SYAFRUDDIN KALO
Pengantar
Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah
Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama
mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan
usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk
secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan
pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini
mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera
Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa
(conssesie).1
Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha
perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas
tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara.
Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap,
mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di
satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat2 dengan hak
ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah
karena mereka telah membuat kontrak sewa dan menerima konsesi dari sultan
yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.
1
Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari
munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam
sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial
dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di
Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi
ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh
penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya
penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasil-
hasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru
tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenaga
kerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa. Tentang
perluasan kolonialisme ini periksa Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13.
2
Yang dimaksud adat di sini adalah seperangkat aturan dan kebiasaan tak tertulis yang menentukan
dan mengatur cara hidup penduduk pribumi serta yang muncul dari konsep orang pribumi tentang
manusia dan kehidupan sosialnya. Adat mewarnai semua kehidupan sosial termasuk bidang yang
sakral yang dalam hal ini mencakup juga penguasaan tanah. Periksa Franz von Benda-Beckmann,
Property in Social Continuity (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979) hal. 113-114.
3
Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang
terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat
lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuh-
musuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu,
para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan
Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur
diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo
tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Periksa Anthony Reid, The
Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Perjuangan
Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera) terjemahan Muchsin Zain (Jakarta, Sinar
Harapan, 1987) hal. 26.
4
Periksa R. Soepardi, “Beberapa Hal Tentang Hukum Agraria”, dalam Madjalah Perkebunan, edisi
Maret 1959, tahun IX, hal. 50. Hal ini sangat rawan mengingat struktur penguasaan yang ada
selama sebelum dan sesudah kemedekaan jauh berbeda, khususnya menyangkut pihak yang
memegang hak penguasaan tanah: sebelum kemerdekaan, para penguasa swatantra pribumi
(zelfbestuurder) menjadi pemegang hak penguasaan dengan mengeluarkan grant (karunia) sebagai
bukti pemilikan tanah kepada warganya. Setelah kemerdekaan dengan dihapuskannya bentuk
kekuasaan kesultanan, semua grant ini tidak lagi berlaku.
5
Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.
6
Beberapa karya ilmiah tentang Sumatra Timur ditulis baik oleh para ilmuwan asing maupun
ilmuwan Indonesia di antaranya adalah Karl. J. Pelzer, Toean Kebon dan Petani (Jakarta, Sinar
Harapan, 1978); Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani
(Jakarta, Sinar Harapan, 1982); Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan di Sumatra (Jakarta, Sinar Harapan, 1987); Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi
Indonesia (Yogyakarta, Tarawang Press, 2001); Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang
(Medan, tanpa penerbit, 1971). Semua karya ini cenderung menegaskan pada peristiwa-peristiwa
politis dan perubahan kekuasaan yang mempengaruhi perubahan sosial dalam hubungan ekonomi
dan kehidupan masyarakat di Sumatra Timur. Semua karya ini ditulis oleh para sejarawan
profesional dengan melakukan pendekatan historis yang berlandaskan pada kajian politik untuk
mendekati permasalahan yang berlaku di Sumatra Timur masa itu. Dengan demikian unsur kajian
dari sisi hukum kurang begitu menonjol dalam eksplanasinya.
7
Lihat pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, , 1999, hal. 43).
9
Periksa Kenneth P. Davis, Land Use, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1976) hal.13-14.
10
Kenneth P. Davis, ibid., hal. 14.
11
Periksa A.W.B. Simpson, A History of the Land Law (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47.
12
Periksa Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal.
51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta
posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan
kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif
monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di
Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang
memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan
warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.
13
Periksa Mr. B. Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91.
14
Periksa Soerojo Wignjodipoero, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: PT.
Gunung Agung , 1984) hal. 201-202.
15
Periksa Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta : Chandra Pratama, 1995 hal. 28). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti
pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau
desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi
suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian teritorial desa, harus juga terdapat bukti tanah
tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan tanah sedemikian rupa, baik sebagai padang
rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain.
16
Periksa Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory
(New York : The Free Press, 1977) hal. 140-141.
17
Dikatakan seperti semua wilayah yang berada di bawah pemerintahan para Sultan, Raja
menganggap dirinya sebagai pemilik tanah yang nampaknya bertentangan dengan seluruh
adat yang diakui secara resmi oleh masyarakat sebagai pemiliknya . Tetapi raja berusaha
keras agar semua tanah bisa memberikan pemasukan bagi kas kerajaannya, tanpa adanya
gangguan yang muncul bagi pelaksanaan hak itu . Kondisi ini menimbulkan konflik antara
masyarakat dan pengusaha Onderneming , sehingga pemerintah kolonial perlu mengamankan
kondisi tersebut . Periksa Memorie van Overgave L. Kapoort, Asisten Residen van
Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903.
18
Ibid
19
Lihat penjelasan umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II.
20
Menarik dalam hal ini membandingkan pengertian negara di sini dengan negara menurut Hans Kelsen. Kelsen
menyebutkan bahwa negara dalam hal ini memiliki sejumlah fungsi yakni sebagai struktur hukum atau
organisasi politik yang memiliki baas-batas wilayah tertentu; negara sebagai lembaga hukum yakni pemegang
hak dan kewajiban tertinggi sebagai suatu lembaga; negara sebagai subyek, yakni berhak mengambil tindakan
atas persoalan tertentu yang menyangkut penanganan hak-hak legal. Periksa Hans Kelsen, Pure Theory of
Law (Berkeley; University of California Press, 1978) hal. 286-291.
21
Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang
jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan
sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh
pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan
negara.
22
Keberadaan hukum yang demikian menunjukkan kekuasaan hukum pemerintah yang bersifat
represif dengan memberikan tekanan kepada mereka yang diperintah, yakni ketika masyarakat
mengabaikan kepentingan atau menolak legitimasinya. Akibatnya posisi subjek menjadi peka dan
rawan, tindakan pemerintah atau keputusan atas hukuman menuntut penyisihan suatu kepentingan
bagi kepentingan yang lain dan tidak setiap tuntutan bisa dikabulkan juga tidak setiap kepentingan
harus diberikan pengakuan yang sama. Philip Selznick, “Law and Society in Transition”, (New
York : Harper & Row Publisher, 1978), hal. 30.
23
Lawrence Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, London, hal 9.
24
Donald Black, “The Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976,
hal 2.
25
Lawrence Friedmann, Loc cit, hal 3.
26
Ibid.
27
Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1954 kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
28
Ibid.
29
Ibid, hal.200.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid , hal 4
1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistim hukum masih agak kabur
dari pengertian masyarakat sendiri.
2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh
pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi.
3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melalui
amandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi.
33
Periksa Robert B. Seldman, The State, Law and Development (New York : St. Martin’s Press,1978)
hal. 74-75.
34
Periksa Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni,1986), hal. 22-23.
35
Ibid.
36
Salmond mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan hukum dan selayaknya bahwa alat seharusnya
dibatasi oleh gambaran-gambaran tujuan yang menjadi raison d’etre, hal ini menimbulkan masalah
mengenai hubungan hukum dan keadilan. Satu teori mensifatkan hukum dalam hubungannya
dengan keadilan, tetapi defenisi ini menimbulkan akibat bahwa tidak mungkin terdapat hukum
yang tidak adil, karena seandainya ada, maka dalam premis-premis itu akan terdapat self-
contradiction yang merusak. Dalam George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence,
(Oxford : at The Clarendon Press, 1951), hal 69.
37
Lihat dan bandingkan dengan sistem manajemen pembagunan nasional (SISNAS) yang
dikemukakan oleh Solly Lubis, 1996, dalam bukunya, Dimensi-Dimensi Manajemen
Pembangunan, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 24.
POTNAS
¾ SUMBER DAYA ALAM
¾ SUMBER DAYA MANUSIA
¾ ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI DI
BIDANG PERTANAHAN
PEMERINTAH
PERUNDANG
UNDANGAN MASYARA
TENTANG KAT
KONSEP ADIL
DASAR WAWASAN PERTANAHAN
PROGRAM TERMASUK, MAKMUR
¾ PANCASILA PENEGAKAN SECARA
¾ UUD 1945 PEMBANGUNAN PELEPASAN HUKUM
INTERAKSI NASIONAL HAK ATAS UMUM
MENGENAI PERTANAHAN DAN
SUMBER DAYA DI BIDANG TANAH
YANG KHUSUSN
ALAM PERTANAHAN ¾ UU BERKEADILAN YA DI
¾ KEPPRES MELALUI BIDANG
¾ PERMEN PERTANA
¾ PERDA HAN
¾ DLL
SWASTA
SIKON :
¾ NASIONAL
¾ REGIONAL
¾ GLOBAL
DI BIDANG
PEREKONOMIAN FEED BACK (UMPAN BALIK)
YANG TERKAIT
DENGAN
PERTANAHAN
Empat urung ini dibagi menjadi daerah Melayu dan Batak, sementara daerah
Batak dibagi lagi menjadi daerah hilir dan hulu atau yang oleh penduduk disebut
Sinuan Bungo dan Sinuan Gambir. Mengenai pemerintahan atas bagian
kesultanan ini berikut perlu disampaikan. Urung atau suku berada di bawah
pimpinan yang menyandang gelar Datuk, kecuali kepala sinembah yang disebut
38
Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, Opcit Hal.71-73. Periksa juga Gouvernement Besluit
tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42.
39
Pewarta Deli, Boven Deli dalam Zaman Ciris, 10 Januari 1933, hal.2 kol.2-3. Koleksi
Perpustakaan Nasional Microfilm rol No.429/ PN. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30
Nopember 1920 nomer 42, bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta.
40
E.A. Halewijn, “Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli“ ,
Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152.
41
Periksa Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta : Tarawang Press, 2001) hal.
57-58.
42
Keterlambatan proklamasi kemerdekaan RI di Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 6
0ktober 1945 secara resmi ini disebabkan oleh sulitnya hubungan dengan Jawa dan berbagai
persiapan darurat yang harus dilakukan di Sumatera Utara. Tumbuhnya berbagai golongan yang
berkepentingan terhadap revolusi juga sangat mempengaruhi nuansa revolusioner dalam
pengumuman proklamasi itu.
43
Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa”, dalam Sediono
M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 163. Pada masa awal
berdirinya Republik, partai-partai politik banyak mencari pendukung di kalangan petani miskin
dan pemberian tanah menjadi senjata ampuh untuk menarik pengikut.
44
Pada mulanya delegasi Belanda menghendaki agar RI hanya berkuasa atas Jawa sementara luar
Jawa seluruhnya diletakan di bawah wewenang Belanda, dengan alasan RI tidak mampu mengatasi
revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Namun di balik itu pemerintah Belanda bermaksud
menyerahkan kembali daerah perkebunan Sumatera Timur itu kepada para pengusaha perkebunan
lama yang berkepentingan dengan investasi modalnya di sana. Periksa Suprayitno, ibid., hal. 80.
45
Campur tangan PBB dalam persoalan Indonesia-Belanda ini menunjukan adanya pengakuan hukum
internasional terhadap keberadaan RI baik secara de facto. Periksa J.G. Starke, Pengantar Hukum
Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 173.
Dalam hal ini pengakuan atas RI didasarkan pada urgentie diplomatik, yakni bahwa justifikasi hukum
digunakan untuk menyebut status pengakuan ini meskipun secara fisik negara itu belum terbentuk.
46
Muhammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan Dan Kemakmuran
Rakyat, (Jakarta: Cakrawala, 1983), hal 14 - 115.
47
Van Mook mengembangkan federalisme, yang oleh rakyat Indonesia dipandang sebagai adik
kandung kolonialisme, lihat K.M.L .Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B“ ,
C.V. Haji Mas Agung, (Jakarta: 1987, hal 248 . Periksa juga Suprayitno, op.cit., hal. 84-85.
Sebagian dari para tokoh pendukung ini adalah para anggota bangsawan feodal Sumatera Timur
yang lolos dari revolusi sosial Maret 1946.
48
K.M.L. Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B “. (Jakarta : C.V. Haji Mas
Agung, 1988), hal 236 .
49
Lihat Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian, yang telah disyahkan, dalam akta
Pernyerahan dan Pengakuan Kedaulatan, yang telah ditandatangani oleh Ratu Juliana di
Amsterdam tanggal 27 Desember 1949 . Dari pihak Indonesia Drs. Mohammad Hatta, ketua
Delegasi Republik Indonesia Serikat, bersama anggota-anggota delegasi, Dr.Mr. Supomo,
Sultan Hamid, Dr. Suparno, Dr. Mr. Kusumaatmaja, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Mr. Suyono
Hadinoto, menyatakan atas nama Republik Indonesia Serikat, telah menerima penyerahan
kedaulatan, sesuai dengan akta penyerahan dam pengakuan kedaulatan .
50
Muhammad Tauchid, op cit, hal 34 .
51
K.M.L. Tobing, loc.cit, hal 40.
52
Lihat pasal-pasal 27, 29 dan 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berturut-turut menjadi
pasal 7,18 dan 38 dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dua pasal yang pertama
( 27 dan 29 UUD 1945 ) mengalami sedikit perubahan yaitu bahwa dalam pasal 27 UUD 1945
dirumuskan sebagai berikut. 1. “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya ”. 2.” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan ”. Sedangkan yang ketiga ( pasal 33 UUD 1945 ) tidak mengalami perubahan.
53
Periksa harian Indonesia Raya tanggal 9 Agustus 1951; periksa juga Ikhtisar Gerakan Tani, Juli-
Agustus 1951 hal. 50, koleksi Perpustakaan Nasional RI. Perusahaan perkebunan ini masih belum
bisa dihapuskan sama sekali mengingat masih berlakunya kontrak jangka panjang selama 75-99
tahun yang telah dibuat dan perlunya produk tanaman karet dan tembakau yang ditanam para
pengusaha sebagai sarana pemasukan devisa negara.
54
Periksa harian Perdamaian, Jakarta, 21 Juli 1951.
55
Tanah seluas 125 ribu hektar ini merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur dengan pihak DPV
(Deli Plantation Vereeniging). Sebelumnya pihak DPV hanya mengusulkan 86 ribu hektar yang
akan diberikan kepada petani. Juga perlu dilakukan seleksi atas tanah-tanah yang diberikan sesuai
dengan kelayakan tanah untuk ditanami padi dan tanah yang ditanami tembakau. Periksa artikel
“Tanah di Sumatera Timur akan Diseleksi” dalam harian Waspada, Medan, tanggal 21 0ktober
1950.
56
Langkah Menteri Dalam Negeri ini bertujuan untuk sedikit demi sedikit menghapuskan bentuk
konsesi kepada perkebunan onderneming dengan batasan maksimal sewa tanah selama 30 tahun.
Begitu juga luas tanah yang disewa oleh onderneming dikurangi sampai separuh. Namun dengan
diterapkannya sistim baru ini semua aturan sewa tanah lama lenyap, termasuk sistim jaluran yang
sering diterapkan oleh onderneming bagi rakyat untuk menanam padi dan jagung. Periksa Harian
Rakyat tanggal 6 Agustus 1951.
57
Menurut desas-desus yang beredar oleh unsur-unsur komunis, 20 ribu orang petani kecil yang
menempati lahan perkebunan seluas 130 ribu hektar itu sejak jaman Jepang akan diusir dan
penempatan ke tempat lain oleh pemerintah dianggap sebagai perampasan lahan tidak sah
(onwettig) Berita ini dibantah oleh Sekdjen Departmen Dalam Negeri Mr. Sumarman. Periksa
Berita Indonesia Nomor 53/PN/M, tanggal 9 Mei 1953.
58
Periksa SK. Gubernur Sumatera Utara tanggal 28 September 1952 Nomor 36/K/Agr.
59
Margo L. Lyon, Dasar-Dasar Konflik Di Daerah Pedesaan Jawa, Dalam Dua Abad Penguasaan
Tanah Pola Penguasaan Tanah di Jawa Dari Masa Ke Masa, di Sunting oleh Sediono MP.
Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, (Jakarta : Gramedia, , 1984), hal 202-203 . Pada tahun 1950, di
Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia muncul persfekif lain mengenai masyarakat pedesaan
disuarakan dengan tajam dalam kampanye-kampanye PKI dan organisasi taninya yaitu : BTI yang
bertujuan membuat petani lebih sadar akan kedudukan material dan sosialnya. Untuk
mengorganisir mereka mengadakan aksi. PKI dalam program umum membuat resolusi yang
menyangkut masalah kaum tani. Salah satu masalah pertama yang dikemukakan adalah tanah
untuk petani kemudian dijadikan landasan program reformasi. Program ini dimulai dengan adanya
tekanan-tekanan untuk mendapatkan dukungan hukum atas hak penduduk liar diatas tanah
perkebunan.
60
Periksa Antara, harian Jogjakarta, tanggal 21 Mei 1953.
61
Ichtisar Rakjat, Jakarta, tahun 1952, hal 249 - 251.
62
Ibid, hal 249 - 251.
63
Lihat surat No. 22063/3/6 dan instruksi No. Agr. 12/4/16 tanggal 28 Mei 1952 yang dikeluarkan
oleh Kementrian Dalam Negeri untuk Gubernur Hakim.
64
Karl Pelzer Op cit, hal 100.
65
Terhadap serangan ini, Mohammad Roem membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintah
tidak terkait langsung dengan peristiwa Tanjung Morawa karena tanah-tanah yang disengketakan
secara yuridis masih di bawah penguasaan hak bangsa asing dan serangan yang ditujukan melalui
alasan peristiwa ini mengandung tendensi menentang kebijakan pemerintah atas tanah di Sumatera
Timur. Roem menyatakan bahwa pemerintah telah mengambil langkah yang sesuai dengan
prosedur hukum, yakni dengan menempuh jalur kekeluargaan melalui pengutamaan asas
musyawarah mencapai mufakat. Namun cara tersebut ditolak oleh para penghuni liar, sehingga
pemerintah segera mengambil tindakan hukum yang sah. Periksa “Roem bela keganasan di Tg.
Morawa”, dalam Sinpo, tanggal 10 April 1953, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
66
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan ; Jakarta, 1999, hal. 112.
67
Karl. J. Pelzer, Palnters agaiants peasents Teh Agrarian Struggle in East Sumatera, 1947-1959,
diterjemahkan oleh Bosco Carvallo, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 27.
68
Tindakan pengusiran dilakukan terhadap para petani penggarap tanah-tanah milik perkebunan
tembakau di Asahan, Serdang, Langkat dan Semulujun menurut laporan dari Front Tani Indonesia.
Pengusiran dilakukan oleh aparat pemerintah dengan alasan tanah tersebut dikembalikan kepada
para pengusaha perkebunan yang telah mencapai kesepakatan untuk meneruskan usahanya
berdasarkan perjanjian KMB. Periksa “20.000 Petani diusir dari perkebunan2”, dalam harian
Berita Indonesia, tanggal 8 Mei 1952 koleksi Perpustakaan Nasional Nomor 53/PN/M.
69
Kasus ini terjadi antara tanggal 23 dan 24 Mei 1956 ketika para petani sebanyak 17 orang dari
Bangunsari, Kecamatan Sunggal dituntut oleh pengadilankarena melanggar UU Darurat Nomor 8
tahun 1954 pasal 13, yakni menggarap tanah perkebunan Timbang Langkat tanpa seijin dari
pemerintah. Sebanyak 14 orang dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 50 atau kurungan
selama 5 hari. Mereka yang tidak hadir dalam sidang dijatuhi hukuman denda Rp 75 dan kurungan
selama 7 hari. Periksa artikel “Banjak Petani2 jang mengambil tanah dihukum di Bindjai” dalam
harian Waspada, 26 Mei 1956, koleksi Perpustakaan Nasional RI.
70
Boedi Harsono, Loc.cit., hal. 113 Dasar dari dikeluarkannya peraturan ini salah satunya adalah maklumat
bersama yang dikeluarkan oleh Kolonel Simbolon sebagai panglima Daerah Militer I Sumatera dan Dr.
Mansur Wali Negara Sumatera Timur tanggal 22 Mei 1950 Nomor 248/1950 yang di antaranya melarang
penghunian secara tidak sah atas tanah-tanah bekas milik onderneming dan meletakan tanah-tanah ini di
bawah perlindungan militer. Periksa harian Waspada, 22 Mei 1950.
71
Seperti yang telah diketahui, bahwa salah satu klausule yang dimuat dalam perjanjian KMB adalah
bahwa pemerintah Indonesia wajib menanggung semua beban hutang milik bekas pemerintah
Hindia Belanda dan wajib melindungi semua aset ekonomi warga Belanda yang telah ditanamkan
berdasarkan kontrak sewa jangka panjang sejak sebelum perang, hingga masa sewa tersebut
berakhir. Hal ini akan diatur kembali setelah adanya infrastruktur yang akan mengatur masalah itu
termasuk tentang hak sewa turun-temurun (erfacht). Periksa “Ichtisar Mingguan KMB”, dalam
harian Waspada, Medan, 9 Januari 1950.
72
Tuntutan ini dimunculkan dalam kongres Sarbupri-Sobsi ke-4 di Malang tanggal 6-9 Juni 1956
yang mendesak kepada pemerintah agar segera menguasai perkebunan-perkebunan Belanda setelah
habis masa sewanya dan mencegah perpanjangannya sekaligus menyita seluruh milik Belanda
sebagai imbangan atas penguasaan Belanda di Irian Barat. Periksa artikel “Kuasai Kebun2 Belanda
jang Habis Erfachtnja” dalam harian Waspada, Medan, tanggal 14 Juni 1956, koleksi Perpustakaan
Nasional RI
73
Ini dimulai dalam pertemuan para perwira Simbolon di Medan pada tanggal 4 Desember yang
diikuti dengan pengambilan sumpah 48 perwiranya terhadap tujuan Simbolon tanggal 16 Dsember
1956. Tujuan utama Simbolon di samping menuntut perhatian pusat bagi pengolahan kekayaan
daerah adalah juga untuk menyelamatkan pemerintahan dari ancaman pengaruh komunis yang
mulai terasa, khususnya di Sumatera Utara. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 526.
74
Kelompok penggarap tanah liar yang tersusupi komunis ini mendukung perwira bawahan Simbolon
Letnan Kolonel Wahab Macmour yang bermarkas di Siantar untuk meninggalkan Simbolon dan
mengambil alih kekuasaan militer di Sumatera Utara. Dengan demikian pada masa ini terjadi
konflik politik yang diwarnai dengan pertentangan etnis dan kepentingan ekonomi sebagai akibat
dari kelemahan pusat atas semua pelaksanaan program pemerintah di Sumatera Utara. Periksa,
Herbert Feith, ibid., hal. 529.
75
Nasionalisasi tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai reaksi dari gagalnya
perundingan antara pemerintah RI dan pemerintah Belanda tentang penyelesaian masalah Irian
Barat, di mana pemerintah Belanda tidak bersedia melepaskan wilayah Irian Barat dan
menjadikannya sebagai lahan kolonisasi. Periksa Herbert Feith, op.cit., hal. 450.
76
Periksa “Majalah Menara Perkebunan” th ke-27 Nomor 1 - Jakarta, diterbitkan oleh
Perkumpulan Organisasi-Organisasi Perkebunan dan Balai Penyelidikan Perkebunan di
Indonesia, Januari 1958, hal 18.
77
Periksa “Pelaksana Undang-Undang Nasionalisasi”, dalam Menara Perkebunan, Nomor 4, April
1959 hal. 65.
348
Periksa penjelasan pasal 2 dari UUPA Nomor 5 tahun 1960. Dalam hal ini yang dimaksud negara
adalah sebagai suatu organisasi hukum tertinggi di suatu wilayah yang mewakili dan mengontrol
seluruh rakyat.
78
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.
79
Dalam penjelasan umum II, dikatakan bahwa berdasarkan wewenang hukum publik ini negara
menjadi lembaga hukum tertinggi yang sah dalam menunjukan hak milik, hak guna bangunan atau
hak pakai. Semua penunjukan hak ini dikeluarkan dalam bentuk yuridis formal, yakni melalui
pembuktian dan pengukuran lewat prosedur hukum dan dibuktikan dengan sebuah dokumen yang
dibuat sah menurut hukum atau dikeluarkan oleh lembaga hukum yang diberi wewenang oleh
negara untuk itu.
80
Periksa pasal 2 ayat 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960; Periksa juga penjelasan umum II nomor 3. Hak
ulayat ini tidak memiliki bukti yuridis formal yang sering menimbulkan kesulitan dalam
penyesuaian penerapan hukum nasional tentang agraria tersebut.
81
Pasal 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
82
Periksa penjelasan umum II nomor 3 UUPA Nomor 5 tahun 1960.
83
Waspasa, Medan, 1 Juni 1977; Sinar Harapan, Jakarta, 3 Juli 1979; Waspada, Medan, 2 September
1979, 3 September 1979, 5 September 1979; Kompas, Jakarta, 8 Oktober 1979; Waspada, 2
Januari 1980; 2 Juli 1982 dan Kompas, Jakarta, 24 September 1995.
A. Konflik Kepentingan.
84
Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Bandung : Mandar Madju, 1989), hal 48-49 .
85
Lihat Pedoman Menteri Agraria No. 1 Tahun 1960, bahagian II angka 2 .
86
Ibid bagian V.
87
Mariam Darus, Dalam Mahadi, Sedikit “ Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas
Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975 , (Bandung Alumni, 1976),hal 166 .
88
Lihat Mahadi, Sedikit “ Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera
Timur ( Tahun 1800 - 1975 ) , Alumni, Bandung, 1976, hal 169
89
Lihat SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969, bagian I dan II
90
Mahadi op cit , hal 169.
91
Lihat Pajakun Nawi, Sejarah Tembakau Deli, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan,1972.
92
Periksa, arktikel “Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?”, dalam harian Duta Masyarakat,
13 Agustus 1968.
93
Periksa, artikel “Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun”, dalam harian Duta
Masyarakat, 26 Juli 1968.
94
Mahadi, Op cit, hal 172 - 173 .
95
Pendapat A.P Parlindungan disampaikan pada Seminar Tanah Jaluran tanggal 21 dan 22 September
1968 di Fakultas Hukum USU Medan.
96
Disampaikan Mariam Darus dalam Seminar Tanah Jaluran, tanggal 21-22 September 1968 di
Fakultas Hukum USU, Medan.
97
Lihat keputusan Seminar Tanah Jaluran, tanggal 22 September 1968, pada point IV, V, VI dan VII.
98
Mengenai kasus tersebut, telah diuraikan dalam diskripsi kasus.
99
Periksa kasus areal Perkebunan PTPN-II, III dan IV, Mengenai Penggarapan yang dilakukan
oleh petani penggarap, BPRPI , dan ex-karyawan perkebunan, yang sampai sekarang belum
dapat diselesaikan .
100
Tuntutan rakyat penggarap yang mengakui sebagai petani berdasarkan reformasi 1998, yang
saat ini semakin marak terjadi di beberapa areal perkebunan.
D. Mencari Penyelesaian.
101
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara Untuk Mengatasi
Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Sumatera Utara (Klaim Masyarakat Hak Ulayat, Masyarakat
Hukum Adat) Disampaikan pada acara Seminar Keberadaan Hak Ulayat Melayu di Sumatera
Utara, di Gedung Bina Graha Sumatera Utara, tanggal 2 Februray 2002, hal. 6.
102
Periksa “Brigjen Ismail: Dalam dekade 80-an masalah tanah sangat rawan” dalam harian Waspada
tanggal 30 Januari 1980.
103
Meskipun penyebutan kelompok atau golongan atau pihak tertentu ini tidak memiliki definisi yang
jelas, namun konotasi umum pada saat itu mengarah pada kekuatan kiri atau eks-PKI yang
bergerak di bawah tanah sebagai bahaya laten dengan tujuan untuk menghambat pembangunan dan
bergerak di kalangan massa rakyat petani. Konotasi umum yang berlaku ini sangat berpengaruh
pada opini masyarakat bahwa mereka yang melakukan penyerobotan tanah ini bisa disamakan
dengan aksi-aksi sepihak oleh PKI sebelum tahun 1965. Periksa “Hindari Kekerasan dalam Soal
Tanah” dalam harian Sinar Indonesia Baru, tanggal8 Agustus 1979.
104
Menarik untuk disimak dalam hal ini tulisan dalam harian Analisa tanggal 3 September 1979
dengan judul “0perasi Sadar Berjalan Baik”, yang menulis:”Penyerobotan secara liar ini disinyalir
ada yang digerakan kelompok orang-orang tertentu untuk kepentingan ambisi politiknya.
Penyerobotan tanah secara masal ini bukan saja mengganggu kamtibmas tetapi juga berakibat
mengaburkan hak-hak petani penggarap lama yang sebenarnya sudah dilindungi UU”.
105
Menurut keterangan dari harian Analisa tanggal 16 Agustus 1979, dengan judul “BPRPI Tepung
Tawari Dan 0perasi Sadar” , perwakilan para petani penggarap menyatakan mendukung usaha
operasi ini dan akan meninggalkan tanah-tanah garapan yang mereka garap. Sementara itu dari
pihak pelaksana, Kolonel Muchtar menyebutkan ada tiga tahap dalam operasi ini yakni operasi
Kamtibmas dan penindakan, operasi intelijen dan penerangan, kemudian operasi konsolidasi dan
stabilisasi.
106
Periksa “Sering Terjadi Perkelahian antara Pemegang SIM dan yang tidak Mempunyai SIM”,
dalam harian Sinar Indonesia Baru tanggal 23 September 1981. Hal ini terbukti dengan 11
keluarga desa Gunung Tinggi, Kecamatan Pancur Batu yang datang menghadap kepada bupati Deli
Serdang untuk mengadukan nasibnya sehubungan pembagian SIM bagi mereka yang ditampung di
lahan penampungan Glugur Rimbun Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang berlangsung
tidak merata. Pada saat protes ini diajukan, tidak ada pejabat berwenang di kabupaten itu yang
bersedia menemui para petani desa ini.
107
Mereka yang diperiksa karena terlibat dalam kasus ini adalah camat Sei Bingai, kepala desa Pasar
IV dan beberapa aparat kecamatan serta pedesaan yang lain di lahan tanah perkebunan PTP IX di
Pasar Pinter Desa Purwobinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat. Periksa “9 0knom
yang Diduga ‘Memperjualbelikan’ SIM di Sei Bingei Langkat Diperiksa Laksusda Sumut” dalam
Sinar Indonesia Baru, tanggal 28 Januari 1981.
108
Hal ini bisa dicermati dengan pernyataan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo waktu itu yang menjelaskan
tentang masalah tanah warga desa Siriaria di Kecamatan Dolok Sanggul, Tapanuli Utara. Komentar pejabat
setingkat panglima nasional terhadap persoalan tanah di suatu desa menunjukan bahwa kepentingan pusat atas
persoalan agraria di wilayah ini ikut terlibat. Persoalan tanah-tanah di Sumatra Utara juga sering menjadi
bahan perbincangan di kalangan DPR RI meskipun ini hanya terjadi pada tingkat desa. Periksa “Pengacara
Harus Kembalikan Uang Penduduk Siria-ria”, dalam Sinar Indonesia Baru, tanggal 8 Agustus 1979.
109
Menurut teori hukum, ada dua macam kepastian hukum. Yang pertama adalah kepastian hukum dalam hukum
itu sendiri, dan yang kedua kepatian hukum karena hukum tersebut. Ketidakpastian hukum dalam hukum
disebabkan oleh ketidakjelasan kalimat yang ada dalam hukum itu sendiri, yang mengandung penafsiran
berbeda-beda antara orang yang satu dan yang lainnya. Sebagai akibatnya orang menerapkannya menurut
arah penafsiran dan selera kepentingannya masing-masing. Dari sini akan terjadi konflik yang masing-masing
merasa sudah dilandasi dengan hukum.
110
Pengerahan massa sebagai suatu mobilisasi sering terjadi dalam kaitannya dengan sengketa
penguasaan lahan, khususnya di antara lapisan rakyat bawah petani yang tidak memiliki tanah
(petani penggarap atau petani buruh). Hal ini bisa dibuktikan dalam uraian Bab III sub 4 di mana
PKI sering menggunakan alasan demi perjuangan rakyat untuk mencapai kepentingannya, yang
terkenal dengan slogan “tanah untuk rakyat”.
111
Rekayasa social yang dipaksakan atau social maintenance menurut Friedmann dijelaskan
sebagai berikut : “ We should not push the term social engineering too far . This gives the
legal system too much of an active . Refeorming flavor . Most of the time, legal allocations
do exactly the opposite : rather than change things , they tend to keep the status quo intact
, This function can be callled social maintenance
112
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Darurat No.8 Tahun 1954. Tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh rakyat.
113
Ibid, Pasal 6.
114
Ibid, Pasal 11.
115
Lihat Pasal 1 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian,
Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955.
116
Lihat Pasal 3 Keputusan Bersama, Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri
Perekonomian, Menteri Dalam Negeri;, dan Menteri Kehakiman. No. 1 Tahun 1955
117
Ibid Pasal 8.
118
Ibid Pasal 10.
119
Lihat akta konsesi 1877, 1878, 1884, dan 1892.
120
Lihat Gary goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi,
ELIPS, Jakarta,1999, hal 219.
121
Ibid,
122
Lihat pasal 27 (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
123
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta,
1961, hal 230.
124
Lihat Sudikno Mertokusumo, Op cit , hal 32.
125
William Chambliss dan Robert B.Seidman, dalam Muhammad Bakri dkk,Op.cit, hal. 23.
126
Lihat Ketentuan 5 dan 6 Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1950.
127
Robert Seidman, The State, Law and Develompent, ST. Martin’s Press, New York, 1978, hal
75 .
128
Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 22.
129
Lawrence M. Friedman, Op cit, hal 6.
130
Ibid, hal 7.
131
Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik (Klaim
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Disampaikan dalam Seminar Keberadaan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Melayu di Sumatera Utara , Medan, 02 Februari 2002. Dan Hasil
Wawancara dengan Paniita B “PLUS” Sumatera Utara .
132
Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dan data dari PEMDASU dan ditambah
dengan data dari BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara dalam suratnya No.570.706/
Pan/BP/V/2001, tertanggal 2 Mei 2001, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara, tentang
mohon petunjuk.
133
Wawancara dengan informan pada tahun 2001.
Tabel.3
Areal PTPN-II Kabupaten Langkat Yang Seluas 1.210,8700 Ha
Didistribusikan Kepada Masyarakat.
NO PERUNTUKAN JUMLAH AREAL
1 Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan 588,3600 Ha
kepada rakyat
2 Masuk dalam RUTRWK 308,4700 Ha
3 Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan 114,0400 Ha
4 Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat 200,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah 1. 210,8700 Ha
Sumber data diolah dari data Kanwil BPN Sumatera Utara Tahun 2002.
Kemudian berdasarkan data tersebut di dalam (tabel 1) tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa Luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai yang
ditangguhkan untuk perpanjangan HGUnya dari seluas 238,5200 Ha,
penyelesaiannya hanya dapat direkomendasikan perpanjangan HGU seluas 0 Ha,
sedangkan yang tidak dapat diperpanjang HGUnya seluas 238,5200 Ha kemudian
didistribusikan kepada masyarakat dengan perincian sebagai berikut :
Tabel.4
Areal PTPN-II Kotamadya Binjai Yang Ditangguhkan
Dari 238,5200 Ha Tidak Dapat Diperpanjang
Kemudian Didistribusikan
Kepada Masyarakat.
NO PERUNTUKAN JUMLAH AREAL
1 Tuntutan garapan rakyat untuk didistribusikan 122,9000 Ha
kepada rakyat
2 Masuk dalam RUTRWK 113,3000 Ha
3 Untuk tapak perumahan pensiunan karyawan 2,3200 Ha
4 Diberikan sebagai kompensasi kepada masyarakat 50,0000 Ha
adat Melayu
Jumlah 238,5200 Ha
Sumber : data diolah dari hasil wawancara dengan Informan tahun 2002.
Berdasarkan data dari tabel (4) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
luas areal PTPN-II di Kota Madya Binjai dari areal seluas 238,5200 Ha yang
ditangguhkan perpanjangan HGUnya, ternyata dalam taraf penyelesian sama
sekali tidak direkomendasikan untuk diperpanjang, tetapi dibagikan kepada
masyarakat.
A. Kesimpulan.
B. Saran.