Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERADILAN AGAMA

OLEH :

ZARKATUL HIDAYAH (D1A016323)

ZIA ADDIN RAHMADI (D1A016324)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2019
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya kami tidak sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Yang kita
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Peradilan Agama dengan judul “EKSEKUSI”

Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap makalah yang telah kami
buat ini mampu mem berikan manfaat kepada setiap pembacanya dan apabila ada
tutur kata kami yang tidak berkenan mohon dapat dimaafkan. Sekian dan terima
kasih.

Mataram, 9 Mei 2019


DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................2

Daftar Isi................................................................................................3

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang.........................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................6

BAB II Pembahasan

2.1 Pengertian Eksekusi.................................................................7


2.2 Jenis-jenis Pelaksanaan Eksekusi...............................................8
2.3 Putusan Yang dapat di Eksekusi................................................10
2.4 Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi................................................15

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan.............................................................................22
3.2 Daftar Pustaka.........................................................................23
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari
keadilan dalam merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai
dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam
menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di Indonesia,
dalam merealisasikan dan melaksakan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara
yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang
nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus
menetapkan dan memutuskan perkara perdata masyarakat yang beragama Islam
dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut
diakhir sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang
kelak hasilnya disebut dengan putusan atau penetapan.

Putusan merupakan hasil akhir dari sengketa. Putusan secara pengertian


umum merupakan pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang
diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan hakim di depan pesidangan.1
Adapun produk hakim di Peradilan Agama yang dalam hal ini menjadi
pembahasan kita, dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 2 macam
berdasarkan pasal 60 Undang-undang Nomor 5 tahun 2009, yaitu putusan dan
penetapan. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam persidang atas perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa. Penetapan adalah pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam persidangan
atas perkara permohonan.2

Dari produk itulah yang selanjutnya menjadi pegangan dari para pihak
yang dimenangkan untuk dapat melaksanakan tahap selanjutnya berupa
pelaksanaan putusan atau eksekusi. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang

1
Dr. Wahju Muljono, SH., Kn., Teori dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia) hlm. 137.
2
Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU. RI No. 3 Th. 2006) dan UU. RI No. 50 Th.
2009 Perubahan Kedua atas UU No. 7 th. 1989.
pencari keadilan untuk memulihkan, mengembalikan, ataupun memperoleh hak-
haknya kembali masih menunggu dilaksanakannya putusan hakim tersebut oleh
pihak lawan. Hal ini akan dapat diwujudkan melalui eksekusi putusan hakim oleh
aparat hukum di pengadilan agama. Dari gambaran di atas, sebagai subjek hukum
yang melaksanakan aturan hukum, perlulah kita mengetahui apa yang dimaksud
dengan eksekusi putusan, apa saja jenis-jenis pelaksanaan putusan yang diatur dan
putusan apa saja yang dapat dieksekusi. Disinilah penulis akan berusaha
menyampaikan salah satu hal penting dalam beracara di peradilan agama yang
bertemakan “Pelaksanaan Putusan” atau yang sering dikenal dengan “Eksekusi.
Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan eksekusi?


2. Apa saja jenis-jenis dari eksekusi?
3. Bagaimana cara pelaksanaan eksekusi?
Pembahasan

1. Pengertian Eksekusi
Eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan (ten
uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara
sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah
tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam
perkara.
Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat
Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP,
M.Hum dalam bukunya berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke
II, 2001, halaman 213 memberikan definisi bahwa eksekusi pada
hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang
kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan
tersebut (Amran Suaidi : 171).
Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam
suatu perkara merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata
(Yahya Harahap : 130).
Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo,
yang menyatakan bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan
syarat-syarat yang dipakai oleh alat negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim, apabila pihak yang
kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang
ditentukan (Soepomo :119).
Menurut Subekti yang dimaksud pelaksanaan putusan atau
eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah
lagi, hal itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi
didalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang
kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksudkan dengan
kekuatan umum adalah polisi bahkan perlu militer (angkatan bersenjata).3

2. Jenis-jenis Putusan Pelaksanaan (Eksekusi).


Menurut Sudikno Mertokusumo4, ada 3 macam bentuk pelaksanaan
putusan atau eksekusi, antara lain:5

1) Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan pasal 208 Rbg
dimana seorang dihukum untuk Membayar sejumlah uang.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi


putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka
apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan,
maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi
sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara
melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga
mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan
ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan
tersebut.

Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi


dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang
bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak
milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar
jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-
biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini
disebut sita eksekutorial.

3
Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hlm.130
4
Dr. Abdul manan SH,SIP, M.Hum “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama”
5
2) Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg
dimana seorang dihukum untuk Melaksanakan suatu perbuatan.

Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara


yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim
tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan
tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam
jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah
uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya
berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya
penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Agama yang
bersangkutan.

Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim


yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan
yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Agama
mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan
putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama yang
memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.

3) Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan


suatu benda tetap, yang disebut eksekusi riil yang diatur dalam
pasal 1033 Rv.

Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv.


adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan
atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat
yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut
setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan
menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat
selaku pihak yang dimenangkan.6

6
Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan pada
tanggal 10 MEI 2019 dari
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-
hakim-eksekusi%E2%80%9D/
Sementara dalam bukunya Sulaikin Lubis dkk. menambahkan satu
lagi bentuk eksekusi yaitu Eksekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang yang terdapat dalam pasal 200 ayat 1 HIR, pasal 218 ayat 2
R.Bg.[8] Mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang
disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan
lelang, isi ketentuan pokoknya antara lain:
 Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
 Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang
terkena lelang jika ia mau;
 Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya
pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan
segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan
kepada yang terkena lelang;
 Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut
kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah
penyitaan;
 Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak bergerak maka harus
diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
 Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari
Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit
di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
 Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi
tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak
tersebut beralih kepada pembeli;
 Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya
harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada
pembeli.

3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi


Di dalam dunia peradilan, putusan yang dapat dieksekusi ada beberapa
jenis atau syarat-syarat pelaksanaannya, yaitu:

1) Putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.

Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila


pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi
kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak
Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan
menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini
sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu
perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta
kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk
menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang
tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar
sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu
terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan
oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat
sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara
mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan
untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.

Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan


hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan
pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi
adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya
hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
yang dapat dijalankan.

Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang


telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam
putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung
wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang
berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang
berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti
ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak
tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan
bantuan kekuatan umum.7
Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan
belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan
eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai
tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal
putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak
tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan
secara sukarela.

Pengecualian terhadap jenis putusan ini dimana eksekusi tetap


dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah:

7
M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3,
(Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6
 Pelaksanaan Putusan Serta Merta, Putusan Yang Dapat
Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad)

Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat


dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan
sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada
Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan
dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun
terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding
atau kasasi.

 Pelaksanaan Putusan Provisional

Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi


yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara
mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim
mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan
provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun
perkara pokoknya belum diputus (mendahului).

 Akta Perdamaian.

Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta


perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat
dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak
tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah
kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak
merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.

 Eksekusi terhadap Grosse Akta

Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah


memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal
ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal
perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan
bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan
eksekutorial.8

2) Putusan Tidak dijalankan secara Sukarela


Putusan yang dimaksud adalah dikarenakan tidak dijalankan oleh
pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan
(aan maning) oleh ketua Pengadilan Agama. Ada dua cara
menjalankan isi putusan, yaitu:

 Secara Sukarela

Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan


sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan
dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan
hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak
tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada
penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan
maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya
(eksekusi).

Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela


maka hendaknya pengadilan membuat berita acara
pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua
orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut
dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua
orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan
Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang
dapat dijadikan pegangan oleh hakim. Keuntungan
menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar
dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.

 Menjalankan Putusan dengan jalan Eksekusi

Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar


putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan
paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam
hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.

8
Ibid, hal. 7-9
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk
melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat
dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus
ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya
eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu
dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.

3) Putusan yang dapat dieksekusi bersifat Kondemnator

Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang


amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang
putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur
penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).

Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam


tiga macam, yaitu:
a) Putusan Condemnator, yaitu yang amar putusannya
berbunyi “Menghukum dan seterusnya”;

b) Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya


menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang
sah menurut hukum, dan

c) Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan


suatu keadaan baru.9

4) Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan


Agama

Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan
yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu
Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di
bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang
bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau
jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang
dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan
syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut

9
Prof. R.Subekti SH., Op.cit, hlm. 127.
Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak
diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif.
Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian
hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat
penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi
yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim
akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.10

Yaitu Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut, atau


Pengadilan Agama yang diberi delegasi wewenang oleh Pengadilan
Agama yang memutusnya. Yang berwenang melaksanakan eksekusi
hanyalah Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Tinggi Agama tidak
berwenang melaksanakan eksekusi.

