Anda di halaman 1dari 36

A.

BATU GINJAL
A. DEFINISI
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk di dalam traktus ketika konsentrasi substansi tertentu seperti
kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat
terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang
secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urine dan status cairan
klien (batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth
2002).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling
umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga
membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari
saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis dan kalik
ginjal. (Marilynn E, Doenges 2002).

B. ETIOLOGI
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada beberapa
macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal, antara lain :
renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney. Secara epidemiologi
terdapat dua factor yang mempermudah/ mempengaruhi terjadinya batu pada
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor intrinsik, yang
merupakan keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik,
yaitu pengaruh yang berasal dan lingkungan disekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur
Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia 30-50
tahun.
b. Hereditair (keturunan).
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. Dilaporkan bahwa
pada orang yang secara genetika berbakat terkena penyakit batu saluran
kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam vitamin C tersebut banyak
mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan konsumsi vitamin
D dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan absorbsi kalsium dalam
usus meningkat.
c. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding dengan pasien
perempuan.
Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:
C. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
D. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat
meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak purin, oksalat, dan
kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih.
E. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah beriklim panas
dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan
ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan
meningkat.
F. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya banyak duduk
atau kurang aktifitas (sedentary life)
G.Istirahat (bedrest) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih.
H.Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah
ston belt (sabuk batu).

I. JENIS-JENIS BATU PADA SALURAN KEMIH


Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari 80 %) adalah yang
terbentuk dari kristal kalsium oksalat. Pendapat konvensional mengatakan
bahwa konsumsi kalsium dalam jumlah besar dapat memicu terjadinya batu
ginjal. Namun, bukti-bukti terbaru malah menyatakan bahwa konsumsi
kalsium dalam jumlah sedikitlah yang memicu terjadinya batu ginjal ini. Hal
ini disebabkan karena dengan sedikitnya kalsium yang dikonsumsi, maka
oksalat yang diserap tubuh semakin banyak. Oksalat ini kemudian melalui
ginjal dan dibuang ke urin. Dalam urin, oksalat merupakan zat yang mudah
membentuk endapan kalsium oksalat. Jenis batu yang lain adalah yang
terbentuk dari struvit (magnesium, ammonium, dan fosfat), asam urat,
kalsium fosfat, dan sistin.
1) Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri pemecah urea seperti
Proteus mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri ini
memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya menurunkan
keasaman urin.
2) Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout, leukemia, dan gangguan
metabolism asam-basa. Semua penyakit ini menyebabkan peningkatan
asam urat dalam tubuh.
3) Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan hiperparatiroidisme dan
renal tubular acidosis.
4) Batu sistin berhubungan dengan orang yang menderita sistinuria.

J. MANIFESTASI KLINIS
Manifestai klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan system
piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang
disertai menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang
terus menerus. Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum
secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal: sedangkan yang lain
menyebabkan nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus
menerus diarea kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai. Nyeri
yang berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita
mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri
mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan ke seluruh area kostovertebral,
dan muncul mual dan muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal.
Diare dan ketidak nyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal
ini akibat dari reflex renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke
lambung, pankreas dan usus besar.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa,
akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung
darah akibat aksi abrasif batu. Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral.
Umumnya pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm
secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat
atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi
dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retnsi
urin.Jika infeksi berhubungan dengan adanya batu, maka kondisi ini jauh
lebih serius, disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien
( Brunner&Suddarth 2005).

K. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien batu kandung
kemih adalah :
a) Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap.
b) Foto KUB
Menunjukkan ukuran ginjal ureter dan ureter, menunjukan adanya batu.
c) Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, mengeluarkan batu yang kecil.
d) EKG
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
e) Foto Rontgen
Menunjukan adanya di dalam kandung kemih yang abnormal.
f) IVP ( intra venous pylografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,membedakan
derajat obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan
penebalan abnormal otot kandung kemih.
g) Vesikolitektomi ( sectio alta )
Mengangkat batu vesika urinari atau kandung kemih.
h) Litotripsi bergelombang kejut ekstra korporeal.
Prosedur menghancurkan batu ginjal dg gelombang kejut.
i) Pielogram retrograde
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.
Diagnosis ditegakan dg studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi
intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dg urine dalam 24
jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume
total merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta
adanya riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di
dapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya
batu kandung kemih pada klien.

L. PENATALAKSANAAN
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm dapat keluar dengan
sendirinya melalui urin. Namun, kebanyakan batu berukuran lebih dari 6 mm
memerlukan intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran kecil yang
tidak menimbulkan gejala, dapat diobservasi selama 30 hari untuk melihat
apakah dapat keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan untuk dilakukan
intervensi bedah. Tindakan bedah yang cepat, perlu dilakukan pada pasien
yang hanya mempunyai satu ginjal, nyeri yang sangat hebat, atau adanya
ginjal yang terinfeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok untuk nyeri karena batu
ginjal adalah golongan narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid.
Namun standar saat ini untuk menghilangkan nyeri akut karena batu ginjal
adalah penyuntikan ketorolak melalui pembuluh darah.
Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), tehnik ini
menggunakan getaran gelombang untuk memecahkan batu dari luar
sehingga batu menjadi serpihan kecil yang pada akhirnya dapat keluar
dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan terbuka dapat dilakukan
pada batu ginjal yang besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk
batu yang tidak berhasil dikeluarkan dengan cara ESWL.

M. KOMPLIKASI
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yang dapat menimbulkan
infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah.

N. PENCEGAHAN
1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin dapat menjadi 2-2,5 liter
per hari
2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam
3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal dari suplemen
4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan
5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat, magnesium sitrat, dan
allopurinol tergantung dari jenis batunya.
A. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. DEFINISI
- Cronical Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir
merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan
irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Hal ini terjadi karena
terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Smeltzer &
Bare, 2000; Price, Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).
- Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1) Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan
pada pemeriksaan pencitraan
2) Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Carpenito, 2009).

2. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung
GFR, dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium
untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang
berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh
ginjal yang sehat.
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan dengan rumus berikut ini:
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
 Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan
gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya.Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam
kondisi tidak lagi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui
kondisi ginjalnya dalam stadium.
 Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik.
 Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti :
- Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
- Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
- Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang
menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin
juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah
apabila bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau
berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
- Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
- Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
 Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam
darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang
mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah Fatique, Kelebihan cairan,
perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur, Nausea (muntah atau
rasa ingin muntah), perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi bahwa
makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut
uremic (ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak).
 Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala
yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain kehilangan nafsu makan,
nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu berkonsentrasi, gatal-
gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak (terutama di
seputar wajah, mata dan pergelangan kaki), kram otot, dan perubahan
warna kulit.

3. ETIOLOGI
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsic difus
dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, missal
nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsic dan berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis hipertensi essensial dan
pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik kira-
kira 60%. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal
polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15 – 20 %. Glomerulonefritis kronik
merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus, seringkali berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur 20 – 40
tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk
transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit
system (Glomerulonefritis sekunder) seperti Lupus Eritomatosus Sitemik,
Poliarthritis Nodosa, Granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis
(Glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes melitus
(Glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal
ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering
dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun sperti tuberkolosis,
lepra, osteomielitis, dan arthritis rheumatoid, dan myeloma.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nefrosklerosis) merupakan salah satu
penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi essensial berat yang berekhir
dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %.
Kira-kira 10 -15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal congenital seperti Sindrom Alport, penyakit Fabbry, Sindrom
Nefrotik Kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis. Pada orang
dewasa, gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
dan ginjal (Pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberculosis, abses multiple, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapatkan
pengobatan adekuat. Seperti diketahui,nefritis interstisial menunjukkan
kelainan histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamasi atau radang dari
jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai juga
kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah, vaskuler.
Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiolgi nefrotis
interstisial.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopatologi ertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan
ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji,
1996).

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal,
baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan
autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa (Suhardjono, 1998).

Etiologi gagal ginjal kronis


a. Diabetus mellitus
b. Glumerulonefritis kronis
c. Pielonefritis
d. Hipertensi tak terkontrol
hipertensi yang memperburuk GGK biasanya adalah hipertensi berat,
maligna atau penurunan tekanan darah berlebihan sehingga aliran darah
ginjal berkurang
e. Obstruksi saluran kemih
Obstruksi traktus urinarius dapat terjadi pada daerah intrarenal sampai
uretra. Obstruksi ini bila ditemukan harus sedapat mungkin diperbaiki
dengan segera.
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Gangguan vaskuler
h. Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius secara sendiri jarang memperburuk GGK, kecuali
infeksi yang sangat berat. Biasanya infeksi memperburuk faal ginjal bila
disertai dengan obstruksi, sehingga perbaikannya pun harus terpadu.
i. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik
j. Medikasi
k. Agen toksik
4. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

5. MANIFESTASI KLINIS
a. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-
aldosteron), pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital,
friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher, frekuensi jantung
yang tidak regular akibat hiperkalemia.
b. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu
mengkilat,kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh serta rambut tipis dan kasar. Gatal sering mengganggu pasien,
patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik,
tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
c. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental, napas
dangkal seta pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
e. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak
kaki, serta perubahan perilaku
f. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot
hilang, fraktur tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-
fosfor, serta foot drop.
g. Reproduksi yaitu ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler
(Smeltzer, 2001; Suyono, 2001; Sukandar, 2006).
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan Urine

Volume Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada(a
nuria)

Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh


pus bakteri, partikel koloid, fosfat atau urat.

Berat jenis Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010 menunjukkan


kerusakan ginjal berat)

Osmolalitas Kurang dari 300 mosm / kg menunjukkan kerusakan


tubular.

Klirens Kreatin Mungkin agak menurun, stadium satu( CCT


in 4070ml/menit), stadium kedua (CCT 20-40ml/menit) dan
stadium ketiga (CCT 5 ml/menit)

Natrium Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal tidak


mampumereabsorpsi natrium.

Protein Derajat tinggi proteinuria (3 – 4 + ) secara


kuatmenunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM
danfragmen juga ada.

Pemeriksaan Darah

BUN/Kreatinin Meningkat, biasanya kadar kreatinin 10 mg/dl.

Hitung darah adanya anemia Hb : kurang dari 7– 8 g /dl.


lengkap

SDM Waktu hidup menurun pada defesiensi eriropoetinseperti


pada azotemia.

Pemeriksaan GDA

Ph Asidosis (kurang dari 7,2) karenakehilangan kemampuan


ginjal untuk mengekskresihidrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCo2
menurun, natrium serum mungkinrendah.

Kalium Peningkatan, normal (3,5- 5,5 g/dL) sehubungandengan


asidosis atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM).

Magnesium/fosfat Meningkat

Kalsium Menurun

Protein(khususny Kadar semua menurun dapat menunjukkan kehilangan


aalbumin 3,5- protein melalui urine,
5,0g/dL) penurunan sintesis karena asam aminoesensial.

Osmolalitasserum Lebih besar dari 285 mos m/kg. Sering sama denganUrine

1) Laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
a. Analisa urin dan kultur
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen,
SDM, keton, SDP, TKK/CCT
- Pemeriksaan urine 24 jam, memperlihatkan penurunan
pembersihan kreatinin
- Rasio protein atau albumin terhadap kreatinin dalam contoh urin
pertama pada pagi hari atau sewaktu
b. Ureum, kreatinin serum, CCT (fungsi ginjal)
- BUN (Blood ureum nitrogen) dan kreatinin, pada umumnya
menunjukkan peningkatan, kalium meningkat, magnesium
meningkat, kalsium menurun, protein menurun
c. Hemopoesis: Hb, Ht, faktor pembekuan
- Hematokrit dan hemoglobin turun
d. Elektrolit, AGD
Menurut Grabes, Mark A. 2006
a. BUN dan kreatinin, pada umumnya menunjukkan peningkatan
b. Pemeriksaan urine 24 jam, memperlihatkan penurunan pembersihan
kreatinin
c. Biasanya terdapat asidosis dan anemia normokromiknormositik,
sedangkan hiperkalemia dan hiponatremia sering timbul.
Menurut (Mary, Baradero., 2009)
a. Radiografi atau ultrasound akan memperlihatkan ginjal yang kecil
dan atrofi
b. Nilai BUN serum, kreatinin, dan GFR tidak normal
c. Hematokrit dan hemoglobin turun
d. pH plasma rendah
e. peningkatan kecepatan pernapasan mengisyaratkan kompensasi
pernapasan akibat asidosis metabolik
2) Penunjang
B. USG, Pemeriksaan pencitraan ginjal
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh
karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses
sudah lanjut
C. Pielografi Intra Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography,
untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter
D. Pemeriksaan Prelografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
E. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
F. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
G. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
H. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik
I. Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,
massa.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
 Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuatn dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
 Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
 Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
b. Terapi simptomatik
 Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
 Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhanutama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
 Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
 Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
 Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
 Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh
dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
 Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
o Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
o Kualitas hidup normal kembali
o Masa hidup (survival rate) lebih lama
o Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
o Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
8. KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate
C. HEMODIALISIS
1. DEFINISI
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang
menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksisn uremik dan
mengatur cairan, elektrolit tubuh. Hemodialisis adalah pengalihan darah
pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.
Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme
untuk membawa darah pasien ke dan dari dializen (tempat terjadi pertukaran
cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh), serta dialiser.
Ada 5 cara memperoleh akses ke sirkulasi darah pasien :
1) Fistula arteriovena
2) Graft arteriovena
3) Shunt (pirai) arteriovena eksternal
4) Kateterisasi vena femoralis
5) Kateterisasi vena subklavia
(Baradero, 2008)

2. INDIKASI
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialisis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a. Klinis : keadaan uremik berat, overhidrasi.
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam).
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam).
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5 mmol/l).
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l).
f. Uremia (BUN >150 mg/dL).
g. Ensefalopati uremikum.
h. Neuropati/miopati uremikum.
i. Perikarditis uremikum.
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L).
k. Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane
dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) :
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis.
b. Gejala uremia meliputi : lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

3. CARA KERJA
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran
tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan.
Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh
balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah
terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut)


suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan
larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membrane
semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut
sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF.
Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara
acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya
solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan
oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane
pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan
(Daurgirdas et al., 2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses
yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan
transmembran (Daurgirdas et al., 2007).
PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS
JANGKA PANJANG
1. Diet dan asupan cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak
mampu mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang
bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja
sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
2. Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat
untuk memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan
dapat di pertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

4. KOMPLIKASI
 Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di
keluarkan.
 Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
 Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
 Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
 Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
 Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
 Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE ET CAUSA BATU GINJAL DAN HEMODIALISA

1. Data yang perlu dikaji


a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah dan lemas,
pusing, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit, sesak nafas.
c. Riwayat penyakit
 Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik, hipertensi, anemia
 Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, batu ginjal,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi, hipertensi.
 Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
 Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa
sputum, kental dan banyak.
Tanda
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif
dengan / tanpa sputum.
 Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina
dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki,
telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning.kecendrungan perdarahan.
 Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
 Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala :
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400
cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing),
oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau
konstipasi.
Tanda :
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria
atau anuria.
 Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare
 Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala :
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda :
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada
kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan
lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
f. Pola Aktivitas Sehari-Hari
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama.
2) Pola Nutrisi dan Metabolism
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan
cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri
ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria,
anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi,
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
4) Pola Tidur dan Istirahat : Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan Latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola Hubungan dan Peran
Kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
7) Pola Sensori dan Kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien
mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
9) Pola Seksual dan Reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea,
infertilitas.
10) Pola Mekanisme / Penanggulangan Stress dan Koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak
ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah,
mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.

2. Diagnosa Keperawatan
 Pre Hemodialisa
1. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf
sekunder dari adanya batu pada ginjal.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan infeksi saluran kemih.
3. Keletihan berhubungan dengan tidak mampu mempertahankan aktivitas
fisik pada tingkat biasanya, peningkatan kelelahan fisik.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis
metabolic, perikarditis.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluan urin,
retensi cairan dan natrium.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
7. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi kesehatan.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kondisi gangguan
metabolik.
9. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi
ginjal.
10. Resiko harga diri rendah situasional berhubungan dengan penyakit
fisik, gangguan peran sosial dan fungsi.
11. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan
yang akan dilakukan (tindakan invasive / pembedahan).
12. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal b.d gangguan metabolis, penyakit
ginjal, hipertensi, lanjut usia, program pengobatan.
 Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera di daerah insersi
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses hemodialisa.
3. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengeluarkan cairan dari dalam tubuh.
4. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi (mekanisme peredaran darah/cairan tidak efektif
saat proses dialysis berlangsung).
 Post Hemodialisa
1. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive berulang.
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberian heparin.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa
Rencana Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan askep 3 jamNIC: Pain Management
Klien merasa nyerinya - Lakukan pengkajian nyeri secara
berkurang komprehensif (lokasi, karakteristik,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
 Mengenali kapan nyeri pencetus).
terjadi.
- Observasi ekspresi non verbal
 Mengenali tanda dan ejala
mengenai ketidaknyamanan.
nyeri terjadi.
 Menggunakan tindakan
- Kolaborasi dengan dokter terkait
pengurangan nyeri dengan
pemberian terapi farmakologi.
teknik non farmakologi.
- Ajarkan metode non farmakologi
(teknik distraksi dan relaksasi).

- Anjurkan klien untuk istirahat yang


adekuat untuk membantu menurunkan
nyeri.
2. Ketidakefektifan Pola Setelah dilakukan askep 3 jamMonitor Pernafasan:
Nafas pola nafas klien menunjukkan- Monitor irama, kedalaman dan frekuensi
ventilasi yg adekuat dengan pernafasan.
- Perhatikan pergerakan dada.
kriteria hasil:
- Auskultasi bunyi nafas
 Tidak ada dispnea - Monitor peningkatan ketdkmampuan
 Kedalaman nafas normal istirahat, kecemasan dan seseg nafas.
 Tidak ada retraksi dada /
penggunaan otot bantuanAirway Management
pernafasan - Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
- Auskultasi bunyi nafas
- Bersihhkan skret jika ada dengan batuk
efektif / suction jika perlu.
3. Kelebihan Volume Setelah dilakukan askep 3 jam Fluit manajemen:
Cairan keseimbangan cairan pasien - Monitor status hidrasi (kelembaban
membaik dengan kriteria hasil: membran mukosa, nadi adekuat)
 Bebas dari edema anasarka, - Monitor tnada vital
- Monitor adanya indikasi
efusi
 Suara paru bersih overload/retraksi
 Tanda vital dalam batas - Kaji daerah edema jika ada
normal
Fluit monitoring:
- Monitor intake/output cairan
- Monitor serum albumin dan protein total
- Monitor RR, HR
- Monitor turgor kulit dan adanya
kehausan
- Monitor warna, kualitas dan BJ urine
4. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep 3 jam,Manajemen Nutrisi
Nutrisi Kurang Dari klien menunjukan status nutrisi- kaji pola makan klien
- Kaji makanan yang disukai oleh klien.
Kebutuhan Tubuh adekuat dengan kriteria hasil:
- Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan
 tidak terjadi mal nutrisi,
nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan
 tingkat energi adekuat,
 masukan nutrisi adekuat klien.
- Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan nutrisinya.
- Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.

Monitor Nutrisi
- Monitor respon klien terhadap situasi
yang mengharuskan klien makan.
- jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
bersamaan dengan waktu klien makan.
- Monitor adanya mual muntah.
- Monitor adanya gangguan dalam proses
mastikasi/input makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
- Monitor intake nutrisi dan kalori.
5. Kurang Pengetahuan Setelah dilakukan askep 30Pendidikan : Proses Penyakit
Tentang Penyakit Dan menit, pengetahuan klien /- Kaji pengetahuan klien tentang
Pengobatannya keluarga meningkat dengan penyakitnya
- Jelaskan tentang proses penyakit (tanda
kriteria hasil:
 Menjelaskan kembali dan gejala), identifikasi kemungkinan
penjelasan yang diberikan penyebab.
 Mengenal kebutuhan- Jelaskan kondisi klien
- Jelaskan tentang program pengobatan
perawatan dan pengobatan
dan alternatif pengobantan
tanpa cemas
- Diskusikan perubahan gaya hidup yang
 Klien / keluarga kooperatif
mungkin digunakan untuk mencegah
saat dilakukan tindakan
komplikasi
- Diskusikan tentang terapi dan
pilihannya
- Eksplorasi kemungkinan sumber yang
bisa digunakan/ mendukung
- instruksikan kapan harus ke pelayanan
- Tanyakan kembali pengetahuan klien
tentang penyakit, prosedur perawatan
dan pengobatan
6. Resiko Infeksi Setelah dilakukan askep 1 jamKontrol infeksi
risiko infeksi terkontrol- Ajarkan tehnik mencuci tangan
- Ajarkan tanda-tanda infeksi
dengan kriteria hasil:
- laporkan dokter segera bila ada tanda
 Bebas dari tanda-tanda
infeksi
infeksi - Tingkatkan masukan gizi yang cukup
 Angka leukosit normal - Anjurkan istirahat cukup
 Pasien mengatakan tahu - Berikan PEN-KES tentang risk infeksi.
tentang tanda-tanda dan
Proteksi Infeksi:
gejala infeksi
- monitor tanda dan gejala infeksi
- Pantau hasil laboratorium
- Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2


Jakarta : EGC
Corwin, E. J. 2009. Buku saku Patofisiologi Edisi revisi 3. Jakarta :EGC
Davey, P. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Djoerban. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Muttaqin A. 2012. Asuhan Keperawatan gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse (NKUDIC). the National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Nursalam & Fransisca. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta
:Sagung Seto
Rubenstein,D.,dkk. 2003. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi Keenam.
Surabaya: Penerbit Erlangga
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer SC,Bare BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Ed.8, Vol. 2.
Jakarta :EGC
Soeparman, W. S. 1993. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 7. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai