yang tingkat pelayanannya sudah sangat menurun.
Dari panjang 1147,51 km terdapat 458,54 km dalam kondisi baik atau 39.86%, 399,33 km
atau 34.80% kondisi sedang, dan 209,06 km atau 18.22% kondisi rusak ringan, serta 74,58
km atau 6.50% rusak berat, dan sisanya 6,00 km atau 0,52% belum tembus.Variasi kondisi
jalan provinsi tersebut tersebar pada 45 ruas jalan yang masing-masing memiliki tingkat
kepentingan dan keterdesakan penanganan yang berbeda.
Penilaian terhadap ruas-ruas strategis yang perlu ditingkatkan dalam mendukung
konektifitas regional mempertimbangkan 7 kriteria yakni; (1) Akomodasi kebutuhan perjalanan,
(2) Kesesuaian dengan kebijakan daerah (3) Tingkat kerusakan jalan, (4) Memberikan manfaat
terhadap masyarakat dan pertumbuhan ekonomi regional, (5) Meningkatkan aksessibilitas dan
interaksi kawasan, (6) Jaringan jalan melintasi kawasan strategis dan daerah yang memiliki
potensi/komoditas unggulan, dan (7) Dilintasi trayek angkutan umum. Dengan menggunakan
pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP) mengindikasikan bahwa dari ruas-ruas yang
dianalisis terdapat 10 ruas yang strategis dan prioritas untuk ditangani dengan estimasi biaya
konstruksi dan pemeliharaan Rp. 638,070 Milyar.
Dengan mempertimbangkan trend alokasi belanja daerah untuk pembangunan jalan
dan kompleksitas kebutuhan pembiayaan untuk sektor lainnya, maka diproyeksi pencapaian
kondisi mantap ruas-ruas strategis tersebut sangat sulit dipenuhi dalam waktu singkat sesuai
dengan skenario pembangunan daerah. Oleh karena itu untuk mempercepat pencapaian
target tersebut sekaligus mengantisipasi laju percepatan kerusakan jalan, maka pemerintah
provinsi dapat memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema pinjaman. Hasil
analisis Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi
Sulsel cukup mampu mengembalikan pinjaman tersebut.
Sedangkan dari persfektif investasi menunjukkan bahwa hasi analisis BOK dengan
menggunakan metode harga tetap dihasilkan saving BOK setelah penanganan sebesar
Rp. 138,303 Milyar/tahun, dan dengan menggunakan metode income approach diestimasi
saving nilai waktu setelah penanganan jalan sebesar Rp. 50,576 Milyar/tahun. Apabila
angka ini diproyeksi sesuai dengan umur proyek (10 tahun) dan diintegrasikan dengan
kecenderungan peningkatan jumlah kendaraan di masa mendatang, maka didapatkan
akumulasi biaya manfaat sebesar Rp. 2,609 Trilyun. Angka ini sangat besar dibandingkan
dengan total biaya investasi yang hanya mencapai Rp. 638,070 Milyar Sehingga berdasarkan
kriteria investasi akan didapatkan nilai NPV pada akhir proyek sebesar Rp. 457.574 Milyar,
nilai BCR 2.28 (>1,0) dan IRR 23.51% untuk discount factor 12% dan 15%. Nilai kriteria
tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan pada kondisi skenario optimis dan
pesimis (±25%). Hal ini mengindikasikan bahwa proyek ini layak secara ekonomi dan tidak
sensitif terhadap perubahan parameter investasi.
Fadly Ibrahim 1
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
1. PENDAHULUAN
Indonesia cukup optimis dalam melakukan transformasi ekonomi yang
berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi SDA setiap daerah agar daerah di
Indonesia mampu mengembangkan kekuatan ekonomi lokal berdasarkan ciri khas
daerah itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini jajaran Kementerian Perekonomian telah
merumuskan program perecepatan pembangunan perekonomian yang dikenal dengan
program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi).
Program MP3EI mengusung tiga tema utama yaitu : 1) Pengembangan Potensi Ekonomi
Melalui Koridor Ekonomi, 2) Penguatan Konektivitas Nasional dan, 3) Penguatan
Kemampuan SDM Dan IPTEK Nasional.
