Anda di halaman 1dari 17

Budaya Pada Organisasi dan Kerja

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

BELLA ANGGRAINI PUTRI (168600174)

SRI AULIA (168600197)

FADLAH KHAIRINA (168600171)

MONICA HIDAYATI (168600208)

ZSASKIA SARASWATI (168600181)

RIQQAH QANITA (168600220)

SITI KHAIRIYAH (168600227)

DOSEN PENGAMPU

FIKRIYAH IFTINAN S.PSI., M.PSI

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2018/2019
LATAR BELAKANG
Manusia menghabiskan sebagian waktunya dalam suatu organisasi, baik di sekolah,
perusahaan, pemerintahan, rumah sakit, kelompok olah raga, pramuka dalam lain-lain. Kalau
orang bekerja 8 jam sehari berarti 1/3 waktu hidupnya ditempat kerja. Jumlah itu belum
ditambah aktivitas lainnya di luar tempat kerj a formalnya. Orang-orang tertentu bahkan ada
yang bekerja 12 sampai l5 jam sehari.
Berkaitan dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat kerja, sangatlah wajar jika
budaya berpengaruh pada organisasi dan kerja. Budaya mempengaruhi organisasi dalam
struktur maupun fungsi organisasi. Budaya juga mempunyai pengaruh penting pada
hubungan antar manusia dengan organisasi dan antar orang yang satu dengan yang lainnya.
2
PEMBAHASAN

BUDAYA

Secara harfiah budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, atau sejumlah pola sikap,
keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada
tingkah laku seseorang dalam suatu masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sweeney & McFarlin (2002:334) mengemukakan bahwa budaya secara ideal


mengkomunikasikan secara jelas pesan-pesan tentang bagaimana kita melakukan sesuatu atau
bentindak, berperilaku di sekitar sini “(how we do things around here)”. Dari pemikiran
tersebut dapatlah dinterpretasikan bahwa budaya memberikan arahan mengenai bagaimana
seseorang harus berperilaku, bersikap, bertindak dalam suatu komunitas, kata here' dalam
pengertian di atas mengacu kepada suatu komunitas tertentu, baik itu berbentuk organisasi,
perusahaan, atau masyarakat.

Pengertian lainnya menyatakan bahwa budaya merupakan pola asumsi- asumsi dasar
yang oleh suatu kelompok tertentu telah ditemukan, dibuka, atau dikembangkan melalui
pelajaran untuk memecahkan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, telah
berjalan cukup lama untuk dipandang sahih, dan oleh sebab itu diajarkan kepada anggota-
anggota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berpikir dan merasa dalam
kaitannya dengan masalah-masalah tersebut.
ORGANISASI

Salah satu hal penting dalam memahami budaya organisasi adalah bahwa kita
seyogianya memahami pendekatan-pendekatan yang mempengaruhi cara berpikir atau cara
pandang terhadap organisasi. Organisasi menurut Robbins (2001:4) diartikan sebagai suatu
unit (satuan) sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, yang terdiri dari dua orang atau lebih,
yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau
serangkaian tujuan bersama.

Terdapat dua pendekatan dalam memahami organisasi, yaitu pendekatan objektif dan
pendekatan subjektif. Makna "objektif dalam konteks ini merujuk kepada pandangan bahwa
objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di dunia nyata dan terlepas dari
pengamatnya, sedangkan "subjektif menunjukkan bahwa relalitas itu sendiri adalah
konstruksi sosial, realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang
menciptakan apa yang ada "di luar sana" (Pace & Faules, 2001: 11).

BUDAYA ORGANISASI

Budaya organisasi atau budaya perusahaan merupakan istilah yang sering dipakai
untuk menggambarkan iklim atau suasana yang diduga ada dalam suatu organisasi yang
merupakan dampak dari pikiran, perasaan dan perilaku orang-orang yang ada di dalamnya.
Namun penelitian-penelitian yang dilakukan tentang iklim organisasi atau budaya perusahaan
tidak mengungkapkan adanya dan pentingnya hal tersebut. Berry (dalam Matsumoto, 1996)
yang menguji korelasi antara iklim organisasi dan sikap karyawan dan produktivitasnya,
memperoleh hasil yang mengungkapkan adanya korelasi yang sangat kecil.

