Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Cedera Kepala


1. Pengertian

Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi

normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma

tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,

iskemia dan pengaruh massa karena hemoragi, serta edema

cerebral disekitar jaringan otak (B.Batticaca, 2008).

2. Klasifikasi
Cedera kepala ringan adalah cedera kepala yang tidak ada

fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebri, hematom, dengan

GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30

menit (Wijaya A.S, 2013).


Cedera kepala sedang ialah cedera kepala yang dapat

mengalami fraktur tengkorak, GCS 9-12, dengan gejala

disorientasi ringan (bingung), muntah, kehilangan kesadaran

lebih dari 30 menit sampai dengan kurang dari 24 jam (Wijaya

A.S, 2013).
Cedera kepala berat adalah cedera yang ditandai adanya

kontusio serebri, laserasi, hematoma intracranial, dengan GCS 3-

8, menyebabkan kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam (Wijaya

A.S, 2013).
3. Kelainan Cedera Kepala
Epidural hematom adalah robekan pada arteri meningea

media. Hematom diantara tengkorak dan dura. Terapi dengan

evakuasi hematom melalui lubang Burr Craniotomy (Pierce A

Grace, 2007).
Subdural Hematom akut adalah robekan pada vena-vena

diantara araknoid dan duramater. Terapi dengan evakuasi namun

biasanya penyembuhan tidak sempurna (Pierce A Grace, 2007).


Subdural hematom kronik adalah robekan pada vena yang

menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar secara

perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi

penyebab cedera kepala ringan. Terapi dengan evakuasi bekuan

darah (Pierce A Grace, 2007).


Space Occupyng Lesion (SOL) merupakan generalisasi

masalah mengenai adanya lesi pada ruang intracranial khususnya

yang mengenai otak. Terdapat beberapa penyebab yang

menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio cerebri, abses otak

dan tumor intracranial (Smeltzer and Bare, 2013).


Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik

jinak/ ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak.

Tumor otak merupakan salah satu tumor susunan saraf pusat baik

ganas maupun tidak. Tumor ganas di susunan saraf pusat adalah

semua proses neoplastic yang terdapat dalam intracranial atau

dalam kanalis spinalis, yang mempunyai sebagian atau seluruh

sifat-sifat proses ganas spesifik seperti berasal dari sel-sel saraf di

meningen otak, termasuk juga tumor yang berasal dari sel


penunjang (neurolgia), sel epitel pembuluh darah dan selaput

otak (Francisca, 2008).


2.1.2 Craniotomy
1. Pengertian

Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak

(tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan

memperbaiki kerusakan otak Pembedahan tersebut bertujuan

untuk membuka tengkorak sehingga dapat mengetahui dan

memperbaiki kerusakan yang ada di dalam otak. Tindakan

bedah Intrakranial atau disebut juga craniotomy merupakan

suatu intervensi dalam kaitannya dengan masalah-masalah pada

Intrakranial (Hamilton, 2007).

2. Tahapan perioperatif

1) Pre Operatif
Tahap ini merupakan tahap awal dari

keperawatan perioperatif. Kesuksesan tindakan

pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada

tahap ini, kesalahan yang dilakukan pada tahap ini

akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Bagi perawat

perioperatif tahap ini di mulai pada saat pasien diserah

-terimakan dikamar operasi dan berakhir pada saat pasien

dipindahkan ke meja operasi (Hamlin, 2009).


Pada fase pre operatif perawat melakukan

pengkajian mengenai kondisi fisik pasien dan kelengkapan

yang berhubungan dengan pembedahan. Perawat


melakukan validasi identitas pasien sebagai data dasar

untuk mencocokan prosedur pembedahan yang akan

dilakukan, menyiapkan kelengkapan seperti hasil

laboratorium, hasil radiologi, CT Scan, melakukan

pemeriksaan fisik terutama tanda-tanda vital, melakukan

pencukuran pada bagian yang akan dilakukan pembedahan,

mengkaji kecemasan pasien, menjelaskan secara singkat

tentang prosedur yang akan dilakukan oleh tim medis dan

perawat (Mutaqin A, 2013).


2) Intra Operatif
Tahap ini dimulai setelah pasien dipindahkan ke

meja operasi dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke

ruang pemulihan. Aktivitas di ruang operasi difokuskan

untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-

masalah fisik yang mengganggu pasien tanpa

mengenyampingkan psikologis pasien. Diperlukan

kerjasama yang sinergis antar anggota tim operasi yang

disesuaikan dengan peran dan tanggung jawab masing-

masing. Salah satu peran dan tanggung jawab perawat

adalah dalam hal posisi pasien yang aman untuk

aktifitas pembedahan dan anestesi (Hamlin, 2009).

