Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENGOBATAN ISLAMI

KEHARAMAN DARAH AYAM

Prof Dr.Nurfina

Disusun Oleh :
Abdul Rahim
1507047011

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
DESEMBER 2015
Makan atau supply nutrisi merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap
makhluk hidup khususnya manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Untuk
mempertahankan proses homeostasis tubuh, molekul-molekul nutrien yang sudah habis
terpakai untuk menghasilkan energi tubuh, harus secara terus menerus diganti oleh nutrien
baru yang kaya dengan energi. Makan merupakan proses penggantian nutrisi tubuh untuk
menghasilkan energi baru bagi tubuh. Makanan adalah substansi kimia yang berasal dari luar
tubuh sebagai bahan nutrisi penyumbang energi tubuh. Allah berfirman “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah :
168). Baik buruknya proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sangat tergantung pada
baik buruknya asupan nutrisi atau makanan yang dikonsumsi.

Islam sebagai agama yang syamil atau universal tidak luput untuk mengatur
bagaimana makanan yang baik untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Islam mengatur bahwa
tidak hanya makanan yang halal saja yang diperbolehkan untuk dimakan, tetapi juga harus
termasuk makanan yang baik (Thayib), baik di sini adalah cara yang kita lakukan untuk
mendapatkan makanan tersebut haruslah dengan cara yang halal, sebagaimana Allah
berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 168 yang berbunyi “Wahai manusia, makanlah
yang halal dan baik (tahayiban) dari apa-apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian
ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh setan itu musuh nyata bagimu”. Memakan makanan
halal merupakan salah satu hal yang sangat penting dan ditekankan dalam Islam. Sa’ad bin
Abi Waqqas R.A. meminta kepada Rasulullah SAW untuk mendoakannya supaya doa yang ia
panjatkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT.

Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Wahai Sa’ad, jika kamu makan dari
makanan yang halal dan thayib, Allah akan menjawab semua permohonanmu”. Rasulullah
kemudian menambahkan, “Aku bersumpah demi Allah yang nyawaku dalam genggaman-
Nya, jika seseorang makan sedikit saja dari yang haram, tak sedikitpun ibadahnya diterima
Allah SWT selama empatpuluh hari. Bilamana daging yang membentuk tubuh seseorang
terbuat dari unsur yang haram maka hanya api neraka sajalah yang patut bagi tubuhnya”.
Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh,
rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi !
Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai
dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari
hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya”. (HR Muslim no. 1015).
Didih atau saren dalam bahasa jawa adalah darah yang mengalir dari hewan yang
disembelih, seperti ayam atau lainnya. Darah yang mengalir tersebut -oleh yang akan
mengonsumsinya- dibiarkan membeku untuk kemudian dikonsumsi.

Halalkah didih atau saren tersebut? Benarkah didik obat penambah darah?

Makanan berbahan darah hewan yang mengalir sering kita jumpai di pasar-pasar tradisional
masyarakat. Masyarakat di Bali sering mencampurkan darah hasil menyembelih ayam atau
sapi dalam sebuah makan yang bernama “lawar” yakni makanan pernikahan yang terdiri dari
sayur mayur dan daging. Masyarakat Jawa sering menggunakan darah hewan untuk dijadikan
“marus” yakni makanan yang dibuat dengan cara menampung darah mengalir hasil
sembelihan hewan kemudian dibekukan dengan menggunakan garam dalam sebuah cetakan
dan direbus. Selintas marus terlihat seperti ati sapi yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Masyarakat menganggap marus sebagai makanan obat penambah darah dan vitalitas pria,
padahal tidak ada bukti ilmiah sedikitpun yang mendasari asumsi tersebut. Terdapat dua
kemungkinan yang menjadi penyebab masyarakat melalaikan larangan memakan darah, yang
pertama karena kepahaman terkait haramnya darah masih sangat kurang dan yang kedua
karena masyarakat belum paham akan maksud atau hikmah yang terkandung dari larangan
tersebut.

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, agama yang memberikan rahmat bagi
seluruh alam. Alquran sebagai firman Allah SWT tidak hanya sebatas seruan berupa larangan
dan anjuran yang wajib dipatuhi oleh umat Islam, tetapi setiap ayat firman Allah SWT
memiliki hikmah yang sangat besar serta bisa dibuktikan kebenarannya. Ayat-ayat Alquran
menembus batas ruang dan waktu, ia bisa berlaku di semua zaman kehidupan sebagai solusi
dan pedoman hidup manusia. Larangan memakan darah hewan dalam Alquran selaras dengan
bukti ilmiah medis yang akhir-akhir ini ditemukan.

Memakan darah hewan yang mengalir dari hewan yang disembelih sama saja dengan
memakan substansi yang sebagian besar mengandung zat sisa tubuh. Selain berfungsi sebagai
pemasok oksigen, sari-sari makan, hormon, protein dan antibodi, darah juga berfungsi
sebagai pembawa zat sisa hasil metabolisme tubuh yang akan disekresikan keluar tubuh
melalui organ penyaring yakni ginjal. Salah satu zat sisa yang terdapat dalam darah adalah
asam urat (uric acid). Asam urat atau uric acid adalah asam yang berbentuk kristal sebagai
hasil metabolisme protein dalam tubuh berupa asam-asam inti yang terdapat dalam inti sel.
Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolism purin, yakni salah satu komponen asam
nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh manusia. Setiap inti sel tubuh yang melakukan
metabolisme tubuh akan menghasilkan zat sisa asam urat. Sebanyak 98% zat sisa asam urat
dari seluruh metabolisme tubuh akan dikeluarkan oleh tubuh melalui komponen plasma
darah. Jika kita memakan darah hewan berarti sejatinya kita telah mengkonsumsi sebuah
makan yang substansinya banyak terkandung zat sisa hasil metabolisme tubuh. Hal tersebut
beresiko besar menimbulkan berbagai macam penyakit dan gangguan bagi tubuh.

Dalam ilmu kedokteran darah merupakan substansi paling subur untuk pertumbuhan
koloni bakteri dan kuman. Pertumbuhan bakteri pada umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor seperti zat gizi, waktu, suhu, air, Ph dan tersedianya oksigen. Darah yang
sudah keluar dari tubuh (pembuluh darah) masih mengandung banyak oksigen dan substansi
kimia lainnya yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Media agar darah sering
digunakan sebagai media kultur bakteri untuk penelitian di bidang kedokteran. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Fakultas Peternakan UNPATI Ambon (2011), marus merupakan
tempat berkembangbiak koloni bakteri yang sangat baik untuk bakteri di dalam tubuh kita
seperti E. colli dan Brucela setelah 6 jam kita makan. Dampaknya setelah 6 jam dikonsumsi
akan terasa mual, muntah, diare bahkan keguguran untuk ibu hamil. Bakteri Brusella adalah
bakteri yang menimbulkan rusidosis dan jika di konsumsi oleh manusia akan mengakibatkan
keguguran. Sesaat setelah darah ditampung, darah akan mengantal dan berpotensi untuk
tercemar oleh bakteri atau kuman. Walaupun darah marus dimasak dengan cara direbus, hal
tersebut tidak bisa membunuh semua bakteri dalam makanan tersebut.

Darah yang mengalir hukumnya haram dimakan, berdasarkan firman Allah ta’ala.
Para ulama pun bersepakat akan keharamannya. Al-Imam Al-Qurthubi Al-Maliki
rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa darah itu haram dan najis, tidak
boleh dimakan dan dimanfaatkan.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/221).

Perlu ditekankan bahwa Darah yang diharamkan disini adalah darah yang mengalir,
yang ditumpahkan, (yakni darah yang memancar saat hewan disembelih) sebagaimana hal ini
disebutkan dalam ayat:

‫س أأسو فف س‬
ً‫سسسققا‬ ‫سهفوُقحاً أأسو لأسحأم فخسنفزيِرر فأإ فننهه فرسج س‬ ‫قهسل لِ أأفجهد ففي أماً هأوفحأي إفلأني همأحنرقماً أعألىَ أ‬
‫طاًفعرم يِأسطأعهمهه فإلِ أأسن يِأهكوُأن أمسيتأةق أأسو أدقماً أم س‬
‫غ أولِ أعاًرد فأإ فنن أربنأك أغهفوُسر أرفحيسم‬
‫ضطهنر أغسيأر أباً ر‬ ‫أهفهنل لفأغسيفر ن‬
‫اف بففه فأأمفن ا س‬
Katakanlah, “Tidaklah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’am: 145)

Ayat ini dengan tegas mengharamkan darah yang mengalir (Dam Masfuh), adapun
darah yang tidak mengalir, seperti yang darah yang tersisa/terdapat pada urat-urat daging atau
yang melekat pada dagingnya, darah ini diperbolehkan.

Ath-Thabari menerangkan, “Penyebutan syarat ‘mengalir’, bukan yang lainnya,


adalah dalil yang jelas bahwa darah yang tidak mengalir itu halal dan bukan najis.”(Tafsir
ath-Thabari, 9/633). Kita sendiri menyaksikan ketika kita rendam daging untuk kita masak,
kita dapatkan air berubah merah. Darah ini bukan darah masfuh yang disebut dalam ayat, jika
darah ini juga haram niscaya ini adalah perkara yang sangat memberatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata, “Telah sahih bahwasanya


mereka (para sahabat) menaruh daging ke dalam bejana, sementara itu darah yang bercampur
air terlihat membentuk garis-garis. Tentang hal ini aku tidak mengetahui ada perselisihan di
kalangan para ulama bahwa hal itu dimaafkan dan tidak dianggap najis, menurut kesepakatan
mereka.” (al-Fatawa, 21/524)

Beliau juga berkata: “… Para sahabat Radhiyallahu’anhum di masa Nabi


Shallallahu’alaihiwasallam selalu mengambil daging lantas memasak dan memakannya tanpa
mencucinya terlebih dahulu, dalam keadaan mereka melihat darah dalam bejana membentuk
garis-garis. Sebab, Allah Ta’ala hanya mengharamkan kepada mereka darah yang mengalir
dan yang tumpah, adapun yang tersisa pada urat-urat tidak diharamkan.” (al-Fatawa, 21/522)

Termasuk yang dikecualikan pula dari hukum haramnya darah adalah yang telah
berbentuk menjadi hati dan limpa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar
Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

‫ِ فأأ أنماً اسلأمسيتأأتاًفن أفاًسلهحوُ ه‬،‫أهفحلنست لأأناً أمسيتأأتاًفن أوأدأماًفن‬


‫ت أواسلأجأراهد أوأأنماً الندأماًفن أفاًسلأكبفهد أوال ط‬
‫طأحاًهل‬
“Telah dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis
bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa.” (HR.
Ahmad, 2/97).

Jika telah jelas diharamkannya darah yang mengalir, maka tidak boleh
mengkonsumsinya. Adapun persangkaan bahwa saren atau didih adalah sebab tambahnya
darah, maka ketahuilah bahwa Allah tidak menjadikan kesembuhan itu dengan sebab yang
haram. Wabillahittaufiq.

Reference

http://www.dakwatuna.com/category/keluarga/kesehatan2/

http://www.hidayatullah.com/kajian/

Anda mungkin juga menyukai