PENDAHULUAN
Lahan merupakan tempat dihasilkannya pangan dan atau serat dari tanaman maupun
hewan yang dibudidayakan. Lahan dapat dikatakan sebagai suatu sistem karena lahan
merupakan sistem ekologi buatan yang mencakup tanaman, hewan ternak, dan manusia yang
menggerakkannya sehingga melibatkan pula lingkungan yang lebih luas dalam konteks sosial
dan ekonomi. Sangat penting untuk memandang lahan sebagai suatu sistem ketika melakukan
penilaian terhadap keberlanjutan dari kegiatan pertanian. Dengan demikian, pemahaman
terhadap tindakan yang tidak mencerminkan keberlanjutan akan lebih mudah diterima dan
pengembangan solusi jangka panjang terhadap suatu masalah dapat dilakukan.
Sistem pertanian berkelanjutan memiliki lima dimensi yang harus terpenuhi, yaitu
nuansa ekologis, kelayakan ekonomis, kepantasan budaya, kesadaran sosial, dan pendekatan
holistik yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan, meningkatkan mutu sumber
daya manusia, meningkatkan kualitas hidup, dan menjaga kelestarian sumber daya melalui
strategi kerja keras proaktif, pengalaman nyata, parsitipatif, dan dinamis. Slogan popuer untuk
pertanian berkelanjutan adalah better environment, better farming, and better living.
HEIA (High External Input Agriculture) atau Pertanian Tinggi Input Luar merupakan
sistem pertanian yang sangat bergantung pada input buatan seperti pupuk kimia, pestisida, dan
bahan bakar minyak yang berasal dari luar sistem yang umumnya harus dibeli. Penambahan
input dari luar secara cepat mampu meningkatkan produktivitas dari lahan pertanian. Akan
tetapi, efektifitasnya tidak bertahan lama karena dalam jangka waktu tertentu, lahan akan
mengalami stagnansi dan bahkan kemunduran. Hal inilah yang terjadi di banyak negara yang
menerapkan intensifikasi pertanian dengan cara HEIA, termasuk Indonesia yang menerapkan
sistem HEIA selama revolusi hijau pada masa pemerintaha Orde Baru.
Makalah ini akan membahas mengenai HEIA dan membandingkannya dengan Sistem
Pertanian Berkelanjutan yang ideal sehingga dapat diperoleh gambaran apakah HEIA dapat
dikatakan sebagai Sistem Berkelanjutan atau tidak dan apakah keduanya dapat diintegrasikan
atau tidak.
BAB II
HIGH EXTERNAL INPUT AGRICULTURE
Tabel di atas menunjukkan sumberdaya yang ada di lahan dan sumberdaya yang
didatangkan dari luar lahan. Sistem Pertanian HEIA dicirikan dengan lebih banyaknya
sumberdaya yang didatangkan dari luar lahan sehingga daftar yang tercantum dalam kolom
external sekaligus menunjukkan ciri dari HEIA.
Menurut Reijntjnes dkk. (2003), sistem pertanian yang telah dikembangkan beberapa
dekade lalu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan standar hidup atau
kesejahteraan petani. Akan tetapi pemanfaatan input luar dalam jumlah besar untuk ekosistem
pertanian atau HEIA telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan menyebabkan sumber daya
lahan yang terdampak sulit untuk dipulihkan.
Intensifikasi Pertanian yang dilakukan pada masa Orde Baru selama berlangsungnya
revolusi hijau merupakan salah satu contoh bagaimana HEIA diterapkan. Selama revolusi hijau,
input dari luar ditambahkan secara besar-besaran ke dalam sistem pertanian. Lima hal yang
dilakukan selama intensifikasi pertanian di masa Orde Baru adalah penggunaan benih unggul,
pelaksanaan cara budidaya yang lebih baik, pengairan yang intensif, pemupukan dengan pupuk
kimia, serta pengendalian OPT berbasis bahan kimia.
Benih merupakan input yang paling penting dalam pertanian. Selama revolusi hijau,
benih yang digunakan dibatasi hanya pada kultivar unggul yang berdaya hasil tinggi dan
responsif terhadap pemupukan. Hal ini memiliki dampak positif pada kenaikan produksi
hingga skala nasional, bahkan sampai kepada prestasi swasembada. Akan tetapi, kultivar
unggul yang berdaya hasil tinggi yang digunakan saat itu merupakan kultivar yang responsif
terhadap pemupukan. Secara tidak langsung, penggunaan kultivar unggul tersebut akan
memaksa petani untuk menggunakan pupuk dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga input
berupa pupuk yang harus ditambahkan. Selain itu, erosi genetik juga terjadi karena plasma
nutfah yang ada secara tidak langsung terhapus akibat penggunaan yang dipaksakan dan secara
terus menerus kultivar unggul tersebut. Penggunaan benih hibrida juga akan mengurangi
kemandirian petani karena petani benih hibrida hanya dapat digunakan untuk satu generasi.
Pelaksanaan teknik budidaya yang baik dilakukan dengan pengolahan tanah serta
manajemen tanaman. Untuk mempermudah pengolahan tanah umumnya dilakukan mekanisasi.
Dalam hal ini, input berupa bahan bakar minyak diperlukan untuk menggerakkan mesin yang
digunakan. Penggunaan secara berlebihan bahan bakar minyak akan mempercepat penurunan
ketersediaan energi fosil sehingga akan menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap
energi fosil. Selain itu, input berupa mesin pengolah tanah seperti traktor harus disediakan oleh
pemerintah karena petani tidak mampu menyediakannya sendiri.
Penggunaan bahan kimia sintesis untuk tujuan pemupukan tidak lagi dapat dipungkiri
dampak negatifnya terhadap lingkungan. Respon cepat tanaman terhadap pemberian pupuk
kimiawi memang menjadi salah satu kelebihan dari pupuk ini. Akan tetapi, pupuk kimia akan
bersifat merusak bila dipergunakan dalam jangka waktu yang lama. Pupuk kimia yang tidak
terpakai juga akan terbawa oleh air sehingga menyebabkan pencemaran sungai atau lingkungan
air lain.
Bahan kimia lain yang digunakan adalah pestisida. Penggunaan pestisida kimiawi juga
memiliki banyak dampak buruk bagi sistem pertanian. Pemusnahan massal serangga melalui
penggunaan pestisida berdampak pada hilangnya musuh alami serta organisme lain yang
bermanfaat. Selain itu, hama sekunder yang sebelumnya tidak terlalu berbahaya akan
mengalami peledakan populasi sehingga menjadi ancaman yang besar. Hal tersebut terjadi
pada hama wereng yang mulai meresahkan sejak dilaksanakannya revolusi industri.
Penggunaan secara terus menerus pestisida juga akan menyebabkan resistensi pada hama
terhadap pestisida sehingga penggunaan pestisida tidak lagi efektif. Belum lagi, dampak
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat pestisida akan meluas hingga ke udara dan
perairan sehingga akan berdampak pula pada kesehatan manusia. Pada tahun 1997 hingga 1987,
pertanaman padi di Indonesia terancam oleh meledaknya wereng coklat. Dampaknya, pada
tahun 1986 Peraturan Presiden dikeluarkan untuk melarang penggunaan 57 merek pesisida dan
menegakkan pengendalian hama secara terpadu.
Penggunaan input luar secara besar-besaran merupakan ciri utama dari HEIA. Di
samping hal tersebut, sistem pertanian HEIA biasanya hanya berorientasi utama pada pasar dan
berfokus pada produk unggulan. Maka dalam pelaksanaannya, pertanian HEIA selalu
menggunakan sistem monokultur dimana hanya ada satu macam tanaman yang diperlakukan
secara intensif karena target hasil yang ingin dicapai hanya pada jenis tanaman tersebut.
Bilapun ada tanaman lain yang dibudidayakan bersamaan dengan komoditas utama, biasanya
hanya sedikit proporsinya dibandingkan tanaman utama dan tidak terlalu intensif dalam
pelaksanaan kegiatan budidayanya.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh HEIA tidak hanya berupa dampak lingkungan yang
diakibatkan oleh penggunaan input kimiawi yang berlebihan saja. Dampak HEIA juga dapat
dilihat pada kebiasaan petani yang semakin tergantung oleh pupuk dan pestisida. Tidak hanya
itu, mereka juga terbiasa untuk mengaplikasikan pupuk dan pestisida dengan cara yang salah
sehingga membahayakan bagi kesehatan lingkungan dan kesehatan manusia. Akibat dari hal
tersebut juga berdampak pada kualitas hasil tanaman yang dibudidayakan. Terdapatnya residu
bahan kimia dalam produk yang dihasilkan akan menyebabkan penurunan kualitas dan tidak
jarang penolakan pasar terhadap produk tersebut. Bila produk beresidu bahan kimia tersebut
dikonsumsi, maka kembali lagi akan berakibat buruk pada kesehatan manusia.
Departemen Pertanian (2004) mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini petani mulai
mengeluh bahwa pemberian pupuk dengan jenis dan dosis tertentu sudah tidak lagi
berpengaruh nyata terhadap produksi karena mikroorganisme tanah sudah menurun jumlahnya
sehingga kencenderungannya dosis semakin bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh,
pada tahun 1970-an petani hanya membutuhkan 150 kg urea per ha, namun sekarang
penggunaan urea dapat mencapai 500 kg per ha. Petani pun merasakan adanya penurunan
kualitas tanah terutama pada struktur tanah dan kejenuhan tanah pada unsur hara tertentu. Pada
saat musim kemarau tanah menjadi pecah-pecah dan pada musim hujan tanah menjadi liat
sehingga pertumbuhan akar tanaman akan terhambat. Hal ini merupakan salah satu dampak
yang sudah nyata terlihat dari HEIA.
Satari (1999) menganalisis bahwa sumber daya lahan dan air serta sumberdaya hayati
Indonesia yang merupakan basis utama bagi pembangunan pertanian kini dalam keadaan
deteriorasi mutu. Penggunaan pupuk dan pestisifa sintetis yang tidak terkendali dalam sistem
pertanian yang eksploitatif (intensif) dan pencemaran oleh limbah industri atau domestik,
merupakan beberapa penyebab utamanya. Singkatnya, secara ekologi, tanah dan perairan
Indonesia telah kelebihan beban sehingga nyatalah bahwa pendektan pembangunan yang
konvesional selama revolusi hijau menjadi bumerang (self destructive) dan dapat dikatakan
menyengsarakan. Sejalan dengan hal tersebut, Soewardi (1987) menyatakan bahwa dari tahun
ke tahun pasca diberlakukannya program revolusi hijau lahan-lahan pertanian di Indonesia
terus menunjukkan gejala pelandaian (levelling off). Pada kondisi tersebut telah mengakibatkan
semakin kentaranya ketidakseimbangan antara supply dan demand pangan. Padahal, kebutuhan
pangan ke depan cenderung dan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk
dan kemampuan lahan yang ada menjadi faktor penting karena luasan lahan akan menjadi
faktor pembatas dalam budidaya pertanian.
Dalam jangka waktu yang pendek HEIA memang mampu meningkatkan produktivitas
lahan. Akan tetapi pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang dalam HEIA
bisa menimbulkan dampak besar terhadap situasi ekologis, ekonomi, bahkan sosial dan politik.
Revolusi hijau yang merupakan manifestasi dari HEIA telah terbukti mampu meningkatkan
hasil pertanaman padi hingga mencapai swasembada beras, akan tetapi dampak lingkungan
yang disebabkan hingga kini belum semuanya dapat teratasi. Hal ini menunjukkan bahwa
HEIA bukanlah sistem yang mencerminkan keberlanjutan.
HEIA (High Extensive Input Agriculture) merupakan konsep dari sistem pertanian yang
menggunakan banyak input darir luar sistem untuk meningkatkan kemampuan lahan. HEIA
diketahui mampu meningkatkan produksi beras di masa Orde Baru dalam jangka waktu singkat
sejak mulai diterapkan, akan tetapi memiliki dampak negatif yang menyebabkan menurunnya
kualitas lahan serta kualitas lingkungan yang dapat dirasakan sekarang sehingga mempersulit
intensifikasi pertanian di masa mendatang. Oleh karena dampaknya yang demikian, HEIA
bukanlah sebuah pilihan yang baik sebagai sistem pertanian karena belum mempertimbangkan
aspek keberlanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Reijntjes, H. Bertus dan W. Ann. 2003. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta.