Ubaidillah
STIS Al-Maliki Koncer Darul Aman Tenggarang Bondowoso
Ubaidillahmansur17@gmail.com
The birth of the first sharia bank in Indonesia is PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI). However, lately many emerging sharia-based financial institutions other,
cultivated sharia cooperative in the form of BMT. Inside the BMT, we are
familiar with the term buy back or bai' al-wafa'. Bai 'al-wafa' is a buying and
selling is done by someone who need money by selling (real estate/real
property) goods is owned by agreement if he can pay (the price) then he can
take back the goods while the legal basis bai 'al-wafa' according to Hanafi
Madzhab is istihsan. Istihsan is the turning of a mujtahid from qiyas street jaly
(real) to qiyas the khafi (vague) or the turning of a mujtahid from law kulli
(general) to the law istitsna`i (limit) because it crossed their minds there is a
superior proposition.
149
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
meningkatkan mutu layanannya dan ditentukan telah tiba (Haroen, 2007: 157).
mengembangkan usahanya serta Untuk akad ini, lebih banyak dipergunakan
menetapkan kebijakan yang terbaik bagi oleh pihak BMT Sidogiri dan mendapatkan
koperasi itu sendiri. Untuk mencapai hal respon yang positif dari kalangan
seperti itu tentu saja dibutuhkan dana yang masyarakat.
tidak sedikit. Di sisi lain seringkali koperasi Kronologi akad bai’ al-wafa’ di BMT
dihadapkan pada masalah itu sendiri karena Sidogiri Cabang Bondowoso adalah yang
jarang sekali ada koperasi yang mampu dilakukan oleh nasabah dengan cara
memenuhi dananya sendiri tanpa adanya menjual barang ke BMT dan oleh koperasi
bantuan dari pihak lain misalnya disyaratkan agar dibeli kembali pada waktu
pengelolaan dan penghimpunan dana dari yang telah ditentukan sudah tiba. Dari
masyarakat. Namun, penghimpunan dana proses akad sampai waktu jatuh tempo,
dari masyarakat ini tidaklah serta merta barang yang telah dibeli BMT disewakan
didapatkan dengan mudah untuk kepada penjual pertama (nasabah).
mengumpulkannya. Dalam pengaplikasian akad bai’ al-
Berkembangnya suatu zaman wafa’, pihak BMT Sidogiri untuk
menjadikan lembaga keuangan syariah mendapatkan sebuah keuntungan dari suatu
belakangan ini semakin banyak dan menjadi pembiayaan maka dengan cara
tumpuan perekonomian masyarakat menyewakannya kepada nasabah yang
menengah ke bawah. Untuk wilayah Jawa menjualnya. Karena akad sewa (ijarah)
Timur, BMT ini tersebar di mana-mana. adalah akad timbal balik maka ijarah tidak
Mulai dari BMT yang merupakan sah dengan upah yang belum diketahui,
dibentukan dari alumni pondok pesantren sama seperti jual beli. Upah dalam ijarah itu
Sidogiri maupun juga BMT yang dibentuk sama dengan harga dalam jual beli (Qal’ahji,
oleh pesantren lainnya. 1999: 178).
Di Bondowoso sekarang marak Gambaran nyata pada pembiayaan
hutang-piutang dengan berbagai sistem. bai’ al-wafa’ di BMT Sidogiri cabang
Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah Bondowoso seperti yang dilakukan oleh
seperti BMT Sidogiri Cabang Bondowoso nasabah seperti berikut ini: Seorang nasabah
menjadi serbuan atau tumpuan masyarakat bernama H. Lutfi bertempat tinggal di Desa
untuk melakukan pinjaman (pembiayaan). Tangsil Wetan RT. 07 RW. 03 Kecamatan
Lembaga keuangan tersebut berbasis syariah Wonosari Kabupaten Bondowoso
yang kita kenal lembaga bebas dari bunga. mengajukan pembiayaan bai’ al-wafa’ yaitu
Salah satu bentuk produk yang menjual sepeda motor Jupiter Z dengan
disalurkan BMT Sidogiri pada akhir-akhir NOPOL (Nomor Polisi) P 6838 DT seharga
ini yang sangat mendominasi dari pada Rp 5.000.000 kepada pihak BMT, akan tetapi
pembiayaan yang lain adalah akad buy back sepeda tersebut tidak berada di tempat pada
atau yang dikenal dalam koperasi syariah waktu akad. Karena dipakai oleh anaknya
bai’ al-wafa’ (Hafid-Kepala Cabang, yang kuliah di Surabaya. Setelah itu oleh
Wawancara 19 Mei 2018). Bai’ Al-Wafa’ BMT, disewakan kepada nasabah (H. Lutfi)
adalah Jual beli yang dilangsungkan dua selama 6 bulan dengan besaran biaya
pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa sewanya adalah Rp 150.000 perbulannya.
yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh Dan nanti kalau sudah punya uang,
penjual, apabila tenggang waktu yang telah
150
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
151
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
orang-orang yang sedang memainkan peran ditetapkan. Secara umum terdapat tiga
tertentu; activity, atau kegiatan yang macam teknik pengumpulan data, yaitu:
dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial A. Observasi
yang sedang berlangsung (Sugiyono, 2010: Dalam kamus ilmiah populer,
229). observasi adalah pengamatan,
Secara umum, sumber data dalam pengawasan, peninjauan, penyelidikan
sebuah penelitian terbagi menjadi dua dan riset (Al-Barry, 1994: 533). Jadi,
macam, yakni: peneliti melakukan pengamatan
A. Sumber Data Primer terhadap penerapan akad bai’ al-wafa’
Sumber data primer dalam serta implikasi konsistensi bermadzhab
pembahasan ini adalah berupa kata-kata di BMT Sidogiri agar peneliti
dan tindakan-tindakan yang didapat memperoleh informasi yang valid
melalui wawancara, mendengar atau (Arikunto, 2006: 222). Sedangkan
melihat langsung terhadap praktik dan menurut Dr. Nawawi Tabrani
hukum dalam bai’ al-wafa’ pada mengatakan bahwa observasi di arahkan
muamalah modern sekarang ini serta pada kegiatan memperhatikan secara
implikasi konsistensi bermadzhab akurat, mencatat fenomena yang
(Sugiyono, 2009: 62). Data ini diperoleh muncul, terutama dalam disiplin ilmu,
secara langsung dari objek penelitian baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
perorangan, kelompok, dan organisasi sosial (Nawawi, 2014: 92).
(Ruslan, 2003: 29). B. Wawancara
B. Sumber Data Sekunder Wawancara adalah teknik
Untuk memperkaya dan pengumpulan data yang dilakukan
memperluas pembahasan, maka peneliti melalui pertanyaan-pertanyaan atau
juga menggunakan sumber pendukung tanya jawab secara lisan (Sugiyono, 2009:
tersebut, yaitu sumber-sumber atau 72). Pertanyaan-pertanyaan tersebut
literatur-literatur yang membahas objek ditujukan kepada orang-orang yang
kajian ini (Sugiyono, 2009: 62). Misalnya secara langsung menggunakan akad ba’i
kitab-kitab klasik, buku-buku al-wafa’ di lokasi penelitian, yaitu di BMT
kontemporer yang membahas tentang Sidogiri Cabang Bondowoso. Sehingga
hukum bai’ al-wafa’ seperti Fiqhul Islami data yang didapat oleh penulis adalah
wa Adilatuhu, karya dari Prof. Dr. Wahbah data yang valid, serta sesuai dengan
al-Zuhaily, Raddu Al-Mukhtar ‘Ala Al-dari realita.
al-Mukhtar Syarh al-Tanwir al-abshar karya C. Dokumentasi
ibn Abidin. Menurut pendapat Guba dan
lincoln dia mendefinisikan dokumen
sangat berbeda dengan record. Record
Prosedur Pengumpulan Data adalah setiap pernyataan secara tertulis
yang disusun oleh seseorang atau
Teknik pengumpulan data lembaga untuk keperluan pengujian
merupakan langkah yang paling strategis suatu peristiwa (Moleong, 2013: 217).
