Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah,
Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga
bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan
disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang
‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr lebih
ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber-
syâdz”.3
Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui lima
macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua, para
1
Shubhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun 1988, hal.
145.
2
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-Maktabah al-Islamiyah al-
Madinah al-Munawwarah, tahun1972, hal. 10.
3
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr, Maktabah al-
Munawwar, Semarang, tth., hal. 51.
periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan
sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan
itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu.4 Persambungan sanad itu
terjadi semenjak (penghimpun riwayat hadits dalam kitabnya) sampai pada periwayat
pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi
Saw.
Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad pertama sampai sanad
terakhir dari kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad saw, atau persambungan itu
terjadi mulai dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai periwayat terakhir
(mukharrij hadits).
dengan hadits musnad. Hadits musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadits yang
disandarkan kepada Nabi Saw (sebagai hadits marfu’), sanad hadits musnad ada yang
bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’).5 Pendapat ini,
menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M), merupakan pendapat yang diikuti oleh
mayoritas ulama hadits.6 Dengan demkian, menurut kebanyakan ulama hadits, hadits
musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ belum tentu
4
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami , ttp., tahun1975, hal. 162.
5
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 39.
6
Syam al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughts Syarh Alfiyah al-Hadits li al-
‘Irâq, al-Maktabah al-Salafiyah, al-Madinah al-Munawwarah, juz I, tahun 1968), hal. 99.
hadits musnad. Hadits marfu’ dapat disebut sebagai hadits musnad bila seluruh
rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal sampai akhir.
muttashil atau mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi, yang dimaksud
dengan hadits muttashil atau mawshul adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik
persambungan itu sampai kepada Nabi Saw maupun hanya sampai kepada sahabat
Nabi Saw saja.7 M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits muttashil atau
mawshul ada yang marfu’ (disandarkan pada nabi), ada yang mawkuf (disandarkan
pada sahabat), dan ada juga yang maqthu’(disandarkan pada tabi’in). jika
dibandingkan dengan hadits musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadits musnad
pasti muttashil atau mawshul, tetapi tidak semua hadits muttashil atau mawshul pasti
musnad.8
Dengan kata lain, ketersambungan hadits muttashil atau mawshul tidak bisa
ketersambungan hadits Musnad, karena hadits muttashil atau mawshul ada yang
tersambung sampai Nabi Saw, ada yang hanya tersambung pada sahabat saja bahkan
ada pula yang hanya sampai tabi’in sehingga dibalik ketersambungan sanad itu ada
kemungkinan terdapat keterputusan informasi dari Nabi Saw. Berbeda dengan hadits
musnad yang dipastikan ketersambungan sanadnya sampai Nabi Saw, sehingga dapat
Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
7
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits, ‘Abd al-Rahman
Muhammad, Kairo, tth., hal. 6.
8
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1995), hal. 127-128.
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
(1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karya
al-Mizzi, Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan kitab al-
(2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal
sebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith), serta tidak suka melakukan
antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad. Kata-kata yang
Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu hadits
dinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para
sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan murid,
‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beragama Islam,
9
Ibid,. halaman. 128.
tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.10 Ibn al-Shalah menetapkan lima
kriteria seorang periwayat disebut ‘adil, yaitu beragama Islam, baligh, berakal,
periwayat hadits dinyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah (1)
beragama Islam; (2) baligh; (3) berakal; (4) takwa; (5) memelihara maru’ah; (6)
teguh dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9)
tidak berbuat bid’ah; dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian banyak kriteria di atas
kemudian diringkas menjadi empat kriteria, yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukalaf;
ulama hadits. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn
Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan ke‘adilannya. Kedua, penilaian dari para
kritikus periwayat hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan
kekurangan (al-Tarjih) yang ada pada diri periwayat hadits. Ketiga, penerapan kaidah
al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadits tidak
Ketiga cara di atas diprioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang
terkenal dengan keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri, maka
10
Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al-Mutanabbih, Kairo, tth., hal. 53.
11
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 94.
12
M. Syuhudi Ismail, op.cit., halaman. 134.
dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat ‘adil, namun
berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits diketahui bahwa ia bersifat ‘adil,
maka ditetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat
al-jarh wa al-ta’dil.
Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti seorang
periwayat hadits yang terkenal ‘adil tidak dapat dinilai dengan penilaian yang
berlawanan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat hadits maupun
didahulukan sebab kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan
mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara
yang kedua yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.
