Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Urtikaria merupakan salah satu penyakit kulit yang umum dan menjadi sangat
penting pengelolaannya dalam kegiatan sehari-hari bagi banyak dokter. Urtikaria ini ditandai
dengan munculnya bercak gatal yang biasanya dapat menghilang dalam beberapa jam.
Diagosa urtikaria dibuat berdasarkan riwayat secara rinci dan pengamatan pada kulit Hal ini
penting bagi dokter untuk dapat dengan benar mendiagnosa tipe urtikaria. Karena
pengelolaan dan perilaku pasien sangat bervariasi pada setiap tipe urtikaria. Selain itu dua
atau lebih subtipe urtikaria dapat menyulitkan pasien tertentu pada saat yang sama. Dokter
harus terlebih dahulu membuat suatu diagnosa urtikaria secara jelas, jika hal tersebut terjadi
secara spontan atau disebabkan oleh rangsangan tertentu.1

Urtikaria di klasifikasikan sebagai akut bila mengalami gejala kurang dari 6 minggu
dan kronis bila lebih dari 6 minggu, Namun, sebanyak 25% pasien yang hadir sebagai
urtikaria akut (AU) atau angio-edema tidak diketahui penyebabnya mungkin akhirnya
didiagnosis sebagai kronis urtikaria (CU).2 Penyebab urtikaria akut secara umum diketahui,
sedangkan 70-80% penyebab urtikaria kronik (UK) belum diketahui, sehingga digolongkan
sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Sejak 20 tahun terakhir ternyata pada 35-50% kasus
yang selama ini disebut UKI, dalam tubuh pasien ditemukan autoantibodi, sehingga disebut
urtikaria autoimun (UA) dan sebagian lainnya tidak ditemukan autoantibodi sehingga masih
tetap idiopatik Meskipun gejala urtikaria dapat dilihat sebagai reaksi alergi, namun penyakit
ini sering autoimun atau idiopatik. Degranulasi sel mast dan basofil oleh mekanisme
imunologi merupakan langkah akhir dalam proses patogenesis urtikaria. Berbagai jalur atau
mekanisme seperti IgE, melengkapi sistem, jalur asam arachidoni hingga langsung kedalam
membran sel degranulasi yang terlibat dalam patogenesis urtikaria.3

Angka kejadian urtikaria cukup tinggi. Angka kejadian urtikaria di negara Cina
sebesar 23,5% 4. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa lebih dari 20 % penduduk
pernah mengalami urtikaria dan atau angiodem selama hidupnya. Berdasarkan data rekam
medis di Unit Rawat Jalan Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RSUP dr.
Moh Hoesin Palembang tahun 2001 sampai dengan 2005, terdapat peningkatan jumlah kasus
urtika, yaitu 96 orang pada tahun 2001, 113 orang pada tahun 2002, 162 orang pada tahun

1
2003, 349 orang pada tahun 2004 dan 364 orang pada tahun 2005. Data rekam medis ini
hanya menyatakan jumlah kasus urtikaria saja tanpa memilah urtikaria akut maupun kronik
(Data rekam medik poliklinik Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin RS Moh Hoesin
Palembang). Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada data di poliklnik IKKK RSUP
dr. Moh. Hoesin palembang yang menjelaskan secara rinci gejala klinis UKI meliputi keluhan
rasa gatal, keluhan sistemik, jumlah urtika, luas area kulit terkena, dan ada tidaknya
angiodema.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Urtikaria

Urtikaria merupakan sekelompok penyakit heterogen. Semua jenis dan subtipe urtikaria
berbagi pola reaksi umum kulit yang khas, yaitu perkembangan lesi kulit urticarial dan/atau
angioedema.4 Istilah urtikaria secara umum digunakan untuk menggambarkan bercak
kemerahan. Namun Sekarang juga masih digunakan untuk mendefinisikan penyakit yang
ditandai dengan barcak disertai gatal, angio-edema atau keduanya bersama-sama.
Kebanyakan pasien dengan urtikaria tidak memiliki reaksi sistemik, Namun alergi dan
beberapa keadaan dapat mengarah ke reaksi anafilaksis. Sebaliknya, urtikaria adalah bentuk
anafilaksis dan reaksi anakfilatoid.5

Gambar 2.1 Lesi Urtikaria

2.2 Epidemiologi

Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami
urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON menyatakan bahwa umur rata-rata
penderita urtikaria ialah 35 tahun jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih
dari 60 tahun.10

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronik,


akut atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada sewaktu waktu dalam hidup mereka.
Chronic idiopatis urticaria (CUI) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Insiden

3
urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan
usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.6 Insiden urtikaria
meningkat pada usia dekade ketiga.7

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0,48%) daripada laki-
laki (0,12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000
orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada
wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.8

Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal,
mungkin disebabkan karena factor sensitivitas terhadap antigen yang lebih tinggi
dibandingkan prang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan. Umur, jabatan atau pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim
dapat mempengaruhi hipersensitifitas seseorang terhadap antigen yang dapat menyebabkan
urtikaria yang diperankan oleh IgE. Penicillin tercatat sebagai obat yang lebih sering
menimbulkan urtikaria.10

2.3 Etiologi Urtikaria

Meskipun banyak kasus yang tidak dapat dijelaskan secara menyeluruh (idiopatik),
namun hal itu memungkin untuk menetapkan sebuah etiologi/penyebab terhadap individu
tertentu pada kasus urtikaria.5

Idiopathic
Immunological
Autoimmune (autoantibodies against Fc_RI or IgE)
Allergic (IgE-mediated type I hypersensitivity reactions)
Immune complex (urticarial vasculitis)
Complement-dependent (C1 esterase inhibitor deficiency)
Nonimmunological
Direct mast cell-releasing agents (e.g. opiates)
Aspirin, nonsteroidal anti-inflammatories and dietary
Pseudoallergens

Tabel 2.1 etiologi urtikaria5

4
Pedoman urtikaria JDA(Japanese Dermatological Association) 2011 telah terdaftar dua
kelompok faktor penyebab, yang mungkin terlibat dalam patogenesis urtikaria, salah satu
yang dapat langsung bertindak atau memicu pengembangan urtikaria, dan satu lagi yang tidak
langsung bertindak untuk mengembangkan urtikaria sebagai penyebab.1

2.4 Histologi

Pada aspek histologi, dapat terlihat gambaran klasik yang menunjukkan edema dermis
atas dan pertengahan, dengan dilatasi venula postcapillary dan pembuluh limfatik dari dermis
superfisial . pada angioedema, perubahan serupa terjadi terutama dalam dermis yang lebih
rendah dan subcutis. Kulit yang terkena bercak hampir selalu menunjukkan upregulation
molekul adhesi endotel dan inflamasi perivaskular campuran menyusup intensitas yang
variabel, yang terdiri dari neutrofil dan / atau eosinofil, makrofag, dan sel-T.4

Sebuah ringan hingga sampai sedang untuk peningkatan jumlah sel juga telah
dilaporkan oleh beberapa penulis. Dalam urtikaria tekanan tertunda, yang menyusup biasanya
terletak di pertengahan hingga dermis yang lebih rendah. Dalam beberapa subtipe urtikaria,
upregulation molekul adhesi dan ekspresi sitokin diubah juga terlihat di kulit tidak terlibat.
Temuan ini menggarisbawahi sifat kompleks patogenesis urtikaria yang memiliki banyak
fitur selain pelepasan histamin dari sel mas kulit. Perubahan ini juga terlihat dalam berbagai
macam reaksi inflamasi dan dengan demikian tidak spesifik atau nilai diagnostik. Sebuah
pencarian lebih penanda histologis spesifik untuk subtipe yang berbeda dari urtikaria yang
diinginkan.4

2.5 Patofisiologi

Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah triple respon dari lewis yaitu eritema
akibat dilatasi kapiler, timbulnya flare akibat dilatasi arteriolar yang diperantarai refleks
akson saraf dan timbulnya wheal, akibat ekstravasasi cairan karena meningkatnya
permeabilitas vaskuler.9

Pada penyakit alergi sel mast memainkan peran yang amat penting. Reaksi
hepersensitivitas tipe I dan urtikaria/angioedema diawali oleh “tertangkapnya” antigen pada
reseptor IgE yang saling berhubungan dan menempel pada sel mast atau basofil. Proses
selanjutnya terjadi aktifasi sel mast/basofil dengan mengeluarkan berbagai macam mediator
yang pada akhirnya mengandung sel-sel inflamasi. Sel-sel yang berperan pada reaksi fase
lambat termasuk contoh diantaranya eosinofil, netrofil, limfosit dan basofil. Mekanisme

5
tersebut di atas dapat terjadi pada urtikaria yang terjadi akibat makanan tertentu dan
pemakaian bahan yang mengandung lateks. 7
Pada 30% pasien urtikaria kronik indiopatik terdapat autoantibodi dari kelas IgG yang
memiliki sifat sebagai anti IgE atau Fe reseptor IgE. IgG tersebut memiliki kemampuan
melepaskan histamin dari sel mast, tanpa tergantung dari ada atau tidaknya IgE spesifik pada
reseptor sel mast. 7
Pengukuran terhadap aktifitas melepaskan histamin ini hanya dapat dilakukan pada
beberapa pusat penelitian tertentu. Tes kulit menggunakan serum pasien sendiri (autologous
serum skin test/ASST) atau plasma pasien yang telah diberi heparin, dapat digunakan sebagai
tes penyaring sederhana untuk aktivitas melepaskan histamin dalam darah pasien urtikaria.
Ditempat penyuntikan akan timbul wheal and flare dalam waktu 30-60 menit. Tes ini dapat
dikatakan sensitif tetapi tidak spesifik pada pengukuran aktivitas melepaskan histamin oleh
basofil. Pada penelitian sebelumnya, ASST yang positif dapat dihasilkan dari penglepasan
histamin oleh sel mast kulit tetapi bukan oleh basofil yang berasal dari donor sehat.7
Adanya autoantibodi anti IgE ini dapat dideteksi melalui immunoassay dengan
metode ELISA atau western blotting. Selain pada pasien urtikarian kronik, autoantibodi ini
bisa didapatkan pada pasien atopi ataupun pasien sehat. Autoantibodi terhadap reseptor Fc
IgE juga bisa didapatkan pada pasien dermatomiositis, lupus eritematosus sistemik. Pempigus
vulgaris dan pempigoid bulosa.7
Peranan sel mast kulit pada urtikaria kronik, untuk pertama kali diperkenalkan oleh
juhlin pada tahun 1967. Dinyatakan bahwa hampir pada semua pasien urtikaria kronik,
menunjukan peningkatan histamin pada lest urtikaria. Hasil yang sama diperoleh pada kasus
cold urticaria. Kadar histamin total pada lesi urtikaria ataupun pada kulit yang tanpa lesi,
lebih tinggi pada pasien urtikaria kronik dibandingkan pasien tanpa urtikaria. Waktu yang
diperlukan sel mast untuk melepaskan histamin pada pasien cold urticaria, ternyata tidak
sesederhana dengan cara menurunkan temperatur kulit sehingga terjadi degranulasi sel mast
ataupun menghangatkannya sebelum dilakukan tes.7
Pada pasien urtikaria, berkembang pendapat terjadinya peningkatan kemampuan sel
mast dalam melepaskan histamin serta peningkatan jumlahnya/kadarnya. Keadaan ini dapat
diketahui melalui tes kulit menggunakan bahan degranulator sel mast yang non spesifik,
seperti misalnya larutan 48/80 atau menggunakan kodein (selengkapnya lihat tabel).
Peningkatan histamin ini murni akibat degranulasi sel mast kulit dan bukanlah akibat
sekunder dari mobilisasi dan stimulasi basofil yang juga dikenal sebagai sumber histamin.
Kenyataan ini terlihat dari peningkatan kadar tripase selain histamin pada cairan urtikaria.7

6
Peranan neuropeptida dalam hal degranulasi sel mast belum jelas dan masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Mungkin saja lingkungan mikro disekitar sel mast terjadi
peningkatan sitokin, kemokin atau histamin releasing factors yang pada gilirannnya dapat
menurunkan ambang rangsang sel mast , sehingga mudah terdegranulasi.7
Angioedema diakibatkan peningkatan akitivitas komponen dari komplemen yang
mengarah pada pembentukan bahan – bahan vasoaktif dari peptida yang menyerupai kinin
dan bradikinin. Trauma mekanik ringan mengaktifkan faktor Hageman (faktor XII) yang
mengawali pembentukan plasmin dan kalikrein. Plasmin selanjutnya mengaktifkan C1
dengan pembentukan C2 kinin-like peptide, sedangkan kalikrein menghasilkan bradikinin
yang berasal dari kininogen. C1 inhibitior menghambat fungsi katalik dari faktor XII aktif,
kalikrein dan komponen C1. Dengan demikian bisa dipahami, pada pasien defisiensi C1
inhibitor, selama terjadinya serangan klinik angioedema, terjadi peningkatan kadar
bradikinin. Di lain pihak, kadar C4 komplemen akan menurun. Pada kasus defisiensi C1
inhibitor yang didapat bisa dikaitkan adanya penyakit autoimun atau Limfoma.7
SEL – SEL INFLAMASI DAN MEDIATOR
Peranan sel mast
Sel mast diketahui sebagai efektor primer yang menghasilkan histamin pada urtikaria
dan angioedema. Selain histamin, sel mast menghasilkan berbagai macam mediator yaitu
triptase, kimase dan sitokin. Bahan-bahan ini di samping meningkatkan kemampuan
degranulasi sel mast lebih lanjut, juga terjadi peningkatan akitivitas ELAM dan VCAM.
Molekul ades ini memudahkan migrasi limfosit dan granulosit menuju tempat terjadinya lesi
urtikaria.7
Peranan Eosinofil
Eosinofil sangat berperanan bila penyebab urtikaria adalah proses alergi, seperti
reaksi alergi terhadap obat, makanan atau antigen eksogen. Bersama-sama dengan netrofit
merupakan bagian dari infiltrat sel-sel inflamasi pada delayed pressure urticaria. Eosinofil
secara dominan didapatkan pada jaringan. Bila diperbandingkan, setiap eosinofil pada darah
tepi sesuai dengan 300 eosinofil dijaringan. Ada suatu sindrom yang disebut sebagai episodic
Angioedema Associated With Eosinophilla (EAAE), Menggambarkan adanya angioedema
yang berulang, penambahan berat badan hingga 15% demam, urtikaria, lekositosis dan
peningkatan eosinofil pada jaringan dan darah tepi. Tidak didapatkan kelainan organ internal
dengan perjalanan klinis yang tidak seberat sindrom hipereosinofil.7
Bagaimana sebenarnya pengaruh eosinofil pada urtikaria belum sepenuhnya
dipahami. Akan tetapi eosinofil merupakan penghasil utama leukotrien C4 (LTC4) pada

7
inflamasi alergi. Dengan adanya antagonis terhadap reseptor leukotrien, dapat diketahui
dengan jelas peranan leukotrien dalam menimbulkan gejala pada urtikaria kronik. Selain itu,
adanya wheal and flare dapat ditimbulkan dengan penyuntikan pada kulit oleh protein
kationik dari eosinofil.7
Ada juga suatu bentuk urtikaria kronik di mana secara histopatologis didominasi oleh
sel-sel PMN dan eosinofil tanpa bukti-bukti adanya vaskulitis. Gambaran ini menyerupai
reaksi alergi fase lambat. Perbedaan adalah pada reaksi alergi fase lambat timbul beberapa
jam setelah rangsangan antigen dan lesi ini dapat berlangusng lebih dari 24 jam. Lesi pada
reaksi alergi fase lambat berupa bintul yang lunak, gatal, dan rasa panas/menyengat. Secara
hispatologis didapatkan infiltrat yang mengandung netrofit, eosinofil dan limfosit. Tidak
didapatkan gambaran vaskulitis. Sebaliknya pada urtikaria vaskulitis, umunya tampak adanya
purpura yang dapat teraba serta gambaran vaskulitis pada pemeriksaan hispatologis.7
Peranan basofil
Pada pasien urtikaria kronik terjadi penurunan jumlah basofil darah tepi. Keadaan ini
mungkin terkait dengan adanya proses degranulasi yang ikut andil dalam reaksi urtikaria. Hal
lain yang mungkin bisa menerangkan adalah migrasi basofil menuju lesi urtikaria atau
menggantikan posisi makrofag setelah mengalami degranulasi parsial. Pada suatu penelitian
menunjukkan bahwa basofil pasien urtikaria melepaskan histamin yang relatif lebih rendah
dibanding kontrol orang sehat, ketika dirangsang dengan anti IgE. Mungkin basofil tersebut
sebelumnya sudah dalam keadaan desensitasi terhadap adanya autoantibodi yang dapat
merangsang pelepasan histamin. Basofil juga berperan pada peningkatan histamin pada fase
lambat reaski hipersensitivitas tipe 1. Pada keadaan tersebut terjadi migrasi basofil menuju
kulit dan ini dapat terjadi 6 jam setelah provokasi oleh alergen. Sel mast tidak berperanan
melepaskan histamin pada fase lambat ini. Secara teknis tidak mudah mendeteksi basofilA
pada jaringan. Dengan berkembangnya antibodi anti basofil, kendala tersebut dapat diatasi.7

2.6 Klasifikasi

Pedoman urtikaria 2011 mengklasifikasikan urtikaria menjadi empat kelompok besar dan
16 subtipe. Urtikaria idiopatik merupakan sekelompok urticaria,yang sering muncul secara
spontan dengan gambaran bercak-bercak. Kelompok ini terdiri dari urtikaria akut dan kronis
urtikaria, di mana bercak terjadi tidak kurang dari 1 bulan atau kurang dari 1 bulan pada
setiap masing-masing gejala.1

8
Di Jepang, sebutan urtikaria kronis digunakan untuk mewakili, pada beberapa kelainan,
urtikaria yang terus terjadi untuk lebih dari satu bulan tanpa ada faktor pemicu. Namun, sejak
publikasi pedoman pertama untuk urtikaria oleh JDA pada tahun 2005, penggunaan kelainan
urtikaria akut dan kronis telah dibatasi untuk urtikaria yang idiopatik. Dalam pengertian ini,
urtikaria kronis yang ditetapkan dalam pedoman oleh JDA identik dengan urtikaria kronis
spontan yang ditetapkan dalam pedoman global.1

1. Idiopathic urticaria
a. Acute urticaria
b. Chronic urticaria
2. Inducible urticaria (Urticaria inducible by particular stimuli or conditions)
a. Allergic urticaria
b. Food-dependent exercise-induced anaphylaxis
c. Non-allergic urticaria
d. Aspirin urticaria (urticaria due to intolerance)
e. Physical urticarias (Mechanical, cold, solar, heat, delayed pressure, aquagenic, and vibrative
urticarias)
f. Cholinergic urticaria
g. Contact urticaria
3. Angioedema
a. Idiopathic angioedema
b. Exogenous substances-induced angioedema (Hereditary angioedema; HAE), autoimmune
angioedema, etc.)
4. Urticaria-related diseased
a. Urticaria vasculitis
b. Urticaria pigmentosa
c. Schnitzler’s syndrome
d. Cryopirin-associated periodic fever (CAPS)

.Tabel 2.2 Klasifikasi urtikaria1

2.7 Gejala Klinis

Urtikaria merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan 3,2-12,8% dari


populasi pernah mengalami urtikaria. Dari penelitian di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur,
ternyata urtikaria terdapat pada 4,5% dari penderita atopi.9
Klinis tampak bentol (plaques edemateus) multipel yang berbatas tegas, bewarna merah
dan gatal. Bentol dapat pula bewarna putih di tengah yang dikelilingi warna merah. Warna
merah bila ditekan akan memutih. Ukuran tiap lesi bervariasi dari diameter beberapa

9
milimiter sampai beberapa sentimeter, berbentuk sirkular atau serpiginosa (merambat). Tiap
lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48 jam, tetapi dapat timbul lesi baru.9
Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar lesi terdapat
pada bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi akan terlihat pada
daerah yang terkena dingin atau panas. Lesi urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan
diameter 1-3 milimeter dikelilingi daerah warna merah dan terdapat di daerah yang
berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai angioedema yaitu pembengkakan
difus yang tidak gatal dan tidak pitting dengan predileksi di muka, daerah periorbita dan
perioral, kadang-kadang di genitalia. Kadang-kadang pembengkakan dapat juga terjadi di
faring atau laring sehingga dapat mengancam jiwa. 9
2.8 Diagnosis banding
Berikut ini merupakan beberapa diagnosa banding dari urtikaria.17
DD Gambaran Klinis

Gigitan serangga Lesi bertahan beberapa hari, ada riwayat terpapar serangga
Dermatitis Atopic Maculopapular, distribusi khas
Dermatitis Kontak Batas tidak jelas, papul
Erythema multiforme Lesi bertahan beberapa hari, iris-shaped papules, kadang disertai
demam
Fixed-drug reactions Riwayat konsumsi obat tertentu, tidak gatal, hiperpigmentasi
Purpura Henoch- Predilekai: ekstremitas bawah, gatal, disertai gejala sistemik
Schönlein
Morbilliform drug Maculopapular, riwayat konsumsi obat
reactions
Pityriasis rosea Lesi berlangsung beberapa minggu, herald patch, gambaran pohon
natal, biasanya tidak gatal
Exantema Viral Tidak gatal, demam, lesi maculopapular, lesi bertahan beberapa hari
Tabel 2.3 Diagnosis Banding Urtikaria.17
2.9 Diagnosa
1. Anamnesa

Bercak-bercak yang berlangsung kurang dari 1 jam, mungkin merupakan suatu kelainan
fisik, dengan perkecualian delayed pressure urticaria yang biasanya gejala puncaknya antara
3-6 jam dan menghilang dalam 24 jam. Urtikaria kontak biasanya berlangsung singkat, tapi
bila dapat menimbulkan reaksi fase lambat, akan bisa berlangsung hingga beberapa jam. Pada

10
urtikaria vaskulitis yang khas, dapat berlangsung sampai 1 minggu. Bintul-bintul pada
urtikaria yang umum, berlangsung hingga 24 jam. Walaupun berulang, urtikaria yang
berlangsung total kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut. Lebih dari waktu tersebut
dikatakan kronik. Untuk mengetahui pencetusnya, perlu anamnesis yang teliti tentang
keadaan-keadaan sebelumnya seperti infeksi, obat-obat yang dikonsumsi termasuk cairan
infus, imunisasi dan makanan tertentu, walaupun pada urtikaria kronik biasanya sulit
ditemukan faktor pencetusnya. Perlu juga diperhatikan apakah keluhan-keluhan tersebut
semakin memberat dengan adanya panas, stress dan kadang-kadang oleh alkohol.7

Dalam prosedur diagnostik, ada beberapa item yang harus ditanyakan dalam penegakan
diagnosa urtikaria.4

a. Waktu timbulnya suatu penyakit


b. Frekuensi dan lamanya timbulnya bercak
c. Diurnal variation
d. Berhubungan dengan akhir pekan, liburan dan perjalanan jauh
e. Penyebaran dan ukuran bercak yang timbul
f. Ada atau tidak ada hubungan dengan angioderma
g. Berhubungan dengan gejala subjektif seperti nyeri
h. Riwayat keluarga atau pribadi yang mengalami urtikaria, Atopi
i. Alergi yang berulang, infeksi, penyakit dalam atau penyebab lain yang mungkin
j. Penyakit psikomatik dan psikiatrik
k. Pernah mengalami operasi
l. Masalah lambung (kembung)
m. Induction by physical agents or exercise
n. Pemakaian obat-obatan (NSAID, injeksi, imunisasi, hormonal, pencahar, dan obat
alternatif lainnya)
o. Berhubungan dengan makanan
p. Berhubungan dengan siklus haid
q. Perokok berat
r. Jenis pekerjaan
s. Hoby
t. Faktor stres
u. Kualitas hidup yang berpengaruh dengan urtikaria dan emosional
v. Terapi berulang dan respon terhadap terapi

11
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menilai aktivitas urtikaria, bentuk dan distribusi
dari lesi. Lesi urtikaria biasanya tidak akan sulit dikenali. Bentuk kelainannya berupa bintul-
bintul yang eritematous dan disertai rasa gatal. Gatal ini bervariasi dari ringan hingga yang
berat bahkan terasa terus menerus hingga sangat mengganggu irama kerja dan tidur malam.
Lesi ini cenderung bersifat sementara, namun dapat bertambah besar atau mengecil dalam
beberapa jam.7
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis urtikaria adalah:10
a. Pemeriksaan laboratorium.
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan, serta usapan vagina.
c. Tes alergi
d. Tes provokasi
e. Tes eliminasi makanan.
f. Tes foto tempel
g. Suntikan mecholyl intradermal
h. Tes fisik
i. Pemeriksaan histopatologik

2.10 Penatalaksanaan
1. Prinsip-Prinsip Umum
Ada dua prinsip untuk mengobati urtikaria, yang pertama adalah untuk menghilangkan
atau menghindari faktor penyebab urtikaria, dan yang kedua adalah menggunakan obat,
termasuk antihistamin. Yang pertama lebih penting daripada yang terakhir dalam pengelolaan
jenis penyakit yang diinduksi oleh urtikaria, sedangkan yang terakhir ini lebih penting dalam
spontan terjadi urtikaria. Hal lain yang penting dari algoritma ini adalah tujuan dari
pengobatan untuk urtikaria. Yaitu untuk mencapai kondisi bebas dari penggunaan terus
menerus obat sebagai tahap pertama, dan yang kedua adalah untuk mencapai kedua gejala
dan obat-kondisi bebas, sebagai tahap akhir. Titik ketiga untuk pengobatan adalah
keseimbangan keparahan penyakit dan beban perawatan. Mengenai obat untuk pengobatan
urtikaria, itu diterima secara luas bahwa antihistamin oral dapat digunakan sebagai andalan
untuk hampir semua subtipe dari urtikaria. Namun, khasiat obat termasuk antihistamin pada
urtikaria sebagian besar variabel antara subtipe, atau individu. Oleh karena itu, tujuan dan
sifat pengobatan untuk urtikaria harus direncanakan, dengan mempertimbangkan subtipe dan

12
keparahan urtikaria serta kondisi khusus dari masing-masing pasien.1
Antihistamin oral no-sedatif merupakan obat pilihan utama untuk urtikaria, baik akut
maupun kronik, karena obat golongan ini terbukti efektif dan tidak memiliki efek samping
terhadap SSP.6 Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-
line therapy, dan third-line therapy.11

Gambar 2.2 Alur penatalaksanaan urtikaria.

Gambar 2.3 Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Akut.12

13
Pada urtikari akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun sayang
sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor
pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Pasien dengan urtikaria akut tingan
seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 nonsedatif. Pada pasien dengan
urtikaris akut sedang-berat, antihistamin H1 seharusnya menjadi pilihan terapi utama. Jika
keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka
pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat
dengan gejala distress pernafasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang mungkin
diberikan berupa epimefrin subkutan, kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan
antihistamin H1 intramuskuler.12

Gambar 4. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria kronik..13

Penatalaksanaan utama dari urtikaria kronis adalah menghindari faktor pencetus.


Ketika faktor pencetus tidak mungkin dihindari, atau tidak teridentifikasi, obat golongan
antihistamin merupakan pilihan utama. Jika gejala klinis tidak berkurang, ada beberapa
pilihan terapi yang dapat digunakan, antara lain generasi kedua dari penghambat H1,
kombinasi terapi dengan penghambat H2, dan penggunaan kortikosteroid dengan tappering
off dose. Jika hasil maksimal belum juga tercapai, maka dapat digunakan obat-obat generasi

14
kedua seperti cyclosporine (Sandimmune), sulfasalazine (Azulfidine), hydroxychloroquine
(Plaquenil), tacrolimus (Prograf), dan dapsone17

Ketika gejala muncul dengan sendirinya, pengobatan lini pertama harus menjadi
generasi non-penenang kedua H1-AH. Histamines yang mediator utama ur antihistamin H1
ticaria dan non-penenang mewakili pengobatan awal dan andalan semua urtikaria. Agen ini
cukup efektif untuk banyak pasien. Generasi baru antihistamin H1 kurang penenang dan efek
kolinergik kurang lebih disukai atas antihistamin H1 generasi tua sebagai pilihan awal terapi
dan studi berbeda pada peran antihistamin dalam urtikaria kronis menunjukkan 44 untuk
menilai respon 91%. Antihistamin harus diambil secara teratur, bukan sebagai dan bila
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang konsisten. Antihistamin harus diberikan dengan
memperhatikan usia, kehamilan, kondisi kesehatan, dan respon individu. Singkatnya,
mengingat profil keamanan yang baik mereka, antihistamin generasi kedua harus
dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama untuk gejala urtikaria.14

Jika gejalanya menetap setelah 2 minggu, rejimen pengobatan harus disesuaikan dan
non-penenang generasi kedua H1-AH bisa sampai hingga 4 kali. Meskipun ada bukti yang
tersedia untuk dosis meningkat, perlu dicatat bahwa dosis lebih tinggi bukan merupakan
bagian dari label saat ini untuk non-penenang generasi H1 AH-kedua di Asia. Konsensus
umum dari kelompok ini adalah bahwa orang-orang Asia, yang umumnya membangun fisik
yang lebih kecil, dosis antihistamin dapat dilanjutkan secara bertahap lebih kecil dan ini
diyakini sebagai pendekatan yang sukses. Pilihan pengobatan lain atau terapi kombinasi harus
dicoba untuk respon terbaik.14

Jika gejalanya menetap setelah 1-4 minggu lanjut, rejimen pengobatan dosis nsAH
dapat diubah menjadi antihistamin generasi 1 penenang atau antihistamin generasi alternatif 2
nonsedatif dengan pilihan untuk menambahkan antagonis leukotriene. Harus eksaserbasi
gejala-gejala muncul, selain pasien dapat diletakkan pada kortikosteroid sistemik untuk 3-7
hari. Penggunaan kortikosteroid sistemik dalam pengobatan urtikaria masih kontroversi.
Terapi singkat steroid sistemik dapat diberikan dalam kasus-kasus resisten dari urtikaria
kronis yang tidak menanggapi antihistamin H1. Kemanjuran terapi kortikosteroid yang tinggi,
tetapi terapi jangka panjang tidak dapat diajukan karena efek samping yang dikenal, seperti
diabetes melitus, hipertensi, osteoporosis, dan perdarahan gastrointestinal. Pengobatan jangka
panjang dari urtikaria kronis dengan kortikosteroid oral biasanya harus dihindari kecuali
dalam menonaktifkan tertunda atau tekanan vaskulitis urtikaria dan urtikaria, yang biasanya

15
tidak responsif terhadap antihistamin. Antagonis reseptor leukotrien, zafirlukast (20 mg dua
kali sehari) dan montelukast (10 mg sekali sehari) telah terbukti memiliki efek yang
menguntungkan dalam pengobatan urtikaria kronis terutama dalam kasus-kasus yang
diperburuk oleh NSAID dan aditif makanan. Zileuton, inhibitor 5-lipooxygenase, yang
menghambat generasi leukotriene telah ditemukan efektif dalam meningkatkan urtikaria
kronis.14

Obat kortikosteroid yang dapat digunakan adalah prednison, prednisolone,


methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk
menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60mg/hari PO dibagi dalam 1-2
dosis/hari dan dosis anak-anak 0,5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari.
Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0,5-2
mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolon dapat membalikkan
peningkata permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48mg/hari PO dan dosis
anak-anak 0,16-0,8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.6

Terapi Urtikaria pada anak

Antihistamin H1 seperti diphenhydramine (Benadryl) harus diberikan sekaligus. Sangat


efektif bila dalam bentuk tablet cair atau cepat-larut dengan onset yang cepat, karena kapsul
mungkin memakan waktu lebih lama untuk mencapai tingkat darah yang efektif. Penghambat
histamin H2 juga telah direkomendasikan untuk pengobatan reaksi anafilaksis, namun
penggunaannya dalam kasus urtikaria akut belum diteliti.15

Sebuah dosis epinefrin akan menyelesaikan urtikaria dengan cepat, dikarenakan waktu
paruh yang cukup pendek, dosis kedua mungkin diperlukan. Jika urtikaria tidak hilang dalam
waktu 2 jam, atau jika gejala lain berkembang, disarankan untuk menambahkan
kortikosteroid oral (prednison dosis 1 mg / kg / hari) dalam dosis terbagi untuk total 5 hari.
Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid harus disertai dengan peringatan tentang
efek samping yang mungkin timbul.15

2.11 Komplikasi
Urtikaria bukanlah penyakit yang membahayakan jiwa. Lesi yang timbul pun dapat
sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Namun demikian, pada pasien-pasien dengan
pruritus berat dapat timbul purpura atau ekskoriasi (akibat digaruk) sehingga dapat timbul

16
infeksi sekunder. Urtikaria kronik yang berat dapat menurunkan kualitas hidup pasien.16
2.12 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena peyebabnya sulit dicari.12

17
BAB III

KESIMPULAN

Urtikaria merupakan salah satu penyakit kulit yang umum dan menjadi sangat

penting pengelolaannya dalam kegiatan sehari-hari bagi banyak dokter. Urtikaria ini ditandai

dengan munculnya bercak gatal yang biasanya dapat menghilang dalam beberapa jam.

Urtikaria di klasifikasikan sebagai akut bila mengalami gejala kurang dari 6 minggu dan

kronis bila lebih dari 6 minggu.

Secara umum urtikaria terjadi akibat adanya degranulasi sel mast yang akan

menyebabkan pegeluaran-pengeluaran mediator terutama histamine atupun leukotrien.

Degranulasi sel mast ini bisa terjadi karena reaksi imun, nonimun ataupun ideopatik.

Sehingga untuk menegakkan diagnosa dibutuhkan beberapa pemeriksaan yang mendukung

contohnya pemeriksaan reaksi hipersensitifitas.

Penatalaksanaan urtikaria bisa dipercayakan kepada pengobatan simptomatik berupa

pemberian preparat antihistamin,kortikosteroid, ataupun preparat golongan adrenergic yang

bermanfaat bagi urtikaria kronik. Walaupun demikian tetap saja pengobatan etiologi lebih

baik atau menghindari penyebab contohnya pada urtikaria karena alergi.

18
Daftar Pustaka

1. Hide M. And Takaaki Hiragun. 2012. Japanese Guidelines for Diagnosis and
Treatment of Urticaria in Comparison with Other Countries. Journal Allergology
International Vol 61, No 4, Japan.
2. Comert S. Et al. 2012. The general characteristics of acute urticaria attacks and the
factors predictive of progression to chronic urticaria. Allergol Immunopathol (Madr).
http://dx.doi.org/10.1016/j.aller.2012.05.007
3. Nopriyanti dkk. 2008. Hubungan Autologous Serum Skin Test/ASST dengan
Keparahan Klinis Urtikaria Kronik Idiopatik di RSUP Dr. Moh Hoesin Palembang.
Makara, Kesehatan, Vol. 12, No. 12, Juni 2008 : 27-35.
4. Zuberbier T. Et al. 2009. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline: definition,
classification and diagnosis of urticaria. John Wiley & Sons A/S Allergy. 64: 1417–
1426.
5. Grattan C.E.H and F. Humphreys. 2007. Guidelines for evaluation and management
of urticaria in adults and children. British Journal of Dermatology; 157, pp1116–1123
6. Sheikh J. 2004. Urticaria. Download 7 Februari 2013. Available online at
http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/med/to
pic3014.htm
7. Baskoro A. Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta;
FKUI; p.257-61.
8. Gaig P. 2004. Epidemiologi of Urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol;
14(3); 214-220
9. Matondang C.S. dkk. 2010. Urtikaria-Angioderma. Buku Ajar Alergi-Imunologi
Anak. Edisi Kedua. Jakarta.
10. Djuanda A. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
11. Poonawalla T, Kelly B. 2009. Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21
12. Riyanto. 2006. Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran UMY.
13. Zuberbier T. Et al. 2009. EAACI/GA2LEN/EDF/WAO guideline: Management of
urticaria. John Wiley & Sons A/S Allergy. 64: 1427–1443
14. K.W. Steven. Chow. 2012. Management of chronic urticaria in Asia: 2010 AADV
consensus guidelines. Asia Pac Allergy;2:149-160

19
15. Wen Huang Shih. 2009. Acute Urticaria in Children. Taiwan Pediatric
Association.University of Florida, Gainesville, Florida 32610, USA.
16. Hogan DJ. Urticaria Chronic. Download 7 Februari 2013. Available online at
http://emedicine.medscape.com/article/1050052-overview
17. Schaefer P. 2011. Urticaria: Evaluation and Treatment. Journal of the American
Academy of Family Physicians. 1;83(9):1078-1084,
http://www.aafp.org/afp/2011/0501/p1078.html

20

Anda mungkin juga menyukai