Anda di halaman 1dari 10

PERBEDAAN TINGKAT RESILIENSI ANTARA MAHASISWA DENGAN MAHASISWI

PERANTAUAN DI KOTA MALANG

Irfan Achmadi
16410112
Kelas E

Pendahuluan

Kita semua mengetahui bahwa kampus ataupun perguruan tinggi negeri di


indonesia tidaklah tersebar di seluruh kota di indonesia. Kampus-kampus negeri hanyalah
ada di kota-kota besar seperti malang, surabaya, bogor, dan lain lain. Akan tetapi hampir
seluruh anak yang telah atau baru lulus SMA sederajat ingin melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi yaitu perguruan tinggi, walaupun ada yang tidak bisa melanjutkan dikarenakan
kendala finansial, atau yang lainnya. Akan tetapi, keinginan untuk melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi seakan-akan telah menjamur dan hampir semua siswa di indonesia. Tidak
sedikit juga siswa yang bercita-cita masuk perguruan tinggi negeri dan akhirnya terwujud
juga. Walaupun terkadang kampus yang mereka masuki bukan kampus yang berada dekat
dengan rumahnya. Tidak jarang bahkan hampir semua mahasiswa mahasiwi yang berada di
kampus adalah putra-putra yang bukan dari daerah atau kota tempat kampus tersebut
dibangun. Banyak mahasiswa mahasiswi yang berasal dari daerah lain yang kuliah disebuah
kampus yang biasa disebut mahasiswa mahasiswi perantauan. Hingga banyaknya
mahasiswa dan mahasiswi perantauan disebuah kampus yang akhirnya mengadakan atau
membentuk sebuah organisasi daerah tempat mereka tinggal.

Banyak fenomena-fenomena atau berbagai pengalaman mereka alami sebagai


mahasiswa mahasiswi perantau yang membuat mereka hidup jadi lebih mandiri. Apabila
dahulu ingin makan, cukup dengan mengambil piring, nasi, dan lauk pauk yang sudah ibu
masak buat kita, akan tetapi ketika berada di kota perantauan, untuk makan saja mereka
harus membeli lauk yang sesuai dengan kebutuhan mereka atau memasak sendiri,
menanak nasi dan lain-lain. Apabila dahulu bangun tidur dibangunkan oleh orang tua, di
kota perantauan tidak lagi. Apabila dahulu ketika baju kotor, orang tua yang mencuci dan
menyetrika, maka sekarang mereka harus mencuci pakaian dan menyetrikanya sendiri.
Disaat sakit yang dahulu merawat orang tua sekarang mereka sendiri yang harus merawat
diri mereka apabila sedang sakit. Banyak lagi hal-hal atau pengalaman-pengalaman yang
mereka dapatkan ketika mereka jauh dari orang tua dan berada di kota orang. Itu terkadang
menjadi beban mental tersendiri bagi mereka yang tidak terbiasa atau belum pernah jauh
dari orang tua. Tak jarang dari mereka yang menangis atau sedih ketika orang tua yang
mengantar mereka harus pergi meninggalkan mereka di kota orang sendirian bahkan
beberapa dari mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah atau kuliah di kota
sendiri di kampus swasta di kota sendiri dikarenakan dia tidak tahan untuk jauh dari orang
tua.

Akan tetapi, meskipun dalam kondisi yang sama antara mahasiswa dan mahasiswi,
terkadang perbedaan yang mendasar antara mahasiswa dan mahasiswi dalam
menanggapi kondisi tersebut. Sering terlihat ketika pertama kali mahasiswa dan mahasiswi
diantar oleh orang tuanya ke kampus yang telah ia masuki. Mahasiswi lebih banyak
menangis atau menunjukkan raut muka yang bersedih, sedangkan mahasiswa lebih banyak
menunjukkan raut muka yang biasa saja atau mungkin bahkan senang karena mendapat
teman baru (walau ada beberapa yang sama seperti laki-laki). Ketika tahun-tahun pertama
juga intensitas pulang atau kembali ke rumah lebih banyak mahasiswi daripada mahasiswa.
Intensitas menelpon orang tua juga lebih banyak mahasiswi daripada mahasiswa (mungkin
juga karena perasaan malu kepada sesama mahasiswa, takut dianggap anak mama). Atas
dasar observasi itulah kami ingin mencari tahu atau meneliti perbedaan resiliensi antara
mahasiswa dengan mahasiswi perantauan di fakultas psikologi UIN Malang, dengan
variabel bebas mahasiswa (cowok) dan mahasiswi (cewek); dan dengan variabel terikat
Resiliensi.

Menurut Reivich & Shatte dan Norman (Helton & Smith, 2004), resiliensi
merupakan kemampuan dan kekuatan individu dalam bertahan dalam masalah yang
sedang dialami, dan bangkit untuk memiliki tekad untuk menyelesaikannya, dan juga dapat
menyesuaikan dengan kondisi sulit atau kondisi yang berbeda. Seseorang yang memiliki
resiliensi adalah individu yang mempunyai kemampuan bounceback (pantulan kembali)
yaitu artinya kemampuan untuk kembali ke dalam situasi atau suasana sebelum terjadinya
trauma, atau bangkit setelah mendapat stressor, dan terlihat tak memberikan efek negatif
yang berlebih karena kondisi yang tidak nyaman dan mendatangkan stressor (Holaday,
1997).

Newcomb (LaFramboise et al., 2006) melihat resiliensi adalah suatu pertahanan pribadi
terhadap stressor yang datang dengan cara memandang respon-respon terhadap situasi
pencetus stress dan depresi pada titik kritis individu dalam kehidupan. Sedangkan menurut
Block (Papalia, 2001) resiliensi dipandang sebagai suatu bentuk atau bagian dari kepribadian
yang memiliki ciri-ciri :

1. kemampuan penyesuaian terhadap lingkungan yang baru atau stressor yang


datang dengan baik, percaya pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi
masalah yang datang,
2. tidak bergantung pada kemampuan orang lain dalam menghadapi masalahnya,
3. dapat mengungkapkan ketidaksetujuan atau pendapatnya,
4. penuh perhatian terhadap tugas yang sedang dijalankan dan orang-orang yang
berada di dalamnya,
5. suka membantu sesama individu
6. berpusat atau berorientasi pada tugas-tugas yang menyelesaikan masalah yang
ada..

Resiliensi setiap individu berbeda antara satu dengan yang lain karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik faktor internal ataupun faktor eksternal. faktor internal seperti
kemampuan kognitif, persepsi, kepribadian, gender, keterikatan individu dengan norma
dan hukum yang berlaku, dan lain-lain. Faktor eksternal seperti pola asuh, kebudayaan,
lingkungan, dan lain-lain

Sumber – sumber pembentukan dan pendukung resiliensi (Grotberg;1995) menjadi


tiga bagian yakni I am , I have , dan I can .
I am : keyakinan diri dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang nantinya membentuk dan meningkatkan adanya resiliensi, selalu memiliki
motivasi yang tinggi dan penuh harapan untuk melepaskan diri dari masalah, selalu bersikap
positif dan merasa memiliki banyak teman; dan self image yang positif.

I have : Apapun yang dia miliki baik dari internal maupun eksternal. Internal seperti :
kemampuan kognitif, pengalaman, persepsi, kepribadian, pola asuh, ekonomi, kesehatan
fisiologis dan lain-lain. Faktor eksternal lebih kepada siapa yang mendukung dia baik
membantu permasalahannya secara langsung atau menguatkan psikisnya seperti
keterlibatan keluarga, dan lingkungan lain yang mendukung seperti komunitas yang diikuti,
pacar, teman-teman, sahabat.

I can : Kemampuan dalam memanfaatkan, mengorganisir, dan melakukan apa yang ada di
“i have” dan di dorong oleh apa yang ada di “I am” seperti mampu beradaptasi dengan
lingkungan baru, memiliki tujuan yang jelas dalam menghadapi masalah, mampu
mengendalikan emosi yang ada, mampu memikirkan jalan keluar yang tidak hanya satu,
dan lain-lain.

Jadi dalam bahasa kita sebenarnya orang yang memiliki resiliensi adalah orang yang
“easygoing”. Orang yang tidak terlalu memikirkan masalah atau lingkungan baru yang
mendatangkan stressor tersendiri secara mendalam dan menjadi sebuah penghambat
yang serius dalam kehidupannya, dan tetap gigih untuk berusaha keluar dari masalah atau
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Gender adalah perbedaan antara pria dan wanita dalam melakukan peran sosial
dimasyarakat beserta tanggung jawabnya dan sikap-sikap yang dibentuk oleh budaya dan
sosial yang selalu berubah (mengikuti perkembangan zaman) dari proses belajar (Fakih,
1999). Sedangkan menurut WHO tahun 2001, Gender adalah ciri khas atau karakteristik
yang sengaja dilekatkan (dilabeling) atau di bentuk oleh norma, hukun, nilai budaya, nilai
keagamaan, dan lingkungan yang ada di suatu tempat tersebut. Jadi gender itu adalah
karakteristik atau ciri-cirinya yang membedakan antara pria dan wanita dari segi non
fisiologis seperti tugas dalam masyarakat; sikap, kepribadian dan perilaku yang ada, emosi,
penggunaan kognitif dan lain sebagainya, termasuk resiliensi atau ketangguhan pribadi”

LaFramboise dan everall (2006) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal yang
mempengaruhi resiliensi, yaitu faktor individual, faktor keluarga dan faktor komunitas.
Dalam faktor komunitas menurut Delgado dalam menambahkan dua hal terpenting yang
menyangkut faktor komunitas yaitu gender dan keterikatan dengan budaya. Beliau
berpendapat bahwa gender berpengaruh kepada resiliensi seseorang karena berbeda
tekanan stressor yang diterima, pola asuh berbeda yang membuat sikap pada datangnya
masalah itu berbeda, dan pengalaman tentunya yang juga berbeda. (ifdil dan taufik, 2012).
Jadi bisa disimpulkan berbeda gender dapat mempengaruhi perbedaan tingkat resiliensi.
Dalam penelitian terdahulu pun juga sama. seperti penelitian yang berjudul “Resiliensi Pada
Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin” yang dilakukan oleh rinaldi pada
tahun 2010 menyatakan hasilnya bahwa lelaki memiliki resiliensi lebih tinggi daripada
perempuan pada masyarakat Kota Padang. Dua hal itu menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tingkat resiliensi berdasarkan jenis kelamin atau gender.

Hipotesis

Berdasarkan pernyataan diatas, maka peneliti memiliki hipotesis bahwa ada


perbedaan tingkat resiliensi antara mahasiswi (wanita) dengan mahasiswa (pria); dan hasil
resiliensinya adalah tinggi mahasiswa, karena perbedaan pola asuh yang diberikan oleh
orang tua yang memegang tradisi, dimana tradisi tersebut masih memiliki gender
stereotipe dan juga terkait dengan peran sosial yang akan diperankan nantinya. Perempuan
di didik menjadi pribadi yang lembut dan penyayang seperti seorang ibu, dan laki-laki di didik
harus tegar dan memiliki resiliensi tinggi di tempat kerja nanti. Jadi penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan tingkat resiliensi pada mahasiswa psikologi
angkatan 2016 yang merantau atau tinggal di luar kota malang Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Metode Penelitian

Dalam penelitian kali ini, ingin mencari tahu ada atau tidaknya perbedaan tingkat
resiliensi antara mahasiswa dengan mahasiswi perantauan angkatan 2016 di fakultas
psikologi UIN Malang. Penelitian ini menggunakan variabel bebasnya (independen) adalah
gender atau jenis kelamin dan variabel terikatnya (dependen) adalah resiliensi.

Definisi operasional dari variabel terikatnya (resiliensi) yaitu tingkat ketahanan dan
kekuatan mental seseorang dalam menghadapi masalah. Sedangkan definisi operasional
dari variabel terikatnya (gender atau jenis kelamin) yaitu pembagian jenis seksual yang
ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki atau
jenis kelamin perempuan.

Subjek penelitian dalam penelitian kali ini (populasi) adalah mahasiswa dan
mahasiswi jurusan psikologi angkatan 2016 Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang yang
perantauan / tidak berasal dari kota malang yang berjumlah 220 mahasiswa. Sampel yang
diambil berjumlah 25% dari jumlah populasi yang ada yaitu 52 mahasiswa dan mahasiswi
dengan perincian 25 orang mahasiswa (pria) dan 27 orang mahasiswi (wanita) yang
kesemuanya adalah mahasiswa yang bukan berasal dari kota malang yang jauh dari orang
tua. Jenis sampling (teknik pengambilan sampel) yang diambil oleh peneliti adalah
probability sampling, artinya semua orang yang berada dalam populasi berhak untuk
menjadi sampel, tidak ada penggolongan khusus, atau syarat khusus dalam menjadi
sampel, karena populasinya adalah mahasiswa atau mahasiswi yang merantau semua yang
berjumlah 220 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah teknik
sampling acak sederhana (Simple Random Sampling) yang mana dalam mengambil sampel,
peneliti mengambilnya secara acak dalam populasi karena untuk menjadi sampel tidak ada
persyaratan khusus.

Dalam penelitian kali ini skala yang digunakan adalah model skala likert, dengan
empat pilihan jawaban yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), STS (sangat
tidak sesuai). Aspek-aspek yang dipakai dalam membuat skala adalah milik Reivich dan
Shatte yang dicetuskan tahun 2002. Aspek penilaian resiliensi terdiri dari 7 aspek yaitu
pengendalian emosi, kemampuan mengontrol impuls, optimis, kemampuan untuk
menganalisis penyebab dari masalah, kemampuan berempati, efikasi diri, kemampuan
untuk meraih apa yang diinginkan

No. Variabel Favorable Unfavorable Total


1. resiliensi 1,2,5,6,7,8,9,10,11,13,14,15,20,21 3,4,12,16,17,18,19 21

Analisis validitas dan analisis reliabilitas ini menggunakan bantuan SPSS dalam
perhitungannya. Dalam penelitian ini uji validitas digunakan untuk mengetahui item pada
skala dari 52 responden menghasilkan item valid sebanyak 7 aitem dari 21 aitem yang sudah
dibuat diawal. Apabila r hitung> r tabel maka bisa dinyatakan valid atau tidak valid. uji
reliabilitas menghasilkan alfa cronbach’s 0.695. artinya 7 aitem itu sudah reliabel karena
Reliabilitas lebih besar dari 0.500 dan layak untuk diuji. Dalam penelitian kali ini
menggunakan metode analisis uji T.

Hasil penelitian

Pada perhitungan SPSS kali ini menunjukkan asymp. Sig. (2-tailed) menunjukkan
angka 0.000. ini menunjukkan bahwa persebaran data tidak normal, lebih banyak timpang
pada salah satu interval kelas (data heterogen) karena apabila nilai signifikansi diatas 0,05
maka data itu normal, jika dibawah 0,05 maka data itu tidak normal. Uji analisa deskripsi
menunjukkan. Mean keseluruhan pada penelitian ini 2,2642 dengan standard deviasi
2,55534. Sedangkan untuk mahasiswa (pria) memiliki mean 2,2857 dan standard deviasi
bernilai 4,6004. Pada mahasiswi (perempuan) memiliki mean 2,2400 dan standard deviasi
0,43589. Untuk skoring mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki resiliensi tinggi yaitu
dengan skor antara 21 sampai 15, sedang dengan skor 14 sampai 7 dan rendah dengan skor
6-0. Uji hipotesis menggunakan teknik atau model uji T (independent sample T test) yang
menunjukkan signifikansi diatas 0,05 yaitu memiliki nilai 0,713 yang memiliki arti bahwa
hipotesis tidak terbukti.

Pembahasan

Tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan
ataukah tidak terhadap resiliensi antara mahasiswa (pria) dengan mahasiswi (perempuan)
jurusan psikologi Univesitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tahun angkatan 2016
yang berasal dari luar kota malang. Dari bab sebelumnya menunjukkan bahwa hipotesis
peneliti tidak terbukti, bahwa tidak ada perbedaan resiliensi antara mahasiswa dengan
mahasiswi. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh euis sunarti dan
kawan-kawannya pada Mei 2018 yang berjudul “Resiliensi Remaja: Perbedaan didasarkan
Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, Dan Jenis Sekolah.” Penelitian mereka menyebutkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara resiliensi remaja perempuan dan
laki-laki. Akan tetapi itu berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh renaldi pada
juni 2010 yang berjudul “Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis
Kelamin.” Pada penelitian itu menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan secara sangat
signifikan antara laki-laki dengan perempuan di daerah Padang. Mungkin ada perbedaan
antara kedua penelitian itu dikarenakan daerah atau budaya yang berbeda satu dengan
yang lain. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan bahwa adanya peran sosial atau
pembedaan peran sosial karena kuatnya masyarakat memegang kebudayaan di
masyarakat mempengaruhi tingkat resiliensi antara pria dan wanita (Delgado). Pada
penelitian ini populasi yang diambil adalah mahasiswa semester 5 yang masih muda dan
pergaulan yang mungkin tidak terlalu memegang erat kebudayaan yang ada, sehingga
tidak ada perbedaan resiliensi.

Jikalau ada perbedaan resiliensi antara mahasiswa (pria) dan mahasiswi (wanita) maka
hal negatif yang akan terjadi diskriminasi dan perendahan kemampuan ketahanan mental
dalam menghadapi masalah (resiliensi) yang dilakukan oleh kaum pria kepada kaum wanita.
Hal positif yang akan terjadi adalah akan banyak pelatihan-pelatihan untuk dapat
meningkatkan resiliensi kaum wanita. Jika hasil penelitian hipotesis salah maka
kemungkinan positif maupun negatif diatas tidak akan terjadi, dan meningkatkan rasa
percaya diri kaum wanita bahwa mereka dalam hal resiliensi sama dengan kaum pria.

Karena dalam penelitian ini tidak ada perbedaan resiliensi antara mahasiswa dan
mahasiswi, maka setiap mahasiswa atau mahasiswi harus sama-sama optimis untuk
mengejar cita-citanya dan tidak perduli masalah apa yang akan datang nantinya.

Penutup

Simpulan dari penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan tingkat resiliensi pada
mahasiswa (pria) dan mahasiswi (wanita), semua bergantung hanya pada pola asuh dan
pengalaman masing-masing individu. Tidak dipisahkan dengan hal-hal yang bersifat umum
dan general. Berarti hipotesis dari penelitian ini tidak terbukti.

Saran peneliti kepada seluruh mahasiswa dan mahasiswi adalah jangan pernah
ragu dan takut akan masalah-masalah yang akan menimpa kalian, dan yakin bahwa setiap
individu baik pria maupun wanita dapat keluar dari masalahnya dan tidak mengalami stres
yang memiliki efek negatif pada diri dan psikis akibat dari masalah yang dihadapi.

Daftar Pustaka

Rinaldi (2010). Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang : Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal
psikologi, 3(2) : 99-105

Ifdil dan Taufik (2012). Urgensi Peningkatan Dan Pengembangan Resiliensi. Pedagogi | Jurnal
Ilmiah Ilmu Pendidikan, 12(2) : 115-121

Euis, S., Intan, I., Nur, R., Milatul, U. (2018). Resiliensi Remaja: Perbedaan Berdasarkan
Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, Dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan
Konsumen. 11(2) : 157-168
Nourma Ayu Safithri Purnomo. (2014). Resiliensi Pada Pasien Stroke Ringan Ditinjau Dari
Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi Terapan. 2(2) : 241-262

Andi Thahir. (2012). Perbedaan Karakteristik Resiliensi Antara Mahasiswa Laki-Laki Dan
Perempuan Dalam Menghadapi Konflik Diri. Lampung, Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan. Fakultas Tarbiyah

Anda mungkin juga menyukai