Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MODUL 4

KONSTITUSI DAN HAM BERDASARKAN UUD NEGARA RI


TAHUN 1945
NAMA : TUTI SRI WAHYUNI
NO PESERTA : 19072215410138
1. Menjelaskan pandangan saudara terhadap keinginan kembali ke UUD 1945 tersebut apakah
diperlukan atau tidak.

Sejak disosialisasikan UUD RI hasil perubahan tahun 2002, mulai bermunculan pandangan
kritis dan protes terhadap UUD RI hasil amandemen.

Berbagai kritik yang menonjol, bahwa:

1. Sebagai suatu produk hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang mendasar, yaitu selain
proses pengesahannya dinilai tidak sesuai dengan prosedur sehingga cacat hukum.

2. Adanya BAB yang kosong, yaitu BAB IV, mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
dihapus. Namun sebagai BAB tetap tercantum. Hal ini mengesankan suatu penipuan publik,
yaitu seolah-olah Batang Tubuh UUD ‘45 tetap terdiri dari XVI BAB, padahal faktanya hanya
XV BAB. Berbeda dengan UUD yang disahkan pada 18.8.1945, di UUD 2002 tidak ada Risalah
Sidang dan penjelasan serta alasan mengenai ayat-ayat yang dihapus dan yang ditambahkan.

3. Dengan jumlah BAB yang berkurang dan ayat baru hasil amandemen sebanyak 89%, menjadi
pertanyaan besar, apakah UUD hasil amandemen tahun 2002 masih dapat dikatakan sebagai
UUD 1945.

4. Banyak ayat-ayat baru yang sehubungan dengan perekonomian negara, dinilai sebagai
bentuk neo-liberal, yang membuka pintu bagi asing untuk lebih menguasai SDA dan
perekonomian RI.

5. Adanya ayat yang sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45, yaitu Pasal 28 G ayat 2.

Pembukaan UUD ’45 harus menjadi sumber hukum di RI, sehingga apabila ada ayat yang
bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45, maka ayat tersebut HARUS DIHAPUS.

Saya berpendapat, bahwa semakin menguatnya dominasi asing di sektor perekonomian dan
pengurasan kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia, disebabkan oleh penambahan ayat-
ayat yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai pembuka pintu untuk masuknya pemodal raksasa
asing dan membuat perekonomian Indonesia menjadi ekonomi neo-liberal.

Masuknya jaringan super dan hyper market asing ke Indonesia serta makin menjamurnya
jaringan mini market milik pemodal besar, menghancurkan pasar-pasar tradisional milik
Bumiputra, yang tidak sanggup bersaing karena kekurangan modal dan belum memiliki
kemampuan berkompetisi dalam ekonomi pasar bebas melawan pemodal raksasa YANG
MEMILIKI JARINGAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Akibatnya, para Bumiputra hanya menadi karyawan atau pelayan dari mini, super dan hyper
market milik asing dan pemodal besar.
Ini hanya contoh kecil, yang mempunya dampak besar, yaitu menghancurkan UMKM (Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah). Belum kita bicarakan mengenai berbagai UU yang memuluskan
jalan untuk pemodal besar asing untuk menguasai sektor pertambangan dan berbagai bidang
usaha lain.

Jelas, para penikmat perubahan UUD ’45 menjadi UUD 2002 akan melakukan segala cara dan
mengerahkan semua kekuatan untuk mempertahankan UUD 2002.Para pemodal raksasa asing
tentu harus menggunakan kaki-tangan atau antek-antek mereka di Indonesia. Dengan demikian,
untuk kesekian-kalinya sesama anak-bangsa akan dibenturkan untuk kepentingan asing.

Melihat hal ini, maka demi menjaga kesatuan dan persatuan Bangsa serta menjaga
KEDAULATAN NKRI, kita HARUS KEMBALI KE UUD 1945.

Hampir seluruh rakyat Indonesia kini melihat, bahwa pada saat ini ancaman disintegrasi
bangsa sudah sangat besar.

2. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, silakan sdr mencari dalam artikel
atau jurnal dan lansung dikembangkan.

 Alinea I

Pokok pikiran dalam pembukaan UUD bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

 Alinea II

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

 Alinea III

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan
ini kemerdekaannya.

 Alinea IV

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika kita perhatikan dalam alinea I sampai dengan alinea IV, terdapat pikiran-pikiran pokok
yang mewakili inti dari Pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Melalui artikel ini, akan dibahas
bagaimana penjelasan dari pokok-pokok pikiran yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945.
Sedikitnya, ada delapan pokok pikiran utama yang dapat dijabarkan satu per satu dalam
artikel ini.

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia

Pokok pikiran dalam pembukaan UUD adalah Melindungi segenap bangsa Indonesia
merupakan cita-cita luhur Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Melindungi segenap bangsa Indonesia berarti melindungi seluruh warga negara Indonesia
tanpa terkecuali karena melindungi warga negara adalah kewajiban negara terhadap warga
negaranya. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia tidak hanya dari ancaman
pihak luar, tetapi juga dari ancaman pihak dalam negeri. Cita-cita ini akan terlihat manakala
warga negara Indonesia merasa aman dan dilindungi ketika melakukan suatu tindakan yang
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan ideologi NKRI.

2. Merangkul segala paham perseorangan dan golongan

Sebagai negara yang mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika, negara Indonesia sudah
seharusnya merangkul segala paham yang ada di dalam masyarakat. Paham perseorangan
dan golongan tidak bisa terlepas dari perhatian negara Indonesia sendiri. Dalam merangkul
paham perseorangan maupun golongan, negara Indonesia seharusnya memberikan porsi
yang sama, bukan membedakan porsi diantara keduanya. Paham-paham yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang pluralis. Akan
tetapi, Indonesia perlu waspada terhadap paham-paham yang berkembang dalam
masyarakat terutama paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

3. Mewujudkan persatuan dan kesatuan

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang pluralis dimana terdiri dari berbagai
suku, agama, ras, dan golongan yang tersebar di seluruh negeri. Perbedaan yang tersebar di
Indonesia bukan dijadikan sebagai bahan untuk memicu perpecahan bangsa. Justru dengan
adanya perbedaan yang ada, malah makin meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan
bangsa. Perwujudan persatuan dan kesatuan dapat dilakukan oleh setiap warga Indonesia
melalui implementasi nilai-nilai Pancasila. Terwujudnya persatuan dan kesatuan di Indonesia
tentunya dilandasi dengan sikap toleran terhadap perbedaan yang ada. Melalui toleransi
yang dimiliki oleh masyarakat, maka rasa persaudaraan akan meningkat.

4. Mewujudkan keadilan sosial

Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi setiap warga negaranya. Keadilan
yang ingin diwujudkan oleh negara Indonesia mencakup berbagai macam aspek dalam
masyarakat seperti dalam aspek hukum, sosial, dan ekonomi. Perwujudan keadilan dalam
masyarakat yang diusahakan dan dilakukan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia
merupakan salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI yang kita cintai.

5. Berdasarkan kedaulatan rakyat

Bentuk-Bentuk Demokrasi di Indoenesia dalam sistem pemerintahan yang dianut di negara


Indonesia, kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat. Segala seuatu kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah Indonesia harus dari dan untuk warga negaranya. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah merupakan kebijakan yang mewakili kebutuhan warga negara
Indonesia, bukan mewakili kebutuhan penguasa. Karena rakyat adalah kedaulatan yang
tertinggi dalam sistem pemerintahan Indonesia, pemerintah tidak dapat semena-mena
dalam memperlakukan rakyatnya. Segala seuatu yang diputuskan harus ditimbang baik dan
buruknya untuk warga negara Indonesia.

6. Pengambilan kebijakan yang dilakukan berdasarkan musyawarah

Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi dalam menentukan segala
sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Demokrasi memberikan hak yang
setara kepada seluruh warga negara/rakyat dalam mengambil suatu keputusan, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui tugas dan fungsi DPRD di Indonesia. Segala seuatu
kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat harus dilakukan melalui proses musyawarah.
Oleh karena itu, negara Indonesia memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengakomodasi aspirasi rakyat dalam menentukan
suatu kebijakan.

7. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Tujuan dan fungsi negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Menjunjung tinggi
nilai-nilai agama bukan berarti menjadikan negara Indonesia negara agama, tetapi negara
yang mewujudkan dan menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakatnya.
Sampai dengan sekarang ini, Indonesia mengakui enam agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia. Agama tersebut adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Kong
Hu Cu. Setiap warga negara dipersilahkan dan mempunyai hak untuk beribadat sesuai
dengan keyakinan agamanya masing-masing. Keyakinan dalam memeluk agama dan
beribadah dilindungi oleh undang-undang, yaitu UUD 1945 pasal 29.

8. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan merupakan landasan hukum persamaan


kedudukan warga negara kewajiban yang harus dilakukan oleh negara Indonesia untuk
mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi warga negaranya. Perwujudan nilai-nilai
kemanusiaan diwujudkan ke dalam perundang-undangan yang mengatur tentang persamaan
hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Apabila disuatu hari nanti terdapat pelanggaran
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan secara perseorang maupun kelompok, maka
pemerintah melalui lembaga hukum dan lembaga perlindungan HAM akan menindak sesuai
dengan pelanggaran yang dibuatnya.

3. Amandemen terhadap UUD 1945 mengakibat kan terjadinya pergeseran terhadap struktur
ketatanegaraan, berikan analisis terhadap permasalahan tersebut.

Pertama, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang
kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya
logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan
mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR
sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam
pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk
membenarkan kekuasaan yang absolut. Model supremasi MPR lebih dekat kepada teori Jean
Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara tanpa ada
pembatasan bersifat ‘tunggal’, ‘asli’, ‘abadi’, dan ‘tidak dapat dibagi-bagi’.[9]
Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk “memulihkan” kedaulatan rakyat
dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD.Perubahan ini diikuti dengan langkah besar lainnya yaitu dengan
melakukan amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari MPR terdiri dari anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah (UD)
dan golongan-golongan (UG) menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan terhadap
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi
pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas
sidang gabungan (joint session)antara DPR dan DPD.

Kedua, hapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral.
Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang
berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan
representasi wilayah (daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena
selama ini Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam
peringkat undang-undang. Menurut Ramlan Surbakti keterwakilan daerah dalam MPR sangat
tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan daerah.[10]

Selain alasan itu, kehadiran DPD sekaligus memberikan alternatif solusi atas pola penataan
sistem politik sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Babak baru perjalanan sistem
ketatanegaraan akan jauh lebih bermakna ketika devolusi dan dekonsentrasi menjadi ciri
inheren dalam melahirkan kebijakan publik karena berkorelasi positif dengan perluasan
partisipasi melalui keberadaan DPD.[11] Banyak kalangan berharap sistem bikameral dapat
menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks
and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih
tinggi dari yang lainnya.

Ketiga, perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan
menjadi sistem pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman “pahit” yang
terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama Orde Baru dan
pemilihan Presiden tahun 1999. Paling tidak ada empat alasan mendasar (raison
d’etre) pergantian ini.

1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat
dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan
tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi
pegangan bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.

2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses
pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem
multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas,
maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Sekadar contoh,
kegagalan Megawati menjadi Presiden pada SU MPR tahun 1999 memberikan “kesadaran
baru” bahwa sistem perwakilan dalam pengisian Presiden memberikan peluang yang sangat
besar kepada kekuatan-kekuatan politik di MPR untuk mengkhianati keinginan sebagian
besar rakyat Indonesia. Kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilihan umum tahun 1999
dapat berarti bahwa sebagian besar volonte generale sudah “mendaulat” Megawati untuk
memimpin Indonesia. Tetapi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik sesaat hasil
pemilihan Presiden pada tahun 1999 menjadi sebuah ironi politik dalam proses
pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk
menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang
lain.[12]Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara
aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai
politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party
representation).

4. Pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam


penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and
balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat.
Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR menjadi sumber
kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang
kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-
lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan
Presiden sangat tergantung kepada MPR.[13]

Perubahan ketentuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan dalam Pasal 6A UUD
1945 sebagai berikut :

(1) Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh
persen) suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden (dan Wakil Presiden).

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih
oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang.

Keempat, mekanisme impechment yang semakin jelas. Sebelum dilakukan perubahan, dalam
pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai
impeachment.[14] Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam Penjelasan
Umum UUD 1945 yang menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi
tindakan-tindakan presiden dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawab
kepada presiden”.

