1
Konsili Vatikan I, Dokumen Denzinger-Schömetzer (DS) No. 3021
2
Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995 Art. 293 (kutipan)
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Konsili Vatikan II, Dokumen Ad Gentes Art. 2.
6
Ibid. Art. 2-9
7
Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995 Art. 306
Kepada manusia Allah malah memberi kemungkinan untuk mengambil bagian secara
bebas dalam penyelenggaraan ilahi-Nya, dengan menyerahkan tanggung jawab
kepada manusia, untuk menaklukkan dunia dan berkuasa atasnya (bdk. Kej. 1: 26-28).
Dengan demikian Allah memungkinkan manusia menjadi sebab yang berakal dan
bebas untuk melengkapi karya penciptaan dan untuk menyempurnakan harmoninya
8
demi kesejahteraan diri dan sesama. Manusia memang sering kali menjadi teman
sekerja Allah dengan tidak sadar, namun dapat juga secara sadar memperhatikan
rencana ilahi dalam perbuatannya, dalam doanya, tetapi juga dalam penderitaannya
(bdk. Kol. 1: 24). Dengan demikian secara penuh dan utuh manusia menjadi rekan
sekerja Allah ( co-creator) dan kerajaan-Nya (bdk. 1Kor. 3: 9; 1Tes. 3: 2; Kol. 4: 11).
Dengan demikian, kebenaran bahwa Allah bekerja dalam setiap perbuatan mahluk-Nya
tidak dapat dipisahkan dari iman akan Allah Pencipta. Allah adalah sebab pertama,
9
yang bekerja dalam dan melalui sebab kedua. “Karena Allah yang mengerjakan di
dalam kamu baik kehendak maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2: 13; bdk
IKor. 12: 6). Kebenaran ini sama sekali tidak merugikan martabat mahluk, tetapi justru
meninggikannya: diangkat dari ketidakadaan oleh kekuasaan, kebijaksanaan dan
kebaiakan Allah, mahluk tidak dapat berbuat apa-apa, kalau ia diputuskan dari asalnya,
10
karena “ciptaan menghilang tanpa Penciptanya” , dan lebih lagi, manusia (ciptaan)
tidak dapat mencapai tujuan akhir tanpa bantuan rahmat Allah Pencipta (bdk. Mat. 9:26;
Yoh 15:5; Flp. 4:13).
Apa yang dikemukakan di atas adalah dasar pijak kita sebagai insan beriman. Dasar
pijak itu memberi kita arah untuk menyadari hakikat dan tujuan hidup kita sebagai
mahluk yang diciptakan oleh Allah Pencipta.
Salah satu anugerah terbesar dari Allah bagi setiap manusia adalah anugerah hidup
atau kehidupan. Anugerah itu sekaligus mengandung suatu tugas, yaitu memelihara
dan mengembangkan sebaik-baiknya apa yang sudah diterima itu. Manusia diciptakan
untuk “kebahagiaan”, yang secara sempurna akan dialami nanti dalam kebahagiaan
eskatologis. Manusia hidup untuk berkembang sebaik-baiknya. Maka, rasa syukur dan
tanggung jawab kita terhadap Sang Pencipta diamalkan dan diwujudkan dengan
memelihara ciptaan-Nya dengan bijaksana dan hormat. Sadar akan eksistensi (hakikat)
manusia sebagai Citra Allah, kita harus merenung secara mendalam, membangun
kesadaran yang jernih dan berkemauan yang baik dan kuat untuk mengemban tugas
ini: kagum dan hormat terhadap kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Manusia
sebagai citra Allah yang dipanggil untuk bersama Dia memelihara dan
mengembangkan kehidupan di dunia dan kelak menikmati kebahagiaan abadi
11
dengan-Nya di Surga.
Allah menciptakan dan mencintai tiap-tiap orang secara pribadi. Karena itu, setiap
manusia haruslah saling menghormati, mencintai dan melindungi hidup sesamanya
tanpa mengenal status dan kedudukan sosial, asal suku dan bangsa, atau pun
8
Ibid. Art. 307
9
Ibid. Art. 308
10
Konsili Vatikan II, Dok. Gaudeum et Spes 36
11
Yosef Lalu, dkk, Materi Kuliah Agama Katolik Universitas Terbuka, Jakarta, 2009.
perbedaan agama dan keyakinan. Kita harus sadar bahwa setiap orang memiliki hak
asasi untuk hidup. Hak hidup manusia harus dilindungi sejak dari awal (dalam
kandungan). Hormat akan hidup kiranya menjadi inti dari segala ajaran Yesus yang
dapat ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru. Yesus tidak hanya melarang
12
pembunuhan, tetapi ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup.
12
Ibid.