Demikian pula, seorang periwayat hadits yang dinilai ‘adil oleh seorang atau
beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka
penilaian tersebut yang digunakan, bukan dengan menetapkan kaidah al-jarh wa al-
ta’dil. Sebab, para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat
hadits yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyata
periwayat hadits.
kata dhâbith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan hafalan ini sama
Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang
yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan objektif
tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara informasi itu.
Sebaliknya, orang yang mampu memelihara, hafal dan paham terhadap informasi
yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi
yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadits
keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadits kemudian dijadikan
satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil
dan dhâbith.
beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang
disebut dhâbith orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan
seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengar serta
13
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, op.cit., halaman. 13.
14
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Parma ,Jakarta, tahun 2007, hal.
203.
kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu
Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah
riwayat hadits yang telah didengar, dengan kemungkinan pertimbangan bahwa: (1)
Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka
dengan sendirinya ia telah memahami apa yang telah dihafalnya. (2) Dipentingkan
bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa
yang diriwayatkannya. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karena orang yang
hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu,
pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an menurut sebagian ulama diatas.
Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didengar
disebut sebagai orang yang dhâbith, meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-
dhâbith-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada
kemampuan pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadits
dengan baik dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan pemahaman terhadap
hadits tersebut, maka tingkat ke-dhâbith-an lebih tinggi dari periwayat tersebut.
15
Shubhi al-Shalih, op.cit., halaman. 128.
Ketiga, periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang dihafal dengan
baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada
orang lain. Kemampuan hafal yang dituntut dari seseorang periwayat, sehingga ia
disebut seorang yang dhâbith adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat
kepada orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini dimaksudkan pada
batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab lainnya.
Periwayat hadits yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau
sebab lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah, Rabi’ah al-
Ra’i ibn Abi ‘Abd al-Rahman.16 Periwayat yang mangalami kemampuan hafalan
tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhâbith sampai saat sebelum mengalami
tidak dhâbith.
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-
dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat
harfiah;
16
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, al-Mughn fi al-Dhu’afa’ Dar al-Ma’arif, Suriah, tahun
1971, juz I, hal. 177, 230, 256, 264, 268-269, juz II, hal. 412.
(3) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhâbith
asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan
periwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada yang dhâbith saja bahkan ada yang
kurang dhâbith serta tidak dhâbith. Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang
dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal hadits yang
Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap hadits yang
Secara bahasa, Syâdz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti
menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat periwayat yang lebih tsiqah.18
Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadits.
oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak
periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung Syâdz bila
17
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, al-Mathba’ah al-
Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987, hal. 50.
18
M. Syuhudi Ismail, op.cit., halaman. 117.
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah
tidak meriwayatkannya.19
Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1)
hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para periwayat hadits seluruhnya tsiqah;
dan (3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-Hakim,
suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.
(1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang tidak
tsiqah.
Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah
tampak shahih, maka hadits itu dinamakan hadits mu’allal, yaitu hadits yang
mengandung ‘illat. Kata al-Mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (ia
mencacatkannya).20 Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit,
dan keburukan.21 Menurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi
yang dapat merusak keshahihan hadits.22 Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-
Din‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak
19
Al-Hakim al-Naysaburi, op.cit., halaman. 119.
20
Mahmud al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadits, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya, tth., hal. 100-101.
21
Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arâb, Dar al-Mishriyah, Mesir, juz XII, tth., hal. 498
dan Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbâh, juz II, hal. 509.
22
Mahmud al-Thahan,op.cit., halaman. 100-101.
kualitas hadits, yang menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualits
pengertian ‘illat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat
hafalan. Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’n
atau al-jarh dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum. Cacat
umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi hadits yang
mengandung cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut Shalah al-Din
al-Adhabi, yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang periwayat tsiqah, yang berdasarkan telaah seorang kritikus ternyata
terhindar dari ‘illat tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari ‘illat
Dilihat dari segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz, yaitu
mu’allal, ‘illatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits syadz tidak karena
dalam hadits syadz memang tidak terdapat ‘illat. Sebagimana telah dijelaskan, tidak
adanya ‘illat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu hadits. Jika sesuatu
hadits mengandung ‘illat, maka hadits dinyatakan tidak shahih. mrnurut istilah ahli
hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits.