Berdasarkan penguraian tesebut, pelaksanaan SI akan sangat tergantung kepada dua hal.
Pertama, adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dalam bentuk
pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR setelah dilakukan
Memorandum Pertama dan Memorandum Kedua.

Pengaturan yang ada dalam penjelasan itu untuk pertama kali pernah dipraktekan pada tahun
1967 ketika Presiden Soekarno diminta oleh MPRS untuk mempertanggungjawabkan sebab-
sebab terjadinya peristiwa G 30 S/PKI, kemerosotan ekonomi dan akhlak selama era Orde
Lama. Presiden Soekarno berusaha menjelaskan semua permintaan MPRS tersebut dalam
pidato pertanggungjawaban yang dikenal dengan “Pidato Nawaksara”. Pertanggungjawaban
tersebut tidak diterima oleh MPRS. Akibatnya, Presiden Soekarno diberhentikan sebagai
presiden. Kemudian, MPRS mengangkat Soeharto sebagai presiden yang baru.

Dibandingkan dengan kejadian yang dialami Presiden Soekarno,[15] pemberhetian


Abdurrahman Wahid dalam SI MPR tahun 2001 telah memunculkan perdebatan yang amat
mendasar dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Perdebatan ini muncul karena adanya
problema UUD 1945 pemberhetian Presiden dalam masa jabatan.[16] Problem ini muncul
karena tidak adanya pembagian keanggotaan secara tegas antara lembaga yang meminta
penyelenggaraan SI dengan lembaga yang memutus permohonan SI.

Dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, misalnya, permintaan


penyelenggaraan impeachment dilakukan oleh House of Reprsentatives, penilaiannya
dilakukan oleh Senate. Di Indonesia permintaan untuk melakukan SI dilakukan oleh DPR,
penilaiannya dilakukan oleh MPR. Tetapi MPR yang melakukan penilaian mayoritas
anggotanya (dari 700 anggota MPR, 500 berasal dari anggota DPR) berasal dari anggota DPR.

Dengan adanya perubahan UUD 1945, perdebatan-perdebatan yang mungkin timbul dalam
pelaksanaan impechment ke depan dapat dikurangi secara signifikan dengan adanya
rumusan kaedah secara lebih jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, yakni :

Pasal 7A :

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

Pasal 7B :

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada
MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

(3) Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah permintaan
DPR itu diterima Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

(6) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.

(7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil
dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna MPR.

Kelima, hapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebelum dilakukan
Amandemen Keempat, kedudukan konstitusional DPA sebagai lembaga tinggi negara dapat
ditemui dalam Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi
jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam
penjelasan Pasal 16 dinyatakan “Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib
memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Ia hanya sebuah badan
penasehat belaka”.

Menelaah rumusan yang ada dalam Pasal 16 beserta penjelasannya akan terlihat bahwa DPA
tidaklah merupakan lembaga negara yang penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Apalagi, adanya anak kalimat dalam penjelasan yang “sengaja” hendak melemahkan posisi
DPA yaitu sebagai badan penasihat belaka. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal
menghapus DPA sebagai lembaga negara. Sebagai gantinya, menurut ketentuan Pasal 16
UUD 1945 Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Perubahan
ini memberikan klesempatan kepada Presiden untuk dewan pertimbangan, misalnya dalam
bentuk Penasihat Presiden.

Keenam, kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh
Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-
undang.

Sedangkan Mahkmah Konstitusi, menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Catatan Kritis: Perubahan Menghasilkan Supremasi DPR

Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan (ST) 2002 Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Amien Rais mengatakan bahwa dengan disahkannya Perubahan Keempat Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, MPR telah mengambil putusan yang sangat bersejarah dengan
melakukan lompatan besar ke depan bagi bangsa Indonesia. Barangkali, salah satu lompatan
besar yang dimaksudkan oleh Amien Rais adalah keberhasilan MPR menata badan legislatif
Indonesia dari pola supremasi MPR menjadi sistem bikameral.

Meskipun demikian, hasil perubahan tetap menyisakan persoalan lain yang tidak kalah
seriusnya karena ada beberapa pasal hasil perubahan berpotensi merusak mekanisme check
and balances.[17] Potensi ini dapat diamati dalam pasal-pasal tentang DPR yang
berhubungan dengan DPD maupun dengan lembaga-lembaga negara yang lain.

Pertama, perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang
menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan
rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD. Padahal sebelum dilakukan
perubahan, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu karena lebih diposisikan sebagai
“tukang stempel” dalam membuat undang-undang. Semestinya, penguatan posisi DPR
dalam proses legislasi harus diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk
melakukan veto.

Dalam sistem presidensiil Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7)
poin 2 Konstitusi AS menyatakan all bill which shall have passed the House of Representative
and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he
approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden
dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan
undang-undang (RUU) itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres
menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

Berbeda halnya dengan contoh di atas, supremasi DPR dalam proses legislasi menjadi sangat
dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengesahkan RUU.
Keharusan bagi Presiden untuk menandatangani semua RUU yang telah disetujui secara
eksplisit dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (5) bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui
bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui, RUU
itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Kedua, adanya rumusan “reaktif” Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Pasal ini muncul sebagai reaksi terhadap
sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan
DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak
masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di
samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu
mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD
boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?

Ketiga, beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam
bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan, antara lain adalah
(1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
(3) pengangkatan Hakim Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi
Yudisial. Di samping itu, masih ada agenda lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR,
antara lain adalah (1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta
negara lain, (3) pemberian amnesti dan abolisi.

Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi
beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang
hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di
samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian
lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk
meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian
Negara RI (Kapolri).

Dominasi posisi DPR tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislatif tetapi juga terjadi
terhadap DPD. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa
keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Sebagai representasi
kepentingan daerah, DPD secara limitatif hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan
kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Bahkan dalam fungsi legislasi, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memberi garis
demarkasi secara tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi
monopoli DPR.

Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan
berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan
distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR.
Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses
pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah
sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sistem perwakilan.

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, DPD (senate atau upper house) diberikan
kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya
di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, meneliti ulang
setiap RUU yang diajukan oleh DPR, dankedua, melalui three-fold committee
system mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi
legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan RUU.
Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu RUU.[18]

Mencermati pergeseran kekuasaan yang sangat besar di atas, perubahan UUD 1945 secara
samar-samar mendorong DPR menjadi lembaga negara yangsupreme di antara lembaga-
lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua
kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Besar kemungkinan, dalam praktik ketatanegaraan
ke depan akan muncul concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti
kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.

Kalau pada awalnya ada anggapan bahwa perubahan UUD 1945 menggeser paradigma
dari executive heavy menjadi legislative heavy, melihat pergeseran yang terjadi, anggapan
itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi sesungguhnya adalah DPR heavy karena kehadiran
DPD –sebagai salah satu kamar di legislatif-- hanya sebagai pelengkap penderita dalam
sistem perwakilan. Dalam beberapa waktu ke depan, ketika rumusan normatif UUD harus
dituangkan dalam bentuk undang-undang, DPR masih mempunyai kesempatan untuk
memperkuat supremasinya. Melihat dominasi DPR dalam proses legislasi, sulit membendung
lembaga ini untuk bergerak lebih jauh.

4. Buatlah tiga contoh dengan argumennya terkait pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab
negara untuk menghomati, memajukan, melindungi dan memenuhi HAM.

1. Negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty holder), yang harus memanuhi kewajiban-
kewajibannya dalam pelaksanaan HAM baik secara nasional maupun internasional, sedangkan
individu dan kelompok-kelompok masyarakat adalah pihak pemegang hak (right holder)
2. Negara tidak memiliki hak, negara hanya memikul kewajiban dan tanggung jawab (obligation
and responsibility) untuk memenuhi hak warga negaranya (baik indivisu maupun kelompok) yang
dijamin dalam instrument-instrumen HAM internasional.
3. Jika negara tidak mau atau tidak punya keinginan untuk memenuhi kewajiban dan tanggung
jawabnya, pada saat itulah negara tersebut bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau
hukum internasional. Jika pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggung jawabkan oleh negara,
maka tanggung jawab itu akan diambil alih oleh masyarakat internasional.

Anda mungkin juga menyukai