Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP LANSIA

1. Pengertia Lanjut Usia (Lansia)

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di

dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi

dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda,

baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti

mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai

dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,

pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk, gerakan

lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).

WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan

bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah

suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya

daya tahan tubuh menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh.
Lansia merupakan seseorang yang karena usianya mengalami

perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan

mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Lanjut

usia merupakan orang yang sudah memasuki tahap dewasa akhir dengan

usia sekitar 60 tahun ke atas (Depkes RI, 2000). Lanjut usia adalah

kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang

bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Kushariyadi, 2010).

2. Fisiologi Lansia

Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus

menerus secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya

dan umunya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses

penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan

tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada

tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter,

nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).

3. Batasan Lanjut Usia (Lansia)

WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia

kronologis/biologis menjadi 4 kelompok yaitu:

a) Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59

b) Lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun

c) Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun


d) Usia sangat tua (Very old) di atas 90 tahun.

Sedangkan Nugroho (2000) menyimpulkan pembagian umur

berdasarkan pendapat beberapa ahli, bahwa yang disebut lanjut usia

adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas.

Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompok

menjadi usia dewasa muda (elderly adulthood) 18 atau 29 – 25 tahun, usia

dewasa penuh (middle years) atau maturitas 25 – 60 tahun atau 65

tahun, lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang

dibagi lagi dengan 70 – 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old),

lebih dari 80 (very old).

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1965 Pasal 1 seseorang

dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah

bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak

berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan

menerima nafkah dari orang lain. Undang-Undang No. 13 Tahun 1998

tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun keatas.

4. Teori Penuaan

Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat

dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial

a) Teori Biologi

1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat memberlah dalam jumlah tertentu

dan kebanyakan sel-sel tubuh deprogram untuk membekah 50 kali.

Jika sel pada lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratorium, lalu

di observasi jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit.

Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem muskuloskeletal

dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak

dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati.

Sistem tersebut berisiko akan mengalami penuaan dan mempunyai

kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan

memperbaiki diri (Azizah, 2011).

2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)

Jaringan seperti kulit dan katilago kehilangan elastisitasnya

pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan

adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan

tertentu. Pada lansia beberapa protein dibuat dengan bentuk dan

struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya,

banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang

kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring

dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah

dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan

elastisitasnya dan cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan

mobilitas dan kecepatan pada sistem muskuloskeletal (Azizah,

2011).
3) Keracunan Oksigen

Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel

di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang

mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa

mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan

mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat struktur

membran sel mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi

kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990).

Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel

dalam berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga

mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi

zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada

membran sel yang sangat penting bagi proses di atas,

dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut. Konsekuensi dari

kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh

mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan

dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan

kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).

4) Sistem Imun

Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa

penuaan. Walaau demikian, kemunduran kemunduran sistem yang

terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga

merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan.


Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh

mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan

terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, hal ini dapat

menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami

perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.

Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa

autoimun. Di sisi lain sistem imun tubuh sendiri daya

pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya

serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun sehingga sel

kanker leluasa untuk membelah (Azizah, 2011).

5) Teori Menua Akibat Metabolisme

Menurut Mc Kay et all (1935) dikutip dalam Darmojo dan

Martono (2004), pengurangan intake kalori pada rodentia muda

akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.

Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain

disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses

metabolism. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang

merangsang proliferasi sel misalnya insulin dan hormon

pertumbuhan.

b) Teori Psikososial

1) Aktivitas atau Kegiatan (Teori Aktivitas)


Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara

keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun

dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini

menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah

meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah,

2011).

2) Kepribadian Berlanjut (Teori Kesinambungan)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut

usia. Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan

dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri

dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan

interpersonal (Azizah, 2011).

3) Teori Pembebasan

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,

seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari

kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya

(Azizah, 2011).

5. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara

degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri

manusia, tidak hanya perubahan fisik tetapi juga kognitif, perasaan, sosial

dan seksual (Azizah, 2011).


a) Perubahan Fisik

1) Sistem Indra

Sistem pendengaran mengalami prebiakusis (gangguan pada

pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan pendengaran

pada telinga dalam, terutama pada bunyi suara atau nada-nada

yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata. 50%

terjadi pada usia diatas 60 tahun.

2) Sistem Integumen

Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis

kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga

menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi

glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna

coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.

3) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain

sebagai berikut : Jaringan penghubung (kolagen dan

elastin). Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon,

tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan

menjadi bentangan yang tidak teratur.

