Anda di halaman 1dari 39

1

Pedoman Diagnosis dan Terapi

KEDARURATAN UROLOGI

1. KEDARURATAN UROLOGI PADA TRAUMA


(ICD-S 37.-.-)
Notes 0 : Without open wound into cavity
1 : With open wound into cavity
A.A.G.Oka
Seksi Urologi Lab/SMF Ilmu Bedah FK.UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar

Pendahuluan:
Kedaruratan urologi adalah suatu keadaan kasus urologi
darurat, apabila tidak mendapat terapi yang cepat dan tepat akan
menyebabkan penyakit menjadi lebih parah/morbiditas atau
kematian/mortalitas. Beberapa contoh kedaruratan urologi adalah
trauma saluran kemih (ginjal,ureter,kandung kemih dan uretra) dan
genetalia, kolik renal/ureter, retensi urin akut, hematuria dengan/tanpa
retensi bekuan darah, skrotal akut (torsio testis/apendiks testis,
orchitis/orcho-epididymitis), anuria, priapismus, parapimosis,
septisemia/syok septic dan kateter buntu. Kedaruratan urologi pada
penulisannya dibedakan menjadi “Kedaruratan Urologi pada Trauma”
dan “Kedaruratan Urologi Non Trauma”.
Tujuan penulisan “Pedoman Diagnosis dan Terapi Kedaruratan
Urologi” adalah untuk dapat menegakkan diagnosis dan terapi yang
benar dan sesuai dengan standar/pedoman nasional dan internasional
yang dimodifikasi sesuai dengan fasilitas RSUP Sanglah Denpasar
sehingga dapat menekan/mencegah morbiditas dan mortalitas. Pada
akhir tahun Pedoman Diagnosis dan Terapi ini akan dievaluasi dan
dikoreksi sesuai dengan perkembangan ilmu dan fasilitas.
Pada setiap kasus trauma atau suatu keadaan hemodinamik tidak
stabil pasca trauma harus mendapat penanganan secara cepat, tepat
dan sistimatis, lakukan penanganan sesuai dengan prosedur
penanganan pasien trauma : Primary survey: A(air way), B(breathing),
C(circulation), D(disability), E(exposure) dan Scondary Survey:
Pemeriksaan fisis, pasang kateter uretra (bila tidak ada indikasi kontra)
termasuk inspeksi genetalia ekterna, perineum dan colok dubur. Tutup
semua luka dengan bebat tekan dan cegah, lindungi bagian tubuh yang
teramputasi.
Kecurigaan adanya trauma traktus urinarius bagian atas apabila terjadi:
Hematuria, trauma deselerasi, trauma tusuk pada abdomen atau
pinggang, memar daerah pinggang atau hypotensi yang tidak dapat
diterangkan pasca trauma. Trauma kandung kemih dan uretra apabila :
terdapat darah pada miatus uretra, prostat letak tinggi/melayang pada

1
2

pemeriksaan colok dubur, hematuria, luka tusuk dinding


abdomen,pelvis,atau perlukaan genetalia, fraktura”anterior arch pelvic”,
faktura pelvis terbuka dan laserasi perineal. Trauma genetalia ekterna
apabila terjadi: Hematoma skrotal, nyeri (berat) testis atau testis tidak
teraba, faktura pelvic terbuka.
Pemeriksaan penunjang diagnosis dikerjakan setelah keadaan
klinis penderita memungkinkan: 1).Uretrogram (retrograde) untuk
menilai trauma uretra, lokasi dan gradasi trauma. 2). Sistogram
(complete) untuk menilai ruptura kandung kemih intra/ekstra
peritoneal, 300-400 ml kontras dimasukkan kedalam kandung kemih,
kateter diklem, dibuat foto P/Lat/Oblique-multiple vews) dan post-
voiding foto (terutama untuk ruptura kandung kemih ekstraperitonial).
3). Pielografi intravena (IVP) untuk menilai fungsi dan anatomi kedua
ginjal dan adanya ekstravasasi urin, “One shot” IVP(100 ml kontras
iodine 60% - 1,5ml/kg atau 100 ml untuk BB 70 kg, atau 2 kalinya
untuk konsentrasi 30%) dengan foto besar (abdomen plain foto) dan foto
2-5 menit sangat membantu untuk trauma tusuk/tajam/tembak ginjal,
sedangkan untuk trauma tumpul ginjal sesungguhnya dapat digantikan
oleh CT Scan. 4). CT Scan abdomen dengan kontras intravena untuk
menilai anatomi dan fungsi ginjal dan kandung kemih .Prioritas
pemeriksaan penunjang tergantung kecurigaan organ yang mendapat
trauma dan fasilitas yang ada .

TRAUMA GINJAL (ICD-S 37.0)


Definisi /Batasan :
1. Hematuria mikroskopis : >5 RBC/HPF kencing pertama pasca
trauma atau bahan
urin kateterisasi (5,15)
2. Kontusio renalis : Hematuria (gross/micros) dengan “urologic
studies” normal(5,15)
3. Hematoma subkapsuler : hematoma dibatasi kapsul ginjal tanpa
laserasi parenkhim ginjal(5,15)
4. Laserasio renalis ; Laserasi parenkhim ginjal dengan atau tanpa
ekstravasase urin
( 5, 15)

Patofisiologi :
Hematuria terjadi karena pendarahan parenkhim ginjal akibat trauma
bercampur dengan urin didalam sistim pelvio-kaliks (SPK) melalui ureter
tertampung sementara didalam kandung kemih selanjutnya keluar
peruretram pada saat miksi atau terjadi gangguan proses miksi karena
ada bekuan darah dalam kandung kemih (blood clote retention) ada
kalanya pendarahan/kerusakan yang terjadi tidak sampai merusak SPK
dan pendarahan tertahan diantara parenkhim dan kapsul ginjal dan

2
3

meluas, karena kapsul ginjal tidak robek terjadi hematuma sub


kapsuler (HSK), apabila kapsul ginjal robek baik karena trauma
maupun karena tekanan tinggi akibat HSK mengakibatkan pendarahan
terkumpul (cukup banyak) pada daerah ginjal yang dapat dirasakan
pada saat pemeriksaan fisik berupa flank mass/masa daerah ginjal
(MDG), apabila traumanya cukup berat menyebabkan kerusakan
parenkhim dan SPK ginjal atau adanya suatu keadaan patologis ginjal
sebelum trauma (walaupun traumanya tidak memadai) dapat terjadi
urinoma . Syok hipovolumik dapat terjadi bila kerusakan pada
pembuluh darah yang cukup besar atau trauma/ruptura pada pedikel
ginjal. Keadaan septik/sindroma sepsis/urosepsis bisa terjadi apabila
urin pada SPK/urinoma sudah terinfeksi mikroorganisme (urin) atau
produknya masuk sirkulasi darah (bakterimia) sehingga terjadi gejala
dan tanda-tanda klinis berupa panas/menggigil, tarkhikardi dan syok.
Pada keadaan tertentu/tergantung mekanisme trauma/keadaan ginjal
sebelum trauma dapat terjadi trauma mayor/minor tanpa hematuria,
seperti pada ruptura/trauma pedikel ginjal/hematum subkapsuler, 14%
trauma mayor dan 10% trauma minor tanpa hematuria (Trauma
Org).(10)
KLINIS
Berdasarkan macam/mekanisme traumanya, trauma ginjal dibedakan:
1. Trauma tumpul (blunt trauma) (80-85%) (1)
 Kecelakaan lalu-lintas
 Kecelakaan olah-raga
 Kecelakaan kerja
Trauma tumpul minor (85%)
Trauma tumpul mayor (15%)
Trauma vaskuler (1%)
2. Trauma tajam (penetrating trauma) (80% disertai tauma organ
visera)(1)
 Luka tusuk
 Luka tembak

Sesuai dengan prosedur umum penanganan penderita trauma maka


penanganan penderita trauma ginjal adalah (15) :
Primary survey
Air way : Mempertahan jalan nafas tetap aman dengan memasang
“cervical collar”
Breathing : Frekwensi pernafasan, jejas, fraktur costa, oksigen saturasi
Circulation : Tensi, Nadi
Disability : Glasgow Coma Score (GCS), Pupil, defisit neurology
Perifir (motoris dan sensoris)
Exposure : Pastikan tidak ada bagian tubuh yang terlewatkan dari
pemeriksaan

3
4

Foto thorax : Memastikan fraktur kosta, hematothorax atau


pneumothorak,
mempertimbangkan pemasangan water seal drainage
(WSD)
Foto Cervical : Memastikan fraktur kolumna vetebra cervical
Foto pelvis : Memastikan fraktur pelvis

Secondary Survey
Pemeriksaan Urogenetalia, abdomen dan daerah ginjal (Flank area)
Inpeksi : Jejas /luka tusuk, Hematuria (sebelum/sesudah
kateterisasi uretral)
Auskul : Ada gangguan bising usus pada kasus multi trauma
Palpasi : Perut tegang , nyeri, masa/ginjal
Perkusi: Kemungkinan ada (blood clote retention)

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium(1)
 Pemeriksaan darah/serum:
Hb (Haemoglobin), HCT(Hematocrite) untuk memperkirakan berat
atau ringan pendarahan
SC (serum creatinine) untuk mengetahui fungsi ginjal(kwantitatif),
prasyarat IVP
 Urin analisis untuk membuktikan eritrosiaturia dan lekosituria
 Bakteriologi untuk membuktikan mikroba dalam urin dan
pemilihan antimikroba yang paling sesuai

2. Radiologi(9,10,15)
Pielografi intravena (IVP)
 Gold Standard (saat ini untuk RSUP Sanglah Denpasar)
 Akurasinya 90% pada pasien dengan kondisi stabil
 Kurang bermanfaat pada pasien hipotensi
 Kurang baik untuk menentukan grade dari trauma ginjal
 Tidak dapat menilai retroperotoneal
 “One shot study” mungkin penting untuk pasien tidak stabil,
untuk menilai ginjal kontralateral

CT Scan
 “Gold standard” (untuk RS yang memiliki trauma senter)
 Membantu/memperjelas IVP
 Sangat baik untuk menentukan grade dari trauma ginjal
 Dapat menunjukkan “infracted segments” dari ginjal
 Untuk pencitraan seluruh abdomen dan retroperitoneal
 Tidak tepat untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil

Angiografi

4
5

 Sangat akurat untuk trauma vaskuler


 Bila CT Scan meragukan atau tidak mungkin dikerjakan.
 Invasif

Diagnosis
Diagnosis trauma ginjal adalah berdasarkan anamnesa termasuk
mekanisme dari trauma, pemeriksaan fisis, laboratorium dan pencitraan
radiologis. Kecurigaan terhadap trauma tumpul ginjal apabila ada
kontusio didaerah ginjal (flank),patah tulang iga bawah, (seat belt
marks), tekanan darah (TD)dan HCT tidak normal dan hematuria,
kecurigan ini perlu ditindak lanjuti dengan pencitraan radiologis,
observasi atau pembedahan ekplorasi. Pencitraan (IVP) dan atau CT
Scan abdomen untuk memastikan berat/luas trauma ginjal sangat bijak
dikerjakan untuk semua pasien dengan status hemodinamik yang stabil.
Pemilihan pencitran sangat tergantung dari fasilitas yang ada, keadaan
klinis pasien dan team trauma yang ada.

