Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka pada bab ini akan memaparkan tinjauan teori, landasan

teori dengan kerangka teori / konsep, dan hipotesis penelitian.

A. Tinjauan Teori

1. Penyakit Ginjal Kronis

a. Definisi Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal

dalam beberapa bulan atau tahun didefinisikan sebagai kerusakan ginjal

dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60

mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (KDIGO 2012). Penyakit

ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi

uremia (Smeltzer, 2013). Sedangkan menurut Cahyaningsih (2009)

penyakit ginjal kronis merupakan suatu penyakit yang menyebabkan

fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu

melakukan fungsinya dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa penyakit

ginjal kronis adalah penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

irreversibel sehingga tidak mampu melakukan fungsi ginjal dengan

Glomerular Filtartion Rate kurang dari 60mL.


b. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis

Menurut Sja’bani (2008) penyebab terbanyak penyakit ginjal kronis

di Indonesia adalah Glomeruloneprhritis (2,51%), diabetic nephropati

(17,54%), hipertensi (15,72%), ginjal polikistik (2,51%), nefritis lupus

(0,23%), sedangkan data di negara barat penyebab utamanya adalah

Glomerulonefritis 14%, diabetes mellitus 30% dan hipertensi 26%.

Klasifikasi penyebab penyakit ginjal kronis adalah (Price & Wilson,

2012):

1) Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks

nefropati;

2) Penyakit peradangan: Glomerulonefritis;

3) Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna,

Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis;

4) Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis

nodosa, sklerosis sistemik progresif;

5) Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal;

6) Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,

amyloidosis;

7) Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah;

8) Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi,

neoplasma, fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah


(hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika

urinaria dan uretra).

c. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di

kedua sisi columna vertebralis (Price & Wilson, 2012). Kedua ginjal

terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing–masing di sisi

kanan dan sisi kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai

vertebra L3. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal

kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing–masing ginjal

memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo

lateralis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior (Moore & Agur,

2013).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13

cm, lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g (Price

dan Wilson, 2012). Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan

mengkilat yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini

terdapat jaringan lemak perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat

kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna

kuning. Kelenjar adrenal bersama ginjal dan jaringan lemak perineal

dibungkus oleh fascia gerota. Di luar fascia gerota terdapat jaringan

lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal (Purnomo

& Basuki, 2012).


Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron sedangkan di dalam

medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional

terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus

kontortus distal, dan tubulus koligentes. Ginjal mendapatkan aliran

darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta

abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang

bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end

arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan

cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah

satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah

yang dilayaninya (Purnomo & Basuki, 2012).

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal Manusia (Moore & Agur, 2013)


Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian

bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri

arkuarta, arteri interlobularis, dan arteriol aferen. Kemudian menuju ke

kapiler glomerulus tempat sejumlah besar cairan dan zat terlarut

difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap

glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen, yang menuju

jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang mengelilingi

tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam

pembuluh sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh

arteriol secara prorgesif untuk membentuk vena interlobularis, vena

arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal

di samping arteri renalis dan ureter (Guyton dan Hall, 2014).

d. Fisiologi Ginjal

Menurut Guyton dan Hall (2014), ginjal adalah organ utama untuk

membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh

tubuh. Produk-produk ini meliputi urea, kreatin asam urat, produk akhir

dari pemecahan hemoglobin. Ginjal tersusun dari beberapa juta nefron

yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi dan

reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus

melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian

besar air, ion-ion dan molekul-molekul.


Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang

sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan

lingkungan cairan internal (Sherwood, 2014):

1) Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh;

2) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk

Na+, Cl-, K+,HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO4 2-, PO4 2-, dan H+.

Bahkan fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini

dalam CES dapat menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh,

perubahan konsentrasi K+ di CES dapat menimbulkan disfungsi

jantung yang fatal.

3) Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan

dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini

dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan

garam dan H2O;

4) Membantu memelihara keseimbangan asam–basa tubuh dan

menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin;

5) Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui

pengaturan keseimbangan H2O;

6) Mengekskresikan produk–produk sisa dari metabolisme tubuh,

misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk,

zat–zat sisa tersebut bersifat toksik bagi tubuh, terutama otak;


7) Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat

penambah pada makanan, pestisida, dan bahan–bahan eksogen non

nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh;

8) Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang

pembentukan sel darah merah;

9) Mensekresikan renin, suatu hormonn enzimatik yang memicu reaksi

berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal;

10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

e. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis

Berikut adalah klasifikasi stadium penyakit ginjal kronis:

Tabel 2.1 Stadium penyakit ginjal kronis.


Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang

dimiliki oleh pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh

dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai GFR akan

semakin kecil (National Kidney Foundation, 2010). Chronic Kidney

Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan klinisnya

dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin

dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin

serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) (Price & Wilson, 2012).

f. Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronis

1) Gejala dan tanda penyakit ginjal kronis stadium awal (Arici, 2014):

a) Lemah;

b) Nafsu makan berkurang;

c) Nokturia, poliuria;

d) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap;

e) Urin berbuih;

f) Sakit pinggang;

g) Edema;

h) Peningkatan tekanan darah;

i) Kulit pucat.
2) Gejala dan tanda penyakit ginjal kronis stadium lanjut (Arici, 2014);

a) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda

kelebihan volume, penurunan mental, cegukan);

b) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations);

c) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic

lung);

d) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat

badan, stomatitis, rasa tidak menyenangkan di mulut);

e) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik

neuropati, kram otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang,

ensefalopati, koma);

f) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi);

g) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal).

g. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis

Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan

garam, dan penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung

pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari

25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal

karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang

rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan

sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin

banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi


tugas yang semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak

dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya

berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk

meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan progresif

nefronnefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal

mungkin berkurang (Elizabeth, 2009).

Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon

terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron

yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan

seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban

zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR

untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah

nilai normal. Sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan

filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi

sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus tidak dapat lagi

dipertahankan. Semakin rendah GFR semakin besar perubahan

kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan

atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai

1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan

penyebab gejala poliuria dan nokturia (Price & Wilson, 2012).


h. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit ginjal kronis menurut

Smeltzer dan Bare (2013) yaitu:

1) Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi:

a) Hipertensi diberikan antihipertensi yaitu Metildopa (Aldomet),

Propanolol (Inderal), Minoksidil (Loniten), Klonidin

(Catapses), Beta Blocker, Prazonin (Minipress), Metrapolol

Tartrate (Lopressor);

b) Kelebihan cairan diberikan diuretic diantaranya adalah

Furosemid (Lasix), Bumetanid (Bumex), Torsemid, Metolazone

(Zaroxolon), Chlorothiazide (Diuril);

c) Peningkatan trigliserida diatasi dengan Gemfibrozil;

d) Hiperkalemia diatasi dengan Kayexalate, Natrium Polisteren

Sulfanat;

e) Hiperurisemia diatasi dengan Allopurinol;

f) Osteodistoofi diatasi dengan Dihidroksiklkalsiferol, alumunium

hidroksida;

g) Kelebihan fosfat dalam darah diatasi dengan kalsium karbonat,

kalsium asetat, alumunium hidroksida;

h) Mudah terjadi perdarahan diatasi dengan desmopresin, estrogen;

i) Ulserasi oral diatasi dengan antibiotic.


2) Intervensi diet yaitu diet rendah protein (0,4-0,8 gr/kgBB), vitamin

B dan C, diet tinggi lemak dan karbohirat.

3) Asidosis metabolic diatasi dengan suplemen natrium karbonat.

4) Abnormalitas neurologi diatasi dengan Diazepam IV (valium),

fenitonin (dilantin).

5) Anemia diatasi dengan rekombion eritropoitein manusia (epogen IV

atau SC 3x seminggu), kompleks besi (imferon), androgen

(nandrolan dekarnoat/deca durobilin) untuk perempuan, androgen

(depo-testoteron) untuk pria, transfuse Packet Red Cell/PRC.

6) Cuci darah (dialisis) yaitu dengan hemodialisa maupun peritoneal

dialisa.

7) Transplantasi ginjal.

2. Hemodialisis

a. Definisi Hemodialisis

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi

sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap

akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan

dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan

mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau

memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya

aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak


dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner

& Suddarth, 2013).

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal

dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang

berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2014).

b. Indikasi Hemodialisis

Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut

yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien dengan

gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang /

permanen (Smeltzer et al. 2008). Indikasi dilakukan hemodialisis pada

penderita penyakit ginjal kronis adalah (Smeltzer et al. 2008):

1) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit;

2) Hiperkalemia;

3) Kegagalan terapi konservatif;

4) Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl;

5) Kelebihan cairan;

6) Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali.

c. Komplikasi Intradialisis

Menurut Daugirdas et al (2015) komplikasi intradialisis

merupakan kondisi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani


hemodialisis, komplikasi yang umum terjadi saat pasien menjalani

hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, pusing

(headache), nyeri dada, dan pruritus (gatal). Komplikasi intradialisis

lainnya yang mungkin terjadi adalah hipertensi intradialisis dan

disequlibrium syndrome yaitu kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri

dari sakit kepala, pusing, mual, muntah, kejang, disorientasi sampai

koma. Berikut ini akan menguraikan meliputi hipotensi, kram, mual dan

muntah, pusing, nyeri dada, pruritus (gatal), dan hipertensi.

1) Hipotensi Intradialisis

Menurut Shahgolian et al. (2008) hipotensi intradialisis adalah

penurunan tekanan darah sistolik >30% atau penurunan tekanan

diastolik sampai di bawah 60 mmHg yang terjadi saat pasien

menjalani hemodialisis, disebabkan oleh karena penurunan volume

plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energy panas, obat

anti hipertensi.

2) Kram Otot

Kram otot terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya

idiopatik namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh

peningkatan volume ekstraseluler. Intradialytic muscle craping,

biasa terjadi pada ekstrimitas bawah (Holley et al, 2010). Kram otot

adalah kontraksi yang terus menerus yang dialami oleh otot atau

sekelompok otot dan mengakibatkan rasa nyeri. Penyebab kram


adalah otot yang terlalu lelah, kurangnya pemanasan serta

peregangan, adanya gangguan sirkulasi darah yang menuju ke otot

sehingga menimbulkan kejang (Holley et al, 2010).

3) Pusing (headache)

Teta (2008) menyebutkan bahwa frekuensi sakit kepala saat

dialisis adalah 5% dan keseluruhan prosedur hemodialisis.

Penelitian menunjukkan bahwa migren akibat gangguan vaskuler

dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang dialami oleh

pasien saat hemodialisis.

4) Nyeri Dada

Daugirdas, et al (2015) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat

saat hemodialisis frekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat

hemodialisis terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan

volume darah karena penarikan cairan.

5) Pruritus (Gatal)

Hampir 60-80% pasien yang menjalani dialisis (baik

hemodialisis maupun dialisis peritoneal) mengeluhkan pruritus.

Pruritus didefi nisikan sebagai rasa gatal setidaknya 3 periode dalam

waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang

terjadi lebih dari 6 bulan secara teratur. Pruritus umumnya dialami

sekitar 6 bulan setelah awal dialisis dan biasanya makin meningkat

dengan lamanya pasien menjalani dialisis. Penyebab pruritus belum


diketahui jelas. Pengobatan berupa mengoptimalkan dosis dialisis

(adekuasi hemodialisis), mengobati anemia penyakit kronik,

perbaikan kadar mineral, terutama bila kalsium dan fosfat <55

mg/dL, emolien, antihistamin, capsaicin topikal, sinar UVB, dan/

atau antagonis opiat (Roswati, E. 2013).

6) Hipertensi Intradialisis

Terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi

akibat peningkatan tahanan perifer. Penelitian oleh Landry, et al

(2006) menunjukan bahwa pada pasien yang mengalami hipertensi

terjadi peningkatan tahanan perifer vaskuler resitence (PVR) yang

signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh

kelebihan cairan pradialisis. Akibatnya curah jantung meningkat,

menyebabkan peningkatan tekanan darah selama dialisis.

Pembuluh darah di tubuh manusia terdiri dari 3 jenis yaitu

pembuluh darah arteri, vena dan kapiler. Pembuluh darah arteri dan

vena dibagi menjadi 3 jenis yaitu pembuluh darah dengan diameter

besar, sedang dan kecil. Pembuluh darah arteri yang juga disebut

sebagai pembuluh nadi terdiri atas aorta, arteri dan arterioli

berdasarkan ukurannya. Sedangkan pembuluh darah vena

(pembuluh balik) terdiri atas vena cava, vena dan venula

berdasarkan ukurannya. Pembuluh darah arteri mengalirkan darah

secara aktif sebab dinding pembuluh darahnya lebih tebal, elastis,


memiliki sel otot polos dan jika pembuluh terbuka maka darah akan

memancar. Sedangkan aliran darah pada vena berkebalikan dengan

arteri.