Sinergis dengan program strategis tersebut, maka pemerintah daerah perlu
membangun suatu hubungan interaksi yang saling menguntungkan antara daerah-daerah
yang berada disekitarnya (mutually ekslusive), hal ini juga untuk menghindari
terbentuknya ego spasial yang akan melemahkan kekuatan ekonomi suatu daerah.
Interaksi regional ini perlu dikembangkan mengingat struktur ekonomi suatu kawasan
tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya apabila tidak didukung oleh wilayah
hinterland-nya. Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara kota sebagai pusat
pertumbuhan (Growth Pole) dan daerah belakangnya harus memiliki keharmonisan
mengingat wilayah hinterland menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat kota.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa upaya peningkatan konektifitas nasional
perlu didukung dengan penguatan konektifitas regional, sehingga terbentuk konektifitas
yang berhirarki, yang tidak hanya menghubungkan antara simpul-simpul ekonomi
nasional tapi juga simpul-simpul ekonomi regional/kawasan.
Interkoneksitas spasial selain untuk mereduksi potensi terciptanya kesenjangan
perekonomian dan kesejahteraan yang semakin tajam dalam masyarakat antar daerah,
juga diharapkan terwujudnya saling keterkaitan yang bersifat sinergis dan simbiosis
mutualistis dalam berbagai kegiatan pembangunan wilayahnya, sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah yang tentunya akan berdampak positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mendukung interaksi antara pusat-pusat pelayanan tersebut dan mencapai
tingkat perkembangan wilayah perkotaan yang optimal, maka dibutuhkan konstribusi
sektor transportasi sebagai prasarana dan sarana dalam mendorong perkembangan
wilayah, menurut Kaiser, EJ, dkk (1995), bahwa interaksi antara sistem transportasi
dengan tata guna lahan betujuan untuk mencapai keseimbangan, dan interkasi tersebut
dijadikan sebagai dasar perencanaan mengingat transportasi merupakan determinan
penting dalam proyeksi perkembangan wilayah dan rencana tata guna lahan. Sedangkan
menurut Wegener (1995 :157) kebijaksanaan transportasi merupakan cara cepat untuk
mempengaruhi pertumbuhan wilayah, begitupun sebaliknya kebijaksanaan tata guna
lahan juga merupakan cara cepat untuk mempengaruhi sistem transportasi.
Oleh karena peningkatan ekonomi dan pengembangan suatu wilayah
kabupaten/kota sangat berkaitan dengan peran sektor transportasi darat dalam hal ini
prasarana jaringan transportasi, maka pada prinsipnya diperlukan suatu pelayanan
transportasi yang efektif dan efesien dalam mendukung aktifitas dan mobilitas
masyarakat pada suatu kawasan. Tingkat pelayanan infrastruktur transportasi dalam
mendukung pembangunan daerah dan pengembangan wilayah sangat menentukan
pencapaian pertumbuhan dan pemerataan secara sosial ekonomi. Tamin (2002)
menjelaskan bahwa infrastruktur jaringan transportasi yang efesien dan berkualitas
tinggi akan meningkatkan produktifitas dan memudahkan pergerakan angkutan barang
melalui penurunan biaya transportasi.
Fadly Ibrahim 2
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Berdasarkan data Dinas Binamarga Provinsi Sulsel panjang dan kondisi jalan di
Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2012 mencapai 2,970.03 km yang terdiri dari
1,722.79 km jalan nasional dan 1,147.51 km jalan provinsi. Untuk jalan nasional
kondisnya relatif baik, dengan proporsi 92% kondisi baik, dan 8% dalam kondisi rusak
ringan dan berat. Khusus untuk jalan provinsi kondisi perkerasannya cukup bervariasi,
yakni 458.54 km dalam kondisi baik atau 39.86%, 399.33 km atau 34.80% kondisi
sedang, dan 209.06 km atau 18.22% kondisi rusak ringan, serta 74.58 km atau 6.50%
rusak berat, dan sisanya 6.00 km atau 0,52% belum tembus. Data tersebut,
mengindikasikan bahwa kondisi jalan provinsi di Sulawesi Selatan kinerjanya masih
rendah, sehingga belum optimal untuk mendukung aksessibilitas dan mobilitas
masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kinerja dengan melakukan
pembangunan dan perbaikan konstruksi pada ruas-ruas yang cukup parah tingkat
kerusakannya, sehingga pelayanan transportasi dapat meningkat dan tentunya akan
berimplikasi pada peningkatan produktifitas masyarakat sekitar.
