TB PADA PEKERJA
Disusun oleh:
Muhammad Ricky 030.13.124
Yesmine Sapphira 030.13.250
Muhammad Bima SP 030.12.174
Pembimbing:
dr. Nany Hairunisa, MCHSc
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-
Nya kita dapat menyelesaikan makalah mengenai ilmu kesehatan dan keselamatan
kerja yang berjudul “TB pada Pekerja”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Hygine Perusahaan
Kesehatan dan Keselamatan kerja. Dalam kesempatan ini, kita ingin mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan
penyelesaian makalah, terutama kepada:
1. dr. Nany Hairunisa, MCHSc selaku pembimbing dalam laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.
3. Kami menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan
makalah ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
dalam bidang ilmu kesehatan dan keselamatan kerja
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Etiologi 7
2.3 Epidemiologi 8
2.4 Faktor Resiko 9
2.5 Patofisiologi 11
2.6 Diagnosis 15
2.7 Tatalaksana 25
2.8 Landasan Hukum 36
2.9 Pengendalian 36
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 38
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
yang dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya
sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena
penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang
mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit
lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
6
2.2. ETIOLOGI
7
Sedangkan untuk etiologi TB Pada Pekerja (Tuberculosis, Winnipeg Regional Health
Authority Infection Prevention & Control Manual p2 – p1 . 2012) Spesies
mycobacterium pada pekerja yang telah diidentifikasi melalui laboratorium berupa. M.
tuberculosis, M. africanum, M. canneti, M.caprae, M. microti, M. pinnipedi, dan M.
bovis. Namun pada makalah ini cenderung membahas mengenai M. tuberculosis dan
M. bovis
2.3. EPIDEMIOLOGI
8
Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan Negara oleh WHO, tahun 2018
9
resiko individu terkena TB. Konsumen yang mengkonsumsi produk seperti daging atau
susu tanpa memperhatikan dengan baik kualitas produknya dapat mengalami penularan
jika produknya dihasilkan dari hewan yang terinfeksi. 2,4,8
Pada daerah kumuh ataupun daerah industri, adanya ventilasi yang buruk dan
kelembapan yang tinggi pada ruangan disertai kepadatan penghuni pada lingkungan
yang memiliki individu pengidap TB juga menjadi faktor resiko meningkatnya
kemungkinan persebaran kasus ini. Daerah pertambangan dengan ventilasi yang buruk
dan kontak yang konstan dengan penderita juga menyebabkan persebaran droplet yang
lebih mudah. Beberapa faktor resiko lain yang memiliki hubungan yang kompleks
dimana keadaan seperti merokok dan pekerjaan yang bersinggungan dengan berbagai
zat yang dapat menurunkan fungsi paru (seperti silika, bahan bakar, asbes) juga dapat
mempermudah TB untuk lebih aktif8,10,11
Sedangkan untuk Faktor Risiko Pekrjaan Berdampak Pajanan Tuberculosis.
Risiko pekerjaan yang dapat berdampak terkena pajanan tuberculosis meliputi.
Pekerjaan yang melibatkan diri sendiri terkena pajanan TB seperti pekerja yang kondisi
ekonomi dan sosial yang rendah, pekerja yang tidak dibekali kemampuan, dan pekerja
yang dibayar rendah. Selanjutnya pekerja yang memilki kerentanan lebih dari
organisme yang menginfeksi seperti pekerja yang berisiko terkena silikosis
(pertambangan, penggalian, pengecoran, dan pembuat tembikar. Selanjutnya adalah
pekerjaan dengan peningkatan terpapar infeksi seperti pekerja di rumah sakit,
laboratorium, dan ruang autopsi. 23
10
pencaharian terbanyak di daerah pedesaan di Indonesia adalah pertanian yaitu sebesar
97,75%, urutan kedua adalah jasa sebesar 0,58% dan urutan ketiga adalah perdagangan
0,57. Sebagian besar penderita TB adalah tergolong berpengeluaran rendah. Penyakit
TB selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Menurut WHO, 90% penderita TBC di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara
kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, penyakit TB merupakan penyebab
kemiskinan dan karena kemiskinan maka manusia menderita TB. 21
11
2.5. PATOFISOLOGI
12
selain TB dalam TB. negara endemik dapat mendeteksi secara in situ PCR DNA
Mycobacterium tuberculosis dalam sel nonfagosit, fibroblas, dan sel endotel, dengan
jelas menunjukkan bahwa pada subyek TB laten basil-basil Mtb dapat bertahan dalam
jaringan dan sel yang tidak terkait dengan granuloma atau kompleks Ghon.
