Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN KEJADIAN CACAT PADA

PASIEN KUSTA DI PUSKESMAS NGULING KABUPATEN


PASURUAN TAHUN 2000 – APRIL 2018

MINI PROJECT

Oleh :
dr. Aisyiyah Alviana Agustin

Pembimbing :
dr. H. Syaiful Anam, SE.
NIP. 19700719 200701 1012

Puskesmas Nguling
Pasuruan Jawa Timur
Program Dokter Internship
2018
1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KEGIATAN MINI PROJECT

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN KEJADIAN CACAT PADA


PASIEN KUSTA DI PUSKESMAS NGULING KABUPATEN
PASURUAN TAHUN 2000 – APRIL 2018

Disusun untuk memenuhi persyaratan


Program Dokter Internship Puskesmas Nguling

Oleh:
dr. Aisyiyah Alviana Agustin

Pasuruan, 25 Mei 2018


Telah disetujui oleh:
Pembimbing,

dr. H. Syaiful Anam, SE.


NIP. 19700719 200701 1012

DAFTAR ISI

2
HALAMAN SAMPUL .............................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................3
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................5
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................6
1.3 Tujuan ................................................................................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................................7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................8
2.1 Pengertian Kusta .................................................................................................................8
2.1.2 Etiologi Kusta............................ ......................................................................................8
2.1.3 Penularan Kusta ...............................................................................................................8
2.1.4 Epidemiologi.....................................................................................................................9
2.1.5 Klasifikasi.........................................................................................................................9
2.1.6 Pemeriksaan....................................................................................................................11
2.1.7 Pengobatan......................................................................................................................11
2.2 Kecacatan Kusta.................................................................................................................12
2.2.1 Proses Terjadinya............................................................................................................13
2.2.2 Pencegahan......................................................................................................................14
2.3 Faktor Risiko......................................................................................................................14
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN..................................................................................16
BAB 4. HASIL MINI PROJECT.............................................................................................19
BAB 5. PEMBAHASAN.........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

3
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Pedoman Utama Untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta menurut
Depkes RI.................................................................................................................................10

Tabel 4.1 Distrribusi jenis kelamin pada pasien kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten
Pasuruan dari tahun 2000 – April 2018.....................................................................................19

Tabel 4.3 Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat tingkat 2 pada pasien kusta di
Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan pada tahun 2000-April 2018...................................20

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem muskulo retikulo endotelia, mata,
otot, tulang, testis dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Bila tidak terdiagnosis dan
diobati secara dini, akan menimbulkan kecacatan menetap yang umumnya akan
menyebabkan penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit
mendapatkan pekerjaan.1
Secara global terdapat 436.246 kasus di dunia pada tahun 2010, dengan India dan Brazil
sebagai penyumbang penderita tertinggi dengan jumlah penderita masing-masing 83.041
dan 29.761 kasus dan Indonesia di urutan ketiga dengan 19.785 kasus.2
Prevalensi rate (PR) kusta di Indonesia pada 2010 sebesar 0,83/10.000 penduduk),
angka ini memenuhi target masional 1/10.000 penduduk. Jumlah kasus baru ditemukan
pada 2010 sebanyak 17.012 kasus (Case Detection Rate (CDR)=7,22/100.000 penduduk).1
Namun masih terdapat beberapa daerah dengan prevalensi kasus yang belum memenuhi
target nasional. Sampai saat ini masih ada 14 provinsi dengan jumlah kasus kusta tinggi
(PR>1/10.000 penduduk). Empat provinsi diantaranya yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Sulawesi Selatan yang melaporkan lebih dari 1.000 kasus per tahunnya.
Provinsi Jawa Timur memiliki 6.837 kasus, PR= 1,84/10.000 pada tahun 2010.1
Kabupaten Pasurun merupakan salah satu daerah dengan angka kusta tinggi di Jawa
Timur dengan jumlah kasus mencapai 175 kasus. Penderita kusta pada wilayah Nguling
kabupaten Pasuruan pada Tahun 2014 sebanyak 35 kasus.3
Salah satu dampak akibat penyakit kusta adalah kecacatan akibat infeksi kuman kusta
yang menyerang saraf perifer, seperti pada mata, kaki dan tangan. Cacat akibat kusta
dibedakan atas cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit yang merupakan akibat respon jaringan terhadap kuman kusta
(Mycobacterium leprae) berupa kerusakan fungsi saraf, kerusakan kulit akibat infiltrasi
kuman di subkutan dan cacat pada jaringan lain. Cacat sekunder terjadi akibat lanjut dari

