Disusun Oleh :
SEMARANG
2018/2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, 2010). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan dirumah sakit, dua pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah semua
pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainya.
(Smeltzer and Bare, 2012 ).
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan,
cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala
atau askep cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera kepala.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi,
anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara
serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi
ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit. (Sjahrir, 2014).
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2010), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik
trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta
edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2011).
B. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan,
Jatuh, Trauma akibat persalinan.
C. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam
jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi
karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak.
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui
batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah,
liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan
Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia
otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah
(irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok,
hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.
glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan
NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan
yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown)
melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak
diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair
membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang
berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan
akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
PATHWAY
Cidera kepala
O2 gangguan
tek. Pemb.darah Rusaknya bagian kulit
metabolisme
Pulmonal dan jaringannya
Ketidakefektif bersihan
jalan napas
D. Manifestasi klinis
E. Klasifikasi
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun
cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang
meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter
daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter
klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill
hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan
nviii.
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat
robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis
haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal,
parietal, occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter
dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi
rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi
tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan
Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan
dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran
pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah
otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks
yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan
otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga
terjadilah subduralis haematoma.
4) Berdasarkan Patofisiologi
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).
NOC NIC
1 Ketidakefektifan bersihan jalan NOC: Status Pernapasan: Kepatenan NIC: manajemen jalan napas
nafas b/d obtruksi jalan nafas jalan nafas
1. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
Setelah dilakukan tindakan selama 3x 24 2. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau
jam status pernafasan klien tidak terganggu jaw thrust
dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial
untuk memasukkan alat membuka jalan
nafas
No Skala Awal Akhir 4. Masukkan alat nasopharingeal airway
(NPA) atau oro[haringeal airway (OPA)
1 Suara nafas 2 5
5. Posisikan klien untuk memaksimalkan
tambahan
ventilasi
2 Pernapasan cuping 4 5 6. Lakukan penyedotan melalui endotrakea
hidung dan nasotrakea
7. kelola nebulizer ultrasonik
3 Akumulasi 3 5
8. posisikan untuk meringankan sesak napas
sputum
4 Frekuensi 3 5 9. auskultasi suara nafas, catat area yang
pernafasan ventilasinya menurun atau tidak ada dan
adnaya suara tambahan
Indikator:
10. Edukasi keluarga klien tentang keadaan
1. Sangat berat klien.
2. berat 11. Kolaborasi dengan tim dokter dala
3. sedang pemberian obat
4. ringan
5. tidak ada
2 Ketidakefektifan pola nafas b/d NOC: Status Pernapasan: Kepatenan NIC: manajemen jalan napas
gangguan neurologis ditandai jalan nafas
1. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
dengan
Setelah dilakukan tindakan selama 3x 24 2. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau
jam status pernafasan klien tidak terganggu jaw thrust
dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial
untuk memasukkan alat membuka jalan
nafas
No Skala Awal Akhir 4. Masukkan alat nasopharingeal airway
(NPA) atau oropharingeal airway (OPA)
1 Suara nafas 2 4
tambahan
2 Pernapasan cuping 4 5 5. Posisikan klien untuk memaksimalkan
hidung ventilasi
6. Lakukan penyedotan melalui endotrakea
3 Akumulasi 3 5
dan nasotrakea
sputum
7. kelola nebulizer ultrasonik
4 Freuensi 3 5 8. posisikan untuk meringankan sesak napas
pernafasan 9. auskultasi suara nafas, catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak ada dan
Indikator:
adnaya suara tambahan
1. Sangat berat 10. Edukasi keluarga klien tentang keadaan
2. berat klien.
