OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2019
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya kami tidak sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Yang kita
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Peradilan Agama dengan judul “EKSEKUSI”
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap makalah yang telah kami
buat ini mampu mem berikan manfaat kepada setiap pembacanya dan apabila ada
tutur kata kami yang tidak berkenan mohon dapat dimaafkan. Sekian dan terima
kasih.
Kata Pengantar......................................................................................2
Daftar Isi................................................................................................3
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
3.1 Kesimpulan.............................................................................22
3.2 Daftar Pustaka.........................................................................23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari
keadilan dalam merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai
dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam
menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di Indonesia,
dalam merealisasikan dan melaksakan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara
yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang
nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus
menetapkan dan memutuskan perkara perdata masyarakat yang beragama Islam
dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut
diakhir sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang
kelak hasilnya disebut dengan putusan atau penetapan.
Dari produk itulah yang selanjutnya menjadi pegangan dari para pihak
yang dimenangkan untuk dapat melaksanakan tahap selanjutnya berupa
pelaksanaan putusan atau eksekusi. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang
1
Dr. Wahju Muljono, SH., Kn., Teori dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia) hlm. 137.
2
Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU. RI No. 3 Th. 2006) dan UU. RI No. 50 Th.
2009 Perubahan Kedua atas UU No. 7 th. 1989.
pencari keadilan untuk memulihkan, mengembalikan, ataupun memperoleh hak-
haknya kembali masih menunggu dilaksanakannya putusan hakim tersebut oleh
pihak lawan. Hal ini akan dapat diwujudkan melalui eksekusi putusan hakim oleh
aparat hukum di pengadilan agama. Dari gambaran di atas, sebagai subjek hukum
yang melaksanakan aturan hukum, perlulah kita mengetahui apa yang dimaksud
dengan eksekusi putusan, apa saja jenis-jenis pelaksanaan putusan yang diatur dan
putusan apa saja yang dapat dieksekusi. Disinilah penulis akan berusaha
menyampaikan salah satu hal penting dalam beracara di peradilan agama yang
bertemakan “Pelaksanaan Putusan” atau yang sering dikenal dengan “Eksekusi.
Rumusan Masalah
1. Pengertian Eksekusi
Eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan (ten
uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara
sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah
tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam
perkara.
Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat
Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP,
M.Hum dalam bukunya berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke
II, 2001, halaman 213 memberikan definisi bahwa eksekusi pada
hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang
kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan
tersebut (Amran Suaidi : 171).
Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam
suatu perkara merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata
(Yahya Harahap : 130).
Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo,
yang menyatakan bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan
syarat-syarat yang dipakai oleh alat negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim, apabila pihak yang
kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang
ditentukan (Soepomo :119).
Menurut Subekti yang dimaksud pelaksanaan putusan atau
eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah
lagi, hal itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi
didalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang
kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksudkan dengan
kekuatan umum adalah polisi bahkan perlu militer (angkatan bersenjata).3
1) Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan pasal 208 Rbg
dimana seorang dihukum untuk Membayar sejumlah uang.
3
Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hlm.130
4
Dr. Abdul manan SH,SIP, M.Hum “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama”
5
2) Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg
dimana seorang dihukum untuk Melaksanakan suatu perbuatan.
6
Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan pada
tanggal 10 MEI 2019 dari
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-
hakim-eksekusi%E2%80%9D/
Sementara dalam bukunya Sulaikin Lubis dkk. menambahkan satu
lagi bentuk eksekusi yaitu Eksekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang yang terdapat dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2
R.Bg.[8] Mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang
disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang, isi ketentuan pokoknya antara lain:
Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang
terkena lelang jika ia mau;
Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya
pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan
segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan
kepada yang terkena lelang;
Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut
kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah
penyitaan;
Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak bergerak maka harus
diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari
Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit
di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi
tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak
tersebut beralih kepada pembeli;
Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya
harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada
pembeli.
7
M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3,
(Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6
Pelaksanaan Putusan Serta Merta, Putusan Yang Dapat
Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad)
Akta Perdamaian.
Secara Sukarela
8
Ibid, hal. 7-9
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk
melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat
dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus
ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya
eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu
dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan
yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu
Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di
bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang
bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau
jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang
dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan
syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut
9
Prof. R.Subekti SH., Op.cit, hlm. 127.
Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak
diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif.
Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian
hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat
penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi
yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim
akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.10
10
M. Yahya Harahap, SH..Op.Cit., hlm. 18
11
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm 180
12
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama. (dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam
Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama). Edisi Revisi, (Bandung: CV Mandar Maju, 2018),
hlm 237
b. Ketua pengadilan membuat penetapan dikabulkannya permohonan
eksekusi apabila terdapat cukup alasan dengan menetapkan sidang
peneguran (anmaaning) dengan memanggil para pihak untuk hadir dalam
persidangan yang ditetapkan.
13
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm
182
1) Setiap pelaksanaan lelang harus ditetapkan oleh dan/atau
dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang atau peraturan daerah.
10) Barang terjual pada saat itu juga menjadi hak dan tanggungan
pembeli dan apabila barang itu berupa tanah dan rumah, pembeli
harus segera mengurus/membalik nama hak tersebut atas namanya.
11) Apabila yang dilelang itu adalah tanah/tanah dan rumah yang
sedang ditempati/dikuasai oleh tersita lelang dan tersita lelang
tidak bersedia menyerahkan tanah/tanah dan rumah itu secara
kosong maka terlelang beserta keluarganya akan dikeluarkan
dengan paksa apabila perlu dengan bantuan yang berwajib dari
tanah/tanah dan rumah tersebut.
3. Pelunasan
Pelunasan kewajiban pembayaran lelang oleh Pembeli dilakukan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan lelang. Pelunasan
kewajiban pembayaran lelang tersebut ditujukan ke nomor VA peserta
lelang.
KESIMPULAN