dalam penulisan karena tujuan utama dari Dokumen dibagi menjadi dua bagian,
penulisan adalah mendapatkan data. Tanpa Pertama, dokumen pribadi yaitu catatan
mengetahui teknik pengumpulan data, atau karangan seseorang secara tertulis
maka peneliti tidak akan mendapatkan data tentang tindakan, pengalaman dan
yang memenuhi standar data yang kepercayaan yang dimasud dari
dukumen. Untuk memperoleh kejadian
152
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
nyata tentang situasi sosial dan arti banyak pula para peminjam uang tidak
berbagai faktor di sekitar subyek mampu melunasi utangnya akibat imbalan
penelitian. Jika guru atau peneliti menta yang harus mereka bayarkan. Sementara
siswanya untuk menuliskan menurut Ulama fiqh, imbalan yang
pengalaman yang berkesan kepada diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang
mereka hal itu yang di maksud dokumen termasuk riba. Karena akad bai’ al-wafa’ sejak
pribadi. Kedua, dokumen resmi adalah semula telah ditegaskan sebagai jual beli,
terbagi atas internal dan eksternal. maka dengan bebas pembeli memanfaatkan
Dokumen internal berupa memo, barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak
pengumuman, intruksi, aturan suatu boleh menjual barang itu kepada orang lain
lembaga masyarakat tertentu yang kecuali pada penjual semula, karena jaminan
digunakan dalam kalangan sendiri. yang berada di tangan pemberi utang
Termasuk didalamnya risalah atau merupakan jaminan utang selama tenggang
laporan rapat, keputusan pemimpin waktu yang disepakati tersebut. Apalagi
kantor, dokumen demikian dapat pihak yang berutang telah mempunyai uang
memberikan informasi tentang keadaan untuk melunasi hutangnya sebesar harga
aturan, disiplin, dan dapat memberikan jual semula pada saat tenggang waktu jatuh
petunjuk tentang gaya kepemimpinan. tempo, barang tersebut harus diserahkan
Dokumen eksternal berisi bahan-bahan kembali kepada penjual. dengan cara bai’ al-
informasi yang dihasilkan oleh suatu wafa’ ini, kemungkinan terjadinya riba dapat
lembaga sosial misalnya majalah, dihindarkan (Mardani, 2015: 178).
buletin, pernyataan, dan berita yang
disiarkan kepada media massa.
Dokumen eksternal dapat dimanfaatkan Pengertian Bai’ al-Wafa’
untuk menelaah konteks sosial
kepeminpinan (Moleong, 2013: 219). Pengertian bai’ al-wafa’ Secara
etimologis, bai’ berarti jual beli dan al-wafa’
berarti pelunasan hutang/penutupan
Bai’ al-Wafa’ hutang. Secara terminologis, bai’ al-wafa’
berarti jual beli bersyarat. Barang yang dijual
Akad bai’ al-wafa’ sebenarnya berawal dapat ditebus kembali jika tenggang
dari hutang piutang atau pinjam meminjam, waktunya tiba (Ihsan, 2005: 278). Ada juga
yang ketika itu amat sulit tanpa ada imbalan yang berpendapat bahwa dalam kitab
dari yang berutang atau yang meminjam. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bai’ al-
Dalam menghindari riba, masyarakat wafa’ (jual beli dengan hak membeli kembali)
Bukhara dan Balkh (selatan Rusia) adalah jual beli yang dilangsungkan dengan
menciptakan semacam akad, yang secara syarat bahwa barang dijual tersebut dapat
sepintas berbentuk jual beli, tetapi dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang
hakikatnya adalah pinjam meminjam waktu yang disepakati telah tiba (Mardani,
dengan imbalan jasa. Dalam rangka 2015: 178).
menghindari terjadinya riba dalam pinjam- Adapun definisi Bai’ al-Wafa’ menurut
meminjam, masyarakat Bukhara dan Balkh beberapa pendapat sebagai berikut:
ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual A. Sedangkan definisi Bai’ al-Wafa’ menurut
beli yang dikenal kemudian dengan bai’ al- kitab fiqh riba Dr. Abdul Azhim
wafa’. banyak di antara orang kaya ketika itu Jalaluddin Abu Zaid, Seseorang menjual
tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada sebuah benda seharga 1000 dengan
imbalan yang mereka terima. Sementara syarat jika penjual itu mengembalikan
153
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
154
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
Dasar Hukum Bai’ al-Wafa’ karena jual beli adalah akad yang
mengakibatkan perpindahan hak milik
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa secara sempurna dari penjual ke
dan Abdurrahman Asha-buni dalam pembeli.
