Anda di halaman 1dari 15

Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

TINJAUAN ISTIHSAN TERHADAP BAI’ AL-WAFA’ DI BAITUL MAAL


WA TAMWIL SIDOGIRI CABANG BONDOWOSO

Ubaidillah
STIS Al-Maliki Koncer Darul Aman Tenggarang Bondowoso
Ubaidillahmansur17@gmail.com

The birth of the first sharia bank in Indonesia is PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI). However, lately many emerging sharia-based financial institutions other,
cultivated sharia cooperative in the form of BMT. Inside the BMT, we are
familiar with the term buy back or bai' al-wafa'. Bai 'al-wafa' is a buying and
selling is done by someone who need money by selling (real estate/real
property) goods is owned by agreement if he can pay (the price) then he can
take back the goods while the legal basis bai 'al-wafa' according to Hanafi
Madzhab is istihsan. Istihsan is the turning of a mujtahid from qiyas street jaly
(real) to qiyas the khafi (vague) or the turning of a mujtahid from law kulli
(general) to the law istitsna`i (limit) because it crossed their minds there is a
superior proposition.

Kata Kunci: istihsan, bai’ al-wafa’, baitul maal wa tamwil


………………………….………………………………………………………………………………...

Pendahuluan koperasi seperti Bank Syariah Mandiri


(BSM), BPR syariah, Pengadaian Syariah dan
Masyarakat Indonesia merupakan Koperasi Syariah yang berbentuk BMT.
masyarakat Muslim terbesar di Dunia. BMT merupakan kependekan dari
Namun lembaga keuangan syariah dilihat baitul maal wat tamwil. Secara harfiah baitul
dari sejarahnya masih relatif baru. Sekitar maal berarti rumah dana dan baitut tamwil
tahun 1990-an. Namun, diskusi tentang bank berarti rumah usaha. Dengan demikian
syariah sebagai basis ekonomi Islam sudah dapat disimpulkan bahwa BMT merupakan
mulai dilakukan pada awal tahun 1980. lembaga keuangan syariah yang berperan di
Sedangkan prakarsa yang mendirikan bank bidang bisnis dan juga berperan sosial
syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis (Ridwan, 2004: 126).
Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus Pada dasarnya setiap koperasi selalu
1990 (Kasmir, 2012: 244). menginginkan dapat bekerja efektif,
Lahirnya bank syariah pertama kali di sehingga dalam pengelolaannya koperasi-
Indonesia yang merupakan hasil kerja tim koperasi tersebut harus optimal. Namun
perbankan MUI yaitu PT Bank Muamalat manajemen koperasi tidak cukup puas
Indonesia (BMI) yang akte pendiriannya dengan hanya mencapai hal itu saja, mereka
ditanda tangani pada tanggal 1 November juga menginginkan koperasi tersebut dapat
1991 (Antonio, 2001: 25). Namun, Akhir- bertahan hidup dan sukses (Martono, 2002:
akhir ini banyak bermunculan lembaga 12).
keuangan yang berbasis syariah lainnya, di Agar koperasi tersebut dapat tetap
antaranya ada yang berbentuk bank maupun bertahan hidup, maka harus berusaha

149
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

meningkatkan mutu layanannya dan ditentukan telah tiba (Haroen, 2007: 157).
mengembangkan usahanya serta Untuk akad ini, lebih banyak dipergunakan
menetapkan kebijakan yang terbaik bagi oleh pihak BMT Sidogiri dan mendapatkan
koperasi itu sendiri. Untuk mencapai hal respon yang positif dari kalangan
seperti itu tentu saja dibutuhkan dana yang masyarakat.
tidak sedikit. Di sisi lain seringkali koperasi Kronologi akad bai’ al-wafa’ di BMT
dihadapkan pada masalah itu sendiri karena Sidogiri Cabang Bondowoso adalah yang
jarang sekali ada koperasi yang mampu dilakukan oleh nasabah dengan cara
memenuhi dananya sendiri tanpa adanya menjual barang ke BMT dan oleh koperasi
bantuan dari pihak lain misalnya disyaratkan agar dibeli kembali pada waktu
pengelolaan dan penghimpunan dana dari yang telah ditentukan sudah tiba. Dari
masyarakat. Namun, penghimpunan dana proses akad sampai waktu jatuh tempo,
dari masyarakat ini tidaklah serta merta barang yang telah dibeli BMT disewakan
didapatkan dengan mudah untuk kepada penjual pertama (nasabah).
mengumpulkannya. Dalam pengaplikasian akad bai’ al-
Berkembangnya suatu zaman wafa’, pihak BMT Sidogiri untuk
menjadikan lembaga keuangan syariah mendapatkan sebuah keuntungan dari suatu
belakangan ini semakin banyak dan menjadi pembiayaan maka dengan cara
tumpuan perekonomian masyarakat menyewakannya kepada nasabah yang
menengah ke bawah. Untuk wilayah Jawa menjualnya. Karena akad sewa (ijarah)
Timur, BMT ini tersebar di mana-mana. adalah akad timbal balik maka ijarah tidak
Mulai dari BMT yang merupakan sah dengan upah yang belum diketahui,
dibentukan dari alumni pondok pesantren sama seperti jual beli. Upah dalam ijarah itu
Sidogiri maupun juga BMT yang dibentuk sama dengan harga dalam jual beli (Qal’ahji,
oleh pesantren lainnya. 1999: 178).
Di Bondowoso sekarang marak Gambaran nyata pada pembiayaan
hutang-piutang dengan berbagai sistem. bai’ al-wafa’ di BMT Sidogiri cabang
Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah Bondowoso seperti yang dilakukan oleh
seperti BMT Sidogiri Cabang Bondowoso nasabah seperti berikut ini: Seorang nasabah
menjadi serbuan atau tumpuan masyarakat bernama H. Lutfi bertempat tinggal di Desa
untuk melakukan pinjaman (pembiayaan). Tangsil Wetan RT. 07 RW. 03 Kecamatan
Lembaga keuangan tersebut berbasis syariah Wonosari Kabupaten Bondowoso
yang kita kenal lembaga bebas dari bunga. mengajukan pembiayaan bai’ al-wafa’ yaitu
Salah satu bentuk produk yang menjual sepeda motor Jupiter Z dengan
disalurkan BMT Sidogiri pada akhir-akhir NOPOL (Nomor Polisi) P 6838 DT seharga
ini yang sangat mendominasi dari pada Rp 5.000.000 kepada pihak BMT, akan tetapi
pembiayaan yang lain adalah akad buy back sepeda tersebut tidak berada di tempat pada
atau yang dikenal dalam koperasi syariah waktu akad. Karena dipakai oleh anaknya
bai’ al-wafa’ (Hafid-Kepala Cabang, yang kuliah di Surabaya. Setelah itu oleh
Wawancara 19 Mei 2018). Bai’ Al-Wafa’ BMT, disewakan kepada nasabah (H. Lutfi)
adalah Jual beli yang dilangsungkan dua selama 6 bulan dengan besaran biaya
pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa sewanya adalah Rp 150.000 perbulannya.
yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh Dan nanti kalau sudah punya uang,
penjual, apabila tenggang waktu yang telah

150
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

nasabah diwajibkan untuk membeli kembali Metode Penelitian


(Lutfi -Nasabah, Wawancara 29 Mei 2018).
Berkenaan dengan praktik Metode penelitian merupakan
pembiayaan bai’ al-wafa’ yang dilakukan oleh komponen yang sangat penting demi
BMT Sidogiri, beberapa gambaran riil yang keberhasilan suatu penelitian, karena
menarik untuk dikaji dengan menggunakan penelitian dapat dikatakan berhasil jika
dengan metode atau cara yang sestimatis
kajian hukum Islam. Pertama, dari segi akad
dan teratur, sehingga permasalahan dapat
jual beli terhadap suatu barang pihak BMT
terpecahkan dan tujuan penelitian dapat
Sidogiri menggunakan akad yang masih
dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu
kontroversi karena akad ini dibarengi
metode penelitian ini dapat dipandang vital
dengan tenggang waktu dan syarat, peranannya, dalam penulisan karya ilmiah
tentunya berlawanan dengan hadits nabi seperti jurnal ini. Dalam buku karya Prof.
yang melarang adanya tenggang waktu Dr. Sugiyono yang membahas tentang
dalam jual beli serta bertentangan dengan penelitian kualitatif dan kuantitatif
hadits yang tidak membolehkan adanya menjelasakan. Bahwa metode penelitian
syarat ketika melangsungkan akad jual beli. kualitatif dapat diartikan sebagai metode
Kedua, dari segi penerapannya barang penelitian yang berlandaskan pada filsafat
tersebut disewa kembali terhadap orang Postpositivisme, digunakan untuk meneliti
yang menjualnya kepada BMT Sidogiri dan objek alamiah. Di mana peneliti adalah
bisa menjadi dimiliki kembali apabila telah instrumen kunci (Sugiyono, 2012: 15).
jatuh tempo. Ketiga, dalam hal angsurannya Terkait dengan metode penelitian
dalam karya ilmiah ini, penulis
bisa melunasi sebagiannya dan ditambah
menggunakan pendekatan Hukum Islam
biaya sewa, bisa hanya bayar sewannya dan
sekalipun ada sebagian yang mengadopsi
biaya pokok pembelian dibayar di akhir.
dari pendekatan kualitatif yang berupa
Keempat, barang yang memjadi objek akad
penelitian lapangan (field research). Penelitian
bai’ al-wafa’ masih banyak perbedaan ini dilakukan oleh penulis dengan berada
pendapat, ada yang berpendapat khusus langsung pada obyeknya, terutama dalam
benda yang tidak bergerak seperti kebun, usahanya mengumpulkan data dan berbagai
rumah, sawah dan lain-lain serta ada pula informasi. Dengan kata lain penulis turun
yang berpendapat semua benda bisa dan berada di lapangan, atau langsung
dijadikan objek akad bai’ al-wafa’ yang berada di lingkungan yang mengalami
penting bernilai ekonomis. masalah atau yang akan diperbaiki atau
Narasi di atas ini cukup representatif disempurnakan.
sebagai alasan dasar yang bisa dijadikan
latar belakang kajian dalam melakukan
sebuah penelitian, sehingga peneliti dalam Sumber Data
hal ini sangat tertarik mengangkat judul‚
perspektif istihsan terhadap akad buy back Sumber data dalam penelitian ini
atau dikenal dengan bai’ al-wafa’ di BMT adalah subjek dari mana data dapat
Sidogiri Cabang Bondowoso. Oleh karena diperoleh (Arikunto, 2002: 107). Dalam
itu, penelitian terhadap judul tersebut penelitian kualitatif menurut Spradley untuk
menarik untuk dikaji lebih dalam untuk memperoleh data yang akurat maka terdiri
memperoleh informasi keilmuan yang dari tiga komponen yaitu: Place, atau tempat
komprehensif dan kebenaran yang hakiki. di mana interaksi dalam situasi sosial yang
sedang berlangsung; actor, atau pelaku atau

151
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

orang-orang yang sedang memainkan peran ditetapkan. Secara umum terdapat tiga
tertentu; activity, atau kegiatan yang macam teknik pengumpulan data, yaitu:
dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial A. Observasi
yang sedang berlangsung (Sugiyono, 2010: Dalam kamus ilmiah populer,
229). observasi adalah pengamatan,
Secara umum, sumber data dalam pengawasan, peninjauan, penyelidikan
sebuah penelitian terbagi menjadi dua dan riset (Al-Barry, 1994: 533). Jadi,
macam, yakni: peneliti melakukan pengamatan
A. Sumber Data Primer terhadap penerapan akad bai’ al-wafa’
Sumber data primer dalam serta implikasi konsistensi bermadzhab
pembahasan ini adalah berupa kata-kata di BMT Sidogiri agar peneliti
dan tindakan-tindakan yang didapat memperoleh informasi yang valid
melalui wawancara, mendengar atau (Arikunto, 2006: 222). Sedangkan
melihat langsung terhadap praktik dan menurut Dr. Nawawi Tabrani
hukum dalam bai’ al-wafa’ pada mengatakan bahwa observasi di arahkan
muamalah modern sekarang ini serta pada kegiatan memperhatikan secara
implikasi konsistensi bermadzhab akurat, mencatat fenomena yang
(Sugiyono, 2009: 62). Data ini diperoleh muncul, terutama dalam disiplin ilmu,
secara langsung dari objek penelitian baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
perorangan, kelompok, dan organisasi sosial (Nawawi, 2014: 92).
(Ruslan, 2003: 29). B. Wawancara
B. Sumber Data Sekunder Wawancara adalah teknik
Untuk memperkaya dan pengumpulan data yang dilakukan
memperluas pembahasan, maka peneliti melalui pertanyaan-pertanyaan atau
juga menggunakan sumber pendukung tanya jawab secara lisan (Sugiyono, 2009:
tersebut, yaitu sumber-sumber atau 72). Pertanyaan-pertanyaan tersebut
literatur-literatur yang membahas objek ditujukan kepada orang-orang yang
kajian ini (Sugiyono, 2009: 62). Misalnya secara langsung menggunakan akad ba’i
kitab-kitab klasik, buku-buku al-wafa’ di lokasi penelitian, yaitu di BMT
kontemporer yang membahas tentang Sidogiri Cabang Bondowoso. Sehingga
hukum bai’ al-wafa’ seperti Fiqhul Islami data yang didapat oleh penulis adalah
wa Adilatuhu, karya dari Prof. Dr. Wahbah data yang valid, serta sesuai dengan
al-Zuhaily, Raddu Al-Mukhtar ‘Ala Al-dari realita.
al-Mukhtar Syarh al-Tanwir al-abshar karya C. Dokumentasi
ibn Abidin. Menurut pendapat Guba dan
lincoln dia mendefinisikan dokumen
sangat berbeda dengan record. Record
Prosedur Pengumpulan Data adalah setiap pernyataan secara tertulis
yang disusun oleh seseorang atau
Teknik pengumpulan data lembaga untuk keperluan pengujian
merupakan langkah yang paling strategis suatu peristiwa (Moleong, 2013: 217).
dalam penulisan karena tujuan utama dari Dokumen dibagi menjadi dua bagian,
penulisan adalah mendapatkan data. Tanpa Pertama, dokumen pribadi yaitu catatan
mengetahui teknik pengumpulan data, atau karangan seseorang secara tertulis
maka peneliti tidak akan mendapatkan data tentang tindakan, pengalaman dan
yang memenuhi standar data yang kepercayaan yang dimasud dari
dukumen. Untuk memperoleh kejadian

152
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

nyata tentang situasi sosial dan arti banyak pula para peminjam uang tidak
berbagai faktor di sekitar subyek mampu melunasi utangnya akibat imbalan
penelitian. Jika guru atau peneliti menta yang harus mereka bayarkan. Sementara
siswanya untuk menuliskan menurut Ulama fiqh, imbalan yang
pengalaman yang berkesan kepada diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang
mereka hal itu yang di maksud dokumen termasuk riba. Karena akad bai’ al-wafa’ sejak
pribadi. Kedua, dokumen resmi adalah semula telah ditegaskan sebagai jual beli,
terbagi atas internal dan eksternal. maka dengan bebas pembeli memanfaatkan
Dokumen internal berupa memo, barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak
pengumuman, intruksi, aturan suatu boleh menjual barang itu kepada orang lain
lembaga masyarakat tertentu yang kecuali pada penjual semula, karena jaminan
digunakan dalam kalangan sendiri. yang berada di tangan pemberi utang
Termasuk didalamnya risalah atau merupakan jaminan utang selama tenggang
laporan rapat, keputusan pemimpin waktu yang disepakati tersebut. Apalagi
kantor, dokumen demikian dapat pihak yang berutang telah mempunyai uang
memberikan informasi tentang keadaan untuk melunasi hutangnya sebesar harga
aturan, disiplin, dan dapat memberikan jual semula pada saat tenggang waktu jatuh
petunjuk tentang gaya kepemimpinan. tempo, barang tersebut harus diserahkan
Dokumen eksternal berisi bahan-bahan kembali kepada penjual. dengan cara bai’ al-
informasi yang dihasilkan oleh suatu wafa’ ini, kemungkinan terjadinya riba dapat
lembaga sosial misalnya majalah, dihindarkan (Mardani, 2015: 178).
buletin, pernyataan, dan berita yang
disiarkan kepada media massa.
Dokumen eksternal dapat dimanfaatkan Pengertian Bai’ al-Wafa’
untuk menelaah konteks sosial
kepeminpinan (Moleong, 2013: 219). Pengertian bai’ al-wafa’ Secara
etimologis, bai’ berarti jual beli dan al-wafa’
berarti pelunasan hutang/penutupan
Bai’ al-Wafa’ hutang. Secara terminologis, bai’ al-wafa’
berarti jual beli bersyarat. Barang yang dijual
Akad bai’ al-wafa’ sebenarnya berawal dapat ditebus kembali jika tenggang
dari hutang piutang atau pinjam meminjam, waktunya tiba (Ihsan, 2005: 278). Ada juga
yang ketika itu amat sulit tanpa ada imbalan yang berpendapat bahwa dalam kitab
dari yang berutang atau yang meminjam. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bai’ al-
Dalam menghindari riba, masyarakat wafa’ (jual beli dengan hak membeli kembali)
Bukhara dan Balkh (selatan Rusia) adalah jual beli yang dilangsungkan dengan
menciptakan semacam akad, yang secara syarat bahwa barang dijual tersebut dapat
sepintas berbentuk jual beli, tetapi dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang
hakikatnya adalah pinjam meminjam waktu yang disepakati telah tiba (Mardani,
dengan imbalan jasa. Dalam rangka 2015: 178).
menghindari terjadinya riba dalam pinjam- Adapun definisi Bai’ al-Wafa’ menurut
meminjam, masyarakat Bukhara dan Balkh beberapa pendapat sebagai berikut:
ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual A. Sedangkan definisi Bai’ al-Wafa’ menurut
beli yang dikenal kemudian dengan bai’ al- kitab fiqh riba Dr. Abdul Azhim
wafa’. banyak di antara orang kaya ketika itu Jalaluddin Abu Zaid, Seseorang menjual
tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada sebuah benda seharga 1000 dengan
imbalan yang mereka terima. Sementara syarat jika penjual itu mengembalikan

153
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

uangnya (tsaman), maka pembeli Artinya, jual beli ini mempunyai


tersebut megembalikan benda yang tenggang waktu yang terbatas, misalnya
dibelinya itu kepada penjual semula satu tahun, sehingga apabila waktu setahun
(Zaid, 2011: 537). telah habis, maka penjual membeli barang
B. Menurut Ibnul Abidin, Bai’ al-Wafa’ itu kembali pada pembelinya. Misalnya,
adalah: Suatu akad dimana seorang yang Ubaid sangat memerlukan saat ini, lalu ia
membutuhkan uang menjual barang menjual sawahnya seluas dua hektar kepada
kepada seseorang yang memiliki uang Ali seharga satu juta selama dua tahun.
cash. Barang yang dijual tersebut tidak Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila
dapat dipindah-pindah dengan tenggang waktu dua tahun itu telah habis,
kesepakatan kapan ia dapat maka Ubaid akan membeli sawah itu
mengembalikan harga barang tersebut kembali seharga penjualan semula.
maka ia dapat meminta kembali barang Disebabkan akad yang digunakan adalah
itu (Abidin, t.t.: 257). akad jual beli, maka tanah sawah boleh
C. Definisi Bai’ al-Wafa’ menurut Fiqh dieksploitasi Ali selama dua tahun itu dan
Sunnah yaitu: seseorang yang dapat dimanfaatkan sesuai kehendaknya,
membutuhkan uang dengan menjual sehingga tanah itu bisa menghasilkan
(real estate/real property) barang yang keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah
tidak dapat dipindah-pindahkan seperti sawah tidak boleh dijual kepada orang lain
rumah dengan kesepakatan jika ia dapat (Mardani, 2015: 179).
melunasi (mengembalikan) harga Akad buy back atau bai’ al-wafa' sejak
tersebut maka ia dapat mengambil semula telah ditegaskan sebagai jual beli,
kembali barang itu (Sabiq, 2009: 166). maka pembeli bebas memanfaatkan barang
D. Menurut Yakan Zuhdi, Bai’ al-Wafa’ itu. hanya saja pembeli tidak boleh menjual
adalah: Suatu akad jual beli yang mana barang itu kepada orang lain selain kepada
pembeli berkomitmen setelah sempurna penjual semula, karena barang jaminan yang
akad bai’ untuk mengembalikan barang berada di tangan pemberi utang merupakan
yang telah dibelinya kepada penjualnya jaminan utang selama tenggang waktu yang
sebagai ganti pengembalian harga disepakati itu. apabila pemilik barang
barang tersebut. (debitur) telah mempunyai uang untuk
E. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, Bai’ al- melunasi harga jual semula (sebesar
Wafa’ ialah dua jual beli yang dilakukan utangnya). Pada saat tenggang waktu jatuh
oleh dua pihak yang dibarengi dengan tempo, barang itu harus diserahkan kembali
syarat bahwa barang yang dijual itu kepada penjual dengan cara bai’ al-wafa' ini.
dapat dibeli kembali oleh penjual, Nama-nama bai’ al-wafa’ pada awal
apabila tenggang waktu yang ditentukan perkembangannya di Syiria, Bai’ al-Wafa’
telah tiba. Tenggang waktu pembelian disebut juga bai’ itha’ah. di Mesir dinamakan
kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 Bai’ al-Amanah, Ulama Syafi’iyah
tahun. menyebutnya bai’ ‘uhdah dan bai’ ma’ad,
F. Menurut Dr. Nasrun Haroen, bai’ al-wafa’ Ulama Hanabilah menyebutnya bai’ amanah,
adalah jual beli yang dilangsungkan dua Ulama Hanafiyah menyebutnya selain Bai’
pihak yang dibarengi dengan syarat al-Wafa’, juga bai’ jaiz (artinya jual beli
bahwa yang dijual itu dapat dibeli dibolehkan karena bersih dari riba) (Abidin,
kembali oleh penjual, apabila tenggang t.t.: 246).
waktu yang ditentukan telah tiba
(Haroen, 2007: 156).

