Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala klinis yang


menggambarkan kondisi iskemik miokard akut.1,2 Nyeri dada adalah gejala
utama yang dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal, namun
klasifikasi selanjutnya didasarkan pada gambaran elektrokardiografi (EKG).3
Terdapat dua klasifikasi pasien SKA berdasarkan gambaran EKG yaitu infark
miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI).2

Sebelum era fi brinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan


non Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram
(EKG) yang terjadi pada beberapa hari setelah serangan. Infark miokardium tipe
Q-wave menggambarkan adanya infark transmural. Sedangkan infark non Q-wave
menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan subendokardium.7 Pada
saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial infarction),
NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak
stabil.3

NSTEMI biasanya disebabkan oleh penyempitan arteri koroner yang berat,


sumbatan arteri koroner sementara, atau mikroemboli dari trombus dan atau
materi-materi atheromatous. Dikatakan NSTEMI bila dijumpai peningkatan
biomarkers jantung tanpa adanya gambaran ST elevasi pada EKG, apabila tidak
didapati peningkatan enzim-enzim jantung kondisi ini disebut dengan unstable
angina (UA) dan diagnosis banding diluar jantung harus tetap dipikirkan.2

Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan


publik yang bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-
negara sedang berkembang.1 Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap
adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya
angina tidak stabil.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan sebagai gambaran


EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T prominen dengan biomarker
nekrosis yang positif ( mis, troponin) dengan tidak dijumpainya elevasi segmen
ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan gambaran klinis (rasa tidak nyaman
pada dada atau sesuai dengan angina).2

2.2 Patofisiologi

Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh


penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner, NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokontriksi koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil.
Plak yang tidak stabil biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot
polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai
1
sel makrofag dan limposit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi.

Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat
dipicu oleh spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner epicardial
(Prinzmetal’s angina). Spasme lokal ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot
polos vaskular dan atau disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah besar dapat
terjadi pada puncak obstruksi atau plak, yang mengakibatkan angina yang berasal
dari campuran kondisi tersebut atau NSTEMI/UA. 2

Obstruksi koroner dinamik dapat pula disebabkan oleh disfungsi


mikrovaskular difus, sebagai contoh akibat disfungsi endotel atau konstriksi
abnormal dari pembuluh darah kecil intramural. Penyempitan pembuluh darah
tanpa spasme atau trombus. Kondisi ini terjadi pada pasien dengan atherosklerosis
progresif atau akibat restenosis setelah percutaneous coronary intervention (PCI).
2

Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada wanita-
wanita peripartum). 2

UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri koroner.


Pasien dengan UA sekunder biasanya, namun tidak selalu, memiliki penyempitan
atherosklerotik koroner yang membatasi perfusi miokard dan sering memiliki
angina kronik stabil. UA sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi seperti
peningkatan kebutuhan oksigen miokard (demam, takikardia, tirotoksikosis),
penurunan aliran darah koroner (hipotensi) atau penurunan pasokan oksigen
miokard (anemia atau hipoksemia).2

2.3 Gejala Klinis

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering
ditemukan pada NSTEMI. Gejala yang tidak khas seperti dispneu, mual,
diaforesis, sinkop, atau nyeri dilengan , epigastrium, bahu atas , atau leher dapat
terjadi dalam kelompok pasien pasien berusi lebih dari 65 tahun. 1

2.4 Pemeriksaan Penunjang

1.EKG

Karakteristik abnormalitas gambaran EKG yang ditemui pada NSTEMI


adalah depresi segmen ST atau elevasi transient dan atau perubahan pada
gelombang T (inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo-normal).1,3 Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan
derajat depresi segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan iskemia dan
berkorelasi dengan prognosis. Deviasi segmen ST yang baru, bahkan hanya 0,05
mV merupakan hal yang penting dan spesifik dalam hal iskemik dan prognosis.
Depresi segmen ST > 2 mm meningkatkan resiko mortalitas. Inversi gelombang T
juga sensitif untuk iskemik namun kurang spesifik, kecuali bila ≥ 0,3mV baru
dinyatakan bermakna.2

2. BIOMARKER

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang


lebih disukai, karena lebih spesifik dari pada enzim jantung tradisional seperti CK
dan CKMB. Pada pasien denga IMA, peningkatan awal troponin pada darah
perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.1

Peningkatan troponin jantung menggambarkan kerusakan selular miokard


yang mungkin disebabkan oleh embolisasi distal oleh trombus kaya platelet dari
plak yang ruptur atau mengalami erosi. Pada kondisi iskemik miokard (nyeri
dada, perubahan EKG, atau abnormalitas gerakan dinding jantung yang baru),
peningkatan troponin mengindikasikan adanya infark miokard.2

2.5 Pemeriksaan Imaging

Foto thoraks biasanya dilaksanakan pada saat awal pasien masuk ke rumah
sakit, sehingga dapat dievaluasi kemungkinan lain penyebab nyeri dada dan
sekaligus sebagai skrining kongesti paru yang akan mempengaruhi prognosis.

Pemeriksaan ekokardiografi dan doppler sebaiknya dilakukan setelah


hospitalisasi untuk menilai fungsi global ventrikel kiri dan abnormalitas gerakan
dinding regional. Ekokardiografi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari nyeri dada.

Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat menilai fungsi dan perfusi


jantung skaligus mendeteksi bekas luka pada jaringan, namun teknik imaging ini
belum secara luas tersedia. Begitu pula dengan nuclear myocardial perfusion
tampaknya akan sangat bermanfaat, namun tidak tersedia dalam layanan 24 jam.
Myokard skintigrafi juga dapat digunakan pada pasien dengan nyeri dada tanpa
perubahan gambaran EKG atau bukti adanya iskemik yang sedang berlangsung
ataupun infark miokard. Multidetector computed tomography (CT) tidak
digunakan untuk mendeteksi iskemia, namun menawarkan kemungkinan untuk
menyingkirkan adanya PJK. CT angiography, jika tersedia dapat digunakan untuk
menyingkirkan SKA dari etiologi nyeri dada lainnya.

Angiografi koroner merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui


dan menilai keparahan penyakit arteri koroner. Angiografi urgent dilakukan untuk
tindakan diagnostik pada pasien-pasien dengan resiko tinggi dan dengan diagnosis
banding yang tidak jelas.2

2.6 Penatalaksanaan

1. Terapi Suportif

Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%, distres


pernafasan, atau memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia

Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal


spray (0.4mg). Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis
pemberian. Jika nyeri masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun gagal
jantung , nitrogliserin intra vena dapat diberikan (dosis inisial 5-10 ug/menit
dengan peningkatan 10 ug/menit sampai tekanan darah sistolik turun dibawah 100
mmHg). Pemberian nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang
mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit atau 48 jam
untuk tadalafil.

Morfin dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, walaupun terdapat


beberapa observasi yang mengindikasikan adanya peningkatan mortalitas pada
SKA dengan penggunaan nya. Sedangkan NSAID disarankan untuk dihentikan
pengunaannya pada pasien NSTEMI, karena dijumpai peningkatan resiko
mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung dan ruptur miokard sehubungan
dengan penggunaannya`

2. Terapi Anti Iskemik

Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang dapat
diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta
a. Nitrat

nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia, jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian
nitrogliserin intravena(mulai 5-10ug/menit0. Setelah nyeri dada hilang dapat
diganti dengan nitrat oral atau dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika
pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam.

b. penyekat beta

penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit.
Jika nyeri menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin
sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5—30 menit sampai dosis total 20
mg.

3. Terapi Antiplatelet

a. Aspirin

Aspirin sebaiknya diberikan kepada semua pasien kecuali ada


kontraindikasi, dosis inisial aspirin non enterik 150-300 mg dikunyah. Selanjutnya
75-100 mg per hari dalam jangka panjang dikatakan memiliki efikasi yang sama
dengan dosis besar dan memiliki resiko intoleran saluran cerna yang lebih kecil.

b. Reseptor Inhibitor

Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien dengan dosis inisial


300 mg selanjutnya diikuti 75 mg per hari. Pada pasien yang dipertimbangkan
untuk menjalani PCI, loading dose 600 mg disarankan untuk mencapai
penghambatan fungsi trombosit yang lebih cepat. Clopidogrel harus
dipertahankan setidaknya selama 12 bulan kecuali terdapat resiko perdarahan.

c. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors


Tiga obat yang termasuk golongan GP IIb/IIIa receptor inhibitors yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah abciximab yang merupakan suatu
fragmen monoklonal antibody; eptifibatide sebuah peptide siklik; dan tirofiban
yang merupakan molekul peptidomimetik.3 Studi terbaru mengenai SKA tidak
menemukan keuntungan dalam penggunaan GP IIb/IIIa dalam SKA.

4. Terapi Antikoagulan

Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat


pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus. Antikoagulan
direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti
platelet.Terdapat beragam jenis antikoagulan yang tersedia, dan pemilihannya
didasarkan pada resiko iskemik, kejadian perdarahan dan pilihan strategi
manajemen inisial ( urgent invasif, early invasif atau konservatif). Jenis
antikoagulan antara lain:

Indirect inhibitors koagulasi (butuh anti trombin untuk aksi penuhnya) :

o Indirect thrombin inhibitors : unfractionated heparin (UFH), low


molecular weight heparin (LMWHs)

o Indirect factor Xa inhibitors : LMWHs, fondaparinux - Direct inhibitors


koagulasi

o Direct factor Xa inhibitors : apixaban, rivaroxaban, otamixaban

o Direct thrombin inhibitors (DTIs): bivalirudin, dabigatran

a. Low Molecular Weight Heparin

Salah satu LMWH yang sering digunakan adalah enoxaparin yang


merupakan antikoagulan pilihan baik pada pasien-pasien yang direncanakan untuk
tindakan konservatif ataupun tindakan invasif. Dengan dosis 1 mg/kgBB dua kali
sehari, enoxaparin dapat dihentikan 24 jam setelah strategi invasif dilakukan. Dan
sebaiknya diberikan selama 3 hingga 5 hari untuk pasien yang direncanakan
tindakan konservatif. LMWH dieliminasi sebagian melalui ginjal. Resiko
akumulasi meningkat seiring dengan penurunan fungsi ginjal, sehingga
mengakibatkan peningkatan resiko perdarahan.

b. Unfractionated Heparin UFH

kurang baik diabsorpsi melalui rute sub kutan, sehingga penggunaan infus
intravena menjadi rute pemberian yang lebih dipilih. Dengan dosis bolus inisial
60-70 IU/kgBB (maksimal 5000 IU) diikuti infus inisial 12-15 IU/kg/jam
(maksimal 1000 IU/jam). Batas terapeutik UFH cukup sempit, sehingga
diperlukan monitoring aPTT secara berkala, dengan target optimal 50-75 detik
(1,5-2,5 kali batas teratas nilai normal). Pada nilai aPTT yang lebih tinggi, resiko
komplikasi perdarahan akan meningkat, tanpa adanya efek anti trombotik. Efek
antikoagulan UFH akan hilang dengan cepat dalam beberapa jam setelah
penghentian, sehingga dalam 24 jam penghentian terapi terdapat resiko reaktivasi
proses koagulasi dan meningkatkan resiko kejadian iskemik berulang meskipun
diberikan bersamaan dengan aspirin.

5. Revaskularisasi Koroner

Kateterisasi jantung diikuti oleh revaskularisasi telah terbukti mencegah


iskemik berulang dan atau memperbaiki hasil akhir jangka pendek dan jangka
panjang. Berdasarkan keakutan resiko, waktu pelaksanaan angiografi dibagi
menjadi 4 kategori, yaitu:

- invasive (< 72 jam)

- urgent invasive (< 120 menit)

- early invasive (<24 h);

- primarily conservative

a. Strategi invasif (<72 jam setelah kontak medis pertama)


Pada pasien dengan resiko akut yang lebih sedikit dan tanpa pengulangan
gejala, angiografi dapat dilakukan dalam batas waktu 72 jam.

b. strategi Urgent invasif (<120menit)

angiografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan resiko sangat


tinggi, dengan ciri sebagai berikut :

- Angina refrakter (mengindikasikan adanya infark miokard yang sedang


berlangsung tanpa adanya abnormalitas ST)

- Angina berulang meskipun dengan terapi antiangina yang kuat,


berhubungan dengan ST depresi (2mm) atau gelombang T negatif yang
dalam

- Gejala klinis gagal jantung atau hemodinamik tidak stabil (syok)

- Aritmia yang mengancam nyawa (fibrilasi ventrikel atau ventrikular


takikardia) VI.

c. Strategi Early Invasif (24 jam setelah ontak medis)

Kebanyakan pasien memberi respon terhadap terapi anti angina inisial,


namun resiko semakin meningkat dan membutuhkan angiografi yang diikuti
dengan tindakan revaskularisasi.

d. Terapi Konservatif

Pada strategi konservatif dapat dilakukan tindakan angiografi elektif


ataupun tidak sama sekali. Pasien yang memenuhi semua kriteria dibawah ini
dapat dikatakan memiliki resiko rendah dan tidak rutin menjalani evaluasi early
invasif, yaitu:

- Tidak ada nyeri dada berulang

- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung


- Tidak dijumpai abnormalitas pada EKG awal atau EKG kedua (pada 6-9
jam)

- Tidak dijumpai peningkatan kadar troponin (pada saat datang maupun


pada 6-9 jam)

- Tidak dijumpai inducible iskemi. Penatalaksanaan lebih lanjut untuk


pasien-pasien ini sesuai dengan untuk evaluasi penyakit arteri koroner stabil.

6. Tatalaksana Predischarge Dan Pencegahan Sekunder

Pasien dengan NSTEMI setelah melewati fase inisial memiliki resiko


tinggi untuk mengalami kejadian iskemia berulang. Oleh karena itu tindakan
pencegahan yang esensial seperti perbaikan pola hidup, penurunan berat badan,
kontrol tekanan darah, manajemen diabetes, intervensi lipid, penggunaan
antiplatelet, penghambat beta, Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) akan sangat membantu. ACE inhibitor
sebaiknya diberikan secara oral dalam 24 jam pertama pada pasien dengan
kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 0,40 tanpa adanya hipotensi
(tekanan darah sistole < 100 mmHg atau < 30 mmHg dibawah baseline) atau
kontraindikasi lain. ARB dapat diberikan pada pasien-pasien yang intoleran
terhadap ACE inhibitor. Statin direkomendasikan untuk semua pasien NSTEMI,
terlepas dari berapa kadar kolesterol, inisiasi dini dimulai setelah masuk ke rumah
sakit. Target LDL yang diharapkan < 21 70 mg/dl.

2.7 Prognosa

Sejumlah metode untuk penilaian resiko kematian dan kejadian iskemik


pada pasienpasien dengan NSTEMI telah cukup dikenal, hal ini memberikan
dasar pengambilan keputusan bagi tindakan terapeutik.2 Thrombolysis In
Myocardial Infarction (TIMI) skor,

Dengan skor TIMI dapat dinilai semua sebab mortalitas, resiko infark
miokard baru atau berulang, atau iskemik berulang yang berat yang membutuhkan
tindakan revaskularisasi dalam 14 hari. Skor 0-1 berarti resiko untuk mengalami
semua hal diatas tersebut adalah 22 4,7%, skor 2 resiko 8,3%, skor 3 resiko
13,2%, skor 4 resiko 19,9 %, skor 5 resiko 26,2%, skor 6-7 resiko 40,9 %.2 Untuk
skor TIMI < 3 dikatakan resiko rendah, skor TIMI 3-4 resiko menengah dan skor
TIMI 5-7 adalah resiko tinggi
BAB III

KESIMPULAN

NSTEMI merupakan salah satu bagian dari sindroma koroner akut yang
ditandai dengan gambaran EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T
prominen dengan biomarker nekrosis jantung yang positif (mis, troponin) namun
tidak dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG. Dalam rentang 4
tahun, mortalitas jangka panjang untuk pasien-pasien NSTEMI didapati dua kali
lebih tinggi, sehingga diagnosis yang cepat dan tepat, stratifikasi resiko, tindakan
terapi yang sesuai untuk mengembalikan aliran darah pembuluh koroner serta
mengurangi iskemik miokard harus dapat dilakukan terutama melalui empat
komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu pemberian antiiskemia,
antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), dan
perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah meninggalkan RS.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harun, Sjaharuddin; Alwi, Idrus. 2009. Infark Miokard Akut Tanpa


Elevasi ST. dalam sudoyo, aru dkk. buku ajar ilmu penyakit dalam ed 5.
Jakarta : Interna Publising

2. Sari. 2014. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST.Medan : Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai