Anda di halaman 1dari 42

Studi Literatur

TB PADA PEKERJA

Disusun oleh:
Muhammad Ricky 030.13.124
Yesmine Sapphira 030.13.250
Muhammad Bima SP 030.12.174

Pembimbing:
dr. Nany Hairunisa, MCHSc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU HYGIENE PERUSAHAN, KESEHATAN DAN


KESELAMATAN KERJA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 29 APRIL – 1 JUNI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

STUDI LITERATUR DENGAN JUDUL


“TB PADA PERERJA”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Hygiene Perusahaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 29 April – 1 Juni 2019

Jakarta, Mei 2019

dr. Nany Hairunisa, MCHSc

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-
Nya kita dapat menyelesaikan makalah mengenai ilmu kesehatan dan keselamatan
kerja yang berjudul “TB pada Pekerja”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Hygine Perusahaan
Kesehatan dan Keselamatan kerja. Dalam kesempatan ini, kita ingin mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan
penyelesaian makalah, terutama kepada:

1. dr. Nany Hairunisa, MCHSc selaku pembimbing dalam laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.
3. Kami menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan
makalah ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
dalam bidang ilmu kesehatan dan keselamatan kerja

Jakarta, Mei 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Etiologi 7
2.3 Epidemiologi 8
2.4 Faktor Resiko 9
2.5 Patofisiologi 11
2.6 Diagnosis 15
2.7 Tatalaksana 25
2.8 Landasan Hukum 36
2.9 Pengendalian 36
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 38

3
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman


mikobakterium tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia
sudah berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di
Mesir. Demikian juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada
dinding candi Borobudur.

Berdasarkan laporan WHO tahun 2018 (berdasarkan data tahun 2017),


diperkirakan 9,0-11,1 juta kasus TB secara global bersama dengan 1,2-1,5 juta
kematian (termasuk akibat TB pada individu dengan HIV). Asia dan Afrika menjadi
penyumbang utama yang terkena dampak TB dengan 57% dan 26% kasus TB secara
global. Diperkirakan sebanyak 1,3 juta kematian (rentang antara 1,2-1,4 juta) terjadi
akibat kasus pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 300 ribu kematian
(rentang 266-335 ribu) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif.

Berdasarkan Departemen Kesehatan RI, Tahun 2013 di Indonesia ditemukan jumlah


kasus baru Bakteri Tahan Asam (BTA) positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus,
menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2012 yang
sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar
40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.

Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit


tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala

4
yang dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya
sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena
penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang
mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit
lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.

Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya


belum lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan
sistem pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka
pendek adalah membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh
manusia. Obat yang sering digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. 5,7,12

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. africanum, M. bovis, M.
pinnipedii, dan M. microtii. Berbagai bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan
organ tubuh lainnya. Penyebab utamanya, yaitu Mycobacterium tuberculosis umumnya
disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet yang dapat menimbulkan respon
inflamasi jaringan dan granulasi. Dari berbagai studi, didapatkan pula bahwa penularan
juga dapat terjadi melalui hewan yang terinfeksi ataupun produk-produk yang
dihasilkan dari hewan yang terinfeksi. Penyakit tuberkulosis sering mengalami
kekambuhan karena terapi yang tidak sempurna maupun resistansi terhadap berbagai
tatalaksana medikamentosa yang ada.1,2,3

Sedangkan TB Pada Pekerja Merupakan pajanan faktor biologi berupa


mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan. Dalam hal ini yang terkena penyakit adalah pekerja. Menurut The
United Center of Disease Control and Prevention (CDC), Mycobacterium termasuk
Bio Safety Level III, ini digolongkan dengan faktor biologi berisiko tinggi dan
infeksius ( Higher risk and infectious)