23
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 81. Abu Zakariya Yahya ibn
Syarf al-Nawawi, hal. 10, dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr,
Damaskus, tahun 1997) hal. 447.
24
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Aflaq al-Jadidah, Beirut, tahun 1983 M, hal. 147.
Ini berarti, suatu sebab yang tidak tersembunyi dan tidak samar serta tidak merusak
menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat diketahui selain
orang yang ahli dalam bidang ilmu hadits. Tidak banyak orang yang dapat
menyingkap ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini,
‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham).27 Sebagian ulama menyatakan bahwa orang
yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan
hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya
tentang berbagai tingkat ke-dhabithan periwayat, dan ahli dibidang sanad dan matan
Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada sanad dan
matan sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Masing-
25
Mahmud al-Thahan,op.cit., halaman. 99-100.
26
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi,op.cit., halaman. 148.
27
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar
al-Fikr, Beirut, juz I, tahun 1988, hal. 252.
28
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,op.cit., halaman. 81.
29
Al-Hakim al-Naysaburi, op.cit., halaman. 112.
masing hadits, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau pada sanad dan matan
Baik hadits shahih maupun hadits hasan telah dikodifikasikan oleh para
ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu ada yang hanya memuat
hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhari karya al-Imam al-Bukhari
(194-256 H) dan kitab Shahih Muslim oleh Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261 H). Ada
pula kitab-kitab yang disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits
hasan dan hadits dha’if seperti kitab-kitab sunan yang empat, yaitu Sunan Abi
Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan al-Turmudzi karya Abu
‘Isa al-Turmudzi (209-279), Sunan al-nasa’i karya Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i
(215-303 H), Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qazwini (209-273 H). Hadits-
hadits shahih terdapat pula dalam Musnad Ahmad karya Ahmad ibn Hanbal dan
dengan definisi hadits shahih Menurut imam Ibn al-Shalah, yaitu hadits yang disandarkan
kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
dhâbith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak
Metode beliau dalam menilai hadits shahih terlihat dalam salah satu kitabnya
yang berjudul Tamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah. Dalam kitab tersebut
30
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, ‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-Islamiyah, al-
Madinah al-Munawwarah, tahun 1972), hal. 10.
tertuang pedoman-pedoman pokok yang harus diketahui oleh setiap orang yang
Pedoman Pertama: Menolak hadits Syadz. Salah satu syarat hadits shahih ialah
tidak ada syadz. Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
dapat dipercaya dan diterima periwayatannya, namun bertentangan dengan riwayat lain
hadits shahih ialah tidak memiliki ‘illah (cacat), dan ketahuilah bahwa goncang itu
Dinamakan hadits goncang jika dua riwayat itu sejajar, apabila salah satunya lebih
unggul dari yang lain seperti penerima riwayat lebih kuat hafalannya dan lebih banyak
berkumpul atau bertemu dengan pemberi riwayat maka yang unggul itu tidak disebut
hadits goncang. Kegoncangan ini bisa terjadi pada redaksi hadits, mata rantai hadits, pada
Mudallas menurut istilah hadits yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa
hadits itu tidak bercacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut al-Mudallis,
Pedoman yang keempat: menolak hadits majhul (perawi yang tidak dikenal).34
Dalam al-Kifayah halaman 88 al-Khatib berkata: “al-Majhul dari ahli hadits ialah orang
yang tidak populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama.” Orang
31
Muhammad Nashiruddin al-Albani, TerjemahanTamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah,
Maktabah salafy Press, Tegal, tahun 2001, hal. 2
32
Ibid, halaman 4.
33
Ibid, halaman 5.
34
Ibid, halaman 7.
ini hanya meriwayat hadits dari satu sumber. Ketidak kenalnya akan terangkat sedikit
karena adanya dua atau lebih perawi yang terkenal keilmuannya yang meriwayatkat
hadits darinya.
