PENDAHULUAN
1
wanita di Rumah Sakit Ibnu Sina di Kota Makassar pada Tahun 2015-
2018.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Apakah ada pengaruh obesitas terhadap terjadinya
kolelitiasis pada pasien di Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar pada tahun
2015-2018?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya pengaruh
obesitas terhadap terjadinya kolelitiasis pada pasien di Rumah Sakit Ibnu
Sina Makassar tahun 2015-2018.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui jumlah pasien obesitas yang menderita kolelitiasis di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam.
2. Mengetahui jumlah pasien obesitas yang tidak menderita kolelitiasis di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Bidang Akademik
Menambah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh obesitas terhadap
terjadinya kolelitiasis, sebagai kontribusi kepada dunia kedokteran serta
untuk memperkaya pengetahuan di bidang Kedokteran.
1.4.2. Bagi Masyarakat Umum
Dapat memberi informasi kepada masyarakat, agar lebih
memperhatikan kebutuhan dan keseimbangan gizi dan tidak
mengkonsumsi makanan berlemak secara berlebihan.
1.4.3. Bagi Peneliti
Agar penelitian ini dijadikan kajian awal untuk melakukan penelitian
selanjutnya. Dengan adanya penelitian ini juga, diharapkan akan menjadi
pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan dapat menambah
2
pengetahuan serta sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
di Fakultas Kedokteran UMI Makassar.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolelitiasis
2.1.1. Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk
di dalam kandung empedu. Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu
sekunder atau koledokolitiasis sekunder.1
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu
A. Anatomi
1. Vesica Billiaris
Kandung empedu (vesica billiaris) adalah sebuah kantong,
berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan bawah hepar. Vesica
billiaris mempunyai kemampuan menampung dan menyimpan empedu
sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan cara
mengabsorpsi air. Untuk mempermudah deskripsi, vesica billiaris dibagi
menjadi fundus, corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya
menonjol di bawah margo inferior hepatis, dimana fundus bersentuhan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung cartilage costalis IX
4
dextra. Corpus vesica billiaris terletak dan berhubungan dengan facies
visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum
melanjutkan diri sebagai ductus cysticus, yang berkelok ke dalam
omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus
communis untuk membentuk ductus choledochus.5
2. Ductus Cysticus
Panjang ductus cysticus sekitar 1,5 inci (3.8 cm) dan
menghubungkan collum vesica billiaris dengan ductus hepaticus
communis untuk membentuk ductus choledocus. Biasanya ductus
membentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang
bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum majus. 5
Tunica mucosa pada ductus menonjol untuk membentuk plica
spiralis yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada collum vesica
billiaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai “valvula spiralis”. Fungsi
valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen terbuka secara
konstan.5
3. Ductus Choledochus
Panjang ductus choledocus (ductus billiaris communis) sekitar 3inci
(8cm). Pada bagian pertama perjalanannya, ductus ini terletak pada
pinggir bebas kanan omentum minus, didepan foramen epiploicum. Di sini
ductus choledocus terletak di depan pinggir kanan vena porta dan pada
sisi kanan arteria hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, ductus
terletak di belakang bagian pertama duodenum disebelah kanan arteria
gastroduodenalis. Pada bagian ketiga perjalanannya, ductus terletak di
dalam sulcus yang terdapat pada facies posterior caput pancreatitis. Disini
ductus choledocus bergabung dengan ductus pancreatitis major. 5
B. Fisiologi
Jika pencernaan tidak terjadi, sphincter oddi tetap tertutup, dan
empedu dikumpulkan di dalam vesica billiaris. Vesica billiaris memekatkan
empedu, menyimpan empedu secara selektif mengabsorbsi garam
empedu, mempertahankan asam empedu, mengeluarkan kolestrol, dan
5
mensekresi mukus. Untuk membantu fungsi-fungsi ini, tunica mucosa
berubah menjadi lipatan-lipatan permanen yang saling berhubungan,
sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon. Sel-sel toraks
yang meliputi permukaan mukosa mempunyai banyak vili. 5
Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat dari kontraksi dan
pengosongan parsial vesica billiaris. Mekanisme ini diawali dengan
masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunica mucosa duodenum. Lalu
hormon masuk ke dalam daerah dan menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada waktu yang bersamaan, otot polos yang terletak pada
ujung distal ductus choledocus dan ampula relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum.
Garam-garam empedu di dalam cairan empedu penting untuk
mengemulsikan lemak di dalam usus dan membantu pencernaan dan
absorbsi lemak.5
Garam empedu adalah turunan kolesterol. Garam-garam ini secara
aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya masuk ke duodenum
bersama dengan konstituen empedu lainnya. Setelah ikut serta dalam
pencernaan dan penyerapan lemak, sebagian besar garam empedu
diserap kembali ke dalam darah oleh mekanisme transport aktif khusus
yang terletak di ileum terminal. Dari sini garam empedu dikembalikan ke
sistem porta hati, yang meresekresikannya ke dalam empedu. Daur ulang
garam empedu ini (dan sebagian dari konstituen empedu lainnya) antara
usus halus dan hati disebut sirkulasi enterohepatik (entero artinya usus;
hepatic artinya hati).6
2.1. 3. Etiologi
Pada sekitar 75% pasien, batu empedu terdiri atas kolesterol dan
sisanya disebut sebagai batu pigmen yang terutama mengandung bilirubin
tidak terkonjugasi. Persamaan dari kedua jenis senyawa pembentuk batu
ini adalah zat tersebut sukar larut dalam air. 7
6
Proses pembentukan batu kolesterol melalui 4 tahap, yaitu
penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan
pertumbuhan batu. Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat
dihitung melalui kapasitas daya larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan
oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau penurunan relatif asam
empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu antara
lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan
kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat.
Sekresi asam empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan
absorpsi di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung
empedu.1
Batu pigmen adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang
dari 25%. Batu pigmen hitam terbentuk di dalam kandung empedu
terutama terbentuk pada gangguan keseimbangan metabolik seperti
anemia hemolitik dan sirosis hati tanpa didahului infeksi. 1
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin
berhubungan dengan bertambahnya usia. Infeksi, statis, dekonjugasi
bilirubin dan ekskresi kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia
terdapat bakteri gram negatif, terutama E. coli. Pada batu kolesterol pun,
E. coli yang tersering ditemukan dalam biakan empedunya. 1
Beberapa faktor yang juga disangka berperan adalah faktor
geografi, hemolisis, dan sirosis hepatis. Sebaliknya jenis kelamin,
obesitas, dan gangguan di ileum tidak mempertinggi risiko batu bilirubin. 1
2.1.4. Faktor Predisposisi
1. Jenis Kelamin
Menurut penelitian penyakit batu kandung empedu lebih tinggi
resikonya dua kali terjadi pada wanita di bandingkan pada pria. Karena
pada wanita terdapat hormon progesteron dan esterogen yang apabila
bergabung akan mempengaruhi kolesterol di dalam empedu sehingga
mengalami suatu proses untuk pembentukan batu empedu. 8
2. Usia
7
Faktor usia mempengaruhi terjadinya resiko penyakit batu kandung
empedu. Menurut penelitian pada usia 40 tahun keatas penyakit batu
kandung empedu lebih mudah terbentuk karena tubuh cenderung
mengeluarkan lebih banyak kolesterol ke dalam cairan tubuh. 8
3. Kehamilan/Kesuburan
Pada saat proses kehamilan, terjadi penggabungan pengaruh
hormon progesteron dan esterogen. Akibat penggabungan ini
meningkatkan hipersekresi kolesterol yang mengakibatkan kolesterol di
dalam empedu mengalami proses untuk pembentukan batu empedu.
Bukan hanya pada masa kehamilan tetapi pada saat terapi sulih hormon
atau penggunaan pil KB juga memudahkan terbentuknya batu. 8
4. Kegemukan/Obesitas
Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat
badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita
dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih
dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang yang memiliki berat
badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang
normal dianggap mengalami obesitas. Obesitas digolongkan menjadi 3
kelompok:8
1. Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%
2. Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%
3. Obesitas berat: kelebihan berat badan >100% (obesitas berat
ditemukan sebanyak 5% dari antara orang-orang yang gemuk).
Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan
lebih mudah mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan
dengan obesitas serta memiliki risiko yang lebih tinggi. 8
Obesitas meningkatkan risiko terjadinya sejumlah penyakit
menahun, salah satunya adalah penyakit batu kandung empedu. Pada
keadaan ini hepar memproduksi kolestrol yang berlebih, kemudian
dialirkan ke kandung empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung
empedu menjadi sangat jenuh. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi
8
terbentuknya batu. Kejadian batu kandung empedu meningkat pada
8
wanita gemuk dan puberitas.
5. Sindrom metabolik
Sindrom metabolik adalah kombinasi dari gangguan medis yang
meningkatkan risiko suatu penyakit salah satunya adalah penyakit
diabetes. Pada penderita yang mengalami masalah sindrom penyakit
diabetes pada umumnya memiliki kadar asam lemak atau trigliserida yang
tinggi, sehingga resiko menderita penyakit batu kandung empedu semakin
besar.8
6. Faktor Genetik
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu ini
dibuktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas diantara
berbagai bangsa dan kelompok etnik tertentu. Penyakit batu kandung
empedu ini seringkali merupakan penyakit keturunan dalam keluarga dan
berhubungan dengan pola hidup keluarga tersebut. 8
7. Diet rendah serat
Pola makan yang rendah serat tapi tinggi lemak serta kolesterol
dapat mengakibatkan beberapa penyakit, salah satunya adalah penyakit
batu kandung empedu. Dengan pola diet yang rendah serat ini menambah
risiko terjadinya penyakit batu kandung empedu. 8
2.1.5. Patogenesis
Kolesterol (Ch) normalnya tidak akan mengendap di empedu
karena empedu mengandung garam empedu (BS) terkonjugasi dan
fosfatidilkolin (Pch = lesitin) dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di
dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi [Ch]/[BS+Pch] meningkat, Ch
dalam kisaran yang kecil akan tetap berada di dalam larutan misel yang
“sangat jenuh”. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati juga
menyekresi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi di dalam “nukleasi”
vesikel unilamelar di kandung empedu dengan cara tertentu sehingga Pch
membuat larutan yang membantu “menguliti” vesikel yang berdiameter 50-
100 nm ini. Jika kandungan kolesterol relatif semakin meningkat, akan
9
dibentuk vesikel multimisel (hingga 1000 nm). Zat ini kurang stabil dan
akan melepaskan kolesterol yang kemudian diendapkan pada lingkungan
cairan dalam bentuk kristal kolesterol. Kristal ini merupakan prekursor
batu empedu. Penyebab peningkatan rasio [Ch]/[BS+Pch] yang penting
adalah:7
a. Peningkatan sekresi kolesterol. Hal ini terjadi karena peningkatan
sintesis kolesterol (peningkatan aktivitas 3-hidroksi-3-metilglutaril
[HMG]-KoA-Kolesterol reduktase) atau penghambatan esterifikasi
kolesterol, misalnya oleh progesterone selama kehamilan
(penghambatan asetil-KoA-kolesterol-asetil transferase [ACAT]).
b. Penurunan sekresi garam empedu. Hal ini terjadi karena penurunan
simpanan garam empedu, seperti pada penyakit Crohn Disease atau
setelah reseksi usus, atau karena sekuestrasi garam empedu yang
memanjang di kandung empedu, seperti pada puasa (bahkan pada
puasa hanya berlangsung semalam) atau pada pemberian nutrisi
parenteral. Pemberian nutrisi parenteral menurunkan sirkulasi
enterohepatik garam empedu sehingga sekresinya ke dalam empedu
berkurang. Karena sekresi kolesterol tidak berhubungan secara linier
dengan sekresi garam empedu, rasio [Ch]/[BS+Pch] akan meningkat
jika sekresi garam empedu rendah. Rasio ini meningkat di bawah
pengaruh estrogen karena estrogen menyebabkan peningkatan rasio
konsentrasi kolat dengan kenodeoksikolat (aktivasi 12 α-hidroksilase)
sehingga lebih banyak kolesterol akan disekresikan di setiap molekul
garam empedu.
c. Penurunan sekresi fosfatidilkolin sebagai penyebab batu kolesterol
telah ditemukan pada wanita di negara Chili, yang hidupnya hampir
hanya dengan memakan sayur-sayuran.
10
Penyakit Crohn, Diet yang tidak Penghambata
Puasa
reseksi usus seimbang n esterifikasi
(semalaman), diet
kolesterol,
parenteral
misalnya oleh
progesteron
Penurunan simpanan
garam empedu
Kolesterol
sangat jenuh
Pembentukan
Kristal kolesterol
Batu kolesterol
11
berupa nyeri epigastrium kuadran kanan atas, kolik bilier lebih dari 15
menit, nyeri 30-60 menit pasca prandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi makanan berlemak, berakhir setelah beberapa jam, kemudian
pulih, mual dan muntah.1
Banyak orang yang mengalami batu kandung empedu tidak
menunjukkan gejala sama sekali. Batu kandung empedu seringkali
ditemukan saat melakukan pemeriksaan sinar X rutin, operasi abdominal
atau prosedur pemeriksaan kedokteran lainnya. Akan tetapi, jika batu
besar menyumbat pipa penghubung kandung empedu, kita bisa
mengalami rasa perih pada bagian tengah atas perut. Kejadian ini disebut
“Biliary Colic”.1
Pasien kolelitiasis dapat mengalami dua jenis gejala, yaitu: (1)
gejala yang ditimbulkan langsung oleh penyakit kandung empedu itu
sendiri; dan (2) gejala yang terjadi akibat obstruksi pada jalan perlintasan
empedu oleh batu empedu. Gejala bisa bersifat akut atau kronis.
Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri
yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan
ini dapat terjadi bila individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau
yang digoreng.1
2.2. Obesitas
2.2.1. Definisi Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai derajat berapapun kelebihan lemak
yang memberi risiko pada kesehatan. Batas tegas antara normal dan
obesitas hanya dapat diperkirakan, dan risiko kesehatan yang diberikan
oleh obesitas mungkin merupakan rangkaian dengan peningkatan lemak. 4
Sebuah metode untuk memperkirakan obesitas adalah indeks
massa tubuh atau Body Mass Index (BMI) [berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) 2].4
Rumus mengukur IMT:9
Berat Badan (kg)
Rumus IMT = ---------------------------------------------
12
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
2.2.2. Etiologi Obesitas
Penyebab obesitas sangatlah kompleks. Meskipun gen berperan
penting dalam menentukan asupan makanan dan metabolisme energi,
gaya hidup dan faktor lingkungan dapat berperan dominan pada banyak
orang dengan obesitas. Diduga bahwa sebagian besar obesitas
disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan
nutrisional.10
a. Genetik
Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Namun peran genetik yang
pasti untuk menimbulkan obesitas masih sulit ditentukan, karena
anggota keluarga umumnya memiliki kebiasaan makan dan pola
aktivitas fisik yang sama. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan
bahwa 20-25% kasus obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetik.
Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan kelainan
satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan pengeluaran
energi serta penyimpanan lemak. Penyebab monogenik (gen tunggal)
dari obesitas adalah mutasi MCR-4, yaitu penyebab monogenik
tersering untuk obesitas yang ditemukan sejauh ini, defisiensi leptin
kongenital, yang diakibatkan mutasi gen, yang sangat jarang dijumpai
dan mutasi reseptor leptin, yang juga jarang ditemui. Semua bentuk
penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil
persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen sepertinya
berinterakasi dengan faktor lingkungan untuk mempengaruhi jumlah
dan distribusi lemak. 10
b. Aktivitas fisik
Gaya hidup tidak aktif dapat dikatakan sebagai penyebab utama
obesitas. Hal ini didasari oleh aktivitas fisik dan latihan fisik yang
teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak
tubuh, sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat
13
menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas.
Oleh karena itu pada orang obesitas, peningkatan aktivitas fisik
dipercaya dapat meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan
makanan, yang berimbas penurunan berat badan. Tingkat
pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat
tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor: 1) tingkat
aktivitas dan olahraga secara umum; 2) angka metabolisme basal
atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki
tanggung jawab duapertiga dari pengeluaran energi orang normal.
Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi sepertiga pengeluaran
energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki
kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat
penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak
berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori secara
tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang
duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme
basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu
siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olahraga menjadi
sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olahraga
secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme
basal tubuh orang tersebut. Jadi, olahraga sangat penting dalam
penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori,
melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya
metabolisme normal.10
c. Perilaku makan
Faktor lain penyebab obesitas adalah perilaku makan yang tidak baik.
Perilaku makan yang tidak baik disebabkan oleh beberapa sebab,
diantaranya adalah karena lingkungan dan sosial. Hal ini terbukti
dengan meningkatnya prevalensi obesitas di negara maju. Penyebab
lain yang menyebabkan perilaku makan tidak baik adalah factor
14
psikologis, dimana perilaku makan agaknya dijadikan sebagai sarana
penyaluran stress. Perilaku makan yang tidak baik pada masa kanak-
kanak menyebabkan terjadinya kelebihan nutrisi sehingga
berkontribusi dalam masalah obesitas, hal ini didasarkan karena
kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama meningkat
pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan
penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Oleh karena
itu, obesitas pada kanak-kanak cenderung mengakibatkan obesitas
pada dewasanya nanti. 10
d. Neurogenik
Telah dibuktikan bahwa lesi di nukleus ventromedial hipotalamus
dapat menyebabkan seekor binatang makan secara berlebihan dan
menjadi obesitas. Orang dengan tumor hipofisis yang menginvasi
hipotalamus seringkali mengalami obesitas yang progresif. Hal ini
memperlihatkan bahwa, obesitas pada manusia juga dapat timbul
akibat kerusakan pada hipotalamus. Dua bagian hipotalamus yang
mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang
menggerakkan nafsu makan (awal atau pusat makan) dan
hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas menintangi nafsu
makan (pemberhentian atau pusat kenyang). Hasil penelitian
didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu menolak untuk
makan atau minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan
dan minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada
bagian HVM, maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.
Dibuktikan bahwa lesi pada hipotalamus bagian ventromedial dapat
menyebabkan seekor binatang makan secara berlebihan dan
obesitas, serta terjadi perubahan yang nyata pada neurotransmiter di
hipotalamus berupa peningkatan oreksigenik seperti NPY dan
penurunan pembentukan zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH
pada hewan obesitas yang dibatasi makannya. 10
e. Hormonal
15
Dari segi hormonal terdapat leptin, insulin, kortisol, dan peptida usus.
Leptin adalah sitokin yang menyerupai polipeptida yang dihasilkan
oleh adiposit yang bekerja melalui aktivasi reseptor hipotalamus.
Injeksi leptin akan mengakibatkan penurunan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Insulin adalah anabolik hormone yang diketahui
berhubungan langsung dalam penyimpanan dan penggunaan energi
pada sel adiposa. Kortisol adalah glukokortikoid yang bekerja dalam
mobilisasi asam lemak yang tersimpan pada trigliserida, hepatic
glukoneogenesis, dan proteolisis. 10
f. Dampak penyakit lain
Faktor terakhir penyebab obesitas adalah karena dampak/sindroma
dari penyakit lain. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
obesitas adalah hypogonadism, Cushing syndrome, hypothyroidism,
insulinoma, craniophryngioma dan gangguan lain pada hipotalamus.
Beberapa anggapan menyatakan bahwa berat badan seseorang
diregulasi baik oleh endokrin dan komponenen neural. Berdasarkan
anggapan itu maka sedikit saja kekacauan pada regulasi ini akan
mempunyai efek pada berat badan. 10
2.2.3. Klasifikasi Obesitas
Jaringan adiposa tidak terisolasi pada area tertentu di tubuh,
melainkan tersebar menyeluruh. Pada wanita 18% berat badan adalah
lemak sedangkan pada pria 16% berat badan adalah lemak. Pada tubuh
manusia, lemak didistribusikan menjadi 2 kategori yaitu disimpan pada
area panggul dan kaki (“pear-shaped” – obesitas perifer) atau disimpan
terpusat disekitar abdomen (“apple-shaped” – obesitas sentral).4
Rasio Lingkar Perut (LPe) dan Lingkar Panggul (LPa) merupakan
cara sederhana untuk membedakan obesitas bagian bawah tubuh
(panggul) dan bagian atas tubuh (pinggang dan perut). Jika rasio antara
lingkar pinggang dan lingkar panggul untuk perempuan diatas 0.85 dan
untuk laki-laki diatas 0.95 maka berkaitan dengan obesitas sentral/apple-
shaped obesity dan memiliki faktor resiko stroke, DM, dan penyakit
16
jantung koroner. Sebaliknya jika rasio lingkar pinggang dan lingkar
panggul untuk perempuan dibawah 0,85 dan untuk laki-laki dibawah 0,95
maka disebut obesitas perifer/pear-shaped obesity.4
2.2.4. Derajat Obesitas
Dengan IMT, maka akan diketahui apakah berat badan seseorang
tergolong normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang
dewasa berumur di atas 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi
atau anak-anak, ibu hamil, dan olah ragawan. Batas ambang IMT
menurut Departemen Kesehatan RI (1994) disajikan pada tabel 1
berikut:11
Tabel 2.2.4 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
17
Gangguan IMT
metabolik
Peningkatan
Genetik sekresi
kolesterol
Budaya/faktor
sosial
Penurunan
sekresi
Peningkatan asupan
makanan/ diet tinggi
Obesitas garam
empedu
kalori dan kolesterol
Penurunan
aktivitas
Kolesterol
sangat jenuh
Perubahan
gaya hidup
Pembentukan
Kristal
kolesterol
Etiologi lain:
Gangguan absorpsi di
ileum
Pemakaian obat-obatan Kolelitiasis
Gangguan daya
pengosongan primer
kandung empedu
Gejala klinis:
“billiary colic”
Gangguan
epigastrium
Mual dan muntah
18
Penderita
Obesitas Kolelitiasis
(1&2)
Bukan penderita
kolelitiasis
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
2.5. Hipotesis
Berdasarkan kasus di atas, maka penulis mengambil hipotesis
sebagai berikut:
H0: tidak ada pengaruh obesitas terhadap terjadinya kolelitiasis
H1: ada pengaruh obesitas terhadap terjadinya kolelitiasis
BAB III
19
METODE PENELITIAN
20
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak
dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel
penelitian. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien penderita kolelitiasis dan bukan kolelitiasis yang dirawat di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar
2) Rekam medik yang tidak lengkap
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
3.5.1. Variabel bebas (Variabel Independen)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pasien obesitas
yang dirawat inap di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Ibnu Sina
Makassar tahun 2015-2018.
3.5.2. Variabel terikat (Variabel Dependen)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pasien penderita dan
bukan kolelitiasis yang dirawat inap di Bagian Penyakit Dalam
Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar tahun 2015-2018.
3.6. Definisi Operasional
Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi di atas, definisi
operasaional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.6.1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
1. Definisi: Keadaan gizi seseorang yang dihitung dari perbandingan
antara berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan
dikuadratkan dalam meter.
2. Alat dan Cara Ukur: berat badan diukur dengan timbangan merek
xxxxx, sedangkan tinggi badan diukur dengan Microtoise.
3. Hasil Ukur: IMT diklasifikasikan menurut definisi Depkes RI, yaitu:
(a) IMT > 25 digolongkan obesitas (berat badan berlebih); (b) IMT
18,5-25 digolongkan berat badan normal; dan (c) IMT < 18,5
digolongkan berat badan kurang.
4. Skala: Kategorial (Ordinal)
3.6.2. Kolelitiasis dan bukan kolelitiasis
21
1. Definisi: Pasien di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit
Ibnu Sina Makassar yang telah didiagnosa menderita dan bukan
penderita kolelitiasis berdasarkan USG.
2. Data rekam medik pasien yang tersedia di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam Rumah sakit Ibnu Sina Makassar.
3. Skala: Positif atau Negatif menderita Kolelitiasis.
22
3.9. Etika Penelitian
1. Setiap subjek akan dijamin kerahasiaan akan informasi yang
diberikan.
2. Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta izin
kepada instansi dan pihak yang terkait.
3.10. Alur Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
23
2. Copstead L., Banasik J. Pathophysiology. Fifth Edition. Saunders:
Elsevier Health Sciences. 2014
3. MedlinePlus. 2014. Gallstones. http://www.
nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article. diakses pada tanggal 15 April
2015.
4. Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. 2014
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:
EGC. 2012.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC. 2012.
7. Silbernargl, S. dan Lang, F. Teks & Atlas Berwarna Patofisilogi.
Jakarta: EGC. 2012
8. Mayo Clinic, 2008. Gastroenterology and Hepatology Board Review
Third Edition. Canada: Mayo Clinic Scientific Press And Informa
Healthcare USA.
9. Kementarian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman Praktis Status Gizi Dewasa.
2011. www.gizi.depkes.go.id
10. Guyton, H. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
Penerbit buku Kedokteran EGC. 2007
11. Tarigan dan Utami. Penilaian Status Gizi dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.
2014. Hal. 423-424
24
Endocrinology, Oxford University, USA. Received for Publication,
August, 1996.
15. Hannah, Hunter, A. Kemper K. and Willoughby, D., 2002. Obesity:
Big Health gain from little losses. Clinical Evellence in Jurnal Iptek,
7(3); 18-192
16. Shrestha KB; Dahal P; Shah LL; &Singk R. 2012. Relation of Lipid
Profile, BMI, & Cholelithiasis in Nepalese Population. Postgraduate
Medical Journal of NAMS (PMJN) Volume 12 (1)-2012. National
Academy of Medical Science Nepal. Kathmandu. Nepal.
17. K.W Heaton; P.M Emmelt; C.L Symes; F.G.M Braddon. 1993. A
Explanation For Gallstones in normal-weight-women: Slow
Intestinal Transit. Original Volume 1, issue 8836. Published by
Elesivier Ltd.
25