Anda di halaman 1dari 25

BAB III

A. Hadits Shahih Menurut Ulama Hadits

Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).

Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah,

sempurna dan yang tidak sakit.

Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang

sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga

bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat

tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).1

Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan

Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang

disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang

‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak

mengandung ‘illat (cacat)”.2

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr lebih

ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang

‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber-

syâdz”.3

Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui lima

macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua, para

1
Shubhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun 1988, hal.
145.
2
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-Maktabah al-Islamiyah al-
Madinah al-Munawwarah, tahun1972, hal. 10.
3
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr, Maktabah al-
Munawwar, Semarang, tth., hal. 51.
periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan

kelima, terhindar dari ‘illat.

1. Sanad Bersambung (Ittishâl al-Sanad)

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam

sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan

itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu.4 Persambungan sanad itu

terjadi semenjak (penghimpun riwayat hadits dalam kitabnya) sampai pada periwayat

pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi

Saw.

Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad pertama sampai sanad

terakhir dari kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad saw, atau persambungan itu

terjadi mulai dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai periwayat terakhir

(mukharrij hadits).

Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadits dinamai dengan

sebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M) menamainya

dengan hadits musnad. Hadits musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadits yang

disandarkan kepada Nabi Saw (sebagai hadits marfu’), sanad hadits musnad ada yang

bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’).5 Pendapat ini,

menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M), merupakan pendapat yang diikuti oleh

mayoritas ulama hadits.6 Dengan demkian, menurut kebanyakan ulama hadits, hadits

musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ belum tentu

4
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami , ttp., tahun1975, hal. 162.
5
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 39.
6
Syam al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughts Syarh Alfiyah al-Hadits li al-
‘Irâq, al-Maktabah al-Salafiyah, al-Madinah al-Munawwarah, juz I, tahun 1968), hal. 99.
hadits musnad. Hadits marfu’ dapat disebut sebagai hadits musnad bila seluruh

rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal sampai akhir.

Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadits

muttashil atau mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi, yang dimaksud

dengan hadits muttashil atau mawshul adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik

persambungan itu sampai kepada Nabi Saw maupun hanya sampai kepada sahabat

Nabi Saw saja.7 M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits muttashil atau

mawshul ada yang marfu’ (disandarkan pada nabi), ada yang mawkuf (disandarkan

pada sahabat), dan ada juga yang maqthu’(disandarkan pada tabi’in). jika

dibandingkan dengan hadits musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadits musnad

pasti muttashil atau mawshul, tetapi tidak semua hadits muttashil atau mawshul pasti

musnad.8

Dengan kata lain, ketersambungan hadits muttashil atau mawshul tidak bisa

dijadikan sebagai patokan penentuan keshahihan suatu hadits berbeda dengan

ketersambungan hadits Musnad, karena hadits muttashil atau mawshul ada yang

tersambung sampai Nabi Saw, ada yang hanya tersambung pada sahabat saja bahkan

ada pula yang hanya sampai tabi’in sehingga dibalik ketersambungan sanad itu ada

kemungkinan terdapat keterputusan informasi dari Nabi Saw. Berbeda dengan hadits

musnad yang dipastikan ketersambungan sanadnya sampai Nabi Saw, sehingga dapat

dijadikan patokan untuk kriteria sanad bersambung sebagaimana dijelaskan diatas.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadits, menurut M.

Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

7
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits, ‘Abd al-Rahman
Muhammad, Kairo, tth., hal. 6.
8
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1995), hal. 127-128.
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang dilakukan:

(1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karya

al-Mizzi, Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan kitab al-

Kasyif oleh Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi.

(2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal

sebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith), serta tidak suka melakukan

tadlis (menyembunyikan cacat), - apakah antara para periwayat dengan

periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada

masa lampau dan hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits.

c. Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits) yang menghubungkan

antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad. Kata-kata yang

dipakai dalam sanad berupa: Haddatsani, Haddatsana, Akhbarani, Akhbarana,

Sami’tu, ‘An, Anna, dan sebagainya.9

Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu hadits

dinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para

periwayat dipastikan benar-benar meriwayatkan hadits dari periwayat terdekat

sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan murid,

atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

2. Periwayat Bersifat ‘Adil

Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadits disebut

‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beragama Islam,

9
Ibid,. halaman. 128.
tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.10 Ibn al-Shalah menetapkan lima

kriteria seorang periwayat disebut ‘adil, yaitu beragama Islam, baligh, berakal,

memelihara maru’ahdan tidak berbuat fasik.11

Berdasarkan peryataan para ulama di atas diketahui berbagai kriteria

periwayat hadits dinyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah (1)

beragama Islam; (2) baligh; (3) berakal; (4) takwa; (5) memelihara maru’ah; (6)

teguh dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9)

tidak berbuat bid’ah; dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian banyak kriteria di atas

kemudian diringkas menjadi empat kriteria, yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukalaf;

(3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4) memelihara maru’ah.