sejarahnya. Bai’ al-Wafa’ baru mendapatkan B. Dalam jual beli tidak boleh ada syarat
justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan bahwa barang yang dijual itu harus
beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli dikembalikan oleh pembeli ke penjual
ini telah berlangsung beberapa lama dan semula, apabila ia telah siap
akad bai’ al-wafa’ ini telah menjadi adat mengembalikan uang seharga jual
kebiasaan (urf) masyarakat Bukhara dan semula (HR. Muslim, An-Nasa’i, Abu
Balkh, baru kemudian para ulama fiqh, Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasi C. Bentuk jual beli ini tidak ada di zaman
bentuk jual beli ini. Imam Nazmuddin An- Rasulullah SAW maupun di zaman
Nasafi (461-573 H), seorang ulama sahabat.
terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara, D. Jual beli ini merupakan hilah yang tidak
mengatakan: “Para syekh kami (Hanafi) sejalan dengan maksud syara’ dan
membolehkan bai’ al-wafa’ sebagai jalan persyariatan jual beli (Haroen, 2007: 156).
keluar dari riba (Mardani, 2015: 180). Namun, para ulama muta’akhirin
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fikih (generasi belakangan) dapat menerima baik
dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari bentuk jual beli ini, dan menganggapnya
segi sosio-historis, kemunculan bai’ al-wafa’ sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan
di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan hukum positif dalam majalah Kodifikasi
Balkh pada pertengahan abad ke-5 H Hukum Perdata Turki Ustmani (al-ahkam
disebabkan keengganan para pemilik modal al’adhliyah) yang disusun pada tahun 1287 H.
untuk memberi utang kepada orang-orang Begitupun dalam hukum positif Indonesia
yang membutuhkan uang jika mereka tidak bai’ al-wafa’ telah diatur didalam Kompilasi
mendapat imbalan. Hal ini menyulitkan Hukum Ekonomi Syariah Pasal 112 s/d 115
masyarakat yang membutuhkan. keadaan (Mardani, 2015: 181).
ini membawa mereka untuk membuat akad Begitu pula dalam Hukum Positif
tersendiri, sehingga kebutuhan masyarakat Indonesia bai’ al-wafa’ telah diatur dalam
terpenuhi dan keinginan orang kaya pun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal
terayomi (Mardani, 2015: 180). Jalan keluar 112 s/d 115.
yang mereka ciptakan ialah bai’ al-wafa’. Pasal 112
dengan cara ini, demikian Az-Zarqa, disatu 1) Dalam jual beli yang bergantung
pihak kebutuhan masyarakat lemah pada hak penebusan, penjual dapat
terpenuhi, sementara pada saat yang sama uang seharga barang yang dijual dan
mereka terhindar dari praktik riba. dapat menuntut barangnya
Jalan fikiran ulama Madzhab Hanafi dikembalikan.
dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ 2) Pembeli sebagaimana diatur dalam
al-wafa’ didasarkan pada istihsan ‘urfi ayat (1) yaitu berkewajiban
(menjustifikasi suatu permasalahan yang mengembalikan barang dan
telah berlaku umum dan berjalan baik di menuntut uangnya kembali seharga
tengah-tengah masyarakat). Akan tetapi barang itu.