dijelaskan pada pedoman keempat bahwa hadits majhul tidak dapat diterima riwayatnya
menurut jumhur ulama terkecuali Ibnu Hibban. Karena beliau menerima hadits majhul
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan berkata: Ibnu Hibban mengatakan
bahwa orang yang teringkari haditsnya tidak boleh dipercaya. Jika ia meriwayatkan
termasuk perawi yang ‘adil dan dapat diterima riwayatnya, karena manusia pada dasar
baik dan ‘adil ucapannya kecuali jika jelas-jelas ia melakukan hal yang tercela. Hukum
ini berlaku pada perawi yang terkenal. Adapun perawi yang tidak dikenal yang hanya
Al-Hafidz berkata:“pendapat Ibnu Hibban terhadap perawi yang telah hilang dan
ketidak kenal pribadinya berarti adil adalah pendapat yang aneh, dan kebanyakan ulama
menentangnya. Jalan yang ditempuh Ibnu Hibban dalam kitab karangannya Kitabuts-
Tsiqat menyebutkan bahwa sejumlah perawi yang dicatat olah Abu Hatim dan yang lain
adalah tidak dikenal, dan seakan-akan Ibnu Hibban berpendapat bahwa ketidak kenal
pribadi perawi akan terangkat oleh satu perawi terkenal. Ini pendapat gurunya, Ibnu
Khuzaimah.
35
Ibid, halaman 9-13.
Dalam karyanya diatas, Ibnu Hibban dengan berpegang pada kaidah yang
diunggulkan, menuliskan sekelompok perawi yang dia tidak mengenal baik mereka
maupun bapak-bapak mereka. Ibnu Hibban berkata dalam ath-Thabaqah ketiga: “Sahl
meriwayatkan dari Shaddad bin al-Hadi dan darinya Abu Ya’fur meriwayatkannya. Saya
tidak mengenalnya dan saya tidak tahu siapa bapaknya.” Tautsiq Ibnu Hibban terhadap
seseorang yang hanya disebutkan pada karyanya ini berada pada tingkat yang paling
rendah.
Oleh sebab itu para peneliti hadits, seperti adz-Dzahabi, al-Asqalani dan yang lain
tidak mempercayai orang yang hanya dipercaya oleh Ibnu Hibban. Hal yang yang perlu
diperhatikan ialah bahwa kata-kata Abdul Hadi: “Dan jika ia tidak dikenal maka
keadaannya pun tidak dapat diketahui.” Bukan pendapat yang tepat, sebab mengandung
pengertian bahwa Ibnu Hibban tidak menyebutkan perawi yang tidak dikenal pribadinya
dibuktikan oleh pernyataannya dalam “Sahl”: “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak
Begitu juga pendapat al-Hafidz: dengan riwayat dari satu orang yang terkenal
mengandung praduga bahwa Ibnu Hibban memberi kepercayaan hanya kepada orang
yang menurunkan satu perawi masyhur, sebab jika yang dimaksud masyhur (terkenal)
tingkat-tingkat orang-orang yang dipercaya oleh Ibnu Hibban. Jika bukan itu yang
dimaksud, maka pendapat ini tidak ada nilainya, sebab baik yang lemah maupun yang
majhul sama-sama mempunyai perawi dalam kitab ats-Tsiqat. Dibawah ini ada sebagian
Dikatakan olah Ibnu Hibban (4/10): “ia meriwayatkan hadits-hadits mursal dan
satu hadits dengan sanad mursal: “Ilmu ini diwarisi oleh setiap penerusnya yang
adil…” al-hadits.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: Dan Mu’an ini, kata al-Hafidz
seorang yang didatangkan tidak diketahui siapa dia. Yakni Ibrahim, ia tidak dikenal
pribadinya. Dan dijelaskan olah Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa tentang Mu’an: ia
orang yang tidak dikenal. Haditsnya tidak bisa menyerupai hadits perawi-perawi yang
teguh.
Dikatakan (IV/4-15): “ia meriwayatkan dari Abu Hurairah dan dari nya al-Hajjaj bin
Yasar meriwayatkan.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: al-Hajjaj ini disebut juga Ibnu
Darinya hanya Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan.” Dan Laits ini lemah dan kabur
riwayatnya seperti apa yang diketahui, bahkan menurut Ibnu Hibban sendiri.