Salah satu mekanisme penyebab hipertensi telah dideskripsikan

sebagai akibat tingginya output kerja jantung yang terjadi akibat

penurunan resistensi vascular perifer dan stimulasi jantung

bersamaan dengan hiperaktivitas adrenergic serta perubahan

homeostasis kalsium. Mekanisme kedua menjelaskan bahwa

hipertensi terjadi akibat manifestasi penurunan cardiac output atau

cardiac output normal namun resistensi vaskuler meningkat akibat

peningkatan vasoreaktivitas. Mekanisme lain bisa jadi disebabkan

akibat peningkatan reabsorpsi garam dan air (akibat sensitivitas

garam) oleh ginjal, dimana akan mengakibatkan peningkatan

volume darah yang bersikulasi.

3. Hipertensi Intradialisis

a. Definisi Hipertensi Intradialisis

Hipertensi intradialisis adalah apabila tekanan darah saat dialisis

≥ 140/90 mmHg atau terjadi peningkatan tekanan pada pasien yang

sudah mengalami hipertensi pradialisis. Pasien juga dikatakan

mengalami hipertensi intradialisis jika nilai tekanan darah rata-rata

(Mean Blood Pressure / MBP) selama hemodialisis ≥ 107 mmHg atau


terjadi peningkatan MBP pada pasien yang nilai MBP pradialisis diatas

normal (Daugirdas, Blake, & Ing, 2015; Teta, 2008).

b. Prevalensi Hipertensi Intradialisis

Inrig et al. (2009) menemukan bahwa sebagian besar subyek

dengan hipertensi intradialisis berusia ≥ 60 tahun. Jika secara teoritis,

kejadian hipertensi secara umum lebih banyak didapatkan pada usia

muda. Karena pada usia lanjut dihubungkan dengan adanya penyakit

komorbid seperti gagal jantung dan terapi obat hipertensi yang banyak

sehingga banyak didapatkan kejadian hipotensi. Namun jika dikaitkan

dengan teori patofisiologi hipertensi intradialisis mengenai hilangnya

obat anti hipertensi selama proses hemodialisis dan adanya disfungsi

endotel yang lazim pada usia lanjut, maka usia lanjut lebih berpotensi

mengalami hipertensi intradialisis.

Hipertensi intradialisis sering terjadi pada pasien yang baru

memulai terapi hemodialisis, namun hipertensi intradialisis juga terjadi

pada pasien dengan lama hemodialisis panjang (Chazot & Jean, 2010).

Inrig et al. (2009) menemukan prevalensi hipertensi intradialisis lebih

sering pada pasien dengan lama hemodialisis 1 tahun. Berdasarkan

penelitian Nakashima et al. (2011) pasien dengan lama hemodialisis

yang lama (>36 bulan) memiliki risiko untuk terjadinya arterial

stiffness (kekakuan pembuluh darah). Kondisi tersebut dapat

memperburuk kejadian hipertensi intradialisis berdasarkan teori


overaktivitas sistem simpatis dimana hilangnya cairan selama proses

hemodialisis memicu aktivasi sistem simpatis termasuk terjadinya

vasokontriksi. Armiyati, 2012 menemukan prevalensi hipertensi

predialisis pada pasien sebesar 92%.

c. Etiologi dan Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi intradialisis pada penderita

dengan hemodialisis reguler sampai saat ini belum sepenuhnya

diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab hipertensi

intradialisis seperti volume overload, renin angiotensin aldosterone

system (RAAS) activation karena diinduksi oleh hipovolemia saat

dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+

dan Ca2+ saat hemodialisis, viskositas darah yang meningkat karena

diinduksi oleh terapi erythropoietin (EPO), ultrafiltrasi yang berlebih

saat hemodialisis, obat antihipertensi yang terekskresikan saat

hemodialisis, dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010).

Berikut patofisiologi hipertensi intradialisis menurut Inrig (2010).

Tabel 2.2 Patofisiologi hipertensi intradialisis


NO. Patofisiologi
1. Kelebihan volume
2. Overaktif sistem saraf simpatis
3. Aktivasi renin angiotensin aldosterone system (RAS)
4. Kelainan sel endotel
5. Perubahan kadar elektrolit
6. Obat-obatan: erythropoietin stimulating agents (ESA),
ekskresi obat antihipertensi
1) Kelebihan Volume

Kelebihan volume merupakan salah satu teori terjadinya

hipertensi intradialisis. Cairan ekstrasel yang berlebihan

menyebabkan meningkatnya cardiac output (CO) merupakan salah

satu penyebab yang penting dari meningkatnya tekanan darah.

Hipervolemia (fluid overload) diyakini berperan dalam patogenesis

hipertensi intradialisis (Locatelli et al., 2010). Hal yang penting

harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi garam

dan air diantara sesi hemodialisis. Hal ini untuk menurunkan

peningkatan berat badan antar sesi hemodialisis sehingga

menurunkan kecepatan ultrafiltrasi per jam saat hemodialisis

berikutnya.

Meningkatkan waktu terapi hemodialisis mungkin sangat

berguna untuk menurunkan kecepatan ultrafiltrasi per jam saat

hemodialisis. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan dari

volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat

hemodialisis pada pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi

garam 100-120 mmol per hari berhubungan dengan penurunan

tekanan darah dan menurunkan peningkatan berat badan antar

hemodialisis. Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal

yang paling penting dalam mencegah dan menangani pasien

dengan hipertensi intradialisis (Locatelli et al., 2010).


2) Overaktif sistem saraf simpatis

Overaktif sistem saraf simpatis merupakan teori lain yang

diduga berperan dalam terjadinya hipertensi intradialisis. Individu

dengan penyakit ginjal kronis pada umumnya memiliki

overaktivitas sistem saraf simpatis. Pernyataan tersebut didukung

dengan ditemukannya peningkatan konsentrasi katekolamin

dalam plasma pasien penyakit ginjal kronis, meskipun

peningkatan tersebut dapat juga disebabkan oleh reduksi klirens

dari katekolamin. Berdasarkan penelitian Chou et al. (2014)

ditemukan terjadi peningkatan tahanan pembuluh darah perifer

pada pasien hipertensi intradialisis secara signifikan tanpa

peningkatan epinefrin dan norepinefrin plasma.

3) Aktivasi renin angiotensin aldosterone system (RAAS)

Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian hipertensi

intradialisis adalah aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan

angiotensin II yang diinduksi oleh ultrafiltrasi saat hemodialisis.

Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II

menyebabkan peningkatan resistensi vaskular secara tiba-tiba dan

meningkatkan tekanan darah (Chou et al., 2014). Penelitian

terhadap 30 pasien yang prone terhadap hipertensi intradialisis

dengan 30 kontrol pasien hemodialisis yang matched umur dan

jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata sebelum dan


sesudah hemodialisis sama pada kelompok pasien yang prone

tehadap hipertensi intradialisis. Sebaliknya rata-rata kadar renin

setelah hemodialisis meningkat signifikan pada kelompok kontrol.

Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab

utama dari hipertensi intradialisis (Chou et al., 2014).

4) Kelainan sel endotel

Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan hemodinamik

yang signifikan selama hemodialisis. Proses ultrafiltrasi, faktor

mekanik, dan stimulus hormonal selama hemodialisis

menyebabkan respon berupa sintesis faktor humoral oleh sel

endotel yang berpengaruh terhadap homeostasis tekanan darah.

Faktor humoral berupa substansi vasoaktif yang paling berperan

adalah nitric oxide (NO) sebagai vasodilator otot polos,

asymmetric dimethylarginine (ADMA) sebagai inhibitor sintesis

NO endogen, dan endothelin-1 (ET-1) sebagai vasokonstriktor.

Ketiga substansi vasoaktif tersebut berefek pada aktivitas sistem

syaraf simpatis, vasokonstriksi perifer, dan tekanan darah

intradialisis (Naysilla & Partiningrum, 2012).

5) Perubahan kadar elektrolit

Komposisi dialisat yang adekuat dan pengontrolan variasi kadar

elektrolit merupakan aspek yang penting untuk mencegah

ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan hipertensi


intradialisis. Sebagai contoh dialisat hipernatrium digunakan untuk

mencegah kehilangan natrium berlebihan saat ultrafiltrasi dan

mencegah ketidakstabilan kardiovaskuler, tetapi dapat

menyebabkan rasa haus, peningkatan konsumsi cairan selama

hemodialisis, dan memperburuk hipertensi. Contoh lain adalah

hubungan kuat antara kadar kalsium dengan kontraktilitas

miokardium, tahanan pembuluh darah perifer, dan tekanan darah

intradialisis. Perkembangan peralatan hemodialisis berupa

individualisasi komposisi cairan buffer dan elektrolit dapat

mencegah ketidakseimbangan elektrolit intradialisis (Inrig et al.,

2010).

6) Obat-obatan: erythropoietin stimulating agents (ESA), eksresi obat

antihipertensi

Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents

(ESA) sebagai terapi anemia pada pasien penyakit ginjal kronis

lebih dari 20 tahun yang lalu. Prevalensi hipertensi pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis rutin meningkat

sehingga mengarahkan pada hubungan antara ESAs dengan

kejadian hipertensi intradialisis. Mekanisme potensial yang

menjelaskan fenomena tersebut adalah peningkatan hematokrit,

peningkatan viskositas darah, peningkatan tahanan pembuluh


darah perifer, dan peningkatan sintesis ET-1 (Krapf &Hulter,

2009).

Selama proses hemodialisis berlangsung, beberapa obat

antihipertensi dapat hilang dari tubuh pasien sehingga berpotensi

mengakibatkan hipertensi intradialisis. Namun, peran hilangnya

obat antihipertensi selama proses hemodialisis terhadap hipertensi

intradialisis belum terbukti secara pasti dikarenakan banyak

penelitian yang menemukan kejadian hipertensi intradialisis pada

pasien yang tidak mendapatkan terapi antihipertensi (Krapf

&Hulter, 2009).

Berikut adalah daftar obat yang hilang selama proses hemodialisis:

Tabel 2.3 Daftar obat yang hilang selama proses hemodialisis


d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi Intradialisis

Hipertensi intradialisis merupakan komplikasi intradialisis yang

sering diabaikan, namun dengan ditemukannya bukti-bukti mengenai

luaran yang buruk berupa peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien,

maka hipertensi intradialitik menjadi penting untuk dievaluasi.

Penelitian mengenai hipertensi intradialitik terus berkembang

mencakup penelitian epidemiologi, patofisiologi, strategi penanganan,

dan pencegahan. Salah satu upaya dalam pencegahan hipertensi

intradialitik adalah dengan mengetahui faktor risiko terjadinya

hipertensi intradialitik. Berdasarkan penelitian Inrig, et al (2009), pasien

yang mengalami hipertensi intradialisis memiliki karakteristik usia

lanjut, Interdialytic Weight Gain (IDWG) lebih rendah, Ureum

Reduction Ratio lebih tinggi, lama hemodialisa lebih panjang, dan

jumlah obat anti hipertensi lebih banyak dibandingkan dengan pasien

tanpa hipertensi intradialisis. Sedangkan penelitian Rosansky (2011),

menemukan bahwa pasien CKD dengan Residual Renal Function tinggi

berpotensi mengalami hipotensi intradialisis sehingga diasumsikan

pasien dengan Residual Renal Function rendah berpotensi mengalami

hipertensi intradialisis.

1) Usia

Berdasarkan penelitian Inrig et al (2009), hipertensi intradialisis

banyak terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani


hemodialisis rutin dengan karakteristik usia lanjut. Hubungan pasti

antara usia lanjut dengan hipertensi intradialisis belum diteliti secara

khusus. Pada penelitian mengenai kejadian hipertensi secara umum

pada pasien penyakit ginjal kronis, didapatkan usia muda

merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dibanding usia lanjut

karena pada usia lanjut dihubungkan dengan adanya penyakit

komorbid seperti gagal jantung dan terapi obat hipertensi yang

banyak sehingga banyak didapatkan kejadian hipotensi. Jika

dikaitkan dengan teori patofisiologi hipertensi intradialisis

mengenai hilangnya obat anti hipertensi selama proses hemodialisis

dan adanya disfungsi endotel yang lazim pada usia lanjut, maka usia

lanjut berpotensi mengalami hipertensi intradialisis.

2) Interdialytic Weight Gain (IDWG)

IDWG merupakan selisih berat badan predialisis dengan berat

badan pascadialisis sesi sebelumnya, sedangkan persentase IDWG

adalah persentase IDWG dengan target berat badan kering pasien.

Penelitian hubungan antara IDWG dengan tekanan darah masih

dalam perdebatan. Penelitian yang mendukung hubungan antara

IDWG dengan tekanan darah menyatakan IDWG yang berlebih

merupakan tanda dari kelebihan natrium dan air yang merupakan

faktor penting terjadinya hipertensi arterial pada pasien PGK yang

menjalani hemodialisis rutin. Pada penelitian mengenai hubungan


IDWG dengan tekanan darah, ditemukan bahwa setiap kenaikan 1%

persentase IDWG berhubungan dengan peningkatan 1,00 mmHg

tekanan darah sistolik predialisis, penurunan tekanan darah

pascadialisis, dan peningkatan 1,08 mmHg SBP sehingga diduga

IDWG yang rendah lebih berpotensi memicu hipertensi intradialisis.

Inrig et al. (2009) menemukan bahwa persentase IDWG pasien

dengan hipertensi intradialisis lebih rendah daripada pasien tanpa

hipertensi intradialisis dimana persentase IDWG 2,74 (±2,13) pada

pasien dengan SBP 10 mmHg, dan 3,05 (±1,81) pada pasien dengan

tekanan darah sistolik tetap pre maupun pascadialisis.

3) Lama hemodialisis

Hipertensi intradialitik sering terjadi pada pasien yang baru

memulai terapi hemodialisis, namun hipertensi intradialitik juga

terjadi pada pasien dengan lama hemodialisis panjang. Inrig et al.

(2009) menemukan prevalensi hipertensi intradialitik lebih sering

pada pasien dengan lama hemodialisis > 1 tahun.

4) Jumlah obat anti hipertensi

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam patofisiologi

hipertensi intradialisis, Selama proses hemodialisis berlangsung,

beberapa obat antihipertensi dapat hilang dari tubuh pasien

sehingga berpotensi mengakibatkan hipertensi intradialisis.

Namun, peran hilangnya obat antihipertensi selama proses


hemodialisis terhadap hipertensi intradialisis belum terbukti secara

pasti dikarenakan banyak penelitian yang menemukan kejadian

hipertensi intradialisis pada pasien yang tidak mendapatkan terapi

antihipertensi (Krapf &Hulter, 2009).

B. Landasan Teori

1. Kerangka Konsep / Teori

Penyakit Ginjal Kronis


Hemodialisis

Usia
Volume
Interdialytic Overload
Weight Gain
Overaktivitas
Sistem Saraf
Lama
Simpatis
Hemodialisa
Stimulasi
Jumlah Obat Hipertensi Renin
Anti Intradialitik Angiotensin
Hipertensi System (RAS)

Ureum Perubahan
Reduction Kadar
Ratio Elektrolit

Disfungsi
Residual
Endotel
Renal
Function Terapi ESAs
Intravena
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel.

Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya

melalui penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi

lebih konkret dan dapat diukur. Pada penelitian ini mencari hubungan antara

usia, Interdialytic Weight Gain, lama hemodialisis, dan jumlah obat anti

hipertensi dengan faktor-faktor terjadinya hipertensi intradialisis.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian

sebagai berikut:

Usia

Interdialytic
Weight Gain
Hipertensi
Intradialitik
Lama
Hemodialisa

Jumlah Obat
Anti
Hipertensi

Gambar 2.3 Kerangka Konsep


2. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap

masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini:

a) Usia merupakan faktor risiko kejadian hipertensi intradialitik pada

pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis rutin di ruang

renal unit RS …

b) Interdialytic Weight Gain merupakan faktor risiko kejadian hipertensi

intradialitik pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis rutin di ruang renal unit RS …

c) Lama hemodialisa merupakan faktor risiko kejadian hipertensi

intradialitik pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis rutin di ruang renal unit RS …

d) Jumlah obat anti hipertensi merupakan faktor risiko kejadian hipertensi

intradialitik pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis rutin di ruang renal unit RS …

Anda mungkin juga menyukai