5
cacat primer, terutama akibat kerusakan saraf. WHO membagi derajat cacat kusta menjadi
tiga tingkatan yaitu tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2.1
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kecacatan pada penderita kusta adalah
umur, jenis kelamin, klasifikasi kusta, lama sakit, letak lesi pada kulit, reaksi berulang,
pengobatan, sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor geografi, etnik, pekerjaan dan
metode penemuan kasus. 4
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasnani di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tahun 2003 yang menemukan bahwa bahwa proporsi kecacatan tingkat 2 pada
penderita kusta laki-laki lebih tinggi dari pada penderita perempuan yaitu masing-masing
proporsi 29,7% pada laki-laki dan 26,2% pada perempuan namun tidak berhubungan secara
statistik.5
Perbedaan proporsi kejadian cacat pada penderita kusta berdasarkan jenis kelamin pada
beberapa penelitian menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian hubungan jenis kelamin
dengan kejadian cacat pada pasien kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan tahun
2000 – April 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat pada pasien kusta di
Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan pada tahun 2000-April 2018?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui kejadian cacat pada pasien kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten
Pasuruan pada tahun 2000-April 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat pada pasien
kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan pada tahun 2000-April 2018.

6
1.4 Manfaat

a. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat pada pasien kusta
di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan pada tahun 2000-April 2018.
a. Menjadi masukan bagi Puskesmas Nguling dalam upaya menurunkan kecacatan akibat
penyakit kusta
b. Menjadi bahan perbandingan atau rujukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan
datang.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kusta

2.2.1 Pengertian Kusta

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorus bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1

Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi dan kulit,
tetapi dapat juga menyerang organ atau sistem lain misalnya mukosa mulut, saluran
napas bagian atas, mata, otot, ginjal dan testis.6

2.2.2 Etiologi

Mycobakterium Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit


kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH.Armauer Hansen pada tahun
1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 µ, lebar
0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multibasilar (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.7

2.2.3 Cara Penularan

Faktor yang mempengaruhi penularan Kusta adalah :

a. Keeratan kontak
Kontak dengan pasien Kusta dalam kurun waktu yang lama tampak sangat
berperan dalam penularan Kusta. 8
b. Status gizi

8
Konsumsi energi dan protein yang rendah dapat mengganggu sistem imun dan
mengakibatkan mudah terkena infeksi bakteri M. leprae. Individu yang belum
terkena Kusta harus meningkatkan konsumsi energi dan protein agar kekebalan
tubuhnya dapat terjaga. 8
c. Imunitas
M. leprae setelah masuk kedalam tubuh, perkembangannya bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas tergantung sistem
imunitas seluler pasien. Sistem imun yang tinggi, Kusta mengarah ke tuberkuloid
dan bila rendah, Kusta mengarah ke lepromatosa. 8

d. Lingkungan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebaran Kusta adalah keadaan suhu


rumah, pencahayaan alami rumah, luas hunian kamar, kebiasaan mandi, kebiasaan
cuci rambut, dan kebiasaan membersihkan lantai. Faktor keadaan suhu rumah dan
pencahayaan alami rumah mempengaruhi tingkat kelembaban di ruangan rumah.
Udara yang lembab menjadi tempat yang baik untuk berkembangnya
mikroorganisme terutama M. leprae. Faktor luas hunian kamar yang kecil dan tidak
sesuai dengan jumlah penghuni dapat menyebabkan risiko penularan Kusta tinggi.
Faktor kebiasaan mandi, kebiasaan cuci rambut, dan kebiasaan membersihkan
lantai merupakan faktor personal hygine. Faktor ini berpotensi menularkan M.
leprae jika faktor personal hygine tidak dilakukan karena ketika keadaan kotor
mikroorganisme mudah berkembang. 8

2.2.4 Epidemiologi

Angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di World Health
Organization (WHO) pada awal tahun 2012 berjumlah sekitar 219.057 atau sebesar
4,06 (prevalence rateper 10.000 penduduk).9

World Health Organization Weekly Epidemiological Report melaporkan bahwa


selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus
teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiller (MB) yang merupakan tipe
yang menular. Data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya
oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2013, selama periode 2008-2013, angka
penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar

9
6,79 per 100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79
hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah mencapai
target <1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk, sedangkan pada
anak selama periode 2008-2013.9

2.2.5 Klasifikasi Penyakit Kusta

Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu
Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB).

Tabel 2.1: Pedoman Utama Untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta


menurut Depkes RI

Tanda Utama PB MB
Bercak Kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi(Gangguan fungsi
bisa berupa kurang/mati
rasa atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang bersangkutan)

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

2.2.6 Diagnosa

Diagnosa MH dan klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh baik dari segi
klinis, bakteriologis, immunologis dan histopatologis. Mendeteksi kasus MH cukup
dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan klinis saja dalam mendiagnosa
MH di lapangan. Pemeriksaan bakteriologis seperti kerokan dengan pisau skalpel
dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan
mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen dapat
dilakukan bila ada keraguan dan fasilitas yang memungkinkan. Pemeriksaan
bakterioskopik akan menghasilkan berbagai bentuk M. Leprae yaitu solid (batang

10
utuh) yang berartikan kuman hidup dan jauh lebih berbahaya daripada bentuk non
solid (fragment dan granular) yang berartikan kuman mati. Gambaran histologis
yang khas dapat ditemukan dengan Biopsi kulit atau saraf yang menebal yaitu tipe
TT (tuberkuloid) apabila ditemukan gambaran tuberkel-tuberkel dengan kerusakan
saraf lebih nyata namun tidak ada kuman atau hanya sedikit kuman bentuk non solid,
tipe LL (lepramatous) apabila terdapat subepidermal clear zone dan ada virchow cell
dengan banyak kuman, dan BB (mid borderline) apabila terdapat kedua keduanya
dari tipe LL dan TT. Pemeriksaan serologi melalui darah pasien MH akan terdapat
antibodi antiphenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35
kD. 11

2.2.7 Pemeriksaan

Untuk memeriksa seseorang yang dicurigai kusta harus dilakukan:


1. Anamnesa
Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya.
a. Kapan timbul bercak/keluhan yang ada.
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama.
c. Riwayat pengobatan sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik, yaitu:
a. Pemeriksaan kulit
b. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga dilakukan
pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan, yaitu:
1. Pemeriksaan bakteriologis
2. Pemeriksaan histopatologis
3. Immunologis 1

2.2.8 Pengobatan

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai


berikut:

1. Tipe PB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

11
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Selama 6-9 bulan pengobatan 6 dosis harus diselesaikan.Kemudian akan


dinyatakan Released From Treatment (RFT) yaitu berhenti minum obat MH
meskipun secara klinis lesinya masih aktif apabila telah selesai minum 6 dosis
tersebut. Tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan menurut WHO
(1995).

2. Tipe MB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mgg/bulan diminum di depan petugas.

b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan


klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.

c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.

Selama maksimal 36 bulan, pengobatan 24 dosis harus diselesaikan dapat


dikatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif apabila telah selesai minum 24 dosis tersebut. Pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT menurut WHO (1998).11

2.3 Kecacatan Kusta

2.3.1 Proses Terjadinya Cacat Kusta

Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga
kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :

a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya: mata).
b. Melalui reaksi kusta
Secara umum fungsi saraf dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan
kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba dan fungsi otonom
mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi
tergantung pada komponen saraf yang terkena. 13

12
2.3.2 Tingkat Kecacatan Kusta

Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan,


pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang.Tiap kasus baru yang ditemukan
harus dicatat tingkat cacatnya karena menunjukkan kondisi penderita pada saat
diagnosis ditegakkan.Angka cacat tertinggi merupakan tingkat cacat untuk penderita
tersebut (tingkat cacat umum).Tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas
penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas. 13
Untuk indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan maka
tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut:
a. Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat.
b. Cacat tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris
yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak
tangan dan telapak kaki.Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa
di lapangan oleh karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.Cacat tingkat
1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan
perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah.Mati rasa pada bercak bukan
disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil
pada kulit.
c. Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata:
a. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).
b. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).
c. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.13
Untuk tangan dan kaki:
a. Luka dan ulkus di telapak
b. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari
kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dari
jari-jari.12

13
2.3.3 Pencegahan Kecacatan

Komponen pencegahan cacat:

a. Penemuan dini penderita sebelum cacat


b. Pengobatan penderita dengan MDT sampai RFT
c. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin
d. Pengangan reaksi penyuluhan.13

2.4 Faktor Risiko Kejadian Kusta

Timbulnya penyakit kustadiduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

2.4.1 Jenis Kelamin


Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan
kesehatannya dibandingkan laki-laki.Jenis kelamin berkaitan dengan peran
kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin
,perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki.13
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.Menurut catatan sebagian
besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak terserang dari pada wanita.Relatif rendahnya kejadian kusta pada
perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti
kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor
risiko sebagai akibat gaya hidupnya.13

2.4.2 Umur
Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan
data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko
spesifik umur.Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai
umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun).Namun yang terbanyak adalah pada
umur muda dan produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui
antara umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun.13

14
Pada penyakit kronik seperti kusta diketahui diketahui terjadi pada semua
umur ,namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Kejadian suatu
penyakit erat hubungannya dengan umur. 13

2.4.3 Jenis Pekerjaan


Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang
dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar,
pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja
bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan). 13
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012) tentang
analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun 2010, prosentase
jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang tidak berisiko sebesar
14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan
dengan kejadian kusta.Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian
sehari-hari yang mayoritas dilakukan warga sekitar wilayah kerja puskesmas
kunduran adalah Petani. 13

15
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Mini Riset

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan desain kasus kontrol dan
bersifat observasional. Penggunaan desain ini karena mempertimbangkan biaya yang
relatif lebih murah dan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan desain lainnya.14

3.2 Lokasi Mini Riset

Mini riset dilakukan di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan.

3.3 Waktu Mini Riset

Mini riset dilakukan pada bulan April 2018

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi mini riset ini adalah seluruh pasien kusta yang telah dan sedang
menjalani pengobatan di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasurun dari tahun 2000 –
April 2018.

3.4.2 Sampel

Sampel yang digunakan pada mini riset ini adalah pasien kusta yang menderita
kecacatan akibat kusta berdasarkan pemeriksaan kecacatan oleh petugas kusta di
Puskesmas Nguling Kabupaten Pauruan dari tahun 2000 – April 2018.

Teknik pengambilan sampel pada mini riset ini adalah pengambilan sampel
secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri.

Besar sampel pada mini riset ini menggunakan total sampling dimana seluruh
pasien kusta yang menglami cacat akibat kusta yang tercatat dari tahun 2000 – April
2018 dijadikan kasus.

16
3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin pasien kusta.

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada pasien ini adalah kecacatan pasien kusta

3.6 Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunkan data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diambil dari instansi tempat penelitian. Data diambil peneliti dari kepala
pemegang program kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan dari tahun 2000 –
April 2018.

3.7 Pengolahan Data

Adapun pengolahan data melalui tahap sebagai berikut :

1. Data di edit atau di cek kembali atau di koreksi kembali untuk melengkapi data yang
mungkin masih kurang atau ada data yang tidak lengkap.
2. Data di koding atau diberikan kode pada opsion-opsion yang sudah lengkap untuk
memudahkan dalam menganalisis data.
3. Data ditabulasi atau dikelompokan dalam bentuk tabel.

3.8 Analisis Data

3.8.1 Analisis Univariat


Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atay mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Hasil analisis univariat penelitian ini
berupa gambaran distribusi frekuensi kejadian cacat pada pasien kusta dan
distribusi jenis kelamin.
3.8.2 Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat penelitian ini berupa gambaran hubungan antara dua
variabel (satu variabel bebas dan satu variabel terikat) secara statistik berupa p
value. Nilai p merupakan besarnya peluang hasil penelitian terjadi karena faktor
kebetulan. Nilai p yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dan tingkat

17
kepercayaan 95%. Menggunakan analisis dari hasil uji statistik chai square test.
Melihat dari hasil uji statistik ini dapat disimpulkan adanya hubungan 2 variabel
tersebut bermakna atau tidak bermakna.

18
BAB 4

HASIL MINI PROJECT

 ANALISIS UNIVARIAT

Tabel 4.1 Distrribusi jenis kelamin pada pasien kusta di Puskesmas Nguling Kabupaten
Pasuruan dari tahun 2000 – April 2018

Jenis Kelamin
Laki-Laki Presentase Perempuan Presentase
Pasien kusta
75 60,4% 49 39,6 %

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa proporsi responden laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan. Sebanyak 75 orang atau 60,4% laki-laki menderita penyakit kusta
dibandingkan dengan perempuan hanya 39,6% yang menderita penyakit kusta di Puskesmas
Nguling Kabupaten Pasuruan dari tahun 2000 – April 2018.

Tabel 4.2 Distrribusi pasien kusta yang mengalami kecacatan di Puskesmas Nguling
Kabupaten Pasuruan dari tahun 2000 – April 2018

KECACATAN
Cacat Presentase Tidak cacat Presentase
Pasien kusta
54 43,5% 70 56,5%

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pasien kusta yang mengalami kecacatan sebesar
43,5 % dan presentase yang tidak mengalami kecacatan sebesar 56,5%.

19
 ANALISIS BIVARIAT

Tabel 4.3 Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat tingkat 2 pada pasien kusta
di Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan pada tahun 2000-April 2018

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis_kelamin * Kecacatan 124 100.0% 0 0.0% 124 100.0%

Jenis_kelamin * Kecacatan Crosstabulation

Kecacatan Total

Cacat Tidak Cacat

Count 39 36 75

Expected Count 32.7 42.3 75.0


Laki-Laki
% within Jenis_kelamin 52.0% 48.0% 100.0%

% within Kecacatan 72.2% 51.4% 60.5%


Jenis_kelamin
Count 15 34 49

Expected Count 21.3 27.7 49.0


Perempuan
% within Jenis_kelamin 30.6% 69.4% 100.0%

% within Kecacatan 27.8% 48.6% 39.5%


Count 54 70 124

Expected Count 54.0 70.0 124.0


Total
% within Jenis_kelamin 43.5% 56.5% 100.0%

% within Kecacatan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 5.515a 1 .019


Continuity Correctionb 4.679 1 .031
Likelihood Ratio 5.614 1 .018
Fisher's Exact Test .026 .015
Linear-by-Linear Association 5.470 1 .019
N of Valid Cases 124

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.34.
b. Computed only for a 2x2 table

20
Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok responden
yang menderita cacat terdapat 52% berjenis kelamin laki-laki dan pada kelompok yang tidak
menderita cacat terdapat responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 48%.

Nilai p pada uji statistik menunjukkan p= 0,031. Jika p < alfa 0,05 sehingga Ho ditolak
artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan kecacatan.

21
BAB 5

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasnani di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tahun 2003 yang menemukan bahwa bahwa proporsi kecacatan tingkat 2 pada
penderita kusta laki-laki lebih tinggi dari pada penderita perempuan yaitu masing-masing
proporsi 29,7% pada laki-laki dan 26,2% pada perempuan namun tidak berhubungan secara
statistik.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Saputri (2009), di kampung
rehabilitasi Rumah Sakit Kusta Donorojo Jepara tahun 2008 yang menemukan bahwa jenis
kelamin berhubungan signifikan dengan kejadian cacat tingkat 2 pada penderita kusta ( nilai p
= 0,000 dan OR = 4,41). Tingginya kejadian kecacatan pada penderita kusta laki-laki
dibanding perempuan disebabkan karena laki-laki cenderung lebih banyak mendapat paparan
trauma dan tekanan fisik saat bekerja di luar rumah (Zhang Guaocheng, 1998 dalam Hasnani,
2003).

Tingginya kejadian kecacatan pada penderita kusta laki-laki dibanding perempuan


disebabkan karena laki-laki cenderung lebih banyak mendapat paparan trauma dan tekanan
fisik saat bekerja di luar rumah (Zhang Guaocheng, 1998 dalam Hasnani, 2003).

Perempuan mempunyai ketahahan yang lebih tinggi terhadap infeksi kusta


dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan kurang kontak dengan masyarakat banyak dan
pakaian wanita lebih tertutup sehingga pemaparan lebih tercegah. (Ginting, 2006).

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniarasari, Y. 2013. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta


(Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Gunem Dan Puskesmas Sarang Kabupaten
Rembang Tahun 2011). Semarang : Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu
Keolahragaan.
2. WHO.2011.Weekly Epidemiological Record, No. 36, 2 September 2011
3. Dinkes. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014
4. Rambey, AM. 2012. Hubugan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Cacat Tingkat 2 Pada
Penderita Kusta Di Kabupaten Lamongan Tahun 2011-2012. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
5. Hasnani, 2003, Kejadian Cacat Tingkat 2 Pada Penderita Kusta Dan FaktorFaktor Yang
Memepengaruhi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2002, Tesis, Universitas
Indonesia.
6. Witama, A. 2014. Karakteristik Penderita Kusta Dengan Kecacatan Derajat 2 Di Rs
Kusta Alverno Singkawang Tahun 2010-2013. Pontianak. Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
7. Namira, N. 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kapita Kabupaten Jeneponto. Makassar: Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
8. Septiyono, E.A. 2013. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Tentang Pencegahan Kusta
Pada Siswa Sekolah Usia 10-11 Tahun Melalui Pemberian Pendidikan Kesehatan
Dengan Strategi Card Sort Di Sdn Gebang 01 Kabupaten Jember. Jember: Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.
9. Rismayanti, dkk. Faktor Risiko Kejadian Kecacatan Tingkat 2 Pada Penderita Kusta.
Sulawesi: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta. Cetakan XV, Jakarta: Dirjen PPM dan PL.
11. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, 2010. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
Keenam., Jakarta: Universitas Indonesia. Hlm. 73-88.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007, Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta, Jakarta : Depkes RI.
13. Indriani, S. 2014. Faktor Risiko Yang Berhubungandengan Kejadian Kusta. Semarang:
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan.

23

Anda mungkin juga menyukai