154
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

Dasar Hukum Bai’ al-Wafa’ karena jual beli adalah akad yang
mengakibatkan perpindahan hak milik
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa secara sempurna dari penjual ke
dan Abdurrahman Asha-buni dalam pembeli.
sejarahnya. Bai’ al-Wafa’ baru mendapatkan B. Dalam jual beli tidak boleh ada syarat
justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan bahwa barang yang dijual itu harus
beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli dikembalikan oleh pembeli ke penjual
ini telah berlangsung beberapa lama dan semula, apabila ia telah siap
akad bai’ al-wafa’ ini telah menjadi adat mengembalikan uang seharga jual
kebiasaan (urf) masyarakat Bukhara dan semula (HR. Muslim, An-Nasa’i, Abu
Balkh, baru kemudian para ulama fiqh, Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasi C. Bentuk jual beli ini tidak ada di zaman
bentuk jual beli ini. Imam Nazmuddin An- Rasulullah SAW maupun di zaman
Nasafi (461-573 H), seorang ulama sahabat.
terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara, D. Jual beli ini merupakan hilah yang tidak
mengatakan: “Para syekh kami (Hanafi) sejalan dengan maksud syara’ dan
membolehkan bai’ al-wafa’ sebagai jalan persyariatan jual beli (Haroen, 2007: 156).
keluar dari riba (Mardani, 2015: 180). Namun, para ulama muta’akhirin
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fikih (generasi belakangan) dapat menerima baik
dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari bentuk jual beli ini, dan menganggapnya
segi sosio-historis, kemunculan bai’ al-wafa’ sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan
di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan hukum positif dalam majalah Kodifikasi
Balkh pada pertengahan abad ke-5 H Hukum Perdata Turki Ustmani (al-ahkam
disebabkan keengganan para pemilik modal al’adhliyah) yang disusun pada tahun 1287 H.
untuk memberi utang kepada orang-orang Begitupun dalam hukum positif Indonesia
yang membutuhkan uang jika mereka tidak bai’ al-wafa’ telah diatur didalam Kompilasi
mendapat imbalan. Hal ini menyulitkan Hukum Ekonomi Syariah Pasal 112 s/d 115
masyarakat yang membutuhkan. keadaan (Mardani, 2015: 181).
ini membawa mereka untuk membuat akad Begitu pula dalam Hukum Positif
tersendiri, sehingga kebutuhan masyarakat Indonesia bai’ al-wafa’ telah diatur dalam
terpenuhi dan keinginan orang kaya pun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal
terayomi (Mardani, 2015: 180). Jalan keluar 112 s/d 115.
yang mereka ciptakan ialah bai’ al-wafa’. Pasal 112
dengan cara ini, demikian Az-Zarqa, disatu 1) Dalam jual beli yang bergantung
pihak kebutuhan masyarakat lemah pada hak penebusan, penjual dapat
terpenuhi, sementara pada saat yang sama uang seharga barang yang dijual dan
mereka terhindar dari praktik riba. dapat menuntut barangnya
Jalan fikiran ulama Madzhab Hanafi dikembalikan.
dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ 2) Pembeli sebagaimana diatur dalam
al-wafa’ didasarkan pada istihsan ‘urfi ayat (1) yaitu berkewajiban
(menjustifikasi suatu permasalahan yang mengembalikan barang dan
telah berlaku umum dan berjalan baik di menuntut uangnya kembali seharga
tengah-tengah masyarakat). Akan tetapi barang itu.
ulama fiqih lainnya tidak bisa melegalisasi Pasal 113
bentuk jual beli ini, alasan mereka adalah: Barang dalam jual beli yang
A. Dalam suatu akad jual beli tida bergantung pada hak penebusan,
dibenarkan adanya tenggang waktu, tidak boleh dijual kepada pihak lain,

155
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

baik oleh penjual maupun oleh tempo, maka berdasarkan penetapan


pembeli, kecuali ada kesepakatan di pengadilan barang yang dijadikan jaminan
antara para pihak. tersebut dapat dijual dan utang pemilik
Pasal 114 barang dapat dilunasi. Jika pemegang
1) Kerugian barang dalam jual beli barang enggan memberikan barangnya
dengan hak penebusan adalah ketika utang pemilik barang telah dilunasi,
tanggung jawab pihak yang pengadilan berhak memaksanya
menguasainya. mengembalikan barang tersebut kepada
2) Penjual dalam jual beli dengan hak pemiliknya. dengan demikian, transaksi
penebusan berhak untuk membeli yang berlaku dalam bai’ al-wafa’ cukup jelas
kembali atau tidak terhadap barang dan terperinci serta mendapatkan jaminan
yang telah rusak. yang kuat dari lembaga hukum. dengan
Pasal 115 demikian, tujuan yang dikehendaki oleh bai’
Hak membeli kembali dalam al-wafa’ diharapkan dapat tercapai.
bai’ al-wafa’ dapat diwariskan
(Mardani, 2015: 181).
Objek Akad Bai’ Al-Wafa’

Rukun Bai’ al-Wafa’ Musthafa Ahmad al-Zarqa’


mengatakan, bahwa barang yang diperjual
Ulama Hanafiyah mengemukakan belikan dalam akad bai’ al-wafa’ adalah
bahwa yang menjadi rukun dalam bai’ al- barang yang tidak bergerak, seperti tanah
wafa’ adalah sama dengan rukun jual beli perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan
pada umumnya yaitu pernyataan menjual sawah (Mardani, 2015: 179). Artinya asset
(ijab), dan pernyataan membeli (qabul). yang dijual dalam bai’ al-wafa’ biasanya
dalam jual beli Ulama Mazhab Hanafi hanya rumah (property), sawah, kebun dan barang
menjadikan ijab dan qabul sebagai rukun yang tidak bergerak (‘ainul ‘iqar). Misalnya,
akad, Sedangkan adanya pihak yang Ahmad membutuhkan uang untuk suatu
berakad (penjual dan pembeli), barang yang keperluan, maka ia menjual kebun
dibeli, dan harga barang tidak termasuk kurmanya seluas 10 hektar kepada
rukun, akan tetapi termasuk syarat jual beli seseorang dengan harga 500 dinar dalam
bai’ al-wafa’. waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika
Demikian juga persyaratan bai’ al- waktu sudah berakhir, maka Ahmad
wafa’ menurut mereka sama dengan membeli kembali kebun kurmanya seharga
persyaratan jual beli pada umumnya. penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar. oleh
Penambahan syarat untuk bai’ al-wafa’ karena akad yang digunakan adalah akad
hanyalah dari segi penegasan bahwa barang jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan
telah dijual itu harus dibeli kembali oleh dan menikmati hasil kebun tersebut,
penjual dan tenggang waktu berlakunya jual sehingga kebun itu mendatangkan
beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, keuntungan baginya. Tetapi kebun tersebut
dua tahun, atau lebih (Mardani, 2015: 182). tidak boleh dijual kepada orang lain. Dalam
Menurut Az-Zarqa, dalam bai’ al- bai’ al-wafa’, status asset yang dijual
wafa’, apabila terjadi keengganan salah satu bukanlah gadai (rahn), karena bai’ al-wafa’
pihak untuk membayar utangnya, adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang
penyelesaiannya akan dilakukan melalui dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya,
pengadilan. Jika yang berutang tidak makanya pembeli dengan bebas dapat
mampu membayar utangnya ketika jatuh memanfaatkannya dan menikmati hasilnya.

156
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

Cuma ia tidak boleh menjual asset itu Perbedaan bai’ al-wafa’ dengan gadai (rahn)
kepada orang lain. Hal ini disebut ba’i antara lain:
maushufah bil dzimmah. artinya, jual beli yang No Rahn Bai’ al-wafa
disifati dengan tanggungan menjual kembali Pembeli tidak Pembeli
kepada penjual semula, yakni pembeli sepenuhnya sepenuhnya
berkewajiban menjual kembali asset itu memiliki memiliki barang
kepada penjual semula 1
barang yang yang dibeli, tetapi
(http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/, dibeli mausufah biz
diakses pada tanggal 24 April 2017). zimmah
Barang gadaian Barang yang sudah
tidak boleh dibeli bebas
Perbedaan Bai’ al-Wafa’ dengan Rahn dimanfaatkan dimanfaatkan
Perbeaan antara bai’ al-wafa’ dengan penerima pembeli selama
rahn adalah sebagai berikut: 2 gadai, kecuali jangka waktu yang
A. Dalam akad rahn pembeli tidak hewan disepakati
sepenuhnya memiliki barang yang dibeli kenderaan dan
(karena harus dikembalikan kepada atau izin
penjual). Sedangkan dalam bai’ al-wafa’, pemilik
barang itu sepenuhnya menjadi milik Biaya yang Biaya yang
pembeli selama tenggang waktu yang diperlukan diperlukan untuk
disepakati. untuk pemeliharaan
B. Dalam akad rahn, jika barang yang pemeliharaan barang menjadi
digadaikan (marhun) rusak selama di 3
barang gadaian tanggung jawab
tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi pembeli
menjadi tanggung jawab pemegang tanggung jawab
barang. Sedangkan dalam bai’ al-wafa’, pemilik barang
apabila kerusakan itu bersifat total
Status asset Status asset
(rusak parah), baru menjadi tanggung
tetap milik menjadi milik
jawab pembeli. Apabila kerusakannya
4 yang pembeli selama
tidak parah, maka hal itu tidak merusak
menggadaikan jangka waktu yang
akad.
disepakati
C. Dalam akad rahn segala biaya yang
Jika barang Jika barang rusak
diperlukan untuk pemeliharaan barang
gadaian rusak sedikit, akad tetap
menjadi tanggung jawab pemilik barang,
menjadi berlangsung,
sedangkan dalam bai’ al-wafa’ biaya
tanggung jawab kecuali rusak
pemeliharaan sepenuhnya menjadi 5
penerima parah atau rusak
tanggung jawab pembeli, karena barang
gadaian, baik total.
itu telah menjadi miliknya selama
rusak kecil atau
tenggang waktu yang telah disepakati.
besar
D. Kedua belah pihak tidak boleh
memindah tangankan barang itu ke
Sedangkan Persamaan antara Bai’ al-
pihak ketiga (Mardani, 2015: 182).
wafa dan gadai (Rahn), antara lain:
No Persamaan
Kedua belah pihak sama-sama tidak
1 boleh memindah tangankan barang itu
kepada pihak ketiga

157
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

Baik rahn maupun bai’ al-wafa’, pihak I makna. Pertama, Istihsan adalah
(penjual/penggadai) sama-sama berpalingnya seorang mujtahid dari
2
mendapatkan uang dengan tuntutan qiyas yang jaly (nyata) kepada
menyerahkan barang tuntutan qiyas yang khafi (samar). Kedua,
Jika terjadi kerusakan barang, maka berpalingnya seorang mujtahid dari hukum
kerusakan itu ditanggung murtahin kulli (umum) kepada hukum istitsna`i
3 (pengecualian) karena terlintas dalam
dan pembeli, kecuali yang rusak
sedikit (sesuai ‘urf) pikiran mereka ada dalil yang dianggap
Ketika hutang (uang penjualan) lebih unggul. Ketiga, berpalingnya seorang
dikembalikan kepada pembeli (pada mujtahid dari kehendak hukum dzahir (jelas)
4 saat jatuh tempo) maka pembeli wajib kepada kehendak hukum khafi (samar) sebab
memberikan barang kepada penjual ada dalil yang unggul menurut pandangan
semula para mujtahid untuk berpindah pada
hukum yang khafi (samar) (Khallaf, 1994: 79-
80).
Istihsan Menurut Imam Abu al-Hasan al-
Karhi, istihsan adalah penetapan hukum
Imam Hanafi menyebut istihsan dari seorang mujtahid terhadap suatu
merupakan salah satu macam dari qiyas. masalah yang menyimpang dari ketetapan
Berarti istihsan adalah qiyas khafi yang hukum yang diterapkan pada masalah-
berada di hadapan qiyas jaly. Dinamakan masalah yang serupa, karena ada alasan
demikian karena menunjukkan bahwa qiyas yang lebih kuat yang menghendaki
khafi lebih diutamakan untuk diamalkan penyimpangan itu (Zahrah, 2005: 401).
(Zuhaily, 1990: 735, juz II). Sedangkan menurut Ibnul Anbary,
Beda halnya dengan penyebutan Seorang ahli fiqh Madzhab Maliky,
istihsan menurut Malikiyah dan Hanabilah. memberikan definisi bahwa, istihsan ialah
Imam Malik mengatakan bahwa istihsan memilih menggunakan maslahat juz’iyyah
termasuk sembilan puluh persen dari yang berlawanan dengan qiyas kully. Definisi
seluruh ilmu. Sedangkan menurut Imam ini seirama dengan definisi yang
Asbagh, beliau mengatakan istihsan dikemukakan oleh Ibnu Rush yang
terkadang lebih umum dari pada qiyas. mengatakan bahwa, istihsan adalah
Kemudian Imam Syafi’i dalam kitab mengesampingkan dalil qiyas yang
ushulnya (al-Risalah) menolak adanya menjurus ke arah pemakaian yang
istihsan, beliau mengatakan “Barang siapa berlebihan sehingga perlu dihindarkan
yang memutuskan hukum berdasarkan istihsan, kepada kasus-kasus tertentu karena adanya
maka sebenarnya dia telah membuat-buat syariat kondisi khusus yang dapat mempengaruhi
baru” (Nahe’i & Juandi, 2010: 114). ketentuan hukumnya (Zahrah, 2005: 402).

