Anda di halaman 1dari 6

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang

yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja
mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,


sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar
dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.

Contoh konkrit seperti:

Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh classical
conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling, seorang individu belajar
menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak
dipelajari melalui modeling atau isekolahtasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan
pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati
tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct reinforcement” maupun
dengan “vicarious reinforcement”. Sekolahsalnya, seseorang yang menjadi idola kita
menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk
serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk melakukannya. Hampir sebagian
besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama termasuk reinforcement langsung dengan
meniru model (orang tuanya). Hal yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan
bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang
tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan akadesekolahs dan
motorik.

Teori belajar kognitif adalah teori yang menjelaskan proses pemikiran dan perbedaan kondisi
mental serta pengaruh faktor internal dan eksternal dalam menghasilkan belajarnya seorang
individu. Apabila proses kognitif bekerja normal, maka perolehan informasi dan
penyimpanan pengetahuan akan bekerja dengan baik pula. Namun apabila proses kognitif
bekerja tidak sebagaimana mestinya, maka terjadilah masalah dalam belajar.

Dalam penerapan Teori Belajar Kognitif secara khususnya akan ada model belajar Bruner,
Ausubel, Gagne, dan model perkembangan intelektual Piaget. Adapun secara umum
penerapan teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

1. Belajar tidak harus berpusat pada guru tetapi peserta didik harus lebih aktif. Oleh
karenanya peserta didik harus dibimbing agar aktif menemukan sesuatu yang
dipelajarinya. Konsekwensinya materi yang dipelajari harus menarik minat belajar
peserta didik dan menantangnya sehingga mereka asyik dan terlibat dalam proses
pembelajaran.
2. Bahan pembelajaran dan metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama.
Peserta didik akan sulit memahami bahan pelajaran Jika frekuensi belajar hitung
loncat-loncat. Bagi anak SD pengoperasian suatu penjumlahan harus menggunakan
benda-benda terutama di kelas-kelas awal karena tahap perkembangan berpikir
mereka baru mencapai tahap operasi konkret.
3. Dalam proses pembelajaran guru harus memperhatikan tahapan perkembangan
kognitif peserta didik. Materi dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan
kognitif itu dan harus merangsang kemampuan berpikir mereka.
4. Belajar harus berpusat pada peserta didik karena peserta didik melihat sesuatu
berdasarkan dirinya sendiri. Untuk terjadinya proses belajar harus tidak ada proses
paksaan agar sifat egosentrisnya tidak terbunuh.

https://www.dasarguru.com/teori-belajar-kognitif-dan-penerapannya/

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/31/teori-belajar-kognitif-dan-implementasi-
dalam-proses-pembelajaran/
saya akan mencoba menanggapi bu..
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya
memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan
peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan
mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan
kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran;
e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik;
f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional peserta
didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996).
http://fuone23hw.blogspot.com/2015/04/teori-belajar-konstruktivistik-dan.html

terima kasih.

1. Konsep belajar menurut teori humanistik

Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya


dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu
adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan.
Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa
sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa
kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik
dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam
psikologi humanistik.

Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”


Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik.
Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang
dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia
daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori
psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh,
yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya
dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya
ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain,
bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami
perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam
kehidupan sehari-hari.

Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang


beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu
anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi,
mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik
humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku
manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa
membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?

Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak


bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan.
Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara
humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi
adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran
humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan
pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia.
Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari
pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang
menitikberatkan kognisi.

https://nurfitriyanielfima.wordpress.com/2013/10/07/teori-belajar-humanistik/

2. Contoh cara mempratekkan teori humanistik dalam pembelajaran

Aplikasi teori humanisme lebih menonjolkan kebebasansetiap individu siswa/i


memahami materi pembelajaran untuk memperoleh informasi/pengetahuan baru dengan
caranya sendiri, selama proses pembelajaran.dalam teori ini peserta didik berperan sebagai
subjek didik, peran guru dalam pembelajaran humanisme adalah fasilitator. Peserta Didik
Dalam pembelajaran yang humanis ditempatkan sebagai pusat (central) dalam aktifitas
belajar. Peserta didik menjadi pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri.
Dengan demikian , peserta didik diharapkan mampu menemukan potensinya dan
mengembangkan potensi tersebut secara memaksimal. Peserta didik bebas berekspresi cara-
cara belajarnya sendiri. Peserta didik menjadi aktif dan tidak sekedar menerima informasi
yang disampaikan oleh guru.

Peran guru dalam pembelajaran humanisme adalah menjadi fasilitator bagi para
peserta didiknya dengan cara memberikan motivasi dan memfasilitasi pengalaman belajar,
dengan , menerapkan strategi pembelajaran yang membuat peserta didik aktif, serta
menyampaikan materinya pembelajaran yang sistematis (Sadulloh; 2008).

Cara mempratekkannya bisa menggunakan model pembelajaran Cooperative Learning


atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk menigkatkan dorongan berprestasi siswa.
Menurut Slavin dalam Sumanto (1998) Cooperative Learning mempunyai tiga karakteristik: 1)
Siswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap selama
berminggu-minggu. 2) Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok. 3) Siswa diberi imbalan atau hadiah atas
dasar prestasi kelompok.

https://www.kompasiana.com/amirazhar/5528f7cbf17e6188258b4581/aplikasi-teori-
humanisme-dalam-kegiatan-pembelajaran#

3. Perbedaan humanistik,behavioristik,kognitif dan konstruktivistik adalah

a. Behavioristik

1) Menekankan pada stimulus dan respon dalam pembentukan perilaku.


2) Setiap perilaku dapat dipelajari.
3) Tingkah laku lama dapat diganti dengan tingkah laku baru.
4) Menekankan pada perubahan perilaku yang teramati.

b. Humanistik

1) Menekankan pada keunikan sikap individu.


2) Individu adalah orang yang bebas menentukan apa yang dipelajarinya.
3) Belajar dipandang sebagai pemerolehan informasi atau pengalaman dan menemukan maknanya
secara personal atau pribadi.

c. Kognitif
Menekankan pada perubahan atau proses-proses mental dan perilaku tidak kasat mata.

d. Konstruktivistik sosial

1) Pebelajar adalah orang yang secara aktif membangun pengetahuan dan keterampilan melalui
interaksi atau kolaborasi dengan orang lain.
2) Siswa tidak memiliki pemahaman satu persepsi.

e. Konstruktivistik kognitif

1) Individu membangun pemahamannya melalui eksplorasi


2) Menyatakan bahwa pebelajar adalah orang yang secara individual harus menemukan ,
mentransformasi, dan mengecek kemballi, serta merevisi informasi yang lama.
3) Siswa memiliki pemahaman satu persepsi.

http://www.konselingatmajaya.com/apps/blog/show/43286022-persamaan-dan-perbedaan-
pendekatanbehavioristik-humanistik-kognitif-dan-konstruktivistik

4. Perbandingan pembelajaran humanistik dengan pembelajaran tradisional adalah

Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik,
banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan
harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang
diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang
disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang
sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan
interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan.
Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan 59 cara
melengkapi buku tugasnya setiap hari. Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari
kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa
tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan
atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya.
Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan
pengetahuan. Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik
membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif
baru. Pendekatan humanistik lebih lugas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat
pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap
pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes sebagai perilaku imitasi,
melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan
pembelajaran humanistik adalah sebagai berikut. Pembelajaran Tradisional Pembelajaran
humanistik 1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan
pada ketrampilan- ketrampilan dasar. 1. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke
bagian-bagian dan lebih mendekatkan pada konsep- konsep yang lebih jelas. 2. Pembelajaran
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan. 2. Pembelajaran lebih menghargai pada
pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa. 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan
pada buku teks dan 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber- sumber
data primer dan 60 buku kerja. manipulasi bahan. 4. Siswa-siswa ipandang sebagai “kertas
kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan
cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa. 4. Siswa dipandang sebagai
pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya. 5. Penilaian hasil belajar
atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan
pada akhir pelajaran dengan cara testing. 5. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin
dalam kesatuan pembelajaran dengan cara guru mengamati hal-hal yangsedang dilakukan
siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. 6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri,
tanpa ada group process dalam belajar.

Anda mungkin juga menyukai