Menggunakan pengaturan eksperimentalyang serupa, Mycobacterium tuberculosis
terdeteksi dalam jaringan lemak yang mengelilingi beberapa organ, yang berada secara
intraseluler dalam adiposit, di mana ia dapat bertahan dilindungi dari respon imun
inang. bukti menunjukkan bahwa selama infeksi TB latenMycobacterium tuberculosis
dapat tinggal di berbagai organ, jaringan dan jenis sel, tidak terkait dengan situs infeksi
primer dan tanpa memiliki tanda-tanda lesi granulomatosa khas.2,6,9
13
pertahanan kekebalan tubuh inang dan sebagai hasilnya mereka bertanggung jawab
atas induksi sejumlah besar sel T efektor / memori yang diarahkan terhadap antigen
Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan dalam darah tepi. Oleh karena itu, selama
TB laten, bakteri yang tidak aktif terus-menerus mengisi kembali basil yang aktif
direplikasi yang siap dibunuh oleh inang. Ketika, dengan alasan apa pun, respons imun
inang gagal mengendalikan pemindaian ini, replikasi bakteri yang tidak terkendali
mendorong manifestasi penyakit dan timbulnya penyakit aktif. Contoh klasik disorot
oleh infeksi HIV yang memengaruhi sel T CD4 yang memainkan peran penting dalam
mengendalikan replikasi Mycobacterium tuberculosis.Pengobatan dengan terapi
biologis dengan anti-TNF yang diketahui meningkatkan risiko pengembangan penyakit
TB hingga 25 kali pada subyek TB laten sebagai akibat dari gangguan organisasi
granuloma dan menipisnya populasi sel T CD8 tertentu yang diketahui berperan dalam
mengendalikan Mycobacterium tuberculosis , pengobatan dengan kortikosteroid,
defisiensi vitamin D dan kondisi lain yang memengaruhi fungsi sel T juga diketahui
meningkatkan risiko TB aktif pada subyek TB laten, menggarisbawahi implikasi klinis
bahwa setiap kejadian yang dapat mengganggu inang. dapatmempengaruhi
keseimbangan dinamis patogen.2,6,11
14
saluran udara yang merupakan predisposisi morbiditas seumur hidup dengan episode
berulang dari produksi sputum purulen, hemoptisis, dan kadang-kadang berkembang
menjadi pneumonia. Bronkiektasis sebagai kelanjutan dari TB paru telah lama dikenal
dan dapat bertahan atau memburuk meskipun pengobatan TB selesai. Studi otopsi post
mortem pasien TB menemukan bronkiektasis pada 19-65% dari mereka yang diperiksa.
Sangat memprihatinkan untuk dicatat bahwa dalam satu penelitian, yang dilakukan
baru-baru ini, 86% pasien memiliki bronkiektasis silinder 6 bulan pasca-TB
pengobatan dengan CT dada. Secara konsisten, tinjauan sistematis melaporkan
prevalensi bronkiektasis pasca TB menjadi 35-86% dalam lima studi CT yang mereka
nilai. Lebih lanjut, penelitian berbasis populasi> 10.000 orang dewasa di China
mengungkapkan bahwa memiliki riwayat TB meningkatkan kemungkinan memiliki
diagnosis bronchiectasis tiga kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki TB sebelumnya. Namun, pemahaman kita tentang mekanisme yang
mendorong struktur seperti itu perubahan dan obstruksi aliran udara terkait setelah TB
buruk.2,9,11
15
2.6 DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
1. Gejala respiratorik
2. Gejala sistemik
Demam
Malaise
Keringat malam
Anoreksia dan berat badan menurun
16
Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks
lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum. 17,18
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
17
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Kertas sring dengan ukuran 10x10 cm, dilipat 4 agar terlihat again
tengahnya
Dahak yang representative diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan dgantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil
18
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukandengan cara:
Mikroskopik
Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
19
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara:
Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
Agar base media : Middle brook
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
20
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Fibrotic
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
Lesi luas
21
Gambar 2. Alur Diagnosis TB
22
Gambar 3. Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa
23
Pemeriksaan Khusus
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth
Indicator Tube (MGIT).
24
Pemeriksaan Penunjang Lain
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka)
Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histology.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
25
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji
tuberkulin mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk
menentukan ada tidaknya infeksi TB.
5. IGRA
Tes ini untuk mengukur respon sel T terhadap antigen, awal dikeluarkan
antigen 6 (ESAT-6) dan kultur Fi protein 10 (CFP-10) yang spesifik untuk
Mycobacterium tuberkulosis. 12,19,20
2.7 TATALAKSANA
26
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
27
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya
minum obat 3 – 4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan
dapat menggunakan kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini telah
digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang
mampu menanganinya.
28
Panduan OAT
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 2 RHZE / 6 HE
29
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TB paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) BTA saat ini (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat < 4bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap
OAT
6. TB paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)
ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan.
30
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
31
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi
6 RHE atau
minimal
*2RHZE /4 R3H3
32
Pengobatan Suportif / Simptomatik
33
Terapi Pembedahan
Indikasi operasi:
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. Indikasi Relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemawangan WSD (water sealed drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologik serial tetap sama / perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
34
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi Klinik
35
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Kriteria sembuh
1. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensifdan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala)setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
36
2.8.Landasan Hukum
2.9. Pengendalian
a. Administrasi kontrol
Seperti pemeriksaan kesehatan awal bagi karyawan baru, pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi karyawan lama
b. Engineering kontrol 23
Ventilasi, UVGI, dan HEPAF (high efficiency particulate air filtration). Pada
ventilasi, harus diatur ulang sebanyak 6 kali perubahan udara per jam (ACH/
air changes per hour). UVGI (ultraviolet germicidal irradiaton) dapat digunakan
namun dapat mengakibatkan keratoconjunctivitis, daya tembus yang rendah,
dan berkurangnya efektivitas dengan peningkatan humiditas. HEPAF dapat
digunakan untuk membasmi dengan efektivitas 99,97%.
37
c. Alat Pelindung Diri
Pengendalain lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat
pelindung diri. Pengendalian ini merupakan upaya terakhir jika tidak dapat
dilakukan pengendalian lainnya. Alat pelindung diri yang digunakan harus
mencegah dari potensi bahaya fakto biologi agar tidak terpapar seperti masker
dan sarung tangan
d. Dilarang makan dan minum ditempat kerja
e. Menjaga kebersihan individu
f. Desinfeksi atau dekontaminasi secara teratur terhadap lantai, dinding, peralatan
dan lain lain
g. Memasang label tanda tanda bahaya ditempat yang berisiko terpapar infeksi
Mycobacterium
h. Melakukan training atau edukasi tentang K3 dan efek akibat terpapar
Mycobacterium
i. Melakukan pengelolaan yang baik terhadap limbah.
38
DAFTAR PUSTAKA
39
Damage : From Epidemiology to Pathophysiology. Eur Respir Rev
2018;27(170077):1-20
12. Kaswandani N, Setyanto DB, Rahajoe NN. Akurasi Polymerase Chain
Reaction (PCR) Dibandingkan dengan Uji Tuberkulin untuk Diagnosis
Tuberkulosis pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2010;12(1):42-46.
13. Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru Di Desa
Wori Kecamatan Wori. Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi. 2015;3(2):57-65
14. Rani AA. Tuberkulosis paru. Jakarta: Panduan Pelayanan Medik PB Papdi.
2009
15. Aditama TY. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. 2006
16. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit
Dalam Universitas Indonesia. Balai Penerbit FK-UI. 2006;1
17. Fattiyah I, Zubaedah T, Priyanti ZS, Erlina B, Reviono, Soedarsono, dkk,
penyunting.Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Edisi revisi pertama. Jakarta: PDPI; 2011
18. Danusantoso H. Buku saku ilmu penyakit paru. 2nd Ed. Jakarta: EGC 2012, p
70-80
19. Kik SV, Franken WPJ, Arend SM. Interferon-gamma release assays in
immigrant contacts and effect of remote exposure to Mycobacterium
tuberculosis. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease.
2009;13(7):820–828
40
20. Gonzalez PT, Ramos OS, Gamboa1 AM. Prevalence of Latent and Active
Tuberculosis among Dairy Farm Workers Exposed to Cattle Infected by
Mycobacterium bovis. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2013;7(4):1-8
21. Rukmini, Chatarina UW. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
TB Paru Dewasa di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Airlangga. 2011;320-331
22. Faktor Biologi, Materi Ajar Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi
Dokter Perusahaan p- 165 , Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
Direktorat Jendran Pembinaan, Pengawasan K3, Kemnaker 2019
23. Tam C, Leung C. Occupational tuberculosis: a review of the literature and the
local situation Hong Kong Med J Vol 12 No 6 December 2006
24.
41