Kartilago pada persendian lunak akan mengalami granulasi

dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kartilago

untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi


cenderung ke arah progresif, konsekuensinya kartilago pada

persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

Pada tulang, berkurangnya kepadatan tulang setelah di

observasi adalah bagian dari dari penuaan fisiologi akan

mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri,

deformitas dan fraktur.

Pada otot perubahan struktur otot pada penuaan sangat

berfariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot,

peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot

mengakibatkan efek negatif. Pada jaringan ikat sekitar sendi

seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.

4) Sistem Kardiovaskuler

Massa jantung bertambah, ventrukel kiri mengalami hipertropi

dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan

pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi SA

node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat

5) Sistem Respirasi

Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas

total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah

untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang

mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan

sendi torak mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan

kemampuan peregangan toraks berkurang.


6) Sistem Pencernaan dan Metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti

penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata

yaitu kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar

menurun (sensitifitas lapar menurun), liver (hati) makin mengecil

dan menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran

darah.

7) Sistem Perkemihan/genitourinaria

Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.

Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju

filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal. Ginjal mengecil dan

nefron menjadi atrofi sehingga aliran darah menurun sampai

50%, GFR menurun sampai 50%. Nilai ambang ginjal terhadap

glukosa menjadi meningkat. Vesika urinaria otot-ototnya menjadi

lemah, kapasitasnya menurun menjadi 20 cc sehingga vesika

urinaria sulit diturunkan pada pria lansia yang akan berakibat

pada retensi urin. Pembesaran prostat 75% dialami oleh pria di

atas 55 tahun. Pada vulva terjadi atrofi sehingga elastisitas

jaringan menurun. Selaput lender mongering, sekresi berkurang

dan menjadi alkali.

8) Sistem Saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi

yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami


penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas

sehari-sehari.

9) Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan

menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada

laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,

meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.

b) Perubahan Intelektual

Menurut Hochanadel dan Kaplan dalam Mujahidullah (2012),

akibat proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan

otak seperti perubahan intelegenita Quantion (IQ) yaitu fungsi otak

kanan mengalami penurunan sehingga lansia akan mengalami

kesulitan dalam berkomunikasi nonverbal, pemecehan masalah,

konsentrasi dan kesulitan mengenal wajah seseorang. Perubahan yang

lain adalah perubahan ingatan, karena penurunan kemampuan otak

maka seorang lansia akan kesulitan untuk menerima rangsangan yang

diberikan kepadanya sehingga kemampuan untuk mengingat pada

lansia juga menurun.

c) Perubahan Spiritual

Menurut Maslow dalam Mujahidin (2012), pada umumnya

lansia akan semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal

tersebut bersangkutan dengan keadaan lansia yang akan meninggalkan

kehidupan dunia.
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan

Menurut Azizah 2011 faktor- faktor yang mempengaruhi penuaan adalah:

a) Hereditas atau ketuaan genetik

b) Nutrisi atau makanan

c) Status kesehatan

d) Pengalaman hidup

e) Lingkungan

f) Stress

7. Jenis Pelayanan Kesehatan pada Lansia

Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi upaya kesehatan

yaitu peningkatan (promotif), pencegahan (preventif) diagnosis dini dan

pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.

a) Promosi (Promotif)

Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak

lansung untuk menigkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.

Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk

meningkatkan dukungan klien, tenaga professional dan masyarakat

terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial.

Upaya promotif dilakukan untuk membantu organ-organ mengubah

gaya hidup mereka dan bergerak ke arah keadaan kesehatan yang

optimal serta mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat

pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka. Upaya perlindungan

kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut:


1) Mengurangi cedera dilakukan dengan tujuan mengurangi kejadian

jatuh, mengurangi kebakaran dalam rumah, meningkatkan

penggunaan alat pengaman dan mengurangi kejadian keracunan

makanan atau zat kimia.

2) Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk

mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan

penggunaan sistem keamanan kerja

3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk

bertujuan untuk mengurangi penggunaan semprotan bahan-bahan

kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan

rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi

kontaminasi makanan dan obat-obatan.

4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang

bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara

kebersihan gigi dan mulut.

b) Pencegahan (Preventif)

1) Melakukan pencegahan primer meliputi pencegahan pada lansia

sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit dan promosi

kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program

imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum alcohol,

dukungan nutrisi keamanan di dalam dan sekitar rumah,

manajemen stress dan penggunaan medikasi yang tepat.


2) Melakukan pencegahan sekunder meliputi pemeriksaan terhadap

penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala

penyakit belum tampak secara klinis dan mengidap faktor risiko.

3) Jenis pelayanan pencegahan sekunder meliputi kontrol hipertensi,

deteksi dan pengobatan kanker, skrining, pemeriksaan rectal,

papsmear, gigi, mulut dan lain-lain.

4) Melakukan pencegahan tersier dilakukan sebelum terdapat gejala

penyakit dan cacat, mencegah cacat bertambah dan

ketergantungan, serta perawatan dengan perawatan rumah sakit,

rehabilitasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka panjang.

c) Diagnosis Dini dan Pengobatan

Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas

professional dan petugas institusi. Pengobatan terhadap gangguan

sistem dan gejala yang terjadi meliputi sistem muskuloskeletal,

kardiovaskuler, pernapasan, pencernaan, urogenital, hormonal, saraf

dan integumen.

B. KONSEP PRURITUS

1. Pengertian Pruritus

Pruritus berasal dari kata prurire yang berarti gatal atau rasa gatal atau

berbagai macam keadaan yang ditandai dengan rasa gatal (Silvia, 2006).

Djuanda A, dkk (1993), mengemukakan pruritus adalah sensasi kulit yang

iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Menurut WHO


(World Health Organization) pruritus merupakan penyakit kulit yang

disebabkan oleh faktor internal (penyakit) dan eksternal (kebersihan diri

dan penyakit kulit). Berdasarkan pendapat di atas, pruritus merupakan rasa

gatal yang disebabkan oleh berbagai macam keadaan baik dari dalam

(penyakit) maupun dari luar (kebersihan diri) sehingga menimbulkan

rangsangan ingin menggaruk.

2. Anatomi Fisiologi Kulit

Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga

homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi

proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh

(termoregulasi), dan pembentukan vitamin D (Djuanda, 2007). Kulit juga

sebagai barier infeksi dan memungkinkan bertahan dalam berbagai

kondisi lingkungan (Harien,2010).

Gambar 2.1
Anatomi Fisiologi Kulit
a) Fungsi proteksi

Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara

sebagai berikut:

1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas,

dan zat kimia.

2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan

kulit dan dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari

lingkungan luar tubuh melalui kulit.

3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan

rambut dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang

berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.

4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang

berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan

pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya. Pigmen ini bertugas

melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi

genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan

pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.

5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang

protektif. Yang pertama adalah sel Langerhans, yang

merepresentasikan antigen terhadap mikroba. Kemudian ada sel

fagosit yang bertugas memfagositosis mikroba yang masuk

melewati keratin dan sel Langerhans (Martini, 2006).


b) Fungsi Absorpsi

Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material

larut-lipid seperti vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu,

oksigen dan karbon dioksida (Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit

terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air memungkinkan kulit

ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa

material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri

(Harien, 2010). Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak,

seperti kortison, sehingga mampu berpenetrasi ke kulit dan

melepaskan antihistamin di tempat peradangan (Martini, 2006).

Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,

hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan

dapat berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara saluran

kelenjar, tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada

yang melalui muara kelenjar (Tortora dkk., 2006).

c) Fungsi ekskresi

Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar

eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:

1) Kelenjar sebasea

Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada

folikel rambut dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum

menuju lumen (Harien, 2010). Sebum dikeluarkan ketika muskulus


arektor pili berkontraksi menekan kelenjar 13 sebasea sehingga

sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit.

Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol,

protein, dan elektrolit. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan

bakteri, melumasi dan memproteksi keratin (Tortora dkk., 2006).

2) Kelenjar keringat

Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL

air dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat

tiap hari (Djuanda, 2007). Seorang yang bekerja dalam ruangan

mengekskresikan 200 mL keringat tambahan, dan bagi orang yang

aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air dan

panas, keringat juga merupakan sarana untuk mengekskresikan

garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil pemecahan

protein yaitu amoniak dan urea (Martini, 2006).

3) Fungsi persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan

subkutis (Djuanda, 2007). Terhadap rangsangan panas diperankan

oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin

diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis,

badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap

rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di

epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan


Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak

jumlahnya di daerah yang erotik (Tortora dkk., 2006).

d) Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)

Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh

(termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat dan

menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler (Djuanda, 2007). Pada

saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah

banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga

panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu

rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan

mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi

pengeluaran panas oleh tubuh (Harien, 2010).

e) Fungsi pembentukan vitamin D

Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7

dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007).

