Anda di halaman 1dari 25

NEGARA DARURAT MORAL

Khutbah Pertama:

Ibadallah,
Puncak keberhasilan seorang muslim dalam beragama tercemin
dalam budi pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang
mulia. Prestasi sebuah negara juga akan meningkat bersama
meningkatnya moralitas bangsanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah berprestasi sempurna memberi keteladanan kepada
umatnya dengan akhlaknya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia
dan budi pekertinya yang agung dalam beragama. Allah Azza wa Jalla
memberikan pujian kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (Al-Qalam/68:4).

Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam, maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam
beribadah kepada Allah Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan
bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat
manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti
tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia
tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada
titik yang paling nadir. Akibatnya budaya kekerasan, kedzaliman,
kecurangan, penindasan dan berbagai prilaku buruk lainnya melanda
masyarakat di dunia ini. Tegur sapa, sopan santun, simpati dan empati
sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan kesempitan, kesusahaan
dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian
orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang
dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:
Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung
pada akhlaknya, Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah
eksistensinya.

Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar


tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan
modal utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan.
Lebih dari itu akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik
yang melahirkan suasana batin yang harmonis, hubungan yang
humanis, interaksi yang toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki
peran penting dalam mewujudkan revolusi mental yang damai dan
konstruktif serta sebagai mercusuar bangsa untuk mendapat
pengakuan dan pujian tulus dari komunitas internasional sehingga
hikmah utama diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan
(kemuliaan) akhlak.” (HR. al-Baihaqi).

Perhatikanlah wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada


Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:

”Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada


sikap wara` dibanding menjaga diri, dan tiada kedudukan paling
tinggi dibanding akhlak mulia.” (HR. Ahmad).

Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga


tetap dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam
Ibnu Khaldun rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah
bahwa sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang
bergengsi dan faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah
kita mampu mengenali akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para
Nabi, dan bentuk pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan
tujuan agar kita bisa mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah
dari mereka untuk kepentingan dunia dan agama.

Ibadallah,
Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat
moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas
sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak
pacaran dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua
sedih anaknya tidak mempunyai pacar. Padahal pacaran sering
menimbulkan kejahatan seperti mencuri, memperkosa, membunuh,
aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan tidak dianggap dosa besar,
bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba tidak lagi dianggap
barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega membunuh
orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan
kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan
sampah yang tidak berharga dan tidak bernilai di mata bangsa lain,
sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits:

ُُ‫عى أَنُ يُو ِشك‬ َ ‫عى َك َما اْل ُ َم ُُم‬


َ ‫علَي ُكمُ ت َ َدا‬ َ ‫ل قَصعَ ِت َها ِإلَى اْل َ َكلَ ُةُ ت َ َدا‬ َُ ‫ن قِلَّةُ ِمنُ أو قَائِلُ فَقَا‬ُُ ‫يَو َمئِذ؟ نَح‬
َُ ‫غثَاءُ َولَ ِكنَّ ُكمُ َكثِيرُ َيو َمئِذُ أَنتُمُ َبلُ قَا‬
‫ل‬ ُِ َ ‫ل َكغُث‬
ُ ‫اء‬ ُِ ‫سي‬ َّ ‫ن ال‬ َ َ‫ّللاُ َولَيَنز‬
َُّ ‫ع‬ ُٰ ُ‫ُور ِمن‬ ُِ ‫صد‬ ُ ُ‫ِمن ُكمُ ال َم َهابَ ُةَ َعد ُِو ُكم‬
ُٰ َّ‫ل يَا قالوا ال َوهنَُ قُلُوبِ ُكمُ فِي َولَيَق ِذفَن‬
ُ‫اّلل‬ َُ ‫سو‬ ُ ‫ّللا َر‬ُِٰ ‫ل ال َوه ُن؟ َو َما‬ َُ ‫َو َك َرا ِهيَ ُةُ الدنيَا ُحبُ قَا‬
ُِ ‫ال َمو‬
‫ت‬

Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti


orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-
kan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-
perti buih banjir, dan Allah akan menarik dari hati musuh kalian
perasaan takut kepada kalian, lalu Allah akan menimpakan kepada
kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah apakah
wahn itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia
dan benci mati.“ (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan


oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong,
menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan
perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik
elektronik maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini
kecuali sudah penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial,
berpolitik dan berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong,
menipu dan curang sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan
Allah dengan kufur nikmat bahkan kufur syariat. Padahal Allah Azza
wa Jalla sudah mengingatkan dalam firman-Nya:

ُ‫ب‬َ ‫ض َر‬ َ ‫ّللاُ َو‬َُّ ‫ل‬ ُ ً َ ‫غدًا ِرزقُ َها يَأ ِتي َها ُمط َمئِنَّ ُةً ِآمنَ ُةً َكانَتُ قَريَ ُةً َمث‬ ُِ ‫ّللا بِأَنعُ ُِم فَ َكفَ َرتُ َم َكانُ ُك‬
َ ‫ل ِمنُ َر‬ َُِّ
‫ّللاُ فَأ َ َذاقَ َها‬
َُّ ‫اس‬َُ َ‫وعِ ِلب‬ ُ ‫ف ال ُج‬ ُِ ‫يَصنَعُونَُ َكانُوا ِب َما َوالخَو‬

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah


negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang
kepadanya melimpah ruah dari segenap tem-pat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An-Nahl/16:112)

Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada


lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu
bejat, untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang
yang lemah iman. Allah Azza wa Jalla berfirman:

َُّ ‫وب أَنُ ي ُِري ُُد َو‬


ُ‫ّللا‬ َ ‫ت يَتَّبِعُونَُ الَّذِينَُ َوي ُِري ُُد‬
َُ ُ ‫علَي ُكمُ َيت‬ َّ ‫ل ت َ ِميلُوا أَنُ ال‬
ُِ ‫ش َه َوا‬ ُ ً ‫َع ِظي ًما َمي‬

“Dan Allah hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang


mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-
jauhnya (dari kebenarannya).” (An-Nisa’/4:27).

Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya


untuk bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum
laki-laki. Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk
mendampingi dokter laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar
di sekolah yang ikhtilath, pemain sinetron atau film, penyanyi, penari,
penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan yang
mengundang fitnah. Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah
bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

َ َ ‫علَى أ‬
‫ضرُ فِتنَ ُةً َبعدِيُ ت َ َركتُُ َما‬ َ ‫ل‬
ُِ ‫الر َجا‬
ِ َُ‫اء ِمن‬
ُِ ‫س‬
َ ِ‫الن‬

“Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang


lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).

Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu
laki-laki. Mereka dipajang di sampul-sampul majalah dengan tampilan
sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang
melimpah, fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang
menggiurkan, sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung
tergoda dan dengan sekejap terbawa arus fitnah yang menyesatkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫َض َرةُ ُحل َوةُ الدنيَا إِ َّن‬ ِ ‫نخ‬ َُٰ ُ‫َاظرُ فِي َها ُمستَخ ِلفُ ُكم‬
َُّ ‫ّللا َو ِإ‬ َُ ‫سا َُء َواتَّقُوا الدنيَا فَاتَّقُوا تَع َملُونَُ َكي‬
ِ ‫ف فَن‬ َ ِ‫الن‬
‫ن‬ َُ ‫ل بَ ِنيُ فِتنَ ُِة أ َ َّو‬
َُّ ِ ‫ل فَإ‬ َُ ‫اء فِي َكانَتُ إِس َرائِي‬ ُِ ‫س‬
َ ِ‫الن‬

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu) dan


sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya,
maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap
dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali
yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.” (HR. Muslim dan
al-Baihaqi).

Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan


memilih menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat
ke kantor dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat
tersanjung saat ada orang yang memujinya sebagai eksekutif muda,
wanita modis, artis berbakat, foto model beken, miss world, ratu
catwalk, atau selebriti. Pada akhirnya, suami istri terpaksa
menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para
pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah dan kejahatan
di dalam rumah tangga.

Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj,


pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap
syariat Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman
Allah:

َُّ ‫ل بُيُو ِت ُك‬


َُ‫ن فِي َوقَرن‬ َُ ‫اْلُو َلىُ ال َجا ِه ِليَّ ُِة تَبَر‬
َُ ‫ج تَبَ َّرجنَُ َو‬

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias


dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al-
Ahzab/33:33)

Setiap hamba Allah terutama Muslimah seharusnya memiliki


semangat untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan
kesucian serta tidak ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan
murka Allah dan Rasul-Nya.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan


stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua
terjadi karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk,
serta laju sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri
kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak
mulia, Allah Azza wa Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari
langit dan bumi sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

َُّ َ ‫ل أ‬
‫ن َولَ ُو‬ َُ ‫علَي ِهمُ لَفَتَحنَا َواتَّقَوا آ َمنُوا القُ َرىُ أَه‬
َ ُ‫اء ِمنَُ بَ َر َكات‬
ُِ ‫س َم‬ ُ ِ ‫َواْلَر‬
َّ ‫ض ال‬
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi.” (Al-A’raf/7:96)

Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan


puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan
seorang hamba dengan Allah Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh
keimanan dan ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allah. Allah
Azza wa Jalla berfirman:

ُ‫ن أ َ َل‬
َُّ ‫ّللا أَو ِليَا َُء ِإ‬ َُ ُ‫علَي ِهمُ خَوف‬
َُِّ ‫ل‬ َُ ‫﴿ َيحزَ نُونَُ ُهمُ َو‬٦٢﴾ َُ‫َيتَّقُونَُ َو َكانُوا آ َمنُوا الَّذِين‬
َ ‫ل‬

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran


terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-
orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa.” (Yunus/10: 62-63).

Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan


akhlak, menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan
hawa nafsu, dan mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat
sehingga terjadi dekadensi moral. Hukum Allah tidak lagi dijadikan
pedoman hidup. Akibatnya, pola hidupnya liar dan bebas tanpa
mengenal batas, interaksi sosial dan politik tidak mengenal etika dan
berperilaku tidak mengenal rasa malu bahkan lebih parah dari
binatang sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

‫يرا ِل َج َهنَّ َُم َذ َرأنَا َولَقَ ُد‬


ً ِ‫ن ِمنَُ َكث‬
ُِ ‫س ال ِج‬ ِ ‫ل قُلُوبُ لَ ُهمُ ۖ َو‬
ُ ِ ‫اْلن‬ َُ َُ‫ل أَعيُنُ َولَ ُهمُ ِب َها يَف َق ُهون‬
َُ َُ‫ص ُرون‬
ِ ‫ِب َها ُيُب‬
ُ‫ل آ َذانُ َولَ ُهم‬َُ َُ‫ك ۖ ِب َها يَس َمعُون‬ َُ ِ‫ام أُولَئ‬ َ َ‫ك ۖ أ‬
ُِ ‫ضلُ ُهمُ َبلُ َكاْلَن َع‬ َُ ِ‫الغَافِلُونَُ ُه ُُم أُولَئ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf/7:179)

Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram


sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat
dan jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar
memilukan. Kejahatan merajalela, kenakalan remaja meruyak,
pembunuhan mudah terjadi, pemerkosaan dianggap sepele,
pencurian gampang dilakukan, penganiayaan pemandangan lumrah,
korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba dianggap bagian
kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya sering kita
saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.

Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?!

Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung


jawab. Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan
aturan syariat. Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara maka suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan
bisa diredam, hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas
negara akan kokoh sebagaimana janji Allah Azza wa Jalla :
ُ‫ع َد‬ َُّ َُ‫ع ِملُوا ِمن ُكمُ آ َمنُوا الَّذِين‬
َ ‫ّللاُ َو‬ َ ‫ت َو‬ ُِ ‫صا ِل َحا‬َّ ‫ض فِي لَ َيستَخ ِلفَنَّ ُهمُ ال‬ ُ ِ ‫ف َك َما اْلَر‬َُ َ‫ِمنُ الَّذِينَُ استَخل‬
َُّ ‫ضىُ الَّذِي دِي َن ُه ُُم لَ ُهمُ َولَيُ َم ِكن‬
ُ‫َن قَب ِل ِهم‬ َ َ ‫ل َيعبُدُو َننِي ۖ أَمنًا خَوفِ ِهمُ َبع ُِد ِمنُ َولَيُ َب ِدلَنَّ ُهمُ لَ ُهمُ ارت‬ َُ
َُ‫ك بَع َُد َكفَ َُر َو َمنُ ۖ شَيئًا ِبي يُش ِر ُكون‬ َُ ِ‫الفَا ِسقُونَُ ُه ُُم فَأُولَئ‬
َُ ‫ك َذ ِل‬

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara


kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang
fasik.” (An-Nur/24:55).

Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut


akan hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar
bersiap-siap untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan
jaminan taufiq dan sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya
dan pokoknya adalah mentaati Allah dan Rasul-Nya.

Kaum muslimin,

Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali


umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya
harus kembali kepada Alquran dan as-Sunnah menurut pemahaman
Salaful Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah
secara benar dan ikhlas hanya karena Allah Azza wa Jalla. Kehidupan
yang adil, damai, aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang
mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

ُِ ُ‫سو ُُء َن َماءُ ال ُخل‬


ُ‫ق ُحس ُن‬ ُ ‫ق َو‬ ُ ُ‫ص َدقَ ُةُ العُ ُم ُِر فِى ِزيَا َدةُ َوالبِر‬
ُِ ُ‫شؤمُ ال ُخل‬ َّ ‫سو ُِء ِميت َ ُةَ تَمنَ ُُع َوال‬
َّ ‫ال‬

“Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah


kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah
menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.” (HR. Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan


menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang
diperintahkan Allah Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk
perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allah
Azza wa Jalla berfirman:

ُ‫ي َما ات ُل‬ ِ ُ‫ك أ‬


َُ ‫وح‬ َُ ‫ب ِمنَُ ِإلَي‬ُِ ‫ص َلُة َ َوأَقِ ُِم ال ِكتَا‬ َُّ ‫ص َلُة َ ِإ‬
َّ ‫ن ۖ ال‬ َّ ‫ن تَن َهىُ ال‬
ُِ ‫ع‬ ُِ ‫َولَذِك ُُر ۖ َوال ُمن َك ُِر الفَحش‬
َ ‫َاء‬
َُّ ‫ّللاُ ۖ أَكبَ ُُر‬
ِ‫ّللا‬ َُّ ‫تَصنَعُونَُ َما َيعلَ ُُم َو‬

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-


Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Ankabut/29:45)

Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah


shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan
munkar, yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak
mulia. Jika kita telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai
dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian
dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat
diharapkan membentuk sikap selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan
melatih seseorang untuk tepat waktu.

Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan
kesempurnaan iman seseorang sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫سنُ ُهمُ ِإي َمانًا الـ ُمؤ ِم ِنينَُ أَك َم ُل‬


َ ‫ُخلُقًا أَح‬

“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang


paling baik akhlaknya.” (HR. al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia


pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin
sebagian orang menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain
atau tetangga sebagai hal biasa yang tidak berpengaruh pada
eksistensi keimanan. Padahal, faktanya akhlak buruk sangat besar
pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan manusia paling jelek di sisi
Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah manusia yang berakhlak
jelek. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫َر ِإ َّن‬
َُّ ‫اس ش‬ َُِّ ً‫اس ت َ َر َك ُهُ َمنُ ال ِقيَا َم ُِة يَو َُم َمن ِزلَ ُة‬
ُ ِ َّ‫ّللا ِعن َُد الن‬ ُُ َّ‫ش َِرُِه اتِقَا َُء الن‬
“Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allah pada hari kiamat
adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari
kejelekannya.” (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban).

Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan


mulia di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat,
sebagaimana sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫ى أ َ َح ِب ُكمُ ِمنُ إِ َّن‬


َُّ َ‫سا ِم ِنى َوأَق َر ِب ُكمُ إُِل‬ ً ‫ن أَ َحا ِسنَ ُكمُ ال ِقيَا َم ُِة يَو َُم َمج ِل‬
َُّ ِ‫ض ُكمُ أَخ َلقً َاوإ‬
َ َ‫ى أَبغ‬
َُّ َ‫ِم ِنى َوأَبعَ َد ُكمُ إِل‬
‫سا‬ ً ‫ارونَُ ال ِقيَا َم ُِة َيو َُم َمج ِل‬ ُ َ ‫ل يَا قَالُوا َوال ُمت َ َفي ِهقُونَُ َوال ُمتَش َِدقُونَُ الثَّرث‬ َُ ‫سو‬ ُٰ ُ‫عُِلمنَا قَد‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ َُ‫ارون‬ ُ َ ‫الثَّرث‬
َُ‫ل ال ُمتَفَي ِهقُونَُ فَ َما َوال ُمتَش َِدقُون‬ َُ ‫قَا‬: َُ‫ال ُمت َ َكبِ ُرون‬

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku
pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara
kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh
denganku kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang
suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara
sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para sahabat bertanya,”Wahai
Rasulullah! Kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan
orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa yang
dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.” (HR.
at-Turmudzi).

Cerminan pribadi seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah


laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi
seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan
dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih
disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang
berhias.

Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:

‫ض فِيُ بِ َبيتُ زَ ِعي ُُم أَنَا‬ ُ ِ ‫ك ِلمنَُ ال َجنَّ ُِة َر َب‬


َُ ‫اء ت َ َُر‬ ِ ُ‫س ِطُ فِيُ ُم ِحقَّ َاوبِ َبيتُ َكانَُ َوإِن‬
ُِ ‫الم َر‬ َ ‫ِلمنَُ ال َجنَّ ُِة َو‬
َُ ‫از ًحا َكانَُ َوإِنُ ال َكذ‬
َُ ‫ِب ت َ َر‬
‫ك‬ ِ ‫سنَُ ِل َمنُ ال َجنَّ ُِة أَعلَى َوبِ َبيت ِفيُ َم‬
ُ ‫ُخلُقُ ُهُ َح‬

“Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang


meninggalkan debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di
tengah surga bagi orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya
senda gurau. Dan aku men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi
orang yang baik akhlaknya.” (HR. at-Turmudzi dan selainnya).

Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang


menimpa bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-
pilar akhlak Islam yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

ِ َّ ‫ّللا ات‬
ُ‫ق‬ َُٰ ‫ث‬ َُ ‫س ِيئ ُِة َوأَت ِب ُعِ ُكن‬
ُُ ‫ت َما َحي‬ َ ‫ق تَم ُح َها ال َح‬
َ ‫سنَ ُِة ال‬ َُ َّ‫سنُ ِب ُخلُقُ الن‬
ُِ ‫اس َوخَا ِل‬ َ ‫َح‬

“Bertakwalah anda kepada Allah dimana saja anda berada. Iringilah


keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan
menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
(HR. Ahmad dan selainnya).
Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga
pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang
yang antara lain:

Pertama: Akhlak kepada Allah Azza Wa Jalla

Akhlak seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla dengan


mewujudkan ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku
positif di tengah masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa
adalah senantiasa menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang
dalam firman Allah Azza wa Jalla :

‫عوا‬ُ ‫ار‬ ِ ‫س‬َ ‫ض َها َو َجنَّةُ َر ِب ُكمُ ِمنُ َمغ ِف َرةُ ِإلَىُ َو‬
ُ ‫عر‬ َ ُُ‫س َم َاوات‬ َّ ‫ض ال‬ُُ ‫﴿ ِلل ُمت َّ ِقينَُ أ ُ ِعدَّتُ َواْلَر‬١٣٣﴾ َُ‫الَّذِين‬
َُ‫اء ِفي يُن ِفقُون‬
ُِ ‫س َّر‬
َّ ‫اء ال‬ُِ ‫اظ ِمينَُ َوالض ََّّر‬ِ ‫ظ َوال َك‬َُ ‫ن َوال َعا ِفينَُ الغَي‬ُِ ‫ع‬ ُ ِ َّ‫ّللاُ ۖ الن‬
َ ‫اس‬ َُّ ‫ال ُمح ِس ِنينَُ ي ُِحبُ َو‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada


surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran/3: 133-
134)

Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri.

Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan


terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat
kepada Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
َُ‫ش ُةً فَ َعلُوا ِإ َذا َوالَّذِين‬ ِ َ‫ظلَ ُموا أَوُ ف‬
َ ‫اح‬ َ ُ‫ّللا َذ َك ُروا أَنف‬
َ ُ‫س ُهم‬ ََُّ ‫ن ِلذُنُو ِب ِهمُ فَاستَغفَ ُروا‬ َُّ ‫ِإ‬
َُ ُ‫ل الذن‬
ُ ‫وب َيغُِف ُُر َو َم‬
َُّ ُ‫ُصروا َولَم‬
ُ‫ّللا‬ ِ ‫علَىُ ي‬ َ ‫َيع َل ُمونَُ َو ُهمُ َف َعلُوا َما‬

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji


atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali
Imran/3: 135)

Ketiga: Akhlak terhadap sesama

Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung


tinggi etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam.
Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan
dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan,
santun dan ramah serta bertata krama.

Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat


dianjurkan:

Pertama: Akhlak terhadap Kedua orang tua

Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan
yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak
dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak
mampu memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai
manusia yang mempunyai hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi
budak atau hamba sahaya sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.

Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan


anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh
nyawanya kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan.
Apakah perbuatan demikian perbuatan yang mudah? Tidak,
perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Sebagai seorang
anak sudah semestinya untuk berbakti dan menghormati keduanya.

Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:

Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir
atau musyrik.

Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.

Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia
dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para
sahabat orang tuanya.

Kedua: Akhlak terhadap tetangga

Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang


sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak
mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut
ini:

Berbuat baik kepada tetangga kita.

Saling menolong dengan mereka

Tidak menjelek-jelekkan tetangga.

Menjaga hubungan baik dengan mereka.

Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga, sampai-


sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar
tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang
memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan
tetangga.

Ketiga: Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan

Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan


dengan aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya,
seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya
tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat
tangan atau berbicara mesra atau bepergian bersama. Jika ini
dilaksanakan perzinaan, perselingkuhan dan pemerkosaan mampu
diminimalisir.
Keempat: Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar

Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan


perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah
keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara
untuk bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan
lain sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya
bermanfaat untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang
yang beriman dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan
dengan memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan wajar,
diantaranya:

Melestarikan lingkungan.

Menjaga lingkungan dari pencemaran.

Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.

ُ‫ار َك‬ ُ ُ‫آن فِي َو َل ُُكمُ ِلي‬


َ َ‫للاُ ب‬ ُِ ‫ال َع ِظي ُِم القُر‬، ‫ان ِمنَُ فِي ُِه ِب َما َونَ َفعنَا‬ ُُ ‫َقو ِلي أَقُو‬
ُِ َ‫ال َح ِكي ُِم َوالذِك ُِر البَي‬، ‫ل‬
‫للا َوأَستَغ ِف ُُر َه َذا‬
َُ ‫الر ِحي ُُم الغَفُو ُُر ُه َُو ِإنَّ ُهُ فَاستَغ ِف ُروُهُ ال ُمس ِل ِمينَُ َو ِل َج ِمي ُعِ َولَ ُكمُ ِلي‬.
َ

Khutbah Kedua:

ُ‫حم ُد‬ َُِّ ِ ‫علَى‬


َُ ‫ّلل اَل‬ َ ‫سانِ ُِه فَض ِل ُِه‬ َ ‫علَى أَش ُك ُرُهُ َُو َو ِإح‬ َ ‫ل أَنُ َوأَش َه ُُد َوام ِتنَانِ ُِه تَوفِي ِق ُِه‬ َُّ ‫للاُ ِإ‬
َُ َ‫ل ِإلَ ُه‬ ُ ُ‫ل َوح َدُه‬ َُ
َُ ‫ن َوأَش َه ُُد ِلشَأنِ ُِه تَع ِظيمُا ً لَ ُهُ ش َِري‬
‫ك‬ َُّ َ ‫سولُ ُهُ َعب ُدُهُ ُم َح َّمدُا ً أ‬
ُ ‫صلَّى َو َر‬ َ ُ‫للا‬ ُ ‫علَي ُِه‬
َ ‫علَى‬ َ ‫َوأَص َحا ِب ُِه آ ِل ُِه َو‬
ُِ ‫ك ِب ُه َداُهُ اهت َ َدى َو َم‬
‫ن‬ َُ ‫س‬ ُ ‫سلَّ َُم ِب‬
َّ ‫سنَّتِ ُِه َوت َ َم‬ َ ‫ َكثِيرُا ً تَس ِليمُا ً َو‬.
‫اس أَي َها َبع ُُد أ َ َّما‬
ُُ َّ‫الن‬،

Ibadallah,

Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan


moral dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa
kendali, kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan
menjamur, pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-
siakan dan hamil di luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja
keras, keuletan dan kesabaran.

Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan
tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua
takut kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya
sedang berbuat dosa di depan mata, berani melawan orang tua,
bertindak anarkis atau bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih
tua, sehingga muncullah generasi yang disebut Allah dalam firman-
Nya,

َ َ‫عوا خَلفُ بَع ِد ِهمُ ِمنُ فَ َخل‬


ُ‫ف‬ َ َ‫ص َلُة َ أ‬
ُ ‫ضا‬ َّ ‫ت َواتَّبَعُوا ال‬ َّ ‫ف ۖ ال‬
ُِ ‫ش َه َوا‬ َ َ‫غيًّا يَلقَونَُ ف‬
َُ ‫سو‬ َ

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-


nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam/19:59).

Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi


anak durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan
memberikan stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan
anak, yang dimulai dengan perbaikan akidah dan moral orang tua.
Mendidik anak di atas akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak
yang mulia dan menguasai metode pendidikan akan membuahkan
hasil yang luar biasa. Hasil pendidikkan akan mempengaruhi masa
depan umat yang siap dipetik buahnya di dunia dan akhirat, Allah Azza
wa Jalla berfirman:

َ ‫ح َو َمنُ يَد ُخلُو َن َها‬


ُُ‫عدنُ َجنَّات‬ َُ َ‫صل‬ ِ ‫َوذُ ِريَّاتِ ِهمُ َُوأَز َو‬
َ ُ‫اج ِهمُ آبَا ِئ ِهمُ ِمن‬

(Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama


dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan
anak cucunya. (Ar-Ra’d/13:23

Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih
berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak
boleh menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan
diri kepada Allah Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya
agar dimudahkan dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan
anaknya menjadi anak saleh.

Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah


namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga
lingkungan:

Pertama: Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi


pertumbuhan prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering
menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah
seorang anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan dan karena
pengaruh kedua orang tua, anak menjadi baik atau buruk. Abu
Hurairah z berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ل َمولُودُ ِمنُ َما‬ َ ُِ‫ص َرانِ ُِه يُ َه ِو َدانِ ُِه فَأَبَ َواُهُ ال ِفط َرة‬
َُّ ِ‫علَى يُولَ ُُد إ‬ ِ َّ‫سا ِن ُِه َويُن‬ ُُ ُ ‫البَ ِهي َم ُةُ تَنت‬
َ ‫ج َك َما َويُ َم ِج‬
َ‫ َجمعَا َُء بَ ِهي َم ُة‬. ُ‫عا َء؟ ِمنُ فِيُ َها ت ُ ِحسونَُ هَل‬ َ ‫ل ث َُُّم َجد‬ ُُ ‫ ُه َري َرُة َ أَبُوُ يَقُو‬: ‫ ِشئتُمُ إِنُ َواق َر ُؤا‬: ‫ت‬ َُ ‫ّللا ِفط َر‬ َُِّ
‫ط َُر الَّتِي‬ َ َ‫اس ف‬
َُ َّ‫علَي َها الن‬ َ ۖ‫ل‬ َُ ‫ل‬َُ ‫ق تَبدِي‬ َُِّ
ُِ ‫ّللا ِلخَل‬

“Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan


fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah
kamu menemuinya cacat.”

Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Dan bacalah


firman Allah Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah’.“(Ar-Rum/30:30)(15)

Kedua: Lingkungan Sekolah

Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya


dengan belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk
bersosialisasi dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari
bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa
belajar menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-
temannya. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan
sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbaik di sini bukan
terbaik karena standar internasionalnya, terbaik karena prestasi
akademiknya, tetapi terbaik dalam menanamkan nilai-nilai Islam
sesuai dengan manhaj para Salafush shaleh. Karena dengan belajar di
sekolah yang berkarakter Islam yang benar maka anak akan
mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang bisa
mengontrol prilaku dan sikapnya

Ketiga: Lingkungan Masyarakat

Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan


menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial
masyarakat lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga
maupun lingkungan sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk
sehingga membutuhkan kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan
anak bersosialisasi dengan masyarakat, orang tua juga harus waspada
terhadap pengaruh buruknya. Bila lingkungan masyarakat bagus,
maka itu akan berpengaruh bagus terhadap pendidikan anak, namun
sebaliknya, bila lingkungan masyarakat buruk maka akan berpengaruh
buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa anak.

Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap


proses pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫عنُ َمسئُولُ َو ُُكل ُكمُ َراعُ ُكل ُك ُم‬ َ ‫ل َراعُ اْل َ ِمي ُُر َر ِعيَّ ِت ُِه‬ َّ ‫علَى َراعُ َو‬
ُُ ‫الر ُج‬ ُِ ‫َرا ِع َي ُة َوال َمرأ َُة ُ َبي ِت ِهُ أَه‬
َ ‫ل‬
‫علَى‬ َ ‫ت‬ ُِ ‫عنُ َمسئُولُ َو ُكل ُكمُ َراعُ فَ ُكل ُكمُ َو َولَ ِدُِه زَ و ِج َها َبي‬ َ ‫َر ِعيَّ ِت ُِه‬

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung


jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan
orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah
penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta per-
tanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).

Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet


hanya menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen
bangsa saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat
Islam secara kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT
hingga Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar
politik, budaya, ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam,
aktifis dakwah, lembaga pendidikan, LSM dan seluruh kantong
kekuatan Islam.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan


dan taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang
berat ini.

‫ن َواعلَ ُموا‬ َُّ َ ‫ث أَص َدقَُ أ‬ ُِ ‫للاُِ َك َل ُُم ال َحدِي‬، ‫صلَّى ُم َح َّمدُ ُه َدى ال ُه َدى َوخَي َُر‬ َُ ُ‫للا‬ُ ‫علَي ُِه‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫و‬، َ ‫َر‬َُّ ‫َوش‬
‫ ُمح َدثَات ُ َها اْل ُ ُمو ُِر‬، ‫ل‬
َُّ ‫عةُ ُمح َدثَةُ َو ُك‬ ُ ‫بِد‬، ‫ل‬ َ ‫ض َللَةُ بِد‬
َُّ ‫عةُ َو ُك‬ َ ، ُ‫علَي ُكم‬َ ‫ع ُِة َو‬ َُّ ِ ‫علَى للاُِ يَ َُد فَإ‬
َ ‫ن بِال َج َما‬ َ
‫ع ُِة‬
َ ‫ ال َج َما‬.

‫صلوا‬ َ ‫س ِل ُموا َو‬ َ ‫عا ُك ُُم َو‬َ ‫للاُ َر‬ ُ ‫علَى‬ َ ‫ن ُم َح َّم ُِد‬ ِ ‫للاُ أ َ َم َر ُك ُُم َك َما‬
ُِ ‫للاُ َعب ُِد ب‬ ُ ‫ك‬ َُ ‫ل ِكتَابِ ُِه فِي بِ َذ ِل‬
َُ ‫فَقَا‬: ﴿ ‫ن‬
َُّ ِ‫إ‬
ََُّ ُ‫صلونَُ َو َم َلئِ َكت َ ُه‬
‫ّللا‬ َ ُ‫ع َلى ي‬ َ ِ‫ي‬ُ ِ‫صلوا آ َمنُوا الَّذِينَُ أَي َها يَا النَّب‬
َ ‫علَي ُِه‬ َ ‫س ِل ُموا‬ َ ‫اْلحزاب[ ﴾ تَس ِليمُا ً َو‬:٥٦]
،‫ل‬ َُ ‫صلَّى َوقَا‬ َ ُ‫للا‬ُ ‫علَي ُِه‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ (( ُ‫صلَّى َمن‬
َ ‫و‬: َ ‫ي‬ َُّ ‫ع َل‬ َ ‫صلَّى‬
َ ً ‫صلُة‬ َ ُ‫ّللا‬ َُّ ‫علَي ُِه‬
َ ‫ )) َعش ًرا ِب َها‬.

ُ‫ل اَللَّ ُه َّم‬ َ ‫علَى‬


ُِ ‫ص‬ َ ُ‫علَى ُم َح َّمد‬َ ‫ل َو‬ ُِ ‫ت َك َما ُم َح َّمدُ آ‬ َُ ‫صلَّي‬
َ ‫علَى‬ َ ‫علَى إِب َرا ِهي َُم‬َ ‫ل َو‬ ُِ ‫ك إِب َرا ِهي َُم آ‬ َُ َّ‫َح ِميدُ إِن‬
ُ‫ َم ِجيد‬، ُ‫ارك‬ ِ َ‫علَى َوب‬
َ ُ‫علَى ُم َح َّمد‬ َ ‫ل َو‬ ُِ ‫ت َك َما ُم َح َّمدُ آ‬ َُ ‫ارك‬َ َ‫علَى ب‬ َ ‫علَى إِب َرا ِهي َُم‬
َ ‫ل َو‬ ُِ ‫ك إِب َرا ِهي َُم آ‬َُ َّ‫َح ِميدُ إِن‬
ُ‫ َم ِجيد‬. ‫ض‬ َُ ‫ن اللَّ ُه َُّم َوار‬ُِ ‫ع‬
َ ‫اء‬ ُِ َ‫الرا ِشدِينَُ ال ُخلَف‬ َّ َ‫ق َبك ُِر أَبِيُ ال َمه ِد ِيينَ ؛ اَْلَئِ َّم ُة‬ ُِ ‫الصدِي‬،
ِ ‫ع َم َُر‬
ُ ‫َو‬
‫قُ‬
‫ارو ِ‬ ‫عث َمانَُ ‪،‬الفَ ُ‬ ‫ن ذِيُ َو ُ‬ ‫ن َوأ َ ِبيُ ‪،‬النُو َري ُِ‬
‫سنَي ُِ‬
‫ع ِليُ ال َح َ‬
‫ض‪َ ,‬‬‫ن اللَّ ُه َُّم َوار َُ‬‫ع ُِ‬ ‫ن أَج َم ِعينَُ ال َّ‬
‫ص َحا َب ُِة َ‬ ‫ع ُِ‬ ‫َو َ‬
‫سانُ تَ ِب َع ُهمُ َو َمنُ التَّا ِب ِعينَُ‬ ‫عنَّا ‪،‬الدِينَُ َيو ُِم ِإلَى ِبإِح َ‬ ‫ك َم َع ُهمُ َو َ‬ ‫ك َو َك َر ِم َُ‬
‫ك ِب َم ِن َُ‬ ‫أَك َر َُم َيا َو ِإح َ‬
‫سا ِن َُ‬
‫‪.‬اْلَك َر ِمينَُ‬

‫اْلس َل َُم أ َ ِع َُّز ُا َللَّ ُه َّمُ‬


‫‪،‬وال ُمس ِل ِمينَُ ِ‬ ‫اْلس َل َُم أ َ ِع َُّز اَللَّ ُه َُّم َ‬‫‪،‬وال ُمس ِل ِمينَُ ِ‬ ‫اْلس َل َُم أ َ ِع َُّز اَللَّ ُه َُّم َ‬‫‪،‬وال ُمس ِل ِمينَُ ِ‬ ‫َ‬
‫َّ‬
‫صرُ اَلل ُه َُّم‬ ‫ص َُر َمنُ ان ُ‬ ‫َك نَ َ‬
‫ك دِين َُ‬ ‫َ‬
‫سنَّ ُة َو ِكتَابَ َُ‬ ‫ك َو ُ‬ ‫َّ‬
‫صلى ُم َح َّمدُ نَ ِبيِ َُ‬ ‫للاُ َ‬ ‫علي ُِه ُ‬ ‫َ‬ ‫سل َُم َ‬‫َّ‬ ‫‪،‬و َ‬ ‫َّ‬
‫صرُ اَلل ُه َُّم َ‬
‫ان ُ‬
‫ل فِي ال ُمستَض َع ِفينَُ ال ُمس ِل ِمينَُ ِإخ َوا َننَا‬ ‫صر ُهمُ اَللَّ ُه َُّم ‪َ ،‬م َكانُ ُك ُِ‬ ‫ض فِي ان ُ‬ ‫َام أَر ِ ُ‬ ‫ل َوفِي الش ُِ‬ ‫‪َ ،‬م َكانُ ُك ُِ‬
‫سدِدُا ً َو ُم ِعينًا َحافِظُا ً َولَ ُهمُ لَنَا ُكنُ اَللَّ ُه َُّم‬ ‫‪،‬و ُم َؤيِدًا َو ُم َ‬ ‫َ‬

‫‪،‬و ِجلَّ ُهُ ِدقَّ ُهُ ُكلَّهُ؛ ذُنُبَنَا َلنَا َواغ ِفرُ اَللَّ ُه َّمُ‬
‫آخ َرُهُ أ َ َّولَ ُهُ َ‬ ‫‪،‬و ِ‬ ‫علَّنَ ُهُ ِس َّرُهُ َ‬ ‫‪،‬و َ‬‫َو ِل َوا ِل َدينَا لَنَا اغ ِفرُ اَللَّ ُه َُّم َ‬
‫ت َو ِلل ُمس ِل ِمينَُ‬ ‫ت َوال ُمؤ ِم ِنينَُ َوال ُمس ِل َما ُِ‬ ‫اء َوال ُمؤ ِمنَا ُِ‬ ‫ت ِمن ُهمُ اَْلَح َي ُِ‬ ‫‪.‬واْلَم َوا ُِ‬ ‫ك ِإنَّا اَللَّ ُه َُّم َ‬
‫َّك نَسأَلُ َُ‬
‫‪ُ ،‬حب َُ‬
‫ك َمنُ َو ُحبَُّ‬ ‫ل َو ُحبَُّ ‪،‬ي ُِحب َُ‬ ‫ك ِإلَى يُقَ ِربُنَا الَّذِيُ ال َع َم َُ‬ ‫ان ِب ِزينَ ُِة زَ ِينَّا اَللَّ ُه َُّم ‪ُ .‬ح ِب َُ‬‫اْلي َم ُِ‬‫ُه َداُة َ َواج َعلنَا ِ‬
‫ات أَص ِلحُ اَللَّ ُه َُّم ‪ُ .‬مهتَدِينَُ‬ ‫ل َواه ِدنَا ‪،‬قُلُو ِبنَا َبينَُ َوأ َ ِلفُ بَي ِننَا َذ َُ‬ ‫سبُ َُ‬‫س َل ُِم ُ‬ ‫ت ِمنَُ َوأَخ ِرجنَا ‪،‬ال َّ‬ ‫ظلُ َما ُِ‬
‫ال ُ‬
‫ت اَللَّ ُه َُّم ‪.‬النو ُِر ِإلَى‬ ‫سنَا آ ُِ‬‫ت َوزَ ِك َها ‪،‬تَق َواهَا نُفُو َ‬ ‫ت ‪،‬زَ َّكاهَا َمنُ خَي َُر أَن َُ‬ ‫‪.‬و َمو َلهَا َو ِلي َها أَن َُ‬ ‫آ ِتنَا َربَّنَا َ‬
‫سنَ ُةً الدن َيا فِي‬ ‫اآلخ َرةُِ َوفِي َح َ‬ ‫سنَ ُةً ِ‬ ‫اب َوقِنَا َح َ‬‫ع َذ َُ‬ ‫ار َ‬ ‫‪.‬النَّ ُِ‬

‫ّللا إِ َّنُ( ‪،‬للا عباد‬ ‫ل يَأ ُم ُُر ََُّ‬ ‫ان بِالعَد ُِ‬
‫س ُِ‬‫اْلح َ‬ ‫اء َو ِ‬ ‫عنُ َو َين َهى القُربَى ذِي َوإِيت َ ُِ‬ ‫ي ِ َوال ُمن َك ُِر الفَحش ُِ‬
‫َاء َ‬ ‫َوالبَغ ُ‬
‫ظ ُكمُ‬ ‫ّللا ِب َعه ُِد َوأَوفُوا *ت َ َذ َّك ُرونَُ لَ َعلَّ ُكمُ يَ ِع ُ‬ ‫عاهَدتُمُ ِإ َذا َُِّ‬
‫ضوا َول َ‬ ‫َج َعلتُمُ َوقَدُ تَو ِكي ِدهَا َبع َُد اْلَي َمانَُ تَنقُ ُ‬
‫علَي ُكمُ ََُّ‬
‫ّللا‬ ‫لً َ‬ ‫ن َك ِفي ُ‬ ‫للا فَاذ ُك ُروا ‪:90-91]،‬النحل[ )تَف َعلُونَُ َما َيعلَ ُُم ََُّ‬
‫ّللا ِإ َُّ‬ ‫علَى َواش ُك ُروُهُ ‪َ ،‬يذ ُكر ُكمُ َُ‬ ‫َ‬
‫للاِ َولَذِك ُُر ‪َ ،‬ي ِزد ُكمُ نِ َع ِم ُِه‬ ‫للاُ ‪،‬أَكبَ ُُر ُ‬
‫‪.‬تَصنَعُونَُ َما َيعُلَ ُُم َو ُ‬

‫‪(Diadaptas dari tulisan Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin di majalah‬‬


‫‪As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015).‬‬

Anda mungkin juga menyukai