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadits ulama telah menetapkan

beberapa cara, yaitu pertama, melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan

ulama hadits. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn

Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan ke‘adilannya. Kedua, penilaian dari para

kritikus periwayat hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan

kekurangan (al-Tarjih) yang ada pada diri periwayat hadits. Ketiga, penerapan kaidah

al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadits tidak

sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.12

Ketiga cara di atas diprioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang

berikutnya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadits dapat diketahui melalui

popularitas keutamaannya dikalangan para ulama. Jika seorang periwayat hadits

terkenal dengan keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri, maka

10
Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al-Mutanabbih, Kairo, tth., hal. 53.
11
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 94.
12
M. Syuhudi Ismail, op.cit., halaman. 134.
dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat ‘adil, namun

berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits diketahui bahwa ia bersifat ‘adil,

maka ditetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat

tentang ‘adil tidaknya seseorang periwayat hadits, maka digunakanlah kaidah-kaidah

al-jarh wa al-ta’dil.

Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti seorang

periwayat hadits yang terkenal ‘adil tidak dapat dinilai dengan penilaian yang

berlawanan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat hadits maupun

berdasar penetapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan seseorang

didahulukan sebab kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan

mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara

yang kedua yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.

Demikian pula, seorang periwayat hadits yang dinilai ‘adil oleh seorang atau

beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka

penilaian tersebut yang digunakan, bukan dengan menetapkan kaidah al-jarh wa al-

ta’dil. Sebab, para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat

hadits yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyata

terjadi perbedaan pendapat di kalangan kritikus periwayat tentang kualitas seorang

periwayat hadits.

3. Periwayat Hadits Bersifat Dhâbith

Untuk hadits shahih, para periwayatnya berstatus dhâbith. Secara sederhana

kata dhâbith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan hafalan ini sama

pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi,


maka kata dhâbith terkait dengan kualitas intelektual.Dhâbithbukan hanya hafalan

para periwayat saja tapi juga catatannya.

Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang

yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan objektif

tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara informasi itu.

Sebaliknya, orang yang mampu memelihara, hafal dan paham terhadap informasi

yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi

yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadits

keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadits kemudian dijadikan

satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil

dan dhâbith.

Dikalangan ulama, pengertian dhâbith dinyatakan dengan redaksi yang

beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang

disebut dhâbith orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan

mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki. 13

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib sesorang disebut dhâbithyaitu keterjagaan

seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengar serta

menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain.14

Sementara itu, Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhâbith

adalah orang yang mendengarkan riwayat hadits sebagaimana seharusnya, memahami

dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna dan memiliki

13
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, op.cit., halaman. 13.
14
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Parma ,Jakarta, tahun 2007, hal.
203.
kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu

sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.15

Ini merupakan terjemahan harfiah dari kata Hafidz yang sebenarnya

mengandung makna memelihara atau menjaga baik di hafalan maupun catatannya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama hadits diatas,

M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dhâbith adalah:

Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah

didengar. Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik

riwayat hadits yang telah didengar, dengan kemungkinan pertimbangan bahwa: (1)

Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka

dengan sendirinya ia telah memahami apa yang telah dihafalnya. (2) Dipentingkan

bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa

yang diriwayatkannya. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karena orang yang

hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu,

pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an menurut sebagian ulama diatas.

Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didengar

atau diterimanya. Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat

disebut sebagai orang yang dhâbith, meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-

dhâbith-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada

kemampuan pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadits

dengan baik dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan pemahaman terhadap

hadits tersebut, maka tingkat ke-dhâbith-an lebih tinggi dari periwayat tersebut.

15
Shubhi al-Shalih, op.cit., halaman. 128.
Ketiga, periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang dihafal dengan

baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada

orang lain. Kemampuan hafal yang dituntut dari seseorang periwayat, sehingga ia

disebut seorang yang dhâbith adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat

kepada orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini dimaksudkan pada

kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai

batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab lainnya.

Periwayat hadits yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau

sebab lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah, Rabi’ah al-

Ra’i ibn Abi ‘Abd al-Rahman.16 Periwayat yang mangalami kemampuan hafalan

tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhâbith sampai saat sebelum mengalami

perubahan, sebaliknya periwayat yang mengalami perubahan hafalan dinyatakan

tidak dhâbith.

Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil, periwayat yang dhâbith dapat

diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dhâbith-an periwayat

hadits menurut berbagai pendapat ulama adalah:

(1) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama;

(2) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya

dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-

dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat

harfiah;

16
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, al-Mughn fi al-Dhu’afa’ Dar al-Ma’arif, Suriah, tahun
1971, juz I, hal. 177, 230, 256, 264, 268-269, juz II, hal. 412.
(3) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhâbith

asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan

dalam riwayat hadits, maka tidak disebut dhâbith.17

Kualitas ke-dhâbith-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama. Ada

periwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada yang dhâbith saja bahkan ada yang

kurang dhâbith serta tidak dhâbith. Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang

dhâbith dapat dikelompokkan pada hadits shahih.

Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang kurang dhâbith dapat

dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal hadits yang

diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadits itu

kepada orang lain.

Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap hadits yang

diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadits dan

hadits yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadits dha’if.

4. Terhindar dari Syâdz

Secara bahasa, Syâdz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti

menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits yang diriwayatkan oleh

periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat periwayat yang lebih tsiqah.18

Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadits.

Menurut al-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila diriwayatkan

oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak

periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung Syâdz bila

17
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, al-Mathba’ah al-
Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987, hal. 50.
18
M. Syuhudi Ismail, op.cit., halaman. 117.
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah

tidak meriwayatkannya.19

Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1)

hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para periwayat hadits seluruhnya tsiqah;

dan (3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-Hakim,

suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya diriwayatkan

oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.

Sebaliknya, menurut al-Syafi’i, suatu hadits tidak mengandung Syâdz apabila:

(1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang tidak

tsiqah.

5. Terhindar dari ‘Illat

Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah

tampak shahih, maka hadits itu dinamakan hadits mu’allal, yaitu hadits yang

mengandung ‘illat. Kata al-Mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (ia

mencacatkannya).20 Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit,

dan keburukan.21 Menurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi

yang dapat merusak keshahihan hadits.22 Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-

Din‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak

19
Al-Hakim al-Naysaburi, op.cit., halaman. 119.
20
Mahmud al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadits, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya, tth., hal. 100-101.
21
Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arâb, Dar al-Mishriyah, Mesir, juz XII, tth., hal. 498
dan Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbâh, juz II, hal. 509.
22
Mahmud al-Thahan,op.cit., halaman. 100-101.
kualitas hadits, yang menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualits

shahih menjadi tidak shahih.23

Sebagai sebab kecacatan hadits, pengertian ‘illat di sini berbeda dengan

pengertian ‘illat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat

hafalan. Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’n

atau al-jarh dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum. Cacat

umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi hadits yang

mengandung cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut Shalah al-Din

al-Adhabi, yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah hadits yang diriwayatkan

oleh seorang periwayat tsiqah, yang berdasarkan telaah seorang kritikus ternyata

mengandung ‘illat yang merusak keshahihannya, meski secara lahiriah tampak

terhindar dari ‘illat tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari ‘illat

tetapi setelah diteliti ternyata mengandung ‘illat yang merusakkan keshahihannya.24

Dilihat dari segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz, yaitu

keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam hadits

mu’allal, ‘illatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits syadz tidak karena

dalam hadits syadz memang tidak terdapat ‘illat. Sebagimana telah dijelaskan, tidak

adanya ‘illat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu hadits. Jika sesuatu

hadits mengandung ‘illat, maka hadits dinyatakan tidak shahih. mrnurut istilah ahli

hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits.

23
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 81. Abu Zakariya Yahya ibn
Syarf al-Nawawi, hal. 10, dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr,
Damaskus, tahun 1997) hal. 447.
24
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Aflaq al-Jadidah, Beirut, tahun 1983 M, hal. 147.
Ini berarti, suatu sebab yang tidak tersembunyi dan tidak samar serta tidak merusak

keshahihan hadits tidak disebut ‘illat.

Mengetahui ‘illat suatu hadits tidak mudah sebab membutuhkan upaya

menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat diketahui selain

orang yang ahli dalam bidang ilmu hadits. Tidak banyak orang yang dapat

menyingkap ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini,

Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan al-Daruqutni.25

Menurut al-Khathib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat hadits adalah

dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan diantara para

periwayatnya dan memperhatikan status hafalan, keteguhan dan kedhabithan

masing-masing periwayat.26 Menurut ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, untuk mengetahui

‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham).27 Sebagian ulama menyatakan bahwa orang

yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan

hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya

tentang berbagai tingkat ke-dhabithan periwayat, dan ahli dibidang sanad dan matan

hadits.28 Al-Hakim al-Naysaburi berpendapat, acuan utama peneliti ‘illat hadits

adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.29

Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada sanad dan

matan sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Masing-

25
Mahmud al-Thahan,op.cit., halaman. 99-100.
26
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi,op.cit., halaman. 148.
27
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar
al-Fikr, Beirut, juz I, tahun 1988, hal. 252.
28
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,op.cit., halaman. 81.
29
Al-Hakim al-Naysaburi, op.cit., halaman. 112.
masing hadits, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau pada sanad dan matan

sekaligus dapat disebut dengan hadits mu’allal.

Baik hadits shahih maupun hadits hasan telah dikodifikasikan oleh para

ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu ada yang hanya memuat

hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhari karya al-Imam al-Bukhari

(194-256 H) dan kitab Shahih Muslim oleh Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261 H). Ada

pula kitab-kitab yang disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits

hasan dan hadits dha’if seperti kitab-kitab sunan yang empat, yaitu Sunan Abi

Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan al-Turmudzi karya Abu

‘Isa al-Turmudzi (209-279), Sunan al-nasa’i karya Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i

(215-303 H), Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qazwini (209-273 H). Hadits-

hadits shahih terdapat pula dalam Musnad Ahmad karya Ahmad ibn Hanbal dan

dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik ibn Anas.

B. Hadits Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memahami hadits shahih mengikuti

ulama hadits sebelumnya. Beliau cenderung mendefinisikan Hadits shahih mengikuti

dengan definisi hadits shahih Menurut imam Ibn al-Shalah, yaitu hadits yang disandarkan

kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan

dhâbith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak

ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat).30

Metode beliau dalam menilai hadits shahih terlihat dalam salah satu kitabnya

yang berjudul Tamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah. Dalam kitab tersebut

30
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, ‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-Islamiyah, al-
Madinah al-Munawwarah, tahun 1972), hal. 10.
tertuang pedoman-pedoman pokok yang harus diketahui oleh setiap orang yang

berkepentingan dengan penguasaan ilmu hadits.

Pedoman Pertama: Menolak hadits Syadz. Salah satu syarat hadits shahih ialah

tidak ada syadz. Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang

dapat dipercaya dan diterima periwayatannya, namun bertentangan dengan riwayat lain

yang memiliki tinggat validasi lebih tinggi. 31

Pedoman yang kedua: menolak hadits mudhtharib(goncang). Salah satu syarat

hadits shahih ialah tidak memiliki ‘illah (cacat), dan ketahuilah bahwa goncang itu

tergolong cacatnya hadits.32

Dinamakan hadits goncang jika dua riwayat itu sejajar, apabila salah satunya lebih

unggul dari yang lain seperti penerima riwayat lebih kuat hafalannya dan lebih banyak

berkumpul atau bertemu dengan pemberi riwayat maka yang unggul itu tidak disebut

hadits goncang. Kegoncangan ini bisa terjadi pada redaksi hadits, mata rantai hadits, pada

seorang perawi dan pada perawi secara jama’ah.

Pedoman yang ketiga: menolak hadits mudallas (penipuan/pengaburan).33Hadits

Mudallas menurut istilah hadits yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa

hadits itu tidak bercacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut al-Mudallis,

haditsnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut al-tadlis.

Pedoman yang keempat: menolak hadits majhul (perawi yang tidak dikenal).34

Dalam al-Kifayah halaman 88 al-Khatib berkata: “al-Majhul dari ahli hadits ialah orang

yang tidak populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama.” Orang

31
Muhammad Nashiruddin al-Albani, TerjemahanTamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah,
Maktabah salafy Press, Tegal, tahun 2001, hal. 2
32
Ibid, halaman 4.
33
Ibid, halaman 5.
34
Ibid, halaman 7.
ini hanya meriwayat hadits dari satu sumber. Ketidak kenalnya akan terangkat sedikit

karena adanya dua atau lebih perawi yang terkenal keilmuannya yang meriwayatkat

hadits darinya.

Pedoman yang kelima: tidak mengandalkan tautsiq Ibnu Hibban.35Telah

dijelaskan pada pedoman keempat bahwa hadits majhul tidak dapat diterima riwayatnya

menurut jumhur ulama terkecuali Ibnu Hibban. Karena beliau menerima hadits majhul

dan menjelaskan argumentasinya dalam shahihnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan berkata: Ibnu Hibban mengatakan

bahwa orang yang teringkari haditsnya tidak boleh dipercaya. Jika ia meriwayatkan

hadits-hadits munkar tetapi tidak bertentangan dengan hadits-hadits terpercaya, maka ia

termasuk perawi yang ‘adil dan dapat diterima riwayatnya, karena manusia pada dasar

baik dan ‘adil ucapannya kecuali jika jelas-jelas ia melakukan hal yang tercela. Hukum

ini berlaku pada perawi yang terkenal. Adapun perawi yang tidak dikenal yang hanya

menurunkan perawi-perawi lemah, mereka ditinggalkan dalam kondisi kemajhulan

mereka (adh-Dhu’afa: II/192,193).

Al-Hafidz berkata:“pendapat Ibnu Hibban terhadap perawi yang telah hilang dan

ketidak kenal pribadinya berarti adil adalah pendapat yang aneh, dan kebanyakan ulama

menentangnya. Jalan yang ditempuh Ibnu Hibban dalam kitab karangannya Kitabuts-

Tsiqat menyebutkan bahwa sejumlah perawi yang dicatat olah Abu Hatim dan yang lain

adalah tidak dikenal, dan seakan-akan Ibnu Hibban berpendapat bahwa ketidak kenal

pribadi perawi akan terangkat oleh satu perawi terkenal. Ini pendapat gurunya, Ibnu

Khuzaimah.

35
Ibid, halaman 9-13.
Dalam karyanya diatas, Ibnu Hibban dengan berpegang pada kaidah yang

diunggulkan, menuliskan sekelompok perawi yang dia tidak mengenal baik mereka

maupun bapak-bapak mereka. Ibnu Hibban berkata dalam ath-Thabaqah ketiga: “Sahl

meriwayatkan dari Shaddad bin al-Hadi dan darinya Abu Ya’fur meriwayatkannya. Saya

tidak mengenalnya dan saya tidak tahu siapa bapaknya.” Tautsiq Ibnu Hibban terhadap

seseorang yang hanya disebutkan pada karyanya ini berada pada tingkat yang paling

rendah.

Oleh sebab itu para peneliti hadits, seperti adz-Dzahabi, al-Asqalani dan yang lain

tidak mempercayai orang yang hanya dipercaya oleh Ibnu Hibban. Hal yang yang perlu

diperhatikan ialah bahwa kata-kata Abdul Hadi: “Dan jika ia tidak dikenal maka

keadaannya pun tidak dapat diketahui.” Bukan pendapat yang tepat, sebab mengandung

pengertian bahwa Ibnu Hibban tidak menyebutkan perawi yang tidak dikenal pribadinya

dalam karyanya Kitab ats-Tsiqat. Padahal kenyataannya tidak demikian, seperti

dibuktikan oleh pernyataannya dalam “Sahl”: “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak

tahu siapa bapaknya.”

Begitu juga pendapat al-Hafidz: dengan riwayat dari satu orang yang terkenal

mengandung praduga bahwa Ibnu Hibban memberi kepercayaan hanya kepada orang

yang menurunkan satu perawi masyhur, sebab jika yang dimaksud masyhur (terkenal)

oleh al-Hafidz adalah terpercaya, berarti ia bertentangan dengan kenyataan kebanyakan

tingkat-tingkat orang-orang yang dipercaya oleh Ibnu Hibban. Jika bukan itu yang

dimaksud, maka pendapat ini tidak ada nilainya, sebab baik yang lemah maupun yang

majhul sama-sama mempunyai perawi dalam kitab ats-Tsiqat. Dibawah ini ada sebagian

contoh dari para tabi’in yang dicatatnya:


1. Ibrahim bin Abd ar-Rahman al-‘Udzri

Dikatakan olah Ibnu Hibban (4/10): “ia meriwayatkan hadits-hadits mursal dan

menurunkan riwayat kepada Mu’an bin Rifa’ah.” Kemudian ia menyebutkan salah

satu hadits dengan sanad mursal: “Ilmu ini diwarisi oleh setiap penerusnya yang

adil…” al-hadits.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: Dan Mu’an ini, kata al-Hafidz

sendiri adalah lemah haditsnya. adz-Dzahabi berkata: Ia bukan pokok. Lebih-lebih ia

seorang yang didatangkan tidak diketahui siapa dia. Yakni Ibrahim, ia tidak dikenal

pribadinya. Dan dijelaskan olah Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa tentang Mu’an: ia

munkar haditsnya, meriwayatkan hadits-hadits yang mursal menceritakan dari orang-

orang yang tidak dikenal. Haditsnya tidak bisa menyerupai hadits perawi-perawi yang

teguh.

2. Ibrahim bin Isma’il

Dikatakan (IV/4-15): “ia meriwayatkan dari Abu Hurairah dan dari nya al-Hajjaj bin

Yasar meriwayatkan.”

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: al-Hajjaj ini disebut juga Ibnu

‘Ubaid- kata al-Hafidz, ia tidak dikenal. Dalam al-Mizan, Adz-Dzahabi berkata:”

Darinya hanya Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan.” Dan Laits ini lemah dan kabur

riwayatnya seperti apa yang diketahui, bahkan menurut Ibnu Hibban sendiri.

3. Ibrahim al-Anshari

Ibnu Hibban berkata (IV/15): “Ia meriwayatkan dari Maslamah bin Makhlad, dan

darinya anak Isma’il bin Ibrahim meriwayatkan.”


Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: Isma’il ini tidak dikenal. Begitu

kata al-Hafidz dan orang sebelumnya, yaitu Abu Hatim.

Dari penyelidikan ini jelaslah bahwa menurut Ibnu Hibban, ‘Jahalatul ‘ain’(ketidak

dikenalan pribadi) akan terangkat oleh satu riwayat meskipun lemah dan majhul.

Berbeda dengan pendapat al-Hafidz terdahulu secara lahir, meskipun tidak

menyatakan dengan tegas, beliau berkata: “dan seakan-akan Ibnu Hibban…” beliau

menjalin kata-kata Ibnu Hibban: “Ini ketentuan perawi-perawi masyhur. Adapun

perawi-perawi yang tidak dikenal…” dst. Ini dibatalkan oleh contoh kedua

sebagimana apa yang tampak.

Secara garis besar, ketidak kenalan pribadi itu saja menurut Ibnu Hibban bukanlah

cacat. Keyakinan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bertambah terhadap hal ini

Setelah mempelajari penjalasan-penjelasan di dalam karyanya: adh-Dhu’afa, dimana

jumlah perawi lemah hampir mencapai 1400. Saya tidak melihat dari mereka yang

dinyatakan tidak dikenal, kecuali empat perawi saja, dan Ibnu Hibban mencela mereka

bukan karena mereka tidak dikenal, tetapi karena meriwayatkan hadits-hadits munkar.

Mereka itu adalah:

1. Humaid bin Ali bin Harun al-Qaisi.

Disebutkan olah Ibnu Hibban beberapa hadits munkar yang diriwayatkannya. Ibnu

Hibban berkata: “Ia tidak boleh dijadikan hujjah setelah meriwayatkan hal-hal seperti

ini dari perawi-perawi terpercaya, karena banyak orang yang tidak mengenalnya.”

2. Abdullah bin Abu laila al-Anshari.


Ibnu Hibban berkata: Orang ini tidak dikenal. Saya tidak mengetahui darinya sesuatu

apapun kecuali huruf Munkar yang ia riwayatkan yang disaksikan kebathilan oleh

ijma’ semua kaum muslimin.

3. Abdullah bin Ziyad bin Sulaim.

Ibnu Hibban berkata: “Ia Syaikh yang tidak dikenal. Darinya Baqiya bin al-Walid

meriwayatkan. Saya tidak hafal perawinya kecuali Baqiya. Kelemahan riwayat

Baqiya ini saya sebutkan pada bagian pertama karya saya. Oleh karena itu, saya tidak

sempat mencelanya, padahal apa yang diriwayatkannya harus ditinggalkan dalam

segala hal.”

4. Abu Zaid.

Dikatakan (III/158): “Abu Zaid meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud hadits yang tidak

dapat di telusuri. Tidak diketahui siapa dia, siapa bapak dan dari mana ia berasal.

Orang yang memiliki sifat seperti ini kemudian meriwayatkan hanya satu hadits,

berarti ia bertentangan dengan al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan ijtihad dan ia harus

dijauhi serta tidak boleh dijadikan hujjah.”

Ibnu Abdul Hadi berkata tentang hal ini: “Caranya dalam hal ini ialah menyebutkan

orang tidak dikenal cacat, dan jika ia tidak dikenal berarti tidak dikenal keadaannya.”

Yang benar adalah disebutkan: “tidak dikenal pribadinya,” sebagai contoh-contoh

terdahulu. Wallahu A’lam.

Intinya bahwa rekomendasi Ibnu Hibban harus lebih diwaspadai karena berbeda

dengan ulama-ulama lain dalam merekomendasikan orang-orang yang tidak dikenal.

Tetapi itu tidak mutlak sebagaimana dijelaskan oleh al-Mu’Allimi dalam at-Tankil

(I/437-438).
Hal yang perlu diperhatikan ialah masalah penting dalam pernyataan al-Mu’allimi

yang sedikit sekali disadari orang, bahkan dilalaikan oleh kebanyakan penuntut ilmu. Hal

tersebut ialah menyampaikan riwayat hadist mungkar adalah orang yang jujur yang dapat

dijadikan pegangan. Berkaitan dengan hal ini,al-albani menguatkan beberapa hadist

seperti hadist tentang bangkit dari sujud dalam shalat. Beberapa penuntut ilmu mengira

bahwa al-albani mengingkari pendapatnya sendiri dan sependapat dengan Ibnu Hibban

dalam melemahkan hadist ‘ajn (bangkit dari sujud dengan menyandarkan tangan

(mengepal) diatas tempat sujud).

Pedoman yang keenam: para perawinya adalah para perawi hadits shahih. bukan

penilaian shahih atas suatu hadits.36Peryataan ahli hadits “Para perawinya adalah para

perawi hadits shahih” atau “Para perawinya adalah orang-orang terpercaya,” tidak sama

dengan peryataan “Rantai periwayatannya itu shahih.” Karena peryataan yang kedua

menujukkan adanya semua persyaratan keotentikan seperti terbebas dari cacat. Adapun

pernyataan pertama hanya menunjukkan satu syarat yaitu tentang keadilan dan

dipercayanya para perawi bukan menunjukkan keotentikan suatu hadits.

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu jika hadits yang dibahas meskipun

terbebas dari cacat-cacat, tidak otomatis hadits tersebut hadits shahih, karena terkadang

dalam rantai periwayatannya ada seorang perawi yang tidak menjadikan hadits tersebut

sebagai acuan, tetapi ia meriwayatkannya sekedar sebagai saksi, karena ia lemah

hafalannya, atau termasuk perawi yang direkomendasikanoleh Ibnu Hibban.

36
Ibid, halaman 14.
Pedoman ketujuh: tidak bersandar pada diamnya Abu Daud. 37 Abu Daud pernah

berkata dalam kitabnya as-Sunnah: “hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat

dalam kitab saya ini, saya jelaskan dan hadits yang tidak saya beri catatan apa-apa adalah

hadits yang layak.”

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata “layak” ini, sebagian mereka

berpendapat, bahwa maksud Abu Daud adalah hadits hasan yang dapat dijadikan hujjah

dan yang lain berpendapat lebih umum dari hal itu, sehingga pengertian hadits ini

mencangkup hadits yang dapat dijadikan hujjah dan hadits yang dapat digunakan sebagai

saksi, pendapat ini tidak terlalu lemah.

Pernyataan: “dan hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat dalam kitab saya

ini, saya jelaskan” menunjukkan pengertian bahwa Abu Daud tidak menjelaskan hadits

yang tidak terlalu lemah. Jadi, tidak setiap hadits yang dijelaskan oleh Abu Daud itu

hasan menurutnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya banyak hadits riwayat Abu Daud

yang tidak diragukan kelemahannya karena tidak ada penjelasan dari beliau. Imam

Nawawi mengomentari sebagian hadits tersebut: “Abu Daud tidak menjelaskan

kelemahan hadits ini karena sudah jelas.”

Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani tentang tidak bersandar pada

diamnya Abu Daud telah diunggulkan oleh para ulama peneliti hadits seperti Ibnu

Mandah, adz-Dzahabi, Ibnu Abdil dan Ibnu Katsir. Peryataan mereka telah disalin beliau

kedalam mukaddimah kitabnya Shahih Abu Daud.

Pedoman kedelapan: kode-kode as-Suyuthi dalam Jami’ as-Shaghir tidak dapat

dipercaya,38karena dua hal yaitu:

37
Ibid, halaman 16.
38
Ibid, halaman 18.
Pertama, adanya perubahan kode-kode as-Suyuthi yang dilakukan oleh para

penyalin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sering menemukan hadits as-

Suyuthi yang diberi kode berbeda dengan apa yang disalin oleh pensyarahnya al-Munawi

dan as-Suyuthi sendiri, beliau menyalin al-Jami’ dengan tulisan tangan pengarangnya,

sebagaimana beliau pada permulaan syarhnya, seraya berkata: “Adapun kode-kode

tentang hadits shahih, hasan dan dha’if dengan inisial huruf shad, ha’ dan dhad dalam

beberapa naskah, tidak selayaknya untuk dapat dipercaya, karena sudah ada perubahan

dari para penyalinnya pada sebagian hadits-hadits yang beliau tulis sebagimana yang

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani lihat.

Kedua, as-Suyuthi dikenal kurang hati-hati dalam menshahihkan atau

mendha’ifkan hadits, sehingga banyak hadits yang beliau nilai shahih atau hasan ternyata

dibantah oleh pensyarahnya, al-Munawi. Hadits yang terbantah ini mencapai ratusan.

Begitu juga dalam al-Jami’ banyak terdapat hadits-hadits maudhu’ (palsu). Padahal as-

Suyuthi berkata dalam pendahuluan kitab itu: “Dan saya menjaganya dari hadits-hadits

yang hanya diriwayatkan oleh perawi-perawi palsu dan dusta.” Syaikh Muhammad

Nashiruddin al-Albani pernah menghitung hadits-haditsnya yang maudhu’ hingga

mencapai kurang lebih 1000 hadits.

Pedoman kesembilan: diamnya al-Mundziri tidak mengukuhkan hadits dalam at-

targhib.39Dikarenakan banyak orang menduga bahwa hadits-hadits dalam at-Targhib wa

at-Tarhib yang tidak mendapatkan penjelasan dari al-Mundziri tidak lemah. Seperti

Sayyid Sabiq banyak menampilkan hadits-hadits dari kitab tersebut.Mugkin beliau tidak

paham pernyataan yang dijelaskan sendiri oleh al-Mundziri dalam pendahuluan kitabnya

halaman 4 di bawah ini:


39
Ibid, halaman 20.
Maka jika rantai periwayatan hadits itu shahih dan hasan atau mendekati

keduanya, saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ begitu juga dengan hadits-hadits mursal

(tersampaikan), munqati’ (terputus), mu’dhal (rumit), atau di antara para perawinya ada

perawinya yang samar, lemah yang dipercayakan atau terpercaya yang dilemahkan,

sedangkan perawi-perawi yang lain terpercaya atau ucapan mereka tidak berbahaya,

muttasil (bersambung) tetapi otentik kemursalannya, atau hadits yang lemah sanadnya

tetapi telah dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian oleh para pentakhrijnya, hadits-

hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ juga, kemudian saya jelaskan

ketersampaian, keterputusan atau kerumitannya, dan saya jelaskan pula perawi-perawinya

yang beragam, saya berkata: “Hadits ini telah diceritakan oleh Fulan dari riwayat Fulan,

melalui jalur Fulan dalam rantai periwayatannya ada Fulan dan lain sebagainya.

Apabila dalam rantai periwayatan hadits ada perawi yang pendusta, perawi hadits

maudhu’, tercurigai atau disepakati untuk ditinggalkan atau dilemahkan, hilang

haditsnya, rusak, gugur, tidak dianggap, sangat atau sekedar lemah, atau saya tidak

melihat kepercayaan pada dirinya sehingga tidak ada tanda-tanda kemungkinan

diperbaiki, maka hadits-hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘Ruwiya’. Saya

tidak menyebut perawi itu dan apa yang disebut-sebut tentang dirinya. Dengan ini maka

sanad yang lemah mempunyai dua petunjuk: disahkan dengan kata-kata ‘ruwiya’ dan

tidak ada pembicaraan pada bagian akhirnya.

Pedoman kesepuluh: mengukuhkan hadits dalam banyak jalur tidk bersifat

mutlak.40Sudah diketahui oleh ahli ilmu bahwa hadits akan menjadi kuat dan dapat

dijadikan hujjah apabila diriwayatkan dari berbagi jalur, meskipun secara tersendiri

masing-masing jalur itu lemah. Ini tidak bersifat mutlak.


40
Ibid, halaman 22.
Artinya, menurut para penenliti hadits, Kekuatan hadits ini tetap ada jika

kelemahan para perawinya berbagai jalur berada pada jeleknya hafalan mereka, bukan

pada kejujuran atau keberagaman mereka yang dipertanyakan, yang hal ini menyebabkan

tidak kuatnya hadits meskipun banyak memiliki jalur.

Beginilah apa yang disalin oleh peneliti hadits al-Munawi, dalam Faidh al-Qodir

dari para ulama, mereka berkata: “Jika sudah parah, kelemahan itu tidak dapat diperbaiki

denga mendatangkannya dari sisi lain meskipun banyak jalur.”

Meskipun banyak jalur karena kelemahan yang berat dan tidak bisa diperbaiki.

Berbeda jika masih ringan, kelemahan itu dapat diperbaiki dan diperkuat.Bagi orang yang

ingin memperkuat hadits dengan banyaknya jalur periwayatan hendaknya memperhatikan

para perawi masing-masing jalur, sehingga menjadi jelas apakah hadits itu memiliki

kelemahan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai