Anda di halaman 1dari 131

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PEMERINTAH KOTA SEMARANG UNTUK


MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN GELANDANGAN DI
KOTA SEMARANG

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum


pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Aulia Rahmawati
NIM. 3450402078

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian
skripsi pada :

Hari : Senin
Tanggal : 19 Februari 2007

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Soegito, SH. Tri Sulistiyono, SH.


NIP. 130529532 NIP. 132255794

Mengetahui:
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Drs. Eko Handoyo M. Si.


NIP. 131764048

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri

Semarang, pada:

Hari :

Tanggal : Februari 2007

Penguji Skripsi

Ubaidillah Kamal, S.Pd


NIP. 132233422

Anggota I Anggota II

Drs. Soegito, SH Tri Sulistiyono, SH.


NIP. 130529532 NIP. 132255794

Mengetahui:
Dekan,

Drs. H. Sunardi, M.M.


NIP. 130367998
iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah

Semarang, Februari 2007

Aulia Rahmawati
NIM. 3450402078

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

1. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila


kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh
- sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap”. (Q. S. Al. Nasyrah : 6 – 8).
2. “Orang terkuat adalah bukan mereka yang selalu menang melainkan
mereka yang tetap tegar meskipun mereka jatuh”. (Penulis).

PERSEMBAHAN

1. Untuk orangtuaku atas doa dan cinta kasihnya


yang akan selalu kusayangi dan kuhargai
ketulusannya.
2. Teman-teman Hukum Angkatan’02.
3. Almamaterku.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Walaupun banyak

halangan dan kendala dalam pembuatannya, tidaklah menjadi hambatan yang

berarti. Dalam penulisan skripsi ini, tak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai

pihak. Penulis sadar bahwa skripsi ini terselesaikan berkat bantuan banyak pihak.

Dalam kesempatan ini, penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan

kepada :

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si selaku Rektor Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. H. Sunardi, MM. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

Semarang.

3. Drs. Eko Handoyo, M. Si. selaku Ketua Jurusan Hukum dan

Kewarganegaraan.

4. Dra. Martitah, M. Hum selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum.

5. Drs. Soegito, SH. (Pembimbing I) yang telah memberikan bimbingan,

motivasi, dukungan dan pengarahan dalam meyelesaikan skripsi ini.

6. Tri Sulistiyono, SH. (Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan,

bantuan, saran dan kritik dengan sabar tulus sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

7. Drs. Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Pemerintah Kota Semarang yang telah

memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

vi
8. Drs. Soemarso, Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo yang

telah memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Drs. Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan Penyaluran Panti Karya Mardi

Utomo yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Jepi, yang telah memberikan bantuan, dukungan dan motivasi sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2002: Genx Gendut (Feri, Novita, Uut),

Cahyoso, Heri , Sugeng, dll.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara moral mupun material.

Akhirnya besar harapan penulis, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi

diri sendiri dan pembaca serta berguna bagi perkembangan khasanah ilmu

pengetahuan. Amin.

Semarang, Februari 2007

Penulis

vii
SARI

Rahmawati, Aulia. 2007. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang


Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Gelandangan di Kota Semarang. Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Drs. Soegito, SH. dan Tri Sulistiyono, SH. 110h.

Kata Kunci: Kebijakan, Gelandangan, Kesejahteraan


Gelandangan Kota Semarang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah.
Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah
kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya
urbanisasi dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, menyebabkan
banyak dari mereka yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan
terpaksa menjadi gelandangan atau pengemis. Oleh karena itulah diperlukan suatu
kepastian hukum terhadap mereka baik berupa pelayanan dan rehabilitasi sosial
maupun upaya peningkatan kesejahteraan bagi gelandangan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana
implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan gelandangan di Kota Semarang?, 2) Faktor-faktor apa yang menjadi
pendukung dan penghambat implementasi kebijakan?, 3) Bagaimana usaha yang
dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut?. Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk
mengetahui implementasi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah
Kota Semarang dalam meningkatkan kesejahteraan gelandangan di Kota
Semarang. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan
penghambat implementasi kebijakan. 3) Untuk mengetahui cara mengatasi
hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan Kasubbag Rehabsos Setda Kota
Semarang, Staf bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, dan Kepala dan Staf
Panti khusus yang menangani gelandangan. Wawancara dan observasi juga
dilakukan dengan 10 orang gelandangan yang di tampung di panti serta 10 orang
gelandangan yang sudah disalurkan/kembali ke masyarakat. Selain itu juga
dilakukan pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah tentang gelandangan. Validitas data menggunakan teknik triangulasi,
data yang telah dikumpulkan dianalisis secara induktif dan disajikan secara
deskriptif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan dapat dibagi dua, yaitu
keputusan kebijakan dan pernyataan kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan antara lain;
Pembentukkan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang,
Kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan Panti Khusus Gelandangan, dan
Larangan Memberi Uang Kepada Gelandangan di Jalan. Adapun dalam
implementasinya kebijakan-kebijakan tersebut ada yang dapat dilaksanakan dan
belum dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan faktor pendukung implementasi
kebijakan, yaitu: adanya ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus,
komunikasi yang baik antar pelaksana kebijakan, sumber-sumber yang cukup
tersedia, serta struktur birokrasi yang jelas. Dan faktor penghambat implementasi
kebijakan, yaitu: kurangnya dana dari Pemerintah Propinsi kepada panti khusus
gelandangan, dan kurangnya dukungan dari masyarakat.

viii
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah
Kota Semarang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang gelandangan, ada
kebijakan yang dapat diimplementasikan dan ada pula yang belum dapat
diimplementasikan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Hal ini
dikarenakan adanya faktor pendukung dan faktor penghambat kebijakan. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan
gelandangan. Pemerintah Kota Semarang diharapkan lebih tanggap dengan
kondisi gelandangan rentan dengan masalah kemiskinan, misalnya dengan
membuat Peraturan Daerah tentang gelandangan. Dan Pemerintah Propinsi juga
harus meningkatkan pemberian dana operasional kepada Panti khusus
gelandangan untuk memaksimalkan jangkauan pelayanan bagi gelandangan yang
di tampung di panti agar setelah mereka keluar dari panti mereka mampu merubah
pola hidup dan cara mencari penghasilannya sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, serta mampu menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat
secara wajar. Setiap kebijakan baik yang telah dikeluarkan harus disosialisasikan
kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu tujuan kebijakan tersebut
dikeluarkan sehingga ada persamaan tujuan yang akan mendorong suksesnya
implementasi kebijakan.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii

PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iii

PERNYATAAN............................................................................................ iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

SARI.............................................................................................................. viii

DAFTAR ISI................................................................................................. x

DAFTAR TABEL......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

B. Batasan Masalah ............................................................................... 8

C. Permasalahan .................................................................................... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9

E. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................... 10

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kebijakan Publik............................................................................... 13

1. Pengertian Kebijakan Publik (Public Policy) ............................. 13

2. Tujuan Kebijakan ........................................................................ 17

3. Jenis Kebijakan Publik................................................................ 17


x
4. Sifat Kebijakan Publik ................................................................ 19

B. Implementasi Kebijakan.................................................................... 20

1. Pengertian Implementasi Kebijakan ........................................... 20

2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ............................... 22

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ............................. 26

4. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan ............... 28

C. Gelandangan...................................................................................... 29

1. Pengertian Gelandangan.............................................................. 29

2. Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan ................................ 31

3. Ciri-ciri Gelandangan.................................................................. 32

4. Dasar Yuridis Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang

Gelandangan................................................................................ 33

D. Kesejahteraan .................................................................................... 35

1. Pengertian Kesejahteraan ............................................................ 35

2. Fungsi Kesejahteraan Sosial ....................................................... 37

3. Kriteria Usaha Kesejahteraan Sosial........................................... 38

4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial ................................................................... 39

BAB III METODE PENELITIAN

A. Dasar Penelitian ................................................................................ 41

B. Lokasi Penelitian............................................................................... 42

C. Fokus Penelitian ................................................................................ 42

D. Sumber Data Penelitian..................................................................... 43

E. Teknik Pengumpulan Data................................................................ 44


xi
F. Validitas Data.................................................................................... 46

G. Analisis Data ..................................................................................... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Gelandangan Kota Semarang .............................. 50

1. Daerah Asal dan Persebaran Gelandangan Kota Semarang........ 50

2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Gelandangan.................... 53

3. Umur dan Pekerjaan Gelandangan.............................................. 55

B. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang

Gelandangan...................................................................................... 56

C. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Pemerintah Kota Semarang Tentang Gelandangan........................... 83

1. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ............................... 83

2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ............................. 92

D. Upaya Pemerintah Kota Semarang Untuk Mengatasi Hambatan

Implementasi Kebijakan.................................................................... 100

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ........................................................................................... 106

B. Saran.................................................................................................. 108

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 109

LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Panti Rujukan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah ............... 66

Tabel 2. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Persinggahan

Margo Widodo Semarang Tahun 2006 ........................................... 72

Tabel 3. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Mardi Utomo

Semarang Tahun 2001-2006 .......................................................... 73

Tabel 4. Sifat dan Isi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam

Menangani Gelandangan................................................................. 82

Tabel 5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ................................... 92

Tabel 6. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ................................. 100

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan .................................................. 21

Gambar 2. Analisis Data Kualitatif............................................................... 49

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. SK. Walikota Semarang No. 462/ 133/ 2002 ...........................

Lampiran 2. Rekapitulasi Gelandangan Kota Semarang Tahun 2003-2006.

Lampiran 3. Daftar Informan dan Responden...............................................

Lampiran 4. Pedoman Wawancara ...............................................................

Lampiran 5. Foto...........................................................................................

Lampiran 6. Dokumentasi Surat Kabar dan Internet ....................................

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian ..................................................................

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kependudukan merupakan salah satu sumber masalah sosial

yang penting, karena pertambahan penduduk dapat menjadi penghambat

dalam pelaksanaan pembangunan, apalagi jika pertambahannya tersebut tidak

terkontrol secara efektif. Akibat pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh

kondisi yang serba tidak merata, terutama mengenai sumber-sumber

penghidupan masyarakat yang semakin terbatas. Pertambahan jumlah

penduduk tersebut disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi di

bandingkan dengan tingkat kematian yang rendah, dan juga peluang kerja

yang sangat kecil sebagai akibat dari perubahan era globalisasi menuju era

pasar bebas yang menuntut setiap individu untuk memperjuangkan hidupnya.

Kota Semarang, adalah salah satu kota besar di Indonesia, Ibukota

Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya.

Seperti halnya kota-kota lain yang sedang berkembang di seluruh dunia,

Semarang juga merasakan fenomena yang serupa. Perkembangan pesat,

seperti berdirinya kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan,

pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong para urban untuk

mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan di

kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak

1
2

mungkin pula mereka menyambung hidupnya dengan menjadi gelandangan

atau pengemis.

Menurut Justin M. Sihombing (2005:79). munculnya gelandangan

secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak

berupa terasingnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan

ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang

kelihatannya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis. Munculnya

kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang

terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.

Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial

yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,

terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota besar). Salah satu faktor

yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan.

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya

arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi

kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para

urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta

terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang

mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi

gelandangan atau pengemis.

Jumlah gelandangan dari tahun ke tahun semakin meningkat, terlebih

sejak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997. Berdasarkan

data dari pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos)

Departemen Sosial RI tahun 2000, diluar propinsi Maluku dan Nanggroe Aceh
3

Darussalam populasi gelandangan dan pengemis seluruh Indonesia berjumlah

72.646 orang. Kemudian tahun 2002 mengalami peningkatan sehingga

populasinya menjadi 85.294 orang (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna

Sosial Departemen Sosial RI 2005). Sedangkan rekapitulasi Bagian Sosial

Kota Semarang tahun 2003 ada sekitar 218 orang gelandangan. Sampai tahun

2006, jumlah tersebut mengalami penurunan, yaitu ada 197 orang

gelandangan. Jumlah itu termasuk mereka yang bekerja sebagai pengemis,

pemulung, dan pengamen.

Gelandangan merupakan sekelompok masyarakat yang terasing, karena

mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan yang tidak lazim, seperti di

kolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api

ataupun di setiap emper-emper toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka ini

akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya (Sastraatmadja,

1987:23).

Peran pemerintah dalam menangani masalah sosial gelandangan

sangat penting, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2) dan

Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Amandemen keempat. Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen keempat berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini

memberikan pengertian bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberantas

pengangguran dan harus mengusahakan supaya setiap warga negara dapat

memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak untuk hidup. Sedangkan Pasal

34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat yang berbunyi


4

: “Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara”. Pasal tersebut

memberikan pengertian pula bahwa tujuan negara sebagaimana tercantum

dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara

tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk memelihara fakir miskin

dan anak-anak terlantar.

Sampai saat ini gelandangan dianggap sebagai perbuatan pidana. Hal

ini tercerminkan dari bunyi Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

sebagai berikut :

Ayat (1) Barang siapa bergelandangan tanpa mata pencaharian, diancam


karena melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama
tiga bulan.
Ayat (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang
umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan
paling lama enam bulan.

Pasal di atas jelas menganggap gelandangan sebagai suatu tindakan yang

melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah tidak dapat menyikapi masalah

sosial gelandangan itu hanya dengan memberikan hukuman karena masalah

sosial gelandangan merupakan tanggung jawab pemerintah, sesuai yang

diamanatkan Pasal 27 ayat (2) dan 34 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, perlu

adanya campur tangan Pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Semarang

untuk menanggulangi masalah gelandangan di kotanya. Salah satunya dapat

dilakukan dengan cara merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah

gelandangan tersebut. Karena semua masalah yang timbul merupakan agenda

tetap pemerintah untuk mendapatkan penyelesaiannya dengan menuangkannya

melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.


5

Masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba

cepat, mengarahkan perhatian kita bukan lagi pada seputar penggarapan

hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi

hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum bukan lagi

sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam bidang-

bidang kehidupan masyarakat, melainkan hukum diharapkan pula untuk dapat

menjadi pengungkap yang tepat dari kekuatan-kekuatan baru yang timbul

yang hendak membentuk masyarakat menurut tuntutan keadaan serta

pandangan-pandangan baru (Bambang Sunggono, 1994:1-2).

Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen

atau alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum

sebagai sarana yang sadar dan efektif untuk mengatur masyarakat melalui

peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Hukum merupakan

suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum

akan melayani kebutuhan anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian

kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, serta melindungi

kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,

hukum semakin penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan

kebijakan-kebijakan pemerintah (Bambang Sunggono, 1994:3).

Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk

mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan

pola-pola kebiasaan yang telah ada, melainkan lebih dari itu, hukum menjurus

penggunaannya sebagai suatu sarana. Hukum adalah norma yang

mengarahkan masyarakat untuk mencapai cita-cita keadaan tertentu dengan


6

tidak mengabaikan kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, hukum terutama

dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan digunakan untuk mencapai

suatu tujuan tertentu (Bambang Sunggono, 1994:76).

Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan kebijakan. Hukum

merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijakan pemerintah. Seidman

dalam Bambang Sunggono (1994:77), menyatakan bahwa pembuat kebijakan

hanya mempunyai satu alat yang dapat ia pakai untuk mempengaruhi aktivitas

pemegang peran, ialah peraturan-peraturan yang ia buat. Hukum memberikan

legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah dan sebagai peraturan

perundang-undangan telah membuktikan bahwa ia merupakan salah satu alat

untuk melaksanakan kebijakan.

Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk menangani gelandangan

sendiri juga dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangaan yang

telah ada sebelumnya. Yaitu Peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan kesejahteraan gelandangan antara lain; UU No. 6 Tahun 1974 tentang

Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Beberapa peraturan perundangan tersebut diatas merupakan kebijakan

publik (public policy) atau yang sering disebut kebijakan negara, karena

kebijakan itu dibuat negara. Bila dikaitkan dengan tujuan kebijakan, maka

yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera

untuk kaum marginal di Indonesia.

Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada

undang-undang dan bersifat otoritatif. Sifat kebijakan bisa diperinci menjadi


7

beberapa kategori yakni tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),

keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan

kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan

dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002:19).