Pelaku organisasi atau perusahaan, memang perlu mempelajari aturan-aturan atau


ketentuan-ketentuan perusahaan, tetapi aturan atau ketentuan tersebut relatif3terlambat
dipelajari dalam perkembangan pribadi mereka. Orang pada umumnya telah mempelajari
hukum-hukum dalam lingkungan budayanya, sejak dilahirkan. Budaya organisasi mungkin
lebih berhubungan dengan kebiasaan yang mereka ungkapkan/perlihatkan setiap hari di
tempat kerja daripada pengungkapan nilai-nilai kehidupannya. Jadi kiranya lebih tepat untuk
menyatakan bahwa semua karyawan dalam suatu perusahaan belajar untuk mengikatkan diri
dengan struktur organisasi atau budaya organisasi dimana mereka berada, untuk sementara.
Budaya yang secara temporer mereka pelajari di tempat kerja, tidak akan mampu mengubah
kebiasaan yang muncul dalam kesehariannya.4

KONFLIK ANTAR BUDAYA DALAM BISNIS DAN KERJA

Perbedaan Budaya Dalam Proses Pengambilan Keputusan Di Perusahaan

Pengambilan keputusan adalah suatu kegiatan yang penting di perusahaan atau dalam
organisasi. Banyak perusahaan di Amerika prosedur pengambilan keputusan dilakukan secara
demokratis. Ciri-ciri utama prosedur secara demokratis adalah:

1. Setiap orang mempunyai pendapat dalam pengambilan keputusan, biasanya dengan


cara voting.

2. Dilakukan perhitungan suara, dan mayoritas yang menang.

Pada proses pengambilan keputusan secara demokratis, ada kelemahan dan


kelebihannya. Salah satu kelebihannya atau keuntungannya adalah setiap orang mempunyai
peluang yang sama, yakni satu orang satu suara. Proses ini dipengaruhi oleh pandangan
kultur individualistik yang cenderung melihat orang sebagai sesuatu yang terpisah dari
lingkungannya. Kelemahannya dalam proses tertutup adalah konsekuensinya contohnya satu
isu memenangkan mayoritas 51 %, berarti 49 % anggota yang lainnya menolak proposal.
Konsekuensinya memaksa melaksanakan keputusan tersebut yang mana 49 % anggotanya
tidak antusias dengan yang 51 %.

Hal ini menyebabkan gangguan dalam jalannya organisasi. Pada kenyataannya


banyak perusahaan atau organisasi tidak sepenuhnya menerapkan sistem demokrasi tetapi
dengan cara oligarchi (Ferrante dalam Matsumoto, 1996). Oligarchi adalah suatu bentuk
organisasi dengan kekuasaan pengambilan keputusan oleh sekelompok kecil saja. Keputusan
ditentukan oleh orang-orang yang berada pada posisi atas yang memaksakan keputusannya
pada bawahannya. Pendekatan semacam ini (top down) banyak dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan di Amerika.

Berbeda dengan negara Jepang yang baru beberapa yang lalu mengalami kemajuan
ekonomi. Di negara ini pengambilan keputusan dilakukan dengan "sistem ringi". Di
perusahaan-perusahaan Jepang tidak ada sistem formal di mana satu orang mempunyai satu
hak suara. Sebaliknya mereka mengedarkan sebuah proposal diantara mereka tanpa
mempedulikan status, urutan dan posisi seseorang. Usulan pembuatan proposal dapat berasal
dari pimpinan pada posisi atas, menengah dan bawah atau bahkan bisa berasal dari para
pegawai biasa. Bahkan sebelum proposal diedarkan dilakukan diskusi dan perdebatan terlebih
dahulu. Konsultasi dipertimbangkan dan konsensus dicapai sebelum proposal tersebut
dilaksanakan. Prosedur kesepakatan pelaksanaan proposal dinamakan "nemawashi". Apabila
tidak mencapai kesepakatan sesuai dengan prosedur secara resmi maka proposal tidak
ditunjukkan secara resmi.

Sistem pengambilan keputusan seperti di Jepang mempunyai kelebihan dan


kekurangam. Salah satu kekurangannya adalah lamanya proses pengambilan keputusan
karena harus dinegosiasikan dengan sekelompok orang di perusahaan sebelum diputuskan.
Keadaan ini yang menjadi frustrasi orang Amerika yang biasa dengan satu orang pengambil
keputusan.

Salah satu kelebihannya adalah kecepatan melaksanakan keputusan. Orang-orang


dengan kultur kolektivistik lebih suka mendapatkan keputusan demi untuk kebaikan dan
kemajuan perusahaannya di samping kehidupan pribadinya. Bos di Jepang duduk-duduk
bersamaan dengan para pegawai dalam ruang yang sama (Luthans, 1998).

Konflik lnterkultural Dalam Bisnis Dan Pekeriaan

Perbedaan budaya sering menimbulkan perbedaan dalam dinamika organisasi.


Perbedaan tersebut diwujudkan dalam konflik dan kontroversi antara orang-orang dan
organisasi. Persoalan interkultural di dalam dan antar perusahaan-perusahaan multinasional.
Bisnis interkorelasional untuk perusahaan multinasional tidak hanya internasional, tetapi juga
"interkultural".

Ada tiga perbedaan dalam situasi bisnis interkultural yakni:

1. Negosiasi Internasional

Pengaruh dari peningkatan teknologi komunikasi, perubahan dalam perdagangan


dan hukum-hukum pajak diantara negara menghasilkan ketidaktergantungan dalam bidang
ekonomi dan bisnis diantara negara satu dengan lain. Dalam lingkup negosiasi
internasional, perundingan tidak hanya sebagai wakil dari perusahaan mereka, tetapi juga
dari budaya mereka. Mereka membawa pokok persoalan budaya seperti kebiasaan,
kepercayaan, aturan dan warisan budaya di meja perundingan. Sedikit perbedaan budaya
dapat menyebabkan akibat yang cukup fatal, contohnya dalam bahasa Jepang kata yes
(hai) digunakan sebagai tanda bahwa dia mendengarkan apa yang dibicarakan dan bukan
berarti menyetujui. Dalam perundingan orang Jepang sering berkata "um hmm" yang
mana oleh orang Amerika diinterpretasi kata "yes" yang artinya menyetujui. Bisa diduga
konflik akan terjadi, perundingan gagal dan kehilangan hubungan bisnis.

Ada hal yang menarik di mana perbedaan kultur dalam negosiasi terjadi dalam
suatu acara perjamuan makan. Orang-orang bisnis Amerika menggunakan kesempatan ini
dengan duduk di meja dan menyiapkan transaksinya sesudah makan malam. Berbeda
dengan orang Jepang yang melaksanakan transaksinya sambil makan malam, minum-
minum ataupun main golf. Hal itu terjadi karena orang Jepang lebih suka melakukan
transaksi bisnisnya sambil menjalin hubungan yang lebih akrab dengan rekan bisnis
mereka. Kesempatan ini akan membuahkan suatu keputusan secara integritas dari rekan-
rekan bisnis yang berpotensi sebagai suatu bagian penting dari keputusan bisnis mereka.

Orang-orang bisnis Amerika lebih menekankan "transaksi" langsung ke tujuan bagi


perusahaannya. Mereka tidak menggunakan cara negosiasi orang Jepang karena tidak
telaten. Sebaliknya orang Jepang tidak menggunakan cara Amerika karena tidak
memungkinkan untuk pengambilan keputusan secara cepat. Perbedaan budaya dalam gaya
negosiasi sering menyebabkan kemacetan dalam negosiasi bisnis internasional.

2. Penugasan ke Luar Negeri

Banyak perusahaan multinasional dengan cabang-cabangnya dan rekan-rekan


bisnis dari negara lain mengirimkan karyawannya ke luar negeri dalam waktu-waktu
tertentu. Dalam banyak kasus pertukaran karyawan dan penugasan karyawan ke luar
negeri dikarenakan dilatih keterampilan yang hanya ada di negara tersebut. Masalah yang
timbul akibat keadaan ini yang berhubungan dengan perbedaan budaya antara lain, seperti
keterampilan bahasa yang terbatas, perbedaan-perbedaan harapan dari pendatang dengan
tuan rumah yang dapat menjadi penghalang bagi efisiensi dan kemajuan.

Begitu pula masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti


cara hidup, adat istiadat, tingkah laku yang tercermin dalam situasi kerja. Apalagi bila
karyawan tersebut membawa keluarga yang juga harus menyesuaikan diri dengan budaya
baru terutama anak-anak dengan lingkungan sekolahnya.

Selain masalah-masalah yang potensial timbul, ada beberapa keuntungan bagi


orang-orang yang mendapat penugasan ke luar negeri, antara lain:
a. Mereka belajar keterampilan baru, cara kerja baru yang akan sangat membantu
pekerjaannya bila mereka kembali ke negaranya.

b. Mereka belajar bahasa, adat istiadat dan kebiasaan baru yang akan memperluas masa
depan mereka.

c. Mereka mempunyai teman-teman baru dan pengetahuan bisnis dan jaringan kerja
yang berguna bagi masa depannya.

3. Penerimaan Karyawan dari Negara Lain

Kerja sama usaha antara negara-negara Amerik, Asia dan Eropa semakin
meningkat sejak sepuluh tahun yang lalu. Adanya kerja sama perusahaan mobil Amerika
dengan Jerman ataupun Amerika dengan Jepang mengharuskan pengiriman karyawan
Amerika yang berbeda budaya ke Jepang dan Jerman.

Banyak masalah yang berkembang dengan adanya pengiriman karyawan dari luar
negeri tersebut. Seringkali manajer dari negara dan budaya yang berbeda mengunjungi dan
mengawasi produksinya. Mereka mempunyai harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan dan
kepercayaan yang telah mereka yakini. Seringkali cara-cara bisnis tidak dapat diterapkan
di Amerika karena orang dan sistem yang berbeda.

Meskipun demikian, masalah yang timbul dengan adanya karyawan dari luar
negeri masih banyak keuntungannya. Manfaat-manfaat yang diperoleh tergantung pada
kerja sama dan cara belajar (secara timbal balik) antara karyawan dan perusahaan yang
bersangkutan agar hubungan yang terjalin menjadi hubungan yang bermutu dan
merupakan partner kerja yang baik.

