Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak setiap warga negara Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, dan yang dimaksud
dengan kesehatan itu sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009).
Salah satu wujud pembangunan nasional adalah pembangunan kesehatan
yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa sehingga tercapai kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat. Pembangunan kesehatan pada dasarnya
menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial
ekonomi. Untuk mencapai pembangunan kesehatan yang optimal dibutuhkan
dukungan sumber daya kesehatan, sarana kesehatan, dan sistem pelayanan
kesehatan yang optimal. Salah satu sarana penunjang kesehatan yang berperan
dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan bagi masyarakat adalah
apotek, sebagai tempat pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian (Agatha, 2012).
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memiliki
peranan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, harus
mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan kefarmasian
dengan baik, yang berorientasi langsung dalam proses penggunaan obat pada
pasien. Selain menyediakan dan menyalurkan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan habis pakai. Apotek juga merupakan sarana penyampaian informasi
mengenai obat atau persediaan farmasi secara baik dan tepat, sehingga dapat

9
tercapai peningkatan kesehatan masyarakat yang optimal dan mendukung
penyelenggaraan pembangunan kesehatan (KEPMENKES, 2002).
Di samping berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan dan unit bisnis,
apotek juga merupakan salah satu tempat pengabdian dan praktik tenaga
teknis kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PP No. 51
Tahun 2009).
Pelayanan kefarmasian semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai
commodity menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun seiring berjalannya waktu dan
semakin mudahnya informasi tentang obat yang diperoleh oleh masyarakat ,
maka saat ini terjadi perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari drug
oriented menjadi patient oriented yang mengacu pada pharmaceutical care
yang mengharuskan pharmacist untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi
dengan pasien maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Selain itu seorang
farmasi juga harus mengetahui mengenai sistem manajemen di apotek
(Permenkes, No.35 Tahun 2014).
Mengingat tidak kalah pentingnya peranan Tenaga Teknis Kefarmasian
dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian di apotek, kesiapan institusi
pendidikan dalam menyedia-kan sumber daya manusia calon Tenaga Teknis
Kefarmasian yang berkualitas menjadi faktor penentu. Oleh karena itu,
Program Studi Diploma III Akademi Farmasi Tadulako Farma Palu
menyelenggarakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Apotek Natoro Farma
yang berlangsung dari tanggal 25 Februari – 23 Maret 2019. Kegiatan PKL ini
memberikan pengalaman kepada calon Ahli Madya Farmasi untuk
mengetahui Standard Pelayanan Farmasi Di Apotek.

10
1.2 Tujuan PKL
Tujuan PKL Apotek meliputi :
1. Untuk memperkenalkan mahasiswa pada dunia usaha
2. Meningkatkan produktivitas sebagai persiapan dalam menghadapi atau
memasuki dunia usaha yang sesungguhnya.
3. Mampu memahami organisasi di Apotek
4. Mampu memahami dan berperan di dalam sistem pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan habis pakai yang meliputi hal-hal
bersifat manajerial yaitu, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan, serta
pemusnahan, serta pelayanan farmasi klinik yaitu pengkajian dan
pelayanan resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling,
pelayannnan kefarmasian dirumah, pemantauan terapi obat, monitoring
efek samping obat.

1.3 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Dapat meningkatkan wawasan keilmuan mahasiswa tentang situasi dalam
dunia kerja
2. Bagi Akademi Farmasi Tadulako Farma
Menjadi tolak ukur pencapaian kinerja program studi khususnya untuk
mengevaluasi hasil pembelajaran dan dapat menjalin kerjasama dengan
instansi tempat PKL
3. Bagi Instansi Tempat PKL
Menjadi bahan masukan bagi instansi untuk menentukan kebijakan
Apotek dimasa mendatang

11
1.4 Waktu dan Tempat PKL apotek
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan untuk program studi Ahli Madya
Farmasi dilaksanakan selama 1 (satu) bulan di Apotek Natoro Farma
1. Alamat : Jl. Raden Saleh no. 43 Palu
2. Waktu Praktek Kerja Lapangan
a. Tanggal Pelaksanaan PKL : 25 Februari – 24 Maret 2019
b. Hari Pelaksanaan : Praktek kerja dijadwalkan selama 6 hari
dalam seminggu dan hari minggu libur
c. Waktu Pelaksanaan : 08.00 – 15.00 WITA

12
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi Apotek


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan maka dalam
pelayanannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat yaitu
menyediakan, menyiapkan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang
bermutu baik dan keabsahannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017 Tentang Apotek, apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PERMENKES No. 35 Tahun
2016).
Menurut peraturan Pemerintan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi
atau penyalurannya obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Sediaan Farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika. Dalam pengelolaannya apotek harus dikelola oleh
apoteker, yang telah mengucapkan sumpah jabatan yang telah memperoleh
Surat Izin Apotek (SIA) dari Dinas Kesehatan setempat.

13
2.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2017 Tentang Apotek, apotek menyelenggarakan fungsi :
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang bersifat menejerial meliputi perancangan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan
b. Pelayanan farmasi klinik yaitu pengkajian pelayanan resep, dispensing,
pelayanan informasi obat, konseling, pelayanan kefarmasian di rumah,
konseling, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat .
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI
Nomor 26 Tahun 1969 Tentang Apotek, tugas san fungsi apotek adalah :
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat
yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
d. Sebagai sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan
lainnya.

2.3 Landasan Hukum Apotek


Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang diatur dalam:
1. Undang – Undang
Undang – Undang yang mengatur pelayanan kesehatan Apotek antara lain:
a. Undang – Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1963 Tentang
Farmasi

14
b. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan
c. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
d. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
2. Peraturan pemerintah
Peraturan Pemerintah yang menatur pelayanan kesehatan apotek antara
lain:
a. Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek
b. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1965 Tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1965 Tentang Apotek
c. Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
d. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
e. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 Tentan Prekursor
g. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan apotek
antara lain:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922 Tahun
1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332 Tahun
2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1332 Tahun 1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 284 Tahun
2007 Tentang Apotek Rakyat

15
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2017 Tentang Apotek.
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2016 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian.
f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014 Tentang Penggolongan Narkotika.
Republik
g. Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Penggolongan Psikotropika.
h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika.
4. Keputusan Menteri Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan apotek
antara lain:
a. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang
Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.
b. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes /Per/X /1993 tentang
Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.
c. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang
Daftar Obat Wajib Apotek No. 3.

2.4 Persyaratan Apotek


Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker
(SIA). Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja

16
2.4.1 Personalia Apotek
Tenaga Kerja atau Personalia Apotek adalah sebagai berikut :
1. Lokasi
Jarak minimum antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, tetapi
tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan
pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana
pelayanan kesehatan dan hygiene lingkungan. Selain itu apotek
dapat didirikan di lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya diluar sediaan farmasi (Firmansyah, M., 2009).
2. Bangunan
Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai
sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
apotek (Firmansyah, M., 2009).
Persyaratan teknis bangunan apotek setidaknya terdiri dari
(Permenkes No. 9 Tahun 2017) :
a. Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan,
kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan
kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut
usia.
b. Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
c. Bangunan bersifat permanen dapat merupakan bagian dan/atau
terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko,
rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
3. Sarana, Prasarana, dan Peralatan
Bangunan Apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang
berfungsi:
a. penerimaan Resep;

17
b. Pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas);
c. Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
d. Konseling;
e. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; dan
f. Arsip.
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas:
a. instalasi air bersih;
b. instalasi listrik;
c. sistem tata udara; dan
d. sistem proteksi kebakaran.
4. Tenaga Kerja atau Personel Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1332/Menkes/SK/2002, personil apotek terdiri dari:
a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah
memiliki Surat Izin Apotek.
b. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek
di samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu
pada hari buka apotek.
c. Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA
selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan
secara terus- menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK)
dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.
d. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang- undangan berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian sebagai asisten apoteker yang berada di bawah
pengawasan apoteker.
Selain itu, terdapat tenaga lainnya yang dapat mendukung
kegiatan di apotek yaitu (Umar, M., 2011):

18
a. Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten
apoteker.
b. Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat
penerimaan, dan pengeluaran uang.
c. Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan
administrasi apotek dan membuat laporan pembelian,
penjualan, penyimpanan, dan keuangan apotek.