3. sedang 11. Kolaborasi dengan timdokter dala
4. ringan pemberian obat
5. tidak ada
3 Ketidakefektian perfusi jaringan NOC: perfusi jaringan: cerebral NIC: Monitor tekanan intra kranial
serebral b/d trauma
Setelah dilakukan tindakan selama 3x 24 1. Monitor status neorologis
jam perfusi jaringan serebral klien tidak 2. Monitor intake dan ouput
ada masalah dengan kriteria hasil: 3. Moniotr tekanan aliran darah ke otak
No Skala Awal Akhir 4. Monitor tingkat CO2 dan pertahankan
dalam parameter yang ditentukan
1 Muntah 4 5
5. Periksa klien terkait adanya tanda kaku
2 Demam 4 5 kuduk
6. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
3 Kognisi terganggu 1 5
mengoptimalkan perfusi jaringan serebral
4 Penurunan tingkat 1 5 7. Berikan informasi kepada keluarga/ orang
kesadaran penting lainnya
8. Beritahu dokter untuk peningkatan TIK
5 Refleks saraf 1 5
yang tidak bereaksi sesuai peraturan
terganggu
perawatan.
Indikator: 9. Kolaborasi dengan tim dokter dalam
pemberian obat
1. Berat
2. Besar
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
JURNAL KEPERAWATAN
ABSTRACT
As a therapeutic intervention music has a positive chance for rehabilitation of severe
traumatic brain injury patients. However, many studies mention that the uses of music in
health fields are still uncertainly result.
This research was conducted to prove the uses of music therapy for increasing the
consciousness level of severe traumatic brain injury patients and to know the physiology
and psychosocial responses of patients during therapy.
The result indicated that the music therapy is useful for increasing the consciousness level
of severe traumatic brain injury patients and familiar music also can enhance positive
response of psychology and psychosocial patients’ response.
Keywords: music therapy, severe traumatic brain injury, and level of consciousness.
PENDAHULUAN hasil dan kegunaan musik pada area
kesehatan masih dipertanyakan.
Trauma kepala merupakan
penyebab kelainan neurologis tersering di Bebepara laporan masih dianggap
dunia. Pasien dengan trauma kepala sebagai anekdot informasi dikarenakan
ukuran sampel penilitian yang kecil dan
mempunyai risiko untuk terjadinya
keanekaragaman subyek sebelum
kerusakan otak dan kematian. Risiko
penelitian tidak dipertimbangkan (Snyder
kematian kemungkinan meningkat karena
& Lindquist, 1998). Kebanyakan
pasien jatuh kedalam koma yang lama.
pembahasan tentang efektifitas musik
Thaut (1999) menyatakan bahwa faktor
telah dikembangkan di negara-negara
utama yang dapat mempengaruhi peluang
maju seperti Amerika dan Australia. Di
seseorang untuk sembuh adalah
Indonesia, terapi musik belum dikenal
berhubungan dengan lamanya waktu
dengan baik akan tetapi pemerintah
koma. Semakin lama seseorang jatuh
Indonesia telah mengeluarkan Undang-
dalam kondisi koma semakin sering
Undang Kesehatan Nasional yang
munculnya keparahan penyakit dan
didalamnya telah mencantumkan
kerusakan otak. Terapi musik sebagai
dukungan terhadap perkembangan
terapi alternatif telah dikembangkan pada
terhadap segala jenis terapi alternatif
berbagai bagian di rumah sakit untuk
seperti terapi herbal, terapi pijit, terapi
mengatasi berbagai jenis penyakit,
meditasi, dan juga terapi musik.
khususnya dalam rehabilitasi neurologis.
Sehingga, pengenalan penggunaan musik
Rangsangan musik pada jalur kognitif
untuk membantu pasien yang menderita
kemungkinan dapat membuka pintu
trauma kepala sangatlah relevan dengan
komponen emosional untuk kesadaran
kebijakan pemerintah Indonesia. Dalam
pasien yang tidak bisa melakukan
hal ini, perawat dan dokter sebagai bagian
komunikasi verbal dan jatuh dalam
dari tim kesehatan diharapkan bisa
kondisi koma (Kneafsey, 1997). Musik
mengambil bagian nyata dalam
juga merupakan kekuatan yang luar biasa
pengembangan terapi musik dilapangan
dalam memberikan efek emosional dan
untuk membantu memecahkan
mampu menjangkau jauh kedalam dan
permasalahan pasien, khususnya dalam
menyentuh inti setiap pribadi (Mucci &
kegiatan rehabilitasi pasien dengan
Mucci, 2002). Lebih jauh musik dapat
trauma kepala. Penggunaan metode terapi
menyentuh tingkat kesadaran fisik,
musik di Indonesia dapat disesuaikan
psikologi, spiritual, dan sosial (Kneafsey,
dengan budaya dan lingkungan setempat.
1997. Berdasarkan pendapat-pendapat
Keuntungan lainnya dalam penerapan
ini, maka banyak percobaan tentang efek
terapi musik di Indonesia yang sedang
musik dalam tindakan kesehatan telah
mengalami situasi krisis moneter adalah
dikerjakan, sayangnya dari beberapa
menggunakan biaya yang tidak mahal dan
penemuan yang telah dipublikasikan
terjangkau oleh rumah sakit dan pasien.
masih ditemukan adanya inkonsistensi
METODE PENELITIAN Sedangkan dari kelompok kontrol yang
diukur hanyalah perkembangan skor GCS
Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian eksprimen dari waktu ke waktu yang didapatkan dari
semu dengan desainnya adalah non catatan medis pasien. Terapi musik dan
randomized pretestposttest control group pengukuran tingkat kesadaran serta
design. Populasi penelitian ini adalah observasi respon-respon fisik dan
semua pasien trauma kepala berat yang psikososial pada kelompok perlakuan
dirawat di ruang Cempaka dan ICU
dilakukan sampai saat pasien mencapai
Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Sampel penelitian diambil derajat kesadaran dengan skor GCS
secara purposive sampling dengan minimal 9 (kategori trauma kepala
kriteria inklusi : pasien berumur diatas 12 sedang). Demikian juga pengukuran skor
tahun, tidak mengalami perdarahan GCS dan observasi respon-respon fisik
intrakranial, tidak dilakukan pembedahan dan psikososial untuk kelompok kontrol
(kraniotomi), dan standar pengobatan
yang diberikan setara. Sampel penelitian ditelusuri dari catatan medis pasien
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : dilakukan sampai skor GCS pasien
kelompok perlakuan dan kelompok mencapai 9. Terakhir, peningkatan
kontrol. Masing-masing kelompok kesadaran pasien pada masing-masing
sampel berjumlah 10 responden. sampel dihitung dengan menghitung
Jalannya penelitian dimulai selisih skor GCS awal pengamatan dan
dengan mengukur skor GCS awal baik akhir pengamatan, selanjutnya dibagi
pada kelompok perlakuan maupun dengan lamanya hari pengamatan
kelompok kontrol. Selanjutnya perlakuan masing-masing sampel. Hasil yang
dimulai dengan pemberian terapi musik didapat ini merupakan rata-rata skor
(variabel bebas) pada pasien berupa peningkatan kesadaran pasien per hari.
musik pasif yang disenangi oleh pasien Semua data yang didapatkan dicatat
yang diputarkan melalui tape recorder dan dalam lembaran yang telah dipersiapkan.
diperdengarkan pada pasien. Suara musik Kemudian data diolah dan dianalisa
diperdengarkan melalui headphone dengan menggunakan kumputer.
sebanyak 3 kali (session) sehari (pagi,
Data perkembangan skor GCS
siang, dan sore). Musik diputar dan
pasien dianalisa dengan one sample t test
didengarkan pasien selama 20 - 30 menit
dengan CI = 95 %.. Sedangkan
untuk setiap session. Kemudian efek dari
responrespon fisik dan psikososial yang
terapi diukur dengan memantau
muncul pada kedua kelompok diolah
perkembangan tingkat
secara deskriptif. Kesimpulan penelitian
kesadaran pasien (variabel terikat) dilihat dari besarnya nilai t tes dan nilai
dengan melihat skor GCS dari waktu ke siqnifikansi analisis.. Adanya perubahan
waktu. Respon-respon fisik dan dan perbedaan respon-respon fisik dan
psikososial yang muncul selama proses psikososial pada kelompok perlakuan dan
terapi juga dicatat pada lembaran kontrol juga dijadikan acuan dalam
observasi yang telah diprsiapkan. menarik kesimpulan secara deskriptif.