Pokok-Pokok Persoalan Keanekaragaman dalam Organisasi Domestik

Salah satu persoalan yang hangat di Amerika saat ini adalah masalah keragaman
populasi dan tenaga kerja. Amerika adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai
ras, suku bangsa dan budaya yang berbeda. Dengan adanya percampuran budaya ini terdapat
perbedaan organisasi antara generasi pelopor para imigran yang diikuti oleh banyak generasi
keturunan di Amerika Serikat. Banyak masalah perbedaan budaya dalam manajemen waktu
dan dalam pengambilan keputusan yang menimbulkan konflik. Tantangan bagi perusahaan-
perusahaan di Amerika saat ini adalah keanekaragaman manusia dan budaya yang mana
merupakan masalah yang sulit. Dengan latar belakang budaya yang berbeda, maka berbeda
pulalah persepsi mereka dalam pencapaian suatu tujuan.

Banyak perusahaan yang sukses memenuhi tantangan itu dengan membuat secara
tegas apa saja jenis-jenis gaya komunikasi, cara membuat keputusan, produktivitas dan
perilaku karyawan yang penting yang diperlukan bagi suksesnya perusahaan. Banyak
perusahaan membuat cara-cara bukan saja untuk menghindari masalah-masalah tersebut,
tetapi juga cara-cara mengatasi masalah tersebut secara efektif dan konstruktif dengan
melihat secara realistik bahwa masalah tersebut tak terhindarkan manakala orang-orang yang
berbeda berkumpul bersama. Untuk itu mereka menciptakan budaya organisasi "sementara"
agar karyawan dapat beradaptasi tanpa takut kehilangan budaya asal mereka.

Manajemen Konflik Antarbudaya Pada Organisasi Internasional8

Konflik antarbudaya dapat terjadi pada organisasi internasional yang memiliki


karyawan dari bangsa yang berbeda-beda. Indonesia tergabung pada lebih dari lima puluh
organisasi internasional. UN, AFUNPR, UNDP, UNICEF, WHO, WWF dan ERIA adalah
sebagian kecil dari organisasi internasional yang berada di Indonesia. Organisasi
internasional ini memekerjakan karyawan yang berasal dari negara yang berbeda. Pada saat
ini karyawan yang tergabung dalam organisasi ini berasal dari Cina, Inggris, India, Vietnam,
Filipina dan Jepang. Peneliti mengetahui fenomena diversity ini dari narasumber peneliti
yang merupakan karyawan pada organisasi ini.

Berdasarkan AP—salah satu karyawan—terdapat konflik yang ditimbulkan karena


perbedaan budaya. Kasus yang terjadi pada organisasi ini contohnya ada pada karyawan yang
berasal dari Inggris, saat ia bekerja pertama di organisasi ini ada orang Indonesia yang
memanggilnya “bule”. Karyawan yang berasal dari Inggris tersebut marah karena
menurutnya hal itu adalah hal yang tidak sopan dan ia mengatakan bahwa karyawan yang
berasal dari Indonesia tersebut memiliki mental yang sampah. Karyawan yang berasal dari
Indonesia tersinggung dengan pernyataan tersebut karena menurutnya memanggil orang kulit
putih dengan sebutan “bule” adalah hal yang wajar, tetapi menurut karyawan Inggris kata itu
sangat menyinggung perasaannya. Perbedaan cara berkomunikasi dalam mengungkapkan
kata panggilan untuk individu memicu terjadinya konflik antar keduanya. Karyawan
Indonesia akhirnya mengaku salah karena dinasehati oleh beberapa kolega-nya dan meminta
maaf dan keduanya bisa bekerjasama dengan baik hingga sekarang (data didapatkan melalui
wawancara pada tanggal 12 September 2017).
Kasus lainnya adalah perbedaan budaya bekerja antara orang Jepang, yang tidak
mengenal waktu, mereka cenderung untuk tidak apa-apa jika bekerja diluar jam kerja yang
ada. Bagi karyawan yang berasal dari Jepang, keluarga mereka akan lebih bahagia jika
mereka bekerja terus-menerus. Lain hal-nya dengan karyawan lain seperti karyawan yang
berasal dari Indonesia karena merasa waktu bersama keluarga terganggu. Hanya saja, karena
hal ini merupakan salah satu tanggung jawab pekerjaan, karyawan yang berasal dari
Indonesia merasa tidak berhak untuk melakukan protes. Akibat dari perbedaan nilai keluarga
pada kasus ini adalah konflik didalam keluarga karena orang Indonesia menekankan pada
kebersamaan dalam keluarga dan hari libur bagi karyawan yang berasal dari Indonesia
merupakan hari keluarga, sementara karyawan yang berasal dari Jepang tidak mengenal hal
ini. Tidak hanya itu saja, terdapat karyawan yang berasal dari Indonesia lain yang akhirnya
bercerai karena pihak keluarga tidak bisa menerima jam kerja yang tidak mengenal waktu.
Perbedaan nilai yang dimiliki kedua budaya yaitu Jepang dan Indonesia mengakibatkan
konflik. Maka dari itu manajer organisasi yang bekerja dalam lingkungan multibudaya perlu
memahami apa yang terjadi dalam organisasi, serta mengembangkan kemampuan untuk
mengatasi masalah-masalah perbedaan budaya yang timbul (dalam Mulyana dan Rahmat,
2010:56).