Pengertian Istihsan Dasar Hukum Istihsan

Istihsan menurut makna bahasa Dasar hukum penggunaan dalil logika


(etimologi) adalah menganggap sesuatu itu bernama istihsan ini adalah beberapa teks
baik, yang diambil dari kata al-husnu (baik) wahyu sebagai berikut:
(Effendi & Zein, 2012: 142). Sedangkan
secara terminologi, istihsan menurut Ulama
Ushul dapat diartikan dengan anekaragam

158
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

ُ َ
َ ِ َّ ‫ٱ َّ ِ َ َ ۡ َ ِ ُ َن ٱ ۡ َ ۡ َل َ َ َّ ُ َن أ ۡ َ َ ُ ۚ ٓۥ أ ْو َٓ ٰ َ ٱ‬ terhadap penggunaan istihsan (Yasid, 2010:
ِ ِ
41-42).
ۡ َ ۡ ْ ُ ْ ُ ۡ ُ َ َٓ ْ ُ َ ُ َّ ُ ُ ٰ َ َ
١٨ ِ ٰ َ
Macam-Macam Istihsan
‫أو ا ٱ‬ ِ ٰ ‫ٱ ۖ وأو‬
Syaikh Ibnu Araby membagi istihsan
Artinya: “mereka yang menjadi empat macam, yaitu:
mendengarkan perkataan lalu A. Meninggalkan dalil karena urf
mengikuti apa yang paling baik di B. Meninggalkan dalil karena ijma’
antaranya. Mereka itulah orang- C. Meninggalkan dalil karena ada maslahah
orang yang diberi petunjuk oleh allah D. Meninggalkan dalil karena untuk
dan mereka itulah orang-orang yang meringankan dan menghindarkan
mempunyai akal” (QS. al-Zumar: 18). kesilitan (musyaqah) (Zahrah, 2005: 402).

َ ُ ُ َ ْ ُ ُ ۡ َ ََۡ ۡ
‫ۡ د َار‬ ‫َ ْو ِر‬ ۚ َ ِ َ ۡ ِ ‫َ وا‬ ۡ ُ ‫َوأ‬
... Analisi Hukum Bai’ al-Wafa’ di BMT
Sidogiri Cabang Bondowoso
َۡ
١٤٥ َ ِ ِ ٰ ‫ٱ‬
Bai’ al-wafa’ memang merupakan jual
beli yang masih diperselisihkan dikalangan
Artinya: “… suruhlah kaummu
ulama. Sehingga para ulama memberikan
berpegang pada perintah-perintah
hukum yang berbeda-beda terhadap akad
yang sebaik-baiknya. Akan aku
bai’ al-wafa’ ini, Di antaranya: Ibnu Abidin
perlihatkan padamu kelak negeri
dalam kitabnya yang berjudul Raddul
orang-orang fasik” (QS. al-A’raf:145).
Muhtar, beliau berpendapat bahwa hukum
jual beli al-wafa’ diperbolehkan, dengan
‫ﻣﺎ راﻩ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪاﻟﻠﻪ ﺣﺴﻦ )رواﻩ‬ alasan untuk menghindarkan masyarakat
dari perbuatan riba dalam pinjam-
(‫اﺣﻤﺪ‬
meminjam. Hal itu dikarenakan, di antara
orang kaya ketika itu tidak mau
Hadits Nabi yang artinya: sesuatu meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan
yang oleh orang Islam dianggap baik, yang mereka terima. Sementara banyak para
maka menurut Allah juga baik.(HR peminjam uang tidak mampu melunasi
Imam Ahmad). hutangnya akibat imbalan yang harus
mereka bayarkan bersama dengan sejumlah
Istihsan dengan pengertian di atas uang yang mereka pinjam. Hal ini membuat
sesungguhnya diamalkan oleh hampir kesulitan bagi masyarakat yang
semua fuqaha’ al-qudama (juris Islam memerlukan. Keadaan ini membawa mereka
terdahulu). Oleh karena itu, tidak perlu untuk menciptakan sebuah akad tersendiri,
dipertentangkan lagi lantaran ia dilandaskan sehingga keperluan masyarakat terpenuhi
pada nalar ijtihad dengan pijakan dalil yang dan keinginan orang-orang kayapun
dapat dipertanggungjawabkan secara terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan
akademis. Kondisinya menjadi berbeda jika itu adalah bai’ al-wafa’.
istihsan dimaknai penganggapan baik oleh Ibnu Abidin mengatakan, ketika
mujtahid tanpa sandaran dalil apapun, baik kedua orang membatalkan perjanjian
berupa Al-qur’an, sunnah, ijma’, maupun sebelum akad selesai, ataupun mengira
qiyas. Pemaknaan seperti ini wajar jika bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak
berujung pada penolakan secara keras lazim, maka jual beli tersebut dinyatakan bai’

159
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

fasid. Namun, ketika melakukan perjanjian bai’ al-wafa’ ini terdiri atas dua bentuk yaitu:
sebelum akad jual beli, setelah itu baru pertama, pada saat akad terjadi itu
melakukan akad jual beli yang tidak merupakan jual beli. Kedua, Diakhir akad,
menyebutkan kata wafa’ di dalamnya, maka bai’ al-wafa’ ini seperti gadai, karena dengan
perjanjian dihukumi boleh. Bahkan ketika jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah
perjanjian tersebut ingin diteruskan, maka pihak, penjual harus mengembalikan uang
kedua belah pihak wajib untuk pembeli sejumlah harga yang diserahkan
menyempurnakannya. Hal itu disebabkan pada awal akad, dan pembeli harus
dalam suatu perjanjian terkadang terdapat mengembalikan barang yang dibelinya itu
ketetapan akan kebutuhan masyarakat yang kepada pejual secara utuh. Dari sini terlihat
mendesak. bahwa bai’ al-wafa’ diciptakan dalam rangka
Ulama Hanafiyah juga berpendapat, menghindari riba, sekaligus sarana tolong
bahwa jual beli al-wafa’ adalah sama dengan menolong antara pemilik modal dan orang
gadai (rahn), dan bukan jual beli (bai’), maka yang membutuhkan uang dalam jangka
hukum bai’ sama seperti hukum gadai. waktu terentu. Oleh sebab itu, ulama
Argumentasi mereka adalah bahwa yang Mazhab Hanafi menganggap bai’ al-wafa’
dijadikan pegangan dalam transaksi- adalah sah dan tidak termasuk dalam
transaksi adalah maknanya, bukan lafadz larangan Rasulullah SAW yang melarang
dan bentuknya (strukturnya). Sementara, jual beli yang dibarengi dengan syarat.
Sayid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta
“Fiqh Sunnah” mengatakan, bahwa bai’ al- itu harus dikembalikan kepada pemilik
wafa’ hukumnya sama dengan hukum semula, namun pengembaliannya itupun
penggadaian. Sayid Sabiq juga mengatakan melalui akad jual beli. Disamping itu, inti
bahwa ada beberapa ulama yang dari jual beli ini adalah dalam rangka
mengatakan bahwa akad bai’ al-wafa’ disebut menghidarkan masyarakat melakukan suatu
dengan akad rahn dan ada pula yang transaksi ynag mengandung riba. Kemudian
mengatakan dengan sebutan jual beli, dalam proses pemanfaatan objek akad
karena pembeli bisa memanfaatkan dari (barang yang dijual), statusnya tidak sama
barang yang dibeli. Di satu sisi, ada juga dengan rahn, karena barang tersebut benar-
yang mengatakan, kata-kata bai’ tidak benar telah dijual kepada pembeli.
disebut akad rahn. Seseorang yang telah membeli suatu barang
Dari buku ensiklopedia fiqh juga berhak sepenuhnya memanfaatkan barang
disebutkan, bahwa jual beli al-wafa’ adalah tersebut. Hanya saja, barang itu harus dijual
termasuk gadai (rahn), tetapi tidak dilihat kembali kepada penjual semula seharga
sebagai bagian dari kategori transaksi penjualan pertama. Menurut mereka, inipun
kontemporer yang diperbolehkan oleh bukan suatu cacat dalam jual beli.
sebagian fuqaha terdahulu. Dilihat dari sisi Berbeda dengan Ibnu Tamiyah
barang yang menjadi jaminan harus kembali memandang jual beli ini tidak sah. Ia
lagi kepada pemilik harta, akad ini mirip mengatakan, jual beli yang dipraktikkan
dengan rahn, tapi jika dilihat dari sisi bahwa oleh sebagian masyarakat tampak seperti
harta yang menjadi jaminan tersebut bebas jual beli amanah, apabila uang dikembalikan
untuk diambil manfaatnya oleh penerima maka barang dikembalikan. Maka jual beli
jaminan, akad ini mirip dengan bai’. ini adalah jual beli bathil menurut para imam
Sehingga jual beli ini merupakan jual beli Ibnu Taimiyah, baik dengan persyaratan
khusus. yang disebutkan dalam waktu akad maupun
Menurut abdul Hafidz selaku Dewan melalui kesepakatan sebelum akad.
Pengawas Syariah, mengatakan bahwa akad Demikian disampaikan oleh Ibnu Tamiyah

160
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

adalah kitab Majmu’ al-Fatwa. Mereka memberi kesempatan kepada peminjam


melihat jual beli al-wafa’ dari segi bahwa ia uang untuk bisa dapat memanfaatkan
termasuk gadai (rahn), tetapi mereka tidak barang yang dijualnya serta keinginan untuk
melihatnya sebagai bagian dari kategori memilikinya lagi setelah beberapa saat masa
transaksi kontemporer yang diperbolehkan sewa berakhir. Bai’ al-wafa’ sejak pertama
oleh sebagian fuqaha terdahulu. kali diakadkan sebagai jual beli, maka
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah pembeli dengan bebas memanfaatkan
berpendapat bahwa bai’ al-wafa’ hukumnya barang tersebut. Hanya saja muncul
fasid karena syarat penjual mengatakan kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa
bahwa ia akan membeli kembali barang pembeli tidak boleh menjual barang tersebut
yang telah dijualnya dari pembeli jika ia selain kepada pemilik semula. Sebab barang
mengembalikan uang pembeli yang telah tersebut pada hakikatnya merupakan
dibayarkan. Bertentangan dengan tujuan sebuah jaminan atas hutang yang harus
jual beli, yaitu hak milik pembeli terhadap dikembalikan dalam waktu yang telah
berang dagangan yang dibelinya yang disepakati. Apabila pemilik harta tersebut
bersifat permanen. Hal ini juga sejalan telah mempunyai utang, penjual harus
dengan sebuah hadits Rasulullah SAW, mengembalikan utangnya dan pembeli
“setiap hutang yang dibarengi pemanfaatan harus mengembalikan barangnya.
(untuk pemberi hutang) adalah riba”. Jadi Dari dua pendapat yang berbeda di
akad bai’ al-wafa’ sejak semula ditegaskan atas, penulis menyimpulkan bahwa akad bai’
sebagai jual beli, maka pembeli dengan al-wafa’ sebenarnya terdapat dua bentuk
bebas memanfaatkan barang tersebut tanpa akad, yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah
ada batasan waktu. bai’ al-wafa’ ini tergolong gharar, karena
Para ulama Syafi’iyah tidak ketidak jelasannya ? Penulis menganggap,
melegalisasi bentuk jual beli ini dengan sebenarnya akad tersebut bukan jual beli
alasan: Pertama, dalam suatu akad beli tidak murni dan bukan pula rahn murni, tetapi
dibenarkan adanya tenggang waktu, karena kombinasi dari kedua akad. Bai’ al-wafa’ juga
jual beli adalah akad yang mengakibatkan bukan gharar, melainkan sebuah kontrak
perpindahan hak milik secara sempurna dari baru yang hak atau kewajiban para pihak
penjual kepada pembeli. Kedua, dalam jual cukup jelas di dalamnya. Demikian pula
beli tidak boleh ada syarat bahwa barang status barang yang dijadikan obyek dalam
yang dijual itu harus dikembalikan oleh kontrak ini sangat jelas.
pembeli kepada penjual semula, apabila ia Melihat perbedaan pendapat yang
telah siap mengembalikan uang seharga ada, maka cara untuk menyikapi adalah
penjualan semula. Ketiga, bentuk jual beli ini dengan selalu mempertimbangkan aspek
tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maslahat. Pertimbangan munculnya
maupun sahabat. Keempat, jual beli ini maslahat menjadi penting, karena pada
merupakan hilah yang tidak sejalan dengan dasarnya dalam transaksi jual beli aspek
maksud-maksud syara’ persyariatan jual maslahat adalah sesuatu yang menjadi
beli. Kelima, jual beli ini menyerupai bentuk koridornya. Jika sebuah masyarakat telah
akad rahn, kerena dilihat dari sisi bahwa mempraktikkan jual beli al-wafa’, dan pada
harta yang menjadi jaminan harus kembali mereka muncul kemaslahatan bersama,
lagi kepada pemilik harta. tanpa adanya pihak yang dirugikan. Aspek
Menurut hemat penulis, tujuan dari urf juga perlu dipertimbangkan pula dalam
akad bai’ al-wafa’ adalah untuk memberi menentukan jual beli al-wafa’. Urf sendiri
kesempatan peminjam mengambil merupakan adat kebiasaan yang sudah
keuntungan dengan cara benar, dan berjalan di masyarakat. Jika di suatu

161
Ubaidillah – Tinjauan Istihsan terhadap Bai’ al-Wafa’

masyarakat sudah terjadi praktik yang penjual pertama sekaligus sebagai


demikian dan masyarakat dapat memenuhi pembeli kedua. Namun, pihak BMT
prinsip-prinsip dasar dalam muamalah, Sidogiri memberikan syarat kepada
maka jual beli inipun dapat dipilih. nasabah agar wajib membeli kembali
Jalan pikiran Ibnu Abidin dalam barang tersebut setelah jatuh tempo dan
memberikan justifikasi kepada bai al-wafa’ membayar sewa sebesar nominal yang
adalah didasarkan pada istihsan urfiy. Beliau telah disepakati pada waktu akad
memandang jual beli ini adalah sah. berlangsung.
Menurut penulis, pendapat Ibnu Abidin B. Jalan fikiran ulama Madzhab Hanafi
sudah tepat, karena memang tujuannya dalam memberikan justifikasi terhadap
sendiri adalah untuk menghindarkan buy back atau bai’ al-wafa’ yang
masyarakat dari perbuatan riba yang didasarkan pada istihsan ‘urfi adalah
digemari masyarakat. Dalam hukum Islam termasuk jual beli yang sah karena
faktor niat sangat mempengaruhi keabsahan sudah menjadi kebiasaan yang baik di
suatu bentuk muamalah, kalau niat dari masyarakat. Ibnu Abidin juga
pihak-pihak yang bertransaksi tidak sesuai memperbolehkan jual beli al-wafa’,
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan alasan untuk menghindari riba
oleh syara’ pada suatu bentuk muamalah, yang sangat berkembang di masyarakat.
maka transaksi tersebut tidak dapat Oleh sebab itu beliau menganggap bai’
dibenarkan. Atas dasar itu sasaran dari al-wafa’ tidak termasuk ke dalam
suatu akad harus senantiasa mengacu larangan Rasulullah SAW. yang
kepada tujuan yang dikehendaki syara’ melarang jual beli yang dibarengi
dalam setiap pensyariatan hukum, yaitu dengan syarat. Sedangkan fuqaha yang
kemaslahatan manusia secara keseluruhan. lain seperti Imam Syafi’i berpendapat
berbeda yaitu akad bai’ al-wafa’ ini
adalah jual beli yang fasid dan Ibnu
Kesimpulan Taimiyah juga berpendapat bahwa akad
bai’ al-wafa’ ini termasuk jual beli yang
Dari beberapa pembahasan yang tidak sah (bathil) yang dipraktikkan oleh
dipaparkan maka perlu ada kesimpulan masyarakat tampak sama dengan jual
supaya ada titik terang yang lebih kongkrit. beli amanah.
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
A. Penerapan akad buy back atau bai’ al-wafa’ Daftar Pustaka
di BMT Sidogiri Cabang Bondowoso
yaitu pihak BMT Sidogiri dengan Abidin, I. (1994). Raddul Muhtar ala al-Dar al-
melakukan pembelian suatu barang Muhktar Sharah Tanwir al-Absar. Bairut:
kepada nasabah dengan menggunakan Dar al-kitab Al-ilmiah.
akad bai’ al-wafa’. Kemudian barang yang Al-Barry, M. D. (1994). Kamus Ilmiah Populer.
menjadi objek pembelian tersebut Surabaya: Arkola.
disewakan kembali oleh BMT Sidogiri Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu
kepada nasabah yang menjual Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka
barangnya itu dengan menggunakan Cipta.
akad ijarah. Artinya, Koperasi BMT Antonio, M. S. (2001). Bank Syari’ah: Dari
Sidogiri bertindak sebagai pembeli Teori Ke Praktik, Jakarta : Gema Insani
pertama sekaligus sebagai penjual kedua Press,.
dan nasabah tersebut sebagai pihak

162
Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018

Effendi, S., & Zein, M. (2012). Ushul Fiqh, Yasid, A. (2010). Aspek-aspek Penelitian
Jakarta: Kencana Prenada Media Hukum, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Group. Zahra, M. A. (2005). Ushul Fiqh, Jakarta:
Hafid (Kepala Cabang), Wawancara, Pustaka Firdaus.
Bondowoso , 19 Mei 2018. Zaid, A. A. J. A. (2011). Fiqh Riba, Jakarta:
H. Lutfi (Nasabah), Wawancara, Bondowoso, Senayan Publishing.
29 Mei 2018. Zuhaily, W. (1990). Ushul Fiqh Islamy, Bairut:
Haroen, N. (2007). Fiqh Muamalah, Jakarta: Dar al-Fikr.
Gaya Media Pratama.
Ihsan, A. B. (2005). Ensiklopedi Islam, Jakarta :
PT. Intermasa.
Khallaf, A. W. (1994). Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama Semarang.
Kasmir. (2012). Dasar-Dasar perbankan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mardani. (2012). Fiqh Ekonomi Syariah, Fiqih
Muamalah, Jakarta: Prenada Kencana
Group.
Martono. (2002). Bank & Lembaga Keuangan
Lain, Yogyakarta: Ekonisia.
Moleong, P. L. J. (2013). Metode Penelitian
Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nahe’i, I., & Juandi, W. (2010). Revitalisasi
Ushul Fiqh, Situbondo: Ibrahimy Press.
Nawawi. (2014). Metodologi Penelitian Hukum
Islam. Malang: Genius Media.
Qal’ahji, M. R. (1999). Ensiklopedi Fiqh Umar
bin Khattab, Terj. M. Abdul Mujieb,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ridwan, M. (2004). Manajemen Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press.
Ruslan, R. (2003). Metode Penelitian: Public
Relation Dan Komunikasi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sabiq, S. (2009). Fiqh As-sunnah, Kuala
Lumpur: Al-Hidayah Publication.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian
Pendidikan, Bandung: CV. Alvabeta.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
Bandung: Alfabet.
Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian
Kualitatif: dilengkapi dengan contoh
proposal dan laporan penulisan.
Bandung: CV. Alfabeta.

163

Anda mungkin juga menyukai