6
2.2. ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama penyakit inidiiringi


dengan varian mycobacterium lainnya seperti M. africanum, M. bovis, M.caprae, M.
pinnipedii, dan M. microtii. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk
basil non spora berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat tahan
asamnya disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai
panjang dan beberapa unsur lemak lainnya. Asam mikolik tersebut terikat dalam
struktur arabinogalactan dan peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas dinding
sel bakteri sangat rapat sehingga menurunkan kerja antibiotik. Mycobacteriun
tuberculosis biasanya ditemukan di udara, tanah, bahkan air.2,4
M. tuberculosis dapat terjadi tidak hanya pada manusia. Di negara berkembang
seperti di Afrika, TB masih merupakan penyakit zoonosis penting yang ditularkan
melalui inhalasi aerosol, yang menimbulkan TB paru dan melalui konsumsi susu dan
daging yang terkontaminasi, yang sebagian besar menyebabkan TB paru ekstra dengan
lesi pada kelenjar getah bening, tulang dan sendi, sistem genitourinari , dan meninges.
Ini juga ditularkan melalui rute yang kurang umum dari inokulasi traumatis ke kulit
oleh mereka yang menangani daging yang terkontaminasi. Di negara maju, langkah-
langkah pemberantasan seperti strategi uji-dan-pembantaian dan pasteurisasi susu
wajib telah menyebabkan kontrol yang efektif dari masalah. Hanya ada sedikit catatan
tentang penularan dari manusia ke manusia dalam kasus M. bovis. Penyakit yang
disebabkan oleh M. bovis secara klinis tidak dapat dibedakan dari yang disebabkan
oleh M. Tuberculosis.4,5,6
Pada dasarnya pasien dengan sistem imun yang baik biasanya jarang terserang
tuberculosis atau hanya terserang pada satu area saja misalnya pada paru atau salah
satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis
dapat terjadi lebih daripada satu organ. Dalam 3 dekade terakhir, sejalan dengan
pandemi HIV/AIDS, terjadi peningkatan angka infeksi TB sebesar 40% dimana Afrika
menjadi penyumbang 72% TB yang berhubungan dengan HIV. 4,6

7
Sedangkan untuk etiologi TB Pada Pekerja (Tuberculosis, Winnipeg Regional Health
Authority Infection Prevention & Control Manual p2 – p1 . 2012) Spesies
mycobacterium pada pekerja yang telah diidentifikasi melalui laboratorium berupa. M.
tuberculosis, M. africanum, M. canneti, M.caprae, M. microti, M. pinnipedi, dan M.
bovis. Namun pada makalah ini cenderung membahas mengenai M. tuberculosis dan
M. bovis

2.3. EPIDEMIOLOGI

TB terus menjadi penyakit infeksi yang menjadi prioritas global. Berdasarkan


laporan WHO tahun 2018 (berdasarkan data tahun 2017), diperkirakan 9,0-11,1 juta
kasus TB secara global bersama dengan 1,2-1,5 juta kematian (termasuk akibat TB
pada individu dengan HIV). Asia dan Afrika menjadi penyumbang utama yang terkena
dampak TB dengan 57% dan 26% kasus TB secara global. Diperkirakan sebanyak 1,3
juta kematian (rentang antara 1,2-1,4 juta) terjadi akibat kasus pada penderita TB
dengan HIV negatif dan sebanyak 300 ribu kematian (rentang 266-335 ribu) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. 5,7

8
Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan Negara oleh WHO, tahun 2018

2.4. FAKTOR RESIKO

TB pada dasarnya jarang kambuh pada individu yang imunokompeten.


Berbagai faktor yang menyebabkan individu mengalami penurunan imunitaslah yang
akan menjadi faktor resiko dari TB. Faktor resiko terbesar adalah infeksi HIV. TB
merupakan bagian dari penyakit yang sering menjadi kasus infeksi oportunistik yang
mengiringi keadaan AIDS. Penggunaan terapi imunosupresan berlebih juga dapat
mempermudah kuman TB untuk aktif. Adanya diabetes mellitus pada pasien, leukemia,
keganasan, ataupun silikosis juga dapat menjadi faktor resiko. Pada negara
berkembang, salah satu alasan mengapa TB biasanya lebih mudah terjadi adalah
keadaan malnutrisi ataupun berat badan yang rendah dan pola hidup yang buruk. 4,8,9
Pada tempat dengan tingginya kemungkinan kontak dengan hewan ternak,
tempat pemotongan hewan, maupun tempat pembuatan berbagai produk peternakan,
infeksi pada hewan ternak dapat menjadi sumber penularan yang akan meningkatkan

9
resiko individu terkena TB. Konsumen yang mengkonsumsi produk seperti daging atau
susu tanpa memperhatikan dengan baik kualitas produknya dapat mengalami penularan
jika produknya dihasilkan dari hewan yang terinfeksi. 2,4,8
Pada daerah kumuh ataupun daerah industri, adanya ventilasi yang buruk dan
kelembapan yang tinggi pada ruangan disertai kepadatan penghuni pada lingkungan
yang memiliki individu pengidap TB juga menjadi faktor resiko meningkatnya
kemungkinan persebaran kasus ini. Daerah pertambangan dengan ventilasi yang buruk
dan kontak yang konstan dengan penderita juga menyebabkan persebaran droplet yang
lebih mudah. Beberapa faktor resiko lain yang memiliki hubungan yang kompleks
dimana keadaan seperti merokok dan pekerjaan yang bersinggungan dengan berbagai
zat yang dapat menurunkan fungsi paru (seperti silika, bahan bakar, asbes) juga dapat
mempermudah TB untuk lebih aktif8,10,11
Sedangkan untuk Faktor Risiko Pekrjaan Berdampak Pajanan Tuberculosis.
Risiko pekerjaan yang dapat berdampak terkena pajanan tuberculosis meliputi.
Pekerjaan yang melibatkan diri sendiri terkena pajanan TB seperti pekerja yang kondisi
ekonomi dan sosial yang rendah, pekerja yang tidak dibekali kemampuan, dan pekerja
yang dibayar rendah. Selanjutnya pekerja yang memilki kerentanan lebih dari
organisme yang menginfeksi seperti pekerja yang berisiko terkena silikosis
(pertambangan, penggalian, pengecoran, dan pembuat tembikar. Selanjutnya adalah
pekerjaan dengan peningkatan terpapar infeksi seperti pekerja di rumah sakit,
laboratorium, dan ruang autopsi. 23

Tingkat pendidikan rendah pada penderita TB lebih besar, bila dibandingkan


dengan pendidikan tinggi. Melalui pengetahuan, pendidikan berkontribusi terhadap
perilaku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam memengaruhi keputusan
seseorang untuk berperilaku sehat. Berdasarkan pekerjaan bahwa
petani/nelayan/buruh/lainnya, lebih banyak menderita TB disbanding
pegawai/PNS/TNI/POLRI. Menurut statistik potensi desa, pekerjaan atau mata

10
pencaharian terbanyak di daerah pedesaan di Indonesia adalah pertanian yaitu sebesar
97,75%, urutan kedua adalah jasa sebesar 0,58% dan urutan ketiga adalah perdagangan
0,57. Sebagian besar penderita TB adalah tergolong berpengeluaran rendah. Penyakit
TB selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Menurut WHO, 90% penderita TBC di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara
kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, penyakit TB merupakan penyebab
kemiskinan dan karena kemiskinan maka manusia menderita TB. 21

11
2.5. PATOFISOLOGI

Infeksi Mycobacterium tuberculosis terjadi ketika beberapa basil tuberkel


tersebar di udara dari seorang pasien dengan TB paru aktif mencapai alveoli inang. Di
sini, Mycobacterium tuberculosis hampir selalu dengan cepat difagositosis oleh
makrofag alveolar profesional yang dapat membunuh bakteri yang masuk berkat
respon imun bawaan. Jika basil dapat bertahan dari garis pertahanan pertama ini, ia
mulai aktif mereplikasi dalam makrofag, menyebar ke sel di dekatnya termasuk sel
epitel dan endotel, dan dalam beberapa minggu mencapai pertumbuhan yang
eksponensial menyebabkan adanya beban bakteri yang tinggi. Selama langkah-langkah
awal infeksi, Mycobacterium tuberculosis dapat berdifusi ke organ lain melalui jalur
limfatik dan juga melalui penyebaran hematogen di mana ia dapat menginfeksi sel lain.
Setelah itu , begitu respons imun adaptif muncul, dapat bermigrasi ke lokasi infeksi
primer neutrofil, limfosit, dan sel imun lainnya untuk membentuk infiltrat seluler yang
kemudian mengasumsikan struktur khas granuloma. Komponen fibrosis menutupi
granuloma yang menjadi kalsifikasi sedemikian rupa sehingga basil tetap terkurung di
dalam dan dilindungi oleh respons imun inang. Lesi primer ini, secara klasik disebut
kompleks Ghon, dan digunakan sebagai tempat perlindunganMycobacterium
tuberculosis selama infeksi laten, dengan basil bertahan dalam keadaan tidak aktif
secara metabolik, selama bertahun-tahun, puluhan tahun, atau paling sering seumur
hidup. Ketika, selama infeksi laten, untuk alasan yang tidak diketahui, basil mulai
mereplikasi di dalam lesi primer ini, penyakit aktif akan terjadi.Dari hipotesis ini,
dengan implikasi patofisiologis dan klinis yang relevan, adalah bahwa reaktivasi TB
berasal dari situs infeksi yang sangat utama ini. Hipotesis ini ditentang sejak awal abad
ke-20, ketika ditunjukkan bahwa basil yang layak dan infektif ditemukan di bagian
yang tidak terpengaruh jaringan paru-paru dari kelinci percobaan atau manusia yang
terinfeksi.necropsy daripada dari inti pusat lesi tuberkulosis. Terlepas dari temuan awal
ini, hanya pada tahun 2000 Hernandez-Pando et al, menggunakan jaringan paru-paru
normal yang diisolasi pada necropsy dari pasien yang telah meninggal karena sebab

12
selain TB dalam TB. negara endemik dapat mendeteksi secara in situ PCR DNA
Mycobacterium tuberculosis dalam sel nonfagosit, fibroblas, dan sel endotel, dengan
jelas menunjukkan bahwa pada subyek TB laten basil-basil Mtb dapat bertahan dalam
jaringan dan sel yang tidak terkait dengan granuloma atau kompleks Ghon.
Menggunakan pengaturan eksperimentalyang serupa, Mycobacterium tuberculosis
terdeteksi dalam jaringan lemak yang mengelilingi beberapa organ, yang berada secara
intraseluler dalam adiposit, di mana ia dapat bertahan dilindungi dari respon imun
inang. bukti menunjukkan bahwa selama infeksi TB latenMycobacterium tuberculosis
dapat tinggal di berbagai organ, jaringan dan jenis sel, tidak terkait dengan situs infeksi
primer dan tanpa memiliki tanda-tanda lesi granulomatosa khas.2,6,9

Studi yang dilakukan dalam model TB primata non-manusia semakin


menguatkan temuan ini yang menunjukkan bahwa selama infeksi laten Mycobacterium
tuberculosis aktif secara metabolik dan bereplikasi di jaringan inang meskipun tidak
ada tanda klinis atau gejala penyakit. Menariknya, dalam satu monyet dengan TB aktif
dimungkinkan untuk mengamati berbagai jenis lesi, mulai dari rongga yang dicairkan
dengan banyak basil, hingga lesi hipoksia nekrotik atau caseous dengan jumlah bakteri
yang bervariasi, dan bahkan terdapat lesi steril. Skenario serupa diamati pada pasien
dengan TB paru, di mana lesi yang beragam diamati secara bersamaan dan ditemukan
lesi-lesi yang merespons secara berbeda terhadap kemoterapi,hal ini diperkirakan
karena mereka mewakili subtipeMycobacterium tuberculosis yang berbeda di
lingkungan mikro yang berbeda.2,6,11

Berdasarkan pemahaman baru tentang biologi Mycobacterium tuberculosis,


status metaboliknya yang berbeda dengan respons imun inang dinamis yang terjadi
selama infeksi dan pada spektrum kondisi yang diamati selama infeksi, telah
diperkirakan bahwa selama infeksi laten sebagian besar basil bertahan dalam keadaan
dorman. dengan lebih sedikit Mycobacterium tuberculosis ditemukan dalam keadaan
replikasi aktif. Basil replikasi ini, yang disebut "scouts" diproses dan dibunuh oleh

13
pertahanan kekebalan tubuh inang dan sebagai hasilnya mereka bertanggung jawab
atas induksi sejumlah besar sel T efektor / memori yang diarahkan terhadap antigen
Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan dalam darah tepi. Oleh karena itu, selama
TB laten, bakteri yang tidak aktif terus-menerus mengisi kembali basil yang aktif
direplikasi yang siap dibunuh oleh inang. Ketika, dengan alasan apa pun, respons imun
inang gagal mengendalikan pemindaian ini, replikasi bakteri yang tidak terkendali
mendorong manifestasi penyakit dan timbulnya penyakit aktif. Contoh klasik disorot
oleh infeksi HIV yang memengaruhi sel T CD4 yang memainkan peran penting dalam
mengendalikan replikasi Mycobacterium tuberculosis.Pengobatan dengan terapi
biologis dengan anti-TNF yang diketahui meningkatkan risiko pengembangan penyakit
TB hingga 25 kali pada subyek TB laten sebagai akibat dari gangguan organisasi
granuloma dan menipisnya populasi sel T CD8 tertentu yang diketahui berperan dalam
mengendalikan Mycobacterium tuberculosis , pengobatan dengan kortikosteroid,
defisiensi vitamin D dan kondisi lain yang memengaruhi fungsi sel T juga diketahui
meningkatkan risiko TB aktif pada subyek TB laten, menggarisbawahi implikasi klinis
bahwa setiap kejadian yang dapat mengganggu inang. dapatmempengaruhi
keseimbangan dinamis patogen.2,6,11

Penurunan FEV1 dapat dikaitkan dengan beberapa mekanisme patologis yang


mendasarinya. Kavitasi paru dapat melenyapkan atau merusak saluran udara,
menyebabkan obstruksi aliran udara. Dalam sebuah penelitian serial tentang perubahan
dalam struktur paru dan fungsi paru, pasien dengan gigi berlubang memiliki FEV1
yang lebih rendah secara bermakna pada awal dan pada 1 bulan inisiasi pengobatan
pasca-TB dibandingkan dengan pasien tanpa gigi berlubang. Selain itu, penyebaran
bronkogenik adalah ciri khas TB paru, di mana bahan caseous yang dilepaskan selama
disintegrasi kavitasi melewati dinding bronkial. Selanjutnya, penghancuran komponen
elastis dan otot dari dinding bronkial yang mengakibatkan bronkiektasis, yang
berhubungan dengan obstruksi aliran udara, terdeteksi lebih sering pada pasien dengan
rongga (64%) daripada yang tanpa (11%). Bronkiektasis adalah distorsi permanen

14
saluran udara yang merupakan predisposisi morbiditas seumur hidup dengan episode
berulang dari produksi sputum purulen, hemoptisis, dan kadang-kadang berkembang
menjadi pneumonia. Bronkiektasis sebagai kelanjutan dari TB paru telah lama dikenal
dan dapat bertahan atau memburuk meskipun pengobatan TB selesai. Studi otopsi post
mortem pasien TB menemukan bronkiektasis pada 19-65% dari mereka yang diperiksa.
Sangat memprihatinkan untuk dicatat bahwa dalam satu penelitian, yang dilakukan
baru-baru ini, 86% pasien memiliki bronkiektasis silinder 6 bulan pasca-TB
pengobatan dengan CT dada. Secara konsisten, tinjauan sistematis melaporkan
prevalensi bronkiektasis pasca TB menjadi 35-86% dalam lima studi CT yang mereka
nilai. Lebih lanjut, penelitian berbasis populasi> 10.000 orang dewasa di China
mengungkapkan bahwa memiliki riwayat TB meningkatkan kemungkinan memiliki
diagnosis bronchiectasis tiga kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki TB sebelumnya. Namun, pemahaman kita tentang mekanisme yang
mendorong struktur seperti itu perubahan dan obstruksi aliran udara terkait setelah TB
buruk.2,9,11

Pasien kanker, termasuk pasien dengan penyakit hematologis, juga berisiko


lebih tinggi terkena TB dan pada pasien ini hasil klinis biasanya sangat agresif, dapat
muncul sebagai infeksi sistemik dengan tingkat kematian yang tinggi dan diagnosis
biasanya ditunda. Konteks spektrum TB, dengan implikasi imunologis dan biologis
yang telah dibahas sebelumnya, dengan jelas menyoroti risiko bahwa infeksi biasanya
dikendalikan oleh respons imun inang tanpa tanda atau gejala klinis, dapat diaktifkan
kembali begitu keseimbangan halus mempengaruhi keseimbangan dinamis antara
inang dan basil terjadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk menerapkan protokol
diagnostik yang tepat dan efektif yang mampu mendeteksi infeksi laten pada kelompok
berisiko tinggi ini dan tes yang sangat sensitif untuk mengidentifikasi penyakit aktif
ketika diduga TB.2,11

15
2.6 DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkait adalah paru maka gejala lokal adalah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 17,18

1. Gejala respiratorik

 Batuk > 2 minggu


 Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
 Demam
 Malaise
 Keringat malam
 Anoreksia dan berat badan menurun

16
Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks
lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum. 17,18

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,


tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” 17,18

Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

17
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan


pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

 Kertas sring dengan ukuran 10x10 cm, dilipat 4 agar terlihat again
tengahnya
 Dahak yang representative diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
 Kertas saring dilipat kembali dan dgantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
 Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil

18
 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
 Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
 Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukandengan cara:

Mikroskopik
 Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:

 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif  BTA positif


 1 kali positif, 2 kali negatif  ulang BTA 3 kali, kemudian
 Bila 1 kali positif, 2 kali negatif  BTA positif
 Bila 3 kali negatif  BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease):
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan

19
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara:
 Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
 Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan


dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat
digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif:

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier

20
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

 Fibrotic
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh Paru (destroyed lung):

 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):

 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
 Lesi luas

21
Gambar 2. Alur Diagnosis TB

22
Gambar 3. Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa

23
Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya


waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth
Indicator Tube (MGIT).

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR merupakan pemeriksaan mikrobiologi yang didasarkan
pada amplifikasi regio asam nukleat tertentu yang spesifik pada
Mycobacterium tuberculosis. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis


sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada
yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB. 12

24
Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Analisis cairan pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah
uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi,
yaitu:

 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka)
 Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histology.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat

25
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji
tuberkulin mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk
menentukan ada tidaknya infeksi TB.

5. IGRA
Tes ini untuk mengukur respon sel T terhadap antigen, awal dikeluarkan
antigen 6 (ESAT-6) dan kultur Fi protein 10 (CFP-10) yang spesifik untuk
Mycobacterium tuberkulosis. 12,19,20

2.7 TATALAKSANA

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 15,16

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:


 Rifampisn
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
 Empat OAT dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg, dan
 Tiga obat dalam 1 tablet, yaiitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg
dan pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

26
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT

1. Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2 – 3 kali/minggu atau


BB > 60 kg : 600 mg
BB 40 – 60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
2. INH: 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali seminggu, 15
mg/kg BB 2 kali seminggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. Intermiten: 600
mg/kali
3. Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50
mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol: fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30
mg/kg BB 3 kali seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali
5. Streptomisin: 15 mg/kg BB atau
BB > 60 kg : 1000 mg

27
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya
minum obat 3 – 4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan
dapat menggunakan kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini telah
digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang
mampu menanganinya.

Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg/kgBB)


(mg/kgB maks
Harian Intermitten <40 40- >60
B/hari) (mg)
(mg/kgBB/hari (mg/kgBB/hari 60
) )

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S Sesuai 750 1000


15-18 15 15 1000
BB

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

28
Panduan OAT
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH

Atau 2 RHZE / 6 HE

Atau 2 RHZE / 4 R3H3

Panduan ini dianjurkan untuk:

a. TB paru BTA (+), kasus baru


b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh
paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan
disesuaikan dengan hasil uji resistensi
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 6 RHE

Atau 2 RHZE / 4 R3H3

3. TB paru kasus kambuh


Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil
uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan
4. TB paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan
15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil
uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula

29
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TB paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) BTA saat ini (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat < 4bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap
OAT
6. TB paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)
ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan.