3. Ibrahim al-Anshari
Ibnu Hibban berkata (IV/15): “Ia meriwayatkan dari Maslamah bin Makhlad, dan
Dari penyelidikan ini jelaslah bahwa menurut Ibnu Hibban, ‘Jahalatul ‘ain’(ketidak
dikenalan pribadi) akan terangkat oleh satu riwayat meskipun lemah dan majhul.
menyatakan dengan tegas, beliau berkata: “dan seakan-akan Ibnu Hibban…” beliau
perawi-perawi yang tidak dikenal…” dst. Ini dibatalkan oleh contoh kedua
Secara garis besar, ketidak kenalan pribadi itu saja menurut Ibnu Hibban bukanlah
cacat. Keyakinan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bertambah terhadap hal ini
jumlah perawi lemah hampir mencapai 1400. Saya tidak melihat dari mereka yang
dinyatakan tidak dikenal, kecuali empat perawi saja, dan Ibnu Hibban mencela mereka
bukan karena mereka tidak dikenal, tetapi karena meriwayatkan hadits-hadits munkar.
Disebutkan olah Ibnu Hibban beberapa hadits munkar yang diriwayatkannya. Ibnu
Hibban berkata: “Ia tidak boleh dijadikan hujjah setelah meriwayatkan hal-hal seperti
ini dari perawi-perawi terpercaya, karena banyak orang yang tidak mengenalnya.”
apapun kecuali huruf Munkar yang ia riwayatkan yang disaksikan kebathilan oleh
Ibnu Hibban berkata: “Ia Syaikh yang tidak dikenal. Darinya Baqiya bin al-Walid
Baqiya ini saya sebutkan pada bagian pertama karya saya. Oleh karena itu, saya tidak
segala hal.”
4. Abu Zaid.
Dikatakan (III/158): “Abu Zaid meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud hadits yang tidak
dapat di telusuri. Tidak diketahui siapa dia, siapa bapak dan dari mana ia berasal.
Orang yang memiliki sifat seperti ini kemudian meriwayatkan hanya satu hadits,
berarti ia bertentangan dengan al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan ijtihad dan ia harus
Ibnu Abdul Hadi berkata tentang hal ini: “Caranya dalam hal ini ialah menyebutkan
orang tidak dikenal cacat, dan jika ia tidak dikenal berarti tidak dikenal keadaannya.”
Intinya bahwa rekomendasi Ibnu Hibban harus lebih diwaspadai karena berbeda
Tetapi itu tidak mutlak sebagaimana dijelaskan oleh al-Mu’Allimi dalam at-Tankil
(I/437-438).
Hal yang perlu diperhatikan ialah masalah penting dalam pernyataan al-Mu’allimi
yang sedikit sekali disadari orang, bahkan dilalaikan oleh kebanyakan penuntut ilmu. Hal
tersebut ialah menyampaikan riwayat hadist mungkar adalah orang yang jujur yang dapat
seperti hadist tentang bangkit dari sujud dalam shalat. Beberapa penuntut ilmu mengira
bahwa al-albani mengingkari pendapatnya sendiri dan sependapat dengan Ibnu Hibban
dalam melemahkan hadist ‘ajn (bangkit dari sujud dengan menyandarkan tangan
Pedoman yang keenam: para perawinya adalah para perawi hadits shahih. bukan
penilaian shahih atas suatu hadits.36Peryataan ahli hadits “Para perawinya adalah para
perawi hadits shahih” atau “Para perawinya adalah orang-orang terpercaya,” tidak sama
dengan peryataan “Rantai periwayatannya itu shahih.” Karena peryataan yang kedua
menujukkan adanya semua persyaratan keotentikan seperti terbebas dari cacat. Adapun
pernyataan pertama hanya menunjukkan satu syarat yaitu tentang keadilan dan
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu jika hadits yang dibahas meskipun
terbebas dari cacat-cacat, tidak otomatis hadits tersebut hadits shahih, karena terkadang
dalam rantai periwayatannya ada seorang perawi yang tidak menjadikan hadits tersebut
36
Ibid, halaman 14.
Pedoman ketujuh: tidak bersandar pada diamnya Abu Daud. 37 Abu Daud pernah
berkata dalam kitabnya as-Sunnah: “hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat
dalam kitab saya ini, saya jelaskan dan hadits yang tidak saya beri catatan apa-apa adalah
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata “layak” ini, sebagian mereka
berpendapat, bahwa maksud Abu Daud adalah hadits hasan yang dapat dijadikan hujjah
dan yang lain berpendapat lebih umum dari hal itu, sehingga pengertian hadits ini
mencangkup hadits yang dapat dijadikan hujjah dan hadits yang dapat digunakan sebagai
Pernyataan: “dan hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat dalam kitab saya
ini, saya jelaskan” menunjukkan pengertian bahwa Abu Daud tidak menjelaskan hadits
yang tidak terlalu lemah. Jadi, tidak setiap hadits yang dijelaskan oleh Abu Daud itu
hasan menurutnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya banyak hadits riwayat Abu Daud
yang tidak diragukan kelemahannya karena tidak ada penjelasan dari beliau. Imam
diamnya Abu Daud telah diunggulkan oleh para ulama peneliti hadits seperti Ibnu
Mandah, adz-Dzahabi, Ibnu Abdil dan Ibnu Katsir. Peryataan mereka telah disalin beliau
37
Ibid, halaman 16.