ulama fiqih lainnya tidak bisa melegalisasi Pasal 113
bentuk jual beli ini, alasan mereka adalah: Barang dalam jual beli yang
A. Dalam suatu akad jual beli tida bergantung pada hak penebusan,
dibenarkan adanya tenggang waktu, tidak boleh dijual kepada pihak lain,
155
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
156
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
Cuma ia tidak boleh menjual asset itu Perbedaan bai’ al-wafa’ dengan gadai (rahn)
kepada orang lain. Hal ini disebut ba’i antara lain:
maushufah bil dzimmah. artinya, jual beli yang No Rahn Bai’ al-wafa
disifati dengan tanggungan menjual kembali Pembeli tidak Pembeli
kepada penjual semula, yakni pembeli sepenuhnya sepenuhnya
berkewajiban menjual kembali asset itu memiliki memiliki barang
kepada penjual semula 1
barang yang yang dibeli, tetapi
(http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/, dibeli mausufah biz
diakses pada tanggal 24 April 2017). zimmah
Barang gadaian Barang yang sudah
tidak boleh dibeli bebas
Perbedaan Bai’ al-Wafa’ dengan Rahn dimanfaatkan dimanfaatkan
Perbeaan antara bai’ al-wafa’ dengan penerima pembeli selama
rahn adalah sebagai berikut: 2 gadai, kecuali jangka waktu yang
A. Dalam akad rahn pembeli tidak hewan disepakati
sepenuhnya memiliki barang yang dibeli kenderaan dan
(karena harus dikembalikan kepada atau izin
penjual). Sedangkan dalam bai’ al-wafa’, pemilik
barang itu sepenuhnya menjadi milik Biaya yang Biaya yang
pembeli selama tenggang waktu yang diperlukan diperlukan untuk
disepakati. untuk pemeliharaan
B. Dalam akad rahn, jika barang yang pemeliharaan barang menjadi
digadaikan (marhun) rusak selama di 3
barang gadaian tanggung jawab
tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi pembeli
menjadi tanggung jawab pemegang tanggung jawab
barang. Sedangkan dalam bai’ al-wafa’, pemilik barang
apabila kerusakan itu bersifat total
Status asset Status asset
(rusak parah), baru menjadi tanggung
tetap milik menjadi milik
jawab pembeli. Apabila kerusakannya
4 yang pembeli selama
tidak parah, maka hal itu tidak merusak
menggadaikan jangka waktu yang
akad.
disepakati
C. Dalam akad rahn segala biaya yang
Jika barang Jika barang rusak
diperlukan untuk pemeliharaan barang
gadaian rusak sedikit, akad tetap
menjadi tanggung jawab pemilik barang,
menjadi berlangsung,
sedangkan dalam bai’ al-wafa’ biaya
tanggung jawab kecuali rusak
pemeliharaan sepenuhnya menjadi 5
penerima parah atau rusak
tanggung jawab pembeli, karena barang
gadaian, baik total.
itu telah menjadi miliknya selama
rusak kecil atau
tenggang waktu yang telah disepakati.
besar
D. Kedua belah pihak tidak boleh
memindah tangankan barang itu ke
Sedangkan Persamaan antara Bai’ al-
pihak ketiga (Mardani, 2015: 182).
wafa dan gadai (Rahn), antara lain:
No Persamaan
Kedua belah pihak sama-sama tidak
1 boleh memindah tangankan barang itu
kepada pihak ketiga
157
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
Baik rahn maupun bai’ al-wafa’, pihak I makna. Pertama, Istihsan adalah
(penjual/penggadai) sama-sama berpalingnya seorang mujtahid dari
2
mendapatkan uang dengan tuntutan qiyas yang jaly (nyata) kepada
menyerahkan barang tuntutan qiyas yang khafi (samar). Kedua,
Jika terjadi kerusakan barang, maka berpalingnya seorang mujtahid dari hukum
kerusakan itu ditanggung murtahin kulli (umum) kepada hukum istitsna`i
3 (pengecualian) karena terlintas dalam
dan pembeli, kecuali yang rusak
sedikit (sesuai ‘urf) pikiran mereka ada dalil yang dianggap
Ketika hutang (uang penjualan) lebih unggul. Ketiga, berpalingnya seorang
dikembalikan kepada pembeli (pada mujtahid dari kehendak hukum dzahir (jelas)
4 saat jatuh tempo) maka pembeli wajib kepada kehendak hukum khafi (samar) sebab
memberikan barang kepada penjual ada dalil yang unggul menurut pandangan
semula para mujtahid untuk berpindah pada
hukum yang khafi (samar) (Khallaf, 1994: 79-
80).
Istihsan Menurut Imam Abu al-Hasan al-
Karhi, istihsan adalah penetapan hukum
Imam Hanafi menyebut istihsan dari seorang mujtahid terhadap suatu
merupakan salah satu macam dari qiyas. masalah yang menyimpang dari ketetapan
Berarti istihsan adalah qiyas khafi yang hukum yang diterapkan pada masalah-
berada di hadapan qiyas jaly. Dinamakan masalah yang serupa, karena ada alasan
demikian karena menunjukkan bahwa qiyas yang lebih kuat yang menghendaki
khafi lebih diutamakan untuk diamalkan penyimpangan itu (Zahrah, 2005: 401).
(Zuhaily, 1990: 735, juz II). Sedangkan menurut Ibnul Anbary,
Beda halnya dengan penyebutan Seorang ahli fiqh Madzhab Maliky,
istihsan menurut Malikiyah dan Hanabilah. memberikan definisi bahwa, istihsan ialah
Imam Malik mengatakan bahwa istihsan memilih menggunakan maslahat juz’iyyah
termasuk sembilan puluh persen dari yang berlawanan dengan qiyas kully. Definisi
seluruh ilmu. Sedangkan menurut Imam ini seirama dengan definisi yang
Asbagh, beliau mengatakan istihsan dikemukakan oleh Ibnu Rush yang
terkadang lebih umum dari pada qiyas. mengatakan bahwa, istihsan adalah
Kemudian Imam Syafi’i dalam kitab mengesampingkan dalil qiyas yang
ushulnya (al-Risalah) menolak adanya menjurus ke arah pemakaian yang
istihsan, beliau mengatakan “Barang siapa berlebihan sehingga perlu dihindarkan
yang memutuskan hukum berdasarkan istihsan, kepada kasus-kasus tertentu karena adanya
maka sebenarnya dia telah membuat-buat syariat kondisi khusus yang dapat mempengaruhi
baru” (Nahe’i & Juandi, 2010: 114). ketentuan hukumnya (Zahrah, 2005: 402).
158
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
ُ َ
َ ِ َّ ٱ َّ ِ َ َ ۡ َ ِ ُ َن ٱ ۡ َ ۡ َل َ َ َّ ُ َن أ ۡ َ َ ُ ۚ ٓۥ أ ْو َٓ ٰ َ ٱ terhadap penggunaan istihsan (Yasid, 2010:
ِ ِ
41-42).
ۡ َ ۡ ْ ُ ْ ُ ۡ ُ َ َٓ ْ ُ َ ُ َّ ُ ُ ٰ َ َ
١٨ ِ ٰ َ
Macam-Macam Istihsan
أو ا ٱ ِ ٰ ٱ ۖ وأو
Syaikh Ibnu Araby membagi istihsan
Artinya: “mereka yang menjadi empat macam, yaitu:
mendengarkan perkataan lalu A. Meninggalkan dalil karena urf
mengikuti apa yang paling baik di B. Meninggalkan dalil karena ijma’
antaranya. Mereka itulah orang- C. Meninggalkan dalil karena ada maslahah
orang yang diberi petunjuk oleh allah D. Meninggalkan dalil karena untuk
dan mereka itulah orang-orang yang meringankan dan menghindarkan
mempunyai akal” (QS. al-Zumar: 18). kesilitan (musyaqah) (Zahrah, 2005: 402).
َ ُ ُ َ ْ ُ ُ ۡ َ ََۡ ۡ
ۡ د َار َ ْو ِر ۚ َ ِ َ ۡ ِ َ وا ۡ ُ َوأ
... Analisi Hukum Bai’ al-Wafa’ di BMT
Sidogiri Cabang Bondowoso
َۡ
١٤٥ َ ِ ِ ٰ ٱ
Bai’ al-wafa’ memang merupakan jual
beli yang masih diperselisihkan dikalangan
Artinya: “… suruhlah kaummu
ulama. Sehingga para ulama memberikan
berpegang pada perintah-perintah
hukum yang berbeda-beda terhadap akad
yang sebaik-baiknya. Akan aku
bai’ al-wafa’ ini, Di antaranya: Ibnu Abidin
perlihatkan padamu kelak negeri
dalam kitabnya yang berjudul Raddul
orang-orang fasik” (QS. al-A’raf:145).
Muhtar, beliau berpendapat bahwa hukum
jual beli al-wafa’ diperbolehkan, dengan
ﻣﺎ راﻩ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪاﻟﻠﻪ ﺣﺴﻦ )رواﻩ alasan untuk menghindarkan masyarakat
dari perbuatan riba dalam pinjam-
(اﺣﻤﺪ
meminjam. Hal itu dikarenakan, di antara
orang kaya ketika itu tidak mau
Hadits Nabi yang artinya: sesuatu meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan
yang oleh orang Islam dianggap baik, yang mereka terima. Sementara banyak para
maka menurut Allah juga baik.(HR peminjam uang tidak mampu melunasi
Imam Ahmad). hutangnya akibat imbalan yang harus
mereka bayarkan bersama dengan sejumlah
Istihsan dengan pengertian di atas uang yang mereka pinjam. Hal ini membuat
sesungguhnya diamalkan oleh hampir kesulitan bagi masyarakat yang
semua fuqaha’ al-qudama (juris Islam memerlukan. Keadaan ini membawa mereka
terdahulu). Oleh karena itu, tidak perlu untuk menciptakan sebuah akad tersendiri,
dipertentangkan lagi lantaran ia dilandaskan sehingga keperluan masyarakat terpenuhi
pada nalar ijtihad dengan pijakan dalil yang dan keinginan orang-orang kayapun
dapat dipertanggungjawabkan secara terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan
akademis. Kondisinya menjadi berbeda jika itu adalah bai’ al-wafa’.
istihsan dimaknai penganggapan baik oleh Ibnu Abidin mengatakan, ketika
mujtahid tanpa sandaran dalil apapun, baik kedua orang membatalkan perjanjian
berupa Al-qur’an, sunnah, ijma’, maupun sebelum akad selesai, ataupun mengira
qiyas. Pemaknaan seperti ini wajar jika bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak
berujung pada penolakan secara keras lazim, maka jual beli tersebut dinyatakan bai’
159
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
fasid. Namun, ketika melakukan perjanjian bai’ al-wafa’ ini terdiri atas dua bentuk yaitu:
sebelum akad jual beli, setelah itu baru pertama, pada saat akad terjadi itu
melakukan akad jual beli yang tidak merupakan jual beli. Kedua, Diakhir akad,
menyebutkan kata wafa’ di dalamnya, maka bai’ al-wafa’ ini seperti gadai, karena dengan
perjanjian dihukumi boleh. Bahkan ketika jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah
perjanjian tersebut ingin diteruskan, maka pihak, penjual harus mengembalikan uang
kedua belah pihak wajib untuk pembeli sejumlah harga yang diserahkan
menyempurnakannya. Hal itu disebabkan pada awal akad, dan pembeli harus
dalam suatu perjanjian terkadang terdapat mengembalikan barang yang dibelinya itu
ketetapan akan kebutuhan masyarakat yang kepada pejual secara utuh. Dari sini terlihat
mendesak. bahwa bai’ al-wafa’ diciptakan dalam rangka
Ulama Hanafiyah juga berpendapat, menghindari riba, sekaligus sarana tolong
bahwa jual beli al-wafa’ adalah sama dengan menolong antara pemilik modal dan orang
gadai (rahn), dan bukan jual beli (bai’), maka yang membutuhkan uang dalam jangka
hukum bai’ sama seperti hukum gadai. waktu terentu. Oleh sebab itu, ulama
Argumentasi mereka adalah bahwa yang Mazhab Hanafi menganggap bai’ al-wafa’
dijadikan pegangan dalam transaksi- adalah sah dan tidak termasuk dalam
transaksi adalah maknanya, bukan lafadz larangan Rasulullah SAW yang melarang
dan bentuknya (strukturnya). Sementara, jual beli yang dibarengi dengan syarat.
Sayid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta
“Fiqh Sunnah” mengatakan, bahwa bai’ al- itu harus dikembalikan kepada pemilik
wafa’ hukumnya sama dengan hukum semula, namun pengembaliannya itupun
penggadaian. Sayid Sabiq juga mengatakan melalui akad jual beli. Disamping itu, inti
bahwa ada beberapa ulama yang dari jual beli ini adalah dalam rangka
mengatakan bahwa akad bai’ al-wafa’ disebut menghidarkan masyarakat melakukan suatu
dengan akad rahn dan ada pula yang transaksi ynag mengandung riba. Kemudian
mengatakan dengan sebutan jual beli, dalam proses pemanfaatan objek akad
karena pembeli bisa memanfaatkan dari (barang yang dijual), statusnya tidak sama
barang yang dibeli. Di satu sisi, ada juga dengan rahn, karena barang tersebut benar-
yang mengatakan, kata-kata bai’ tidak benar telah dijual kepada pembeli.
disebut akad rahn. Seseorang yang telah membeli suatu barang
Dari buku ensiklopedia fiqh juga berhak sepenuhnya memanfaatkan barang
disebutkan, bahwa jual beli al-wafa’ adalah tersebut. Hanya saja, barang itu harus dijual
termasuk gadai (rahn), tetapi tidak dilihat kembali kepada penjual semula seharga
sebagai bagian dari kategori transaksi penjualan pertama. Menurut mereka, inipun
kontemporer yang diperbolehkan oleh bukan suatu cacat dalam jual beli.
sebagian fuqaha terdahulu. Dilihat dari sisi Berbeda dengan Ibnu Tamiyah
barang yang menjadi jaminan harus kembali memandang jual beli ini tidak sah. Ia
lagi kepada pemilik harta, akad ini mirip mengatakan, jual beli yang dipraktikkan
dengan rahn, tapi jika dilihat dari sisi bahwa oleh sebagian masyarakat tampak seperti
harta yang menjadi jaminan tersebut bebas jual beli amanah, apabila uang dikembalikan
untuk diambil manfaatnya oleh penerima maka barang dikembalikan. Maka jual beli
jaminan, akad ini mirip dengan bai’. ini adalah jual beli bathil menurut para imam
Sehingga jual beli ini merupakan jual beli Ibnu Taimiyah, baik dengan persyaratan
khusus. yang disebutkan dalam waktu akad maupun
Menurut abdul Hafidz selaku Dewan melalui kesepakatan sebelum akad.
Pengawas Syariah, mengatakan bahwa akad Demikian disampaikan oleh Ibnu Tamiyah
160
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
161
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’
162
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018
Effendi, S., & Zein, M. (2012). Ushul Fiqh, Yasid, A. (2010). Aspek-aspek Penelitian
Jakarta: Kencana Prenada Media Hukum, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Group. Zahra, M. A. (2005). Ushul Fiqh, Jakarta:
Hafid (Kepala Cabang), Wawancara, Pustaka Firdaus.
Bondowoso , 19 Mei 2018. Zaid, A. A. J. A. (2011). Fiqh Riba, Jakarta:
H. Lutfi (Nasabah), Wawancara, Bondowoso, Senayan Publishing.
29 Mei 2018. Zuhaily, W. (1990). Ushul Fiqh Islamy, Bairut:
Haroen, N. (2007). Fiqh Muamalah, Jakarta: Dar al-Fikr.
Gaya Media Pratama.
Ihsan, A. B. (2005). Ensiklopedi Islam, Jakarta :
PT. Intermasa.
Khallaf, A. W. (1994). Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang.
Kasmir. (2012). Dasar-Dasar perbankan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mardani. (2012). Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqih
Muamalah, Jakarta: Prenada Kencana
Group.
Martono. (2002). Bank & Lembaga Keuangan
Lain, Yogyakarta: Ekonisia.
Moleong, P. L. J. (2013). Metode Penelitian
Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nahe’i, I., & Juandi, W. (2010). Revitalisasi
Ushul Fiqh, Situbondo: Ibrahimy Press.
Nawawi. (2014). Metodologi Penelitian Hukum
Islam. Malang: Genius Media.
Qal’ahji, M. R. (1999). Ensiklopedi Fiqh Umar
bin Khattab, Terj. M. Abdul Mujieb,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ridwan, M. (2004). Manajemen Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press.
Ruslan, R. (2003). Metode Penelitian: Public
Relation Dan Komunikasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sabiq, S. (2009). Fiqh As-sunnah, Kuala
Lumpur: Al-Hidayah Publication.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian
Pendidikan, Bandung: CV. Alvabeta.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
Bandung: Alfabet.
Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian
Kualitatif: dilengkapi dengan contoh
proposal dan laporan penulisan.
Bandung: CV. Alfabeta.
163