30
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Kategori Kasus Paduan obat yang Keterangan


diajurkan
I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
+,
2 RHZE / 6 HE
BTA - , lesi
*2RHZE / 4R3H3
luas

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai Bila


hasil uji resistensi atau streptomisin
-Gagal
2RHZES / 1RHZE / 5 RHE alergi, dapat
pengobatan
diganti
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
kanamisin
etionamid, sikloserin / 15-
18 ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan

31
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi
6 RHE atau
minimal

*2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi +
OAT lini 2 atau H seumur
hidup
Tabel 2. Ringkasan paduan obat

32
Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan


klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan

1. Pasien rawat jalan


a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap:
 TB paru disertai keadaan / komplikasi sbb:
a. Batuk darah massif
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotorak
d. Empiema
e. Efusi pleura massif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawat

33
Terapi Pembedahan
Indikasi operasi:
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. Indikasi Relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan)

1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemawangan WSD (water sealed drainage)

Kriteria Sembuh

1. BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologik serial tetap sama / perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

34
Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek


samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat 14

Evaluasi Klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2minggu pada 1 bulan pertama pengobatan


selanjutnya setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik

Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6 / 9 bulan pengobatan)


1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologi (0 – 2 – 6 / 9 bulan pengobatan)


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , serta asam urat untukdata dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)

35
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evaluasi keteraturan obat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
14

Kriteria sembuh
1. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensifdan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala)setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

36
2.8.Landasan Hukum

Penyakit TB pada pekerja disebabkan oleh infeksi dari bakteri Mycobacterium


tuberculosis, Dimana, bakteri tersebut digolongkan sebagai faktor biologi. Beberapa
peraturan perundang undangan di Indonesia yang berkaitan dengan faktor biologi
adalah : 22

a. Undang Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


b. Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
c. Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan,
Kebersihan serta Penerangan
d. Permenakertrans No. Per.01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan
Penyakit Akibat Kerja
e. Keputusan Presiden RI No.22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Akibat
Hubungan Kerja

2.9. Pengendalian
a. Administrasi kontrol
Seperti pemeriksaan kesehatan awal bagi karyawan baru, pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi karyawan lama

b. Engineering kontrol 23
Ventilasi, UVGI, dan HEPAF (high efficiency particulate air filtration). Pada
ventilasi, harus diatur ulang sebanyak 6 kali perubahan udara per jam (ACH/
air changes per hour). UVGI (ultraviolet germicidal irradiaton) dapat digunakan
namun dapat mengakibatkan keratoconjunctivitis, daya tembus yang rendah,
dan berkurangnya efektivitas dengan peningkatan humiditas. HEPAF dapat
digunakan untuk membasmi dengan efektivitas 99,97%.

37
c. Alat Pelindung Diri
Pengendalain lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat
pelindung diri. Pengendalian ini merupakan upaya terakhir jika tidak dapat
dilakukan pengendalian lainnya. Alat pelindung diri yang digunakan harus
mencegah dari potensi bahaya fakto biologi agar tidak terpapar seperti masker
dan sarung tangan
d. Dilarang makan dan minum ditempat kerja
e. Menjaga kebersihan individu
f. Desinfeksi atau dekontaminasi secara teratur terhadap lantai, dinding, peralatan
dan lain lain
g. Memasang label tanda tanda bahaya ditempat yang berisiko terpapar infeksi
Mycobacterium
h. Melakukan training atau edukasi tentang K3 dan efek akibat terpapar
Mycobacterium
i. Melakukan pengelolaan yang baik terhadap limbah.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Ameni G, Tadesse K, Hailu E, et al. Transmission of Mycobacterium