Suatu putusan dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila :

 Para pihak telah menerima putusan


 Tidak ada upaya hukum yang dilakukan para pihak atau salah
satu pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan
 Telah diputus oleh pengadilan tingkat terakhir/ kasasi

Tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap


dapat dilaksanakan. Putusan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang
bersifat comdemnatoir atau putusan yang bersifat menghukum para
pihak.11

4. Tata Cara Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) adalah sebagai berikut :12

a. Permohonan eksekusi mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan


yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan alasan termohon
eksekusi tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.

10
M. Yahya Harahap, SH..Op.Cit., hlm. 18
11
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm 180
12
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama. (dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam
Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama). Edisi Revisi, (Bandung: CV Mandar Maju, 2018),
hlm 237
b. Ketua pengadilan membuat penetapan dikabulkannya permohonan
eksekusi apabila terdapat cukup alasan dengan menetapkan sidang
peneguran (anmaaning) dengan memanggil para pihak untuk hadir dalam
persidangan yang ditetapkan.

c. Para sidang yang ditetapkan termohon ditegur agar melaksanakan putusan


dengan suka rela dalam tenggang waktu 8 ( delapan) hari setelah sidang
peneguran.

d. Apabila dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari termohon tidak


melaksanakan putusan dengan sukarela maka akan dilaksanakan
pelaksanaan putusan secara paksa atau eksekusi.

e. Ketua pengadilan membuat penetapan yang berisi perintah kepada panitera


atau wakilnya dengan disertai tiga orang saksi untuk melaksanakan
eksekusi putusan.

f. Panitera dan wakilnya menetapkan hari pelaksanaan eksekusi dan


termohon eksekusi diminta untuk hadir pada waktu yang telah ditentukan
di tempat pelaksanaan eksekusi juga pejabat terkait untuk menyaksikan
eksekusi.

g. Pelaksanaan eksekusi putusan pengosongan (penyerahan) benda tetap


dengan cara mengeluarkan barang-barang termohon eksekusi yang berada
di dalamnya kemudian dikunci dari luar.

h. Pelaksanaan eksekusi putusan pembayaran sejumlah uang dilakukan


dengan melelang barang-barang bergerak atau tidak bergerak yang disita.
Tata cara pelelangan adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2010 dan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang pada pokoknya sebagai berikut13 :

13
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di Indonesia, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm
182
1) Setiap pelaksanaan lelang harus ditetapkan oleh dan/atau
dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang atau peraturan daerah.

2) Untuk pelaksanaan lelang ditetapkan harga limit dan uang jaminan


yang harus disetorkan oleh peserta lelang.

3) Pengumuman lelang dilakukan melalui harian yang terbit di


kota/kabupaten atau kota/kabupaten terdekat atau ibukota propinsi
atau ibukota Negara dan beredar di wilayah kerja KPKNL atau
wilayah Pejabat Lelang Kelas II tempat barang akan dilelang.

4) Untuk dapat turut serta dalam pelelangan, para peserta lelang


diwajibkan menyetor uang jaminan yang jumlahnya dicantumkan
pejabat lelang, uang mana akan diperhitungkan dengan harga
pembelian jika peserta lelang yang bersangkutan ditunuk sebagai
pembeli.

5) Penjualan lelang dilakukan dengan penawaran lisan dengan harga


naik-naik. Penawar/ pembeli dianggap bersungguh-sungguh telah
mengetahui apa yang telah ditawar/dibeli olehnya. Apabila terdapat
kekurangan atau kerusakan baik yang terlihat atau yang tidak
terlihat atau terdapat cacat lainnya terhadap barang yang telah
dibelinya itu maka ia tidak berhak untuk menolak menarik diri
kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskan semua
hak untuk meminta ganti kerugian berupa apapun juga.

6) Pembeli lelang adalah penawar tertinggi yang mencapai dan atau


melampaui harga limit yang disahkan oleh Pejabat Lelang.

7) Pembayaran dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja


setelah pelaksanaan lelang.
8) Pembeli tidak diperkenankan untuk menguasai barang yang telah
dibelinya itu sebelum uang pembelian dipenuhi/dilunasi
seluruhnya, jadi harga pokok , bea lelang dan uang miskin. Kepada
pembeli lelang diserahkan tanda terima.
9) Dalam setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang.

10) Barang terjual pada saat itu juga menjadi hak dan tanggungan
pembeli dan apabila barang itu berupa tanah dan rumah, pembeli
harus segera mengurus/membalik nama hak tersebut atas namanya.

11) Apabila yang dilelang itu adalah tanah/tanah dan rumah yang
sedang ditempati/dikuasai oleh tersita lelang dan tersita lelang
tidak bersedia menyerahkan tanah/tanah dan rumah itu secara
kosong maka terlelang beserta keluarganya akan dikeluarkan
dengan paksa apabila perlu dengan bantuan yang berwajib dari
tanah/tanah dan rumah tersebut.