Pasien yang dilakukan pembedahan akan

mengalami berbagai prosedur, seperti prosedur pemberian

anastesi, pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis, dan


prosedur bedah Craniotomy akan memberikan implikasi

pada masalah keperawatan yang akan muncul (Mutaqin A,

2013).

Efek dari anastesi umum akan memberikan respons

depresi atau iritabilitas kardiovaskuler, depresi pernafasan,

dan kerusakan hati serta ginjal. Efek anastesi akan

mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal,

sehingga mempunyai risiko terjadinya penurunan

kemampuan jantung dalam melakukan stroke volume

efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung.

Efek intervensi bedah dengan adanya cedera vascular dan

banyaknya jumlah volume darah yang keluar dari vascular

memberikan adalah terjadinya penurunan perfusi perifer

serta perubahan elektrolit dan metabolism, karena terjadi

mekanisme kompensasi pengaliran suplai hanya untuk

organ vital (Mutaqin A, 2013).

Respon pengaturan posisi bedah terlentang akan

menimbulkan peningkatan risiko cedera peregangan

pleksus brakialis, tekanan berlebihan pada tonjolan-tonjolan

tulang yang berada dibawah, tekanan pada vena femoralis

atau abdomen, dan cedera otot tungkai.efek intervensi

bedah craniotomy membuat suatu pintu masuk (port de

entree) sehingga menimbulkan masalah risiko infeksi


intraoperasi. Selain itu juga akan meningkatkan adanya

cedera jaringan lunak (vascular otot, saraf) prosedur fiksasi

interna serta kehilangan banyak darah intraoperasi.

Intervensi bedah dengan menggunakan instrument dan

peralatan listrik memunculkan masalah risiko cedera

intraoperasi yang perlu diwaspadai perawat perioperatif

(Muttaqin A, 2013).

3) Post Operatif
Keperawatan pasca operasi adalah tahap akhir

dari keperawatan perioperatif. Selama tahap ini proses

keperawatan diarahkan pada upaya untuk menstabilkan

kondisi pasien. Bagi perawat perioperatif perawatan

pasca operasi di mulai sejak pasien dipindahkan ke

ruang pemulihan sampai diserah-terimakan kembali

kepada perawat ruang rawat inap atau ruang intensif

(Hamlin, 2009).
Proses keperawatan pascaoperatif bedah craniotomy

merupakan salah satu bagian dari asuhan keperawatan

perioperatif, dimana asuhan pascaoperatif bedah terdiri

atas : asuhan yang diberikan pada pasien dari kamar operasi

dan di ruang pulih sadar sampai kesadaran optimal, asuhan

yang dilakukan setelah kondisi stabil dari ruang pemulihan

dan dilanjutkan di ruang perawatan intensif. Fokus

pengkajian dan intervensi pascabedah craniotomy adalah


memperhatikan status respirasi, status hemodinamik, dan

penurunan risiko hipotermi (Mutaqin A, 2013)


Pasien pasca bedah craniotomy memerlukan

monitoring keadaan umum secara ketat dan seluruh organ

berfungsi dengan optimal. Fokus asuhan pasca operatif

bedah saraf di ruang intensif , meliputi : manajemen status

respirasi dan kardiovaskuler, manajemen nyeri, manajemen

ambulasi dini (Muttaqin A, 2013).


2.1.3 Pemulihan Tingkat Kesadaran
Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) yang

dilakukan setelah resusitasi paling umum dan banyak dipakai di

Internasional bahkan di literatur penelitian neurotrauma. Kelebihan

GCS adalah reliabel dan obyektif ketika dilakukan oleh penilai

yang berbeda, sederhana, berguna sebagai pedoman terapi dan

memberi informasi tentang prognosis (Stein 1996; Ross Bullock et

al, 2013).
Kendala keterbatasan pengukuran GCS antara lain jika

penderita mengalami edema palpebra, terintubasi, patah tulang

ekstremitas, intoksikasi alkohol, penggunaan obat sedasi dan

blokade muskuler, serangan kejang pasca traumatik, sehingga ada

variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman, 1996; Ross Bullock et al,

2013).

Penilaian Skala Koma Glasgow (GCS)

A.

A Respon buka mata Nilai


Spontan 4
Atas perintah / suara 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
B Respon motoric Nilai
Menurut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik 4

anggota yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3


Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
C Respon bicara Nilai
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau / bingung 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Tabel ini diambil dari : American College of Surgeon 1997,

Advance Trauma Life Support Program Student Manual, Komisi

Trauma “IKABI” (Ikatan Ahli Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi

Trauma “IKABI”, Jakarta.

Tingkat pengukuran yang menunjukkan derajat keparahan

paling berat adalah GCS 3 yaitu tidak dapat membuka mata, tidak

dapat berbicara dan tidak ada respon motorik meskipun dengan

rangsang nyeri. Sedangkan pengukuran yang menunjukkan derajat

paling ringan adalah GCS 15 yaitu membuka mata spontan,

berbicara baik berorientasi dan respon motorik sesuai perintah.

Penulisan pada catatan rekam medik E1, M1, V1 dan E4, M6, V5.

2.1.4 Ruang ICU


1. Pengertian
Intensive Care Unit (ICU) adalah ruang rawat di rumah

sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk

merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi

yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek

fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya,

sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan

kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan

intensif karena memerlukan pencatatan medis yang

berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat

dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari

penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Musilha,2010).

2. Tujuan pelayanan ICU

Menurut Musliha (2010), adapun tujuan pelayanan yang

dilakukan di ruang ICU antara lain sebagai berikut :

a. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kematian

atau cacat.

b. Mencegah terjadinya penyulit.

c. Menerima rujukan dari level yang lebih rendah dan

melakukan rujukan ke level yang lebih tinggi.

d. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.

e. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan

mempercepat proses penyembuhan pasien.

3. Indikasi Masuk ICU


Indikasi pasien yang masuk ruang ICU menurut Jacobalis

(2005) antara lain

a. Prioritas 1

Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang

memerlukan terapi intensif dan agresif seperti gangguan atau

gagal nafas akut, gangguan atau gagal sirkulasi, gangguan

atau gagal susunan syaraf, gangguan atau gagal ginjal.

b. Prioritas 2

Pemantauan atau observasi intensif secara ekslusif

atas keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman

gangguan pada sistem organ vital. Misalnya observasi

intensif pasca bedah operasi : post trepanasi, post open heart,

post laparatomy dengan komplikasi, observasi intensif pasca

henti jantung dalam keadaan stabil dan observasi pada pasca

bedah dengan penyakit jantung.

c. Prioritas 3

Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang

mempunyai harapan kecil untuk penyembuhan (prognosa

jelek). Pasien kelompok ini mugkin memerlukan terapi

intensif untuk mengatasi penyakit akutnya, tetapi tidak

dilakukan tindakan infasive intubasi atau resusitasi kardio

pulmoner.

4. Indikasi Keluar ICU


Adapun indikasi keluar ruang ICU menurut Jacobalis (2005)

sebagai berikut :

a. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup

stabil.

b. Terapi dan perawatan intensif tidak memberi hasil pada

pasien.

c. Pasien tidak menggunakan ventilator.

d. Pasien mengalami mati batang otak.

e. Pasien mengalami stadium akhir (ARDS stadium akhir).

f. Pasien / keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ruang

ICU (pulang paksa).

g. Pasien / keluarga memerlukan terapi yang lebih gawat

harus masuk ruang ICU dan tempat penuh.

2.1.5 Caring
1. Pengertian
Caring merupakan salah satu tindakan keperawatan yang

dilakukan setiap hari secara terus menerus, tulus, ikhlas, peduli

dengan masalah pasien yang dihadapi (Watson, 2011).


Caring adalah sentral untuk keperawatan, menjelaskan

kepedulian sebagai didasarkan pada seperangkat nilai-nilai

kemanusiaan yang universal (kebaikan, kepedulian, dan cinta

diri dan orang lain) (Watson, 2008).


Caring dalam keperawatan adalah fenomena transcultural

dimana perawat berinteraksi dengan klien, staf dan kelompok

lain. Perilaku caring bertujuan dan berfungsi membangun


struktur social, pandangan dan nilai kultur setiap orang yang

berbeda pada satu tempat dengan tempat lain (Dwiyanti, 2007 ).


Pengertian tentang perilaku caring perawat diatas dapat

disimpulkan bahwa perilaku caring adalah perilaku perawat

yang dilakukan untuk memberikan dukungan kepada pasien

melalui perhatian perawat terhadap hak-hak pasien.


2. Indikator Pembentuk Caring

Fokus utama dari keperawatan adalah faktor-faktor caratif

yang bersumber dari persepektif humanistik yang

dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Watson

kemudian mengembangkan 10 faktor caratif tersebut untuk

membantu kebutuhan tertentu dari pasien dengan tujuan

terwujudnya integritas fungsional secara utuh dengan

terpenuhinya kebutuhan biofisik, psikososial, dan kebutuhan

interpersonal.

a. Pendekatan humanistic dan altruistic.

Nilai-nilai humanistic-altruistik adalah nilai vital

bagi perawat dalam membantu memenuhi kebutuhan pasien.

Humanistic dan altruistic adalah sikap yang didasari pada

nilai-nilai kemanusiaan, yaitu menghormati otonomi dan

kebebasan pasien terhadap pilihan terbaik menurutnya, serta

mementingkan orang lain daripada diri sendiri.

Manifestasi caring perawat berdasarkan pengertian

humanistic nama pasien sesuai yang disenangi pasien, selalu


mendahulukan kepentingan pasien daripada kepentingan

pribadi memberikan waktu pada pasien walaupun sedang

sibuk, memperhatikan dan mendengarkan apa yang menjadi

keluhan dan kebutuhan pasien terkait dengan perawatannya

serta memberikan dukungan social untuk memenuhi

kebutuhan dan meningkatkan status kesehatannya serta

menggunakan sentuhan yang bermakna kesembuhan.

Perilaku ini dilakukan perawatan pada saat pengkajian,

perencanaan, dan implementasi serta evaluasi keperawatan

(Watson dalam Dwiyanti, 2007).

b. Menanamkan sikap penuh harapan (Faith-hope).

Perawat memberikan kepercayaan dengan cara

memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang

holistik. Dalam hubungan perawat-pasien yang efektif,

perawat memfasilitasi perasaan optimis, harapan dan

kepercayaan. Disamping itu, perawat meningkatkan perilaku

pasien dalam mencari pertolongan kesehatan.

Faktor ini juga menjelaskan tentang peran perawat

dalam mengembangkan hubungan timbal balik perawat-

pasien yang efektif dan meningkatkan kesejahteraan dengan

membantu pasien mengadopsi perilaku hidup sehat. Perawat

mendorong penerimaan pasien terhadap pengobatan yang

dilakukan kepadanya dan membantu memahami alternatif


terapi diberikan, memberikan keyakinan akan adanya

kekuatan penyembuhan atau kekuatan spiritual dan penuh

pengharapan. Manifestasi perilaku caring perawat adalah

selalu memberikan harapan yang realistic terhadap

prognosis baik maupun buruk, memotivasi pasien untuk

menghadapi penyakitnya walaupun penyakitnya termasi

terminal, mendorong pasien untuk menerima tindakan

pengobatan dan perawatan yang dilakukan kepadanya,

memotivasi dan mendorong pasien mencari alternatif terapi

secara rasional, memberi penjelasan bahwa takdir berbeda

pada setiap orang dan memberikan keyakinan bahwa

kehidupan dan kematian sudah ditentukan sesuai takdir

(Watson dalam Dwiyanti, 2007).

c. Kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Penerimaaan terhadap perasaan diri merupakan

kualitas personel yang harus dimiliki perawat sebagai orang

yang akan memberikan bantuan kepada pasien. Hal ini

mengarah kepada aktualisasi diri melalui penerimaan diri

perawat-pasien. Perawat mengakui kesensitivan perasaan

pasien, mengalami, mengakui, dan mengkomunikasikan

perasaannya yang berbeda dengan perasaan pasien dengan

keunikannya. Manifestasi perilaku caring adalah bersikap

empati dan mampu menempatkan diri pada posisi pasien,


ikut merasakan atau prihatin terhadap ungkapan penderitaan

yang diungkapkan pasien serta siap membantu setiap saat,

dapat mengendalikan perasaan ketika bersikap kasar

terhadap diri (perawat) dan mampu meluluskan keinginan

pasien terhadap sesuatu yang logis (Watson dalam Dwiyanti,

2007).

d. Hubungan saling percaya dan saling membantu.

Pengembangan hubungan saling percaya antara

perawat dan klien adalah sangat krusial bagi transportal

caring. Hubungan saling percaya akan meningkatkan dan

menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Pengembangan hubungan saling percaya menerapkan bentuk

komunikasi untuk menjalin hubungan dalam keperawatan.

Karakteristik faktor ini adalah kongruen, empati dan ramah.

Kongruen berarti menyatakan apa adanya dalam berinteraksi

dan tidak menyembunyikan kesalahan. Perawat bertindak

dengan cara yang terbuka dan jujur. Empati berarti perawat

memahami apa yang dirasakan klien. Ramah berarti

penerimaan positif terhadap orang lain yang sering

diekspresikan melalui bahasa tubuh, ucapan tekanan suara,

sikap terbuka, ekspresi wajah dan lain-lain (Watson dalam

Dwiyanti, 2007).
e. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan

negatif.

Perawat menyediakan dan mendengarkan semua

keluhan dan perasaan pasien. Berbagi perasaan merupakan

pengalaman yang cukup beresiko bagi perawat maupun

pasien. Perawat harus siap unuk ekspresi perasaan positif

maupun negatif bagi klien. Perawat harus menggunakan

pemahaman intelektual maupun emosional pada keadan

yang berbeda (Watson dalam Dwiyanti, 2007).

f. Menggunakan problem solving dalam mengambil keputusan.

Perawat menggunakan metode proses keperawatan

sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada pasien,

sehingga akan mengubah gambaran tradisional perawat

sebagai “pembantu” dokter. Proses keperawatan adalah

proses yang sistematis dan terstruktur, seperti halnya proses

penelitian (Watson dalam Dwiyanti 2007).

g. Peningkatan belajar mengajar interpersonal.

Faktor ini adalah konsep yang penting dalam

keperawatan, yang membedakan antara caring dan curing.

Perawat memberikan infomasi kepada klien. Perawat

bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kesehatan klien.

Perawat memfasilitasi proses belajar mengajar yang di

desain untuk memampukan klien memenuhi kebutuhan


pribadinya, memberikan asuhan mandiri, menetapkan

kebutuhan personal klien (Watson dalam dwiyanti, 2007).

h. Menciptakan lingkungan fisik, mental dan sosiokultural,

spiritual yang mendukung.

Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan

internal dan eksternal pasien terhadap kesehatan dan kondisi

penyakit pasien. Konsep yang relevan terhadap lingkungan

internal yang mencakup kesejahteraan mental dan spiritual,

dan kepercayaan sosiokultural bagi individu. Sedangkan

lingkungan eksternal mencakup variable epidemiologi,

kenyamanan, privasi, keselamatan, kebersihan dan

lingkungan yang astetik. Karena pasien bisa saja mengalami

perubahan baik dari lingkungan internal maupun eksternal,

maka perawat harus mengkaji dan memfasilitasi

kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan perubahan

fisik, mental, dan emosional (Watson dalm Dwiyanti, 2007).

i. Memberi bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.

Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif

yaitu kebutuhan biofisik, psikososial, psikofisikal, dan

interpersonal klien. Pemenuhan kebutuhan yang paling

mendasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat yang

selanjutnya. Nutrisi, eliminasi, dan ventilasi adalah contoh

dari kebutuhan biofisik yang paling rendah. Pencapaian dan


hubungan merupakan kebutuhan psikososial yang tinggi dan

aktualisasi diri merupakan kebutuhan interpersonal yang

paling tinggi (Watson dalam Dwiyanti, 2007).

j. Terbuka pada eksistensial fenomenologikal spiritual dan

penyembuhan.

Faktor ini bertujuan agar penyembuhan diri dan

kematangan diri dan jiwa pasien dapat dicapai. Terkadang

pasien perlu dihadapkan pada pengalaman/ pemikiran yang

bersifat proaktif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan

pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri. Diakuinya

faktor caratif ini dalam ilmu keperawatan membantu

perawat untuk memahami jalan hidup seseorang dalam

menemukan arti kesulitan hidup. Karena adanya dasar yang

irasional tentang kehidupan, penyakit dan kematian, perawat

menggunakan faktor caratif ini untuk membantu

memperoleh kekuatan atau daya untuk menghadapi

kehidupan atau kematian. Faktor ini sedikit sulit untuk

dipahami, tetapi hal ini akan membawa perawat kepada

pemahaman yang lebih baik mengenai diri sendiri dan orang

lain (Watson dalam Dwiyanti, 2007).

Anda mungkin juga menyukai