Anda di halaman 1dari 5

Ditemukan Antikanker dari Tanaman

Gambir
29 May 2015

JAKARTA (Suara Karya) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tengah mengembangkan
obat antikanker dari senyawa kimia bioaktif, yang berasal dari jamur endofit jaringan tanaman
gambir.
Mikroba atau jamur endofit yang berdiam dalam jaringan tanaman gambir, temyata
menghasilkan senyawa kimia bioaktif Episitoskirin A yang kuat untuk antikanker, " kata
Andria Agusta, Peneliti Fitofarmaka pada Pusat Penelitian Biologi, LIPI dalam
keterangan pers, di Jakarta, Kamis (28/5).

Menurut dia, senyawa bioaktif Episitoskirim A yang berasal dari jamur endofit itu diambil
dari tanaman gambir yang hidup di Padang, Sumatera Barat. Hasil penelitian
menunjukkan senyawa tersebut efektif untuk mengatasi infeksi.

"Terbukti dengan sembuhnya borok pada mencit atau hewan coba yang telah diberi
senyawa bioaktif tersebut, " ujarnya.

Andria mengatakan, klasifikasi efek racun dari penggunaan senyawa itu juga rendah
untuk pemakaian internal, sehingga tidak berpengaruh pada fungsi kerja hati dan ginjal.
Senyawa itu juga menjadi interkalator DNA, di mana semakin tinggi konsentrasi DNA
maka sinyal Episitoskirin A semakin menurun.

"Targetnya ini bisa jadi obat. Saat ini masuk tahap uji praklinis dengan menggunakan
mencit, " ujarnya.

Pengembangan obat antikanker dari jamur endofit, menurut Andria, dilakukan sejak
2007 lalu diawali dengan tes mikroba. Dan sejak dua tahun berikutnya, penelitian sudah
mulai masuk ke tahap uji praklinis dengan menggunakan hewan coba mencit.
Andria memperkirakan, dibutuhkan sekitar satu hingga dua tahun lagi untuk
menyelesaikan tahap uji praklinis dan masuk ke tahap uji klinis. Sedangkan pada tahap
uji klinis ada empat fase yang harus dilewati sebelum akhirnya dapat menjadi obat
antikanker.

"Empat tahap di fase uji klinis harus dokter yang melakukan. Solusinya adalah kita
bekerja sama dengan dokter di rumah sakit tertentu. Bisa juga kerja sama Kementerian
Kesehatan untuk pengembangan menjadi obat antikanker, " ujarnya.

Ia menyebut dana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan fase satu dan dua dalam
tahap uji klinis sekitar Rp200 per tahun dengan jumlah pasien yang menjadi
sukarelawan mencapai ratusan. "Kalau sampai fase empat biasanya pasiennya bisa
sampai ribuan, " katanya.

Menurut Andria, di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau negara-negara
lainnya, proses pembuatan satu obat dapat menghabiskan waktu delapan hingga
sembilan tahun sebelum akhirnya dapat dipasarkan secara massal. Tapi di Indonesia
waktu tersebut bisa berlipat-lipat, (tri)

Sumber : Suara Karya, edisi 29 Mei 2015. Hal: 14

Sivitas Terkait : Andria Agusta

Gambir, Jamur Endofitnya untuk


Pengembangan Antibiotik
Gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) varietas Cubadak. (Foto: ditjenbun.pertanian.go.id)
SATUHARAPAN.COM - Tumbuhan gambir (Uncaria gambir, (Hunt.) Roxb.) yang berlimpah di
Sumatera Barat, dan sumber dari ramuan tradisional untuk menyembuhkan luka bakar dan
diare, diharapkan menjadi antibiotik pertama yang berasal dari Indonesia.
Satu tim ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipimpin peneliti
fitofarmaka senior di Pusat Penelitian Biologi, Andria Agusta, membuat ekstrak jamur endofit
dari pohon gambir di Desa Payakumbuh di Sumatera Barat, untuk mempelajari struktur
molekulnya, dan menemukan dua senyawa kimia, bislunatin dan episitoskirin, sesuai dengan
klasifikasi biologi antibiotik.

Uji toksisitas menunjukkan bislunatin memiliki efek moderat terhadap tujuh bakteri
yaitu, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Micrococcus luteus, Shigella
flexneri, Proteus vulgaris, dan Proteus mirabilis, seperti disampaikan Agusta, seperti yang
diberitakan SciDev.net. Sementara episitoskirin, menunjukkan sifat antimikroba dan antikanker,
dengan tidak berdampak buruk pada hati dan fungsi ginjal, atau pertambahan berat badan.
Penemuan kedua senyawa kimia itu, secara efektif dapat menghancurkan bakteri patogen yang
resisten terhadap pengobatan melalui antibiotik. Setelah tiga tahun tim Agusta melakukan
penelitian dan memasuki tahap akhir, mereka akan melanjutkan dengan tes klinis tahun depan.

Penemuan itu, mungkin menandai terobosan penting sebagai antibiotik baru yang diperlukan
tentang resistensi antimikroba, yang terutama mempengaruhi pasien saat menjalani operasi,
yang lebih rentan terhadap infeksi.
Agusta mengatakan efektivitas antibiotik berkisar dari sekitar 50 sampai 60 tahun saja.
"Antibiotik yang sekarang digunakan pertama kali diproduksi pada tahun 1960. Setelah 50
tahun, bakteri telah menjadi tak terkalahkan dan menyebabkan infeksi, " katanya, hal ini sangat
mengancam pasien, yang berjuang untuk dapat bertahan hidup.

Manfaat dan Khasiat


Gambir, mengutip dari Wikipedia, adalah tumbuhan perdu setengah merambat atau memanjat,
dengan percabangan memanjang dan mendatar, dipersenjatai dengan duri-duri melengkung
seperti kait.

Daun-daunnya tunggal, berhadapan, berbentuk oval hingga jorong lebar, permukaan licin,
dengan tangkai daun pendek.

Bunganya tersusun majemuk dalam bongkol berdiameter 3,5-5 cm, dengan mahkota berwarna
merah muda atau hijau. Kelopak bunganya pendek. Mahkota bunganya berbentuk corong,
seperti bunga kopi, dengan benang sari lima. Buahnya berupa kapsula dengan dua ruang,
panjang 14-18 mm, berbiji banyak, bersayap, dan bertangkai hingga 20 mm.

Gambir sejak lama telah dibudidayakan di Semenanjung Malaya, Singapura, dan Indonesia,
terutama di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Maluku. Asal-usulnya diperkirakan dari
Sumatera dan Kalimantan, dan jenis-jenis liarnya didapati tumbuh di alam. Ahli botani
berkebangsaan Jerman, Georg Eberhard Rumphius, melaporkan gambir ditanam orang di
Maluku pada pertengahan abad ke-18, sementara sumber lain meyakini perdagangannya di
kawasan Malaya telah berlangsung sejak abad ke-17.

Gambir, seperti dapat dibaca di Wikipedia, juga menjadi nama dari produk getah yang
dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan gambir yang
kemudian dicetak dan dikeringkan. Fungsinya, sebagai astringen (zat yang membuat jaringan
biologis mengkerut, Red).

Sebagian besar getah yang dikeringkan dibuat menjadi produk yang dinamakan betel bite atau
plan masala. Nama lainnya adalah catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu).
Bentuk cetakan biasanya silinder, menyerupai gula merah. Warnanya cokelat kehitaman atau
kekuningan. Bentuk lainnya adalah bubuk atau "biskuit".

Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan untuk menyirih. Kegunaan yang lebih penting
adalah sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna.

Pada masa lalu gambir dihasilkan dari Sumatera Barat, Riau, Bangka, Belitung, dan Kalimantan
Barat, menurut catatan ahli botani Heyne (1987). Namun, produsen utama gambir saat ini
adalah Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Lebih kurang sekitar 90
persen produksi gambir Indonesia saat ini dihasilkan dari Provinsi Sumatera Barat dan Riau,
dengan tujuan utama ekspor India dan Singapura.
Kandungan utama gambir dan juga dikandung oleh banyak anggota genus Uncaria lain,
menurut Wikipedia, adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin (sampai 51 persen), zat
penyamak (22-50 persen), serta sejumlah alkaloid (seperti gambirtannin) dan turunan dihidro-
dan okso-nya.

Selain sebagai astringen, mengutip dari buku Dr A Seno Sastroamidjojo, Obat Asli Indonesia,
gambir sejak lama dimanfaatkan masyarakat secara tradisional sebagai obat diare, disentri,
obat serak, dan obat tukak dalam bentuk salep.
Editor : Sotyati

Anda mungkin juga menyukai