12) Termasuk orang-orang yang dikeluarkan dari tanah/tanah dan


rumah adalah para penyewa, pembeli, orang yang mendapat hibah,
yang memperoleh tanah/tanah dan rumah tersebut setelah
tanah/tanah dan rumah tersebut disita dan sita telah didaftarkan
sesuai dengan ketentuan undang-undang.

13) Mereka yang menyewa, menerima sebagai jaminan, membeli atau


memperoleh tanah/tanah dan rumah tersebut sebelum dilakukan
penyitaan, baik sita jaminan atau sita eksekutorial tidak dapat
dikeluarkan secara paksa dari tanah/tanah dan rumah. Pembeli
lelang harus menempuh jalan damai dengan mereka atau
mengajukan gugatan ke pengadilan dengan prosedur biasa.

14) Hipotik atau hak tanggungan yang didaftarkan di kantor pertanahan


setelah tanah disita maka tidak mempunyai kekuatan hukum
.
15) Suatu pelelangan yang telah dilakukan sesuai dengan peraturan
yang berlaku tidak dapat dibatalkan.

16) Dalam hal terjadi kecurangan atau pelelangan dilaksanakan dengan


ceroboh dan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,
pelelangan tersebut dapat dibatalkan melalui suatu gugatan yang
diajukan kepada pengadilan negeri.
Lelang selanjutnya adalah lelang melalui internet. Tata cara lelang internet
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan
Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melalui
Internet yang pada pokonya adalah sebagai berikut:

1. Tata Cara Umum


Lelang dilaksanakan dengan penawaran secara tertulis tanpa kehadiran
peserta lelang melalui aplikasi lelang internet. Aplikasi lelang internet
dibuka denagn browser pada alamat domain
https://www.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/, dengan tata cara sebagai
berikut:14

a. Peserta lelang harus sign-in (bagi yang sudah pernah mendaftar)


atau sign-up (bagi yang belum pernah mendaftar) pada alamat
domain di atas untuk mendaftarkan username dan password
masing-masing. Ada beberapa isian agar harus dilengkapi dalam
proses registrasi ini. Pastikan agar alamat email yang didaftarkan
valid.
b. Peserta lelang akan memperoleh kode aktivasi yang dikirim ke
alamat email masing-masing. Kode aktivasi digunakan untuk
mengatifkan username.
c. Setelah aktif, peserta lelang memiliki objek lelang pada katalog
yang tersedia.
d. Setelah memastikan objek lelang yang dipilihnya, peserta lelang
diwajibkan untuk:
 Mendaftar nomor identitas/KTP dan NPWP serta dengan
mengunggahsoftcopy KTP dan NPWP.
 Mendaftarkan nomor rekening bank atas nama peserta
lelang, guna kepentingan pengembalian uang jaminan bagi
peserta lelang tidak ditunjuk sebagai pemenang lelang.
e. Peserta lelang akan memperoleh nomor Virtual Account (VA)
yang digunakan sebagai tujuan penyetoran uang jaminan lelang.
Nomor VA dapat dilihat dalam menu “ Status Lelang” (Sesuai
username masing-masing pada aplikasi).
f. uang jaminan diterima di rekening penampungan KPKNL sesuai
ketentuan, dan peserta lelang dinyatakan bersih dari daftar pihak
yang dikenakan sanksi tidak diperbolehkan mengikuti lelang sesuai
14
Ibid, hal. 240
ketentuan, maka peserta lelang akan memperoleh kode token yang
digunakan untuk menawar objek lelang. Kode token dikirimkan ke
alamat email masing-masing peserta lelang.
g. Penawaran diajukan dengan cara menekan tombol “Tawar (Bid)”
dalam menu “ Status Lelang”. Sebelum mengajukan penawaran,
peserta lelang harus membaca dan menyetujui Syarat dan
Ketentuan Lelang dengan cara mencentang frasa “Saya
berkehendak untuk mengikuti lelang serta telah membaca dan
menyetujui Syarat dan Ketentuan Lelang ini.”
h. Penawaran dapat diajukan berkali-kali sampai batas akhir
penawaran lelang ditutup (closing time). Dalam mengajukan
penawaran berkali-kali, penawaran berikutnya harus lebih tinggi
daripada penawaran sebelumnya.
i. Setelah batas waktu penawaran lelang berakhir, seluruh penawaran
lelang direkapitulasi oleh aplikasi sesuai nominal/ angka
penawaran dan waktu penerimaan penawaran lelang. Rekapitulasi
seluruh penawaran lelang dapat dilihat pada aplikasi (sesuai
username masing-masing pada aplikasi). Rekapitulasi seluruh
penawaran lelang juga dikirimkan ke alamat email masing-masing
peserta lelang.
j. Seluruh peserta lelang (baik pemenang lelang maupun peserta
lelang) juga akan mendapatkan informasi melalui alamat email
masing-masing mengenai hak dan kewajibannya.
k. Setiap proses yang dilakukan peserta lelang dan memerlukan
tindak lanjut/respon dari petugas (Pejabat Lelang maupun
Bendahara Penerimaan) KPKNL dari aplikasi, dilakukan pada hari
dan jam kerja KPKNL.

2. Uang Jaminan Penawaran Lelang


a. Peserta lelang diwajibkan menyetor uang jaminan lelang dengan
ketentuan sebagai berikut:
 Jumlah/nominal yang disetorkan harus sama dengan uang
jaminan yang disyaratkan penjual dalam pengumuman
lelang ini, disetorkan sekaligus (bukan dicicil).
 Setoran uang jaminan lelang HARUS sudah efektif
diterima oleh KPKNL selambat-lambatnya 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan lelang.
b. Penyetoran uang jaminan lelang ditujukan ke nomor VA masing-
masing peserta lelang. Nomor VA akan dibagikan secara otomatis
dari aplikasi kepada masing-masing peserta lelang setelah
mengikuti proses pendaftaran.
c. Penyetoran uang jaminan lelang dapat dilakukan melalui berbagai
jalur, yaitu: ATM (sepanjang limit transaksi mencukupi), sms-
banking. i-banking, dan teller bank. Peserta lelang harus
memasukkan nomor VA masing-masing dalam menyetorkan uang
jaminan melalui jalur apapun.
d. Setiap penyetoran dan/atau pengembalian uang jaminan dari dan ke
peserta lelang dari bank yang sama dengan bank mitra KPKNL
penyelenggara lelang tidak dikenai biaya apapun. Sedangkan setiap
penyetoran dan/atau pengembalian uang jaminan dari bank yang
berbeda dengan bank mitra KPKNL penyelenggara lelang, dikenai
biaya transaksi perbankan (jumlahnya bervariasi, sesuai ketentuan
bank masing-masing) dan ditanggung oleh peserta lelang.

3. Pelunasan
Pelunasan kewajiban pembayaran lelang oleh Pembeli dilakukan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan lelang. Pelunasan
kewajiban pembayaran lelang tersebut ditujukan ke nomor VA peserta
lelang.
KESIMPULAN

1. Eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan (ten uitvoer


legging van vonnissen), yakni melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara
sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah
tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah
dalam perkara.
2. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan.
c. Eksekusi Riil.
3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi
a. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
b. Putusan tidak dijalankan dengan sukarela
c. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator
d. Eksekusi atas perintah dan dibawah ketua pimpinan pengadilan
Agama
4. Tata Cara Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) adalah sebagai berikut:
a. Permohonan eksekusi mengajukan permohonan eksekusi ke
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan
alasan termohon eksekusi tidak mau melaksanakan putusan
dengan sukarela.
b. Ketua pengadilan membuat penetapan dikabulkannya
permohonan eksekusi apabila terdapat cukup alasan dengan
menetapkan sidang peneguran (anmaaning) dengan memanggil
para pihak untuk hadir dalam persidangan yang ditetapkan.
c. Para sidang yang ditetapkan termohon ditegur agar
melaksanakan putusan dengan suka rela dalam tenggang waktu
8 ( delapan) hari setelah sidang peneguran.
d. Apabila dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari termohon tidak
melaksanakan putusan dengan sukarela maka akan
dilaksanakan pelaksanaan putusan secara paksa atau eksekusi
dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, Jakarta: Prenada Media Group.
2. Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
3. Amandemen Undang-undang Peradilan Agama (UU RI No. 3 Th. 2006),
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
4. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.
5. Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata, Jakarta: PT. Gramedia 1991.
6. Rudini Silaban, Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi), artikel diposkan
pada tanggal 10 Mei 2019 dari
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-
putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/
7. Mertokusumo Sudikno. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi 8.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
8. Wahyudi Abdullah Tri. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama (dilengkapi
Contoh dan Surat-Surat Dalam Praktik Hukum Acara Di Peradilan
Agama). Edisi Revisi. Bandung: CV Mandar Maju

Anda mungkin juga menyukai