Klasifikasi(Staging/Grading) (11)
Klasifika Grading Patologis Uraian/Penjelasan
si
Minor I Kontusio Mikroskopis/gross hematuria,
(ICD-S37.0.0)
IVP/CT Scan (Radiologis)
normal.
Hematom Pendarahan tidak meluas
a tanpa laserasi parenkhim.
Subkapsu
ler
(ICD-S37.0.0)
II Hematom Pendarahan tidak meluas ke
a perirenal, terbatas
sebatas retroperitoneum.
fasia
Gerota
(ICD-S37.0.0)
Laserasi Kedalaman <1 cm tebal
Superficia korteks, tanpa ektravasase
l urin.
(ICD-S37.0.0)
Mayor III Laserasi Kedalaman >1 cm tebal
Profunda korteks, tanpa ruptura SPK,
(ICD-S37.0.0) tanpa ektravasase urin.
IV Laserasi Laserasi korteks, medulla dan
Parenkhi SPK
mal
(ICD-S
37.0.1)

5
6

Vaskuler Trauma pada cabang arteri


(ICD-S 35.4) atau vena renalis
V Laserasi “completely shattered kidney”
(ICD-S
37.0.1)
Vaskuler Avulsi hilus renalis,
(ICD-S 35.4) devaskularisasi ginjal

Penatalaksanaan dan terapi


Tujuan penatalaksaan dan terapi adalah (13)
 Menekan morbiditas dan mortalitas
 Mempertahankan fungsi ginjal
Sebagian besar trauma ginjal grade I-IV dapat diterapi konservatif, tidak
memerlukan pembedahan.
Indikasi pembedahan (absolut) adalah :
 Trauma vaskuler/trauma pedikel ginjal
 “Shattered Kidney”
 Pendarahan yang meluas atau hematoma yang berdenyut
 Politrauma pasien dengan syok
Indikasi pembedahan (relatif) adalah :
 Devitalisasi segmen ginjal pada pasien trauma organ abdomen
 Ektravasase urin yang persisten
 Loculated collection
 Incomplete grading (CT.Scan atau Angiografi)

Terapi trauma tumpul ginjal(1,2,3,5,13)


 85% tidak perlu pembedahan , pendarahan berhenti spontan
 Indikasi pembedahan apabila pendarahan persisten, ektravasase
urin, kematian parenkhim dan ruptura pedikel(<5%).
 “Staging” sebelum pembedahan.

Terapi trauma tembus


 80% trauma tembus dengan trauma organ dan perlu pembedahan
termasuk ginjal, kecuali bisa membuat “staging” yang lengkap ,
termasuk trauma parenkhim minor tanpa ektravasase urin.

Terapi komplikasi
 Urinoma retroperitoneal , abses perinefrik : Pembedahan drainase
 Hipertensi maligna : Repair vaskuler atau nefrektomi
 Hidronefrosis : Koreksi obstruksi atau nefrektomi

Dari 9% trauma ginjal yang dilakukan pembedahan ekplorasi, sekitar


11% dilakukan nefrektomi, sebagian besar nefrektomi karena
pendarahan dan 61% diantaranya karena trauma renovaskuler.
Tehnik pembedahan adalah :

6
7

1. Laparotomi “Midline”
2. “Gain Proximal control”
3. Ligasi pembuluh darah yang berdarah
4. Reparasi SPK
5. Pejahitan kapsul ginjal atau pemakaian graft omentum
6. Drainase retroperitoneal

Komplikasi
1. Komplikasi dini
 Pendarahan retroperitoneal spontan (80-85%)(1)
 Pendarahan retroperitoneal persisten
 Gross hematuria persisten
 Urinoma
 Abses perinefrik
 Urosepsis

2. Komplikasi lambat
1. Hipertensi
2. Hidronefrosis Fistula arteri-venus
3. Pembentukan batu
4. Pielonefritis

Tindak lanjut/Follow up
1. Tindak lanjut untuk komplikasi dini
 Observasi ketat
 Monitor tekanan darah, Hct, masa retroperitoneal
(ukuran/meluas)
 “Complete staging”(IVP,CT Scan,Angiografi)
 Pendarahan retroperitoneal, gross hematuria persisten, urinoma,
Abses perinefrik dan urosepsis pertimbangkan untuk melakukan
tindakan penbedahan dini.

2. Tindakan lanjut untuk komplikasi lambat


 Tirah baring, perdarahan 1-4 minggu pasca trauma mungkin bisa
terjadi
 Monitor tekanan darah sampai beberapa bulan, IVP setelah 3-6
bulan untuk memestikan fibrosis retroperitoneal (tidak
menyebabkan hidronefrosis) dan atropi ginjal tidak menyebabkan
gangguan vaskuler (hipertensi).

Prognosis
Dengan pengawasan pasca trauma yang baik dan hati-hati hampir
semua trauma ginjal mempunyai prognosis yang baik, karena
kemampuan penyembuhan jaringan dan pengembalian fungsi ginjal
sangat baik.

7
8

TRAUMA URETER (ICD-S 37.1)


Trauma tumpul ureter jarang menyebabkan kerusakan pada
ureter, trauma ureter lebih banyak akibat operasi daerah pelvis, luka
tembak, trauma deselerasi dan manipulasi endoskopi ureter. 90%
trauma ureter terjadi oleh karena trauma tusuk, 2,2-5% oleh karena
luka tembak.

Patofisiologi
Nyeri pinggang spontan/tekan pada sisi trauma terjadi karena
obstruksi ureter akibat jeratan ureter pasca tindakan bedah daerah
pelvis atau urosepsis sebagai akibat ekstravasase urin/urinoma karena
ruptura/nekose ureter pasca manipulasi. Penurunan fungsi ginjal dapat
terjadi akibat obstruksi/urosepsis. Fistel ureterovaginal/ureterokutan
atau Ileus/peritonitis dapat terjadi apabila ekstravasase urin menembus
ke vagina/kulit-luka operasi atau ke rongga peritoneum. Hidronefrosis
dapat terjadi karena obstruksi parsial pasca trauma karena
stenosis/fibrosis ureter.

Klinis
Gejala-gejala (Symptoms)
1. Panas badan
2. Nyeri pinggang
3. Perut kembung (kadang-kadang)
4. Mual, muntah
5. Basah/terjadi fistel (pada umumnya setelah 10 hari pasca operasi)
6. Anuria (trauma ke-2 ureter)

Tanda-tanda (Signs)
1. Hydronefrosis akut/masa daerah lumbal
2. Paralitik ileus
3. Peritonitis
4. Infeksi luka operasi (ILO) /fistel ureterokutan
5. Keluar urin pervaginam/fistelvesikovaginal

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
 Urin analisis: Untuk membuktikan erithrocyturia, lekosituria.
hematuria mikroskopis (90% pada trauma tembak)
 Bakteriologi: Untuk membuktikan mikroba dalam urin dan
pemilihan antimikroba yang sesuai
 Pemeriksaan darah/serum: Kreatinin serum (SC) meningkat
apabila obstruksi bilateral
Jarang terjadi penurunan hemoglobin (Hb).

8
9

2. Radiologi
 IVP
- Ekstravasase kontras pada ureter yang trauma
- Hidronefrosis/hidroureter/nonvisualisasi pada ginjal/ureter yang
trauma

 RPG
-Memastikan lokasi obstruksi/ektravasase urin ureter yang
trauma

 USG
- Mengetahui Urinoma pasca operasi dengan cepat

 CT Scan
- Mengetahui anatomi dan fungsi ginjal
- Urinoma

Klasifikasi (Staging/Grading) trauma ureter (11)


I Hematoma/Kontusio Kontusio/hematoma tanpa
devaskularisasi
II Laserasi Transeksi < 50%
(ICD-S 37.1.0)
III Laserasi Transeksi > 50%
(ICD-S 37.1.0)
IV Laserasi Transeksi komplit dan dengan
(ICD-S 37.1.0) devaskurarisasi 2 cm
V Laserasi Avulsi hilus renalis devaskularisasi ginjal
(ICD-S 37.1.0)

Diagnosis banding(1)
1. Pielonefritis akut (IVP dan USG dapat membedakan)
2. Cairan/serum drain pasca operasi pelvis (pemeriksaan SC transudat
dapat membedakan dengan urin).

Komplikasi(1)
1. Striktura ureter yang menyebabkan hidronefrosis
2. Urinoma
3. Sepsis

Terapi
Prinsip reparasi ureter :
1. Debridemen
2. Spatulasi-anastomose-tidak tegang
3. Penjahitan“watertight”
4. Pasang “stent”(pada kasus-kasus tertentu)
5. Pasang drain retroperitoneal

9
10

Ureter 1/3 atas


1. Ureteroureterostomy primer
2. “Bowel replacement” apabila cara 1 tidak dapat dikerjakan

Ureter 1/3 tengah


1. Ureteroureterostomy primer
2. Transureteroureterostomy

Ureter 1/3 distal


1. Neo-implantasi ureter (dengan “Psoas hitch & anti reflux procedure”)
2. Ureteroureterostomy primer (akibat jeratan/tidak ada bagian yang
hilang)
3. “Bladder tube flap”(Boary flap) apabila sisa tidak cukup panjang.

Prognosis
1. Baik apabila dapat ditegakkan diagnosis dini dan terapinya tepat
2. Buruk apabila diagnosis ditegakkan terlambat, sudah terjadi infeksi,
abses, hidronefrosis dan fistel.

TRAUMA KANDUNG KEMIH (ICD-S 37.2)


Trauma kandung kemih sering terjadi karena kekuatan/gaya dari
luar dan sering berhubungan dengan faktura tulang-tulang pelvis
(sekitar 15 % fraktura tulang-tulang pelvis berhubungan dengan trauma
kandung kemih dan uretra), trauma iatrogenik bisa terjadi karena
prosedur pembedahan ginekologi, reparasi hernia dan operasi trasn
uretral.

Patofisiologi
Tulang-tulang pelvis adalah pelindung kandung kemih, tetapi
apabila terjadi trauma yang cukup keras yang menyebabkan fraktura
tulang-tulang pelvis dan fragmen tulang yang fraktura menusuk
kandung kemih dapat mengakibatkan trauma tusuk kandung kemih,
pada umumnya terjadi trauma tusuk kandung kemih ekstraperitoneal,
apabila ektravasase urin (terinfeksi) dapat terjadi “pelvic
inflamation/abscess”, ada kalanya kandung kemih dalam keadaan
penuh mendapat trauma tumpul melalui perut bagian bawah sehingga
terjadi trauma tumpul kandung kemih, pada umumnya terjadi ruptura
kandung kemih daerah fundus intraperitoneal, apabila diagnosis cepat
ditegakkan dan ekstravasase urin (tidak terinfeksi) maka gejala-gejala
peritonitis tidak ditemukan, tetapi apabila terjadi sebaliknya dan
ekstravasase urin (terinfeksi), maka akan terjadi gejala-gejala abdomen
akut (peritonitis akuta).

10
11

Klinis
Gejala-gejala (Symptoms)
1. Nyeri perut bawah/daerah pelvis pasca trauma
2. Tidak bisa kencing
3. Hematuria

Tanda-tanda (Signs)
1. Jejas, luka tusuk/tembak abdomen bawah/daerah pelvis
2. Syok hipovolomik/pendarahan
3. Tanda-tanda faktura tulang-tulang pelvis
4. Tanda-tanda peritonitis akut
5. Masa abdomen bawah/daerah pelvis (akibat adanya
pendarahan/urinoma) pada bimanual palpasi.

Laboratorium
1. Pemeriksaan Hb, Hct. untuk mengetahui anemia akut karena
pendarahan
2. Urinalisis dan biakan kuman untuk mengetahui hematuria
mikroskopis, urine streril atau terinfeksi, apabila bisa kencing
spontan atau kateterisasi apabila tidak ada indikasi kontra.(1,6)

Radiologi
1. Foto polos abdomen untuk melihat fraktura tulang-tulang pelvis,
kabut daerah pelvis/abdomen bawah karena
hematoma/urinoma. (1.2.6.13)

2. Foto sistografi untuk melihat ektravasase kontras ekstra/intra


peritoneal (1,2,6,13)

Diagnosis banding(1)
1. Trauma abdomen dengan hematuria dapat disebabkan oleh:
 Trauma ginjal
 Trauma ureter
 Trauma kandung kemih
Urogram (IVP/RPG/Sistogram) sesuai indikasi dapat membedakan
ketiga kasus diatas
2. Trauma daerah pelvis/faktura tulang-tulang pelvis dengan
pendarahan peruretram dapat disebabkan oleh:
 Trauma kandung kemih
 Trauma Uretra
 Trauma kandung kemih dan uretra
Uretrografi dapat melihat ruptura dan lokasi trauma

Klasifikasi (Staging/Grading) Trauma Kandung Kemih (11)

11
12

I Hematoma/Kontusio Kontusio/hematoma intra mural


(ICD-S 37.2.0)
Laserasi Laserasi parsial dari tebal/dinding
(ICD-S 37.2.0)
II Laserasi Laserasi dinding ekstraperitoneal <
(ICD-S 37.2.1) 2cm
III Laserasi Laserasi dinding ekstraperitoneal
(ICD-S 37.2.1) >2cm atau dinding intraperitoneal <
2cm
IV Laserasi Laserasi intraperitoneal >2cm
(ICD-S 37.2.1)
V Laserasi Laserasi intra/ekstraperitoneal
(ICD-S 37.2.1) meluas ke leher/orifisium
uretra/trigonum

Komplikasi(1)
1. Abses cavum pelvis
2. Peritonitis
3. “Stress”Inkontinensia (parsial)

Terapi
1. Terapi terhadap syok dan pendarahan
2. Pembedahan ekplorasi (untuk penyelamat)
3. Ekstraperitoneal ruptura
 Insisi kulit midline
 Peritoneostomi (untuk melihat warna cairan cavum peritoneum,
apabila merah ekplorasi organ intraperitoneal)
 Repair transvesikal dengan insisi midline
 Hati-hati apabila ruptura leher kandung kemih (inkontinentia !)
 Kateter uretra dan kateter sistostomia suprapubik
 Drain vacum ektraperitoneal
4. Intraperitoneal ruptura
 Insisi midline-tranperitoneal
 Repair tranvesikal dengan insisi midline
 Cuci bersih cavum peritoneum
 Kateter uretra dan kateter sistostomia suprapubik
 Drain cavum ektraperitoneal
5. Fraktura tulang-tulang pelvis
 Frakur stabil
 Fraktur tidak stabil (stabilitasi)
6. Hematoma cavum pelvis
 Pendarahan dapat diatasi/dikontrol tanpa pembedahan
 Pendarahan tidak dapat diatasi/dikontrol (pembuluh darah besar-
fraktura) pembedahan ekplorasi

12
13

7. Tindakan medis/tanpa pembedahan


1. Ruptura kecil (sistrogram) : pasang kateter uretra/sistostomi
suprapubik, observasi ketat, usahakan urine steril

Prognosis
1. Sangat baik, apabila mendapatkan terapi yang tepat, kateter
uretra/sistostomi dilepas hari ke-10 dan pasien dapat miksi
normal(1,2,13)
2. Pasien dengan trauma leher kandung kemih biasanya hanya terjadi
inkontinentia temporer/sementara.(1)
3. Adakalanya terjadi infeksi saluran kemih, dengan monitor biakan
kuman dalam urine dan pemberian antibiotika yang adequate dapat
mengatasi.(1)

TRAUMA URETRA (ICD-S 37.3)


Trauma uretra jarang terjadi, laki-laki lebih sering dari wanita,
terutama karena fraktur pelvis dan “straddle injury”, jenis trauma
berupa laserasi, terputus dan kontusio, penanganannya tergantung dari
bagian uretra yang trauma, untuk kepentingan klinis uretra dibagi
menjadi uretra posterior (uretra pars prostatika dan membranasea) dan
uretra anterior (uretra pars bulbosa dan pedularis).

Trauma uretra posterior


Patofisiologi
Trauma uretra posterior sering karena fraktur pelvis, putusnya
uretra(parsial/total) terutama pada bagian proksimal dari uretra pars
membranosea dapat mengakibatkan dislokasi prostat, haematum
periprostatika dan ruangan perivesikal, pendarahan peruretram dan
retensio urin.

Klinis(1)
Gejala-gejala (Symptoms)
7. Riwayat trauma pelvis
8. Nyeri perut bagian bawah
9. Ketidakmampuan melakukan miksi secara normal

Tanda-tanda (Signs)
1. “Urethral bleeding”
2. Nyeri tekan suprasimfisis
3. Tanda-tanda fraktur pelvis
4. Dislokasi prostat pada pemeriksaan colok dubur, 10% normal(pada
ruptur parsial uretra membranosea)(1)

13
14

Laboratorium(1)
1. Anemia akut bila terjadi pendarahan hebat/hematuma luas
2. Urinalisis, pemeriksaan awal susah mendapatkan urin

Radiologi
1. Gambaran fraktur pelvis (foto polos)
2. Ektravasase kontras didaerah prostatomembranosea(Uretrogram),
kandung kemih tidak terisi kontras dan ektravasase kontras
perivesikal bila ruptura total

Intrumentasi(1)
Kateterisasi tidak dianjurkan karena :
1. “Rebleeding”
2. Resiko infeksi
3. Memperberat trauma

Klasifikasi (Staging/Grading) Trauma Uretra (11)


I Kontusio Darah pada miatus uretra,Uretrografi
(ICD-S 37.3.0) normal
II “Stretch”/regang Uretra memanjang, Uretrografi
(ICD-S 37.3.0) ekstravasase urin(-)
III Disrupsi parsial Uretrografi ada ekstravasase kontras
(ICD-S 37.3.1) didaerah trauma
dan sebagian kontras masuk kandung
kemih
IV Disrupsi koplet Uretrografi ada ekstravasase kontras
(ICD-S 37.3.1) didaerah trauma tanpa ada kontras masuk
kandung kemih, separasi uretra <2 cm
V Disrupsi Komplit Transeksi komplet dengan separasi uretra
(ICD-S 37.3.1) >2 cm atau meluas ke prostat/vagina

Klasifikasi trauma uretra posterior yang berbasis pada foto


uretrografi menurut Colapinto dan McCallum(1977) (16)
Type “Stretch” Uretra posterior “meregang” karena
I uretra ruptura ligamen puboprostatika,
(ICD-S 37.3.0) hematoma mengumpul pada fosa
prostatika sehingga terjadi dislokasi dasar
kandung kemih dari cavum pelvis, uretra
posterior masih”intact”
Type Ruptura uretra Disrupsi uretra posterior
II membranoprostatika pada”membranoprostatic junction”(diatas
diatas diafrahma diaphragma U-G), Uretrografi
U-G memperlihatkan ektravasase kontras
(ICD-S 37.3.1) kedalam cavum pelvis ektraperitoneal
Type Ruptura uretra Disrupsi/putus uretra posterior pada

14
15

III Membranosea “membranosea”(pada diaphragma U-G),


(ICD-S 37.3.1) meluas kebagian proksimal uretra bulbosa,
disrupsi diaphragma U-G, uretrografi
memperlihatkan ekstravasase kontras
dibawah diaphragma U-G kedaerah
perineum

Diagnosis banding(1)
1. Ruptura kandung kemih disertai ruptura uretra posterior (IVP dan
uretrogram memastikan diagnosis)
2. Ruptura uretra anterior disertai ruptura uretra posterior
(uretrogram memastikan diagnosis)

Terapi
1. Darurat: sesuai dengan penanganan trauma pada umumnya yaitu:
Primary Suvey(A,B,C,D,E,F) dan Secondary Survey, hindari
pemasangan kateter peruretram, jika diperlukan pasang kateter
sistostomia (sistostomia trukar tidak dianjurkan).
2. Pembedahan:
 Segera (immediate): Pemasangan kateter sistostomi dengan insisi
midline pada perut bagian bawah, dipertahankan 3 bulan untuk
ruptura total dan 2-3 minggu untuk ruptura parsial untuk
selanjutnya dibuatkan foto “Bipolar Voiding Cystourethrography
(BVCU), untuk menilai penyembuhan, kebocoran dan striktura
uretra.
 Rekontruksi uretra tunda (Delayed repair/urethral
recontruction): Pembedahan rekontruksi umumnya dikerjakan
setelah 3 bulan dengan asumsi abses/infeksi daerah pelvis sudah
tidak ada, striktura uretra umumnya cukup panjang (1-2 cm),
insisi perineum, eksisi jaringan yang fibrosis , kateter silicon 16 F
dipertahankan pada uretra 1 bulan, penyambungan uretra
bulbosa dengan aspek prostat “end to end” dan pertahankan
sistostomi sampai pasien dapat miksi spontan dan foto “voiding
cystourethrography”(VCU) tidak ada ektravasase dan striktura,
apabila ada pertahankan sistostomia, 2 bulan ulang foto (VCU).
 Penyambungan uretra segera (Immediate urthral
realignment/primary repair): dikerjakan oleh beberapa ahli
bedah dengan hasil baik, walaupun secara teknis sukar dengan
insiden komplikasi striktura, impotensia dan inkontinensia lebih
tinggi dari “delayed repair/urethral recontruction”
 Penanganan komplikasi pasca bedah: Striktura uretra –
urethrotomy (Sachse), Impotensia – protesa penis (2 tahun pasca
pembedahan, impotensia permanen), Inkontinentia – umumnya
membaik secara pelan-pelan.

15
16

Komplikasi (1)
Komplikasi “Primer repair” “Delayed repair”
Striktura uretra 50% 5%
Impotensia 30-80% 10-15%
Inkontinensia(stess) 2/3 kasus <5%

Prognosis
Prognosis sangat baik apabila komplikasi teratasi dan terapi
terhadap infeksi tepat(1)

Trauma uretra anterior


Batasan(1): Trauma pada uretra bagian distal dari diaphragma traktus
urogenitalia

Etiologi
1. “Stradle injury”(laserasi atau kontusio)
2. Instrumentasi (ruptura parsial)
 “Self catheterisation”
 “Iatrogenic instrumentation

Patofisiologi
“Stradle injury” dengan trauma ringan tidak menyebabkan
ruptura uretra, hanya terjadi hematum daerah perineal disebut
kontusio uretra, apabila terjadi “stradle injury” berat menyebabkan
uretra hancur/laserasi diikuti dengan ektravasase urin disebut laserasi
uretra, kadang-kadang ektravasasi urin meluas ke sekrotum, penis dan
naik sampai dinding abdomen hanya dibatasi fasia Colles dapat terjadi,
urinoma, infeksi dan sepsis(1,10)

Klinis
Gejala-gejala (Symptoms):
1. Pendarahan peruretra setelah jatuh/instrumentasi(1,2,13)
2. Nyeri daerah perineum

Tanda-tanda (Signs):
1. Hematum/masa daerah perineum
2. Posisi prostat normal (RT)
3. Keinginan pasien untuk kencing
4. Urinoma
5. Tanda-tanda infeksi pada perineum, skrotum dan dinding abdomen
bawah dengan kulit kemerahan dan odema (trauma lama)

16
17

Laboratorium:
1. Anemia akut (jarang, trauma organ lain)(1)
2. Lekositosis (infeksi/sepsis)

Radiologi (Uretrografi):
1. Ektravasase urin pada daerah ruptura
2. Ektravasase urin(-) pada kontusio uretra

Instrumentasi:
1. Kateterisasi dengan hati-hati (apabila ada indikasi) dipertimbangkan
pada kontusio uretra(1)
2. Kontra indikasi katerisasi pada ruptura uretra
3. Sistostomi (perkutan/trucar) tindakan paling aman (1)

Diagnosis banding:
1. Ruptura uretra prostatomembranasea
2. –
Jenis trauma (fraktur pelvis, tradle injury dan uretrogram) dapat
membedakan.

Komplikasi:
1. Pendarahan hebat (kadang-kadang bisa terjadi dari korpus
spongiosum)
2. Infeksi/sepsis
3. Striktura

Terapi:
1. Pendarahan peruretram;Penekanan daerah pendarahan dan
resusitasi dapat membantu pada tradle injury
2. Kontusio uretra;Tidak perlu terapi khusus apabila bisa kencing
spontan tanpa keluhan
3. Laserasi uretra dengan ektravasase urin minimal: Sistostomia
4. Laserasi uretra dengan ektravasase urin luas: Sistostomia dan
drainase urin
5. “Immediate repair”: Tehnis lebih sulit, insiden striktura uretra lebih
tinggi
6. “Delayed repair” : Tehnis lebih mudah, insiden striktura uretra lebih
rendah
7. Komplikasi striktura: Uretrotomi internal/Sachse (striktura pendek),
rekontruksi uretra (striktura panjang)

Prognosis:
Striktura uretra adalah komplikasi utama, tetapi sebagin besar kasus
tidak perlu tidakan bedah rekontruksi.(1)

17
18

Kepustakaan
1. Aninch J.W : Injury to the Genitourynary Tract, Smith’s General
Urology, Tanagho, Aninch, 14 th. ed,A Simon & Schuster Co,
Singapore, 314-352, 1995
2. Aninch J.W: Renal and Ureteral Injury, Udult and Pediatric Urology,
Vol.1, Gillenwater, 3 th.ed, New York, 539-585, 1996
3. Aninch J.W, Carroll P.R : Renal Exploration after Trauma :
Indications and Reconstructive Techniques, Urol.Clin, Vol.16, 203-
212, May 1989
4. Altman L.K : Renal Trauma, Trauma to the Urinary Tract, The Merck
Manual of Diagnosis and Teraphy, 1-2, 2000
5. Brandes S.B, Aninch J.W : Renal Trauma : Practical Guide to
Evaluation and Management, DUJ, 1-13, 1997
6. Cass A.S : Diagnostic Studies in Bladder Rupture : Indications and
Tehnicques, Urol.Clin, Vol.16, 267-274, May 1989
7. Devine Jr.C.J, Jordan G.H and Devine P.C : Primary Realignment of
the Disrupted Prostatomembranous Urethra, Urol.Clin,Vol.16, 291-
296, May 1989
8. Guerriero Wm.G : Ureteral Injury, Urol.Clin, Vol.16, 237-248, May
1989
9. Mee S.L, Aninch J.W : Indications for Radiographic Assessment in
Suspected Renal Trauma, Urol.Clin, Vol.16, 187-192, May 1989
10. Omarbasha B, Genitourinary Trauma, Manual of Urology:
Diagnosis and Theraphy, Siroky, 1th ed, Little Brown & Co, Boston,
225-231, 1990,
11. Peterson N.E : Genitourinary trauma, Trauma, Feliciano, 3th ed, A
Simon & Schuster Co, Singapore, 661-693, 2000
12. Peterson N.E : Complications of Renal Trauma, Urol.Clin, Vol.16,
221-236, May 1989
13. Peters P.C, Sagalowsky A.I : Genitourinary Trauma, Campbell’s
Urology, walsh, 6 th. ed, Vol.3, W.B.saunders, Philadelphia, 2571-
2594, 1992
14. Resnick M.I, Spirnak J.P : Renal Injury, Decision Making in
Urology, Resnick, 2 th. Ed, McGraw-Hill Int.ed.Medical series,
Philadelphia, 86-87, 1992
15. Seidman C : Renal Trauma, Trauma.Org. Nov. 1-11, 1997
16. Sandler C.M, Corriere Jr.J.N : Urethrography in the Diagnosis of
Acute Urethral Injuries, Urol.Clin, Vol.16, 283-290, May 1989

18
19

2. KEDARURATAN UROLOGI NON TRAUMA


________________________________________________________________________
A.A.G.Oka
Seksi Urologi Lab/SMF Ilmu Bedah FK.UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Kedaruratan urologi adalah suatu keadaan kasus urologi
darurat, apabila tidak mendapat terapi yang cepat dan tepat akan
menyebabkan penyakit menjadi lebih parah/morbiditas atau
kematian/mortalitas. Beberapa contoh kedaruratan urologi adalah
trauma saluran kemih (ginjal,ureter,kandung kemih dan uretra) dan
genetalia, kolik renal/ureter, retensi urin akut, hematuria dengan/tanpa
retensi bekuan darah, scrotal akut (torsio testis/apendiks testis,
orchitis/orcho-epididymitis), anuria, priapismus, parapimosis,
septisemia/syok septic dan kateter buntu. Kedaruratan urologi pada
pembahasannya dibedakan menjadi “Kedaruratan Urologi pada Trauma”
dan “Kedaruratan Urologi Non trauma”.
Tujuan penulisan “Pedoman Diagnosis dan Terapi Kedaruratan
Urologi” adalah untuk dapat menegakkan diagnosis dan terapi kasus
urologi darurat secara benar dan sesuai dengan standar/pedoman
nasional dan internasional yang dimodifikasi sesuai dengan fasilitas
RSUP Sanglah Denpasar sehingga dapat menekan/mencegah morbiditas
dan mortalitas. Pada akhir tahun Pedoman Diagnosis dan Terapi ini
akan dievaluasi dan dikoreksi sesuai dengan perkembangan ilmu dan
fasilitas.

19
20

Urosepsis dan septisemia


(ICD-10 : N 39.0)
Definisi/batasan
Septisemia adalah invasi akut mikroorganisme kedalam sirkulasi
darah, suatu keadaan yang serius, progresif dan “lifetreatening
infection”, mungkin berasal dari infeksi lokal pada traktus respiratorius,
traktus gastrointestinal, taktus genitourinarius atau dari kulit, misalnya
oteomielitis, meningitis atau obstruksi traktus urinarius (2). Pasien
diabetes mellitus, Sirosis hepatis, Alkololisme atau kanker adalah pasien
resiko tinggi untuk septisemia(3).
Urosepsis adalah septisemia dengan mikroorganime berasal dari
traktus geniturinarius.(Management of Urology Emergency)

Tabel 1. Consensus conference criteria defining sepsis(3)


State Criteria
SIRS Any two of the following:
Temprature : > 380 C or < 360 C
Heart rate : > 90
Respiratory rate: > 20 or PaCO2 <32
WBC : > 12x106/mm3 or < 4x106/mm3 or > 10%
band forms
Sepsis SIRS plus clinical evidece of infection
Severe Sepsis plus hypotension (SBP < 90mm Hg or organ
sepsis dysfunction or hypoperfusion
Septic Sepsis plus hypotension despite adequate fluid
shock resuscitation plus hypoperfution
SIRS = Systemic inflammatory response syndrome; WBC = White blood cell count; SBP = Systolic
blood pressure; PaCO2 = Partial pressure of carbon dioxide in arterial gas.
Adapted from J.Urol.Clin.Nov.1999.

Patofisiologi/Etiologi
Dalam keadaan normal pertahanan (barrier) antara “Host” dengan
mikroorganisme sangat kuat(3). Pada keadaan tertentu pertahanan
tersebut hilang atau menurun karena penyakit sistemik atau obat-
obatan atau manipulasi/tindakan pembedahan (3). Bakteri gram- negatif
adalah flora komensal pada saluran cerna bawah dan sering
menyebabkan infeksi lokal pada saluran kemih dan organ reproduksi (3).
Mortalitas rata-rata bakterimia gram- negatif sekitar 10% dan
meningkat menjadi 30% pada penderita dengan
“immunocompromised” . Escherichia coli adalah bakteri gram negatif
(3)

penyebab bakterimia paling sering menyusul Klebsiella, Enterobacter,


Serratia, Pseudomonas spp, Proteus, Citrobacter, Xanthomonas,
Aeromonas, Acinetobacter, Samonella dan Shigella.Virulensi paling tinggi
adalah Pseudomonas dan Klebsiella spp dan resistensi meningkat
terhadap terapi antibiotika pada infeksi karena Pseudomonas dan
Enterobacter spp. (3)

20
21

Tabel 2. Risk factor for the development gram-negative sepsis(3)


Age > 65 years or < 6 months
Diabetes
Cancer
Uremia
Immunesuppression
AIDS (Acquared immunodeficiency syndrme)
Chemotherapy
Organ transplant
Concurrent infection
Prolonged antibiotica therapy
Instrumentation
Endotrachealintubation
Vascular catheter
Urinary catheter
Surgery
Gastrointestinal procedure
Genitourinary procedure
Obsetric procedure
Trauma
Adapted from J.Urol.Clin.Nov.1999

Klinis
1. Penderita dikatagorikan dalam keadaan sepsis apabila ada
 Panas
 Hipotensi
 Tarkikardi
 Takipnea

2. Kadang-kadang dijumpai
 Gangguan mental (agitasi, letargia)
 Mual, muntah
 Perut kembung (ileus)
3. Hipermetabolisme
 Peningkatan glukosa darah karena peningkatan glukoneogenesis
 Asam amino darah karena katabolisme otot-otot bergaris
4. Gangguan fungsi organ
 Hipoperfusi jaringan
 Asam laktat darah meningkat
 Produksi urin menurun
 Vasokontriksi perifir
 Acidemia
 Syok dingin (Cold shock)
5. Gagal multi organ, sepsis berkepanjangan

21
22

 Gagal paru
 Gagal hati
 Gagal ginjal

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
 Darah lengkap
 Urin lengkap
 Faal ginjal (BUN, SC)
 Analisa gas darah, elektrolit darah
 Biakan kuman darah dan urin
2. Radiologi
 BOF-USG Ginjal (bila SC > 2 mg%)
 IVP (bila SC < 2mg% dan USG ginjal bila IVP tidak
informative/Nonvisualisasi)

Diagnosis
Tergantung berat-ringannya, infeksi sistemik/sepsis dibedakan(3) :
(Consensus conference criteria defining sepsis)
1. SIRS(Systemic imflammatory response syndrome)
Sindroma respon inflamasi sistemik
(dua/lebih hal dibawah ini)
 Temprature : > 380 C or < 360 C
 Heart rate : > 90
 Respiratory rate: > 20 or PaCO2 <32
 WBC : > 12x106/mm3 or < 4x106/mm3 or > 10%
band forms
2. Sepsis
 SIRS
 Tanda/bukti klinis adanya infeksi/fokal infeksi
3. Sepsis berat
 Sepsis
 Hipotensi( T < 90 mm Hg)/organ disfungsi/hipoperfusi
jaringan
4. Septik syok
 Sepsis
 Hipotensi, walaupun dengan resusitasi cairan memadai
 Hipoperfusi jaringan

Terapi
1. Resusitasi cairan
 RL/RD
 Monitor Tensi, Nadi, produksi urin atau dengan monitor JVP/CVP
2. Pemberian antibiotika spectrum luas

22
23

 Ampicillin 50-100 mg/kg.BB/24 jam dibagi 3 kali pemberian dan


Gentamicin 2-4 mg/kg.BB/24 jam dibagi 2 kali pemberian atau
 Cefalosporin generasi III
Cefotaxime/Ceftazidime/Ceftriaxone 50-100 mg/kg.BB/24 jam
dibagi 3-4 kali pemberian atau
 Quinolone
Cyprofloxacine 5-10 mg/kg.BB/24 jam dibagi 2 kali pemberian
atau
 Sesuai dengan biakan kuman dalam urine/darah
3. Mencari /menglilangkan sumber infeksi
 Drainage/terapi definitive
Obstruksi saluran kemih atas : Nefrostomi
Obstruksi saluran kemih bawah : Sistostomi/kateter peruretra
Abses/jaringan nekrosis : insisi/nekrotomi/debridemen
4. Nutrisi/pemberian oksigen/perfusi jaringan
 Oral/sonde/enteral
 Parenteral nutrisi parsial/total
5. Hemodialisis
1. Odema paru
2. Asidosis
3. Hiperkalemia
4. Gagal ginjal
Komplikasi
1. Syok septic
2. Gagal fungsi organ

Tindak lanjut (Follow up)


1. Mencari faktor resiko
2. Merencanakan terapi definitive

Kepustakaan
1. Bahnson RR : Urosepsis, Urinary Tract Infections, Urol. Clin. North
Am 13:4, 627-636, 1986.
2. Cunha BA :Urosepsis : A diagosis and therapeutic approach, Int.Med
7:3, 85-93,1996
3. Lazaron V dan Barke RA : Gram-negative bacterial sepsis and the
sepsis syndrome, Infections in Urology, Urol.Clin.North Am 26:4,
687-700,1999.

HEMATURIA
(ICD –10 : R 31.-)
Definisi/Batasan
1. Hematuria mikroskopis adalah adanya sel darah merah >3/hpf(high-
power-field/ pembesaran 400x) didalam urin(1,2,3).

23
24

2. Hematuria makroskopis/gross hematuria adalah urin berwarna


merah/pink, mungkin ada gumpalan kecil dari darah didalam urin (3).

Patofisiologi/Etiologi
1. Hematuria dapat terjadi secara fisis terputusnya “endothelial-
epithelial barrier”(3):
 Anatomic disruption : Trauma, neoplasma dan inflamasi.
 Penyakit glomerulus : Sel darah merah keluar dari lumen kapiler
dan merusak
epitel glomerulus.
 Hiperkalsiuria : Iritasi tubulus renalis oleh kristal-kristal
kalsium.
2. Perubahan hemodinamik ginjal : Terjadinya hematuria berhubungan
dengan latihan otot, panas badan dan hiperkatabolisme(3).

Etiologi hematuria (1)


1. Infeksi saluran kemih
2. Kelainan anatomi/struktur
 Conginital gastro-urinary (GU) malformations
 Neoplasma
 Vascular malformation
 Papilarynecrosis-sickle cell disease, analgetic nephropathy
3. Trauma
4. Batu saluran kemih
5. Hematologi
 Hemoglobinopathy
 Hemophilia
 Coagulopathy-Hemorrhagic desease pada bayi
 Disseminated intravascular coagulation (DIC)
 Thrombocytopenia
6. Kelainan glomerulus
 Penyakit golmerulus primer
 Penyakit sistemik dengan penyakit glomerulus sekunder
7. Penyakit heriditer
 Ginjal polikistik
 Nefritis familial (sindrom Alport)
 Osteo-onychodysplasia (Nail-Patella Syndrome)
 Hiperkalsiuria ( dengan tanpa pembentukan batu)
8. Lain-lain
 Nefritis intersial : Obat-obatan (antibiotika, NSAID)
 Nefrokalsinosis
 Trombosis vena renalis
Klinis

24
25

Untuk memperkirakan etiologi hematuria terutama gross hematuria


secara klinis hematuria dibedakan(2) :
1. Initial hematuria : Ada darah/urin merah pada permulaan miksi,
umumnya kita curiga ada masalah pada uretra atau pada prostat
pada laki-laki.
2. Terminal hematuria : Ada darah/urin merah pada akhir miksi, pada
umumnya kita curiga ada masalah pada kandung kemih atau prostat
3. Total hematuria : Ada darah/urin merah mulai permulaan sampai
akhir miksi, pada umumnya kita curiga ada masalah pada kandung
kemih , ureter dan ginjal
4. Hematuria sesuai siklus menstruasi pada wanita, kita curiga
endometriosis dari saluran kemih

Untuk memperkirakan etiologi hematuria dengan gejala-gejala


(symptoms) penyakit saluran kemih(2)
1. Hematuria dengan nyeri daerah pinggang, kita curiga ada masalah
pada ginjal, karena trauma atau tumor ginjal.
2. Hematuria dengan gejala iritasi-urgency, frequency, dysuria, sering
karena karsinoma kandung kemih.
3. Hematuria dengan pancaran kencing menurun, hesitancy/miksi
tidak tuntas, umur > 40 tahun, umumnya karena ada masalah
pembesaran prostat (jinak/ganas).
4. Hematuria dengan nyeri perut, mungkin karena proses inflamasi
ureter atau ginjal akibat trauma, infeksi atau tumor.
5. Hematuria dengan panas badan , pertanda adanya infeksi pada ginjal
atau ureter.

Diagnosis
Diagnosis suatu penyakit dengan gejala hematuria sangat banyak,
sehingga memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis : Sedapat mungkin menghubungkan hematuria tersebut
dengan jenis hematurianya (initial,total,terminal dan lain-lain) dan
gejala penyakit saluran kemih lainnya (hematuria dengan nyeri
pinggang, gejala iritasi, panas dan lain-lain), Riwayat
kesehatan/penyakit, kebiasaan-kebiasaan , batu saluran kemih
dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisis : Pemeriksaan saluran kemih menyangkut


pemeriksaan abdomen, pelvis, genital dan rectum. Kadang-kadang
pemeriksaan ektremitas dan persendian diperlukan yang
berhubungan dengan kelainan pada ginjal.

3. Pemeriksaan penunjang :
 Laboratorium

25
26

Urin sedimen, biakan /hitung kuman dalam urin, urin sitologi, tes
fungsi ginjal (BUN/SC), kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
elektrolit darah-urin, kleren kreatinin, PSA (Prostat specific
antigen).
 Radiologi
IVP (intravenous pyelography)
USG (ultrasonography) kadang diperlukan (optional)
CT/CUT scan kadang diperlukan (optional).
Terapi
Apabila diagnosis spesifik/etiologi/primer sudah dibuat maka terapinya
tergantung dari diagnosis tersebut.
1. Antibiotika untuk infeksi
2. Pembedahan tergantung dari sumber pendarahan
 Tumor tergantung ukuran/besar dan lokasi pada saluran kemih
 Batu saluran kemih tergantung besar, lokasi batu dan mencegah
kekambuhan
 Trauma : tirah baring, reparasi, membuang organ
 BPH : Medikamentosa, Bedah endoskopik, Bedah terbuka.

Komplikasi
1. Obstruksi saluran kemih atas atau bawah
2. Anemia
3. ISK (infeksi saluran kemih

Tindak lanjut (Follow Up)


1. Mencari kausa/etiologi
2. Terapi kausa/etiologi
3. Mencegah kekambuhan

Kepustakaan
1. Aninch JW : Symptoms of Disorders of the Genitourinary Tract :
Bloody Urine, Smith’s General Urology, 14th , Simon&Schuster Asia
Pte.Ltd.Singapore, 37, 1997.
2. Brendler CB : Gram-Negative Bacteremia and Septic Shock,
Perioperative Care, Cambell’s Urology, 6th Ed, Vol.3, W.B.Saunders,
Philadelphia, 2350-2351, 1992.
3. Childs SJ et all : Hematuria, Urologychannel, 2000.
4. Joseph TF : Hematuria in Childhood and Adolescence, Vanderbilt
University Medical Center, 1998.
5. Sultana SR et all : Microscopic haematuria: Urological investigation
using a standard protocol, BJU, 78, 691-698, 1996.

OBSTRUKSI SALURAN KEMIH


(ICD-10 : N 13.-)

26
27

Klasifikasi, definisi/batasan dan etiologi


Klasifikasi obstruksi saluran kemih tergantung dari(1)
1. Etiologi
 Bawaan
Obstruksi saluran kemih yang disebabkan oleh karena
kelainan bawaan.
Misalnya : UPJ (Uretero Pelvic Junction) stenosis, pimosis
 Didapat
Obstruksi saluran kemih yang disebabkan oleh karena
kelainan yang didapat.
Misalnya : Batu saluran kemih, tumor uretra/prostat/kandung
kemih/ureter/
pelvis renalis, tumor-tumor yang infiltrasi kesaluran kemih.

2. Kejadian (duration)
 Akut
Obstruksi saluran kemih yang kejadiannya mendadak (kurang
dari 1 minggu).
 Kronis
Obstruksi saluran kemih yang kejadiannya perlahan-lahan
(lebih dari 1 minggu).

3. Derajat (degree)
 Parsial
Obstruksi saluran kemih dimana sebagian urin masih bisa
lewat kearah distal.
 Total/komplit
Obstruksi saluran kemih dimana urin tidak bisa lewat kearah
distal.
4. Tingginya (level)
 Saluran kemih atas
Obstruksi saluran kemih setinggi sistim pelvio-kaliks sampai
ureter.
 Saluran kemih bawah
Obstruksi saluran kemih setinggi kandung kemih sampai
uretra.

Patofisiologi
Tekanan hidrostatik yang meningkat dibagian proksimal dari
obstruksi mengakibatkan delatasi dan menipis saluran kemih dibagian
proksimal, tingkat kerusakan
dan komplikasi yang terjadi tergantung dari derajat, kejadian dan
tingginya obstruksi. Obstruksi dengan tekanan hidrostatik tertentu
belum menunjukan keluhan dan gejala secara klinis karena adanya

27
28

mekanisme sfingter, gerakan peristaltic dan tekanan hidrostatik


glomerulus, apabila tekanan hidrostatik sedemikian rupa (normal
tekanan hidrostatik pelvis renalis:6-12mmHg, efferent
arteriole:16,8mmHg, tubulus proksimalis:13,0mmHg, tubulus
distalis:6,7mmHg) sehingga mengakibatkan perubahan pada dinding
saluran kemih (trabekulasi,divertikel, hidroureter, hidronefrosis), refluk,
ekstravasase urin, hipertensi, urosepsis, penurunan GFR (Glomerulo
Filtrasion Rate), atropi ginjal dan gagal ginjal(2).
Hubungan hipertensi dengan hidronefrosis (Vaughan dan
Sosa,1990) tergantung apakah obstruksi ureter unibelateral,
akut/kronis. Pada obstruksi ureter akut dan unilateral hipertensi terjadi
karena aktifitas sistim angiotensin, sedangkan pada obstruksi ureter
kronis bilateral hipertensi terjadi karena retensi air dan garam tubuh
dan azotemia. Pembedahan yang menghilangkan obstruksi/hidronefrosis
memperbaiki hipertensi(2).
Ascites urin terjadi secara spontan pada obstruksi ureter pada
anak-anak dan orang dewasa(France dan Black,1954; Ravitz et al.,1973),
mekanisme terjadinya paling mungkin terjadi ekstravasasi dari forniks
ginjal dan secara inhibisi masuk cavum peritoneum. Umumnya ratio
kreatinin urin dengan plasma (U/P) adalah 30 : 1 sampai 100 : 1
sedangkan ratio kreatinin urin ascites dengan plasma (U/P) adalah
dibawah 2 : 1, ratio non urin ascites dengan plasma (U/P) adalah 1 : 1(2).
Refleks anuria jarang terjadi, bisa terjadi karena obstruksi ureter
sesaat (sejenak) biasanya karena odema mukosa ureter karena tindakan
medis/kateterisasi ureter atau kolik karena sumbatan batu ureter akibat
adanya rangsangan sistim saraf (neurogenic stimulation) pada kandung
kemih atau ureter. Hix (1958) mendapatkan penurunan 20 % aliran
darah ke ginjal dan GFR pada obstruksi ureter unilateral sedangkan
Lytton (1969) mendapatkan penurunan produksi urin 28 % pada
obstruksi unilateral (2).
Diuresis pasca obstruksi jarang terjadi dan biasanya terjadi pasca
pembebasan obstruksi uretera bilateral atau pada obstruksi ureter ginjal
soliter, pada umunnya diuresis bersifat ringan self-limiting dan fisiologis
dengan dikeluarkannya penumpukan air dan natrium dari tubuh
(Muldowney and associate, 1966) hal ini terjadi karena 1). Reabsorsi
natrium kurang, 2). Konsentrasi urin kurang/reabsorsi air kurang dan
3). Solut diuresis (urea dan glukosa dalam urin)(2). Tekanan osmotic
cairan dan bahan-bahan yang larut lebih tinggi dan GFR lebih tinggi
memperbesar potensi terjadinya poliuria.
Ginjal hipertropi biasanya terjadi pada obstruksi kronis ureter
satu sisi diikuti dengan ginjal hipertropi pada sisi kontralateral. Better
(1973) melaporkan terjadi peningkatan klerens kreatinin 2,7-10,2
ml/menit dalam 1 minggu pada ginjal kontralateral dari obstruksi (2).
Pemulihan fungsi ginjal pasca bedah (setelah obstruksi
unilateral/belateral hilang) tergantung banyak faktor yang terpenting
adalah seberapa berat kerusakan yang terjadi akibat dari obstruksi dan

28
29

ada atau tidak infeksi saluran kemih. Edvall (1959) melaporkan


pemulihan fungsi ginjal pada pasien obstruksi uretera dengan drainase
melalui pemasangan kateter ureter adalah GFR dan aliran darah ke
ginjal kembali pada tingkat normal dalam 2 jam dan tampa adanya
rangsangan hipertropi pada ginjal kontralateral(2).