HASIL DAN BAHASAN bahwa therapi musik bisa membatu
pasien mencapai kesadarannya,
Dalam pelaksanaan telah
komunikasi, beberapa kemampuan fisik,
dilakukan pengumpulan data dan data
dan memberikan pengalaman yang
yang telah terkumpul sebanyak 10
menyenangkan.
responden untuk kelompok perlakuan dan
10 responden untuk kelompok kontrol. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Dari data yang terkumpul telah dilakukan Auntari (2001) di rumah sakit Srinagarind
pengolahan dan analisa data. Hasil Universitan Khon Kaen Thailand juga
penelitian ini menunjukkan bahwa nilai t menyimpulkan bahwa stimulasi
hitung dengan CI = 95% untuk kelompok pendengaran adalah merupakan suatu hal
perlakuan (yang diberi terapi musik) yang menguntungkan untuk mendorong
sebesar 11,781. Ini menunjukkan t hitung penyembuhan koma pada pasien-pasien
lebih besar dari t tabel = 2,262. Taraf cidera kepala dan meningkatkan derajat
siqnifikansi untuk kelompok perlakuan kesadaran pasien. Lebih lanjut, untuk
sebesar 0,000 (p < 0,005). Sedangkan perubahan respon-respon fisik dan
hasil analisa kelompok kontrol adalah t psikososial yang positif di atas juga
hitung dengan CI = 95% sebesar 3,525. selaras dengan hasil penelitian ini.
Hasil ini juga menunjukkan t hitung lebih Dimana respon perilaku dari pasien-
besar dari t tabel. Taraf siqnifikansi untuk pasien cidera kepala yang tidak sadar
kelompok kontrol (tanpa terapi musik) yang diberikan stimulasi suara musik
bernilai 0,06 (p > 0,005). Dari hasil yang akrab didengar lebih besar
analisa ini dapat disimpulkan bahwa dibandingkan pasien-pasien yang tidak
terapi musik berpengaruh siqnifikan diberikan stimulasi suara musik.
untuk meningkatkan status kesadaran
pasien trauma kepala berat. Respon- Hal-hal di atas bisa terjadi karena
respon fisik dan psikososial juga efek relaksasi dari musik yang lembut
menunjuk perubahan yang positif pada kemungkinan berpengaruh positif pada
kelompok perlakuan karena selama sesi otak karena retikular activating system
terapi dilakukan terdapat respon berupa (RAS) berfungsi mengendalikan
keluarnya air mata, gerakan jari-jari kesiagaan atau kondisi kesadaran dan
tangan dan kaki, gerakan pada daerah siklus bangun-tidur. Untuk pasien dengan
sekitar rahang serta usaha untuk trauma kepala yang tidak sadar, yang
membuka dan menggerakkan kelopak berfungsi hanyalah RAS dan hipotalamus
mata. dan sebagai konsekuensi dari proses
penyembuhan, maka elemenelemen yang
Hasil penelitian ini selaras dengan lebih tinggi dari otak akan mulai
hasil studi kasus yang dilakukan oleh berfungsi (Rosenfeld & Dun, 1999).
Rosenfeld & Dun (1999) yang dilakukan Lebih lanjut, Thaut, Kenyon, Schaurer,
pada 2 anak yang mengalami trauma dan McIntosh (1999) juga menyatakan
kepala berat di Royal Children Hospital bahwa suara dapat merangsang dan
(RCH) Australia, yang menyimpulkan meningkatkan fungsi neuron spinal
motorik dan mengaktifasi gerakan- Barnes, M.P. (1999). Rehabilitation after
gerakan otot.. traumatic brain injury. British
Medical Bulletin, 55 (4), 927 -
943.
SIMPULAN DAN SARAN
Clan, L. (1998). Music Therapy. In
Berdasarkan hasil dan Snyder, M. & Lindquist, R.
pembahasan pada penelitian ini dapat (1998).
Complementary/Alternative
disimpulkan bahwa musik terapi
bermanfaat dalam meningkatkan status Therapies in Nursing (pp.
kesadaran pasien trauma kepala berat. 234257). New York: Springer
Musik terapi juga dapat memberikan
rangsangan yang positif pada respon- Publishing Company, Inc
Davis, A.E. (2000).
respon fisik dan psikososial. Oleh karena
Mechanisms of
itu berdasarkan kesimpulan ini peneliti
traumatic brain injury:
menyarankan agar terapi musik mulai di
budayakan dalam aplikasinya di rumah- Biomechanical, structural and
rumah sakit di Indonesia karena sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses cellular considerations. Critical
penyembuhan pasien serta tidak Care Nursing Quarterly, 23 (3),
membutuhkan biaya yang besar dan yang 1 - 13.
paling utama terapi musik tidak Departemen Kesehatan RI. (2000). Profil
mempunyai efek samping negatif apapun Kesehatan Indonesia
bagi pasien. 1999.
Auntari, P. (2001). The effect of familiar Hernandez, T.D., & Naritoku, D.K.M.D.
voice to auditory stimulation on (1997). Seizures, epilepsy, and
functional recovery after
level of conscious and
traumatic brain injury: A
behavioural respon of auditory reappraisal. Neurology, 48
in head injury pasients (4), 803 - 806.
with unconscious. Thesis
master tidak dipublikasikan. Hickey, J.V. (1997). The clinical practice
Universitas Khon Kaen, of neurological and
Thailand. neurosurgical nursing (4th ed.).
PhiladelphiaNew York:
Lippincott.
Kneafsey, R. (1997). The therapeutic use Segatore, M. (1999). Corticosteroids and
of music in care of elderly traumatic brain injury. Status at
setting: A literature review. the end of the decade of the
Journal of
brain. J of Neuroscience Nurs, 3
Clinical Nursing, 6 (5), 341 - (4), 239 - 255.
346.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2000).
Lovasik, D., Kerr, M., & Alexander, S. Brunner and Suddarth texbook
(2001). Traumatic brain injury of medical surgical nursing (9th
ed.). Philadelphia: Lippincott
research: A review of clinical William & Wilkins.
studies. Critical Care Nursing
Quarterly, 23 (4), 24 - 41. Snyder, M., & Lindquist, R. (1998).
Complementary/alternative
Mucci, K., & Mucci, R. (2000). The therapies in nursing (3rd Ed.).
healing sound of New York: Springer
Publishing
music. Scotland:
Company, Inc.
Findhorn Press.
Thaut, M.H. (1999). Music therapy in
Rosenfeld, J.V., & Dun, B. (1999). Music
therapy in children with severe neurological rehabilitation. In
traumatic brain injury. In Pratt, Davis, W.B., Gfeller, K.E., &
R. R., & Grocke, D.E. (1999).
Music Thaut, M.H. (1999). An
introduction to music therapy: Theory
Medicine 3, Music Medicine and practice (pp. 228 - 247). The United
and Music Therapy: Theory and States of America: A Devission of The
Mc.Grae-Hill Companies.
Practice Expanding Horizons
Thaut, M.H., Kenyon, G.P., Schauer,
(pp.
M.L., & McIntosh, G.C. (1999).
36 - 46). Australia: Faculty of The conection between
rhythmicity and brain
Music, The University function. IEEE
of Engineering in Medicine and
Biology Journal, 101 – 108.
Melbourne, Parkpille, Victoria.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan,
Jatuh, Trauma akibat persalinan.
B. Saran
Dapat menerapkan pada klien dengan cedera kepala, lebih teliti dalam
memberikan intervensi dengan klien cedera kepala sehingga dalam tindakan
keperawatan sesuai dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC.
Iskandar. 2009. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Umar, K. 2011. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Surabaya
Https://www.academia.edu/33428511/asuhan_keperawatan_pada_paien_dengan_cidera_