Kebijakan negara yang dibuat para legislator pusat seperti undang-

undang berlaku secara nasional dan terkadang dalam implementasinya di

daerah akan dijalankan sesuai dengan kondisi daerah itu. Sebagai contoh,

suatu Pemerintah Propinsi membuat aturan yang berlaku untuk daerahnya saja

(Peraturan Daerah). Peraturan Daerah memang penting, dibuat untuk

mengatur daerahnya, termasuk untuk mengatur masalah-masalah sosial seperti

pemukiman kumuh, pengemis dan gelandangan, urbanisasi, pengangguran dan

mungkin masalah anak jalanan dan anak terlantar.

Dari beberapa sifat kebijakan publik diatas adalah jelas bahwa

sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu

bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak

dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan publik harus

dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan

yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil judul skripsi :

“Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Gelandangan Di Kota Semarang ”, dengan alasan sebagai

berikut :
8

1. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan penerapan kebijakan

yang dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menangani masalah

sosial gelandangan, mengingat Pemerintah Kota Semarang yang sering

mengadakan penertiban, razia, garukan atau apapun istilahnya, yang

menakutkan bagi gelandangan dan kaum marginal lain.

2. Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidakteraturan

sosial yang ditandai dengan ketidaktertiban serta mengurangi

ketidaknyamanan masyarakat di sekitarnya sehingga mengganggu

keindahan kota.

B. Batasan Masalah

Agar dalam melakukan penelitian tidak menyimpang dari judul yang

dibuat, maka penulis perlu melakukan pembatasan masalah untuk

mempermudah permasalahan dan mempersempit ruang lingkup, yang dalam

hal ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian dilakukan di Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang dan

Panti Karya yang menangani masalah sosial gelandangan.

2. Obyek yang diteliti adalah tentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan

Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan

gelandangan di Kota Semarang dan implementasi kebijakan tersebut.

C. Permasalahan

Gelandangan merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan

budaya, sehingga menempatkan mereka pada lapisan sosial yang paling bawah

ditengah-tengah masyarakat kota. Mereka bahkan jauh dari taraf kehidupan

masyarakat yang sejahtera. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara
9

yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, sehingga mereka perlu

diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan

kehidupan yang layak.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan gelandangan di Kota Semarang ?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi

kebijakan Pemerintah Kota Semarang ?

3. Bagaimana upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan

implementasi kebijakan ?

D. Tujuan dan manfaat penelitian

1. Tujuan Penelitian.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan

Pemerintah Kota Semarang dalam meningkatkan kesejahteraan

gelandangan di Kota Semarang dan implementasinya.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan

penghambat implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang.

c. Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan yang timbul dalam

implementasi kebijakan.

2. Manfaat Penelitian
10

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Manfaat Praktis

1) Bagi Pemerintah

Memberikan informasi yang bermanfaat, yang dapat dijadikan

acuan bagi pengambil keputusan, terutama dalam menangani

permasalahan sosial gelandangan di kotanya.

2) Bagi Mahasiswa

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan

menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai

penanggulangan permasalahan sosial gelandangan dalam

peningkatan kesejahteraannya.

3) Bagi Masyarakat

Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada

masyarakat luas sehingga gelandangan dapat memperoleh

dukungan dan bantuan moral maupun fisik sebagai wujud rasa

kepedulian masyarakat akan kesejahteraan mereka.

b. Manfaat Teoritis

1) Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi

untuk penelitian yang sejenis.


11

2) Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis tentang

pengimplementasian kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan gelandangan di

kotanya.

E. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi terdiri dari tiga bagian yaitu bagian awal, bagian inti,

bagian akhir skripsi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :

1. Bagian awal skripsi

Bagian awal yang terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan,

halaman kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, kata pengantar,

dan daftar isi.

2. Bagian inti skripsi

Bagian inti penulisan skripsi ini dapat dibagi menjadi (5) lima Bab,

yaitu:

Bab I PENDAHULUAN berisi latar belakang, pembatasan masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan

skripsi.

Bab II LANDASAN TEORI berisi kerangka pemikiran atau teori-

teori yang berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu mengenai : pengertian

implementasi kebijakan, faktor-faktor pendukung dan penghambat

implementasi kebijakan, pengertian kebijakan publik, tujuan kebijakan,


12

kategori kebijakan publik, dan sifat kebijakan publik, pengertian

gelandangan, faktor penyebab munculnya gelandangan, ciri-ciri

gelandangan, dan Peraturan Pemerintah tentang penanggulangan

gelandangan dan pengemis, pengertian kesejahteraan, fungsi kesejahteraan

sosial, kriteria usaha kesejahteraan sosial, dan peraturan yang mengatur

tentang kesejahteraan sosial.

Bab III METODE PENELITIAN dasar penelitian, lokasi penelitian,

fokus penelitian, sumber data penelitian yang diperoleh dari informan,

responden dan dokumen, teknik pengumpulan data, selanjutnya validitas

data dan analisis data.

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN yang memuat

tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang implementasi kebijakan

Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan, faktor-faktor yang

mendukung dan menghambat implementasi kebijakan serta upaya

mengatasi hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan

Bab V PENUTUP berisi simpulan dari keseluruhan bab-bab yang

ada, juga diberikan saran-saran yang diharapkan membantu memecahkan

permasalahan.

3. Bagian Akhir Skripsi

Bagian akhir skripsi ini terdiri dari daftar pustaka, dan lampiran-

lampiran.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik (Public Policy)

Secara umum istilah kebijakan dan kebijaksanaan seringkali

dipergunakan secara bergantian. Kedua istilah ini terdapat banyak

kesamaan dan sedikit perbedaan, sehingga tak ada masalah yang berarti

bila kedua istilah itu dipergunakan secara bergantian. Pengertian istilah

kebijakan dan kebijaksanaan juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia.

a. Kebijakan : kepandaian ; kemahiran

Kebijakan berarti :

1) Hal bijaksana ; kepandaian menggunakan akal budinya

(pengalaman dan pengetahuannya);

2) Pimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintahan,

perkumpulan dan sebagainya);

3) Kecakapan bertindak bila menghadapi orang lain (dalam kesulitan

dan sebagainya). (Poerwadarminta,1994: 115).

b. Istilah kebijaksanaan biasanya digunakan untuk perbuatan yang baik,

menguntungkan atau positif.

Kebijaksanaan berarti :

1) Pandai; mahir; selalu menggunakan akal budinya

13
14

2) Patah lidah; pandai bercakap-cakap. (Poerwadarminta,1994:115).

Sedangkan policy berasal dari bahasa Latin politeia yang berarti

kewarganegaraan. Karena policy dikaitkan dengan pemerintahan, maka

lebih tepat jika diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan bukan kebijakan

(Bayu Suryaningrat, 1989 : 11).

Berbeda dengan Budi Winarno dalam bukunya “Teori dan Proses

Kebijakan Publik”, ia mempergunakan istilah kebijakan, Kebijakan

digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang

pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau

sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Budi winarno, 2002 :

14).

Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan tidak hanya

digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk

menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda (Budi

Winarno, 2002 : 16).

Berkaitan dengan pengertian kebijakan tersebut, Carl Friedrich

dalam Budi Winarno (2002 : 16) memberikan pengertiannya sebagai

berikut :

Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh


seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.

Istilah kebijakan ini lebih tertuju pada kebijakan publik (public

policy) yaitu kebijakan negara, kebijakan yang dibuat negara. Kebijakan


15

publik dapat juga berarti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai

tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Bentuk kebijakan

publik itu bisa berupa undang-undang atau peraturan daerah (Perda) dan

yang lain (Ambarsari Dewi, 2002 : 1).

Menurut James Anderson, dalam Bambang Sunggono (1994 : 23)

mengatakan bahwa : “Public Policies are those policies developed by

governmental bodies and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan-

kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah).

Menurut Anderson, implikasi dari pengertian kebijakan publik

tersebut adalah :

(a) Bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau

merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan;

(b) Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat-pejabat pemerintah;

(c) Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud

akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;

(d) Bahwa kebijkan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan

beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah


16

tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat

pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

(e) Bahwa kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau

selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat

memaksa (otoritatif). (Bambang Sunggono ,1994 : 23).

Pressman dan Widavsky mendefinisikan kebijakan publik sebagai

hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang

bisa diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-

bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi

oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah (Budi Winarno, 2002 :

17).

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijkan publik

merupakan ciri khusus kebijakan publik. Hal ini seperti yang diungkapkan

David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para

sesepuh suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, penasihat

raja dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orng

yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui

oleh sebagian besar anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab

untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang

diterima secara mengikat dalam dalam jangka waktu yang lama oleh

sebagian besar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam

batas-batas peran yang diharapkan (Budi Winarno, 2002 : 18).


17

Dari pengertian kebijakan publik yang diuraikan diatas dapat

disimpulkan bahwa :

(1) Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-

tindakan pemerintah;

(2) Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

itu mempunyai tujuan tertentu;

(3) Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

2. Tujuan Kebijakan

Fungsi utama dari negara adalah mewujudkan, menjalankan dan

melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan

dengan tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya, yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator);

b. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal

(negara sebagai stimulator);

c. Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator);

d. Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara

sebagai distributor). (Bambang Sunggono,1994 : 12).

3. Jenis Kebijakan Publik

Menurut James E. Anderson, kebijakan publik dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

a. Substantive Policies and Procedural Policies.


18

Substantive Policies adalah kebijakan yang dilihat dari substansi

masalah yang di hadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan politik

luar negeri, kebijakan dibidang pendidikan, kebijakan ekonomi, dan

sebagainya. Dengan demikian yang menjadi tekanan dari substantive

policies adanya pokok masalahnya (subject matter) kebijakan.

Procedural Policies adalah suatu kebijakan yang dilihat dari pihak-

pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik,

serta cara bagaimana suatu kebijakan publik diimplementasikan..

b. Distributive, Redistributive, and Self Regulatory Policies.

Distributive Policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang

pemberian pelayanan atau keuntungan bagi individu-individu,

kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau masyarakat

tertentu. Redistributive Policies adalah kebijakan yang mengatur

tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak di

antara kelas-kelas dan kelompok-kelompok penduduk.

Self Regulatory Policies adalah kebijakan yang mengatur tentang

pembatasan atau pelarangan perbuatan atau tindakan bagi seseorang

atau sekelompok orang.

c. Material Policies.

Material policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian

atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi para


19

penerimanya, atau mengenakan beban-beban bagi mereka yang

mengalokasikan sumber-sumber material tersebut.

d. Public Goods and Private Goods Policies.

Public Goods Policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang

penyediaan barang-barang dan pelayanan-pelayanan untuk

kepentingan orang banyak.

Private Goods Policies merupakan kebijakan-kebijakan tentang

penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan untuk

kepentingan perorangan yang tersedia di pasar bebas, dengan imbalan

biaya tertentu. (Sutopo dan Sugiyanto, 2001: 5)

4. Sifat Kebijakan Publik

Menurut Budi Winarno, sifat kebijakan bisa diperinci menjadi

beberapa kategori, yaitu :

a. Tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan-tuntutan yang

dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah,ditujukan kepada

pejabat-pejabat pemerintah atau sistem politik.

b. Keputusan kebijakan (policy decisions) didefinisikan sebagai

keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah

yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-

tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah

menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif

atau pernyatan-pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan


20

administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-

undang.

c. Pernyataan kebijakan (policy statements) adalah pernyataan-

pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik.Yang

termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-

perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan

pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat

pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa

yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan itu.

d. Hasil kebijakan (policy outputs) lebih merujuk ke manifestasi nyata

dari kebijakan publik, hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut

keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan.

e. Dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat-

akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan yang berasal dari

tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (Budi Winarno, 2002 :

19-20).

Definisi sifat kebijakan publik diatas adalah jelas bahwa

sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu

bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak

dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan publik harus

dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan

yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.


21

B. Implementasi Kebijakan

1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan (Poerwadarminta, 1990 :

327). Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang

dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa to implement

(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryingout

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect

to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). Pengertian

tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus

disertai sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan

dampak atau akibat terhadap sesuatu itu. (Abdul Wahab, 1997 : 67).

Pengertian implementasi diatas apabila dikaitkan dengan kebijakan

adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat

dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian

didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah

kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai

dampak atau tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan Van Horn dalam Abdul Wahab (1997 : 65),

menyatakan bahwa :

Proses implementasi adalah “those action by public or private


individuals groups that are directed the achivement of objectives
set forth in prior decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
22

tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan


kebijaksanaan).

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan

waktu tertentu (Bambang Sunggono 1994:137).

Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila

tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah

dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan

tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis

seperti berikut ini :

Proses Dampak Dampak


Kebijakan pelaksana segera akhir
an kebijakan kebijakan

Sumber : Bambang Sunggono (1994 : 139).

Dari skema diatas terlihat bahwa proses implementasi dimulai

dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses

implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai

“policy performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah

dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu

tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, misalnya.

Perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyaraakat dapat dianggap

sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome”

atau “policy impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan


23

termasuk juga hasil-hasil sampingan disamping “policy performance”

yang diperoleh.

2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang

luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor,

organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk

menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan

(Budi Winarno, 2002:102).

Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan negara secara sempurna menurut Teori Implementasi Brian W.

Hogwood dan Lewis A.Gun, yaitu :

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana


tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-
hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya;
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang
cukup memadai;
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia;
d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu
hubungan kausalitas yang handal;
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnnya;
f. Hubungan saling ketergantungan kecil;
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat;
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna;
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Abdul Wahab,1997:71-78 ).
Menurut Teori Implementasi Kebijakan George Edward III),

faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :

1) Komunikasi.

Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi

kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).


24

Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah

transmisi. Seorang pejabat yang mengimlementasikan keputusan harus

menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah

umtuk pelaksanaanya telah dikeluarkan.

Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah

kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak

hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi

tersebut harus jelas.

Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah

konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung

efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

2) Sumber-sumber.

Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi

kebijakan meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang

baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-

fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.

3) Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.

Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekunsi-

konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika

para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang

dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka

melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para

pembuat keputusan awal.

4) Struktur birokrasi.
25

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur

pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta (Budi Winarno,2002

: 126-151).

Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Meter

dan Horn, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :

(a) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.

Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu

program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur

karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan

bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan.

(b) Sumber-sumber kebijakan.

Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau

perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar

implementasi yang efektif.

(c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan

ketepatan komunikasi antar para pelaksana.

(d) Karakteristik badan-badan pelaksana.

Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan

struktur birokrasi. Srtuktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi

keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

(e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.


26

Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-

badan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.

(f) Kecenderungan para pelaksana (implementors).

Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana

kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan.

(Budi Winarno, 2002:110).

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan

dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus

dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.

Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan

melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan :

(1) Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-

keputusan badan-badan pemerintah;

(2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

(3) Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah,

konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;

(4) Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena

kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;

(5) Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidak

melaksanakan suatu kebijakan (Bambang Sunggono,1994 : 144).

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Menurut Bambang Sunggono, implementasi kebijakan mempunyai

beberapa faktor penghambat, yaitu :

a. Isi kebijakan.
27

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya

isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup

terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-

program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua,

karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang

akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan

dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat

berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi

suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan

yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang

menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.

b. Informasi.

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para

pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang

perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan

baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan

komunikasi.

c. Dukungan.

Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila

pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan

kebijakan tersebut.

d. Pembagian potensi.

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi

suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi


28

diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini

berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi

pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan

masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab

kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya

pembatasan-pembatasan yang kurang jelas (Bambang Sunggono,1994 :

149-153).

Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan

yang kontroversial yang lebih banyak mendapat penolakan warga

masyarakat dalam implementasinya.

Menurut James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan

anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan

publik, yaitu :

1) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana

terdapat beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan

publik yang bersifat kurang mengikat individu-individu;

2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan

dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai

atau bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan

pemerintah;

3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara

anggota masyarakat yaang mencenderungkan orang bertindak dengan

menipu atau dengan jalan melawan hukum;


29

4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan

yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi

sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik;

5) Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan

sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok-

kelompok tertentu dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 1994 :

144-145).

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan

dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan

kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat

harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.

Sehingga apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan

keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah

efektif.

4. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan

Peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi

implmentasi kebijakan publik. Suatu kebijakan akan menjadi efektif

apabila dalam pembuatan maupun implementasinya didukung oleh sarana-

sarana yang memadai. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu

kebijakan dapat terlaksana dengan baik, yaitu :

a. Peraturan hukum ataupun kebijakan itu sendiri, di mana terdapat

kemungkinan adanya ketidakcocokan-ketidakcocokan antara

kebijakan-kebijakan dengan hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat;


30

b. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum atau kebijakan. Para

petugas hukum (secara formal) yang mencakup hakim, jaksa, polisi,

dan sebagainya harus memiliki mental yang baik dalam melaksanakan

(menerapkan) suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan.

Sebab apabila terjadi yang sebaliknya, maka akan terjadi gangguan-

gangguan atau hambatan-hambatan dalam melaksanakan

kebijakan/peraturan hukum;

c. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu

peraturan hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin

terlaksana dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas

yang memadai agar tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau

hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya;

d. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya

kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga

masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang-

undangan. (Bambang Sunggono, 1994 : 158).

C. Gelandangan

1. Pengertian Gelandangan

Gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai

pengertian sebagai berikut :

a. Berjalan kesana sini tidak tentu tujuannya; berkeliaran; bertualangan.

b. Orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya.

(Poerwadarminta, 1990 : 261).


31

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun

1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, yang berbunyi

:
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak
sesuai dengan norma dan kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang
tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai
cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Departemen Sosial Republik Indonesia lebih memandang

gelandangan sebagai orang yang tak mampu beradaptasi dengan

lingkungannya (masyarakat). Menurut mereka gelandangan adalah mereka

yang karena sesuatu sebab mengalami ketidakmampuan mengikuti

tuntutan perkembangan tata kehidupan masyarakat zamannya, sehingga

hidup terlepas dari aturan-aturan masyarakat yang berlaku dan membentuk

kelompok tersendiri dengan tata kehidupan yang tidak sesuai dengan

ukuran martabat manusiawi masyarakat sekeliling (lingkungannya) (Balai

Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1979 : 1).

Menurut Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 1961, 1971, dan

1980, mendefinisikan gelandangan sebagai berikut :

Gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal


tetap, atau tempat tinggal “tetapnya” tidak termasuk dalam wilayah
pencacahan atau blok sensus yang ada. Karena pada dasarnya blok
sensus dan wilayah pencacahan sudah memasukkan semua tempat
rumah tinggal yang lazim, maka gelandangan ialah mereka yang
tidak tinggal di rumah tangga dan pemukiman yang ada. Dalam
pelaksanaan sensus pencacahan gelandangan ditujukan pada daerah-
daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan tempat-tempat
konsentrasi hunian orang-orang di bawah jembatan, di kuburan, di
pinggir rel kereta api, di emper toko, di taman-taman atau daerah
hunian gelandangan yang dikenali. Jadi menurut definisi ini
gelandangan adalah orang-orang yang bertempat tinggal di
kawasan-kawasan yang tidak layak untuk tempat tinggal (Soetjipto
Wirosardjono, 1984 : 60).
32

Menurut Sarlito W. Sarwono, gelandangan adalah orang-orang

miskin yang hidup di kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal

tertentu yang sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban

pemerintah kota karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas

perkotaan, tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati

itu, tidak membayar pajak misalnya (Sarlito W. Sarwono, 1978 : 49).

2. Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan

Keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan

sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat meningkatnya

gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota besar. Menurut Noer

Effendi, munculnya gelandangan juga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :

a. Faktor eksternal, antara lain :


1) Gagal dalam mendapatkan pekerjaan.
2) Terdesak oleh keadaan, seperti tertimpa bencana alam, perang, dll
3) Pengaruh orang lain.
b. Faktor internal, antara lain:
1) Kurang bekal pendidikan dan keterampilan
2) Rasa rendah diri, rasa kurang percaya diri
3) Kurang siap untuk hidup di kota besar
4) Sakit jiwa, cacat tubuh (Noer Effendi, 1993 : 114).

Menurut Buku Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, selain faktor eksternal dan

faktor internal, ada pula beberapa hal yang mempengaruhi seseorang

menjadi gelandangan, yaitu :

(a) Tingginya tingkat kemiskinan.

Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi

kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga


33

tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga

secara layak.

(b) Rendahnya tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi kendala seseorang

untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

(c) Kurangnya keterampilan kerja.

Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat

memenuhi tuntutan pasar kerja.

(d) Faktor sosial budaya.

Ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang

menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu :

(1) Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan

tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.

(2) Sikap pasrah pada nasib.

Mereka menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka

sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak

ada kemauan untuk melakukan perubahan.

(3) Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.

Ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan

pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak

terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani

mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.

(Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI, 2005 : 7-8).


34

3. Ciri-ciri Gelandangan

a. Anak sampai usia dewasa, tinggal disembarang tempat dan hidup

mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya

dikota-kota besar;

b. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku

kehidupan bebas atau liar;

c. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil

sisa makanan atau barang bekas. (Dokumen Bagian Sosial Pemkot,

2003).

4. Dasar Yuridis Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang

Gelandangan

Adapun yang menjadi dasar yuridis dikeluarkannya Kebijakan

Pemerintah Kota Semarang untuk menangani gelandangan yaitu Peraturan

Pemerintah tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis yaitu

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980. Dalam

Peraturan Pemerintah tersebut diatur usaha pemerintah untuk menangani

masalah sosial gelandangan dan pengemis yang dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

a. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan,

pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada

hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan

mencegah terjadinya :
35

1) Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau kelurga-

keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit

penghidupannya;

2) Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan

pengemisan di masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan

kesejahteraan umum;

3) Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan

dan pengemis yang telah di rehabilitasi dan ditransmigrasikan ke

daerah pemukiman baru ataupun dikembalikan ke tengah

masyarakat.

Usaha preventif bertujuan untuk mencegah timbulnya

gelandangan dan pengemis di masyarakat, yang ditujukan baik kepada

perorangan maupun kelompok yang diperkirakan menjadi sumber

timbulnya gelandangan dan pengemis.

Usaha preventif ini dilakukan dengan cara :

(a) Penyuluhan dan bimbingan sosial;

(b) Pembinaan sosial;

(c) Bantuan sosial;

(d) Perluasan kesempatan kerja;

(e) Pemukiman lokal;

(f) Peningkatan derajat kesehatan.

b. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melelui

lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk


36

menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah

meluasnya di masyarakat.

Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan /atau

meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada

seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan

pergelandangan dan pengemisan.

Usaha represif ini dilakukan dengan cara :

1) Razia;

2) Penampungan sementara untuk diseleksi;

Setelah gelandangan tersebut dirazia dan diseleksi, maka tindakan

selanjutnya adalah :

(a) Dilepaskan dengan syarat;

(b) Dimasukkan dalam panti sosial;

(c) Dikembalikan kepada keluarganya;

(d) Diserahkan ke Pengadilan;

(e) Diberikan pelayanan kesehatan;

3) Pelimpahan.

c. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi

usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah pemukiman

baru melalui transmigrasi maupun ke tengah masyarakat, pengawasan

serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan


37

dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak

sesuai dengan martabat manusia sebagai warga negara RI.

Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat

berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha rehabilitatif ini

dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,

dan tindak lanjut, yang kesemuanya itu dilaksanakan melalui Panti

Sosial.

D. Kesejahteraan

1. Pengertian Kesejahteraan

Kesejahteraan secara harfiah mengandung makna yang luas dan

mencakup berbagai segi pandangan atau ukuran-ukuran tertentu tentang

suatu hal yang menjadi ciri utama dari kata tersebut. Kesejahteraan

bermula dari kata “sejahtera”, yang berarti aman, sentosa, makmur atau

selamat artinya lepas dari segala macam gangguan dan kesukaran

(Sumarnonugroho,1991:27).

Kemudian istilah kesejahteraan ini sering dikaitkan dengan

kesejahteraan sosial, yaitu suatu sistem yang terorganisasi di bidang

pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga, yang bertujuan untuk

menjamin kebutuhan ekonomi manusia, standar kesehatan dan kondisi

kehidupan yang layak, mendapatkan kesempatan yang sama dengan warga

negara lainnya, peningkatan derajat harga diri, kebebasan berpikir dan

melakukan kegiatan tanpa gangguan sesuai dengan hak-hak asasi seperti

yang dimiliki sesamanya.


38

Pasal 2 Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang berbunyi :

Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan


sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-
baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan
Pancasila.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tata

kehidupan yang tenteram lahir batin yang dapat dirasakan oleh masing-

masing individu, golongan, ataupun masyarakat, mereka harus mempunyai

kemampuan untuk bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya,

baik materiil maupun spirituil tanpa adanya hambatan fisik, mental dan

sosial.

Secara lengkap dalam Piagam PBB tahun 1959 dalam

Sumarnonugroho mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah :


Suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu
penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan
lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama
melalui teknik-teknik dan metode-motode dengan maksud agar
supaya memungkinkan individu-individu, kelompok-kelompok
maupun komunitas-komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap
perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama
untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial.
(Sumarnonugroho,1991:36).
2. Fungsi Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial mempunyai fungsi sebagai berikut :

a. Fungsi penyembuhan dan pemulihan (kuratif/remedial dan

rehabilitatif).
39

1) Fungsi penyembuhan dapat bersifat represif artinya bersifat

menekan agar masalah sosial yang timbul tidak makin parah dan

tidak menjalar;

2) Fungsi pemulihan (rehabilitatif) terutama untuk menanamkan dan

menumbuhkan fungsionalitas kembali dalam diri orang maupun

anggota masyarakat;

3) Fungsi penyembuhan dan pemulihan bertujuan untuk meniadakan

hambatan-hambatan atau masalah sosial yang ada.

b. Fungsi pencegahan (preventif).

Dalam hal ini meliputi langkah-langkah untuk mencegah agar jangan

sampai timbul masalah sosial baru, juga langkah-langkah untuk

memelihara fungsionalitas seseorang maupun masyarakat.

c. Fungsi pengembangan (promotif, developmental).

Untuk mengembangkan kemampuaan orang maupun masyarakat agar

dapat lebih meningkatkan fungsionalitas mereka sehingga dapat hidup

secara produktif.

d. Fungsi penunjang (suportif).

Fungsi ini menopang usaha-usaha lain agar dapat lebih berkembang.

Meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat memperlancar keberhasilan

program-program lainnya seperti bidang kesehatan, kependudukan dan

keluarga berencana, pendidikan, pertanian dan sebagainya.

(Sumarnonugroho, 1991 : 43).

3. Kriteria Usaha Kesejahteraan Sosial


40

Pasal 2 ayat (2) UU. No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang berbunyi : “Usaha

kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang

ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan, dan

mengembangkan kesejahteraan sosial”.

Menurut Wilensky dan Lebeaux mengemukakan lima kriteria untuk

menentukan kegiatan-kegiatan yang dapat disebut sebagai usaha

kesejahteraan sosial, yaitu :

a. Formal Organization

Usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu organisasi yang

formal.

b. Social Sponsorship and Accountability

Usaha kesejahteraan sosial diselenggarakan oleh masyarakat atas

dukungan masyarakat dan pelaksanaannya harus pula di

pertanggungjawabkan kepada masyarakat.

c. Absence of Profit Motive as Dominant Program Purpose

Tidak ada motif mencari untung sebagai tujuan yang menonjol dalam

sesuatu program.

d. Functional Generalization : An Integrative View of Human Needs

Memiliki fungsi yang bersifat umum yaitu ada kebulatan pandangan

tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang memerlukan bantuan dan

perlu dipenuhi.

e. Direct Concern with Human Consumption Needs

Secara langsung berhubungan dengan konsumsi kebutuhan-kebutuhan

manusia. (Sumarnonugroho, 1991 : 44 ).


41

4. Undang-Undang No. 6 tahun 1974 Tentang ketentuan Pokok

kesejahteraan Sosial

Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang

Kesejahteraan Sosial yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang

No. 6 Tahun 1974 tersebut diatur pula tentang tugas dan usaha pemerintah

di bidang kesejahteraan sosial.

a. Tugas Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :

1) Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk

memelihara, membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan

sosial;

2) Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran

serta rasa tanggung jawab sosial masyarakat;

3) Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha

kesejahteraan sosial.

b. Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :

1) Bantuan sosial kepada warga negara baik secara perorangan

maupun kelompok yang mengalami kehilangan peran sosial atau

menjadi korban akibat terjadinya bencana, baik sosial ataupun

alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain. Kehilangan peran sosial

disini maksudnya adalah hilangnya kemampuan seseorang atau


42

sekelompok orang untuk secara aktif turut serta dalam

penghidupan bersama;

2) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan

suatu sistem jaminan sosial;

3) Bimbingan, pembinaan, dan rehabilitasi sosial, termasuk di

dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat;

4) Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan

peradaban, perikemanusiaan dan kegotongroyongan.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Dasar Penelitian

Penelitian adalah “Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan

menggunakan metode ilmiah” (Soetrisno Hadi 1993: 4). Sedangkan

“methodologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Metodologi

penelitian dapat diartikan, “sebagai suatu cara atau jalan yang harus digunakan

untuk tujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan”. (Soerjono Soekanto, 1986: 5).

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang atau pelaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu tersebut secara holistik (utuh) (Moleong, 2000: 5).

Dengan demikian pendekatan kualitatif hanya meneliti data yang

berbentuk kata-kata dan biasanya merupakan proses yang berlangsung lama.

Penelitian kualitatif lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori sumatif

berdasarkan dari konsep-konsep yang timbul dari data empiris. Dalam

penelitian kualitatif, peneliti merasa tidak mengetahui apa yang tidak

diketahuinya, sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan

kemungkinan yang terbuka akan berbagi perubahan yang diperlukan dan

43
44

lentur terhadap kondisi yang ada dilapangan pengamatan (Rachman, 1999:

17).

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pendekatan Yuridis Sosiologis atau Socio Legal Research, dimana

dalam penelitian ini langkah-langkah teknis yang dilakukan mengikuti pola

penelitian ilmu sosial. (Soerjono Soekanto, 1986: 10)

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilakukan.

Penetapan lokasi penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam

penelitian kualitatif, karena dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti

objek dan tujuan sudah ditetapkan sehingga mempermudah penulis dalam

melakukan penelitian. Lokasi ini bisa di wilayah tertentu atau suatu lembaga

tertentu dalam masyarakat. Untuk memperoleh data primer, lokasi penelitian

dilakukan di Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, Panti Karya

Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya Mardi Utomo. Alasannya

karena instansi-instansi tersebut sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah Kota

Semarang untuk menangani gelandangan. Sedangkan untuk melengkapi data

primer yang diperlukan, peneliti juga melakukan penelusuran data sekunder

melalui pengamatan terhadap gelandangan yang berkeliaran di jalan.

C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian menyatakan pokok permasalahan apa yang menjadi

pusat perhatian atau tujuan dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang

menjadi fokus kajian dalam penelitian adalah :


45

1. Kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang

untuk meningkatkan kesejahteraan gelandangan dan implementasi

kebijakan tersebut.

2. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan

Pemerintah Kota Semarang.

3. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi

hambatan implementasi kebijakan.

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah subjek darimana data diperoleh

(Arikunto, 2002 : 107). Sumber data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau

dari masyarakat (Soemitro, 1998 : 10). Untuk mendapatkan data primer

tersebut, penulis menggunakan cara, yaitu dengan :

a. Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan

bertanya langsung dengan yang diwawancarai (Soemitro, 1988: 57).

b. Observasi

Observasi atau yang disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan

pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan

seluruh alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui

penglihatan, peraba dan pengecap (Arikunto, 1997:133).

2. Data Sekunder
46

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan

kepustakaan (Soemitro, 1998 : 10). Data sekunder dalam penelitian ini

diperoleh dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian Kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan data

dengan cara menggunakan dan mempelajari literatur buku - buku

kepustakaan yang ada untuk mencari konsepsi - konsepsi, teori - teori

yang berhubungan erat dengan permasalahan (Soemitro, 1998 : 98).

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data

mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,

surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan lain-

sebagainya (Arikunto, 1998 : 236).

E. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai cara yang

disesuaikan dengan informasi yang diinginkan, antara lain dilakukan dengan :

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud

tertentu. Wawancara itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai


47

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut

(Moleong, 2002 : 135).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara

sederhana dengan gelandangan didalam panti dan gelandangan yang sudah

kembali ke masyarakat mengenai asal mereka, sebab-sebab mereka

menggelandang, serta keadaan keluarganya. Wawancara juga dilakukan

dengan Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, Staf panti khusus

gelandangan.

2. Observasi

Observasi atau yang disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan

pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh

alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, peraba

dan pengecap. (Arikunto, 1997:133). Observasi dilakukan melalui

pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.

Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan terhadap kehidupan

sosial gelandangan. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah

kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang benar-

benar dapat mengatasi masalah sosial gelandangan demi meningkatkan

kesejahteraan mereka.

3. Dokumentasi
48

Dokumentasi adalah metode yang dilakukan oleh peneliti dengan

menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,

peraturan-peraturan, foto, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya

(Arikunto, 2002 : 135).

Dalam penelitian ini dokumen diperoleh dari buku-buku literatur

tentang masalah sosial gelandangan, peraturan perundang-undangan, yaitu

Undang-Undang No. 6 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun

1980, dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

F. Validitas Data

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat – tingkat

kevaliditan atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan

valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan, dapat mengungkap data

dan variabel yang diteliti secara tepat. (Arikunto, 1997: 144).

Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain diluar data ini (Moleong 2000:178). Proses pemeriksaan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil

wawancara dengan data hasil observasi dan data pelengkap lainnya.

Menurut Patton dalam Moleong, triangulasi dengan sumber dapat

ditempuh dengan jalan sebagai berikut:


49

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;


2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi;
3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti
dengan sepanjang waktu;
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pandangan orang seperti orang yang berpendidikan;
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan. (Moleong, 2000:178).
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

Pengamatan

Sumber data

Wawancara

b. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

Dokumen

Sumber Data

Wawancara

G. Analisis Data

Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan

suatu analisis data untuk mengolah data yang ada. Analisis data adalah proses
50

pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan

uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis

kerja seperti yang disarankan oleh data. (Moleong. 2000: 103).

Menurut Milles dalam Rachman (1999:120), tahapan analisis data

adalah sebagai berikut :

1. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pemerhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan, transformasi data kasar yang

diperoleh dari catatan lapangan. Cara mereduksinya dengan meringkas,

mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, dan menulis memo.

2. Penyajian data

Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi yang

tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, misalnya dituangkan

dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan, bagan. Penyajian data

dilakukan dengan menyusun sekumpulan informasi yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat

keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, yang mungkin


51

alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan juga diverifikasi, yaitu

pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalis selama

penyimpulan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, tukar pikiran

diantar teman sejawat, atau meminta respon atau komentar kepada

responden yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang

telah disimpulkan peneliti, kekokohannya, dan kecocokannya.

Tahapan analisis data kualitatif diatas dapat dilihat dalam gambar

berikut :

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data Kesimpulan/verifikasi

Sumber : Milles dan Hubberman dalam Rachman (1999:120)

Keempat komponen itu saling mempengaruhi dan mempunyai

keterkaitan. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan

mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data.

Karena data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data. Setelah

direduksi kemudian disajikan data, selain itu pengumpulan data juga

digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai

dilakukan, maka diambil suatu kesimpulan atau verifikasi.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Gelandangan Kota Semarang

1. Daerah Asal dan Persebaran Gelandangan Kota Semarang

Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia,

Ibukota Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan

budaya. Seperti halnya kota-kota lain yang sedang berkembang diseluruh

dunia, Semarang juga merasakan fenomena yang serupa. Perkembangan

pesat, seperti berdirinya kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana

perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong

para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu

pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka

mampu bertahan di kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum

beruntung bukan tidak mungkin pula mereka menyambung hidupnya

dengan menjadi gelandangan atau pengemis.

Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap serta mengembara ditempat

umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak

dalam masyarakat (Departemen Sosial RI 2005).

Jumlah gelandangan di Kota Semarang dari tahun 2003 sampai

dengan tahun 2006 mengalami peningkatan dan juga penurunan.

Peningkatan jumlah gelandangan tersebut disebabkan karena ada beberapa

gelandangan yang berasal dari luar kota Semarang, yang pada saat Bagian

52
53

Sosial Pemerintah Kota Semarang melakukan penghitungan mereka berada

di Kota Semarang.

Rekapitulasi Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang tahun 2003

sampai dengan tahun 2006, bahwa gelandangan di Kota Semarang tersebar

di 49 titik mangkal di Kota Semarang. Dari tahun 2003 sampai tahun 2006,

jumlah gelandangan yang paling banyak adalah di Johar, dan dibeberapa

titik yang tak teridentifikasi akan adanya gelandangan, yaitu di Sidodadi,

Pasar Kambing, Kaliwiru, Jatingaleh, Sukun, Hanoman, Poncol, Terboyo,

Simpang Lima, Bangkong, Gayam, Supriyadi, Plamongan, POLDA,

Kariyadi, dan Jembatan Sampangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada lampiran 2.

Gelandangan Kota Semarang bukan saja berasal dari Semarang,

tetapi mereka ada pula yang berasal dari luar Semarang. Mereka yang

pernah terjaring dalam razia oleh Satpol PP, kemudian disalurkan ke panti

khusus gelandangan atau dikembalikan lagi ke keluarganya atau ke daerah

tempat dia berasal.

Hal ini seperti diungkapkan oleh gelandangan yang penulis temui di

dalam panti khusus gelandangan.

“Saya berasal dari Kupang”.(wawancara dengan Susan, gelandangan,

23 September 2006, 09.00 WIB).

“Aku asli Surabaya”. (wawancara dengan Aini, gelandangan, 23

September 2006, 09.05 WIB).

“Asal saya dari Gresik”. (wawancara dengan Liana, gelandangan, 23

September 2006, 09.10 WIB).


54

Berdasarkan wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa

gelandangan Kota Semarang tidak hanya berasal dari Kota Semarang,

melainkan juga berasal dari luar Kota Semarang

Selain berasal luar dari Kota Semarang, ada pula gelandangan yang

berasal dari dalam Kota Semarang.

“Rumah saya di Jomblang”. (wawancara dengan Sugiyarto,

gelandangan, 25 November 2006, 16.00 WIB).

“Saya dari Randusari”. (wawancara dengan Timin, gelandangan, 26

November 2006, 15.30 WIB).

“Rumah saya dulu di Tlogosari”. (wawancara dengan Tuti,

gelandangan, 9 November 2006, 11.00 WIB).

Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian

gelandangan juga berasal dari dalam Kota Semarang.

Hal ini seperti yang diutarakan pula dalam wawancara penulis

dengan pegawai panti.

“Kita menampung gelandangan tidak hanya dari dalam kota

semarang, tapi juga gelandangan yang berasal dari luar kota Semarang.

Mereka terkena razia oleh petugas penertiban dan langsung dibawa kemari.

Untuk mengetahui dari mana asal mereka kita lakukan pendekatan dengan

mereka”. (wawancara dengan Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan

Margo Widodo, 22 September 2006, 11.00 WIB).

“Gelandangan di kota Semarang tidak hanya berasal dari dalam kota

saja, tapi mereka juga berasal dari luar Kota Semarang. Seperti Tuti, dia

terkena razia di daerah Pedurungan, dan setelah kita tanya, ternyata

rumahnya di Tlogosari”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi


55

Rehabilitasi dan Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo,12 November 2006,

09.30 WIB).

“Gelandangan di panti ini, tidak hanya berasal dari dalam kota saja,

tapi juga berasal dari luar kota semarang. Ada gelandangan yang ketika

pertama kali masuk ke panti dalam kondisi jiwa dan mental yang baik, kita

bisa langsung bertanya pada mereka, apakah masih mempunyai keluarga

atau tidak. Seperti Susan, asalnya Kupang, dia sudah lama disini. Pertama

kali datang ke panti dia sudah dalam kondisi jiwa, mental dan fisik yang

baik, jadi bisa langsung kita tanyai.Akan tetapi bagi gelandangan yang

ketika dia pertama kali disini masih dalam kondisi jiwa, mental dan fisik

yang kurang baik, kita melakukan pendekatan dulu dengan mereka, baru

setelah itu kita tanya apakah dia masih mempunyai keluarga atau tidak.

Seperti Liana, dia dari Gresik, tadinya waktu datang kesini dia ngakunya

dari Jakarta, akan tetapi setelah kita melakukan pendekatan, akhirnya dia

bilang sendiri kalau dia asli dari Gresik”. (wawancara dengan Sumarso,

Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,

10.00 WIB).

Berdasarkan wawancara dengan gelandangan tentang daerah asal

mereka dapat disimpulkan bahwa tentang daerah asal mereka juga

dibenarkan oleh pegawai panti yang menampung gelandangan tersebut,

karena ia sudah lama ditampung dipanti jadi ia sudah memiliki kondisi

mental dan fisik yang baik pula.


56

Dari wawancara diatas menunjukkan bahwa gelandangan kota

semarang tidak hanya berasal dari Kota Semarang saja, tapi juga berasal

dari luar kota Semarang.

2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Gelandangan

Ada berbagai alasan mengapa seseorang menjadi gelandangan..

Hal ini seperti diungkapkan oleh gelandangan yang penulis temui di dalam

panti khusus gelandangan.

“Saya dari desa kesini ingin cari kerja, karena di desa tidak ada

lapangan pekerjaan yang cocok untuk saya. Tapi setelah saya di kota

ternyata lebih sulit dapat kerja, apalagi saya tidak punya modal

keterampilan”. (wawancara dengan Sudrun, gelandangan, 8 November

2006, 10.00 WIB).

“Saya pernah kerja di pabrik di Jakarta, tapi terus di PHK, padahal

itu temat satu-satunya saya dan keluarga cari uang untuk makan. Lalu saya

kembali ke Semarang, tapi sampai sekarang belum dapat kerja”.

(wawancara dengan Wagiyem, gelandangan, 8 November 2006, 15.00

WIB).

“Saya dari desa kesini (Semarang) niatnya mau cari kerja cari uang

untuk makan, apalagi ibu dan adik-adik saya di desa juga perlu makan.

Saya disini jadi pembantu, nanti uangnya saya kirim ke rumah saya didesa

biar bisa buat beli makan ibu dan adik-adik saya”. (wawancara dengan Tri,

gelandangan, 9 November 2006, 16.00 WIB).


57

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang

menyebabkan seseorang menjadi gelandangan adalah kemiskinan dan

faktor ekonomi. Hal ini merupakan alasan yang klasik bahwa alasan

tersebut merupakan faktor yang utama yang diungkapkan responden dalam

wawancara.

Selain faktor kemiskinan ada faktor lain yang menyebabkan

seseorang menjadi gelandangan. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh

Karno dan Junaidi.

“Bapakku kawin lagi setelah bercerai setelah bercerai dengan ibu.

Waktu itu aku langsung ikut sama bibiku di Wonogiri. Karena tidak betah

aku pergi dari rumah bibiku, dan aku hanya menggelandang sampai

akhirnya aku terkena razia oleh petugas dan dibawa ke panti di Kudus.

Setelah lama dipanti di Kudus aku dibawa kepanti di Semarang”.

(wawancara dengan Karno, gelandangan, 23 September 2006, 10.00 WIB)

“Saya sering dimarahi ibu waktu dirumah, padahal saya tidak

melakukan kesalahan. Lalu saya pergi dari rumah karena saya sudah tidak

tahan”. (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 23 september 2006,

10.30 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa ada faktor lain yang

menyebabkan seseorang menjadi gelandangan adalah faktor yang datang

dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis (broken home), orang tua

bercerai dan tidak mempedulikan kehidupan dan keinginannya.

3. Umur Dan Pekerjaan Gelandangan


58

Usia gelandangan bervariatif, yaitu berkisar antara 18-50 tahun. Usia

mereka merupakan usia produktif. Di usia ini, mereka dianggap masih

mempunyai potensi untuk bekerja secara produktif sehingga minimal

mereka dapat hidup mandiri. Akan tetapi di usia mereka yang masih

produktif itu ada diantara mereka yang belum bisa hidup mandiri, apalagi

untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.

Banyak dari mereka yang tidak hanya menggelandang seorang diri,

tapi terkadang mereka juga membawa anak-anak mereka untuk ikut

menggelandang. Sebelum gelandangan tersebut terkena razia dan di bawa

ke panti khusus gelandangan mereka juga mempunyai pekerjaan sendiri,

walaupun bukan pekerjaan yang layak Hal ini disebabkan karena banyak

diantara mereka yang tidak memperoleh lapangan pekerjaan, sehingga

untuk mempertahankan hidupnya mereka melakukan aktivitas tertentu

seperti mengemis, mengamen, ataupun hanya menggelandang saja di

jalanan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Susan, Aini, Liana, Junaidi,

Rohmat dan Yuni.

“Saya dulu bantu-bantu masak diwarung di

Pedurungan”.(wawancara dengan susan, gelandangan, 23 September 2006,

09.00 WIB).

“Saya dulu di Surabaya pernah bekerja di pabrik konveksi”.

(wawancara dengan Aini, gelandangan, 23 September 2006, 09.10 WIB).

“Saya sebelum bekerja di pabrik dan pernah juga jaga toko

(pramuniaga)”. (wawancara dengan Liana, gelandangan, 23 September

2006, 09.15 WIB).


59

“Saya dulu ngamen dijalan cari uang buat makan”. (wawancara

dengan Junaidi, gelandangan, 23 september 2006, 09.20 WIB).

“Saya dulu di Jakarta pernah bekerja sebagai cleaning service, dan

jualan koran”. (wawancara dengan Rohmat, gelandangan, 29 September

2006, 09.25 WIB).

“Sebelum disini (dipanti) saya meminta-minta dijalan”. (wawancara

dengan Yuni, gelandangan, 23 September 2006, 09.30 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum

gelandangan tersebut ditampung di panti khusus gelandangan mereka juga

pernah bekerja, antara lain sebagai pengamen, buruh pabrik maupun

meminta-minta dijalan.

B. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang

Gelandangan

Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial

yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,

terutama yang berada didaerah perkotaan. Masalah sosial gelandangan dan

pengemis di Indonesia, terutama di Semarang kemudian mendorong

Pemerintah Kota Semarang untuk mengeluarkan kebijakan untuk

menanggulangi gelandangan dan pengemis. Kebijakan yang dibuat dan

dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang itu merupakan kebijakan publik,

karena kebijakan publik (public policy) berarti serangkaian tindakan yang

ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang

mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.


60

Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidak

teraturan sosial yang ditandai dengan ketidaktertiban serta mengurangi

ketidaknyamanan masyarakat disekitarnya. Kebijakan yang dibuat itu harus

bisa di implementasikan oleh para pelaksana kebijakan dan diharapkan dapat

mengurangi peningkatan jumlah gelandangan di Kota Semarang.

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota

Semarang telah membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk menangani

gelandangan, yaitu:

1. Pembentukan Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang

Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang, seperti yang

tercantum dalam SK Walikota Semarang No. 462 /133/ 2002 tentang

Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota

Semarang, diantaranya bertugas melakukan penertiban gelandangan di

Kota Semarang. Tim yang diketuai oleh KaBag Sosial Setda Kota

Semarang ini melibatkan pula pihak-pihak antara lain; Pengadilan Negeri

Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang, Kodim 0733/BS, Poltabes

Semarang, Pengadilan Agama Semarang, Kesbang Linmas, Departemen

Agama, Dinas Kesehatan Kota, BKKBN, Dinas Pendidikan Nasional,

Dinas Perhubungan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Infokom dan

Bagian Umum Pemerintah Kota Semarang. Tim ini jugalah yang

melakukan razia atau operasi terhadap PGOT (pengemis, gelandangan dan

orang terlantar). Keterangan selengkapnya mengenai Tim Penanggulangan

tuna Sosial di Kota Semarang dapat dilihat pada lampiran 1.


61

Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang yang

terdiri dari 23 (dua puluh tiga) instansi tersebut mempunyai tugas yaitu:

a. Mengkoordinasikan langkah-langkah kebijaksanaan penanggulangan

tuna sosial Kota Semarang.

b. Memberikan bimbingan asistensi tentang kebijaksanaan Walikota

Semarang dibidang Penanggulangan tuna sosial kepada aparat

pemerintah ditingkat kecamatan se-Kota Semarang.

c. Menyusun petunjuk pelaksanaan Penanggulangan Tuna Sosial Kota

Semarang.

d. Menyampaikan laporan dan saran pertimbangan kepada Walikota

Semarang.

Adapun rincian tugas dan tanggung jawab anggota Tim Koordinasi

Penanggulangan Tuna sosial Kota Semarang adalah :

1) Ketua Umum

(a) Merumuskan kebijaksanaan, memberikan petunjuk pengarahan,

melaksanakan koordinasi dan pembinaan serta pengendalian

kegiatan penanggulangan tuna sosial.

(b) Menyampaikan laporan kepada Walikota Semarang tentang

pelaksanaan Penanggulangan Tuna Sosial.

2) Ketua

(a) Memimpin rapat rutin dan rapat insidentil Tim Koordinasi

Penanggulangan Tuna Sosial

(b) Mengeluarkan petunjuk teknis tentang pelaksanaan

penanggulangan tuna sosial


62

(c) Mengkoordinasikan pembuatan program kerja dan evaluasi

pelaksanaan program kerja.

(d) Menyampaikan laporan berkala kepada ketua umum tentang

pelaksanaan penaggulangan tuna sosial

(e) Melaksanakan tugas lain yaang diberikan oleh Ketua Umum

3) Wakil Ketua

(a) Membantu Ketua I dalam melaksanakan tugasnya

(b) Menyajikan data teknis yang berkaitan dengan Penanggulangan

Tuna Sosial.

(c) Memimpin pelaksanaan kegiatan operasional di lapangan dalam

usaha penanggulangan tuna sosial.

4) Sekretaris I

(a) Menyiapkan konsep petunjuk Walikota Semarang tentang

Penanggulangan Tuna Sosial

(b) Menyiapkan pelaksanaan rapat yaang meliputi : pembuatan

undangan rapat, bahan rapat, notulen rapat, serta melaporkan hasil

rapat Walikota Semarang.

(c) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Ketua.

5) Sekretaris II

(a) Menghimpun laporan pelaksanaan Penaggulangan Tuna Sosial

dari kecamatan dan menyajikan kepada Ketua I secara berkala

(b) Menyusun laporan akhir tahun pelaksanaan penanggulangan tuna

sosial

(c) Melaksanakan tugas harian yang diberikan oleh Ketua

(d) Melaksanakan tugas umum kesekretariatan.


63

6) Anggota

Anggota mewakili instansi pemerintah dan atau mewakili organisasi

(a) Mengkoordinasikan sumber daya yang berada di

instansi/organisasi masing-masing dan jajarannya untuk diarahkan

kepada pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan tuna sosial.

(b) Memberikan saran pertimbangan dan bahan masukan kepada ketua

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan tuna

sosial.

Hingga sekarang tim ini masih beroperasi, melakukan penertiban

sosial atau razia terhadap PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang

terlantar).

“Razia terhadap tuna sosial kita lakukan sebanyak 4 kali sebulan,

yaitu ditempat-tempat yang sekiranya menjadi tempat mangkal

gelandangan. Setelah itu mereka kita bawa ke panti khusus gelandangan

agar memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial”. (wawancara dengan

Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang,

3 Oktober 2006, 09.00 WIB).

“Kita membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial

salah satu tujuannya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis

di kota semarang. Pelaksanaan kebijakan tersebut kita lakukan dengan

mengadakan razia terhadap tuna sosial”. (wawancara dengan Sulistyo

Budi, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 3 oktober 2006,

09.30 WIB).
64

“Kita melakukan razia terhadap PGOT sebanyak empat kali dalam

sebulan, untuk mengurangi jumlah PGOT yang berkeliaran di jalan. Razia

tersebut kita lakukan dengan melibatkan Satpol PP”. (wawancara dengan

M. Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober

2006, 10.00 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota

Semarang telah membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk menangani

gelandangan dengan membentuk Tim Koordinasi penaggulangan tina

sosial kota semarang yang salah satunya melakukan razia terhadap PGOT

(pengemis gelandangan dan orang terlantar).

Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka teori yang

mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam

menangani gelandangan adalah termasuk dalam sifat kebijakan yang di

kemukakan oleh Budi Winarno. Budi Winarno merinci sifat kebijakan

menjadi lima kategori yaitu tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),

keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan

kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan

dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002 : 19).

Berkaitan dengan sifat kebijakan tersebut maka kebijakan

Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan termasuk

dalam keputusan kebijakan (policy decisions). Keputusan kebijakan adalah

keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang

mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan

kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan

undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyatan-


65

pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau

membuat interpretasi yuridis terhadap Undang-Undang (Budi Winarno,

2002:19).

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota

Semarang dalam menangani gelandangan telah mengeluarkan keputusan

kebijakan yaitu tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan

Tuna Sosial Kota Semarang. Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial

ini dibentuk berdasarkan SK. Walikota Semarang No. 462/133/2002.

Implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang Pembentukan

Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang,

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang dengan melakukan

penertiban, pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan Kota

Semarang., yang salah satu tugasnya adalah melakukan operasi/razia

terhadap PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang terlantar).

Kata “razia” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai

arti penggrebekkan, terutama terhadap penjahat atau orang-orang yang

dianggap berbahaya bagi keamanan (Poerwadarminta, 1984:807).

Pengertian razia tersebut bila dihubungkan dengan razia yang dilakukan

Pemerintah Kota Semarang terhadap gelandangan dapat berarti razia

merupakan gerakan terencana terhadap suatu obyek kegiatan yang

dianggap tidak biasa berlaku di masyarakat. Kegiatan itu berlangsung

sebagai akibat adanya penyimpangan dalam kehidupan di masyarakat, di

mana masyarakat tidak mau menerima dan juga tak dapat meniadakannya.

Razia terhadap gelandangan menitik beratkan pada kondisi yang

menyebabkan lingkungan di mana seseorang atau kelompaok gelandangan


66

menimbulkan suasana tidak aman secara fisik, psikis, maupun sosial.

Secara fisik, ketidakamanan yang ditimbulkan terhadapa gelandangan

dapat berupa perilaku kekerasan yang dialami oleh masyarakat sehingga

kerugian materi lebih menonjol.

Ketidakamanan psikis, merupakan kondisi yang menimbulkan

seseorang atau kelompok masyarakat mengalami rasa takut ketika

berhadapan secara langsung di jalan dengan gelandangan. Hal itu

disebabkan karena penampilan keseharian mereka yang cenderung aneh.

Sedangkan ketidakamanan sosial, merupakan kondisi yang tercipta di

lapangan, di mana sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi perbedaan

status sosial yang menggambarkan kondisi ketidakadilan. Iklim demikian

akan memudahkan terciptanya konflik sosial diantara lapisan yang

ditimbulkan. Konflik sosial yang berkepanjangan menciptakan tindakan

kekerasan sebagai akibat tingkat konflik cenderung meningkat secara

kuantitas maupun kualitas tanpa penyelesaian akhir. Salah satu factor

penyebab tingginya kekerasan dalam masyarakat adalah masalah ekonomi.

Kekerasan yang disebabkan oleh faktor ekonomi menempati skala

frekuensi yang dominan disbanding kekerasan-kekerasan yang

dilatarbelakangi oleh faktor non ekonomi (M. Sihombing, 2005:53).

Kebijakan Pemerintah Kota Semarang baik yang menyangkut

pembentukan dan pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penanggulangan

Tuna Sosial Kota Semarang sejauh ini dapat diimplementasikaan oleh para

pelaksana kebijakan. Terbukti dalam sebulan razia dapat dilaksanakan oleh

tim ini minimal empat kali sebulan, yang dalam pelaksanaannya pula

bekerjasama dengan Satpol PP dan Kepolisian.


67

Razia yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang terhadap

gelandangan tersebut bertujuan menciptakan keteraturan, keindahan, dan

ketertiban secara umum. Razia juga bertujuan untuk memutus mata rantai

kehidupan gelandangan agar kembali normal di tengah masyarakat. Akibat

yang diharapkan, perilaku secara wajar dimiliki gelandangan sehingga

tidak menggelandang lag. Keberhasilan memutus mata rantai ini tentu saja

dapat meningkatkan peran gelandangan di tengah masyarakat secara

umum. Akibat yang ditimbulkan, perilaku produktif akan ditunjukkan

gelandangan dibandingkan waktu sebelumnya.

Perilaku produktif tersebut dapat dilihat pada tataran yang

dimunculkan pada perubahan yang diharapkan, antara lain; Pertama, tidak

hidup menggelandang lagi. Kembalinya gelandangan di kehidupan normal

di tengah masyarakat memerlukan proses didik yang perlu dipaksakan.

Razia dengan menampung mereka pada panti tertentu, yang nantinya akan

diberi bekal keterampilan sehingga timbul kesadaran untuk mengubah

hidup dari menggelandang kearah hidup normal.

Kedua, memiliki mata pencaharian yang akan menopang

kebutuhan hidupnya. Kegagalan gelandangan untuk hidup normal lebih

disebabkan karena mereka tidak memiliki sumber penghasilan lewat

pekerjaan yang mampu mereka lakukan. Atau miskinnya keterampilan

menyebabkan mereka menggelandang lagi. Oleh karena itu, usaha

Pemerintah Kota Semarang melakukan koordinasi dengan panti khusus

gelandangan merupakan usaha membekali mereka agar mampu

menciptakan lapangan kerja atau setidaknya mau bekerja pada orang lain

sebagai usaha mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


68

Dengan terpenuhinya sasaran ini akan menciptakan kondisi kehidupan

mereka yang lebih sejahtera daripada sebelumnya.

Ketiga, mengembalilkan harkat sebagai warga Negara dengan hak

dan kewajiban yang sama. Keinginan untuk hidup normal di

tengahmasyarakat membawa dampak meningkatnya rasa percaya diri

seseorang dari hidup menggelandang ke tingkat yang lebih baik.

Akibatnya, motivasi mereka untuk bekerja akan tumbuh searah dengan

sasaran yang ingin dicapainya.

Berdasarkan paparan diatas, maka razia yang dilakukan terhadap

gelandangan bertujuan, antara lain untuk :

1. Meningkatkan harkat gelandangan yang tercapai melalui hidup layak

dan normal yang telah ditunjukkan dalam kesehariannya.

2. Meningkatkan kesejateraan gelandangan sebagai akibat telah

dimilikinya keterampilan dan kemampuan bekerja yang dapat

memperoleh penghasilan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup masa depannya.

3. Membebaskan lingkungan dari gangguan sosial yang menyebabkan

kenyamanan hidup masyarakat terjamin tanpa gangguan yang berarti.

Dengan demikian razia bermanfaat bagi segala pihak yang

bersangkutan dan terciptanya kondisi normal di tengah kehidupan

masyarakat.

2. Kerjasama dengan panti khusus gelandangan

Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang dalam

menangani gelandangan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemkot,


69

melainkan membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak lain

yang mempunyai tujuan yang sama, misalnya ingin mengentaskan

gelandangan, mengurangi jumlah gelandangan dan memajukan

kesejahteraan mereka. Pihak yang dimaksud adalah panti khusus

gelandangan.

Pemerintah Propinsi mempunyai panti rehabilitasi yang dijadikan

rujukan bagi gelandangan dan tuna sosial lain yang terkena razia. PGOT

(Pengemis, gelandangan dan orang terlantar) yang terkena razia akan

ditampung di Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya

Mardi Utomo. Daftar rujukan Panti Rehabilitasi milik Pemerintah Propinsi

Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Daftar Panti Rujukan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah

No Panti Rujukan Tampungan

1. PKW (Panti Karya Wanita) Kendal. WTS (Wanita Tuna Susila)


PKW “Wanita Utama” Surakarta.

2. Panti Karya Mandiri “Mardi utomo” Gelandangan


Mulawarman Semarang.

3. RS Jiwa atau PTL (Panti Tuna Laras) Orang gila


Ngudi Rahayu Kendal.

4. PW (Panti Werda) Pucang Gading Orang Jompo


Semarang
5. PPP (Panti Pamardi Putra) “Mandiri” Anak nakal (yang
Semarang mempunyai masalah
dengan narkoba)
Sumber: Dokumen Bagian Sosial Pemkot Semarang 2003
70

Di Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya

Mardi Utomo, gelandangan akan mendapatkan bimbingan dan penyuluhan

dari petugas panti. Di sana mereka mendapat fasilitas dari Panti, seperti

makan, minum, dan tempat tidur, atau boleh dikatakan panti ini menjadi

tempat tinggal sementara selama keluarga belum menjemput. Gelandangan

yang ditampung di panti tersebut memperoleh pelayanan dan rehabilitasi

sosial diberikan pembinaan dan bekal keterampilan. Bekal keterampilan

yang diberikan kepada mereka selama di Panti sangatlah berguna, karena

mengingat usia mereka yang masih produktif dan masih mampu bekerja,

sehingga kelak mereka bisa hidup mandiri. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh Yuni, Junaidi, dan Karno.

“Saya dulu tertangkap dijalan, terus langsung dibawa ke panti.

Tapi disini tidak enak, karena tidak boleh keluar kemana-mana”.

(wawancara dengan Yuni, gelandangan, 20 November 2006, 09.00 WIB).

“Saya dulu pernah dirazia oleh petugas (Satpol PP) dan langsung

diantar kesini (ke Panti). (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 20

November 2006, 09.15 WIB).

“Saya dulu terkena razia di Kudus, lalu saya dibawa ke panti

disana. Kemudian dipindah kesini (Panti khusus gelandangan di

Semarang)”. (wawancara dengan Karno, gelandangan, 20 November 2006,

09.30 WIB).

“Di sini (di dalam Panti) enak, tiap hari dapat makan gratis, diberi

tempat tidur sendiri. Di sini juga disuruh bantu-bantu. Bantu masak,


71

bersih-bersih, cuci piring. Saya juga diajari membuat keset, menjahit”.

(wawancara dengan Aini, gelandangan, 23 September 2006, 09.40 WIB).

“Saya senang ada di Panti, saya betah disini. Disini diberi makan,

minum, pakaian, tempat tidur. Saya tidak mau pulang kerumah, karena ibu

saya mengusir saya dari rumah, katanya saya dulu nakal, bandel, sering

bolos sekolah”. (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 23 September

2006, 10.00 WIB).

“Saya senang tinggal disini, pokoknya seperti dirumah. Disini juga

disuruh bantu-bantu. Bantu masak untuk makan kita semua disini, lagipula

saya senang memasak. Sebenarnya saya ingin pulang ke Kupang, kangen

sama keluarga, tapi nanti menunggu adik saya menjemput”. (wawancara

dengan Susan, gelandangan, 23 September 2006, 09.05 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan hasil

razia Pemerintah Kota Semarang langsung di bawa ke panti khusus

gelandangan untuk diberi pelayanan dan rehabilitasi.

Tidak semua gelandangan yang ditampung di dalam panti itu

merasa senang maupun merasa nyaman berada disana. Hal ini seperti yang

diungkapkan Yuni, dan Tuti yang tinggal di panti bersama ketiga anaknya.

“Saya tidak senang tinggal disini, karena tidak boleh kemana-

mana, keluar saja diawasi. Saya ingin pulang ke Kudus, bertemu dengan

anak saya”. (wawancara dengan Yuni, gelandangan, 23 September 2006,

09.00 WIB).

“Disini tidak enak, kasihan anak-anak saya, masih kecil-kecil.

Disini kita hanya mendapat jatah makan, minum, dan tempat tinggal
72

sendiri (sejenis asrama). Tapi anak saya juga butuh jajan, susu, mainan,

bahkan pakaian saja kita tidak diberi. Tapi untungnya kita diperbolehkan

keluar hari Sabtu dan Minggu, itupun tidak boleh jauh-jauh dari panti”.

(wawancara dengan Tuti, gelandangan, 9 November 2006, 10.00 WIB).

Pernyataan gelandangan yang menyebutkan kalau selama mereka

di tampung dipanti tidak merasakan kenyamanan yang dikarenakan

minimnya fasilitas yang mereka peroleh disana, secara tidak langsung

ditepis oleh pegawai panti yang bersangkutan.

“Gelandangan yang kita tampung dipanti ini kita beri fasilitas

seperti layaknya mereka di rumah. Antara lain makan, minum, tempat

tidur, pakaian layak pakai, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Saya rasa

semuanya sudah kita bagi sama rata, baik itu jatah makan, minum,

pakaian”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan

Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo, 12 November 2006, 10.00 WIB).

“Memang kita jarang memberi mereka uang selama mereka disini,

karena masih terbatasnya dana yang kita terima dari Pemerintah Propinsi.

Akan tetapi bagi keluarga yang suaminya bekerja diluar, saya rasa punya

cukup uang untuk membelikan anaknya jajan ataupun mainan”.

(wawancara dengan Nyoman, Staf Rehabilitasi dan Penyaluran, 12

November 2006, 11.00 WIB).

“Kalau masalah pakaian, kita dapat sumbangan dari PMI, dan dari

donatur. Tak jarang ada dermawan yang datang ke panti dan memberikan

sumbangan berupa sandang dan pangan. Itu semua juga langsung kita
73

bagikan kepada mereka. Jadi kalau ada gelandangan yang merasa belum

mendapat jatah pakaian, itu karena keterbatasan sumbangan”. (wawancara

dengan Weda, Staf Pelayanan Rehabilitasi Sosial Panti Karya

Persinggahan Margo Widodo, 25 September 2006, 10.30 WIB).

“Memang gelandangan yang kita lihat dia sudah cukup baik fisik

dan mentalnya, kita perbolehkan mereka keluar dari panti, tapi hanya

untuk jalan-jalan ataupun pergi ke pasar membeli kebutuhan mereka, dan

bukan untuk lari atau meninggalkan panti. Mereka kita perbolehkan keluar

hari Sabtu dan Minggu saja. Kita tidak bertujuan membuat mereka merasa

terpenjara di dalam panti ini, tapi memang untuk gelandangan yang mental

dan kondisi fisiknya kurang baik, kita harus memberi pembinaan kepada

mereka dengan lebih intensif. Pembinaan tersebut kita berikan dengan

lebih intensif agar mereka mendapat pembinaan baik itu mental maupun

fisik dengan maksimal, dan tanpa mengurangi pembinaan, pelayanan dan

rehabilitasi sosial kepada gelandangan yang telah lebih dulu berada di

dalam Panti ini”. (wawancara dengan Sumarso, Kepala TU Panti Karya

Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 10.30 WIB).

“Selama ini kita sudah memberikan fasilitas yang saya rasa sudah

cukup layak, baik itu dalam hal pembinaan, pelayanan dan rehabilitasi

sosial. Dalam hal pembinaan mental kepada gelandangan, setiap

minggunya kita mendatangkan kyai dan pendeta untuk memberikan


74

ceramah rohani kepada mereka. Sedangkan untuk latihan fisik kita

mengajarkan mereka berolahraga, dan untuk meningkatkan kondidi

kesehatan jasmani mereka. Kita juga mendatangkan dokter dari rumah

Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang untuk mengontrol kesehatan,

terutama kondisi fisik mereka, karena beberapa diantara mereka ada yang

menderita penyakit seperti luka yang tak kunjung sembuh. Kalaupun ada

fasilitas yang dirasa masih kurang lengkap itu dikarenakan terbatasnya

dana yang kita terima dari Pemerintah Propinsi, mengingat semakin

bertambahnya jumlah gelandangan hasil razia yang kita tampung disini.

Tapi kita sudah semaksimal mungkin memberikan pembinaan, pelayanan

dan rehabilitasi kepada mereka”. (wawancara dengan Kartono, Kepala

Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 11.30

WIB).

Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa panti

khusus gelandangan memberikan pembinaan, pelayanan dan rehabilitasi

bagi gelandangan yang ditampung dipanti. Dan juga panti memberikan

fasilitas kepada mereka berupa sandang dan pangan. Kalaupun ada

gelandangan dipanti tersebut yang merasa tidak puas dengan fasilitas yang

ada, itu dikarenakan terbatasnya dana yang ada yang digunakan untuk

memberikan pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan.


75

Panti Karya Persinggahan Margo Widodo memiliki daya tampung

120 orang gelandangan per sekali tampung. Jumlah itu terdiri dari

gelandangan yang memang sudah lama tinggal di panti itu, gelandangan

hasil razia Pemkot, maupun gelandangan yang sudah tidak mempunyai

keluarga atau tidak diketahui dimana keluarganya berada. Atau lebih

jelasnya, bila Pemkot membawa gelandangan hasil razia ke Panti trrsebut,

maka jumlah gelandangan yang ada di panti itu hrus tetap berjumlah 120

orang. Bila jumlah itu melebihi daya tampung panti maka panti harus

memilih gelandangan yang telah lama berada dipanti untuk di kembalikan

ke keluarganya ataupun kembali ke masyarakat. Dan apabila ada

gelandangan yang tidak tahu keberadaan keluarganya, dan ia dirasa sudah

mampu untuk bekerja, maka ia di salurkan ke panti karya. Keterangan

lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 2.


76

Tabel 2. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Persinggahan Margo Widodo Semarang Tahun 2006

No Bulan Kembali ke Pondok Panti Panti Meninggal Lari Jumlah


masyarakat Pesantren Karya Wreda Dunia
1. Januari 10 - 9 - 3 8 30
2. Februari 16 - 2 2 1 3 24
3. Maret 17 - 2 2 - 8 29
4. April 45 - 2 2 2 - 51
5. Mei 71 6 2 - - 1 80
6. Juni 31 6 - 1 3 - 41
7. Juli 51 - 2 7 1 - 61
8. Agustus 55 - - - 2 1 58
9. September 55 - - 4 - - 59
10. Oktober 36 - 4 3 - - 43
11. November 29 1 3 2 - - 35
12. Desember 18 - 7 - - - 25
Jumlah 434 13 33 23 12 21 453

Sumber: Panti Karya Persinggahan Margo Widodo Semarang


77

Sedangkan data yang diperoleh dari Panti Karya Mardi Utomo yang

menampung 105 orang gelandangan, pada tahun 2005 tercatat ada 85 orang

gelandangan yang kembali ke masyarakat, 5 orang berwirausaha, dan 32

orang mengikuti program transmigrasi. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat

pada tabel 3.

Tabel 3. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Mardi Utomo

Semarang Tahun 2001-2006

Tahun Kembali ke Transmigrasi Wirausaha Jumlah


masyarakat
2001 27 69 9 105
2002 75 18 12 105
2003 78 19 8 105
2004 59 34 12 105
2005 75 22 8 105
2006 80 20 5 105
Sumber : Panti Karya Mardi Utomo Semarang

Pihak pantipun juga masih mengawasi dan membantu gelandangan

yang telah kembali ke masyarakat, misalnya mereka dikontrakkan rumah

ataupun dicarikan pekerjaan di sekitar tempat tinggal mereka yang sesuai

dengan keahlian yang dimiliki. Dalam penelitian ini wawancara hanya

dilakukan dengan gelandangan yang disalurkan di Kota Semarang saja.

Gelandangan yang sudah kembali ke masyarakat dan berwirausaha

diungkapkannya pada wawancara berikut.

“Waktu saya keluar dari Panti, saya pulang kesini (Pucang Gading).

Tadinya saya bingung mau pulang kemana, tapi untung saya dikontrakan

rumah disini. Sehari-hari saya jadi tukang kayu. Hasilnya lumayan, buat
78

makan anak dan istri saya”. (wawancara dengan Suroso, gelandangan, 6

November 2006, 16.00 WIB).

“Setelah keluar dari panti, saya pulang kesini, ke rumah. Sehari-

harinya saya bikin gorengan, terus dijual ke pasar. Alhamdulillah yang beli

banyak. Kira-kira sehari saya dapat untung 30 ribu”. (wawancara dengan

Nuryati, gelandangan, 9 November 2006, 16.30 WIB).

“Seperti ini setiap harinya, jadi tukang pijat, karena keahlian saya

hanya memijat. Tapi hasilnya lumayan, bisa untuk beli makan”. (wawancara

dengan Supodo, 11 November 2006, 16.00 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan yang

telah keluar dari panti sudah dapat bekerja dan hidup layak ditengah

masyarakat, karena selama dipanti mereka telah memperoleh bekal

keterampilan yang nantinya bisa dimanfaatkan ketika mereka sudah kembali

masyarakat.

Gelandangan yang telah menjalani masa rehabilitasi di Panti selain

akan dikembalikan kepada keluarganya maupun disalurkan ke masyarakat,

dan berwirausaha, juga dapat mengikuti program transmigrasi. Gelandangan

yang mengikuti program transmigrasi dikhususkan untuk gelandangan yang di

tampung di dalam Panti dan sudah berkeluarga. Gelandangan yang mengikuti

program transmigrasi tersebut tidak selalu merasakan ketentraman selama

disana.

“Saya dulu pernah ikut transmigrasi ke Surabaya, satu keluarga.

Disana diberi lahan, lalu dikerjakan. Tapi kita disana nggak lama, solanya
79

waktu kita disana panennya cuma sedikit, jadi masih kurang buat makan sama

beli jajan buat anak-anak. Akhirnya saya kembali lagi ke sini (Panti Karya

Mardi Utomo), nanti kalau ada transmigrasi lagi saya mau ikut. Saya mau

transmigrasi ke Sulawesi, soalnya saudara saya ada disana”. (wawancara

dengan Tuti, gelandangan, 9 November 2006, 10.00 WIB).

“Saya pernah ikut transmigrasi ke Maluku. Saya nggak betah disana,

karena waktu saya disana airnya sulit, jadi kalau mau masak, nyuci harus

ngambil air dulu yang letaknya jauh dari rumah. Belum ada setahun saya

kembali lagi kesini (Panti Karya Mardi utomo). Nanti kalau ada transmigrasi

ke Sumatra saya mau ikut, saya mau ketempat anak saya yang sekarang kerja

disana”. (wawancara dengan Wati, gelandangan, 10 November 2006. 11.00

WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan yang

mengikuti program transmigrasi dari pemerintah tidak merasa nyaman karena

berbagai alasan. Diantaranya hasil panen di tempat transmigrasi yang tidak

mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan juga kesulitan akan air bersih.

Dari hasil penelitian diatas, dan dikaitkan dengan teori sifat kebijakan,

maka kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan panti khusus gelandangan

dalam menangani gelandangan adalah termasuk keputusan kebijakan (policy

decisions). Keputusan kebijakan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh

pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan

substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam


80

kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-

perintah eksekutif atau pernyatan-pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-

peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap Undang-

Undang (Budi Winarno, 2002:19).

Kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan panti khusus

gelandangan termasuk dalam keputusan kebijakan ((policy decisions), karena

Panti yang bersangkutan juga termasuk dalam susunan keanggotaan Tim

Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang, dan tercantum

dalam lampiran Surat keputusan Walikota Semarang No. 462/133/2002.

PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang terlantar) yang terjaring dalam

razia kemudian dibawa atau disalurkan ke panti khusus gelandangan, yaitu

Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya Mardi Utomo

untuk diberi pembinaan, bekal keterampilan serta mamperoleh pelayanan dan

rehabilitasi sosial. Hal ini terkait dengan kebijakan Pemerintah Kota

Semarang untuk menertibkan gelandangan agar tidak berkeliaran lagi di jalan-

jalan dan dalam rangka mengurus mereka sesuai yang diamanatkan Pasal 34

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari hasil penelitian diatas maka kerjasama Pemerintah Kota

Semarang dengan panti khusus gelandangan merupakan penaggulangan

gelandangan yang dilakukan melalui usaha represif dan usaha rehabilitatif.

Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14 Peraturan
81

Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis.

(1) Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melelui

lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk

menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah

meluasnya di masyarakat.

Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan /atau

meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada

seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan

pergelandangan dan pengemisan.

Usaha represif ini dilakukan dengan cara :

1) Razia;

2) Penampungan sementara untuk diseleksi;

Setelah gelandangan tersebut dirazia dan diseleksi, maka

tindakan selanjutnya adalah :

(1) Dilepaskan dengan syarat;

(2) Dimasukkan dalam panti sosial;

(3) Dikembalikan kepada keluarganya;

(4) Diserahkan ke Pengadilan;

(5) Diberikan pelayanan kesehatan;

3) Pelimpahan ke Pengadilan

(2) Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi

usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah


82

pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah masyarakat,

pengawasan serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para

gelandangan dan pengemis kembali memiliki kemempuan untuk

hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai warga

negara RI.

Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat

berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha rehabilitatif ini

dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,

dan tindak lanjut, yang kesemuanaya itu dilaksanakan melalui Panti

Sosial.

Dari hasil penelitian diatas juga terungkap bahwa tidak semua

gelandangan yang ditampung didalam panti khusus gelandangan merasa

betah dan nyaman berada disana. Alasannya karena mereka tidak merasa

sebebas dibandingkan pada saat mereka masih berkeliaran dijalan. Bahkan

ada pula dari mereka yang mengatakan kalau di panti, ia tidak

mendapatkan pakaian, dan makanan tambahan. Akan tetapi panti khusus

gelandangan tersebut sudah berupaya semaksimal mungkin memberikan

pelayanan dan rehabilitasi sosial. Baik itu berupa fasilitas makan, minum,

tempat tidur, pemeliharaan kesehatan, dan juga bimbingan rohani.

Gelandangan yang ditampung di panti-panti tersebut juga

diikutkan dalam program transmigrasi. Biasanya program transmigrasi ini

ditujukan untuk gelandangan yang sudah berkeluarga, maksudnya sudah

menikah. Di daerah transmigrasi itu mereka akan memperoleh rumah dan

lahan untuk dikerjakan. Akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang merasa
83

tidak betah tinggal di daerah transmigrasi itu. Hal ini disebabkan oleh

terbatasnya fasilitas yang ada, masih belum tercukupinya kebutuhan

sehari-hari mereka dan lain sebagainya. Sehingga banyak dari mereka

yang memilih untuk kembali lagi ke Panti tempat mereka ditampung

sebelumnya.

Berkaitan dengan hasil penelitian dan wawancara dengan

gelandangan yang ditampung di panti maupun gelandangan yang sudah

kembali ke masyarakat, terbukti bahwa kerjasama Pemerintah Kota

Semarang dengan Panti khusus gelandangan dalam hal penyaluran dapat

dilaksanakan dengan baik. Gelandangan yang terjaring dalam razia

tersebut memang langsung dibawa ke Panti khusus gelandangan untuk

memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial. Di panti itu mereka akan

memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial yang akan berguna bagi

mereka bila sudah disalurkan ke masyarakat. Diharapkan dengan

pelayanan dan rehabilitasi sosial selama di panti itu dapat menjadi modal

mereka untuk bekerja mencari nafkah agar dapat hidup layak, sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

3. Larangan memberi uang kepada gelandangan

Mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang untuk menanggulangi

gelandangan dan pengemis, maka dikeluarkanlah suatu kebijakan yaitu

tentang larangan memberi uang kepada gelandangan dan pengemis.

“Kita sudah menghimbau kepada masyarakat kota Semarang agar

jangan memberi uang kepada gelandangan ataupun pengemis, karena itu tidak

mendidik, karena semakin diberi mereka akan menjadi senang mengemis,


84

sehingga akan membuat mereka malas bekerja” (wawancara dengan M.

Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 3 Oktober 2006, 11.00 WIB).

“Adanya larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan

sepertinya belum bisa dilaksanakan oleh masyarakat kota Semarang. Ada

sebagian masyarakat Kota Semarang yang belum bisa melaksanakan

kebijakan tersebut”. (wawancara dengan Sri Redjeki, Staf Bagian Sosial

Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 11.15 WIB).

“Larangan memberikan uang kepada gelandangan sepertinya kurang

mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat peduli

dan sebagian lagi agaknya tidak menanggapi larangan itu, karena sampai

sekarang masih ada saja masyarakat yang memberi uang kepada gelandangan

di jalan”. (wawancara dengan Arifin, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota

Semarang, 3 Oktober 2006, 11.20 WIB).

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan

Pemerintah Kota Semarang yang melarang masyarakat memberi uang kepada

gelandangan dijalan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena sampai

sekarang sebagian masyarakat masih ada yang memberikan pada gelandangan

dijalan.

Adanya pernyataan kebijakan yang melarang masyarakat untuk tidak

memberi uang kepada gelandangan di jalan dilatarbelakangi karena adanya

anggapan dari pihak Pemerintah Kota Semarang, bahwa memberi mereka

uang akan sangat tidak mendidik. Dan berdasarkan pengamatan dijalan,

penulis juga melihat bahwa masyarakat masih saja banyak yang memberi
85

uang kepada gelandangan dijalan. Dengan alasan mungkin mereka merasa

kasihan dengan gelandangan yang sedang meminta-minta di jalan.

Dalam penelitian terungkap bahwa tidak semua kebijakan Pemerintah

Kota Semarang tentang gelandangan belum dapat diimplementasikan, baik

oleh Pemerintah Kota Semarang maupun oleh masyarakat. Ada kebijakan

yang dapat dilaksanakan dan adapula kebijakan yang belum atau tidak dapat

dilaksanakan.

Berkaitan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan

termasuk dalam sifat kebijakan, seperti yang di kemukakan oleh Budi

Winarno, adalah pernyataan kebijakan (policy statements).

Pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau

artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini

adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden,

peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan-

pernyataan atau pidato-pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud

dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan itu

(Budi Winarno, 2002 : 19).

Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota

Semarang telah mengeluarkan pernyataan kebijakan tentang gelandangan

yaitu tentang larangan memberi uang kepada gelandangan. Munculnya

kebijakan yang melarang masyarakat untuk tidak memberi uang kepada

gelandangan di jalan dilatarbelakangi karena adanya anggapan dari pihak

Pemkot, bahwa memberi mereka uang akan sangat tidak mendidik. Meskipun

sudah ada himbauan demikian nyatanya masyarakat masih saja memberikan


86

uang kepada mereka di jalan. Kebijakan ini juga menuai protes dari

gelandangan. Kebijakan ini sekan-akan menjadi halangan bagi mereka dalam

mencari nafkah, karena pendapatan mereka akan menurun dan kalau sudah

demikian dari mana mereka harus mencari nafkah. Karena mereka tidak hanya

seorang diri menggelandang akan tetapi satu kelurga ikut menggelandang,

misalnya seorang ibu yang sembari menggendong anaknya meminta-minta di

jalan, atau bisa juga anaknya juga disuruh meminta-minta.

Kebijakan ini seolah-olah merupakan sebuah arogansi dari pemegang

kekuasaan yang bisa mengeluarkan statement larangan-larangan tertentu dan

dirasa merugikan salah satu pihak yaitu gelandangan. Karena itulah saya

berpendapat bahwa kebijakan ini belum dapat diimplementasikan sesuai

dengan harapan.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat dan isi

kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan dapat

dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Sifat dan Isi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam

Menangani Gelandangan

No. Sifat Kebijakan Isi Kebijakan Tujuan


1. SK. Walikota Keputusan Pembentukkan Mengurangi
No. 462/ kebijakan Tim jumlah
133/2002. (policy Penanggulangan gelandangan di
decisions). Tuna Sosial Kota Kota Semarang
Semarang dengan
melakukan razia
terhadap
gelandangan.
87

2. Kerjasama Keputusan Kerjasama dengan Mengurangi


dengan panti kebijakan panti khusus jumlah
khusus (policy gelandangan, gelandangan dan
gelandangan decisions). karena unsur panti meningkatkan
juga tercantum kesejahteraan
dalam lampiran mereka.
SK. Walikota No.
462/ 133/2002.
3. Larangan Pernyataan Melarang Supaya
memberi uang kebijakan masyarakat masyarakat kota
kepada (policy memberi uang Semarang peduli
gelandangan di statement). kepada bahwa memberi
jalan. gelandangan di uang kepada
jalan. gelandangan di
jalan itu tidak
mendidik.

C. Faktor Pendukung Dan Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Pemerintah Kota Semarang Tentang Gelandangan

1. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan dirumuskan dan dibuat bukan sekedar untuk dijadikan

rencana, namun harus diimplementasikan untuk mewujudkan tujuan

kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam

urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono,1994:137). Implementasi

kebijakan merupakan tahap penting dalam proses kebijakan publik. Suatu

program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau

tujuan yang diinginkan.


88

Kebijakan akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai

dampak (manfaat) positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dalam

pelaksanaan kebijakan, ada faktor yang mendukung implementasi kebijakan

Pemerintah Kota Semarang tersebut.

“Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, ada beberapa faktor yang

menjadi pendukungnya, yaitu kita mempunyai staf yang cukup memadai,

fasilitas yang mendukung, dan dengan adanya SK Walikota No.

462/133/2002 itu menjadi dasar tujuan kita untuk menanggulangi tuna sosial

di Kota Semarang”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag Rehabsos

Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 10.00 WIB).

“Yang menjadi pendukung pelaksanaan kebijakan Pemkot tentang

gelandangan adalah adanya struktur birokrasi yang jelas, dalam hal ini

keanggotaan Tim Penanggulangan Tuna sosial Kota Semarang yang masing-

masing mempunyai tugas seperti tercantum dalam SK. Walikota No.

462/133/2002”. (wawancara dengan Sri Adjieti, Staf Bagian Sosial

Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 10.30 WIB).

“Pelaksanaan kebijakan Pemkot tentang gelandangan didukung

dengan kerjasama kita dengan panti khusus gelandangan dalam hal

penyaluran mereka ke masyarakat. Kita juga melakukan dialog dengan

mereka dalam hal penerimaan gelandangan hasil razia yang kita lakukan”.

(wawancara dengan M. Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota

Semarang, 3 Oktober 2006, 11.00 WIB).

“Dalam hal kebijakan yang kita buat yang melarang memberi uang

kepada gelandangan di jalan, pernah kita lakukan dengan membuat


89

pengumuman di surat kabar”. (wawancara dengan Tri Redjeki, Staf Bagian

Sosial Pemerintah Kota Semarang, 4 oktober 2006, 09.00 WIB).

“Kerjasama kita dengan Pemerintah Kota Semarang tentang

gelandangan yaitu dalam hal penerimaan gelandangan hasil razia yang

dilakukan Pemerintah Kota Semarang, dan Pemerintah Kota Semarang juga

melakukan dialog dengan kita (pihak panti) dalam hal jumlah gelandangan

yang kita terima setiap kali razia oleh Pemkot”. (wawancara dengan Sumarso,

Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,

10.00 WIB).

“Dalam hal pembinaan, pelayanan, pemberian bekal keterampilan

untuk gelandangan yang kita tampung di panti, kita punya staf atau tenaga-

tenaga yang memang ahli di bidangnya”. (wawancara dengan Kartono,

Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 11.30

WIB).

“Pelayanan dan rehabilitasi untuk gelandangan, di panti kita punya

susunan keanggotaan serta pembagian tugasnya”. (wawancara dengan Joko

Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan Penyaluran panti Karya Mardi Utomo, 12

November 2006, 10.00 WIB).

Berdasarkan wawancara diatas bahwa implementasi kebijakan

Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan dilakukan melalui kerjasama

dengan panti khusus gelandangan. Hal itu pula yang menjadi pendukung

Pemerintah Kota Semarang untuk mengmplementasikan kebijakan. Selain

didukung kerjasama dengan panti khusus gelandangan Pemerintah Kota


90

Semarang juga memiliki staf yang cukup memadai. Sedangkan panti khusus

gelandangan dalam mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota

Semarang itu dilakukan dengan memberikan pelayanan, pembinaan, bekal

keterampilan dan rehabilitasi bagi gelandangan dipanti.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, ada beberapa teori yang

mendukung implementasi kebijakan, yaitu Teori Implementasi Van Horn dan

Van Meter, dan Teori Implementasi Edward III.

Menurut Teori Implementasi Kebijakan George Edward III, faktor-

faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :

a. Komunikasi.

Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi

kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).

Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah

transmisi. Seorang pejabat yang mengimlementasikan keputusan harus

menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah umtuk

pelaksanaanya telah dikeluarkan.

Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah

kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak

hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi

tersebut harus jelas.


91

Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah

konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,

maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

b. Sumber-sumber.

Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan

meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk

melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang

dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.

c. Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.

Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuansi-

konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para

pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal

ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan

kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan

awal.

d. Struktur birokrasi.

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur

pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta. (Budi Winarno, 2002 :

126-151).

Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van

Horn, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :

1) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan;


92

Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu

program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena

implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-

tujuan itu tidak dipertimbangkan.

2) Sumber-sumber kebijakan.

Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau

perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar

implementasi yang efektif.

3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan

komunikasi antar para pelaksana.

4) Karakteristik badan-badan pelaksana.

Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur

birokrasi. Srtuktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan

suatu implementasi kebijakan.

5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.

Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-

badan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.

6) Kecenderungan para pelaksana (implementors).

Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana

kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan. (Budi

Winarno, 2002:110).
93

Berkaitan dengan hasil penelitian dan menurut dua Teori

Implementasi Kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung

implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan

menggabungkan Teori Implementasi Kebijakan Edward III dan Teori

Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn, yaitu :

a) Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota

Semarang dan pelaksanaan tugas tim selama ini dapat diimplementasikan

dengan baik oleh pelaksana kebijakan. Keberhasilan implementasi

kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung

implmentasi kebijakan,yaitu:

(1) Ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus

Tujuan dikeluarkannya kebijakan ini sudah jelas dan khusus yaitu

untuk mengurangi bertambahnya jumlah tuna sosial di Kota

Semarang. Kejelasan tujuan ini mendorong suksesnya implementasi

kebijakan tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan

Tuna Sosial Kota Semarang.

(2) Komunikasi yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota

Semarang) dan panti khusus gelandangan.

Dalam implementasi kebijakan, komunikasi sangatlah penting.

Komunikasi diperlukan untuk mebentuk persamaan tujuan dan

kejelasan instruksi diantara para pelaksana kebijakan. Perintah-


94

perintah yang diberikan harus jelas dan konsisten, agar para pelaksana

itu dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan apa yang

diinstruksikan. Berkaitan dengan hasil penelitian, pembentukan tim

dan pembagian tugasnya sudah diinstruksikan dengan jelas dan tertera

dalam SK Walikota No. 462/133/2002 tentang Pembentukan Tim

Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang. Sedangkan panti khusus

yang menangani gelandangan juga telah dapat bekerjasama dengan

Pemerintah Kota Semarang dalam hal penyaluran gelandangan hasil

razia.

(3) Sumber-sumber yang cukup tersedia.

Sumber- sumber dalam hal ini meliputi : staf, wewenang dan fasilitas.

Berkaitan dengan hasil penelitian, tidak ada permasalahan yang berarti

dengan staf pelaksana tugas tim koordinasi, wewenang para pelaksana

kebijakan sudah dirinci jelas dalam SK Walikota No. 462/133/2002

dan fasilitaspun sudah diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang

dalam melaksanakan tugas tim.

(4) Struktur birokrasi yang jelas

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering baahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Secara sadar atau

tidak mereka membentuk organisasi efektif untuk melaksanakan

kebijakan tertentu. Berkaitan dengan hasil penelitian, struktur

birokrasi pelaksana kebijakan Pembentukan Tim Koordinasi dan


95

pelaksanaan tugas tim sudah jelas tertera dalam SK. Walikota No.

462/133/2002.

b) Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.

Kerjasama pemerintah Kota semarang dengan panti khusus gelandangan

dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan (Pemerintah

Kota Semarang) dan panti khusus gelandangan. Kerjasama dapat

terlaksana dengan baik dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu :

(1) Sumber-sumber yang cukup tersedia.

Sumber-sumber disini meliputi : staf, wewenang dan fasilitas.

Berkaitan dengan hasil penelitian, pemerintah kota semarang dalam

bekerjasama dengan panti khusus gelandangan sudah menentukan staf-

staf yang bertanggung jawab melakukan koordinasi dengan pihak-

pihak tersebut, misalnya untuk pembinaan gelandangan adalah tugas

dari Rehabilitasi Sosial Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang.

(2) Kecenderungan-kecenderungan para pelaksana kebijakan dan

masyarakat (panti khusus gelandangan).

Kecenderungan-kecenderungan berhubungan dengan sifat para

pelaksana kebijakan. Orang-orang yang mempunyai orientasi yang

sama akan dapat bekerjasama, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan

hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa kerjasama Pemerintah Kota

Semarang dengan panti khusus gelandangan dapat dilaksanakan


96

dengan baik dikarenakan adanya persamaan tujuan antara pemerintah

dengan panti khusus gelandangan yaitu untuk mengurangi jumlah

gelandangan di Kota Semarang.

(3) Komunikasi yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota

Semarang) dan masyarakat (panti khusus gelandangan).

Dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan, Pemerintah dan

masyarakat (panti khusus gelandangan) melakukan dialog. Misalnya

saat Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan pernyataan untuk

melarang masyarakat agar tidak memberi uang kepada gelandangan di

jalan.

c) Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan

Kebijakan Pemerintah Kota Semarang yang melarang memberi uang

kepada gelandangan di jalan didukung karena adanya faktor komunikasi

yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota Semarang) dan

masyarakat. Dalam implementasi kebijakan, Pemerintah Kota Semarang

mengeluarkan pernyataan untuk melarang masyarakat agar tidak memberi

uang kepada gelandangan di jalan.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Faktor

pendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk

menangani gelandangan dapat dilihat pada tabel 5.


97

Tabel 5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

No. Kebijakan Faktor Pendukung Implementasi

Kebijakan

1. SK. Walikota No. a. Ukuran dan tujuan kebijakan

462/133/2002 Tentang yang jelas dan khusus.

Pembentukkan Tim b. Komunikasi yang baik antar

Koordinasi Penanggulangan pelaksana kebijakan

Gelandangan dan Pengemis. c. Sumber-sumber yang cukup

tersedia (staf, wewenang, dan

fasilitas)

d. Struktur birokrasi yang jelas

2. Kerjasama dengan Panti a. Sumber-sumber yang cukup

Khusus gelandangan tersedia (staf, wewenang, dan

fasilitas)

b. Kecenderungan-kecenderungan

para pelaksana kebijakan

c. Komunikasi yang baik antar

pelaksana kebijakan

3. Larangan memberi uang a. Komunikasi antar pelaksana

kepada gelandangan di jalan kebijakan dan masyarakat.

2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Adanya faktor pendukung tersebut diharapkan implementasi dari

tujuan dikeluarkannya kebijakan ini dapat terwujud. Akan tetapi dalam


98

pelaksanaannya terdapat pula faktor penghambat implementasi kebijakan.

Faktor penghambat implementasi kebijakan dapat berasal dari dalam

Pemerintah Kota Semarang sendiri dan dari dalam panti khusus gelandangan.

Faktor penghambat yang berasal dari dalam Pemerintah Kota Semarang

seperti yang diungkapkan oleh Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang.

“Selama ini kita telah berupaya untuk menanggulangi permasalahan

sosial melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial. Kita punya staf yang bersama-

sama melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan, walaupun masih terbatasnya

tenaga yang terampil di bidangnya. Dan juga kerjasama kita dengan panti

khusus gelandangan, dan saya rasa kita sudah maksimal dalam

pelaksanaanya”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Pemkot

Semarang, 3 Oktober 2006, 10.15 WIB).

“Kebijakan tentang larangan pemberian uang kepada gelandangan di

jalan saya rasa belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Masyarakat

masih banyak yang memberi uang kepada mereka di jalan. Sepertinya

masyarakat belum mengerti bahwa semakin sering gelandangan di jalan di

beri uang semakin senang mereka menggelandang”. (wawancara dengan

Gusnadi, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 Oktober 2006, 09.15 WIB).

“Hambatan pelaksanaan kebijakan Pemkot Semarang tentang

gelandangan yaitu kurangnya dukungan dari sebagian masyarakat Kota

Semarang untuk tidak memberi uang kepada gelandangan di jalan”.

(wawancara dengan Arifin, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 oktober

2006, 09.30 WIB).


99

Dari hasil wawancara diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor

penghambat implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang

gelandangan adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat agar tidak

memberi uang kepada gelandangan di jalan sehingga mereka malas untuk

mencari uang secara layak, dan juga masih terbatasnya dana yang digunakan

untuk meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan.

Adapun faktor penghambat yang berasal dari dalam Panti khusus

gelandangan seperti yang diungkapkan oleh pegawai panti.

“Kita masih kekurangan dana operasional yang kita terima dari

Pemerintah Propinsi yang kita butuhkan untuk meningkatkan pemberian

fasilitas kepada gelandangan yang kita tampung disini”. (wawancara dengan

Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September

2006, 11.30 WIB).

“Kita sudah memberikan pelayanan yang maksimal kepada

gelandangan yang kita tampung disini, akan tetapi terbatasnya dana yang ada

menyebabkan masih kurangnya jangkauan pelayanan. Dalam arti sejauh mana

gelandangan yang telah kita beri pembinaan, pelayanan dan bekal

keterampilan itu nantinya tidak menggelandang lagi dan dapat bekerja secara

produktif sehingga mereka dapat hidup layak dan mencapai tingkat

kesejahteraannya”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi

dan Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo, 12 November 2006, 10.30 WIB).
100

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa yang

menjadi hambatan Panti khusus gelandangan untuk mendukung implementasi

kebijakan Pemerintah Kota Semarang yaitu masih kurangnya dana yang

diterima dari Pemerintah Propinsi untuk memberikan pelayanan dan

rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung, kurangnya fasilitas yang

ada di Panti yang menunjang pemberian bekal ketrampilan pada gelandangan,

dan masih kurangnya tenaga-tenaga yang ahli dibidangnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, maka teori tentang

faktor-faktor yang menjadi penghambat Implementasi Kebijakan Pemerintah

Kota Semarang tentang gelandangan, yaitu :

a. Isi kebijakan.

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya iisi

kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,

sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan

terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya

ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan

adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab

lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat

terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-


101

sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan

tenaga manusia.

b. Informasi.

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para

pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu

atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.

Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan

komunikasi.

c. Dukungan.

Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada

pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan

tersebut.

d. Pembagian potensi.

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu

kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para

pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan

diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi

pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian

wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian

tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas

(Bambang Sunggono,1994 : 149-153).


102

Berkaitan dengan teori diatas, maka factor yang menghambat

implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan

yaitu :

1) Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota

Semarang.

Kebijakan Pemerintah kota Semarang tentang Pembentukan Tim

Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang dalam

pelaksanaannya belum bisa dilaksanakan dengan maksimal, dikarenakan

faktor :

a) Isi kebijakan.

Berkaitan dengan hasil penelitian dan teori diatas, hambatan

yang timbul dalam implementasi dapat terjadi karena tenaga atau staf

pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota Semarang) yang kurang

terampil di bidangnya.

2) Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.

Kerjasama Panti khusus gelandangan dalam menangani gelandangan di

Panti sampai saat ini masih terdapat hambatan. Menurut Buku Standar

Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial gelandangan dan

pengemis, faktor penghambat implementasi kebijakan yang berasal dari

panti khusus gelandangan yaitu :

(a) Jangkauan pelayanan


103

Panti khusus gelandangan dalam memberikan pelayanan dan

rehabilitasi sudah semaksimal mungkin dalam pelaksanaannya, akan

tetapi setelah gelandangan tersebut keluar dari panti tidak

menggelandang lagi dan dapat bekerja secara produktif masih belum

dapat dipastikan. Karena itu juga tergantung dari kemauan

gelandangan itu sendiri, apakah ia mau bekerja untuk hidup layak dan

produktif ataukah ia lebih senang menggelandang.

(b) Dana

Terbatasnya dana yang diterima oleh panti khusus gelandangan dari

Pemerintah Propinsi yang digunakan untuk memberikan pelayanan

dan rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung di panti.

(c) Keterbatasan SDM

Keterbatasan SDM maksudnya adalah panti khusus gelandangan

masih kekurangan tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya, misalnya

dalam hal pemberian keterampilan.

(d) Sarana dan prasarana

Masih terbatasnya perlengkapan yang menunjang pemberian bekal

keterampilan kepada gelandangan. (Departemen Sosial RI 2005 : 2).

3) Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan

Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dapat disimpulkan

bahwa gagalnya implementasi kebijakan yang melarang masyarakat


104

memberikan uang kepada gelandangan di jalan dikarenakan beberapa

faktor, yaitu :

(a) Informasi.

Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dan

dikaitkan dengan teori diatas, kebijakan yang melarang masyarakat

untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan belum dapat

diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan dikarenakan kurangnya

komunikasi antara pelaksana kebijakan dan masyarakat. Kurangnya

komunikasi tersebut timbul karena informasi yang kurang jelas dari

pemerintah. Hal ini menyebabkan perbedaan persepsi antara para

pelaksana kebijakan (pemerintah) dan masyarakat. Ketidaksamaaan

persepsi inilah yang mengakibatkan gagalnya implementasi kebijakan

tentang larangan memberi uang kepada gelandangan. Pemerintah

beranggapan bahwa memberikan uang kepada gelandangan di jalan

tidak mendidik. Dan berdasarkan pengamatan saya masyarakat masih

saja memberikan uang kepada gelandangan di jalan. Alasannya

mungkin mereka tidak peduli dengan kebijakan yang dikeluarkan

Pemerintah Kota Semarang itu, dan mungkin juga masyarakat merasa

kasihan dengan gelandangan yang sering meminta-minta di jalan.

(b) Dukungan.

Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dan

dikaitkan dengan teori diatas, kebijakan yang melarang masyarakat


105

untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan belum dapat

diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan dikarenakan kurangnya

dukungan msyarakat. Dukungan masyarakat pada kebijakan ini masih

kurang. Masyarakat masih saja memberikan uang kepada gelandangan

di jalan. Kurangnya dukungan ini mengakibatkan pelaksanaan

kebijakan tidak dapat maksimal.

Dari uarian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Faktor

Penghambat Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk

menangani gelandangan dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

No. Kebijakan Faktor Penghambat Implementasi

Kebijakan

1. SK. Walikota No. 462/133/2002 a. Terbatasnya tenaga yang

Tentang Pembentukkan Tim terampil di bidangnya.

Koordinasi Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis.

2. Kerjasama dengan Panti Khusus a. Jangkauan pelayanan yang

gelandangan masih terbatas

b. Keterbatasan dana

c. Keterbatasan SDM

d. Sarana dan prasarana dipanti

yang masih terbatas


106

3. Larangan memberi uang kepada a. Kurangnya komunikasi antara

gelandangan di jalan pelaksana kebijakan dan

masyarakat

b. Kurangnya dukungan

masyarakat

D. Upaya Pemerintah Kota Semarang Untuk Mengatasi Hambatan

Implementasi Kebijakan

Dengan adanya faktor penghambat yang telah diuraikan diatas,

Pemerintah Kota Semarang berupaya untuk mengatasi hambatan yang timbul

dalam implementasi kebijakan.

“Kita terus memaksimalkan kinerja Tim Penanggulangan Tuna Sosial

Kota Semarang yang juga didukung oleh staf yang memadai, dan memperluas

jangkauan penertiban dan pelayanan, agar PGOT (Pengemis, Gelandangan dan

Orang Terlantar) di Kota Semarang dapat memperoleh pelayanan dan rehabilitasi

sosial, sehingga hasilnya optimal. Sedangkan dengan terbatasnya tenaga yang

terampil di bidangnya, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk

mengimplementasikan kebijakan”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag

Rehabsos Pemkot Semarang, 3 Oktober 2006, 10.00 WIB).

“Kita akan tingkatkan kerjasama dengan Panti khusus gelandangan dalam

hal penerimaan gelandangan hasil razia yang kita lakukan. Kalau masalah dana,

kita tidak memberi bantuan dana kepada panti karena Pemerintah Propinsi sudah

memberi dana kepada panti khusus gelandangan untuk memberikan pelayanan


107

dan rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung disana. Seandainya dana

yang diterima itu masih kurang, sebaiknya panti yang mengusulkan kePemerintah

propinsi untuk menaikkan dana yang diberikan karena panti khusus gelandangan

itu milik pemerintah propinsi, dan bukan milik Pemerintah Kota”. (wawancara

dengan Gunawan, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 Oktober 2006, 10.30

WIB).

“Kita sebisa mungkin memberi pengertian kepada masyarakat dengan

meningkatkan komunikasi kepada mereka tentang larangan memberikan uang

kepada gelandangan di jalan. Kita juga berupaya membantu negara untuk

mengurus gelandangan sesuai yang tercantum dalam pasal 34 UUD 1945”.

(wawancara dengan Sri Gudiati, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 6

Oktober 2006, 11.00 WIB).

“Masalah kurangnya dana yang kita terima dari pemerintah propinsi yang

kita gunakan untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan,

serta jangkauan pelayanan, kita hanya berusaha agar dengan terbatasnya dana

yang ada kita bisa memberikan pelayanan yang maksimal”. (wawancara dengan

Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,

11.20 WIB).

Penulis juga melakukan pengamatan terhadap gelandangan yang

berkeliaran di jalan, misalnya di jalan Pahlawan, Pandanaran, Kalisari, Thamrin,

dan di tepi-tepi sepanjang jalan lainnya. Dan ternyata masih ada juga orang yang

memberi uang kepada gelandangan di jalan. Seakan-akan mereka tidak peduli

kebijakan pemerintah Kota Semarang yang melarang memberi uang kepada


108

gelandangan di jalan. (Pengamatan oleh penulis, 14-16 November 2006, 10.00

WIB-14.00 WIB).

Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa upaya

Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan implementasi kebijakan

dilakukan dengan berusaha semaksimal mungkin dalam implementasi kebijakan

walaupun dengan keterbatasan staf yang kurang terampil serta meningkatkan

komunikasi dengan masyarakat agar tidak senantiasa memberikan uang kepada

gelandangan. Karena hal itu mendorong gelandangan tersebut menjadi malas

bekerja dan mengharapkan sesuatu yang instant (cepat) untuk mendapatkan uang.

Sedangkan Panti khusus gelandangan berupaya mengatasi hambatan

implementasi kebijakan dengan memaksimalkan pelayanan dan rehabilitasi bagi

gelandangan di dalam panti meskipun dengan keterbatasan dana yang diterima

dari Pemerintah Propinsi.

Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, maka menurut teori

yang diungkapkan oleh James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan

anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik,

yaitu :

1. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat

beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik yang bersifat

kurang mengikat individu-individu. (Bambang Sunggono, 1994 : 144-145).

Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, kebijakan yang

melarang masyarakat untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan,

yang ternyata sampai sekarang masih saja ada masyarakat yang memberi uang
109

kepada mereka, bagi pelanggarnya tidak dikenakan sanksi. Karena itulah

sebagian masyarakat Kota Semarang tidak peduli denagn adanya kebijakan

itu.

2. Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan dimana

mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau

bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan pemerintah. (Bambang

Sunggono, 1994 : 144-145).

Berkaitan dengan hasil penelitian tentang kebijakan yang melarang

masyarakat untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan, sebagian

masyarakat ada yang mematuhinya, dan sebagian lagi tidak peduli dengan

kebijakan tersebut. Masyarakat yang masih saja memberi uang kepada mereka

dikarenakan mereka merasa kasihan melihat gelandangan yang meminta-

minta di jalan, mereka ingin beramal untuk membantu sesama manusia yang

membutuhkan.

Berdasarkan dengan hasil penelitian, ada beberapa teori yang berkaitan

dengan upaya mengatasi hambatan implementasi kebijakan. Menurut

Bambang Sunggono, supaya kebijakan dapat berfungsi dengan baik maka

unsur yang diperlukan yaitu :

a. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu peraturan

hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin terlaksana

dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang memadai

agar tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau hambatan-hambatan

dalam pelaksanaannya.
110

b. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya

kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga

masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan.

(Bambang Sunggono, 1994 : 158).

Berkaitan dengan hasil penelitian, pengamatan dan berdasarkan teori

diatas, bahwa upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan

yang timbul dalam implementasi kebijakan dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

1) Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan

implementasi kebijakan tentang masih terbatasnya tenaga yang terampil di

bidangnya yaitu Pemerintah Kota Semarang berusaha semaksimal

mungkin untuk membina kerjasama yang baik dengan sesama pegawai

dalam mengimplementasikan kebijakan.

2) Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan

implementasi kebijakan tentang adanya kebijakan yang melarang

masyarakat agar tidak memberi uang kepada gelandangan dijalan yaitu

dengan meningkatkan komunikasi yang baik dengan masyarakat, supaya

masyarakat mengerti bahwa membei uang kepada gelandangan di jalan

tidak mendidik. Tujuannya agar kebijakan yang telah dikeluarkan itu

dapat diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan dan

mendapat dukungan dari masyarakat.

Sedangkan upaya panti khusus gelandangan untuk mengatasi

hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan, tentang terbatasnya

dana yang diterima dari Pemerintah Propinsi sehingga mengakibatkan belum


111

maksimalnya pemberian pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan, serta

jangkauan pelayanan panti khusus gelandangan, maka panti khusus

gelandangan hanya berusaha agar dengan terbatasnya dana yang ada Panti

khusus gelandangan tersebut dapat memberikan pelayanan yang maksimal,

dan untuk masalah terbatasnya dana ini Pemerintah Kota Semarang tidak

dapat membantu karena panti khusus gelandangan itu milik Pemerintah

Propinsi.
BAB VPENUTUP

Mengakhiri penelitian ini dapat diajukan simpulan dan saran-saran yang

diharapkan dapat memberi masukan bagi masyarakat dan pemerintah sebagai

pelaksana kebijakan.

A. Simpulan

1. Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan

gelandangan yaitu dengan dikeluarkannya SK. Walikota No. 462/133/2002,

dan implementasinya yaitu diwujudkan dalam :

a. Pembentukan Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang.

b. Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.

c. Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan.

2. Implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk mengurangi

jumlah gelandangan di Kota Semarang mempunyai faktor pendukung dan

faktor penghambat implementasi kebijakan.

Faktor pendukung implementasi kebijakan :

a. Ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus.

b. Komunikasi yang baik antar pelaksana kebijakan.

c. Sumber-sumber yang cukup tersedia, yaitu adanya staf yang cukup

memadai.

d. Struktur birokrasi yang jelas.

112
113

Sedangkan yang menjadi faktor penghambat implementasi kebijakan yaitu :

a. Terbatasnya tenaga yang terampil di bidangnya.

b. Terbatasnya dana dari Pemerintah Propinsi kepada panti khusus

gelandangan.

c. Kurangnya komunikasi antara pelaksana kebijakan dan masyarakat.

d. Kurangnya dukungan masyarakat.

3. Adanya faktor penghambat implementasi kebijakan maka kebijakan

Pemerintah Kota Semarang dalam menanggulangi masalah sosial

gelandangan belum dapat diimplementasikan.

4. Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan implementasi

kebijakan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Pemerintah Kota Semarang berupaya mengatasi hambatan implementasi

kebijakan dengan cara meningkatkan kerjasama yang baik dengan sesama

pegawai dalam mengimplementasikan kebijakan.

b. Pemerintah Kota Semarang berupaya mengatasi hambatan implementasi

kebijakan yang melarang masyarakat agar tidak memberi uang kepada

gelandangan dijalan yaitu dengan meningkatkan komunikasi yang baik

dengan masyarakat. Dengan begitu masyarakat diharapkan dapat

mendukung kebijakan pemerintah tersebut.


114

Sedangkan upaya panti khusus gelandangan untuk mengatasi hambatan

implementasi kebijakan yaitu dengan berusaha memberikan pelayanan yang

maksimal walaupun dana yang diterima dari Pemerintah Propinsi terbatas.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas penulis menyarankan :

1. Pemerintah Kota Semarang diharapkan lebih tanggap dengan kondisi

gelandangan yang rentan dengan masalah kemiskinan, misalnya dengan

membuat Peraturan Daerah tentang gelandangan. Dan Pemerintah Propinsi

juga harus meningkatkan pemberian dana operasional kepada Panti khusus

gelandangan untuk memaksimalkan jangkauan pelayanan bagi gelandangan

yang di tampung di dalam panti agar setelah mereka keluar dari panti mereka

mampu merubah pola hidup dan cara mencari penhasilannya sesuai dengan

norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta mampu menjalankan fungsi

sosialnya di masyarakat secara wajar.

2. Setiap kebijakan yang telah dikeluarkan harus disosialisasikan kepada

masyarakat sehingga masyarakat tahu tujuan kebijakan tersebut dikeluarkan

sehingga ada persamaan tujuan yang akan mendorong suksesnya

implementasi kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Rineka Cipta.

Dewi, Ambarsari. 2002. Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan. Jakarta:


Pattiro.

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2005. Standar Pelayanan
Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis.
Jakarta: Departeman Sosial RI.

Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: Hanindita.

Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan


Evaluasi. Jakarta: Gramedia.

Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1978. Masalah-masalah Kemasyarakatan di Indonesia.


Jakarta: Sinar Harapan.

Sastraatmadja, Entang. 1987. Dampak Sosial Pembangunan. Bandung: Angkasa.

Sihombing, M Justin. 2005. Kekerasan Terhadap Masyarakat Marginal.


Yogyakarta: Narasi.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1989. Studi Hukum dan Kemiskinan. Semarang: Tugu
Muda.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Sumarnonugroho, T. 1991. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta:


Hanindita.

115
116

Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar


Grafika.
Suryaningrat, Bayu. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan
di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Sutopo., dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Lembaga


Administrasi Negara RI.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke


Implementasi Kebijaksanaan Negara edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara.

Winarno, Budi. 2002. Kebijakan dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.

Peraturan Perundangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV.

Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kesejahteraan Sosial.

Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan


Pengemis

Surat Keputusan Walikota Semarang No. 462 / 133 / 2002 tentang Pembentukkan
Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang

Anda mungkin juga menyukai