Klinis
1. Keluhan dan Pemeriksaan fisis obstruksi saluran kemih bawah
 Keluhan
Hesitency, kekuatan dan pancaran kencing menurun, terminal
dribling, hematuria (pada tumor/infeksi), dysuria, urin keruh
(pada infeksi) dan retensio urin. Pada beberapa kepustakaan
sering disingkat “LUTS”(Lower Urinary Tract Symptoms)
 Pemeriksaan fisis
Inspeksi : Abdomen bawah cembung (sangat jelas pada orang
kurus).
Palpasi : Teraba kandung kemih kisteus, mungkin
teraba batu, tumor
jaringan fibrosis pada uretra.
Rectal ex : Mungkin teraba pembesaran prostat, tumor
kandung kemih.
2. Keluhan dan Pemeriksaan fisis obstruksi saluran kemih atas
1. Keluhan
Nyeri pinggang setempat atau menjalar sepanjang perjalanan
ureter, gross total hematuria(obstruksi karena batu), keluhan
gastrointestinal(mual,muntah), panas, menggigil, urin keruh
dan panas terbakar saat kencing adalah keluhan akibat adanya
infeksi saluran kemih (ISK).
2. Pemeriksaan fisis
Inspeksi : Kadang-kadang dapat terlihat benjolan masa
didaerah pinggang/
perut atas (pada orang kurus).
Palpasi : Teraba ginjal membesar, kadang-kadang nyeri
apabila dengan
Infeksi.
3. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Anemia : Sering terjadi pada infeksi kronis dan obstruksi
bilateral dengan
gagal ginjal kronis.
Lekositosis : Pada infeksi akut.
Hematuria mikroskopis :
Infeksi ginjal/kandung kemih,tumor,batu.
Peningkatan RFT(BUN/SC) :

29
30

Ada gangguan fungsi ginjal belateral, ratio urea: kreatinin


lebih besar dari 10:1.

2. Radiologi
Foto polos abdomen(BNO/BOF) :
Mungkin ada bayangan ginjal membesar, batu radio opaque
didaerah ginjal/ureter/kandung kemih/uretra, metastase
tumor pada korpus vetebra/tulang pelvis penyebab
kerusakan medulla spinalis(kandung kemih neurogenik),
apabila gambarannya osteoblastik sangat mungkin berasal
dari keganasan prostat.

Urografi intra vena(IVP) :


Terdiri dari foto BNO, Nefrogram, Ureterogram dan
sistogram
Melihat fungsi kedua ginjal secara kwalitatif, obstruksi
(kaliektasis,
hidronefrosis, hidroureter) mungkin terlihat
penyebab/kausa obstruksi Intra lumen (batu radio opaque-
non opaque,tumor,strikura,stenosis) atau ekstra lumen
(pendesakan oleh masa tumor,infitrasi tumor). Melihat
trabekulasi, divertikel, masa tumor dan identasi prostat
batu opaque/non opaque dan sisa urin (residual urine) pada
sistogram.

Uretrografi
Melihat obstruksi dan mungkin penyebab obstruksi
infravesikal seperti striktura, batu, masa tumor pada uretra.

Urografi retrograde
Dapat melihat obstruksi dan penyebab obstruksi lebih
detail/tajam dibandingkan dengan urografi intra vena(IVP),
temasuk pemeriksaan penunjang yang invasive dengan
resiko trauma/lesi saluran kemih dan urosepsis,
diindikasikan pada pasien obstruksi saluran kemih bagian
atas dengan penyebab dan tinggi obstruksi tidak dapat
diketahui dengan pemeriksaan penunjang non invasive (IVP)
atau IVP tidak dapat dilaksanakan karena gangguan fungsi
ginjal.

Ultrasonografi USG)
Sangat baik untuk mengetahui ada/tidaknya ginjal,
pelebaran sistim pelviokaliks, tebal parenkhim ginjal, batu
opaque/non opaque dan tumor pada ginjal dan kandung
kemih.

30
31

CT.Scan
Dapat melihat lebih detail dan tajam dibandingkan dengan
USG (di RSUP Sanglah Denpasar masih merupakan
pemeriksaan opsional).

Scanning isotop
Dapat mengetahui fungsi kedua ginjal secara kantitatif dan
tepisah (di RSUP Sanglah Denpasar belum ada alatnya)

3. Instrumentasi
Kateterisasi peruretram
Ada hambatan/tidak masuk kandung kemih mungkin ada
striktura, tumor, batu uretra atau spasme sfingter uretra
ekterna.
Untuk mengetahui residual urin pada pasien BPH, kandung
kemih neurogenik, sistokel
Uretrosistoskopi
Sebagai sarana diagnosis dan terapi
Untuk mendiagnosis Obstruksi infra vesikal karena
striktura, tumor uretra, BPH dan uroradiologi (Pielografi
retrograde).

Diagnosis
Diagnosis obstruksi saluran kemih berdasarkan Anamnesa
(keluhan), pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
laboratorium, radiologi dan instrumentasi.

Terapi
1. Drainage/hilangkan obstruksi
Obstruksi total atau obstruksi parsial dengan komplikasi (klinis)
saluran kemih bagian bawah dengan pemasangan kateter
peruretra atau kateter per sistostomi.
Obstruksi total bilateral atau satu sisi dengan komplikasi (klinis)
saluran kemih bagian atas dengan pemasangan kateter
pernefrostomi.
2. Berantas infeksi
Segera setelah obstruksi hilang berikan antibiotika terapiutik
untuk gram positif dan negatif atau sesuai dengan biakan kuman
dalam urin.
3. Terapi terhadap penyebab obsrtuksi/Etiologi/Kausa
Semakin cepat terapi terhadap penyebab obstruksi maka komplikasi
yang terjadi dapat ditekan serendah mungkin dan penggunaan
antibiotika bisa dipersingkat sehingga biaya bisa ditekan serendah
mungkin.

31
32

Pada kasus-kasus tertentu (batu uretra posterior dengan retensio


urin) drainage, pembrantasan infeksi dan terapi terhadap
penyebab obstruksi dapat dikerjakan secara simultan sehingga
biaya yang dikeluarkan pasien dapat ditekan serendah mungkin
karena pasien hanya dilakukan satu kali tindakan/pembiusan
dan lebih cepat bisa rawat jalan.
4. Terapi terhadap diuresis pasca pembebasan obstruksi
Pada diuresis dan natriuresis ringan (Oligo uria : <0,5
ml/kg.BB/lam, Normal produksi urin : 0,5-1,0 ml/Kg BB/Jam,
Diuresis ringan :>I,0-2,0 ml/Kg.BB/Jam, Diuresi sedang : >2,0-3,0
ml/kg.BB/jam, Diuresis berat :> 3,0 ml/gk.BB/jam) terapi
penggantian cairan tidak diperlukan, kecuali terjadi diuresis dan
natriuresis bekepanjangan (dianggap normal diuresis terjadi beberapa
jam sampai 4 hari), pasien tidak sadar atau diuresis berat, sampai
penyebab diuresis diketahui diperlukan terapi penggantian cairan 50-
60 % dari cairan yang hilang dengan cairan Na.Cl.0,9 % atau Ringer
laktat(2). Dikatakan natriuresis apabila BJ urin 1,010 dan
waterdiuresis apabila BJ urin < 1,010(2).

Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih (ISK)
Stasi urin mempermudah infeksi saluran kemih, pemberantasan
infeksi tidak mungkin berhasil selama ada obstruksi saluran kemih.
2. Batu saluran kemih
Stasis urin dan infeksi saluran kemih oleh kuman pemecah urea
(Proteus, Staphylococcus) dengan urin alkalis sangat mudah
terbentuk batu saluran kemih (batu lameler/Amonium magnesium
fosfat).
3. Pionefrosis
Obstruksi/stasis urin dan ISK akan berakhir dengan pionefrosis .
4. Gagal ginjal
Obstruksi/stasis urin dan ISK menyebabkan gangguan fungsi
ginjal, sampai pada fase tertentu dimana ginjal sudah tidak
memungkinkan untuk mempertahankan fungsi minimal untuk
kehidupan maka pasien akan jatuh pada gagal ginjal terminal,
dengan kemajuan tehnologi kadang-kadang kehidupan masih bisa
dipertahankan dengan menggantikan fungsi ginjal dengan mesin
hemodialisis.

Tindak lanjut(Follow Up)


1. Mencari penyebab obstruksi/kausa
2. Memberantas ISK
3. Memantau Fungsi Ginjal
4. Menantau tekanan darah

32
33

Kepustakaan
1. Emil A.Tanagho : Urinary Obstruction and Stasis, Smith’s General
Urology, 14th ed, Simon & Schuster asia Pte.Ltd, Singapore, 165-176,
1998.
2. Gillenwater JY : The Pathophysiology of Urinary Tract Obstruction,
Cambell’s Urology, 6th Ed, Vol.1, W.B.Saunders, Philadelphia, 499-
532, 1992.

TORSIO TESTIS
(ICD-10 : N44)
Definisi/Batasan :
Terpluntirnya funikulus spermatikus sehingga terjadi gangguan
aliran balik vena, odema,nyeri, kemudian selanjutnya terjadi gangguan
aliran darah arteri menuju testis dan berakhir dengan testis mengalami
kematian /nekrosis(2).

Patofisiologi/Etiologi
Otot/muskulus kremasterika berinsersio pada funikulus
spermatika secara oblik
(superiomedial-inferiolateral), arah serat otot spermatika searah dengan
arah serat muskulus oblik internus (analog), spasme muskulus
spermatika menyebabkan tarikan testis sesuai dengan arah serat
muskulus kremasterika sehingga tarikan/spasme muskulus spermatika
kiri menyebabkan torsio testis kiri berlawanan dengan arah jarum jam
sedangkan untuk testis kanan sesuai dengan arah jarum jam(1).
Etiologi/penyebab torsio : Testis kriptorkhismus cenderung terjadi
torsio(menurut Ryken, Turner dan haynes, 1990), trauma sebagai
pencetus terjadinya torsio(menurut Witherington dan jarrell, dilaporkan
beberapa kasus terjadi torsio pada tumor testis intra abdomen dan pada
kelainan bawaan tunika vaginalis dimana tedapat ruangan dengan
volume yang melebihi volume normal paling sering terjadi torsio testis.
Klinis
Laki-laki dewasa muda mengeluh sangat nyeri testis secara
mendadak diikuti dengan rasa mual, muntah pembengkakan dan
kemerahan pada skrotum harus dicurigai torsio testis.

Diagnosis
1. Anamnesis:
 Nyeri testis
 Mual, muntah-muntah
2. Pemeriksaan fisis:
 Bengkak, kemerahan pada skrotum

33
34

 Testis pada skrotum/inguinal/tidak pada skrotum


 Sumbu panjang testis horizontal
 Dislokasi epididimis (normal epididimis pada posisi posterolateral
testis)
3. Pemeriksaan penunjang (optional/belum dikerjakan di RSUP Sanglah
Denpasar)
 Color Doppler sonography
 Testicular scintigraphy

Diagnosis banding
1. Epididimitis akuta
Epididimitis jarang sebelum pubertas(umur 16 tahun), sering
didahului dengan piuria.
2. Orkhitis akut
Orkhitis mump jarang sebelum pubertas,didahului dengan parotitis
mump.
3. Trauma testis
Didahului/ada riwayat trauma pada testis.
Apabila ketiga yang tersebut diatas susah dibedakan/meragukan
“testicular scintigraphy” adalah indikasi untuk pemeriksaan penunjang.

Terapi
1. Detorsi manual/tetutup
o Onset/kejadian hanya beberapa jam (tidak lebih dari 6 jam).
o Torsi testis kiri detorsi berlawanan arah putaran jarum jam.
o Torsi testis kanan detorsi sesuai arah putaran jarum jam.
o Sebelum detorsi infiltrasi 10-20 ml xylocain HCl 1 %/lidocain 1 %
pada daerah annulus inguinalis ekternus.
2. Orchiopexy/Fiksasi testis pada skrotum
o Detorsi manual berhasil lakukan fiksasi kedua testis pada hari
berikutnya
o Detorsi manual gagal segera lakukan detorsi terbuka/pembedahan
Detorsi terbuka setelah 4-6 jam dengan torsi 720 0 testis “viable”
79 % (1)
3. Orchidectomy
o Apabila testis sudah nekrosis, bila meragukan suntikan
fluorescein dan lihat dibawah Wood’s lamp (Ultraviolet) testis yang
virable akan kelihatan perpusi fluorescein kedalam testis (2).
o Orchiopexy testis kontralateral apabila testis yang mengalami torsi
dilakukan orchidectomy.

Prognosis dan komplikasi


1. Setelah diagnose ditegakan dan terapi terlambat dapat terjadi
atropi testis.

34
35

2. Detorsi sampai dengan 12 jam dari kejadian torsi menberi hasil


baik.
3. Detorsi setelah 12-24 jam dari kejadian torsi kemungkinan testis
masih bisa dilamatkan.
4. Detorsi setelah 24-48 jam dari kejadian torsi keselamatan testis
meragukan.
5. Detorsi setelah 48 jam disarankan “orchidectomy”.

Tindak lanjut (Follow Up)


1. Observasi kemungkinan atropi testis pasca torsi
2. Evaluasi tingkat kesuburan/fertilitas/analisa sperma

TORSIO APENDIK TESTIS/EPIDIDIMIS


(ICD-10 : N 44)
Torsi apendik testis/epididimis memberikan keluhan dan gejala
nyeri spontan dan bengkak didaerah testis bagian atas (tanda
karakteristik “blue dot sign”) (2) , terjadi reaksi inflamasi, nekrosis
iskhemik dan absorsi.
Indikasi pembedahan (1,2)
1. Meragukan dengan torsio testis
2. Nyeri dan bengkak
Holland,Graham dan Ignatoff (1981), torsi apendik testis dan epididimis
tidak perlu intervensi pembedahan , Nyeri dan bembengkan akan hilang
setelah 5-7 hari.

Kepustakaan
1. Aninch JW : Disorder of the Testis,Scrotum and Spermatic cord,
Torsion of the spermatic cord(torsion of the testicle), Smith’s General
Urology, 14th ed, Simon & Schuster asia Pte.Ltd, Singapore, 687-690,
1998.
2. Rajfer J : Testicular Torsion, Conginital Anomalies of the Testis,
Cambell’s Urology, 6th Ed, Vol.3, W.B.Saunders, Philadelphia, 1556-
1558, 1992.

PRIAPISMUS
(ICD-10 :
Definisi/Batasan
Priapismus adalah ereksi penis berkepanjangan (lebih dari 4 jam), nyeri
dan tanpa lebido/rangsangan seksual (1,2,3,4)

35
36

Patofisiologi/Etiologi
Mekanisme terjadinya priapismus masih banyak diperdebatkan,
sebagian besar penulis percaya adanya obstruksi aliran balik/drainase
vena(Fitzpatrick,1973). Obstruksi drainase vena menyebabkan viskositas
darah meningkat, oksigen darah kurang dalam korpus cavernosa,
apabila terjadi sampai beberapa hari dapat menyebabkan odema
intersisial dan fibrosis dari korpus cavernosa yang menyebabkan
terjadinya impotensia.
Penyebab priapismus masih ada yang belum diketahui(idiopatik) 60%
dari kasus dan sudah diketahui 40% seperti : Penyakit leukemia dan
sickle-cell anemia(42% pada orang dewasa)(3), tumor atau infeksi daerah
rongga pelvis, trauma penis atau medulla spinalis dan obat-obatan
seperti obat untuk penderita : psikosis(thorazine dan chlorpromazine),
hipertensi(prazosin), disfungsi seksusl-injeksi obat intrcavernosal
(papaverine,pentholamine dan prostaglandin E1)(1,3,4). Priapismus pada
anak-anak penyebab paling banyak adalah penyakit leukemia dan
sickle-cell anemia(60%), trauma penis/perineum(jarang) dan obat-
obatan(sangat jarang). (3)

Klinis
Anamnesis : Penderita dengan ereksi lebih dari 2 jam tanpa
lebido/rangsangan seksual
dan nyeri , mungkin ada riwayat penyakit dan pemakaian
obat (seperti
yang disebutkan diatas).
Pem.fisis : Penis terlihat ereksi, pada umumnya korpus cavernosum
tegang dan
gland penis/corpus spongiosum lembek, adakalanya
terjadi tricorporal
priapismus (2).
Laboratorium : Darah lenkap dan pemeriksaan “sickle cell
anemia”dan leukemia
Pem.opsional : Apabila penyebap priapismus tidak jelas; Dppler
perineal untuk
mengetahui adanya : Fistel arterial-cavernosum, “Higth
systolic flow” ke
dalam arteri cavernosal (4).

Diagnosis
Priapismus menurut Harmon dan Nehra dibedakan (4) :
1. High flow atau Arterial Priapismus
 Aliran darah arterial meningkat kedalam sinusoid cavernosum
 Aliran tertimbun didalam aliran vena
 Penis semirigid-rigid ereksi

36
37

 Painless
 Kerusakan sel jarang(karena oksigenasi jaringan tinggi)
 Penyebabnya idipatik, trauma inguinal atau saddle(kerusakan
arteria pudendalis)
2. Low flow atau Flaccid state Priapismus
 Aliran darah masuk atau darah arterial terbatas karena ada
tahanan/kontraksi dari cabang-cabang arterial cavernosum dan
sinusoid cavernosum
 Bahan-bahan neurotransmitter atau vasoactive menyebabkan otot
polos relaksasi, mengurangi tahanan untuk darah masuk, dinding
sinusoid cavernosum melebar, menghambat aliran darah vena
keluar sehingga terjadi ereksi penis/Priapismus
 Darah aspirasi dengan pH < 7,25 dan pO2 < 30 mm Hg (4).

Terapi
Priapismus adalah kasus darurat, penanganan yang cepat dan tepat
dapat mengurangi morbiditas
Terapi bertujuan
1. Menghilangkan/mengurangi rasa sakit
 Obat-obatan sedative
 Kompres Na Cl 0,9% dingin pada penis
 Ketamine hydrochloride IV/IM
Efektivitas terapi dengan cara ini sekitar 50% (Sagalowsky, 1982)(1)
2. Menghilangkan ereksi/mengosongkan korpus cavernosum
 Aspirasi-evakuasi darah dari corpus cavernosum melalui gland
penis
 Epidural/spinal anesthesia
 Irigasi intracavernosa dengan obat-obatan adrenergik
 Membuat fistel/shunt antara glan penis/korpus spongiosum
dengan corpus cavernosum (Winter dan McDowell, 1988)
 Anastomosis vena dorsalis penis dengan corpus cavernosum penis
(Barry, 1976)
 Anastomosis corpus cavernosum dengan corpus spongiosum penis
 Anastomosis corpus cavernosum dengan vena saphena
 Pump decompression (Douglas, 1976)
3. Terapi terhadap etiologi/penyebab
 Priapismus karena sickle cell anemia :
o Masive tranfusion
o Exchange tranfusion
o Oksigen hiperbarik
Apabila dengan terapi tranfusi dalam 24 jam korpus cavernosum
belum lembek (detumescence), dianjurkan melakukan aspirasi
darah dalam korpus cavernosum atau melakukan Winter
procedure (spongio-cavernosal shunt)(2)

37
38

Priapismus karena leukemia


o Khemoterapi
Terapi terhadap etiologi/penyebab dikerjakan setelah/bersamaan
terapi darurat / emergency.
4. Mencegah impotensia
 Impotensia pada umumnya bisa dicegah apabila terapi emergency
diberikan antara 4-6 jam (2)
 Impotensia jarang terjadi pada anak-anak(2)

Komplikasi
Impotensia
Pada umumnya memerlukan terapi dengan protesa penis

Tindak lanjut (Follow Up)


1. Mencari etilogi/penyebat
2. Terapi konplikasi
3. Mecegah kekambuhan/berulang

Kepustakaan
6. Aninch JW : Disorder of the Penile and Male Urethra : Priapismus,
Smith’s General Urology,14th , Simon&Schuster Asia
Pte.Ltd.Singapore, 601, 1997.
7. Nazaire H : Priapism Guidelines, NIH Publication No.95-2117, 3rd,
1997.
8. Steidle C : Priapism : WebMD Coperation, 1996-2000.
9. Sodovsky RL : Diagnosis and Management of Prolong Penile Erection,
American Family Physician, 56:3, 1997.

38
39

Algoritma untuk “staging” trauma tumpul ginjal (dewasa)

Trauma tumpul ginjal

Gross hematuria

Darah di miatus (-) Darah miatus (+)

Foley cath tampa hambatan RUG


(Retrograde Urethrogram)

Hematuria(+) Hematuria(-) Ekstravasase urin

Konsultasi Urologi

Observasi IVP/CT Scan pd.trauma


deselerasi mayor

Gross Mikroskopis
hematuria hematuria(>5RBC/HPF)

IVP/CT Scan
dan
Sistogram

Normal Abnormal

Observasi

Konsultasi
Urologi

39

Anda mungkin juga menyukai