Enzim di hati dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan

menghasilkan kalsitriol, bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah

hormon yang berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari

traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah (Tortora dkk., 2006).


3. Etiologi

Menurut Manalu (2010) Pruritus dapat disebabkan oleh berbagai

macam gangguan. Secara umum penyebab pruritus dapat diklasifikasikan

menjadi lima golongan, yaitu:

a) Pruritus Lokal

Pruritus lokal adalah pruritus yang terbatas pada area tertentu di

tubuh. Penyebabnya beragam, beberapa penyebab pruritus local yaitu:

- Kulit Kepala : Seborrhoeic dermatitis, kutu rambut

- Punggung : Notalgia paraesthetica

- Lengan : Brachioradial pruritus

- Tangan : dermatitis tangan

b) Gangguan Sistemik

Beberapa gangguan sistemik penyebab pruritus:

- Gangguan ginjal seperti Gagal Ginjal Kronik

- Gangguan hati seperti obstruksi biliaris intrahepatika atau

ekstrahepatika

- Endokrin/metabolic seperti diabetes mellitus, hipertiroidisme,

hipotiroidisme dan myxoderma

- Gangguan pada darah defisiensi seng (anemia), policythaemia,

leukemia limfatik dan Hodkin’s disease.

- Gangguan pada kulit

Penyebab pruritus yang berasal dari gangguan kulit sangat

beragam. Beberapa diantaranya adalah dermatitis kontak, kulit


kering, prurigo nodularis, urtikaria, psoriasis, dermatitis atopic,

folikulitis, kutu, scabies, miliaria dan sunburn.

- Pajanan terhadap faktor tertentu

Pajanan kulit terhadap beberapa faktor, baik berasal dari lua

maupun dari dalam dapat menyebabkan pruritus. Faktor yang

dimaksud adalah allergen atau iritan lainnya, urtikaria fisikal,

awuagenic pruritus, serangga dan obat-obatan tertentu (topical

maupun sistemik seperti opioid dan aspirin).

- Hormonal

Dua persen dari wanita hamil mengalami pruritus tanpa adanya

gangguan dermatologi. Pruritus gravidarum diinduksi oleh

estrogen dan tekadang terdapat hubungan dengan kolestasis.

Pruritus terjadi terutama pada trimester ketiga. Dimulai pada

abdomen atau badan kemudian menjadi generalisata. Ada kalanya

pruritus disertai dengan anoreksia, nausea dan muntah. Ikterus

kolestasis timbul setelah penderita mengalami pruritus 2-4 minggu.

Iketrus dan pruritus disebabkan karena terdapat garam empedu di

dalam kulit. Selain itu, pruritus juga menjadi gejala umum terjadi

menopause. Setidaknya 50% orang berumur 70 tahun atau lebih

mengalami pruritus. Kelainan kulit yang menyebabakan pruritus

seperti scabies, pemphigoid nodularis atau eczema grade rendah

perlu dipertimbangkan selain gangguan sistemik seperti kolestasis

ataupun gagal ginjal. Pada sebagian besar kasus pruritus spontan,


penyebab utama pruritus pada lansia adalah kekeringan kulit akibat

penuaan kulit. Pruritus pada lansia berespon baik terhadap

pengobatan emollient.

4. Patofisiologi

Pruritus merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling

sering dijumpai pada gangguan dermatologi yang menimbulkan gangguan

rasa nyaman dan perubahan integritas kulit jika pasien meresponnya

dengan garukan. Reseptor rasa gatal yang bermielin mempunyai ujung

saraf mirip sikat (peniciate) yang hanya ditemukan dalam kulit, membrane

mukosa dan kornea (Manalu, 2010).

Garukan menyebabkan terjadinya inflamasi send an pelepasan

histamin oleh ujung saraf yang memperberat gejala pruritus yang

selanjutnya menghasilkan lingkaran rasa gatal dan menggaruk. Meskipun

biasanya pruritus disebabkan oleh penyakit kulit yang primer dengan

terjadinya ruam atau lesi akibatnya, namun keadaan ini bisa timbul tanpa

manifestasi kulit apapun. Keadaan ini disebut esensial yang umumnya

memiliki awitan yang cepat, biasanya berat dan mengganggu aktivitas

sehari-hari.

5. Klasifikasi

Menurut World Health Organization (2014) mengklasifikasikan

pruritus sebagai berikut:


a) Pruritoceptive itch : akibat gangguan yang berasal dari kulit.

Misalnya inflamasi, kering dan kerusakan kulit.

b) Neuropathic itch : akibat gangguan pada jalur aferen saraf perifer

atau sentral. Misalnya pada herpes dan tumor.

c) Neurogenic itch : tidak ada gangguan pada saraf maupun kulit,

namun terdapat transmitter yang merangsang gatal, misalnya morphin

dan penyakit sistemik (gagal ginjal dan jaundice).

d) Psikogenic itch : akibat gangguan psikologi seperti

parasitophobia.

6. Manifestasi Klinis

a) Pruritus secara khas akan menyebabkan seseorang menggaruk yang

biasanya dilakukan semakin intensif pada malam hari.

b) Pruritus tidak sering dilaporkan pada saat terjaga karena perhatian

seseorang teralih pada aktivitas sehari-hari.

c) Efek sekunder mencakup eksoriasi, kemerahan, biduran (kulit

menonjol), infeksi dan perubahan pigmentasi (Smeltzer dan Bare,

2002).

7. Komplikasi

a) Bila pruritus tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan dapat

timbul dermatitis akibar garukan.


b) Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, limfangitis dan furunkel.

Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang scabies dapat

menimbulkan komplikasi pada ginjal.

c) Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti

pruritus yang berlebihan, baik pada terapi awal ataupun pemakaian

yang terlalu sering.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pruritus sangat bergantung pada penyebab rasa gatal

itu sendiri. Sementara pemeriksaan untuk mencari penyebab pruritus

dilakukan, terdapat beberapa cara untuk mengatasi rasa gatal sehingga

menimbulkan perasaan lega pada penderita, yaitu:

a) Penatalaksanaan Medis

- Pengobatan topical

- Pemberian lotion calamine. Lotion ini dapat digunakan pada kulit

yang kering dan memiliki batasan waktu dalam pemakaiannya

karena mengandung phenols.

- Lotion menthol/camphor yang berfungsi untuk memberikan

sensasi dingin.

- Pengobatan denga medikasi oral mungkin diperlukan. Jika rasa

gatal cukup parah dan menyebabkan tidur terganggu. Aspirin

efektif pada pruritus yang disebabkan oleh mediator kinin atau

prostaglandin, tapi dapat memperburuk rasa gatal pada beberapa


pasien. Doxepin atau amitrityline yaitu antidepresan trisiklik

dengan antipruritus yang efektif. Antidepresan tetrasiklik dapat

membantu rasa gatal yang lebih parah. Antihistamin yang tidak

mengandung penenang memiliki antipruritus. Antihistamin

penenang dapat digunakan karena efek penenangnya tersebut.

Thalidomide terbukti ampuh mengatasi prurigo nodular dan

beberapa jenis pruritus kronik.

b) Penatalaksanaan Keperawatan

Upaya lain untuk menghindari pruritus diantaranya mencegah

faktor pengendap seperti pakaian kasar, terlalu panas dan yang

menyebabkan vasodilatasi jika dapat menimbulkan rasa gatal

(misalnya kafein, alkohol, makanan pedas). Jika kebutuhan untuk

menggaruk tidak tertahankan, maka gosok atau garuk area yang

bersangkutan dengan telapak tangan.

Untuk gatal ringan dengan penyebab yang tidak membahayakan

seperti kulit kering, dapat dilakukan penanganan sendiri berupa:

- mengoleskan pelembab kulit berulang kali sepanjang hari dan

segera setelah mandi

- mandi rendam dengan air hangat

- tidak mandi terlalu sering dengan air berkadar kaporit tinggi

- kamar tidur harus bersih, sejuk dan lembab


- mengenakan pakaian yang tidak mengiritasi kulit seperti katun dan

sutra, menghindari bahan wol serta bahan sintesis yang tidak

menyerap keringat.

- Menghindari mengkonsumsi kafein, alcohol, rempah-rempah, air

panas dan keringat berlebihan

- Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan

- Mencegah komplikasi akibat garukan dengan jalan memotong

kuku

9. Cara Pengukuran Pruritus

Menurut Adam et all (2012) skala pengkuran pruritus menggunakan

Visual Analogue Scale (VAS) yaitu membagi pruritus menjadi beberapa

kategori yaitu:

1. Pruritus Ringan

Pruritus ringan diberi poin 1 jika luas pruritus hanya satu titik

lokasi seperti di bagian tangan saja atau dibagian kaki saja dan luasnya

tidak lebih dari 10 cm baik secara vertika maupun horizontal.

2. Pruritus Sedang

Pruritus sedang diberi poin 2 jika luas pruritus lebih dari satu

titik lokasi seperti di bagian tangan dan dibagian kaki atau di bagian

punggung dan tangan yang luasnya tidak lebih dari 10 cm secara

vertikal dan horizontal.

3. Pruritus Parah
Pruritus parah diberi poin 3 jika luas pruritus lebih dari satu

titik lokasi seperti dibagian tangan dan dibagian kaki atau dibagian

punggung dan tangan yang luasnya lebih dari 10 cm secara vertikal

dan horizontal.

4. Pruritus Sangat Parah

Pruritus sangat parah diberi poin 4 jika luas pruritus lebih dari

satu titik lokasi seperti di seluruh tubuh, berubahnya warna kulit dan

luasnya lebih dari 10 cm baik secara vertical maupun horizontal.

C. KONSEP DASAR LIDAH BUAYA

Gambar 2.2

Menurut Rostita (2014), Daun lidah buaya berbentuk tombak dengan

helaian memanjang, berdaging tebal dan tidak bertulang. Daun lidah buaya

berwarna hijau dan memiliki lapisan lilin di permukaannya. Daun lidah

buaya bersifat sekulen, yakni mengandung air, getah dan lendir. Bunga lidah

buaya berbentuk terompet sepanjang 2-3 cm, berwarna kuning dan tersusun

berjuntai melingkari ujung tangkai menjulang ke atas. Lidah buaya berakar


serabut, daun lidah buaya terdiri dari 2 bagian yang penting yaitu eksudat

atau getah daun yang keluar ketika daun dipotong dan gel yang merupakan

daging daun berlendir yang diperoleh dengan menyayat bagian luar daun

setelah eksudat dikeluarkan.

1. Kandungan dan Manfaat Gel Lidah Buaya

Gel Lidah Buaya

Kandungan Manfaat

lupeol, salicylic acid, urea, membunuh kuman atau mengntrol

nitrogen, cinnamonic acid, phenol, pembentukan bakteri jamur dan

sulphur virus

Air dapat melembabkan kulit karena

mengandung banyak

Mukopolysakarida membantu dalam mengikat

kelembapan kulit

fibroblast menghasilkan kolagen dan serat

elastis yang membuat kulit lebih

elastis dan mengurangi kerutan

Asam amino mengurangi kulit yang kasar

zink sebagai astringen untuk

mempererat pori-pori kulit juga

mempunyai efek anti jerawat


lignin Mempunyai kemampuan sebagai

penyerap yang tinggi sehingga

memudahkan perserapan gel ke

dalam kulit atau mukosa

(Rajeswari,2012) (Rajin, 2008) (Kumar, 2010) (Furnawhanti, 2002)

2. Efek Gel Lidah Buaya Terhadap Pruritus


Lidah buaya mengandung zat aktif lignin yang mempunyai

kemampuan penyerapan tinggi sehingga memudahkan perserapan gel ke

dalam kulit atau mukosa (Furnawhanti, 2002).

Efek gel lidah buaya terhadap pruritus adalah kandungan yang ada

pada gel lidah buaya ini menghasilkan 6 agent antiseptic seperti lupeol,

salicylic acid, phenol dan sulphur. Semua substansi ini tergolong

antiseptic karena dapat membunuh kuman dan mengontrol bakteri serta

virus (Rajeswari, 2012).

3. Cara Pemakaian Gel Lidah Buaya


Cara pemakaian gel lidah buaya menurut Fatimah (2018) cara

pengunaan gel lidah buaya yaitu dengan dioleskan ke bagian tubuh yang

gatal sebanyak 2 kali pemakaian dalam sehari setelah mandi selama 3

hari. Setelah 3 hari pemakaian gel dilakukan observasi tentang perubahan

kulit yang mengalami pruritus.


DAFTAR PUSTAKA

Adam et all. 2012. Visual Analogue Scale: Evalution of Instrument for the Assesment

of Pruritus. Acta Derm Venereol 92

Azizah, L.M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu

Depkes. 2009. Pedoman Pembinaan Kesehatan Jiwa Lanjut Usia Bagi Petugas

Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat

Manalu, HSP. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pruritus pada

Lansia. http://ejournal.litbang.depkes.go.id

Nugroho.2012. Keperawatan Gerontik Dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: Salemba

Medika

World health organization.2014. Dermatologi Health. Who Library Cataloging.

Geneva, Switzerland.

Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol 3. Jakarta:

EGC

Anda mungkin juga menyukai