Kasus pada organisasi ini misalnya, karyawan yang yang berasal dari Indonesia
memanggil karyawan dari Inggris “bule”, dan karyawan yang berasal dari Inggris
tersinggung. Karyawan yang berasal dari Inggris memiliki karakter budaya individualistik –
low-context communication dimana ia akan menyampaikan secara langsung apa yang ia
pikirkan. Pada kasus ini ia menyebut karyawan Indonesia dengan sebutan “mental garbage”
atau mental sampah. Hal ini dapat menimbulkan masalah jika karyawan dalam kebudayaan
lain seperti yang berasal dari Indonesia ikut tersinggung, walaupun pada kasus ini ia yang
memulai masalah. Kasus seperti ini tidak dapat mengakibatkan terjadinya komunikasi
antarbudaya yang tidak efektif antar karyawan organisasi ini. Organisasi inipun akan susah
untuk menggapai tujuan yang ingin digapai karena karyawan yang berada didalamnya tidak
bisa bekerja sama dengan baik.

Dapat disimpulkan bahwa dalam organisasi internasional ini terdapat masalah


komunikasi antar budaya yang berhubungan dengan kurang harmonisnya karyawan
dikarenakan proses komunikasi yang terjadi antara individu-individu ini. Hambatan-
hambatan komunikasi antar budaya tersebut akan berpengaruh semakin buruk jika tidak
dipahami dengan baik.
Dalam Teori Negosiasi Identitas (Ting-Toomey dalam Littlejohn dan Foss, 2008:133)
dikatakan bahwa beberapa individu dapat mencapai keseimbangan dalam interaksi budaya
seperti keadaan bikulturalisme fungsional yaitu ketika informan dapat mempertahankan
kebudayaan sendiri tetapi dapat menerima kebudayaan lain juga dan pengubah kebudayaan
(cultural transformer) yaitu sebuah keadaan ketika informan mampu berganti dari satu
konteks budaya ke budaya lainnya dengan sadar dan mudah. Temuan penelitian ini
menunjukan bahwa informan 1 dan 2 mengalami keseimbangan budaya dengan keadaan
bikulturalisme fungsional karena informan 1 tetap menggunakan aksen british dalam
berkomunikasi, sementara informan 2 tetap mempertahankan identitasnya sebagai bangsa
Indonesia yang menganut kebudayaan Australia, tetapi tidak mempermasalahkan budaya satu
sama lain. Hal ini dapat dilihat dari para informan yang merasa nyaman dengan karyawan
lain, walaupun bangsanya berbeda.

Pada informan 3 dan 4, mereka mengalami keseimbangan budaya dalam keadaan


cultural transformer karena ia menyesuaikan dirinya saat bertemu orang lain. Informan 4
mengaku jika ia berada di ruangannya ia akan menjadi karyawan yang berasal dari India yang
profesional, sementara jika ia berada di rumah ia akan menjadi orang India seutuhnya.
Informan 3 membedakan cara berkomunikasinya sesuai dengan budaya dari karyawan, jika ia
berbicara dengan karyawan dari Indonesia maka ia akan lambat. Ia juga melihat karyawan
lain yang berbeda bangsa sebagai individu.

Cole (dalam Martin dan Nakayama, 2010:437) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
jenis konflik. Berdasarkan temuan penelitian terdapat kesamaan jenis konflik pada keempat
informan. Jenis konflik yang mereka10miliki adalah jenis konflik kognitif. Situasi yang
terjadi pada jenis konflik kognitif adalah dimana dua atau lebih orang sadar bahwa proses
berpikir atau persepsi mereka tidak sesuai. Kesamaan lainnya adalah bentuk konflik yang
dialami informan 1, 2, 3, dan 4 yaitu, konflik yang diawali dari perbedaan pendapat.

Begitu juga dengan yang dialami oleh informan kelompok saat melakukan mini riset
ke lapangan untuk meneliti tentang konflik yang mungkin muncul di lingkungan kerja
diakibatkan adanya perbedaan budaya. Informan kelompok yang merupakan seorang guru di
sekolah menengah pertama mengatakan bahwa terkadang muncul konflik antar pengajar
bersuku Jawa dengan suku Batak meskipun keduanya telah lama mengenal dan tinggal di
perkotaan. Mereka sering berselisih paham tentang beberapa hal kecil terkait cara mengajar
yang efektif untuk diterapkan pada siswa di sekolah tersebut. Informan kelompok selaku
individu dengan suku Jawa cenderung ingin menggunakan metode pembelajaran yang lebih
friendly agar lebih mampu merangkul siswa-siswa yang modern. Berbeda dengan teman
informan sesama guru yang bersuku Batak, ia cenderung ingin mempertahankan metode yang
tegas dan keras untuk membentuk pribadi siswa yang taat pada peraturan.
Gaya manajemen konflik milik Thomas dan Killman (dalam Wirawan 2010:140)
mengemukakan lima jenis gaya yaitu kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar dan
mengakomodasi.

PERBEDAAN BUDAYA DALAM NILAI KERJA


Persamaan dan Perbedaan Makna Kerja

Isu yang pertama dalam persamaan dan perbedaan budaya dalam kerja adalah
perbedaan makna kerja dalam berbagai budaya. Setiap budaya memiliki makna yang berbeda
tentang bekerja. Orang-orang dalam budaya kolektivistik memandang kelompok kerja
mereka dan organisasi kerja sebagai bagian yang penting dari diri mereka. Rekan kerja, kerja
dan perusahaan menjadi sinonim dengan11dirinya. Ikatan antara kelompok kerja dan rekan
kerja dalam perusahaan mereka lebih kuat, dan berbeda kualitasnya bila dibandingkan dengan
orang-orang yang merasa dirinya independen. Orang-orang dalam budaya individualistik
membedakan antara waktu kerja dengan waktu pribadi, antara kegiatan sosial dengan
kegiatan kerja, antara rekan kerja dengan rekan dalam berbagai aktivitas lain.

Bila diperhatikan hubungan antara budaya dan kerja dalam berbagai budaya yang
pertama terlihat adalah adanya identifikasi seseorang dengan pekerjaannya dan dengan
perusahaan yang secara fundamental berbeda. Perbedaan ini secara erat berkaitan dengan
dimensi-dimensi budaya, misalnya individualisme dan kolektivisme. Adanya dimensi-
dimensi budaya misalnya individualisme dan kolektivisme, terdapat perbedaan yang
mendasar dalam definisi dan implikasi kerja diantara berbagai budaya tersebut.

Perbedaan budaya dalam hal makna kerja, termanifestasi dalam berbagai aspek.
Dalam budaya Amerika yang memandang kerja sebagai sarana mengumpulkan uang demi
kehidupannya. Budaya lain, khususnya budaya kolektivistik, bekerja dipandang sebagai
pemenuhan diri dan suatu kewajiban kelompok yang lebih luas. Orang yang berbudaya
kolektivistik, jarang dijumpai individu yang berpindah-pindah pekerjaan. Sebaliknya dalam
budaya individualistik, lebih sering terdapat perpindahan kerja dari satu jabatan ke jabatan
lain. Budaya individualistik adalah kecenderungan untuk menjaga dirinya dan keluarga dekat
seseorang. Kolektivistik dicirikan dengan kerangka sosial dimana ada kerjasama antar
kelompok (Luthans, 1998).

Masculinity VS Feminity

Dimensi masculinity (MA) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana suatu masyarakat


berpegang teguh pada peran gender atau nilai nilai seksual yang tradisional yang didasarkan
pada perbedaan biologis. Masyarakat yang memiliki dimensi masculinity menekankan nilai
asenivitas, prestasi, dan performansi. Sehingga menganggap penting mengenai pendapatan,
pengakuan, kemajuan dan tantangan. Sementara pada masyarakat yang memiliki dimensi
feminity (masculinity yang rendah) lebih mengutamakan hubungan interpersonal,
keharmonisan dan kinerja kelompok.

Adanya perbedaan dalam dimensi nilai budaya ini akan berpengaruh pada struktur
organisasi dan corak hubungan dalam suatu perusahaan. Biasanya dalam masyarakat yang
memiliki dimensi masculinity tinggi maka perbedaan antara pria dan wanita menjadi
menonjol, remaja pria mengharapkan karir pekerjaan yang bagus dan kurang dapat
mentoleransi kegagalan. Demikian pula, interes, kebutuhan dan tujuan organisasi dipandang
sebagai alasan yang sah untuk mencampuri kehidupan pribadi karyawannya. Pada umumnya
wanita yang mendapat gaji atau penghargaan yang sama dengan pria harus lebih unggul,
lebih berkualitas dan lebih asertif. Pada umumnya terjadi stres kerja yang lebih tinggi juga.
Demikian pula manajer atau supervisor yang dianggap baik adalah yang memiliki perilaku
yang dapat memberi penghargaan, pengakuan dan memberi inspirasi.

Sementara pada masyarakat yang memiliki dimensi feminity menganggap bahwa


kerja yang baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain
dan kurang mengutamakan kepentingan sendiri. Sehingga manajer yang baik diharapkan
memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan (supporting), mentoring dan
membentuk tim kerja yang solid (teambuilding skill).

Hall & Hall menemukan dimensi nilai yang berkaitan dengan cara pandang suatu
masyarakat mengenai waktu dan penggunaannya. Berdasar penelitiannya ditemukan dimensi
nilai monochranic dan polychromic. Masyarakat yang memiliki perspektif monochronic
melihat bahwa waktu merupakan sumber yang langka yang harus dibagi dan dikontrol
melalui penggunaan jadwal dan penetapan - penetapan dan melalui pembidikan untuk
melakukan satu hal pada suatu waktu. Oleh karena itu, dalam kerja menuntut kemampuan
perencanaan atau pertimbangan secara rasional dalam bertindak.

Sementara pada mayarakat yang memiliki perspektif polychromic melihat


pemeliharaan relasi yang harmonis sebagai hal yang penting, sehingga dalam menggunakan
waktu perlu fleksibel, agar kita dapat bertindak baik kepada bermacam orang yang kepadanya
kita memilki kewajiban. Sehingga dalam bekerja, masyarakat ini menuntut kriteria yang lain
dibanding perspektif monochronic. Dalam budaya ini, seorang manajer misalnya diharapkan
unutk mampu berpikir luas dan situasional keiika membuat rencana dan penyelesaian
masalah. Akibatnya perencanaan harus mengambil waktu yang lebih panjang (Long term).
Fleksibilitas diperlukan, sehingga jika situasi berubah ketika rencana diterapkan, maka
keputusan dan tindakan juga berubah (emergent- type planning). Di samping itu, jaringan
kerja dianggap penting sebagai bagian dari interaksi sosial yang akan dipertahankan karena
berakibat dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga kemampuan membentuk jaringan
kerja dalam menjamin hubungan sosial untuk jangka waktu yang lama diperlukan. Berdasar
hasil penelitian Hall & Hall, masyarakat yang memiliki perspektif monochronic adalah yang
memiliki dimensi nilai budaya individualistis. sedangkan yang memiliki perspektif
polychronic adalah yang lebih memiliki dimensi nilai kolektivistis.

PERBEDAAN BUDAYA DALAM MOTIVASI DAN PRODUKTIVITAS


Konsep produktivitas dikembangkan untuk mengukur besarnya kemampuan
menghasilkan nilai tambah atas komponen masukan yang digunakan. Secara sederhana
produktivitas yang dimaksud disini adalah perbandingan ilmu hitung antara jumlah yang
dihasilkan dan jumlah setiap sumber yang digunakan selama kegiatan produksi berlangsung.
Sebagai konsep filosofis, produktivitas mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang
selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini harus lebih
baik dari hari kemarin, dan mutu kehidupan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hal inilah
yang memberi dorongan untuk berusaha dan mengembangkan diri. Sedangkan konsep sistem,
memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian suatu tujuan harus ada kerja sama atau
keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai sistem (Anoraga & Suyati, 1995) .
Kinerja menurut Bernadin dan Russel (dalam Aziz, 2008) adalah hasil dari prestasi
kerja yang telah dicapai oleh karyawan sesuai dengan fungsi dan tugasnya pada periode
tertentu. Tampilnya kinerja terbaik dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah
motivasi kerja dan etos kerja. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian dari Makta, Noor,
dan Kapalawi (2013), yang menemukan terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja
perawat pelaksana di instalasi rawat inap Rumah Sakit Stella Maris Makasar. Berdasarkan
penelitian tersebut, peneliti memandang motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi kinerja. Etos kerja juga ditemukan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja
pegawai Rumah Sakit Umum Daerah Kayen Kabupaten Pati secara parsial (Susanti, 2013).
Djasuli dan Harwida (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara motivasi kerja dan etos kerja spiritual sebagai variabel moderating memengaruhi
kinerja pegawai.
Motivasi kerja didenifisikan sebagai dorongan yang membuat seseorang mengerjakan
suatu tugas yang memiliki arah atau tujuan tertentu (Robbins, 1998). Terkait penelitian
motivasi kerja, hasil penelitian dari Pratama (2013) menemukan adanya perbedaan motivasi
kerja antara orang Bali yang bekerja di Bali dengan orang Bali yang merantau di Sulawesi
Tengah dimana rata-rata motivasi kerja orang Bali yang merantau di Sulawesi Tengah lebih
tinggi daripada orang Bali yang bekerja di Bali. Hal ini menunjukkan adanya indikasi proses
migrasi sebagai pembeda motivasi kerja seseorang.
Sama halnya dengan motivasi kerja, etos kerja juga memiliki peranan dalam upaya
individu mencapai kinerja yang optimal. Etos kerja sendiri menurut Sinamo (2013) dapat
diartikan sebagai suatu doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok
orang sebagai baik dan benar yang terwujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.
Pengaruh budaya terhadap etos kerja juga dapat dilihat pada etos kerja orang Bali. Etos kerja
orang Bali menurut hasil penelitian Sundayra (2015) yaitu yang pertama adalah orang Bali
memprioritaskan upacara agama diatas pekerjaan dan yang kedua orang Bali kurang dapat
memelihara waktu dengan baik ditunjukkan dengan sering datang terlambat dan pulang lebih
awal saat bekerja. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa latar belakang budaya dari
daerah asal seseorang menentukan nilai-nilai yang dianut. Adanya indikasi ketidakadilan
yang dirasakan karyawan pendatang dan berpotensi memengaruhi kinerja, serta adanya
pertimbangan perusahaan hotel bintang lima di Bali yang masih memercayakan karyawan
non pendatang mengisi jabatan menjadi alasan kuat mengapa penelitian ini dilakukan.

PERBEDAAN BUDAYA DALAM KEPEMIMPINAN

Adanya perbedaan budaya orang-orang anggota organisasi, maka berbeda pula


kepemimpinan dan gaya kepemimpinannya. Oleh karena itu ada perbedaan juga tentang
definisi dari kedua konsep tersebut. Dengan adanya perbedaan budaya menyebabkan adanya
perbedaan definisi dan konsepsi mengenai kepemimpinan dan manajemen. Banyak definisi
dalam berbagai kultur organisasi, kepemimpinan dikatakan sebagai proses pengaruh antara
pimpinan dengan pengikutnya untuk mencapai tujuan kelompok atau tujuan organisasinya.

Dalam banyak situasi kerja (khususnya di USA), seorang pemimpin mempunyai


kekuatan, pandangan ke depan, berwibawa dan memberi tugas pada bawahannya. Pada
budaya Amerika, seorang pemimpin diharapkan menjadi seorang pembuat keputusan dan
penggerak organisasi.

India mempunyai budaya lain dimana seorang pemimpin dipandang lebih partisipatif
pada pekerjaan dan aktivitasnya, membimbing dan mengarahkan tugas-tugas bawahannya
bahwa kadangkala memberikan petunjuk yang menyeluruh dalam menyelesaikan tugas.
Suatu waktu pemimpin juga sangat autoritatif, sehingga perpaduan kepemimpinan yang
optimal di India adalah perpaduan dari dua gaya antara gaya partisipatif sepenuhnya dan gaya
autoritatif sepenuhnya. Selain perbedaan konsep dan definisi kepemimpinan, ada pula
perbedaan budaya dalam hal batas-batas kepemimpinan, seperti batas yang jelas antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya di Amerika pekerja membuat batas yang jelas
antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya. Oleh karena itu ketika bel usai bekerja terdengar,
para pekerja di Amerika berhenti bekerja dan mulai saat itu merupakan waktu pribadi mereka.

Pimpinan tidak harus mengerti urusan pribadi anggotanya seperti dimana mereka
tinggal dan dengan siapa mereka menikah. Akan tetapi pada budaya lain, batas antara
pekerjaan dan urusan pribadi tidak jelas. Kenyataannya banyak negara yang pekerjaannya
menjadi bagian dari kehidupan pribadinya. Pemimpin pada kultur ini dapat meminta anak
buahnya lembur tanpa ada keluhan dari mereka, yang mana hal ini tidak akan pernah terjadi
pada budaya Amerika. Batas-batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya menjadi
samar-samar (kabur). Demikian pula batas-batas yuridiksi bagi para pemimpinnya.
Contohnya di India dan Jepang, para manajer di sini diharapkan memperhatikan anak
buahnya dalam hal pekerjaan dan keberadaan mereka dalam perusahaan tersebut. Bukan hal
aneh apabila seorang pemimpin memperhatikan kehidupan pribadi anak buahnya15atau
bawahannya. Bawahan di sini tidak ragu-ragu meminta nasehat pada pimpinannya mengenai
masalah pribadinya di rumah dan meminta saran dan pemecahannya. Pimpinan akan
menolong bawahannya sebagai bagian integral dan penting dari jabatannya. Perbedaan
budaya dalam definisi dan batas-batas pemimpin dihubungkan dengan individualisme dan
kolektivisme.
Pimpinan pada budaya kolektivisme seperti di India dan Jepang,
pertanggungjawabannya bukan semata-mata mencari keuntungan untuk perusahaannya
namun lebih luas dari itu yakni untuk memperhatikan bawahannya juga berhubungan dengan
peranan, status dan posisinya secara integral dan fundamental merupakan mata rantai tugas-
tugas dan kewajibannya untuk memperhatikan bawahannya sebagai orang-orang di luar
pekerjaan dan perusahaan sebaik mungkin. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada budaya
individualistik.
DAFTAR PUSTAKA

Luthans, Fred 1998. Organizational Behavior. Eighth edition. United States: McGraw-Hill.

Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology. San Fransisco: An International Thompson


Publishing Company.

Istiana, S. M. (2017). Psikologi Lintas Budaya Edisi Revisi. Medan: Buku Diktat.

Pace, R. Wayne & Don F. Faules. (2001). Komunikasi Organisasi: Strategi meningkatkan
Kinerja Perusahaan Terjamahan: Deddy Mulyana, MA., Ph.D. Remaja Rosda Karya ,
Bandung.

Alo Liliweri, 1997. Sosiologi Organisasi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Suwarto. PENGARUH MOTIVASI KERJA, BUDAYA ORGANISASI, DAN SEMANGAT


KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO. DERIVATIF Vol. 10 No. 2, November 2016. ISSN Cetak
1978 – 6573/ ISSN Online: 2477 - 300X

Herlia Rahmawati. PENGARUH NILAI KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA


KARYAWAN PRODUKSI SKRIPSI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG 2016.

Anda mungkin juga menyukai