Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi Karsinoma Hepatoseluler (Hepatoma)


Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoselul er atau
karsinoma hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak
normal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki
kemampuan membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi
ganas. Kanker hati sering disebut "penyakit terselubung". Pasien seringkali tidak
mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan
dini. Pada pertumbuhan kanker hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala
seperti sakit di perut sebelah kanan atas mel uas ke bagian belakang dan bahu,
bloating, berat badan, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam,
dan ikterus. Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah-masalah kesehatan juga
dapat menyebabkan gejala-gejala tersebut, tapi setiap orang yang mengalami
gejala seperti ini harus berkonsultasi dengan dokter (Hussodo, 2006).
Kanker Hati atau Karsinoma Hepato Seluler (KHS) merupakan tumor ganas
hati primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas
dengan prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya penderita meninggal
dalam waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly, 2007).
B. ETIOLOGI
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
terlihat
1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti
kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam
DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen
hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent)
menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.
Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif
merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi
berlebihan suatu atau bebe rapa gen yang berubah akibat HBV (Hussodo,
2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati
(HCC pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau
viral tertentu oleh genx HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC,
mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan
proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx
melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel (Hussodo, 2009) .
Manifestasi infeksi Hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati.
Virus hepatitis B termasuk yang paling sering ditemui. Distribusinya tersebar
di seluruh dunia, dengan prevalensi karier di USA <1%, sedangkan di Asia
5– 15%. Masa inkubasi berkisar 15–180 hari, (rata-rata 60–90 hari). Viremia
berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut.
Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai
kekebalan seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan
Sebanyak 1–5% penderita dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan
berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. Orang
tersebut akan terus-menerus membawa virus hepatitis B dan bisa menjadi
sumber penularan. Penularannya melalui darah atau transmisi seksual.
Dapat terjadi lewat jarum suntik, pisau, tato, tindik, akupunktur atau
penggunaan sikat gigi bersama yang terkontaminasi, transfusi darah,
penderita hemodialisis dan gigitan manusia. Hepatitis B sangat berisiko
bagi pecandu narkotika dan orang yang mempunyai banyak pasangan
seksual.
Gejala hepatitis B adalah lemah, lesu, sakit otot, mual dan muntah,
kadangkadang timbul gejala flu, faringitis, batuk, fotofobia, kurang nafsu
makan, mata dan kulit kuning yang didahului dengan urin berwarna gelap.
Gatal gatal di kulit, biasanya ringan dan sementara. Jarang ditemukan
demam. Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi
hepatitis B terhadap bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan
dengan orang yang terinfeksi, hindari penyalahgunaan obat dan pemakaian
bersama jarum suntik. Menghindari pemakaian bersama sikat gigi atau alat
cukur, dan memastikan alat suci hama bila ingin bertato melubangi telinga
atau
tusuk jarum.
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar
30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti HCV
jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg -negatif daripada HbsAg-
positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan
anti HCV positif, interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat
mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui
aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati (Hussodo, 2009).
3. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan
dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas.
Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi
hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan
sirosis alkoholik (Hussodo, 2009) .
4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang m ampu membentuk ikatan dengan
DNA maupun RNA (Hussodo, 2009).
5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya
sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009).
C. PATOFISIOLOGI
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa
soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara
mikroskopis, neoplasma disusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai
diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel
mirip sel hati yang teratur di dalam pita-pita yang terpisah oleh sinusoid-
sinusoid. Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol
dan hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya.
Tumor –tumor yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran
sel-sel anaplastik. Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas
yang m embedakan dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma
hepatoselular berdiferensiasi buruk dengan karsinoma metastatik (Chandrasoma,
2005) . Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein
(AFP) di dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke
dalam darah, peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat
pemeriksaan AFP serum sebagai tes diagnostik yang penting. (Catatan : Kadar
AFP juga dapat sedikit meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis,
demikian juga pada beberapa neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma
hepatoseluler cenderung bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar
getah bening regional dan melalui darah menimbulkan metastasis pada paru.
Metastasis ke tempat lain terjadi pada tahap akhir (Chandrasoma, 2005).
D. TATA LAKSANA
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan
multi-nodularis, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu kanker ini
juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan
terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor,
serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-
pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai
terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan
control yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi ablative lokoregion
al, di samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai
penelitian individual (Husodo, 2009).
1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai fungsi
hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk pasien
sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya
gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang
dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi
portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek
dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan
hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah
adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau multifocal, sirosis stadium
lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien
menjalani operasi (Husodo, 2009).
2. Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati
yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai
80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan
obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering
disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti
rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3cm lebih
jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5cm
(Husodo, 2009).
3. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil
karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar
kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan
fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan
tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non -
child A. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan
yang l ebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang
lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup
pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak
ditemukan dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah terjadinya rekurensi
tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan
dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo (kelompok plasebo 49%,
kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Husodo,
2009).
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah -lanjut
(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan
meta analisi, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial
embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan
HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun
dianjurkan pada pasien yang fungsi ha tinya cukup baik (Child-Pugh) serta
tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau penyebaran
ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi
pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik
akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat (Husodo,
2009). Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel
seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen,
oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti
(Husodo, 2009).
5. Antivirus
Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B.
Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA. Obat ini
mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus
hepatitis B berproliferasi. Lamivudine merupakan analog nukleosida
deoxycytidine dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus
hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudine akan menghasilkan HBV
DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam
waktu 1 bulan. Lamivudine akan meningkatkan angka serokonversi
HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal, dan menekan
terjadinya proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga mengurangi
kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine sangat
memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan plasebo.
Lamivudine diberikan per oral sekali sehari, sehingga memudahkan
pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan
pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudine adalah rasional
untuk terapi pada pasien dengan hepatitis B kronis aktif.
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM
INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Aminudin Nomor RM : 0 2 1 0 5 0 3 6


Tgl lahir/Umur : 63 tahun BB : 60 kg; TB : 160 cm; Kamar : Mawar (4.5)
RPM : rujukan dari RSUD cilacap RPD : hepatoma
DPJP : dr. Rachmad Diagnosis : Febris, Abdominal pain ec susp hepatoma
dd abses hepar, Hepatitis B, Vomitus,
Anemia, hipoalbumin
RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN
Diisi oleh Apoteker yang merawat :
Parameter Penyakit / Tanggal Nilai Normal 11/7/19 12/7/19 13/7/19 14/7/19 15/7/19 16/7/19 17/7/19
Tanda Vital

Tekanan Darah (mm Hg) 124/78 120/60 70/40 120/70 90/70 110/70 155
Nadi (kali per menit) 88 85 80 85 94 88
Suhu Badan (oC) 36 36 37 36 36,4 36
Respirasi (kali per menit) 24 20 20 20 20 20
Mengigil √ - - - - -
√ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
KELUHAN

Nyeri perut
Mual muntah √ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
BAB hitam √ √ - - - -

Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai Normal 11/7/19 14/7/19


Laboratorium Rutin

Albumin 3.4-5 1.8


Hb 13.2-17.3 7.4 8.3
Leukosit 3600-10600 6150 5400
SGPT 15-37 41
SGOT 16-40 40
HbsAg - +

Terapi (Nama Obat, Kekuataan) Aturan Pakai 11/7/19 12/7/19 13/7/19 14/7/19 15/7/19 16/7/19 17/7/19
Ketorolak 30 mg Extra √
Ranitidine 50 mg 2 x 1 amp √ √ √ √ √ √
RUTE PARENTERAL

Ondansetron 4 mg 2x1 amp √ √ √ √ √ √


Ceftriaxone 1 gram 2x1 √ √ √ √ √
Metronidazole 500 mg 4 x 2 flash √ √ √ √ √
RUTE ORAL

NaCl 0,9 % 20 tpm √ √ √ √ √ √


PRC 2 kolf
I.V.F.D.
BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM


INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Aminudin Nomor RM : 0 2 1 0 5 0 3 6

Tanggal lahir / Umur : 63 tahun Berat Badan : 60 kg Tinggi Badan : 160 cm

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (2)


Diisi oleh Apoteker yang merawat :

Asuhan Kefarmasian Nama &


Tanggal
Paraf
& Jam Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Planning Apoteker
12/7/19 Subjekytif Monitoring
Nyeri perut, Mual muntah, BAB hitam

Objektif
Diagnosa : Febris, Abdominal pain ec susp Hepatoma
dd abses hepar, hepatitis B, vomitus, anemia,
hipoalbumin

Asesment
1. Febris dengan keluhan mengigil sudah diterapi
→ teratasi
2. Abdominal pain dengan keluhan nyeri perut
sudah diterapi → teratasi sebagian nyeri skala 2
3. Vomitus dengan keluhan mual muntah sudah
diterapi → keluhan tertasi sebagian
4. Anemia dengan keluhan lemas sudah diterapi
→ Hb sudah naik dari 7.4 – 8.3
5. DRP untreated hipoalbumin belum diterapi

Anda mungkin juga menyukai