Anda di halaman 1dari 32

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
a. Nama : An. A.I.S
b. Usia : 7 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Desa Payak 15/3, Cluwak
e. Pekerjaan : Pelajar
f. Tanggal Dirawat : 10 Januari 2019
g. Ruang Perawatan : Cempaka
h. No. RM : 22xxxx

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Bengkak di seluruh tubuh

b. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati pada
tanggal 10 Januari 2019 dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh.
Keluhan ini dialami sejak 3 hari SMRS. Bengkak seperti ini baru
pertama kali terjadi. Ibu pasien mengatakan sebelumnya terdapat
perdarahan di bawah lidah kurang lebih selama 10 hari, dan sempat di
rawat inap karena Hb rendah dan dilakukan transfusi darah sebanyak 4
kantong. 2 hari setelah pulang dari rumahsakit, ibu pasien mengatakan
anaknya bengkak seluruh tubuh. Awal mulanya di perut, wajah, dan
menjalar ke genital termasuk buah dzakar, lalu tungkai bawah.
Bengkak tidak nyeri dan tidak hilang saat ditekan. Terdapat ruam
merah bekas transfusi.

1
Pasien juga mengeluhkan batuk kurang lebih 1 minggu
SMRS, badan sering hangat. Mual dan muntah disangkal. Nyeri perut
disangkal. Nafsu makan menurun serta pasien mulai tidak aktif
bermain.
BAK sulit dan sedikit, BAK berwarna sedikit keruh, BAK
merah (darah) disangkal, busa disangkal. BAB dalam batas normal
setelah transfuse.
Pasien mengalami perubahan pada berat badan, yakni berat
bertambah dari 16 kg sebelum sakit, hingga 19 kg saat masuk rumah
sakit.

c. Riwayat Penyakit dahulu : -


d. Riwayat Pemakaian Obat : -
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan sama dengan pasien
disangkal. Riwayat keluarga serumah yang mempunyai penyakit paru
dengan pengobatan lama disangkal.

f. Riwayat Sosio Ekonomi


Ibu pasien tidak pernah sakit demam, atau keputihan saat hamil.
Pasien lahir dengan cara spontan ditolong oleh bidan, dengan masa
kehamilan 9 bulan. Berat lahir 2800 gram dan panjang lahir 47 cm.
Keadaan bayi langsung menangis dan tidak ada kebiruan.

g. Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengaku bahwa pasien telah mendapatkan imunisasi
lengkap di Posyandu. Imunisasi terakhir yang didapatkan pasien yaitu
imunisasi campak pada usia 9 bulan.

h. Riwayat Tumbuh Kembang

2
Pasien saat ini telah bersekolah di SD Kelas 1. Pasien dapat
menggambar objek, berhitung penjumlahan sederhana, aktif bermain
dengan teman sebayanya. Pasien mulai tengkurap dan mengangkat
kepala usia 3 bulan, berbicara satu dua kata usia 12 bulan, berjalan usia
16 bulan. Kesan perkembangan normal sesuai dengan usia.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Januari 2019
a. Status Generalis:
- Keadaan Umum : Sakit sedang, tampak sembab
- Kesadaran : Compos mentis
- Data Antropometri
Berat/ Tinggi Badan : 19 kg / 108 cm
Keadaan klinis : edema (+)
BB/U : 19/24 x 100% = 79%
TB/U : 108/125 x 100% = 86,4%
BB/TB : 19/21 x 100% = 90,5%
Kesan status gizi : Gizi kurang (dengan edema)

b. Vital Sign:
- Tekanan Darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 110 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu : 36,6 C

c. Kepala : Normocephali,
Wajah : Edema (+)
Mata : Edema palpebra +/+, konjungtiva pucat
-/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/-, konka edema -/-, hiperemis -/-
Telinga : Normotia, liang telinga lapang,
Mulut : Edema labium oris (+), caries dentis (+),
bercak putih dilidah,
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T2-T2 hiperemis
(-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB

3
d. Thorax
Jantung : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru : Perkusi sonor, Suara nafas vesikuler +/+,
ronkhi -/-, wheezing -/-

e. Abdomen : Distensi (-) N, BU (+) N, shifting dullness


f. Ekstremitas : Akral hangat di keempat ekstremitas,
pitting edema ++/++, CRT<3”
g. Genital : Edema skrotum dan penis (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal Hasil Satuan Nilai normal

Hematologi

Jumlah Leukosit 10,9 10^3/ul 5 – 10

Jumlah Eritrosit 3,22 10^6/uL 4, 7 - 6,1

Hemoglobin 8,9 g/dL 11 – 15

Hematokrit 24,3 % 40 - 52

MCV 75,5 fL 82 – 92

MCH 27,6 Pg 27 – 31

MCHC 36,6 % 32 – 36

Jumlah Trombosit 243 10^3/ul 150 – 400

RDW-CV 12,8 % 11,5 – 14,5

RDW-SD 33,8 fL 35 – 47

PDW 12,2 fL 9,0 – 13,0

MPV 10,0 fL 6,8 – 10,0

P-LCR 25,4 %

Hitung Jenis

Netrofil 92,40 % 50.0 – 70.0

4
Limfosit 5.50 % 25.0 – 40.0

Monosit 2.00 % 2.0 – 8.0

Eosinofil 0.00 % 2–4

Basofil 0.10 % 0-1

Kimia klinik

Ureum 543.4 mg/dL 10 -50

Kreatinin 12.52 mg/dL 0.60 – 1.20

Albumin 3.1 g/dL 3.4 – 4.6

Kolesterol Total 269 mg/dL <200

Urinalisa

Warna Kuning

Kekeruhan Keruh Jernih

Reduksi Negatif Negatif

Protein urin 3+ Negatif

Eritrosit 2 -4 0–3

Bilirubin Negatif Negatif

Leukosit 15-20 0-5/ LP

Epitel 1-3/LP Negatif

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati pada tanggal 10 Januari
2019 dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh. Keluhan ini dialami sejak 3 hari
SMRS. Bengkak seperti ini baru pertama kali terjadi. Ibu pasien mengatakan
sebelumnya terdapat perdarahan di bawah lidah kurang lebih selama 10 hari, dan
sempat di rawat inap karena Hb rendah dan dilakukan transfusi darah sebanyak 4
kantong. 2 hari setelah pulang dari rumahsakit, ibu pasien mengatakan anaknya
bengkak seluruh tubuh. Awal mulanya di perut, wajah, dan menjalar ke genital

5
termasuk buah dzakar, lalu tungkai bawah. Bengkak tidak nyeri dan tidak hilang
saat ditekan. Pasien juga mengeluhkan batuk kurang lebih 1 minggu SMRS. BAK
sulit dan sedikit, BAK berwarna sedikit keruh, BAK merah (darah) disangkal,
busa disangkal. Pasien mengalami perubahan pada berat badan, yakni berat
bertambah dari 16 kg sebelum sakit, hingga 18 kg saat masuk rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai edema pada area wajah, perut, keempat
ekstremitas serta genital.
Pada hasil laboratorium, di jumpai leukositosis, kadar Hb, Ht, dan eritrosit
menurun, Ureum mneingkat, Creatinin meningkat, Albumin menurun, Closterol
total meningkat. Pada urinalisa dijumpai Urin berwarna keruh, Proteinuria,
Leukosit dan Epitel.

VI. DIAGNOSA BANDING


1. Sindroma Nefrotik
2. Obs. Oedema Anasarka
3. Sindroma Nefrotik dengan Acute Kidney Injury Post transfusi
4. Glumorulonefritis Akut

VII. DIAGNOSA KERJA


Sindroma Nefrotik

VIII. TERAPI
Terapi IGD
- Infus NaCl 0,9% 10 tpm
- Inj. Dexamethasone 3x2,5 mg/iv
- Captopril 2x6,25 mg

IX. FOLLOW UP
Tanggal 11 Januari 2019
S : Bengkak seluruh tubuh, tidak nyeri tekan. Batuk (+)
O : TD, 140/100 mmHg, HR: 132x/menit, RR: 28x/menit, T: 36,60C
A : - Obs. Edema Anasarka

6
- Sindroma Nefrotik
- GNA
P: - Inj. Ceftriaxone 2x300 mg
- Inj. Furosemide 2x15 mg
- PO. Captopril 2x6,25 mg
- Diit : Nasi Lunak 1300 kkal
 Protein : 30 gr
 Karbohidrat : 197 gr
 Lemak : 45 gr
 Susu 1x200 cc
 Rendah garam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindroma Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >
3,5 g/hari, hipoalbuminemi <3,5g/dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada
proses awal atau SN ringan untuk menegakan diagnosis tidak perlu semua gejala
ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, akan tetapi pada SN
berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin
juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi
yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria,
gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoaguabilitas, gangguan metabolisme
kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai dalam SN.
Umumnya SN dengan fungsi ginjal normal, kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi panyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN
dapat sembuh sendiri. dan menunjukan respon yang baik terhadap terapi
steroid, akan tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.

Beberapa definisi / batasan yang dipakai pada SN:

7
a. Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
b. Relaps : Proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
c. Relaps jarang : Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengobatan.
d. Relaps sering (frequent relaps) : Relaps terjadi > 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 1 tahun.
e. Dependen steroid : Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
f. Resisten steroid: Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh
(full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

Gambar 1. Batasan/definisi Sindrom Nefrotik

2.2 Etiologi
Sebab pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit auto imun. Jadi merupakan suatu antigen-antibodi. Secara klinis sindrom
nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam

8
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah
satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di
bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena
reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa
neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya
pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak
biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak.

Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

a. Sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM)


Tipe ini paling sering terjadi pada anak-anak sekitar 77-85% kasus.
Biasanya idiopatik dan dengan mikroskop biasanya glomerulus tampak
normal, sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot processus
sel epitel berpadu. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak dari
pada orang dewasa. Prognosisnya lebih baik dari pada golongan lain.

b. Glumerulosclerosis fokal segmental (GSFS)


Terjadi sekitar 10-15% dari kasus sindroma nefrotik. Tipe ini lebih
sering terjadi pada dewasa. Pada mikroskop cahaya akan terlihat scar
atau sklerosis, pada glomerulus sklerosis akan berkembang lebih luas
lagi. Pada biopsi ginjal akan didapatkan gambaran histologis mirip
kelainan minimal yaitu dapat terlihat foot processes pada EM dan pada
kebanyakan kasus negatif.

c. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

9
Terdapat proliferassi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat. Pada mikroskop cahaya akan terlihat penebalan dari
membran basal. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang
timbul setelah infeksi dengan streptokokus yang berjalan progresif.

d. Glomerulopati membranosa (GM)


Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis nya kurang baik.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya


berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak.

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak


berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan
hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit


sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.

b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,


streptokokus, AIDS.

c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun


serangga, bisa ular.

d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,


purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.

10
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.3 Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma
nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau
toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom
nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16
tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di
Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun.
Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri
menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.

Pasien sindrome nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga
kelompok :

1. Kongenital
2. Responsive steroid, dan
3. Resisten steroid

Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya.


Umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang
diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsive steroid sebagian besar
terdiri atas anak-anak dengan sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada
penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan
KM. kelompok tidak responsive steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-anak
dengan kelainan glomerolus lain. Disebut sindroma nefrotik sekunder apabila
penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, allergen, dan
toksin, dll.

2.4 Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori

11
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat
di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama
dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Proteinuria dinyatakan
”berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien
yang bukan sindroma nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar
lipid kembali normal.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma


intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang


memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder
karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik

12
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang


dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.

Teori Underfilled Teori Overfilled


Kelainan
Kelainan Glomerolus Glomerolus

Albuminuria Retensi Na renal


primer

Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid
plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal
sekunder >>>

13
Edema
2.5 Gejala Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah
periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak
lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP.
Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM.

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit


sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat

14
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada


penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab,
didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya
terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal
daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan
asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea.
Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian


International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur.

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain.

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <


2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
15
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar
lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,


namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom
nefrotik.

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom


nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran
asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

2.6 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
Kadang-kadang ditemukan hipertensi

3. Pemeriksaan penunjang

16
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat
disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia
(<2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus
fokal).
Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas
untuk mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.
Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal
secara perkutan atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya
dilakukan atas indikasi tertentu dan bila orang tua dan anak setuju.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding SN diantaranya:
1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, KEP dengan edema, edema
hepatal
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.

2.8 Penatalaksanaan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah
tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam
waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut:

Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak


dengan sindrom nefrotik

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam

17
selama 3 hari berturut-turut

Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari


berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi

Kambuh Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode
tidak sering 12 bulan

Kambuh Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau
sering 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan

Responsif- Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja


steroid

Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi


steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan

Resisten- Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison


steroid 60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari


lambat tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal


awal

Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-


lambat steroid

PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan


untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari
dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m 2/hari secara selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.

A. Sindrom nefrotik serangan pertama


1. Perbaiki keadaan umum penderita

18
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak.
Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium
sampai ± 1 gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma
atau albumin konsentrat
c. Berantas infeksi
d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau
mengganggu aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali,
bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila edema
refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama
pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia,
alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari
setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah
penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari
terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam
waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan
2. Perbaiki keadaan umum penderita
a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

19
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4
kali dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, prednison dihentikan.

b. Sindrom nefrotik kambuh sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4
kali dalam masa 12 bulan
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah
4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam
diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m 2/48 jam selama 1
minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10
mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse
frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk
biopsi ginjal.

20
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.

Steroid jangka panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis
1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut
dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan
dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5
mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara
alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:

21
a. Efek samping steroid yang berat
b. Trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis
2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-
12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik,
vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls
(Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual,
muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia,
dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi

22
Gambar 2. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral
Keterangan :
Relaps sering : prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitten atau
alternating (AD) 40 mg/m2/LPB/hari dan siklofosfamid 2-3
mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8 minggu

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid


Keterangan :
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750
mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan
prednison intermitten atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/ hari selama 12
minggu. Kemudian prednison ditappering off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama
1 bulan, dilanjutkna dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan)

Atau

23
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari
dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari selama 12 minggu. Kemudia prednison ditappering off dengan dosis
1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tappering off 2 bulan)

Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.
Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan
dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi
atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat
dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil= MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia. Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau
dependen steroid dapat dilihat pada Gambar dibawah ini

24
Gambar 4. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Keterangan :
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung di beri CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol dilanjutkan dengan CPA

C. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin,
infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan

25
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan).

D. Pengobatan SN Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran
patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi
karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila
pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten
steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping
CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan
juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan


dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.

26
Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Keterangan :
Sitostatik oral : siklosfosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
Prednison alternating dosis 40mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison di tapering off dengan
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan)
Atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien. Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
sikofosfamid puls (6bulan). Kemudian prednison ditapering off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan)

27
Tabel 2. Protokol metilprednisolon dosis tinggi

Keterangan :
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison oral 60
mg, siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.

Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan
dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol,
maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. Skema tata laksana sindrom
nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar .

Gambar 6. Tatalaksana sindorm nefrotik

28
E. Pemberian obat non-imunosupresif untuk mengurangi proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering,
dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau
dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan
lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

2.9 Komplikasi
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri
atau sebagai akibat pengobatan.
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis
Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa
antiplasmin
- Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui
tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis

29
b. Aktivasi sistem homeostatic di dalam ginjal dirangsang oleh factor
jaringan monosit dan oleh papran matriks subendotelial pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan
agregasi trombosit
2. Perubahan hormon dan mineral
Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormone hilang dalam urin.
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa
pasien SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria
3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
4. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
a. Kadar immunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limfa
e. Akibat pengobatan imunosupresif
5. Peritonitis
6. Infeksi Kulit
7. Anemia
8. Gangguan tubulus renal

2.9 Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun.
2. Jenis kelamin laki-laki.
3. Disertai oleh hipertensi.
4. Disertai hematuria
5. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi


respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%

30
di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas Husein, dkk. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada


Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005
2. Albar Husein. 2006. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal
pada Anak. Sari Pediatri Vol. 8 No. 1 Juni 2006
3. Behrman. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC. 2000

31
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana Sindroma
Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi Kedua. 2012.
5. Staf Pengajar IKA FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Vol.2. Edited by Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Infomedika.
Jakarta. 2007.
6. Staf Pengajar IKA FK UH. Standar Pelayanan Medik BIKA FKUH.
Edited by Dr. Syarifudin Rauf,dkk. BIKA FKUH. Makassar.2009
7. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

32

Anda mungkin juga menyukai