38
Ibid, halaman 18.
Pertama, adanya perubahan kode-kode as-Suyuthi yang dilakukan oleh para
Suyuthi yang diberi kode berbeda dengan apa yang disalin oleh pensyarahnya al-Munawi
dan as-Suyuthi sendiri, beliau menyalin al-Jami’ dengan tulisan tangan pengarangnya,
tentang hadits shahih, hasan dan dha’if dengan inisial huruf shad, ha’ dan dhad dalam
beberapa naskah, tidak selayaknya untuk dapat dipercaya, karena sudah ada perubahan
dari para penyalinnya pada sebagian hadits-hadits yang beliau tulis sebagimana yang
mendha’ifkan hadits, sehingga banyak hadits yang beliau nilai shahih atau hasan ternyata
dibantah oleh pensyarahnya, al-Munawi. Hadits yang terbantah ini mencapai ratusan.
Begitu juga dalam al-Jami’ banyak terdapat hadits-hadits maudhu’ (palsu). Padahal as-
Suyuthi berkata dalam pendahuluan kitab itu: “Dan saya menjaganya dari hadits-hadits
yang hanya diriwayatkan oleh perawi-perawi palsu dan dusta.” Syaikh Muhammad
at-Tarhib yang tidak mendapatkan penjelasan dari al-Mundziri tidak lemah. Seperti
Sayyid Sabiq banyak menampilkan hadits-hadits dari kitab tersebut.Mugkin beliau tidak
paham pernyataan yang dijelaskan sendiri oleh al-Mundziri dalam pendahuluan kitabnya
keduanya, saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ begitu juga dengan hadits-hadits mursal
(tersampaikan), munqati’ (terputus), mu’dhal (rumit), atau di antara para perawinya ada
perawinya yang samar, lemah yang dipercayakan atau terpercaya yang dilemahkan,
sedangkan perawi-perawi yang lain terpercaya atau ucapan mereka tidak berbahaya,
muttasil (bersambung) tetapi otentik kemursalannya, atau hadits yang lemah sanadnya
tetapi telah dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian oleh para pentakhrijnya, hadits-
hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ juga, kemudian saya jelaskan
yang beragam, saya berkata: “Hadits ini telah diceritakan oleh Fulan dari riwayat Fulan,
melalui jalur Fulan dalam rantai periwayatannya ada Fulan dan lain sebagainya.
Apabila dalam rantai periwayatan hadits ada perawi yang pendusta, perawi hadits
haditsnya, rusak, gugur, tidak dianggap, sangat atau sekedar lemah, atau saya tidak
diperbaiki, maka hadits-hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘Ruwiya’. Saya
tidak menyebut perawi itu dan apa yang disebut-sebut tentang dirinya. Dengan ini maka
sanad yang lemah mempunyai dua petunjuk: disahkan dengan kata-kata ‘ruwiya’ dan
mutlak.40Sudah diketahui oleh ahli ilmu bahwa hadits akan menjadi kuat dan dapat
dijadikan hujjah apabila diriwayatkan dari berbagi jalur, meskipun secara tersendiri
kelemahan para perawinya berbagai jalur berada pada jeleknya hafalan mereka, bukan
pada kejujuran atau keberagaman mereka yang dipertanyakan, yang hal ini menyebabkan
Beginilah apa yang disalin oleh peneliti hadits al-Munawi, dalam Faidh al-Qodir
dari para ulama, mereka berkata: “Jika sudah parah, kelemahan itu tidak dapat diperbaiki
Meskipun banyak jalur karena kelemahan yang berat dan tidak bisa diperbaiki.
Berbeda jika masih ringan, kelemahan itu dapat diperbaiki dan diperkuat.Bagi orang yang
para perawi masing-masing jalur, sehingga menjadi jelas apakah hadits itu memiliki