Ditengah kompleksitas kebutuhan pembiayaan pembangunan dan anggaran
pemerintah daerah yang terbatas sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur
yang memadai untuk mendukung prekonomian daerah. Oleh karena itu, pemerintah
daerah dapat mempertimbangkan skema penyediaan infrastruktur melalui investasi
lembaga pembiayaan pemerintah maupun swasta.
2. SASARAN PENELITIAN
Sasaran penelitian ini adalah tersedianya kerangka analisis terkait dengan upaya
penguatan konektifitas wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan melalui pembangunan
infrastruktur jalan kolektor dengan memanfaatkan pembiayaan dari lembaga investasi
pemerintah, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi bagi daerah-daerah lain dalam
membuat kebijakan pembangunan infrastruktur wilayah yang menguatkan koridor
ekonomi nasional MP3EI.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Tahap 1. Evaluasi tingkat interaksi wilayah dan pelayanan transportasi
Pada tahap ini akan dilakukan analisis interaksi wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
yang diukur berdasarkan parameter indeks konektifitas, tingkat aksessibilitas, tingkat
mobilitas dan tingkat pelayanan. Penilaian indeks konektifitas didasarkan pada metode
yang dikembangkan oleh KJ. Kansky dengan formulasi rasio antara jumlah jalan dengan
jumlah kota. Sedangkan penilaian tingkat aksessibilitas, mobilitas dan pelayanan
transportasi didasarkan pada Permen PU Nomor 14 /PRT/M/2010.
Fadly Ibrahim 3
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Tingkat
Definisial Penjelasan
kepentingan
1 Sama penting Sama pentingnya dibanding yang lain
3 Relatif lebih Moderat pentingnya dibanding yang lain
Penting
5 Lebih penting Kuat pentingnya dibanding yang lain
7 Sangat penting Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain
9 Jauh lebih penting Ekstrim pentingnya dibanding yang lain
2, 4, 6, 8 Nilai antara Nilai di antara dua penilaian yang
berdekatan.
Kebalikan jika elemen i memiliki salah satu
angka di atas ketika dibandingkan elemen j,
Kebalikan
maka memiliki nilai kebalikannya ketika
dibandingkan elemen i
Penilaian kriteria dan ruas dilakukan berdasarkan preferensi responden yang dinilai
memiliki kompetensi (expert) dalam bidang perencanaan jalan melalui kuesioner.
Fadly Ibrahim 4
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
penilaian perbandingan berpasangan harus diulang (Saaty dan Vargas, 1994). Dalam hal
random index (RI), secara berturut-turut (RI/orde matriks) adalah (1/0), (2/0), (3/0,58),
(4/0,9), (5/1,12), (6/1,24), (7/1,32), (8/1,41), (9/1,45), (10/1,49).
Untuk memudahkan proses analisis, semua langkah dilakukan menggunakan
perangkat lunak Super Decision yang yang dikembangkan oleh William J. Adams dari
Embry Riddle Aeronautical University, Florida, bekerjasama dengan Rozann W. Saaty
(Saaty, 2003).
Fadly Ibrahim 5
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Bt Ct B t = penerimaan
∑ −∑
1. Net Present Value
(1 + i)t (1 + i)t
(NPV) NPV =
pada tahun t
C t = pengeluaran
n Bt
∑
2. Benefit Cost Ratio
atau biaya
(1 + i)
(BCR)
t pada tahun t
B / C = t =0 i = tingkat bunga
n C
∑ t
t =0 (1 + i )
t
Bt − Ct
∑ =0
3. Internal Rate of Return
(1 + r )t
IRR =
Fadly Ibrahim 6
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
4. ANALISIS PEMBAHASAN
4.1. Posisi Provinsi Sulawesi Selatan dalam Koridor Ekonomi MP3EI
Koridor Ekonomi Sulawesi mempunyai tema Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil
Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Pertambangan Nikel Nasional. Koridor ini
diharapkan menjadi garis depan ekonomi nasional terhadap pasar Asia Timur, Australia,
dan Amerika. Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki potensi tinggi di bidang ekonomi
dan sosial dengan kegiatan-kegiatan unggulannya. Meskipun demikian, secara umum
terdapat beberapa hal yang harus dibenahi di Koridor Ekonomi Sulawesi:
(1) Rendahnya nilai PDRB per kapita di Sulawesi dibandingkan dengan pulau lain di
Indonesia; (2) Kegiatan ekonomi utama pertanian, sebagai kontributor PDRB terbesar
(30 persen), tumbuh dengan lambat padahal kegiatan ekonomi utama ini menyerap
sekitar 50 persen tenaga kerja; (3) Investasi di Sulawesi berasal dari dalam dan luar
negeri relatif tertinggal dibandingkan daerah lain; (4) Infrastruktur perekonomian dan
sosial seperti jalan, listrik, air, dan kesehatan kurang tersedia dan belum memadai.
Pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi berfokus pada kegiatan-kegiatan ekonomi
utama pertanian pangan, kakao, perikanan dan nikel. Selain itu, kegiatan ekonomi
utama minyak dan gas bumi dapat dikembangkan yang potensial untuk menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi di koridor ini. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kontributor
terbesar untuk semua sektor ekonomi utama MP3EI.
Fadly Ibrahim 7
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Fadly Ibrahim 8
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Fadly Ibrahim 9
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Fadly Ibrahim 10
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan nilai inconsistency index 0.054 menunjukkan
bahwa kriteria yang paling dominan dipertimbangkan dalam menilai ruas-ruas strategis
dan prioritas untuk ditangani adalah kriteria potensi ekonomi dan komoditas unggulan
dengan bobot 0.2168. Selanjutnya adalah kriteria jumlah pendduk yang memanfaatkan
jalan dengan bobot 0.1956, dan kriteria manfaat pemakai jalan dengan bobot 0.1697,
menyusul kriteria pemerataan aksessibilitas dengan bobot 0.1612, berikutnya adalah
kriteria ketersediaan trayek angkutan umum dengan bobot 0.07208 dan kriteria yang
terakhir dipertimbangkan adalah kesesuaian dengan kebijakan daerah dengan bobot
0.0656.
Selanjutnya hasil analisis sintesis terhadap bobot masing-masing ruas dan bobot
prioritas kriteria didapatkan bobot akhir ruas-ruas strategis dan prioritas untuk ditangani
dalam rangka mendukung konektifitas wilayah pada koridor ekonomi Sulawesi Selatan.
Fadly Ibrahim 11
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Penanganan ruas-ruas strategis dan prioritas tersebut membutuhkan dana yang cukup
besar yakni Rp. 638.07 Milyar yang terdiri dari biaya konstruksi, biaya pemeliharaan
sampai dengan umur proyek, biaya Detail Design Engineering, dan biaya supervisi.
Khusus untuk biaya konstruksi masing-masing ruas dapat dilihat pada tabel berikut.
Target Panjang
No. Ruas (km) Estimasi Biaya
Kebutuhan pendanaan tersebut cukup besar dibanding dengan trend alokasi dana
APBD untuk belanja pembangunan infrastruktur jalan. Pada tahun 2008 APBD hanya
membelanjakan Rp. 130 Milyar dengan target panjang 82.9 km, selanjutnya pada tahun
2009 mengalami peningkatan menjadi Rp. 149 Milyar dengan target panjang 92.01 km.
Pada tahun 2010 APBD kembali membelanjakan pembangunan jalan sebesar Rp. 198
Milyar dengan target panjang 75.78 km. Peningkatan yang cukup drastis terjadi pada
tahun 2011 dan 2012 dengan alokasi masing-masing Rp. 332.6 Milyar dan Rp. 312.5
Milyar. Alokasi yang cukup besar tersebut pada 2 tahun terakhir dengan target total
645.1 km belum mampu menyelesaikan permasalahan rendahnya kinerja jaringan jalan.
Karena masih terdapat ruas yang sangat penting untuk ditangani, disamping itu ruas-
ruas yang sudah ditangani pada tahun sebelumnya sudah mengalami penurunan kinerja.
Pada tahun 2013 dipastikan bahwa alokasi APBD untuk pembangunan jalan, akan
mengalami penurunan dibanding pada tahun 2011 dan 2012, hal ini disebabkan oleh
kebijakan Gubernur terpilih lebih akan meningkatkan alokasi belanja pada program
kesehatan gratis, pendidikan gratis, SPP gratis 2 semester untuk mahasiswa baru,
bantuan modal usaha, dll. Oleh karena itu ditengah kompleksitas kebutuhan pembiayaan
tersebut, pembiayaan sektor infrastruktur yang jumlahnya cukup besar akan didanai
melalui skema pinjaman.
Fadly Ibrahim 12
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
10000
9000
8000 y = 7.705x3 - 34.44x2 + 162.2x + 2758.
R² = 0.996
7000
Rupiah/km
6000
5000
4000
3000
2000 y = 8.289x3 - 64.49x2 + 245.9x + 961.3
1000 R² = 0.996
0
60
50
40
31
26
21
13
Kecepatan km/jam
Fadly Ibrahim 13
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Nilai waktu yang didapatkan tersebut harus dikalibrasi dengan membandingkan nilai
waktu yang didapatkan pada studi-studi sebelumnya. sebagai bahan pembanding Tabel
11 menunjukkan besaran nilai waktu menurut hasil perhiungan IRMS tahun 2006 dan
HLPI Sulawesi tahun 2001.
Tabel 11. Nilai Waktu Perjalanan berdasarkan HLIP dan IRMS
Nilai
Nilai Waktu/jam/org Jenis Waktu/jam/kendaraan
Kategori
HLIP 2001 IRMS Kendaraan HLIP 2001 IRMS
(Sulwesi)* 2006** (Sulwesi)* 2006**
Penggunaan mobil,
9.735 11.749 Mobil 11.560 15.038
bekerja
Angkutan
Penggunaan bus, bekerja 3.809 3.720 12.850 14.763
Barang
Penggunaan mobil, bukan
2.920 3.290 Bus Sedang 26.226 29.525
kerja
Penggunaan bus, bukan
1.143 1.042 Bus Besar 53.996 59.050
kerja
*: Heavy Loaded Road Improvement Project II, Master Plan Review Study for National Network Roads, Laporan Akhir
Volume 2 Desember 2001
**: IRMS : Updating the VOC Equation Coefficients, 2006
Sumber: JICA 2008
Tabel 12. Rekapitulasi Biaya Manfaat
Saving (Rp)
No Ruas
BOK Nilai Waktu Jumlah
1 Sungguminasa-Malino-Batas Sinjai 28,050.02 1,872.61 29,922.63
2 Pekkae Takkalala - Ujung Lamuru 57,434.81 16,917.09 74,351.90
3 Ujung Lamuru - Bajo - Tanabatue Palattae 1,334.10 2,685.64 4,019.74
4 Tanete - Tanaberu 946.04 941.46 1,887.49
5 Palangga - Sapaya - Jeneponto - Bantaeng 6,351.24 5,117.16 11,468.40
6 Solo - Peneki - Kulampu 943.26 628.33 1,571.59
7 Soppeng - Pangkajene - Sidrap 1,870.21 1,731.66 3,601.87
8 Pacciro - Galesong - Patalassang 5,166.02 3,484.68 8,650.70
9 Salonro - Pompanua - Taccipi 2,838.47 2,982.59 5,821.06
10 Perintis - Parangloe 33,369.00 14,214.97 47,583.97
Jumlah 138,303.17 50,576.18 188,879.35
Sumber: hasil analisis
Fadly Ibrahim 14
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Tabel 13. Analisa sensitivitas untuk perubahan 25% keuntungan dan biaya
BCR BCR
Uji NPV IRR
(12%) (15%)
Kondisi dasar 457,574 23.51% 2.28 2.00
Uji 1: Biaya Invetasi turun 25%, manfaat naik 25%
777,431 25.94% 3.54 3.11
(Kondisi Optimis)
Uji 2: Biaya Invetasi naik 25%, manfaat turun 25%
160,935 19.11% 1.46 1.28
(Kondisi Pesimis)
Sumber: hasil analisis
Fadly Ibrahim 15
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Fadly Ibrahim 16
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan
daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu,
pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman
daerah.
Di Indonesia, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) atau rasio kemampuan
membayar kembali pinjaman digunakan untuk menentukan batas maksimal pinjaman
jangka panjang. Semakin besar DSCR suatu daerah maka semakin bagus pula keadaan
keuangan daerah tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
30 tahun 2011 Tentang Pinjaman daerah mengenai Persyaratan Pinjaman Daerah, batas
maksimum jumlah pinjaman jangka panjang adalah: (1) Jumlah kumulatif Pokok
Pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan
umum APBD tahun sebelumnya. (2) Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran
Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, DSCR paling sedikit 2,5 (dua
setengah). Tabel dibawah memperlihatkan bahwa dengan kapasitas PAD yang dimiliki
> Rp. 2,3 Trilyun didapatkan nilai DSCR 18.91 s/d 45.65. angka ini menjelaskan
bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sangat memiliki kemampuan untuk
mengembalikan pinjaman dari lembaga pembiayaan.
Tabel diatas juga menunjukkan bahwa alokasi APBD untuk membayar angsuran pokok
dan bunga pinjaman setiap tahunnya yang berkisar antara Rp 106 Milyar s/d Rp. 167.5
Milyar relatif lebih kecil dibanding trend alokasi APBD untuk belanja infrastruktur
jalan. Sehingga pembiayaan infastruktur jalan melalui skema pinjaman dapat
dideskripsikan sebagai akumulasi belanja infrastruktur selama 5 tahun yang
angsurannya ekivalen dengan belanja infrastruktur jalan setiap tahunnya.
Fadly Ibrahim 17
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
pembiayaan ini merupakan badan investasi pemerintah yang memiliki peran dalam
percepatan pembangunan ekonomi dan menjadi salah satu factor penting dalam
pertumbuhan investasi kehususnya pembiayaan infrastruktur. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah, PIP menjalankan tugas dan fungsi
operator investasi pemerintah yaitu melaksanakan pengelolaan investasi saham, surat
utang dan investasi langsung yang dapat berupa pinjaman, kerjasama Pemerintah-
Swasta dan penyertaan modal dalam pembiayaan proyek. PIP mengembangkan kriteria
umum bagi daerah yang dapat dibiayai pembangunan infrastrukturnya melalui pinjaman
daerah seperti dideskripsikan pada gambar 3. Proses pengajuan pinjaman daerah ke PIP
seperti diskemakan pada gambar 4.
LKPD 3 tahun
(WDP)
Persetujuan DPRD Tdk memiliki
tunggakan
Batas maksimal
DSCR > 2.5 kl defisit 6%
Fasilitas
pembiayaan PIP
Pelaksanaan investasi yang dilakukan oleh PIP setidaknya didasarkan pada prinsip-
prinsip yaitu; (1) Proyek investasi merupakan kegiatan prioritas baik dari skala nasional
maupun daerah, (2) Proyek investasi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dan meningkatkan akses pada sentra-sentra pertumbuhan ekonomi, (3)
Merupakan proyek yang bertujuan meningkatkan pelayanan publik dan memberikan
dampak terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi dan manfaat lainnya bagi masyarakat.
Skema tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut; (1) Pemda mempunyai proyek
pembangunan/revitalisasi infrastruktur, pembangunan proyek lebih dari 1 tahun dan
Fadly Ibrahim 18
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
telah dimasukkan dalam RPJMD, (2) APBD Pemda tidak mencukupi untuk pembiayaan
pembangunan dan mengajukan permohonan pinjaman kepada PIP, (3) PIP memberikan
pinjaman kepada Pemda untuk pembangunan proyek infrastruktur dan dimasukkan
dalam APBD, (4) Dana pinjaman PIP oleh Pemda digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, (5) Proyek infrastruktur member manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat
lainnya kepada daerah, dan (6) Pemda mengembalikan kewajiban (pokok, bunga, dan
lain-lain jika ada) kepada PIP yang ditetapkan dengan Perda selama jangka waktu masa
pinjaman.
Pada studi ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memanfaatkan dana dari PIP
untuk membangun infrastruktur jalan provinsi dengan masa waktu pinjaman 5 tahun
dan skema pembayaran hutang pokok dan bunga dilakukan setiap tahun. Besaran bunga
pinjaman 6% dan administrasi 0.65% yang dibayarkan pada tahun pertama. Tabel
berikut menunjukkan skema pembayaran pinjaman.
5. KESIMPULAN
Untuk mendukung implementasi program MP3EI, maka diperlukan sinergi dan
konektifitas baik skala nasional maupun regional. Rendahnya tingkat pelayanan transportasi
yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai akibat dari penurunan kinerja ruas jalan
harus segera ditingkatkan kualitasnya khususnya pada ruas-ruas yang strategis dalam
mendukung penguatan konektifitas wilayah. Konsekwensi biaya yang dibutuhkan untuk
pembangunan jalan tersebut dapat memanfaatkan fasilitas pembiayaan yang disiapkan oleh
lembaga investasi pemerintah (PIP). Pinjaman ini pada dasarnya dapat dideskripsikan sebagai
akumulasi belanja infrastruktur selama 5 tahun yang angsurannya ekivalen dengan belanja
infrastruktur jalan setiap tahunnya. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis kelayakan, proyek
pembangunan infastruktur jalan provinsi sangat layak untuk didanai dan tidak sensitif
terhadap perubahan makro ekonomi. Disamping itu kapasitas keuangan daerah cukup kuat
untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Fadly Ibrahim 19
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, E.W.L. and Li, H. (2005). “Analytical Network Process Applied to Project Selection”, Journal of
Construction Engineering and Management, 131 (4), 459-466.
Departement for Communities and Local Government. (2009). Multi Criteria Analysis: a Manual,
Communities and Local Government Publication, London.
Ibrahim, F. (2010). “Pemilihan Trase Jalan dengan Pendekatan Analisis Multi Kriteria”. Proceeding
Konfrensi Pascasarjana Teknik Sipil. ISBN-978-979-16225-5-4. Hal 79.ITB.
____ (2011). “Kajian Penanganan Geometrik Jalan Pada Kawasan Konservasi Taman Nasional Babul
Provinsi Sulawesi Selatan”. Proceeding Konfrensi Pascasarjana Teknik Sipil. ISBN-978-979-
16225-5-4. Hal 79.ITB.
Guillermo A, Mandoza, dan Phill Macaun. (1999). Panduan Untuk Menerapkan Anlisis Multi Kriteria
Untuk Menilai Kriteria dan Indikator, Center for International Forestry Research. Jakarta.
Hemanta, dan Xiao-Hua. (2008). “Modelling Multi-Criteria Decision Analysis for Benchmarking
Management Practices in Project Management”, International Conference On Information
Technology In Construction. Oktober 2008.
Kodoatie, R. J. (2005). Pengantar Manajemen Infrastruktur. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kaiser, E. J. David, Godshalck, dan Chapin, F.S. (1995). Urband Land Use Palnning. University of
Illionis Press. Urbana and Chicago.
Sjafruddin A.(2004), Studi Kelayakan dan Pendanaan Infrastruktur, Institut Teknologi Bandung.
Saaty, T.L. (1988). Multicriteria Decision Making : The Analytic Hierarchy Process. British Library.
USA.
Sekaryadi, Y. (2006). Penentuan Trase Jalan dengan AMK, Jurnal Teknik Sipil, 2 (1), 34-43.
Rozann, W.S. (2003). Decision Making In Complex Environments: The Analytic Hierarchy Process
(AHP) for Decision Making and The Analytic Network Process (ANP) for Decision Making with
Dependence and Feedback. Super Decisions Tutorial.
Riduwan. (2007). Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Edisi 5. Alfabeta, Bandung.
Tamin, O. Z. Syafruddin, A. (2005). “Determination Priority Of Road Improvement Alternatives Based
On Region Optimization Case Study: Bandung City Indonesia”, Proceedings of the Eastern Asia
Society for Transportation Studies, 5, 1040 – 1049.
Tamin, O. Z. (2004). Manajemen Operasi Lalu-lintas, ITB.
Tarigan, R. (2004). Perencanaan dan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara Jakarta.
Tamin, O. Z. (2002). “Konsep Pengembangan Transportasi Wilayah di Era Otonomi Daerah”. Makalah
pada Kuliah Tamu Program Pascasarjana Universtas Hasanuddin. 17-18 Januari 2002.
Fadly Ibrahim 20
Konferensi Tahunan Kebijakan Pembangunan Nasional 2013
Biografi Penulis
Telepon : 081336002226
Pekerjaan
2002 – 2004 : Direktur Eksekutif Lembaga Kajian
Pengembangan Infrastruktur Kota (LENSA
KOTA) Makassar
Fadly Ibrahim 21