tuberculosis between Farmers and Cattle in Central Ethiopia. PLOS ONE
2013;8(10):1-10
2. Delogu G, Sali M, Fadda G. The Biology of Mycobacterium tuberculosis
infection. Mediterr J Hematol Infect Dis 2013;5(1):1-8
3. Lestari D, Dhoruri A, Sari ER. An epidemic model of tuberculosis with vaccine
control in Yogyakarta region Indonesia. J Phys Conf Ser 2018;1132:1-9
4. Hambolu D, Freeman J, Taddese HB. Predictors of Bovine TB Risk Behaviour
amongst Meat Handler in Nigeria : A Cross-sectional Study Guided by the
Health Belief Model. PLOS ONE 2013;8(2):1-9
5. Fekkadu F, Beyene TJ, Beyi AF, et al. Risk Perceptions and Protective
Behaviors Toward Bovine Tuberculosis among Abattoir and Butcher Workers
in Ethiopia. Front Vet Sci 2018;5(169):1-9
6. Hunter RL. The Pathogenesis of Tuberculosis : The Early Infiltrate of Post
Primary (Adult Pulmonary) Tuberculosis : A Distinct Disease Entity. Front
Immunol 2018;9(2108):1-9
7. WHO XXXXXXXXXXXXXXXX
8. Wulandari AA, Nurjazuli, Adi S. Faktor Risiko dan Potensi Penularan
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia 2015;14(1):7-13
9. Hunter RL. Tuberculosis as a Three-act Play : A New Paradigm for the
Pathogenesis of Pulmonary Tuberculosis. Tuberculosis (Edinb) 2016;97:8-17
10. Jin Y, Wang H, Zhang J, et al. Prevalence of latent tuberculosis infection among
coal workers pneumoconiosis patients in China : a cross-sectional study. BMC
Public Health 2018;18(473):1-9
11. Ravimohan S, Kornfeld H, Weissman D, Bisson GP. Tuberculosis and Lung

39
Damage : From Epidemiology to Pathophysiology. Eur Respir Rev
2018;27(170077):1-20
12. Kaswandani N, Setyanto DB, Rahajoe NN. Akurasi Polymerase Chain
Reaction (PCR) Dibandingkan dengan Uji Tuberkulin untuk Diagnosis
Tuberkulosis pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2010;12(1):42-46.
13. Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru Di Desa
Wori Kecamatan Wori. Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi. 2015;3(2):57-65
14. Rani AA. Tuberkulosis paru. Jakarta: Panduan Pelayanan Medik PB Papdi.
2009
15. Aditama TY. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. 2006
16. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit
Dalam Universitas Indonesia. Balai Penerbit FK-UI. 2006;1
17. Fattiyah I, Zubaedah T, Priyanti ZS, Erlina B, Reviono, Soedarsono, dkk,
penyunting.Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Edisi revisi pertama. Jakarta: PDPI; 2011
18. Danusantoso H. Buku saku ilmu penyakit paru. 2nd Ed. Jakarta: EGC 2012, p
70-80
19. Kik SV, Franken WPJ, Arend SM. Interferon-gamma release assays in
immigrant contacts and effect of remote exposure to Mycobacterium
tuberculosis. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease.
2009;13(7):820–828

40
20. Gonzalez PT, Ramos OS, Gamboa1 AM. Prevalence of Latent and Active
Tuberculosis among Dairy Farm Workers Exposed to Cattle Infected by
Mycobacterium bovis. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2013;7(4):1-8
21. Rukmini, Chatarina UW. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
TB Paru Dewasa di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Airlangga. 2011;320-331
22. Faktor Biologi, Materi Ajar Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi
Dokter Perusahaan p- 165 , Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Direktorat Jendran Pembinaan, Pengawasan K3, Kemnaker 2019
23. Tam C, Leung C. Occupational tuberculosis: a review of the literature and the
local situation Hong Kong Med J Vol 12 No 6 December 2006
24.

41

Anda mungkin juga menyukai

  • 1111LKLKJHJ
    1111LKLKJHJ
    Dokumen6 halaman
    1111LKLKJHJ
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • 112LKKLK1)
    112LKKLK1)
    Dokumen6 halaman
    112LKKLK1)
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen6 halaman
    Referat
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • 111DSC
    111DSC
    Dokumen6 halaman
    111DSC
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • 1111LKLKJHJ
    1111LKLKJHJ
    Dokumen6 halaman
    1111LKLKJHJ
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Jnon
    Jnon
    Dokumen6 halaman
    Jnon
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • 111DSC
    111DSC
    Dokumen6 halaman
    111DSC
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen6 halaman
    Referat
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • 1111LKLKJHJ
    1111LKLKJHJ
    Dokumen6 halaman
    1111LKLKJHJ
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Jnon
    Jnon
    Dokumen6 halaman
    Jnon
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Jnon
    Jnon
    Dokumen6 halaman
    Jnon
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT
    Referat THT
    Dokumen7 halaman
    Referat THT
    BimaSurya
    Belum ada peringkat