2.4.1 Surat Izin Praktek Tenaga Kefarmasian


Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan
kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja. Surat izin tersebut berupa :
a. SIPA bagi Apoteker; atau
b. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian (Permenkes No. 31
Tahun 2016)
Sebelum mendapatkan SIPTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
mempunyai STRTTK. Untuk memperoleh STRTTK sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang Tenaga Teknis Kefarmasian
harus memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK). STRTTK ini dapat diperoleh jika seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek;
c. Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari apoteker yang
telah memiliki STRA di tempat tenaga teknis kefarmasian bekerja;
dan

19
d. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika kefarmasian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan
harus melampirkan :
a. Fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau
Analis Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
b. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik;
c. Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika kefarmasian;
d. Surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki
STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi
yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
e. Pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua)
lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

2.5 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan di Apotek


Pengelolaan sebagai proses yang dimaksud untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Tujuannya adalah agar
tersedianya seluruh pembekalan farmasi di apotek dengan mutu yang baik,
jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi
masyarakat yang membutuhkan. Pengelolaan di apotek meliputi pengelolaan
terhadap obat dan pembekalan farmasi, pengelolaan terhadap resep, dan
pengelolaan terhadap sumber daya (Permenkes, 2002).
Pengelolaan apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2016, meliputi :

20
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;
dan
2. Pelayanan farmasi klinik
2.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 2014, meliputi perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan.
1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan
masyarakat. Tujuan dari perencanaan adalah agar proses
pengadaan obat atau perbekalan farmasi yang ada di apotek
menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan anggaran yang
tersedia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
penyusunan perencanaan adalah :
a. Pemilihan Pemasok, kegiatan pemasok (PBF), service
(ketepatan waktu, barang yang dikirim, ada tidaknya diskon
bonus, layanan obat expire date (ED) dan tenggang waktu
penagihan), kualitas obat, dan perbekalan farmasi lainnya,
ketersediaan obat yang dibutuhkan dan harga.
b. Ketersediaan barang atau perbekalan farmasi (sisa stok, rata-
rata pemakaian obat dan satu periode pemesanan pemakaian
dan waktu tunggu pemesanan, dan pemilihan metode
perencanaan.

21
Adapun beberapa metode perencanaan, diantaranya :
a. Metode Konsumsi, memperkirakan penggunaan obat
berdasarkan pemakaian sebelumnya sebagai perencanaan yang
akan datang.
b. Metode Epidemiologi, berdasarkan penyebaran penyakit yang
paling banyak terdapat di lingkungan sekitar apotek.
c. Metode Kombinasi, mengombinasikan antara metode
konsumsi dan metode epidemiologi.
d. Metode Just In Time (JIT), membeli obat pada saat
dibutuhkan.
2. Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan
farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan
kebutuhan pelayanan. Pengadaan yang efektif merupakan suatu
proses yang mengatur berbagai cara, teknik dan kebijakan yang
ada untuk membuat suatu keputusan tentang obat-obatan yang
akan diadakan, baik jumlah maupun sumbernya. Kriteria yang
harus dipenuhi dalam pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan adalah :
a. Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diadakan memiliki
izin edar atau nomor registrasi.
b. Mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dapat dipertanggung jawabkan.
c. Pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan berasal dari jalur
resmi.
d. Dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
Pengadaan di apotek dapat dilakukan dengan cara pembelian
(membeli obat ke PBF) atau dengan cara konsinyasi (dimana PBF
menitipkan barang di apotek dan dibayar setelah laku terjual).

22
Proses pengadaan barang dengan cara pembelian dilakukan
melalui beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Persiapan
Persiapan ini dilakukan untuk mengetahui persediaan yang
dibutuhkan apotek untuk melayani pasien. Persediaan yang
habis dapat dilihat di gudang atau pada kartu stok. Jika barang
memang habis, dapat dilakukan pemesanan. Persiapan
dilakukan dengan cara data barang-barang yang akan dipesan
dari buku defektan termasuk obat-obat yang ditawarkan
supplier.
b. Pemesanan
Pemesanan dapat dilakukan jika persediaan barang habis,
yang dapat dilihat dari buku defektan. Pemesanan dapat
dilakukan langsung kepada PBF melalui telepon, E-mail
maupun lewat salesmen yang datang ke apotek. Pemesanan
dilakukan dengan menggunakan surat pemesanan (SP), surat
pemesanan minimal dibuat 2 lembar (untuk supplier dan arsip
apotek) dan di tanda tangani oleh apoteker. Biasanya SP dibuat
3 lembar. Untuk SP pembelian obat-obat narkotika dibuat
menjadi 4 lembar (3 lembar diserahkan pada PBF yaitu warna
putih, merah, biru dan satu lembar berwarna kuning sebagai
arsip si di apotek). Untuk obat narkotika 1 surat permintaan
hanya untuk satu jenis obat, sedangkan untuk psikotropika 1
surat permintaan bisa untuk satu atau lebih jenis obat.
3. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang
telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui
pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan.
Penerimaan adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,

23
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam kontrak/pesanan. Penerimaan merupakan kegiatan
verifikasi penerimaan/penolakan, dokumentasi dan penyerahan
yang dilakukan dengan menggunakan "checklist" yang sudah
disiapkan untuk masing-masing jenis produk yang berisi antara
lain :
a. Kebenaran jumlah kemasan dan mencocokkan fraktur dengan
SP
b. Kebenaran kondisi kemasan seperti yang diisyaratkan
c. Kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
d. Kebenaran jenis produk yang diterima;
e. Tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
f. Kebenaran identitas produk;
g. Penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan
brosur;
h. Tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi
produk,
j. Jangka waktu daluarsa yang memadai.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara
dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan
gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan harus
menjamin stabilitas dan keamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan
kelas terapi, bentuk sediaan dan alfabetis dengan menerapkan
prinsip First ln First Out (FIFO) dan First Expired First Out
(FEFO) disertai sistem informasi manajemen. Untuk
meminimalisir kesalahan penyerahan obat direkomendasikan

24
penyimpanan berdasarkan kelas terapi yang dikombinasi dengan
bentuk sediaan dan alfabetis. Apoteker harus rnemperhatikan obat-
obat yang harus disimpan secara khusus seperti narkotika,
psikotropika, obat yang memerlukan suhu tertentu, obat yang
mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker juga
perlu melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang diterima dan disimpan sehingga terjamin
mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
5. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau
menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat
penyimpanan sampai kepada unit pelayanan pasien. Sistem
distribusi yang baik harus:
a. Menjamin kesinambungan penyaluran atau penyerahan.
b. Mempertahankan mutu.
c. Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kedaluarsa.
d. Menjaga ketelitian pencatatan.
e. Menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
lain yang berlaku.
f. Menggunakan sistem informasi manajemen.
6. Pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai
standar yang ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan
Pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan dengan cara yang
baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Prosedur pemusnahan obat hendaklah dibuat yang
mencakup pencegahan pencemaran di lingkungan dan mencegah

25
jatuhnya obat tersebut di kalangan orang yang tidak berwenang.
Sediaan farmasi yang akan dimusnahkan supaya disimpan terpisah
dan dibuat daftar yang mencakup jumlah dan identitas produk.
Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri
maupun oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ketentuan pemusnahan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 :
a. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan
jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kedaluwarsa atau
rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau
surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh
Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di
Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
7. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu
pengelolaan perbekalan (supply) sediaan farmasi dan alat
kesehatan agar mempunyai persediaan dalam jenis dan jumlah
yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan menumpuknya

26
persediaan. Pengendalian persediaan yaitu upaya mempertahankan
tingkat persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan
mengendalikan arus barang yang masuk melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan perpetual
inventory), penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan
persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan, kerusakan, kedaluarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan sediaan farmasi. Pengendalian persediaan
dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat,
tanggal kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan
sisa persediaan.
8. Penarikan Kembali Sediaan Farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan
produsen atau instruksi instansi pemerintah yang berwenang.
Tindakan penarikan kembali hendaklah dilakukan segera setelah
diterima permintaan instruksi untuk penarikan kembali. Untuk
penarikan kembali sediaan farmasi yang mengandung risiko besar
terhadap kesehatan, hendaklah dilakukan penarikan sampai tingkat
konsumen. Apabila ditemukan sediaan farmasi tidak memenuhi
persyaratan, hendaklah disimpan terpisah dari sediaan farmasi lain
dan diberi penandaan tidak untuk dijual untuk menghindari
kekeliruan. Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh
sistem dokumentasi yang memadai.
9. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock),

27
penyerahan (nota atau struck penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika (menggunakan
Formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan
Formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati
dan menilai keberhasilan atau kesesuaian pelaksanaan Cara
Pelayanan Kefarmasian yang Baik disuatu pelayanan kefarmasian.
Untuk evaluasi mutu proses pengelolaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan, dapat diukur dengan indikator kepuasan dan
keselamatan pasien/ pelanggan/ pemangku kepentingan
(stakeholders), dimensi waktu (time delivery), Standar Prosedur
Operasional serta keberhasilan pengendalian perbekalan kesehatan
dan sediaan farmasi.
2.5.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari
Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.

28
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2016
Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun
2014, Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian Resep
Kajian administratif meliputi:
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. Nama dokter, nomor surat izin praktik (sip), alamat, nomor
telepon dan paraf; dan
c. Tanggal penulisan resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan;
b. Stabilitas; dan
c. Kompatibilitas (ketercampuran obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
b. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
c. Duplikasi dan/atau poli farmasi;
d. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat,
manifestasi klinis lain);
e. Kontra indikasi; dan
f. Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidak sesuaian dari hasil pengkajian
maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan
hal sebagai berikut:
A. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
a. Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;

29
b. Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik Obat.
B. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
C. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. Warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. Warna biru untuk Obat luar dan suntik;

c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk


suspensi atau emulsi.
D. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien
pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
d. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi
Obat;
e. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal
yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat,
makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
f. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan
dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi t
idak sehat mungkin emosinya tidak stabil;

30
g. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien
atau keluarganya;
h. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan di
paraf oleh Apoteker (apabila diperlukan);
i. Menyimpan Resep pada tempatnya;
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan
edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep
untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau
bebas terbatas yang sesuai.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang
tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik
dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan
lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk
Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metode pemberian, farmakokinetika, farmakologi,
terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
b. Membuat dan menyebarkan buletin/ brosur/ leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;

31
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
e. Melakukan penelitian penggunaan obat;
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
g. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat
dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
Informasi Obat :
a. Topik Pertanyaan;
b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat
telepon);
d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain
seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,
data laboratorium);
e. Uraian pertanyaan;
f. Jawaban pertanyaan;
g. Referensi;
h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan
data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku
dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien.

32
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three
prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah,
perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien
sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatrik, gangguan fungsi
hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis
(misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
c. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus
(penggunaan corticosteroid dengan tapering down/off).
d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi
sempit (digoxin, fenitoin, teofilin).
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat
untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini
juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu
jenis Obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat
melalui Three Prime Questions, yaitu:
1. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda ?
2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara
pemakaian Obat Anda ?

33
3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat
tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi
kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah
penggunaan Obat
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah penggunaan Obat
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman
pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta
tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami
informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan
Formulir 7 sebagaimana terlampir.
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan
rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan
oleh Apoteker, meliputi :
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
b. Identifikasi kepatuhan pasien
c. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di
rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan
insulin
d. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum

34
e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah
dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multi diagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi
Obat yang merugikan.
Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan
pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan
Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien
atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain
c. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait
Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi,
pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak
tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi
Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat

35
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien
dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau
berpotensi akan terjadi
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang
berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan
pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki
f. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang
telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan
tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat
dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
a. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai risiko
tinggi mengalami efek samping Obat. Mengisi formulir
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
b. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
2.5.3 Pengelolaan Resep
Resep yang telah dilayani harus disimpan selama tiga tahun. Resep
yang disimpan diberi penandaan mengenai tanggal, bulan dan tahun

36
pelayanan. Kemudian resep disusun rapih agar mampu ditelusuri bila
sewaktu-waktu diperlukan. Tanggal terdekat dengan bulan layanan
ditempatkan yang lebih mudah dijangkau agar mampu ditelusuri
dengan cepat. Untuk pengelolaan resep narkotik dan psikotropika.
Pada saat pelayanan resep narkotika diberi tanda garis warna merah.
Resep narkotika dan psikotropika harus terarsip dengan baik dan
dicatat dalam buku penggunaan obat narkotika dan psikotropika.
Resep narkotika diarsipkan dan disimpan selama tiga tahun
berdasarkan tanggal dan nomor urut resep.

2.5.4 Pengelolaan Narkotika


Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika (PERMENKES, 2015).
1. Pemesanan Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyatakan bahwa
Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotek untuk
membeli, meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk
persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan,
mengirimkan, membawa atau mengangkut narkotika untuk
kepentingan pengobatan (Presiden Republik Indonesia, 2009).
Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis
melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi
(PBF) PT. Kimia Farma. Surat Pesanan Narkotika harus
ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas,

37
nomor SIK, SIA dan stempel apotek. Satu surat pesanan terdiri
dari rangkap empat dan hanya dapat untuk memesan satu jenis
obat narkotika (Umar M., 2011).
2. Penyimpanan Narkotika
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan
narkotika dan harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan
narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
c. Dibagi menjadi dua bagian masing-masing bagian dengan
kunci yang berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk
menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta
persediaan narkotika sedangkan bagian kedua dipergunakan
untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran
kurang dari 40×80×100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat
melekat pada tembok atau lantai.
e. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan
barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri
Kesehatan.
f. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang
dikuasakan
g. Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan
tidak terlihat oleh umum.
3. Pelayanan Resep Mengandung Narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep
dokter sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan No. 336/E/SE/77 antara lain
dinyatakan :

38
a. Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) UU No. 9 tahun 1976
tentang Narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang
mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani
sebagian atau belum dilayani sama sekali.
b. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum
dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep
tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek
yang menyimpan resep aslinya.
c. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak
boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh
menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung
narkotika.
4. Pelaporan Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2)
dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran narkotika yang berada dibawah penguasaannya.
Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika dan
laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di tanda
tangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan
SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan
kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan dengan tembusan kepada :
a. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
b. Kepala Balai POM setempat.
c. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
(khusus Apotek Kimia Farma).

39
d. Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
a. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika
b. Laporan penggunaan bahan baku narkotika
c. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin
d. Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus
dikirim selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya
Selain laporan dalam bentuk printout, laporan penggunaan obat
narkotika di lakukan melalui online SIPNAP (Sistem Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika). Asisten apoteker setiap bulannya
menginput data penggunaan narkotika dan psikotropika melalui
SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import
(paling lama sebelum tanggal 10 pada bulan berikutnya). Laporan
meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan bersangkutan
(meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan, persediaan awal
bulan), pasword dan username didapatkan setelah melakukan
registrasi pada dinkes setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).
5. Pemusnahan Narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2015, pemegang izin khusus, apoteker pimpinan
apotek, atau dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat
berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara
pemusnahan memuat :
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b. Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau
dokter pemilik narkotika.
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari
perusahaan atau badan tersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.

40
e. Cara pemusnahan.
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin
khusus, dokter pemilik narkotika, dan saksi-saksi
Kemudian berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas
Pelayanan Kesehatan dengan tembusan:
a. Balai POM setempat
b. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
c. Arsip
2.5. 5 Pengelolaan Psikotropika
Ruang lingkup pengaturan Psikotropika adalah zat/bahan baku
atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015) :
1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan.
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Presiden
Republik Indonesia, 1997):
1. Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan
Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA
dengan mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat
rangkap dua dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan
beberapa jenis psikotropika.
2. Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan. Namun
karena kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka

41
disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri
dalam suatu rak atau lemari khusus dan membuat kartu stok
psikotropika.
3. Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya
dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan dan dokter kepada pengguna/pasien berdasarkan
resep dokter
4. Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan
pemakaiannya setiap bulan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai Besar
POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
Laporan penggunaan psikotropika dilakukan setiap bulannya
melalui SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika).
Asisten apoteker setiap bulannya menginput data penggunaan
psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah terinput data
tersebut di import. Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika
untuk bulan bersangkutan (meliputi nomor urut, nama
bahan/sediaan, satuan, persediaan awal bulan). pasword dan
username didapatkan setelah melakukan registrasi pada dinkes
setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).
5. Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan
tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan
yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses
produksi, kedaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan
pada pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu

42
pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat
dan waktu pemusnahan; nama pemegang izin khusus; nama, jenis,
dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan;
tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan
saksi-saksi pemusnahan.

2.6 Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Pelayanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan di apotek terdiri dari
tiga pelayanan yaitu pelayanan resep dokter, obat tanpa resep dokter, dan obat
dengan golongan tertentu
2.6.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep Dokter
Resep merupkan dokumen legal, sebagai sarana komunikasi
profesional dari dokter dan penyedia obat, untuk memberikan obat
kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan.
Resep harus ditulis dengan jelas dan mudah dimengerti. Resep harus
memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang
diberikan, siapa dokternya dan harus memuat tanda tangan dokter
dengan resmi (Anonim , 2004).
Pelayanan resep merupakan garis dapan pelayanan farmasi kapada
pasien, sehingga perlu dikelola dengan benar agar diperoleh pelayanan
resep yang baik dan bermutu. Disamping peningkatan derajat
kesehatan masyarakat dan penggunaan obat secara rasional, pelayanan
resep yang baik akan memberi kepuasan kepada pasien (Surjani,
2003).
Pelayanan resep meliputi skrining resep dan penyiapan obat.
a). Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi
persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis. Jika ada keraguan terhadap resep

43
hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan
memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan (Anonima ,
2004).
b). Penyiapan obat
1. Peracikan
Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu
prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan
jumlah obat serta penulisan etiket yang benar (Anonima ,
2004).
2. Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca (Anonima , 2004).
3. Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan
yang cocok sehingga terjaga kualitasnya (Anonima , 2004).
4. Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan
pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan
resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan
tenaga kesehatan (Anonima , 2004).
5. Informasi Obat
Ruang lingkup kompetensi ini meliputi seluruh
kegiatan pemberian obat kepada pasien, tenaga kesehatan
lain, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan
untuk kepentingan upaya-upaya peningkatan kesehatan dan
upaya positif lain yang terkait, secara aktif maupun pasif
(Anonimc , 2004).
6. Konseling

44
Ruang linkup kompetensi ini meliputi komunkasi
verbal maupun non verbal melalui tatap muka pasien,
keluarganya dan masyarakat mengenai penggunaan obat
resep dan atau obat tanpa resep. Apoteker harus
memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu
seperti kardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan
penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan (Anonima , 2004).
7. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Menentukan
skala prioritas evaluasi penggunaan obat berdasarkan obat
yang paling banyak digunakan, obat dengan indeks
terapetik sempit, obat yang sering menimbulkan efek
samping, obat yang mahal, obat yang digunakan untuk
penyakit-penyakit kardiovaskuler, gawat darurat,
toksikologi, onkologi, obat-obat intra vena dan analgetik
narkotik, obat-obat anti biotik propilaktik dan terapetik
(Anonimc , 2004).
2.6.2 Pelayanan Obat Tanpa Resep Dokter
Pelayanan tanpa resep/swamedikasi yaitu pelayanan terhadap
pasien atau klien yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau
dengan meminta suatu produk obat tertentu tanpa resep dari dokter.
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri

45
dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas
inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter Pengobatan sendiri
(swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga
kesehatannya sendiri Dari data World Health Organization (WHO), di
banyak negara sampai 80% episode sakit dicoba diobati sendiri oleh
penderita. Sedangkan data di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar
60% masyarakat melakukan swamedikasi dengan obat modern sebagai
tindakan pertama bila sakit (Suryawati, 1997).
2.6.3 Pelayanan Obat dengan Golongan Tertentu
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 bahwa pelayanan
obat dengan golongan tertentu kepada pasien harus dilakukan oleh
Apoteker berdasarkan resep dokter. Penyerahan tersebut dapat dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian.

2.7 Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker
pengelola apotek untuk menyiapkan dan/atau membuat, meracik, serta
menyerahkan obat kepada pasien (Syamsuni, 2006).
Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Jika resep tidak jelas atau
tidak lengkap, apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep
tersebut.
Menurut Anief (2000), Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai
berikut :
1. Nama, alamat, dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter
hewan.
2. Tanggal penulisan resep (inscriptio).
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio).
4. Nama setiap obat dan komposisinya (praescrippio/ordonatio).

46
5. Aturan pemakaiain obat yang tertulis (signatura).
6. Tanda tangan atau paraf dokterr penulis resep sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (subscriptio).
7. Jenis hewan serta nama dan alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan.
8. Tanda seru atau paraf dokter untuk setiap resep yang melebihi dosis
maksimalnya

2.8 Penggolongan Obat Menurut Undang – Undang


Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka
pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:
2.8.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh
Parasetamol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Gambar 2.8.1 Penandaan Obat Bebas


2.8.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter,
dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam. Contoh : CTM (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2006).

Gambar 2.8.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas

47
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas
terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran
panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat
pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006) :

Gambar 2.8.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas


2.8.3 Obat Keras dan Obat Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K
dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh :
Asam Mefenamat. Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh :
Diazepam, Phenobarbital (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2006).

Gambar 2.8.4 Penandaan Obat Keras


Menurut UU No.5 Tahun 1997 psikotopika digolongkan menjadi
(Presiden Republik Indonesia, 1997):

48
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan
metilendioksi metilamfetamin (MDMA).
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin,
deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital,
pentabarbital, dan siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam,
estazolam, etilamfetamin, alprazolam.
2.8.4 Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Contoh : Morfin, Petidin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2006). Obat narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau
palang swastika.

49
Gambar 2.8.5 Penandaan Obat Narkotika
Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2014):
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium,
heroin, dan ganja.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: fentanil, metadon, morfin, dan petidin.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: etilmorfina kodein, dan
norkodeina.
4.8.5 Jamu
Jamu adalah ramuan atau obat alami yang digunakan dalam
pengobatan untuk menjaga kesehatan, khasiatnya berdasarkan warisan
turun temurun. Pihak BPOM telah mengeluarkan standar untuk
produksi obat tradisional yang dikenal dengan cara pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOB).

50
Gambar. 2.8.6 Penandaan jamu

4.8.6 Obat Herbal Terstandar (OHT)


OHT adalag sediaan obat herbal berbahan baku alami, bahan
bakunya telah ada pembuktian keamanan dan khasiatnya secara
alamiah dengan uji praklinik

Gambar 2.8.7 Penandaan OHT

2.8.7 Fitofarmaka
Obat tradisional dari bahan alami yang dapat disetarakan dengan
obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar serta
telah ditunjang denganbukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada
manusianya dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah.

Gambar 2.8.8 Penandaan Fitofarmaka


2.8.8 Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek,
menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang
dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien di
apotek. Peraturan mengenai obat wajib apotek dibuat untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya

51
sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dan peningkatan
pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 1990).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi
kriteria (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993):
1. Tidak di kontra indikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia
2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko
akan kelanjutan penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di
apotek diwajibkan untuk (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
1993b):
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra
indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh
pasien.

52
BAB III
TINJAUN KHUSUS

3.1 Sejarah Apotek


Pada tahun 1980 ibu Nie Tangkuna mendirikan apotek berdasarkan
porfesinya sebagai apoteker yang beralamat di jalan raden saleh No 43, apotek
Natoro farma telah bekerja sama dengan beberapa Pedagang Besar Farmasi
(PBF). Pada tahun 1997 ibu Nie Tangkuna bekerja di bidang kefarmasian
departemen kesehatan BPOM. Apotek Natoro Farma juga pernah bekerja
sama dengan dokter spesialis mata dan spesialis kulit. Apotek Natoro Farma
sekarang masih berdiri dan apoteker penanggung jawab apotek sekarang
masih ibu Nie Tangkuna dan memiliki asiasten apoteker.

3.2 Tata Ruang Apotek


Tata ruangan Apotek Natoro Farma terdiri dari
1. Ruangan apotik
Terdiri dari 14 lemari 1 meja peracikan dan 2 meja administrasi, 2
lemari paling depan apotek dan 2 lemari sebalah kanan apotek yang berisi
obat bebas, bebas terbatas, alkes, bahan medis habis pakai,dan juga obat
tradiosonal, 4 lemari bagian kiri terdapat 2 lemari atas yang berisi obat
keras dengan bentuk sediaan salep, cream, tetes telingan. Dan 2 lemari
bagian bawah terdpat obat keras dengan bentuk sediaan cairan steril, tetes
mata, injeksi dan tablet. dan 4 lemari terletak di belakng meja administrasi
2 lemari berisi obat keras dan obat generik, dengan bentuk sedian tablet
dan 2 lemari bagian bawah berisih obat sirup, suspens1 dan emulsi. Dan
2 lemari paling belakang 1 lemari bagian atas . Ruangan apotek yang
berisi obat psikotropika dan 1 lemari bagian bawah berisi faktur-faktur
dari distributor, PBF.

53
2. Ruangan peracikan
Ruangan ini tempat dimana asisten apoteker melakukan perhitungan resep
dan peracikan obat sesuai dengan resep yang diminta.
3. Ruangan tunggu
Ruangan tempat dimana pasien dapat menunggu obat yang sedang diracik,
di ruang tunggu ini terdapat sofa dan televisi untuk bersantai
4. Kamar Mandi Apotek
Terdapat kamar mandi Apotek untuk pasien dan karyawan apotek.
5. Meja Administrasi
Tempat melakukannya pembayaran obat

3.3 Struktur Organisasi Apotek

PSA / APA

AA ADMINISTRASI
I
PU

Gambar 3.3 Struktur Organisasi Apotek Natoro Farma


Tugas dan fungsi dari struktur organisasi yang masih aktif
1. Pemilik Sarana Apotek (PSA)
Sebagai sumber dana pendirian Apotek Trisha
2. Apoteker Pembina Apotek (APA)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tugas dan
fungsi apoteker adalah :

54
a. Melakukan pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian
mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional).
b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational
Procedure) baik di industri farmasi.
c. Harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan
oleh Menteri saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu
yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi.
d. Apoteker wajib menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika
kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Asisten Apoteker (AA)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80
Tahun 2016 Lingkup pekerjaan Asisten Tenaga Kefarmasian meliputi
pelaksanaan tugas yang diberikan oleh tenaga teknis kefarmasian dan
apoteker dalam pekerjaan administrasi (clerkship) dan fungsi pelayanan
pelanggan, mengikuti pelaksanaan standar prosedur operasional, dalam
hal:
1. Melakukan pencatatan tentang pembelian dan penyimpanan obat serta
melakukan pendataan persediaan obat;
2. Menerima pembayaran resep, stok harga, penandaan item untuk
penjualan, pencatatan dan klaim asuransi;
3. Melakukan pelayanan perbekalan kesehatan rumah tangga;
4. Melakukan pengarsipan resep sesuai data dan ketentuan berlaku;

55
5. Melakukan pemeriksaan kesesuaian pesanan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan; dan
6. Melakukan pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
untuk keperluan floor stock.
4. Administrasi
Sebagai pengurus mengenai seluruh administrasi di apotek Natoro
Farma
5. Pembantu Umum
Membantu menghubungi pedagang besar farmasi untuk memesan obat
yang kosong dan membantu untuk melakukan kerja sama dengan PBF.

3.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan di Apotek


Pengeleloan sedian farmasi di apotek natoro farma yaitu meliputi
Perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan pencatatan dan pelaporan.
a. Perencanaan
Perancanaan di apotek Natoro farma menggunakan metode kombinasi
yaitu merupakan kombinasi antara metode kosumsi untuk meganalisis
data kosumsi obat tahun sebelumnya dengan metode epidemiologi yang
melihat pola penyakit.
b. Pengadaan
Pengadaan di apotek Natoro yaitu dengan cara melakukan perencanaan
sediaan farmasi dengan melihat sedian obat, maupun alkes yang kosong,
dan yang di butuhkan oleh pasien, kemudian dilakukan pengadaan dengan
memesan obat kepada distributor, PBF, dengan melakukan pengadaan
melalui surat pesanan, meliputi nama obat, jumlah obat yang disesuaikan
dengan kebutuhan

56
c. Penerimaan
Sistem penerimaan sediaan farmasi di apotek Natoro Farma yaitu
penerima barang harus tenaga tehnis yang memiliki izin kerja, saat
penerimaan harus di lihat, expaidate, nomor batch, jumlah obat, fisik obat,
dan komposisi obat.
d. Penyimpanan
Sistem penyimpanan di apotek Natoro Farma menggunakan system
penyimpanan berdasarkan golongan obat, dimna obat bebas, bebas
terbatas, dan obat tradiosonal di letakan di lemari paling depan dan obat
keras di belakang adapun obat psikotropika di letakan pada lemari khusus,
serta disusun dengan menggunakan metode Alfabet
e. Pengendalian Mutu
Pengndalian mutu di apotek Natoro menggunakn sistem FIFO
berdasarkan perputaran obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dengan memperhatikan adanyanya stok cadangan (buffer stock)
f. Pemusnahan
Sistem pemusnahan di apotek Natoro Farma yaitu dengan melihat
sediann farmasi ataupun alat kesehatan yang sudah kadarluwasa atau
rusak harus di musnakan sesuai dengan jenis dan beuntuk sediaan, resep
yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 tahun hrus di musnakan,
sediaan farmasi yang tidak memenuhi syarat/standar peraturan
pemerintah di lakukan penarikan oleh BPOM. Bahan medis habis pakai
yang tidak di gunakan, dan alat kesehatan dan BHP yang izin edarnya di
cabut oleh mentri di musnakan.
g. Pencatatan dan pelaporan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan di apotek n Natoro Farma yaitu
untuk sedaiaan farmasi obat masuk di catat di buku pencatatan obat
dimana tercantum nama obat, jumlah obat yang di pesan, harga satuan,
harga total, dan nomor faktur.untuk kegiatan pelaporan sediaan farmasi di

57
apotek natoro farma yaitu dengan cara mencatat semua nama-nama obat
yang masuk dan keluar atau obat yang di beli oleh pasien kemudian
mencat masing-masing harga dari tiap item obat, lalu di jumlahkan semua
jumla pemasukan baik obat bebas, bebas terbatas,obat keras dan
psikotropika.

3.5 Kegiatan Apotek


Kegiatan di apotek Natoro Farma berlangsung selama 6 hari dari jam
08:00 - 15:00 WITA.
Pada saat jam kerja di lakukan pelayan kepada pasien yang datang untuk
membeli obat,ataupun memberika resep dari dokter, pelayana yang
berlangsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan
farmasi, alat kesehatan, obat tradiosonal dan bahan medis habis pakai, dengan
maksud meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kegiatan pelayanan resep, di mulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan habis pakai
termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan dan pemberian harga
disertai pemberian informasi. Jika di temukan adanya ketidak sesuaian dari
hasil pengkajian maka apoteker harus menghubungi dari dokter penulis resep.
pada setiap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian obat.
Sistem menegerial apotek natoro, dilakukan perencanaan obat yang
kosong dan di butuhkan kemudian dilakukan pengadaan dengan memesan
obat kepada distributor, PBF, dengan melakukan pengadaan melalui surat
pesanan, meliputi nama obat, jumlah obat yang disesuaikan dengan
kebutuhan, lalu dilakukan penerimaan saat di lakukan penerimaan harus di
lihat, exp date, nomor batch, jumlah obat, fisik obat, dan komposisi obat.
Setelah itu di lakukan penyimpanan obat berdasarkan golongan obat dengan
menyusun obat menggunakan metode alphabet. Setelah itu dilakann

58
pendistribusian obat, menggunakan system First In First Out (FIFO)
berdasarkan perputaran obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dengan memperhatikan adanya stok cadangan. lalu melihaat sedian farmasi,
alat kesehatn bahan medis habis pakai yang rusak, kadarluasa ataupun sudah
tidak di butuhkan, haus dimusnahkan.
Melakukan pencatatan dan pelaporan, untuk kegiatan pencatatan di
apotek mencatat semua sedian farmasi, alat kesehatn dan bahan medis habis
apakai di catat dalm buku pencatatan obat masuk dan keluar, dengan
mencantumkan nama obat, jumlah obat, harga satuan, harga total, dan nomor
faktur, untuk kegiatan pelaporan di di lakukan pencatatan semua nama-nama
obat yang keluar dan masuk , lalu di jumlahkan semua jumlah pemasukan
baik biat bebas, bebas terbatas, obat tradiosonal, obat keras dan psikotropika.

59
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Tentang Apotek


Apotek Natoro Farma merupakan usaha swasta milik perseorangan
dengan modal yang berasal dari seorang apoteker yaitu Ibu Dra. Nie
Tangkuna yang berdiri pada tahun 1980 yang bertempat di jalan Raden Saleh
No. 43 Kota Palu – Sulawesi Tengah.
Apotek Natoro Farma dikelola oleh apoteker sekaligus pemilik apoteknya
Ibu Nie Tangkuna M.Si., Apt, dan dibantu oleh asisten apoteker yang
merangkap tugas sebagai personal bagian pengadaan obat, bagian administrasi
dan bagian pelayanan. Apotek Natoro Farma buka setiap hari senin sampai
minggu dari jam 08.00 – 21.00 WITA, hari minggu merupakan hari libur.

4.2 Pelayanan Sediaan Farmasi di Apotek Natoro Farma


Peraturan Menteri Kesehatam RI No. 73 Tahun 2016 yaitu dimana
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Farma melakukan perencanaan,
pengadaan, penerimaan, Penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan.
4.2.1 Perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi
dan Bahan Medias Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah
sediaan farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan apotek.
Saat membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

60
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan perkiraan jenis dan
jumlah sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang mendekati
kebutuhan, meningkatkan penggunaan obat secara rasional dan
meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Proses dimana seluruh siklus yang berhubungan dengan pelayanan
obat. Apotek Natoro Farma menggunakan metode konsumsi yaitu
campuran dari metode konsumsi dan epidemiologi.
Proses seleksi sediaan farmasi dan bahan habis pakai dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan
farmasi periode sebelumnya, data mutasi sediaan farmasi, dan rencana
pengembangan. Proses seleksi sediaan farmasi dan BHP juga harus
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan
Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan Apoteker
Natoro Farma.
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan
kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan sediaan farmasi di apotek
menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan
waktu kekosongan obat, buffer stok, serta menghindari stok berlebih.
Salah satu dokumen perencanaan yang ada di apotek adalah buku
catatan obat yang sudah habis / akan habis yang disebut buku defecta.
Pada dasarnya buku defecta memuat tentang barang yang sudahh
habis dan barang yang menipis persediannya. Berdasarkan buku
defecta tersebut kemudian dilakukan pemesanan barang ke PBF,
dilakukan pemesanan sebelum buffer stock habis agar menghindari
kekosongan obat yang ada di apotek Natoro Farma.
4.2.3 Pengadaan
Pengadaan sediaan farmasi merupakan suatu proses yang
dimaksud untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, untuk
menjamin kualitas pelayanan kefarmasiaan maka pengadaan sediaan

61
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Proses manajemen sediaan farmasi dapat terbentuk dengan baik
apabila didukung dengan kemampuan sumber daya yang tersedia
dalam suatu sistem.
Tujuan utama pengadaan adalah tersedianya sediaan farmas yang
berkualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan jumlah sesuai
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. Pengadaan sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan Natoro Farma dari jalur resmi, yaitu
pedagang besar farmasi Kimia Farma, PT. Unoson, PT. Penta Valent,
dan lain-lain.
Manajemen pengadaan di apotek Natoro Farma didahului oleh
pemesanan obat dengan Surat Pesanan Resmi sesuai dengan
golongannya, ada 3 model surat pesanan yang ada di Apotek Natoro
Farma, yaitu :
1. SP untuk pemesanan Obat Bebas, Bebas Trebatas dan Obat keras.
2. SP untuk pemesanan Obat Golongan Psikotorpika
Untuk memenuhi jaminan kualitas pelayanan kefarmasian, maka
apotek Natoro Farma melakukam pengadaan melalui PBF yang ada di
kota palu.
Pengadaan sediaan farmasi di Apotek terkoordinir dengan baik.
Pengadaan sediaan farmasi di apotek dilakukan oleh Apoteker Natoro
Farma.
Pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan di Apotek
Natoro Farma menggunakan cara instan yaitu melalui telepon,
sedangkan surat pesanan di berikan di akhir setelah diterimanya
barang yang dipesan dan biasanya dipesan oleh apoteker. Apotek
Natoro Farma memperoleh obat dari beberapa instansi diantaranya :

62
a. Pedagang Besar Farmasi yang secara intensif mensuplai
ketersediaan obat, jarak pengirimannya memiliki waktu yang
berbeda-beda, PBF diantaranya : kimia farma, PT. Unoson, PT.
Penta Valent, dan lain-lain.
b. Surat pesanan : dibuat untuk mencatat obat yang akan dipesan dan
diberikannya di akhir setelah barang diterima.
Pada saat penerimaan barang, Salesaman membawa SP disertai
faktur pembelian sebanyak 4 lembar, dua lembar untuk PBF, satu
lembar untuk penagihan dan satu lembar untuk apotek. Faktur ini
dibuat sebagai bukti yang sah dari pihak kreditur mengenai transaksi
penjualan barang, surat pesanan digunakan unutk mencocokkan
barang yang dipesan dengan bang yang dikirim. Apabila sesuai dengan
pemesanan, Apoteker Pengelola atau AA yang menerima
menandatangani faktur dan memberi cap aptek sebagai bukti
penerimaan barang.
Barang yang memiliki masa kadarluarsa sudah dekat dilakukan
perjanjian terlebih dahulu, apakah barang tersebut boleh dikembalikan
atau tidak, dengan waktu pengembalian yang telah ditentukan.
4.2.3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
Menerima sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan itu biasanya
selang satu atau dua hari, barang yang dipesan akan datang dan
disertai dengan faktur pembelian. Ketika barang datang, asisten
apoteker harus segera mengecek faktur dan memberikan surat pesanan
serta memeriksa kesesuaian barang yang dipesan. Pengecekan harus
dilakukan dengan teliti, seperti mencocokan nama barang, nomor
batch, jumlah barang, harga barang , expired date dengan keterangan

63
yang tertera di faktur. Setelah semua barang sesuai dengan pesanan
maka faktur diparaf dan di stempel.
a. Faktur
Daftar barang kiriman yang dilengkapi keterangan nama,
jumlah dan harga yang harus dibayar. Di apotek Natoro Farma
Penyimpanannya dalam berkas khusus dan sifatnya privasi jadi
praktikan tidak mengetahui pasti format faktur keseluruhannya
yang diterima dari PBF oleh apotek Natoro Farma.
b. Buku penerimaan barang :
Dibuat untuk mencatat pembelian barang return penjualan.
Untuk diapotek Natoro Farma, asisten apoteker akan menulis
barang – barang yang masuk dan menulis total harga dari obat
yang masuk, apabila obat yang dipesan sudah lunas maka apoteker
dan PBF akan menanda tangani buku sebagai bukti bahwa barang
tersebut telah dibayar/lunas.
c. Buku Pembelian
Untuk mencatat barang yang dibeli secara tunai. Di Apotek
Natoro menggunakan 2 album yaitu untuk pembelian obat bebas
atau bebas terbatas, dan album untuk pemebelian obat keras atau
psikotropika.
4.2.4 Penyimpanan
Penyimpanan obat di Apotek Natoro Farma yaitu menurut abjad,
bentuk sediaannya (tablet, sirup, drops, salep, dan bentuk sediaan
lainnya), dan berdasarkan golongan.
Berdasarkan golongannya seperti obat bebas dan obat bebas
terbatas di simpan di depan apotek/dilemari etalase agar mudah terlihat
oleh pembeli, karena obat ini dijual secara bebas, untuk obat keras
disimpan dibelakang karena obat ini tidak dijual secara bebas harus
dengan resep dokter, sedangkan untuk obat narkotik dan psikotropik

64
disimpan ditempat/ lemari khusus, ada obat yang disimpan di kulkas
untuk menjaga agar obat tidak mudah rusak baik sediaan/kandungan
zat dari obat tersebut, sedangkan ada juga yang disimpan di gudang
untuk penyimpanan obat, biasanya dilakukan pengambilan ketika obat
yang ada di ruang racik kosong/habis dan tentunya dengan kunci yang
berbeda.
Pada umumnya, penyimpanan barang di apotek Natoro Farma
secara umum digolongkan menjadi 4 yaitu :
1. Obat Generik, yang disusun secara alphabetis.
2. Obat Bebas disimoan di depan apotek / dilemari etalase agar
mudah terlihat oleh pembeli, karena obat ini dijual secara terbatas.
3. Obat keras disimpan dibelakang karena obat ini tidak dijual secara
bebas, harus menggunakan resep dokter.
4. Obat0obat yang memerlukan kondisi penyimpanan pada suu yang
dingin disimpan dalam lemari es, mislanya suppositoria.
5. Obat psikotropika, disimpan dalam lemari khusus dan sesuai
dengan ketentuannya.
Selain itu, penyimpanan obat juga didasarkan pada metode FIFO
(First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).
Penyimoanan dengan menggunakan metode ini dapat menjamin
bahwa produk obat yang disalurkan ke konsumen merupakan
produk obat yang aman dan tidak melewati batas kadarluarsa.
2.4.5 Pemusnahan
Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan
jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak
yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

65
Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang
memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan
menggunakan Formulir pemusnahan sesuai dengan peraturan menteri
kesehatan.
Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita
Acara Pemusnahan Resep formulir yang telah ditetapkan oleh
peraturan menteri kesehatan dan selajutnya dilaporkan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota.
2.4.6 Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran, hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadarluarsa, kehilangan serta pengembalian
pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan lartu stok
baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-
kurangnya memuat nama obat, tanggal kadarluarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
Pengendalian apotek Natoro Farma yaitu menggunakan kartu stok
manual. Setiap produk obat memiliki sebuah kartu stok sehingga dapat
terpantau dengan jelas jumlah obat yang masuk, keluar ataupun stok
yang masih tersedia. Setiap barang yang keluar akan dicatat sebagai
pengeluaran. Pencatatan dalam kartu stok tersebut diurutkan

66
berdasarkan tanggal barang tersebut masuk / keluar shingga jumlmah
obat yang masuk dan keluar dapat terpantau dengan baik.
Pencatatan terhadap obat golongan psikotropik terdiri dari :
1. Kode Resep
Resep yang telah masuk ke dalam apotek akan diurut
berdasarkan kode resep. Kode resep tersebut akan memudahkan
pelacakan penggunaan obat psikotropika dna narkotika tersebut
apabila saat diperlukan.
2. Nama Obat
Nama obat digunakan untuk mencocokkan antara kode resep
dan nama obat.
3. Jumlah Obat
Jumlah masuk menyatakan jumlah obat psikotropika dan
narkotika yang masuk ke apotek. Pemasukan akan menambah
jumlah obat psikotropika dan narkotika tersebut.
4. Jumlah keluar
Jumlah keluar menyatakan jumlah obat psikotropika dan
narkotika yang diberikan kepada pasien. Pengeluaran akan
menyebabkan jumlah obat psikotropika dan narkotika berkurang.
5. Peresepan
Resep yang masuk diterima oleh AA kemudian diteliti apakah
obat yang diresepkan tersedia di apotek atau tidak, jika tersedia
maka resep diberikan harga sesuai dengan harga yang berlaku di
apotek. Jika pembeli setuju dengan harga yang ditawarkan, maka
resep dikerjakan kemudian diberi etiket, dan diperiksa lagi oleh
Apoteker Pengelola Apotek atau AA dan diserahkan kepada pasien
disertai dengan informasi mengenai aturan penggunaan obat. Bila
diminta atau diperlukan dibuatkan kopi resep atau kwitansi
pembelian.

67
Setiap resep akan dikelompokkan berdasarkan tanggal resep dank
ode resep. Pada masing-masing tanggal, resep dikelompokkan lagi
menjadi resep biasa, resep obat psikotropika, dan resep narkotika.
Tujuan diadakannya pengelompokan ini adalah untuk mempermudah
pengecekan atau penelusuran kembali apabila suatu saat diperlukan
baik oleh pasien atau BPOM.
2.4.7 Pencatatan dan Pelaporan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota
atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan
kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan
internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika,Psikotropika dan pelaporan
lainnya.
Pencatatan dan pelaporan di apotek Natoro Farma yaitu obat
masuk akan dicatat dibuku pencatatan obat dimana tercantum tanggal
masuk obat, nama obat, jumlah yang dipesan, harga satuan, harga total
dan nomor faktur. Pelaporan dengan cara mencatat semua nama-nama
obat yang keluar dan masuk atau obat yang di beli pasien kemudian
mencatat masing-masing harga dan tiap obat, kemudian dijumlahkan
semua pemasukan, baik obat bebas, bebas terbatas, keras dan
psikotropika.

68
Pelaporan yang dilaksanakan oleh apotek Natoro Farma adalah
laporan penggunaan obat generic, dan laporan penggunaan obat
psikotropika. Laporan obat psikotropika ini bertujuan untuk memantau
penggunaan obat-obat golongan psikotropika sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan. Laporan-laporan ini dibuat tiap 1 bulan sekali dan
ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek, laporan yang telah
dibuat tersebut kemudian diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota
Palu, dengan tebusan kepada :
1. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
2. Kepala BPOM Provinsi Sulawesi Tengah
3. Apotek (sebagai arsip)

4.2 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi Pengkajian dan pelayanan Resep,
Dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), Konseling, Pelayanan
Kefarmasiaan di rumah (Home Phatmasy Care), Pemantauan Terapi Obat
(PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4.3.1 Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi :
1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf
3. tanggal penulisan Resep
4. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi ;

69
a. bentuk dan kekuatan sediaan
b. stabilitas
c. kompatibilitas (ketercampuran Obat)
5. Pertimbangan klinis meliput ;
a. ketepatan indikasi dan dosis Obat
b. aturan, cara dan lama penggunaan Obat
c. duplikasi dan/atau polifarmasi
d. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat,
manifestasi klinis lain)
e. kontra indikasi
f. interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep. Pelayanan Resep
dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
4.3.2 Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal
sebagai berikut :
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep
2. Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep,
3. Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan
fisik Obat.
4. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
5. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:

70
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
c. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi
6. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari
penggunaan yang salah.
7. Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut :
a. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep)
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
8. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
9. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang
terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan Obat dan lain-lain.
10. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil
11. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya
12. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
13. Menyimpan Resep pada tempatnya
14. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir yang telah ditentukan.

71
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
4.3.3 Pelayanan informasi obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat
bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi
khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi,
terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan,
harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain. Kegiatan
Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi :
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan)
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktik profesi
5. Melakukan penelitian penggunaan Obat
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. Melakukan program jaminan mutu. Pelayanan Informasi Obat
harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali
dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi
Obat :

72
a. Topik Pertanyaan
b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan
c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat
telepon)
d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain
seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,
data laboratorium)
e. Uraian pertanyaan
f. Jawaban pertanyaan
g. Referensi
h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan
data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
4.3.4 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami Obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang
perlu diberi konseling :
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui)
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya:
TB, DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus
(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off)

73
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui
dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling :
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui
Three Prime Questions, yaitu :
a. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian
Obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan Obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi
yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir.
4.3.5 Pelayanan Kefarmasian Dirumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan

74
penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang
dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah
4.3.6 Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria
pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan. Kegiata :
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan
pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan
Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien
atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain

75
c. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait
Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi,
pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak
tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi
Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien
dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau
berpotensi akan terjadi
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang
berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan
pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak
dikehendaki
f. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang
telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan
tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat.
4.3.7 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang
biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau
terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik. Monitoring
tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga
pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare
provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang
terjadi.
MESO Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap
Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis

76
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan :
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir. Faktor
yang perlu diperhatikan yaitu Kerjasama dengan tim kesehatan
lain. Dan Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat

77
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan Praktek Kerja Lapangan di Apotek Natoro Farma
mulai tanggal 25 Februari 2019 sampai dengan 24 Maret 2019, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Obat yang dilayani tanpa resep di apotek Natoro Farma yaitu obat bebas,
bebas terbatas dan berbagai suplemen makanan serta obat wajib apotek,
dengan adanya pelayanan obat tanpa resep dokter maka di harapkan pasien
melakukan upaya swamedikasi (upaya mengobati diri sendri tanpa
mengunjungi dokter), pada saat pasien mengalami keluhan ringan seperti
diare, nyeri pusing, batuk, sakit maag, dan penyakit kulit dan lain-lain. maka
apoteker memberikan obat yang sesuai dengan gejalah yang di rasakan
apabila demam di berikan antipiretik, apabila nyeri di berikan analgesik, dan
memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya pasien hamil, menyusui. ada
golongan obat wajib apotek yang tidak boleh di gunakan ibu hamil, bayi dan
lanjut usia, pasien DM, serta pasien yang menggunakan obat rutin harus di
perhatikan interaksi obatnya, dan juga harus mempertimbangkan pasien yang
alergi obat, untuk menghindari masalah dari pasien.apoteker harus
memperhatikan nama obat, kandungan obat, khasiat, kegunaan, cara
pemakaian, efek semping dan interaksi obat yang dapat di baca pada brosur
Apotek Natoro Farma merupakan tempat yang sangat baik untuk
dilakukannya perkerjaan kefarmasian dan pelayanan obat pada masyarakat
karena peserta PKL memperoleh ilmu pelayanan kefarmasian baik itu secara
teori maupun kontak langsuung dengan pasien. Standar pelayanan perbekalan
farmasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatam RI No. 73 Tahun 2016
yaitu dimana Apotek Natoro Farma melakukan pemilihan, perencanaan,
pengadaan, penerimaan, Penyimpanan, Pendistribusian, Monitoring, dan

78
pemusnahan. Pelayanan kefarmasian di apotek Natoro farma menggunakan
pelayanan farmasi klinik yang meliputi pengkajian resep, penyerahan Obat,
dan pemberian informasi obat, pelayanan informasi obat (pio), konseling,
pemantauan dan pelaporan efek samping obat, pemantauan terapi obat, dan
evaluasi penggunaan obat. Sediaan obat yang terdapat pada apotek Natoro
yaitu obat bebas, bebas terbatas, obat keras, obat psikotropika, Obat herbal
tradisional yang terdiri dari obat fitofarmaka, jamu dan obat herbal terstandar,
serta alat kesehatan dan obat habis pakai. Penyimpanan obat di apotek Natoro
menggunakan metode abjad, metode golongan obat dana metode bentuk
sediaan agar mempermudah pencarian obat.

79
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Apotek
Perlu perencanaan pengadaan yang lebih baik pada apotek Natoro
Farma untuk mengatasi kekosongan produk yang terjadi pada apotek.
Saya berharap segala sesuatu yang telah dicapai oleh Apotek Natoro
Farma selama ini harus tetap dipertahankan agar selalu menjadi yang
terbaik.
5.2.2 Saran untuk Akademi Farmasi Tadulako Farma Palu
Sebaiknya modul yang digunakan praktek apotek, puskesmas,
rumah sakit, industry selalu diperbaru yang menyesuaikan denagn
Undang – Undang atau Peraturan Pemerintah yang terbaru, agar
mahasiswa tidak bingung saat mengerjakan tugas khusus yang
diberikan akademi.
5.2.3 Saran Untuk Mahasiswa
Saat menerima resep sebagai asisten apoteker sebaiknya harus
lebih teliti dalam melakukan skrinning resep dan apabila tidak jelas
segera bertanya ke Apoteker, harus selalu sopan pada pasien dan
karyawan apotek serta jangan acuh tak acuh pada sekeliling apotek.

80
DAFTAR PUSTAKA

Firmansyah, M. (2009). Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi dan


Kesehatan. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan
Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik. Jakarta :
kementerian Kersehatan Republik Indonesia
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1993a). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta : Kementerian Kersehatan
Republik Indonesia
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1993b). Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 919/MENKES/PER.X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat
Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta : Kementerian Kersehatan Republik
Indonesia
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/PER/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta:
Kementerian Kersehatan Republik Indonesia
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kersehatan
Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Tentang Registrasi,

81
Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta: Kementerian
Kersehatan Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor
Farmasi. Jakarta: Menteri Kersehatan Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubaha atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Tentang
Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta:
Kementerian Kersehatan Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Jakarta: Kementerian Kersehatan
Republik Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta:
Kementerian Kersehatan Republik Indonesia
Presiden Republik Indonesia. (1976). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang
Narkotika. Jakarta: Peraturan Pemerintahan Indonesia
Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika. Jakarta: Peraturan Pemerintahan Indonesia
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Peraturan Pemerintahan Indonesia
Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Peraturan
Pemerintahan Indonesia

82
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Jakarta.
Setiastuti, A.D. (2012). Laporan Praktek Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma
No. 55 Jalan Kebayoran Lama No. 50 Jakarta Barat Periode 2 April – 12
Mei 2012. Jakarta : Universitas Indonesia.
Tim PKPA PT. Kimia Farma Apotek. (2012). Panduan dan Materi Praktek Kerja
Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma. Jakarta: PT. Kimia Farma Apotek.
Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis Cetakan ke-4. Jakarta: Wira Putra
Kencana.

83

Anda mungkin juga menyukai