Anda di halaman 1dari 6

......

Asal-Usul Manusia Menurut Kitab Suci


Ajaran Iman Tentang Penciptaan

AJARAN IMAN TENTANG PENCIPTAAN

● Ciptaan: Karya Tritunggal Mahakudus


“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Tiga hal
dinyatakan dalam kata-kata Kitab Suci yang pertama ini: ​* Allah yang abadi
menciptakan segala sesuatu yang ada di luar-Nya; * hanya Dia sendiri adalah
Pencipta (​bara (Verb - Ibr. selalu untuk subyek Allah); dan ​* ​segala sesuatu yang
ada – “langit dan bumi” – bergantung dari Allah, yang memberi keberadaannya.
“Pada mulanya adalah Sabda … dan Sabda itu adalah Allah. Segala sesuatu
dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala
yang telah dijadikan” (Yoh 1: 1-3). Perjanjian Baru mewahyukan bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu oleh Sabda, putera-Nya yang kekasih. “Di dalam
Dia-lah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di sorga dan yang ada di bumi …
segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia adalah terlebih dahulu dari
segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1: 16-17). Iman Gereja
memberikan juga kesaksian mengenai karya cipta Roh Kudus: Dialah yang
“menghidupkan” (lih. rumusan Syahadat Nicea-Konstantinopel), “Roh Pencipta”
(“Veni, Creator Spiritus”), “sumber segala kebaikan” (bdk. rumusan liturgi Bizantin).
Kesatuan yang tidak terpisahkan dari karya cipta Putera dan Roh dengan karya
cipta Bapa dipratandai dalam Perjanjian Lama (bdk.Kej 1: 2-3; Mzm 33: 6; 104: 30),
diwahyukan dalam Perjanjian Baru, dan akhirnya diucapkan secara jelas dalam
peraturan iman Gereja: “Hanya satu adalah Allah dan Pencipta… Ialah Bapa, Ialah
Pencipta, Ialah pengasal dan pembentuk, yang ​oleh Diri Sendiri (artinya: oleh
Sabda-Nya dan kebijaksanaan-Nya…) mengadakan segala sesuatu” (bdk. Ireneus,
haer, 2,30,9); “oleh Putera dan Roh” – yang seakan-akan adalah tangan-Nya (bdk.
Ireneus, haer, 4,20,1). Maka ciptaan adalah karya bersama Tritunggal Mahakudus.
● Dunia Diciptakan Demi Kemuliaan Allah
Kitab Suci dan tradisi selalu mengajar dan memuji kebenaran pokok: “Dunia
diciptakan demi kemuliaan Allah” (KV I: DS 3025). Tuhan menciptakan segala
sesuatu “bukan untuk menambah kemuliaan-Nya, melainkan untuk mewartakan
dan menyampaikan kemuliaan-Nya” (St. Bonaventura, sent. 2,1,2,2,1). Tuhan tidak
mempunyai alasan lain untuk mencipta, selain “cinta-Nya dan kebaikan-Nya” (bdk.
kata-kata St. Thomas Aquinas: “Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang
dibuka dengan kunci cinta” – Thomas Aqu. sent.2,prol.). Tentang hal ini, Konsili
Vatikan I menjelaskan:
“Satu-satunya Allah yang benar ini telah mencipta dalam kebaikan-Nya dan
‘kekuatan-Nya yang mahakuasa’ – bukan untuk menambah kebahagiaan-Nya, juga
bukan untuk mendapatkan kesempurnaan, melainkan untuk mewahyukan
kesempurnaan-Nya melalui segala sesuatu yang Ia berikan kepada makhluk
ciptaan – karena keputusan yang sepenuhnya bebas, menciptakan sejak awal
waktu dari ketidak-adaan, sekaligus kedua ciptaan, yang rohani dan yang jasmani”
(DS 3002)
● Misteri Penciptaan
Iman akan Penciptaan adalah misteri yang tampak dalam rumusan iman berikut:
➢ Allah Mencipta Dalam Kebijaksanaan
Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya.
Dunia bukanlah hasil dari salah satu keutuhan, satu takdir yang buta atau
kebetulan. Kita percaya bahwa ia berasal dari kehendak Allah yang bebas,
yang berkenan membuat makhluk ciptaan mengambil bagian dalam
ada-Nya, dalam kebijaksanaan-Nya dan dalam kebaikan-Nya: “Sebab
Engkaulah telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena
kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (Why 4: 11). “Tuhan, betapa
banyak perbuatan-Mu, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan”
(Mzm 104: 24). “Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat
terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145: 9).
➢ Allah Mencipta “dari ketidakadaan”
Kita percaya bahwa Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak
membutuhkan bantuan apa pun (bdk KV I, DS 3022). Ciptaan itu pun tidak
mengalir secara paksa dari substansi ilahi (bdk. KV I, DS 3023-3024). Allah
mencipta dengan bebas “dari ketiadaan” (DS 800;3025)
Iman mengenai penciptaan ‘dari ketiadaan” dinyatakan dalam Kitab Suci
sebagai satu kebenaran, yang penuh dengan janji dan harapan (bdk. kisah
seorang ibu dalam Makabe 2 menguatkan ketujuh anaknya untuk menerima
penderitaan demi iman).
Karena Allah dapat mencipta dari ketidak-adaan, dapatlah Ia oleh Roh
Kudus memberikan kepada para pendosa kehidupan jiwa, dengan
mencipta-kan hati yang murni di dalam mereka (bdk Mzm 51:12), dan
memberikan kehidupan badan kepada yang meninggal, dengan
membangkitkan badan itu, karena Ia adalah “Allah yang menghidupkan
orang mati dan menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi
ada” (Rm 4:17). Dan karena Ia mampu memancarkan cahaya dari
kegelapan melalui Sabda-Nya (bdk. Kej 1:3), Ia juga dapat
menganugerahkan cahaya iman kepada mereka yang tidak mengenal-Nya
(bdk. 2Kor 4:6).
➢ Allah Menciptakan satu dunia yang teratur dan baik
Karena Allah mencipta dengan kebijaksanaan, maka ciptaan itu teratur:
“Akan tetapi segala-galanya telah Kauatur menurut ukuran, jumlah dan
timbangan” (Keb 11:20). Dalam Sabda abadi dan melalui Sabda abadi,
“gambar Allah yang tidak kelihatan” itu (Kol 1:15), terjadilah ciptaan. Ciptaan
ditentukan untuk manusia, yang adalah citra Allah (bdk. Kej 1:26); ia yang
dipanggil untuk hubungan pribadi dengan Allah, disapa-Nya. Apa yang Allah
katakan kepada kita melalui ciptaan-Nya (bdk. Mzm 19:2-5), dapat diketahui
oleh akal budi kita, yang mengambil bagian dalam cahaya budi ilahi,
walau-pun bukan tanpa susah payah yang besar dan hanya dalam satu
sikap yang rendah hati dan hikmad terhadap pencipta dan karya-Nya (bdk.
Ayub 42:3). Karena ciptaan itu berasal dari kebaikan Allah, maka ia
mengambil bagian dalam kebaikan itu (bdk. refren kisah penciptaan “Allah
melihat …baik adanya). Ciptaan dikehendaki oleh Allah sebagai hadiah
kepada manusia, sebagai warisan, yang ditentukan untuknya dan
dipercayakan kepadanya. Untuk itu Gereja berulang kali harus membela
bahwa ciptaan, termasuk dunia jasmani itu, baik adanya (bdk. DS 286,
455-463,800, 1333, 3002).
➢ Allah itu Agung, Melebihi Ciptaan dan Hadir Di Dalam Ciptaan
Allah itu jauh melampaui segala karya-Nya (bdk. Sir 43:28). “Ya Tuhan,
betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm 8:2); “kebesaran-Nya tak
terduga” (Mzm 145:3). Tetapi karena Ia adalah Pencipta yang bebas dan
mulia, sebab pertama dari segala sesuatu yang ada, Ia pun hadir dalam
hakikat makhluk ciptaan-Nya: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak,
kita ada” (Kis 17:28). St. Agustinus mengatakan, Allah itu “lebih tinggi
daripada diriku yang tertinggi dan lebih akrab daripada diriku yang terakrab”
(conf. 3,6,11)
➢ Allah Memelihara dan Menopang Ciptaan
Sesudah mencipta, Allah tidak menyerahkan ciptaan-Nya begitu saja kepada
nasibnya. Ia tidak hanya memberi kepadanya adanya dan eksistensi, tetapi
Ia juga memeliharanya setiap saat dalam adanya itu, memberi kepadanya
kemungkinan untuk bergiat dan mengantarnya menuju tujuannya. Mengakui
ketergantugan yang sepenuhnya itu kepada Pencipta, menghasilkan
kebijaksanaan dan kebebasan, kegembiraan dan kepercayaan. (bdk. Keb
11: 24-26).
HAKEKAT DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA
Kitab Suci dan Tradisi Suci selalu mengajarkan bahwa ​Dunia diciptakan demi
1
kemuliaan Allah.​ Seperti Santo Bonaventura menjelaskan bahwa ​Tuhan menciptakan
segala sesuatu bukan untuk menambah kemuliaan-Nya, malainkan untuk mewartakan
2
dan menyampaikan kemuliaan-Nya. Tuhan tidak memiliki alasan lain untuk mencipta,
selain ​karena cinta dan kebaikan-Nya,​ seperti diungkapkan oleh Thomas Aquinas,
3
“Mahluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta”. Adalah
karena kemuliaan Allah maka kebaikan-Nya menunjukkan diri dan menyampaikan diri.
Untuk itulah dunia ini diciptakan. “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula
oleh Yesus Keristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan
kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia” (Ef. 1: 5-6). St. Ireneus
menegaskan, “Karena kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup; tetapi kehidupan
manusia adalah memandang Allah. Apabila wahyu Allah melalui ciptaan sudah
sanggup memberi kehidupan kepada semua orang yang hidup di bumi, betapa lebih
lagi pernyataan Bapa melalui Sabda harus memberikan kehidupan kepada mereka
4
yang memandang Allah.” Tujuan akhir ciptaan ialah bahwa Allah Pencipta pada
akhirnya ​menjadi semua di dalam semua (bdk. 1Kor. 15:28) dengan mengerjakan
5
kemuliaan-Nya dan sekaligus kebahagiaan kita. Jadi tujuan akhir seluruh kegiatan Ilahi
adalah ​penerimaan mahluk ciptaan ke dalam persatuan sempurna dengan Tritunggal
6
yang bahagia. Tetapi sejak sekarang ini kita sudah dipanggil untuk menjadi tempat
tinggal Tritunggal Mahakudus (bdk. Rom. 5:5).
Allah adalah Tuhan yang berdaulat atas keputusan-Nya. Tetapi untuk
melaksanakannya, Ia mempergunakan juga kerja sama dengan mahluk-Nya. Itu bukan
bukti kelemahan, melain-kan bukti kebesaran dan kebaikan Allah Pencipta. Sebab Allah
tidak hanya memberi keberadaan kepada mahluk-Nya, tetapi juga martabat, untuk
bertindak sendiri, menjadi sebab dan asal usul satu dari yang lain dan dengan demikian
7
bekerjasama dalam pelaksanaan keputusan-Nya.

1
Konsili Vatikan I, Dokumen Denzinger-Schömetzer (DS) No. 3021
2
Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995 Art. 293 (kutipan)
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Konsili Vatikan II, Dokumen Ad Gentes Art. 2.
6
Ibid. Art. 2-9
7
Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995 Art. 306
Kepada manusia Allah malah memberi kemungkinan untuk mengambil bagian secara
bebas dalam penyelenggaraan ilahi-Nya, dengan menyerahkan tanggung jawab
kepada manusia, untuk menaklukkan dunia dan berkuasa atasnya (bdk. Kej. 1: 26-28).
Dengan demikian Allah memungkinkan manusia menjadi ​sebab yang berakal dan
bebas untuk melengkapi karya penciptaan dan untuk menyempurnakan harmoninya
8
demi kesejahteraan diri dan sesama​. Manusia memang sering kali menjadi teman
sekerja Allah dengan tidak sadar, namun dapat juga secara sadar memperhatikan
rencana ilahi dalam perbuatannya, dalam doanya, tetapi juga dalam penderitaannya
(bdk. Kol. 1: 24). Dengan demikian secara penuh dan utuh manusia menjadi ​rekan
sekerja Allah ( co-creator) dan kerajaan-Nya ​(bdk. 1Kor. 3: 9; 1Tes. 3: 2; Kol. 4: 11).
Dengan demikian, kebenaran bahwa Allah bekerja dalam setiap perbuatan mahluk-Nya
tidak dapat dipisahkan dari iman akan Allah Pencipta. Allah adalah sebab pertama,
9
yang bekerja dalam dan melalui sebab kedua. “Karena Allah yang mengerjakan di
dalam kamu baik kehendak maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2: 13; bdk
IKor. 12: 6). Kebenaran ini sama sekali tidak merugikan martabat mahluk, tetapi justru
meninggikannya: diangkat dari ketidakadaan oleh kekuasaan, kebijaksanaan dan
kebaiakan Allah, mahluk tidak dapat berbuat apa-apa, kalau ia diputuskan dari asalnya,
10
karena “ciptaan menghilang tanpa Penciptanya” , dan lebih lagi, manusia (ciptaan)
tidak dapat mencapai tujuan akhir tanpa bantuan rahmat Allah Pencipta (bdk. Mat. 9:26;
Yoh 15:5; Flp. 4:13).
Apa yang dikemukakan di atas adalah dasar pijak kita sebagai insan beriman. Dasar
pijak itu memberi kita arah untuk menyadari hakikat dan tujuan hidup kita sebagai
mahluk yang diciptakan oleh Allah Pencipta.
Salah satu anugerah terbesar dari Allah bagi setiap manusia adalah anugerah hidup
atau kehidupan. Anugerah itu sekaligus mengandung suatu tugas, yaitu memelihara
dan mengembangkan sebaik-baiknya apa yang sudah diterima itu. Manusia diciptakan
untuk “kebahagiaan”, yang secara sempurna akan dialami nanti dalam kebahagiaan
eskatologis. Manusia hidup untuk berkembang sebaik-baiknya. Maka, rasa syukur dan
tanggung jawab kita terhadap Sang Pencipta diamalkan dan diwujudkan dengan
memelihara ciptaan-Nya dengan bijaksana dan hormat. Sadar akan eksistensi (hakikat)
manusia sebagai Citra Allah, kita harus merenung secara mendalam, membangun
kesadaran yang jernih dan berkemauan yang baik dan kuat untuk mengemban tugas
ini: ​kagum dan hormat terhadap kehidupan, khususnya kehidupan manusia.​ Manusia
sebagai citra Allah yang dipanggil untuk bersama Dia memelihara dan
mengembangkan kehidupan di dunia dan kelak menikmati kebahagiaan abadi
11
dengan-Nya di Surga.
Allah menciptakan dan mencintai tiap-tiap orang secara pribadi. Karena itu, setiap
manusia haruslah saling menghormati, mencintai dan melindungi hidup sesamanya
tanpa mengenal status dan kedudukan sosial, asal suku dan bangsa, atau pun

8
Ibid. Art. 307
9
Ibid. Art. 308
10
Konsili Vatikan II, Dok. Gaudeum et Spes 36
11
​Yosef Lalu, dkk, ​Materi Kuliah Agama Katolik Universitas Terbuka, Jakarta, 2009.
perbedaan agama dan keyakinan. Kita harus sadar bahwa setiap orang memiliki hak
asasi untuk hidup. Hak hidup manusia harus dilindungi sejak dari awal (dalam
kandungan). Hormat akan hidup kiranya menjadi inti dari segala ajaran Yesus yang
dapat ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak hanya melarang
12
pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup.

12
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai