Anda di halaman 1dari 12

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Padang

BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DENGAN TEKNIK


HIPOTENSI TERKENDALI PADA PENATALAKSANAAN
RINOSINUSITIS KRONIS
Bestari J. Budiman, Yurni

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RS.M.Djamil Padang

Abstrak
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan tindakan bedah invasif minimal
pada hidung dan sinus paranasal dengan menggunakan endoskop. Salah satu indikasi BSEF
adalah rinosinusitis kronis yang tidak respon dengan terapi medikamentosa maksimal.
BSEF membutuhkan visualisasi yang baik sebagai salah satu faktor penting untuk
keberhasilan operasi. Teknik hipotensi terkendali merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk mengurangi perdarahan selama operasi sehingga memperoleh lapang pandang operasi
yang baik.
Dilaporkan satu kasus wanita berusia 28 tahun dengan rinosinusitis kronis yang
dilakukan BSEF teknik hipotensi terkendali telah memberikan visualisasi yang baik selama
operasi.

Kata kunci : Rinosinusitis kronis, BSEF, teknik hipotensi.

Abstract
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) is the invasive minimal surgery to the nose and
paranasal sinuses which use endoscope. One of FESS indication is for chronic rhinosinusitis that not
responded to maximal medical therapy.
FESS need good visualization as one of mainly factor to the successfull of the operation. The
deliberate hypotension technique is one of the method was used to reduce intraoperative bleeding
for good visualization of operation field.
Has been reported one case of woman, 28 years old with chronic rhinosinusitis which has been
performed FESS hypotension technique resulted good intraoperative visualization.

Key word: Chronic rhinosinusitis , FESS, hypotension technique.

1
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

PENDAHULUAN Prinsip tindakan BSEF pada


rinosinusitis kronis adalah membuang
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional ( jaringan yang menghambat komplek
BSEF ) merupakan tindakan bedah invasif osteomeatal dan memfasilitasi drainase
minimal pada hidung dan sinus paranasal dengan tetap mempertahankan struktur
dengan menggunakan endoskop.1,2,3Jenis anatomi normal.1-3,9,11BSEF merupakan
operasi ini menjadi pilihan karena lebih operasi yang membutuhkan visualisasi yang
efektif dan fungsional. Sekitar 75-95% kasus baik dimana darah tidak menggenangi
rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan lapangan operasi dan darah tidak
BSEF. 4 menutupi lensa endoskop mengingat
Rinosinusitis kronis merupakan sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang
inflamasi kronis hidung dan sinus paranasal sedikit saat operasi merupakan salah
yang sering dilaporkan pada kunjungan satu faktor yang menentukan keberhasilan
berobat baik pada dokter umum maupun operasi serta menghindari komplikasi yang
dokter ahli THT.5,6 Di Indonesia, prevalensi membahayakan. BSEF dilakukan dengan
rinosinusitis kronis pada tahun 2004 berbagai upaya teknik hipotensi untuk
dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan mengurangi perdarahan selama operasi. 12-16
sebanyak 30 juta penduduk menderita Berbagai teknik telah dikembangkan
rinosinusitis kronis.7 untuk mengupayakan teknik hipotensi
Diagnosis rinosinusitis kronis terkendali yaitu mencapai tekanan arteri
ditegakkan berdasarkan anamnesis, rata-rata atau Mean Atrial Pressure (MAP)
pemeriksaan fisik, pemeriksaan dengan pengaturan posisi dan intervensi
nasoendoskopi dan tomografi komputer farmakologis.12,16Teknik hipotensi
sinus paranasal. The European Position Paper diindikasikan pada operasi yang beresiko
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 ( perdarahan yang banyak di daerah telinga,
EPOS 2007) menjelaskan bahwa rinosinusitis hidung, tenggorok, operasi kepala, leher,
kronis bila terdapat dua gejala atau lebih bedah syaraf, operasi mata, operasi pelvis
dengan salah satunya berupa hidung dan ortopedi.12,17-20
tersumbat atau pilek dengan sekret purulen
pada hidung anterior atau posterior disertai LAPORAN KASUS
nyeri pada wajah dan atau penurunan
penciuman yang berlangsung lebih dari 12 Pada tanggal 5 Maret 2011, seorang
minggu.5,8 pasien wanita berusia 28 tahun datang ke
Penatalaksanaan rinosinusitis kronis RS. M. Djamil Padang dengan keluhan nyeri
meliputi terapi medikamentosa maksimal kepala sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
dan tindakan BSEF.3,6,9,10 sakit, nyeri dirasakan terutama di dahi, terus
Indikasi BSEF antara lain menerus. Ingus kental terasa mengalir
rinosinusitis kronis yang tidak respon ditenggorok sejak 2 bulan yang lalu. Hidung
terhadap terapi medikamentosa, tersumbat sejak setahun yang lalu, hilang
rinosinusitis kronis dengan komplikasi, timbul. Penciuman berkurang dirasakan
rinosinusitis jamur yang invasif, sejak 8 bulan yang lalu. Riwayat bersin-
rinosinusitis alergi dengan komplikasi, polip bersin lebih dari lima kali terutama bila kena
antrokoana, mukosil, berbagai prosedur dingin dan debu, diikuti ingus encer dan
yang dilakukan secara endoskopi seperti hidung tersumbat sejak kecil. Riwayat asma
septoplasti, drainase abses periorbita, tidak ada, namun orang tua laki-laki pasien
penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri menderita asma. Riwayat gigi berlubang
sfenopalatina, dekompresi orbita,dsb.1-3 pada gigi geraham kiri atas sejak 7 tahun
2
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

yang lalu, pasien sering mengalami sakit gigi putih kekuningan. Septum deviasi tidak ada.
yang hilang timbul, dan setahun terakhir ia (Gambar 1,2).
sering mengalami sakit gigi sebelah
kiri atas diikuti dengan nyeri pipi kiri dan
pasien sering berobat ke bidan atau dokter
umum.
Sebelumnya pasien telah berobat ke
dokter ahli THT di Batam sebulan
sebelum masuk rumah sakit dan diberi
obat selama 2 minggu. Namun pasien
merasa belum ada perbaikan. Pada saat
kontrol dilakukan pemeriksaan tomografi
komputer sinus paranasal kemudian pasien Gambar 1. KND sebelum BSEF
dirujuk ke RS. M. Djamil Padang untuk
dilakukan operasi.
Pasien seorang ibu dari 3 orang anak,
bekerja sebagai bidan di rumah sakit
swasta dan kesehariannya pasien menaiki
kendaraan bermotor untuk bepergian.
Pada pemeriksaan fisik keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis kooperatif dan suhu tidak
demam.
Status lokalis THT pada pemeriksaan Gambar 2. KNS sebelum BSEF
telinga tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan hidung rinoskopi anterior Dari pemeriksaan radiologi tomografi
didapatkan kedua kavum nasi sempit, konka komputer sinus paranasal pada tanggal 17
inferior edema dan hiperemis, konka media Februari 2011, tampak perselubungan
sukar dinilai, septum deviasi tidak ada, memenuhi kedua sinus frontal, kedua sinus
kedua kavum nasi tampak sekret etmoid anterior, sinus etmoid posterior
mukopurulen. Pada pemeriksaan rinoskopi sinistra dan sinus maksila sinistra.
posterior terdapat post nasal drip Pada sinus etmoid posterior dekstra dan
mukopurulen. Pemeriksaan hidung luar kedua sinus sfenoid tidak tampak
terdapat nyeri tekan sinus paranasal di perselubungan. Komplek osteomeatal
daerah frontal dan kantus media dekstra dan dekstra dan sinistra tertutup. Tidak tampak
sinistra. Pemeriksaan tenggorok dalam batas gambaran konka bulosa, konka paradok dan
normal. Pada pemeriksaan rongga mulut sel haler (Gambar 3,4). Didapatkan skor
tampak gangren radik pada premolar 2, Lund Mackay adalah 16. Pasien
molar 1 dan molar 2 rahang kiri atas serta didiagnosis dengan multisinusitis kronis.
gangren radik pada molar 2 rahang kanan
atas.
Pemeriksaan nasoendoskopi ditemukan
kedua kavum nasi sempit, konka inferior
edema dan hiperemis, konka media edema
dan hiperemis, meatus media tertutup,
terdapat sekret yang purulen berwarna

3
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

dan dipasang double duk steril. Kavum nasi


dekstra dan sinistra dievaluasi dengan scope
0°, tampak kavum nasi dekstra dan sinistra
sempit, konka inferior dan konka media
edema hiperemis,tampak sekret
mukopurulen berwarna putih kekuningan
dari meatus media, sekret diaspirasi dengan
spuit 5cc untuk pemeriksaan kultur dan
sensitivitas. Kemudian sekret dihisap dan
Gambar 3. CT Scan SPN koronal
memperlihatkan perselubungan pada kedua
dipasang tampon kapas lidokain: epinefrin
sinus frontal dan sinus etmoid anterior. 4:1 selama 10 menit. Setelah tampon kapas
dikeluarkan, operasi dimulai pada kavum
nasi sinistra yaitu dilakukan infiltrasi
dengan epinefrin 1: 100.000 pada prosesus
insinatus lalu dilakukan unsinektomi,
kemudian ostium sinus maksila
diidentifikasi, dengan scope 30° tampak
ostium maksila lalu dilebarkan, sekret
dihisap dan antrum maksila diirigasi.
Selanjutnya dilakukan pengangkatan bula
Gambar 4. CT Scan SPN aksial
etmoid tampak sekret purulen dari sinus
memperlihakan perselubungan pada sinus etmoid anterior sinistra, sekret dihisap dan
maksila kiri. sel sel etmoid anterior diangkat. Lamina
basalis ditembus, dilakukan drainase dan
Pada pemeriksaan laboratorium darah irigasi sampai ke sinus etmoid posterior.
didapatkan hasil hemoglobin 13,9 gr/dl, Dengan scope 70° menyusuri ostium sinus
leukosit 6.300 /mm3, trombosit frontal sinistra, tampak sekret purulen,
338.000/mm , hematokrit 37 %, PT 10,4’’,
3 ostium dilebarkan lalu dilakukan irigasi
APTT 34,4”. sinus frontal sinistra. Kemudian operasi
Sebelum operasi, diberikan terapi diteruskan ke kavum nasi dekstra, dilakukan
suntikan gentamisin 2x80mg intravena dan unsinektomi,ostium maksila diidentifiksasi,
deksametason 3x5mg intravena. dengan scope 30° tampak ostium maksila
Pada tanggal 7 Maret 2011 dilakukan dekstra cukup lebar, tidak ada sekret
BSEF dalam narkose umum teknik hipotensi purulen. Konka media tampak hipertrofi,
terkendali. Pasien diberi terapi premedikasi dilakukan konkotomi. Bula etmoid diangkat,
midazolam 10mg intravena, ondasetron 4mg tampak sekret purulen lalu dihisap, sel sel
intravena, fentanil 75mg intravena dan etmoid diangkat dan dilakukan irigasi,
petidin 25mg intravena. Dan selama induksi lamina basalis dibiarkan intak. Selanjutnya
diberikan propofol 150mg intravena, ostium sinus frontal dekstra ditelusuri,
rekuronium bromida 30mg intravena. tampak sekret purulen, ostium dilebarkan
Anastesi inhalasi dengan 02 2L, N2O 2L dan lalu dilakukan irigasi sinus frontal dekstra.
halotan 2 vol% . Operasi dimulai dengan Kemudian kedua kavum nasi di evaluasi,
pasien tidur telentang posisi semi fowler tampak sekret tidak ada lagi, ostium sinus
(kepala ditinggikan 25°) di meja operasi, cukup lebar dan perdarahan teratasi
oral pack terpasang. Dilakukan tindakan (Gambar 5,6). Dipasang tampon anterior 1:1,
asepsis dan antisepsis di lapangan operasi oral pack dikeluarkan. Operasi selesai.

4
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

tenggorok, pada dinding posterior faring


bekuan darah dan darah mengalir tidak ada.
Terapi tramadol drip diganti dengan asam
mefenamat 3x500mg per oral, dan terapi
lain sama dengan sebelumnya.
Tanggal 9 Maret 2011 (hari II pasca
operasi) demam tidak ada, darah keluar dari
mulut tidak ada, bengkak di kelopak mata
tidak ada, keluhan mata kabur dan mata
Gambar 5. KNS setelah BSEF sukar digerakkan tidak ada. Pada
pemeriksaan fisik keadaan umum sedang,
kesadaran komposmentis kooperatif, suhu
badan normal. Pemeriksaan fisik hidung,
terpasang tampon anterior 1:1, darah
merembes tidak ada. Pemeriksaan
tenggorok, dinding posterior faring bekuan
dan darah mengalir tidak ada. Tampon
anterior 1:1 dibuka. Pada evaluasi kedua
kavum nasi tampak agak sempit, konka
Gambar 6. KND setelah BSEF inferior dan media edema, perdarahan aktif
tidak ada, tanda-tanda infeksi tidak ada.
Tekanan darah (TD) preoperatif adalah Pasien dipulangkan dan dianjurkan untuk
110/70 mmHg. Selama operasi tekanan berobat gigi. Saat pulang diberi terapi
darah pasien berada dalam batas MAP 50-60 levofloksasin 1x500mg, pseudoefedrin
mmHg dengan TD per 15 menit selama 120mg + loratadin 5mg 2x1 kapsul,
operasi adalah 90/40 mmHg, 80/35 mmHg, erdosteine 175mg sirup 3x1 sendok makan.
90/40 mmHg, 90/40 mmHg, 85/40 mmHg Hari III pasca operasi pasien dianjurkan
dan 90/45 mmHg. mencuci hidung dengan NaCL 0,9%
Perdarahan selama operasi pada kedua 2 x sehari.
kavum nasi ± 50cc dan lama operasi Tanggal 15 Maret 2011(kontrol I).
berlangsung ± 1 jam 30 menit. Keluhan nyeri kepala tidak ada, demam
Pasien diberi terapi suntikan gentamisin tidak ada, hidung tersumbat tidak ada.
2x80mg intravena, deksametason 2x5mg Keadaan umum pasien sedang,
intravena, tramadol 500mg drip 8 jam/kolf komposmentis kooperatif, suhu badan
dalam cairan infus ringer laktat untuk normal. Pada pemeriksaan nasoendoskopi
sehari saja. tampak kavum nasi dekstra dan sinistra
Tanggal 8 Maret 2011 (hari pertama cukup lapang, konka inferior dan konka
pasca operasi) demam tidak ada, darah media eutrofi. Pada meatus media sinistra
keluar dari mulut tidak ada, bengkak di terdapat krusta yang kemudian diangkat
kelopak mata tidak ada, keluhan mata kabur dengan forsep sehingga terlihat ostium
dan mata sukar digerakkan tidak ada. Pada sinus maksila, ostium sinus etmoid dan
pemeriksaan fisik keadaan umum sedang, ostium sinus frontal. Pada meatus media
kesadaran komposmentis kooperatif, suhu dekstra terdapat krusta didekat ostium sinus
badan normal. Pemeriksaan fisik hidung, frontal, lalu krusta diangkat dengan forsep.
terpasang tampon anterior 1:1, darah Sinekia tidak ada pada kedua kavum nasi.
merembes tidak ada. Pemeriksaan Sekret mukopurulen minimal pada kedua
kavum nasi. Hasil kultur sekret pada pasien
5
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

didapatkan kuman Stafilokokkus aureus secara klinis dan pasien meminta segera
yang sensitif terhadap antibiotik eritromisin, dioperasi. Seharusnya BSEF dilakukan
siprofloksasin, gentamisin, seftriakson, setelah tidak respon terhadap terapi
sefotaksim, dan seftazidim. Pada medikamentosa maksimal selama 3 bulan
pemeriksaan rongga mulut, gigi molar 2 yang terdiri dari antibiotik, mukolitik,
rahang kiri atas telah dicabut. Pasien diberi dekongestan, steroid dan nasal irigasi.
terapi levofloksasin 1x500mg, Etiologi sinusitis pada pasien ini di
pseudoefedrin 120mg+ loratadin 5mg, 2x1 curigai akibat odontogenik dan alergi.
kapsul, endorsteine sirup 3x1 sendok Dikutip dari Brook dalam Kennedy yang
makan, cuci hidung dengan NaCL 0,9% menyatakan bahwa penatalaksanaan
2 x sehari. sinusitis maksila dentogenik cukup dengan
Tanggal 19 Maret 2011 (kontrol II) mengeliminasi sumber infeksi berupa
keluhan nyeri kepala tidak ada, demam tidak pencabutan gigi yang terinfeksi atau
ada, hidung tersumbat tidak ada. Keadaan perawatan saluran akar gigi disertai dengan
umum pasien sedang, komposmentis terapi medikamentosa.5,6,10 Namun pada
kooperatif, suhu badan normal. Pada kasus ini disamping sinusitis maksila
pemeriksaan nasoendoskopi tampak kavum unilateral yang dicurigai akibat dentogenik
nasi dekstra dan sinistra cukup lapang, juga terdapat sinusitis frontal dan etmoid
konka inferior dan konka media eutrofi, bilateral yang dicurigai akibat alergi.
ostium sinus maksila dan ostium sinus Sehingga BSEF menjadi pilihan pada pasien
etmoid terbuka, terdapat krusta minimal di ini. Seharusnya pada pasien ini dilakukan tes
dekat ostium sinus frontal lalu krusta alergi dan pemeriksaan radiologi poto
diangkat sehingga ostium sinus frontal panoramik untuk menentukan etiologi
terlihat pada kedua kavum nasi. Sekret pada sinusitisnya. Kennedy menyatakan
kedua kavum nasi tidak ada. Sinekia tidak penatalaksanaan sinusitis kronik dimulai
ada. Pemeriksaan rongga mulut, gigi molar 1 dari mengatasi etiologinya.5 Pada tomografi
rahang kiri atas telah dicabut. Diberikan komputer sinus paranasal pasien ini
terapi levofloksasin 1x500 mg, didapatkan skor Lund Mackay adalah 16.
pseudoefedrin 120 mg + loratadin 5 mg, 2x1 Hopkins dkk21 menyatakan rinosinusitis
capsul, erdosteine 175mg sirup 3x 1 sdm, kronis dengan skor Lund Mackay yang tinggi
cuci hidung dengan NaCL 0,9% 2 x sehari. lebih cenderung untuk dilakukan tindakan
bedah.
DISKUSI Teknik BSEF meliputi unsinektomi,
etmoidektomi, sfenoidektomi dengan
Telah dilaporkan satu kasus seorang etmoidektomi, bedah resesus frontalis,
pasien wanita berusia 28 tahun dengan antrostomi maksila, konkotomi dan
diagnosis multisinusitis kronis. Diagnosis ini septoplasti.1,2,3 Pada kasus ini BSEF yang
ditegakkan berdasarkan anamnesis, dilakukan meliputi unsinektomi , konkotomi,
pemeriksaan fisik THT dengan rinoskopi etmoidektomi dan bedah resessus frontal.
anterior, rinoskopi posterior, nasoendoskopi Rudert1 menyatakan bahwa prinsip tindakan
dan pemeriksaan radiologi tomografi BSEF pada rinosinusitis kronis adalah
komputer sinus paranasal.5,8 membuang jaringan yang menghambat
Pada kasus ini telah dilakukan BSEF komplek osteomeatal dan memfasilitasi
dengan teknik hipotensi terkendali. BSEF drainase dengan tetap mempertahankan
pada pasien ini dilakukan setelah ia struktur anatomi normal.
mendapat terapi medikamentosa selama BSEF memerlukan visualisasi yang
sebulan yang tidak menunjukkan perbaikan baik selama operasi. Salah satu metode yang
6
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

digunakan untuk mengurangi perdarahan inhalasi),dll. Natrium nitroprusid


selama BSEF adalah teknik hipotensi menurunkan tekanan darah terutama akibat
terkendali yang terdiri dari pengaturan vasodilatasi arteriol dan mempunyai efek
posisi pasien saat di meja operasi dan kuat pada tekanan sistolik dan diastolik.
hipotensi terkendali dengan farmakologi. Tekanan vena turun dan menambah efek
Teknik lain dalam upaya mengurangi hipotensi akibat berkurangnya pengisian
perdarahan selama operasi adalah dengan jantung kanan. Nitrogliserin merupakan
pemberian vasokonstriktor topikal epinefrin nitrat organik dan dapat menyebabkan
yang bertujuan untuk mengurangi relaksasi otot polos vaskuler. Obat ini
peradarahan kapiler mukosa hidung. berefek langsung pada pembuluh darah
Pemberian antibiotik dan kortikosteroid koroner dan meningkatkan aliran darah
intravena juga akan mengurangi inflamasi kolateral koroner sehingga memperbaiki
dan mengurangi perdarahan selama perfusi koroner. Namun obat ini kurang
operasi.12,13,19 efektif menurunkan tekanan darah
Pada kasus ini pasien ditidurkan di dibanding nitroprussid dan pulihnya
meja operasi posisi kepala ditinggikan tekanan darah menjadi normal lebih lambat.
25°(Gambar 7). Gilbeys 30 menyatakan Labetolol merupakan antagonis
bahwa dengan meninggikan kepala maka adrenoreseptor menyebabkan hipotensi
akan mencegah bendungan aliran vena pada dengan cara mengurangi resistensi perifer
tubuh bagian atas dimana setiap peninggian dan menurunkan curah jantung. Esmolol
kepala 25° akan dapat menurunkan tekanan merupakan antagonis β adrenoreseptor
darah sebesar 2 mmHg. Gravitasi yang dapat mencegah takikardi dan tidak
menyebabkan penumpukan darah pada menurunkan tekanan arteri rata-rata, curah
pembuluh darah tempat yang lebih rendah jantung dan resistensi vaskuler perifer, oleh
sehingga mengurangi aliran balik dan curah karena itu dianjurkan sebagai adjuvan saja.
jantung akibatnya terjadi penurunan Hidralazin merupakan vasodilator yang
tekanan darah sehingga MAP bisa dicapai. bekerja langsung pada otot polos pembuluh
19,20,24,25,26 darah yang berefek relaksasi terutama pada
arteriol mengakibatkan penurunan tekanan
darah. Penurunan tekanan darah lebih besar
pada tekanan diastolik dan dapat terjadi
takikardi sebagai akibat efek langsung
hidralazin pada jantung. Obat ini dianjurkan
hanya sebagai adjuvan dalam induksi
hipotensi. Klonidin merupakan agonis α-2
Gambar 7. Posisi kepala dinaikkan 25°. adrenoreseptor yang berefek menghambat
pelepasan renin dan vasopressin. Klonidin
Pemakaian tampon kapas lidokain lebih dominan menurunkan tekanan darah
epinefrin 4:1 bertujuan untuk mengurangi sistolik.9,10,17,22
edema dan meningkatkan lapang pandang Penurunan curah jantung juga
operasi saat evaluasi dan operasi. didapatkan dengan obat anastesi volatil
Teknik hipotensi terkendali dengan seperti halotan, enfluran, sevofluran dan
intervensi farmakologis antara lain natrium Isofluran. Halotan dan enfluran merupakan
nitroprusid, nitrogliserin, labetolol (alfa obat yang poten menurunkan tekanan darah
adrenergik antagonis), esmolol (beta dan mengurangi curah jantung dengan
adrenergik antagonis, hidralazin, klonidin, mendepresi kontraksi jantung. Isofluran
isofluran, sevofluran, enfluran (anastesi menurunkan resistensi perifer dengan efek
7
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

minimal pada kontraksi jantung. Pemberian lebih sedikit dibandingkan sevofluran dan
tekanan positif pada pernafasan dapat isofluran.
menurunkan tekanan darah akibat Analgetik pada kasus ini
penurunan aliran balik dan curah jantung. menggunakan fentanil dan petidin karena
Namun masing-masing obat tersebut disamping berperan sebagai analgetik obat
mempunyai keuntungan dan kerugian ini juga berperan menurunkan nadi karena
seperti masa pulih sadar yang lama oleh hiperstimulasi vagal sehingga menyebabkan
isofluran namun efek vasodilator sangat bradikardi. Fentanil dan petidin termasuk
kuat, takifilaksis dan toksisiti sianida oleh golongan opioid yang efek utamanya adalah
natrium nitroprusid, depresi miokard oleh analgetik kuat. Ahn HJ20 dalam penelitiannya
esmolol dan magnesium sulfat.12,14,24 menyimpulkan kombinasi propofol fentanil
Intervensi farmakologis pada kasus efektif untuk hipotensi terkendali. Obat
ini dengan memberikan obat premedikasi pelumpuh otot yang digunakan pada kasus
midazolam 10mg intravena, fentanil 75mg ini adalah rekuronium bromida yang
intravena dan petidin 25mg intravena serta diperlukan pada saat proses intubasi
anti muntah ondansetron 4mg intravena. berfungsi sebagai pelumpuh otot.
Pada medikasi induksi diberikan obat sedatif Pemberian anastesi inhalasi dengan halotan
propofol 150mg intravena, pelumpuh otot 2 vol% melalui O2 2 L dan N2O 2 L berfungsi
rekuronium bromida 30mg intravena dan sebagai maintenance meningkatkan
obat anti perdarahan asam traneksamat efektivitas hipotensi dalam
500mg intravena. Hal ini sesuai dengan mempertahankan MAP.
Itzhak yang menyatakan regimen obat yang Tekanan arteri rata-rata atau Mean
biasa diberikan pada BSEF meliputi Atrial Pressure (MAP) merupakan tekanan
midazolam ( 0,5-1,0 mg), fentanil (1-2 darah terendah yang masih aman bagi
µg/kg), propofol (1-2 mg/kg) dan sistem hemodinamik untuk
rekuronium (0,3-0,6mg/kg) dalam dosis mempertahankan perfusi yang adekuat ke
minimal yang menyebabkan pasien organ-organ vital seperti jantung, otak dan
tidur. 6,12,24,27 Propofol bersifat hipnotik ginjal. Nairs dkk12 menyatakan MAP pada
murni tanpa disertai efek analgetik ataupun hipotensi terkendali antara 50-60 mmHg,
relaksasi otot. Propofol bekerja menurunkan namun angka ini tidak mutlak dan bersifat
resistensi vaskuler perifer dan depresi relatif terhadap kondisi pasien.
kardiovaskuler sehingga aliran balik Kepustakaan 16,17 lain menyatakan MAP pada
menurun dan curah jantung menurun BSEF adalah berkisar 60-80 mmHg. Pada
sehingga tekanan darah juga menurun yang kasus ini MAP pasien adalah 50-60 mmHg.
menyebabkan perfusi ke jaringan berkurang Nilai MAP didapatkan dari nilai sistolik dan
sehingga perdarahan lebih sedikit. Propofol disatolik preoperatif. Dan nilai MAP tidak
menghambat baroreflek dan menyebabkan boleh lebih dari 30% batas minimal. Oleh
bradikardi.12,25 Dari penelitian Taghadomi karena itu MAP 50-60 mmHg hanya berlaku
dkk25 menyatakan kombinasi propofol dan untuk pasien yang normotensif. 15,16,30
asam traneksamat memberikan visualisasi Teknik lain mengurangi perdarahan
yang bagus dibandingkan inhalasi halotan. lapangan operasi adalah memberikan
Ahn HJ dkk20 menyatakan bahwa BSEF anastesi lokal epinefrin 1:100.000 untuk
teknik hipotensi terkendali pada vasokonstriksi kapiler mukosa hidung
rinosinusitis kronis dengan skor Lund sebagaimana yang dilakukan sebelum
Mackay tinggi, pemberian propofol operasi dimulai pada pasien kasus ini.
menyebabkan perdarahan selama operasi Namun pemasangan vasokonstriktor topikal

8
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

harus hati-hati karena dapat menimbulkan waktu pulih sadar yang lambat. Sedangkan
aritmia jantung. 28,29 komplikasi fatal berupa trombosis serebral
Keberhasilan BSEF tergantung pada dan anoksia, gagal ginjal, trombosis koroner,
banyak faktor, salah satunya adalah kolaps kardiovaskuler dan cardiac arrest.
visualisasi lapangan operasi yang baik. Hal Pada kasus ini tidak terdapat komplikasi
ini tidak terlepas dari ahli anastesi yang operasi yang tidak fatal maupun yang fatal.
berpengalaman dan ahli bedah yang Mengingat komplikasi yang bisa terjadi
berpengalaman.12,14,28 Perdarahan maka perlu dilakukan evaluasi preoperatif
yang banyak akan membuat operasi menjadi untuk menentukan kontraindikasi teknik
lebih sulit, waktu lebih lama dan juga akan hipotensi terkendali. Hal yang perlu
meningkatkan komplikasi operasi.12 Pada dievaluasi antara lain usia, riwayat
kasus ini telah dilakukan BSEF dengan hemostasis, riwayat penyakit sistemik
teknik hipotensi terkendali yang mampu seperti diabetes, insufisiensi vaskuler pada
memberikan lapang pandang yang baik otot jantung, otak dan ginjal, anemia,
selama operasi. From Boezaart menetapkan hipertensi yang tidak terkontrol yang
stadium perdarahan intraoperatif pada BSEF disertai hipertrofi ventrikel kiri, stenosis
dengan Quality of Surgical Field yang terdiri arteri karotis, riwayat cedera
dari 5 stadium yaitu stadium 1 bila serebrovaskuler, hipovolemia dan
perdarahan sedikit dan tidak harus dihisap, kehamilan. 12,14,15,30

stadium 2 bila perdarahan sewaktu waktu Pada kontrol hari pertama sampai
perlu dihisap dengan jumlah perdarahan hari ke dua belas pasca operasi tidak
kecil dari 50 cc, stadium 3 bila perdarahan terdapat tanda-tanda komplikasi BSEF. Pada
harus dihisap berulang, stadium 4 bila kontrol terakhir pemeriksaan
perdarahan segera muncul sesaat setelah nasoendoskopi ditemukan kedua kavum
dihisap, dan stadium 5 bila perdarahan terus nasi lapang, konka inferior dan konka media
berlangsung selama dihisap. Pada kasus ini eutrofi. Ostium sinus maksila, etmoid dan
didapatkan jumlah perdarahan selama frontal kedua kavum nasi terbuka. Sekret
operasi ± 50 cc. Jika dinilai berdasarkan tidak ada. Sinekia tidak ada. Dikutip dari
Boezaart Quality of Surgical Field maka Levine HL menyatakan keberhasilan suatu
kasus ini termasuk stadium 2. 12,14,28 BSEF sangat tergantung pada perawatan
Pada BSEF maupun teknik hipotensi postoperatif sampai mukosa hidung dan
bisa terjadi beberapa komplikasi. sinus paranasal kembali stabil.
Komplikasi BSEF antara lain hematom Seharusnya antibiotik pada pasien ini
orbita, penurunan penglihatan, diplopia, adalah seftriakson yang lazim digunakan
kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, pada bagian THT –KL RS. M. Djamil Padang
abses otak, cedera arteri karotis dan karena termasuk antibiotik broad spectrum
epifora.9,11 Pada kasus ini tanda-tanda generasi ketiga yang sensitif terhadap
komplikasi operasi tidak ditemukan seperti mikroorganisme gram positif dan negatif.
demam, bengkak pada mata, mata kabur, Namun setelah dilakukan skin test ternyata
gangguan pergerakan bola mata, pandangan pasien alergi, maka antibiotik gentamisin
ganda, keluar cairan bening dari hidung dan menjadi pilihan karena termasuk antibiotik
sebagainya. broad spectrum golongan aminoglikosida
Teknik hipotensi bisa menimbulkan yang juga sensitif terhadap mikroorganisme
komplikasi berupa komplikasi tidak fatal gram positif dan gram negatif. Dan
dan komplikasi fatal. Komplikasi tidak fatal pemberian levofloksasin karena termasuk
seperti perdarahan sekunder, pandangan antibiotik golongan quinolon yang sensitif
menjadi kabur, gangguan pada ginjal dan terhadap mikroorganisme gram positif dan
9
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

gram negatif. Setelah hasil kultur dan Microbiology to Management. New York:
sensitivitas kuman keluar, siprofloksasin Taylor Francis: 2006. P. 219-29.
merupakan salah satu antibiotik yang 7. US Census Bureau. International Data
sensitif, berarti pasien ini sensitif terhadap Base 2004: Chronic Sinusitis in Asia. ( up
dated 2003 June 16; cited 2010 June)
golongan quinolon. Maka terapi antibiotik
Available from:
levofloksasin pada pasien ini diteruskan.6 http:/www.cueresearch.com/c/chronic
Sebaiknya dilakukan kontrol jangka sinusitis/stats-country.htm.
panjang dan terapi medikamentosa jangka 8. Fokkens W, et al. European Position on
panjang untuk mencegah rinosinusitis Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007.
rekuren. Regenerasi dan epitelisasi mukosa Rhinology 2007; suppl 45:1-139.
hidung berlangsung selama 2 sampai 6 bulan 9. Levine HL. Diagnosis and Mangement of
bahkan 1 tahun pasca operasi, dalam waktu Rhinosinusitis. In: Levine HL, Clemente
tersebut diperkirakan fungsi transport MP, editors. Sinus Surgery: Endoscopic
mukosilier akan kembali stabil. Sehingga and Microscopic Approaches. New York:
diperlukan kontrol dalam jangka waktu Thieme; 2005. P. 90-9.
10. Chandra RK. Medical Management of
tersebut dengan interval waktu yang
Chronic Rhinosinusitis. In: Thaler ER,
berbeda. Pemberian terapi didasarkan pada
Kennedy DW, editors. Rhinosinusitis: A
hasil evaluasi. 6,24 Guide for Diagnosis and Mangement.
New York: Springer; 2008. P. 25-89.
DAFTAR PUSTAKA 11. Rudert H. Complications, Management
1. Kennedy DW. Functional Endoscopic and Avoidance. In: Levine HL, Clemente
Sinus Surgery: Concept, Surgical MP, editors. Sinus Surgery: Endoscopic
Indication, and Instrumentation. In: and Microscopic Approaches. New York:
Kennedy DW, Bolger W, Zinreich SJ, Thieme;2005. P. 269-84.
editors. Diseases of the Sinusitis 12. Gilbey P, Kukuev Y, Samet A, Talmon Y,
Diagnosis and Management. Ontario: BC Ivry S. The Quality of the Surgical Field
Decker Inc; 2001. p. 197-210. During Functional Endoscoppic Sinus
2. Levine HL. Surgical Approaches Surgery-The Effect of the Mode of
Endonasal Endoscopic. In: Levine HL, Ventilation: A Randomized, Prospective,
Clemente MP, editors. Sinus Surgery Double-Blind Study. Laryngoscope 2009;
Endoscopic and Microscopic Approaches. 2449-53.
New York: Thieme; 2005. p.148-61. 13. Edgcombe H, Carter K, Yarrow S.
3. Lewis D, Busaba NY. Surgical Anathesia in the prone position. British
Management. In: Brook I, editors. Journal of Anasthesia 2008;165-83.
Sinusitis From Microbiology to 14. Eberhart LHJ, Kussin A, Arndt C, Lange H,
Management. New York: Taylor and Folz BJ, Werner JA, Wulf H, Kill C. Effect
Francis: 2006. p. 233-68. of Balanced Anaesthetic Technique Using
4. Macdonald KI, et al. The Health and Desflurane and Remifentanil on Surgical
Resource Utilization of Canadians with Condition During Microscopic and
Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope Endoscopic Sinus Surgery. Rhinology
2009.119.184-9. 2007; 45: 72-8
5. Benninger MS, Gottschall J. 15. Elsharnouby NM, Elsharnouby MM.
Rhinosinusitis: Clinical Presentation and Magnesium sulphat as Technique of
Diagnosis. In: Brook I, editors. Sinusitis Hypotensive Anaesthesia. British Journal
From Microbiology to Management. New of Anaesthesia 2006; 96 (6) : 727-31.
York: Taylor and Francis;2006. p. 39-53. 16. Mandal P. Isoflurane Anaesthesia for
6. Chiu AG, Becker DG. Medical Mangement Functional Endoscopic Sinus Surgery.
of Chronic Rhinosinusitis. In: Brook Indian J. Anaesth 2003; 47(1): 37-40.
Itzhak, editor. Sinusitis: From

10
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

17. Nekhendzy V, Lemmens HJM, Vaughan 26. Tirelli , Russolo, Lucangelo, Gullo A. Total
WC, Hepworth EJ, Chiu AG, Church CA. Intravenous Anaesthesia in endoscopic
The Effect of Hypercapnia and sinus-nasal surgery Acta
Hypocapnia on Intraoperative Blood Loss Otorhinolaryngology 2004; 137-44.
and Quality of Surgical Field During 27. Simmon D, Nick J. Perioperative Aids in
Functional Endoscopic Sinus Manual Endoscopic Sinus Surgery and its
Surgery. International Anasthesia Extended Application. Thieme 2005;
Research Society. 2007; 1404-09. 148-9.
18. Kennedy DW, Facs, Frcsi. Functional 28. Kerem RC, Brown S, Villasenor LV,
Endoscopic Sinus Surgery: Anasthesia, Witerick I. Epinephrine/ Lidocaine
Technique, and Postoperative Injection Vs Saline During Endoscopic
Management. In: Kennedy DW, Bolger W, Sinus Surgery. Laryngoscope 2008;
Zinreich SJ, editors. Diseases of the 1275-81.
Sinusitis Diagnosis and Management. 29. Yang JJ, Wang ZY, Sun J, et all. Local
Ontario: BC Decker Inc; 2001. P. 211-21. Anasthesia for Functional Endoscopic
19. Boezaart AP, Merwe JVD, Coetzee A. Sinus Surgery Employing Small Volumes
Comparison of Sodium Nitroprusside and of Epinephrine-Containing Solutions of
Esmolol Induced Controllde Hypotension Lidocaine Produces Profound
for Functional EndoscopicmSinus Hypotension. Acta Anasthesia Scand
Surgery. Anaesth 1995; 121. 2005; 49: 1471-6.
20. Ahn HJ, Dhong HJ, Kim HY, Hahm TS. 30. Nairs S, Collins M, Hung P, et all. The
Comparison of Surgical During Propofol Effect of β Blocker Premedication on the
or Sevoflurane Anasthesia for Surgical Field During Endoscopic Sinus
Endoscopic Sinus Surgery. British Journal Surgery. The Laryngoscope 2004; 1042-
of Anasthesia 2008; 50-4. 46.
21. Jackman AH, Kennedy DW.
Pathophysiology of Sinusitis. In:
Sinusitis: From Microbiology to
Management. New York: Taylor Francis:
2006. p. 109-29.
22. Hopkins C, et al. The Lund-Mackay
Staging System for Chronic
Rhinosinusitis: How is it used and what
does it predict? Otolaryngology
HNS;2007. p. 556-61.
23. Bump B, Kamo T, Gabrielsen A, Norsk P.
Mechanisms of Hypotensive Effects of a
Posture Change from seated to supine in
human. Acta Physiol Scand 2001; 171:
405-412.
24. Mayers D, Hildebrant MM. Anasthesia for
Sinus Surgery. In: Levine HL, Clemente
MP, editors: Sinus Surgery Endoscopic
and Mictroscopic Approach. Thieme
2005; 316-22.
25. Taghadomi, Majidi, Peivandi.
Combination of Propofol and Tranexamic
acid as a protocol os providing optimal
surgical condition in comparison with
halothane during tympanoplasty.
Otorhinolaryngology 2006;5-9

11
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang

12

Anda mungkin juga menyukai