Anda di halaman 1dari 6

Meniti Jalan Nabi Ibrahim as.

:
Merangkai Umur Kedua di Dunia

Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,


Alunan takbir tahmid dan tahlil terus menggema bersahutan dan bersinambungan dari segenap
penjuru dunia, keluar dari lisan-lisan kaum muslimin dimana saja mereka berada -- tidak saja
dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga di bawah desingan peluru, ancaman senjata, juga
kelaparan dan kepapaan.

Gema takbir tahmid dan tahlil itu memenuhi setiap sudut langit, setiap lekuk bumi dari kutub
Utara hingga Antartika, menabuhi setiap selaput gendang telinga, mengetuki relung-relung hati
yang terkunci di dalam setiap dada, menggugah dan menggedor masing-masing jiwa kita yang
telah terlena dalam kecamuk dunia, hanya untuk satu tujuan: mengagungkan Asma-Nya;
bahwa
tidak ada yang lebih perkasa dan agung kecuali Allah, tiada yang patut dipuja dan dipuji kecuali
Allah, tidak ada ilah yang patut disembah kecuali Allah. Dialah Cahaya di atas segala Cahaya,
Dialah Sang Maha Suci dari segala yang suci, Dialah Sang Cinta Sejati dari segala cinta yang
pernah ada. Dialah: Allah ‘azza wajallaa, laa yanaamu walaa yamuutu. Yang Tidak Pernah
Tidur dan Tidak Pernah Mati.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!

Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,


Adalah satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terkira bahwa pada hari ini kita bisa turut
serta merayakan Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam. Tak kurang dari tiga
juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras serta dari berbagai tingkat sosial dan
penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi
panggilan Allah menunaikan ibadah haji. Sebagaimana firman-Nya:
   
    
     

“Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh“. (QS. Al-Hajj: 27)
Mereka, para hujjaj itu, berkumpul di satu tempat yang sama, berpakaian seragam putih-putih
yang sama, untuk menjalankan ibadah haji yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Mereka
ikhlas menempuh perjalanan yang jauh dan sukar, yang di dalam ayat di atas digambarkan
sebagai “berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus”. Mereka rela meninggalkan
keluarganya, sanak-saudara dan kerabatnya, harta bendanya, kesibukannya, mereka
meninggalkan seluruh urusan dunianya, mengarungi samudera yang luas, menembus langit
yang seperti tiada batas, semata-mata berangkat mendekat memenuhi panggilan Allah swt. ke
tanah suci, seraya tak henti dan tak putus berseru:
Labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaika
Innal hamda wa ni’mata laka wal mulka
Laa syariika laka
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya, Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi-Mu
Sesungguhnya segala puja dan puji, nikmat, kerajaan dan kekuasaan hanya bagi-Mu
Tak ada sekutu bagi-Mu
Selain ibadah haji, Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena pada hari raya ini kita
diberikan kesempatan untuk melakukan ibadah qurban. Allah berfirman:
   
    
  
   
   
  
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada
mereka,
maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.
Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-
Hajj: 34)

Kedua ibadah itu disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt. yang
harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hamba-Nya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang, seperti ditegaskan dalam
firman-Nya:
   
    


“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka


sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj: 32)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!


Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,
Kedua ibadah yang luar biasa itu tidak akan disyariatkan kecuali oleh sebab seorang pribadi
yang istimewa. Seorang yang istimewa di mata manusia. Betapa tidak? Beliau adalah bapak
sekalian para Nabi, yang diakui oleh segenap agama samawi. Lebih dari itu, beliau juga sangat
istimewa kedudukannya di sisi Allah swt., karena beliaulah manusia yang sangat disayangi-
Nya.
Beliaulah sang khalilullah (kekasih Allah). Beliaulah Nabi Ibrahim as. Pantaslah beliau
menyandang gelar terhormat itu. Bukankah syariat ibadah qurban berangkat dari sepenggal
fragmen kehidupan manusia istimewa ini, dimana beliau telah melaksanakan penyembelihan
atas Ismail, putra tersayangnya, dengan penuh ridha dan berserah diri, semata-mata atas dasar
rasa cintanya kepada Allah swt. di atas segalanya.
Prestasi gemilang beliau ini kemudian terukir di panggung sejarah berlintas generasi dan
zaman. Apa yang beliau lakukan itu kemudian menjadi syariat yang kita ikuti hingga hari ini,
baik itu qurban maupun haji. Apa yang menyebabkan beliau bisa dikenang orang sepanjang
masa?
Ada satu doa Nabi Ibrahim as. yang amat terkait dengan fenomena itu, yang diabadikan di
dalam QS. Asy-Syu’ara: 83-85, sehingga karenanya layak untuk kita renungkan:

    


   
    
   
 
(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke
dalam
golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-
orang
(yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga
yang penuh kenikmatan.”
Jadi, doa yang dahsyat itu adalah “jadikanlah aku buah tutur yang baik (lisaana shidqin) bagi
orang-orang (yang datang) kemudian.”
Kiranya permohonan beliau itu telah dikabulkan oleh Allah swt. Kita lihat saja, ibadah haji yang
dilakukan oleh jutaan manusia dari penjuru dunia, ritual pokoknya adalah menapaktilasi jejak
Nabi Ibrahim as. dan keluarganya. Nama beliau senantiasa disebut oleh setiap generasi yang
pernah hidup sesudahnya hingga sekarang. Rasulullah saw. sendiri guna menghormati do’a

Nabi Ibrahim di atas juga mengajarkan kepada kita, umat beliau, agar membaca shalawat
Ibrahimiyyah dalam setiap kali shalat. Dan yang terpenting dari wujud pengabulan do’a di atas
adalah keberadaan Nabi Ibrahim as. yang diakui dan dicintai oleh setiap pemeluk agama
samawi dan bahkan mereka mengklaim sebagai keturunan dan penerus sah agama Nabi
Ibrahim as. Lisaana shidqin -- buah tutur yang baik dan namanya yang senantiasa dikenang --
tidak lain adalah pahala yang terus mengalir dari Allah swt. yang diberikan kepada Nabi Ibrahim
as. di dunia sebagaimana firman-Nya:

“...dan Kami memberikan pahala kepadanya di dunia ...“ (QS. Al-Ankabut: 27).
Terkabulnya do’a Nabi Ibrahim as. ini bukanlah semudah seperti tumbuhnya jamur di musim
hujan atau membalik telapak tangan. Semuanya berangkat dari perjuangan, segenap langkah
dan usaha keras yang telah beliau lakukan. Sejak muda beliau hidup di tengah komunitas yang
tak satupun menyembah Allah swt. Beliau adalah satu-satunya manusia yang meng-esa-kan
Allah. Kendati demikian, semangat beliau tetap membara untuk mengenalkan manusia kepada
Allah Yang Maha Esa dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Ibrahim as. adalah seorang umat yang patuh kepada Allah, hanif dan dia
tidak pernah termasuk orang-orang musyrik.“ (QS. An-Nahl: 120).
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!
Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,
Do’a Nabi Ibrahim as. di atas mengajarkan kepada umat manusia supaya berusaha dan
berjuang agar namanya selalu dikenang sepanjang zaman, meski tubuhnya telah tinggal
tulangbelulang terpendam berkalang tanah. Hal ini bisa tercapai dengan meneliti dan
mempelajari lebih jauh tentang pribadi Nabi Ibrahim as., manusia pertama yang mengajukan
permohonantersebut, juga mempelajari para tokoh generasi penerus beliau dari mulai para
Nabi‘alaihimussalam anak keturunan beliau hingga pewaris-pewaris para nabi, yang tidak lain
adalah para ulama rahimahumullah. Dari meneliti dan mempelajari kehidupan mereka
insya Allah akan memunculkan motivasi untuk meniru dan meneladani gerak langkah, usaha
dan perjuangan yang mereka lakukan sehingga mereka mendapatkan (qabul) penerimaan dari
Allah swt. dan pahala yang terus menerus mengalir, di mana hal ini bisa dibuktikan dengan
nama harum serta jasa-jasa mereka yang senantiasa disebut dan dikenang sepanjang masa.
Jika apa yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. tidak mendapatkan qabul, tentu nama dan usaha
beliau dan keluarga tidak akan pernah disebut-sebut orang lagi. Jika yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. tidak mendapatkan qabul dari Allah, tentu Allah dan malaikat-Nya tidak akan
bershalawat serta memerintahkan supaya kaum beriman senantiasa bershalawat kepada
Rasululllah saw. Jadi perintah bershalawat merupakan bagian dari ayat “... dan Kami
memberikan pahala kepadanya di dunia ...” (QS. Al-Ankabut: 27).

Apa yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan Rasulullah ‘alaihimasshalatu wassalam bisa menjadi
cermin bagi kita semua untuk melihat apa yang terjadi dan dialami oleh para ulama pejuang
seperti halnya wali songo, atau para pendiri ormas Islam dan para pendiri pesantren dan
lembaga pendidikan Islam di manapun berada. Jika apa yang dilakukan oleh para pendiri
tersebut tidak mendapatkan qabul, tentu komunitas yang mereka rintis akan berhenti di tengah
jalan dan nama mereka pun tidak akan pernah disebut-sebut khalayak manusia lagi.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!
Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,
Lisaana Shidqin, buah tutur atau sebutan yang baik dari uraian di atas bisa dipahami sebagai
sebuah langkah merintis sebuah usaha yang memberikan manfaat secara berkesinambungan,
terus menerus, lintas masa dan generasi, tidak pernah berhenti hingga melewati batas masa
kehidupan di dunia ini. Islam, melalui Rasulullah saw., telah memberikan petunjuk secara
gamblang langkah–langkah yang bisa menjadikan seseorang terus dikenang, namanya selalu
disebut dan memperoleh pahala yang terus mengalir meski yang bersangkutan telah tiada.
Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya amal kebajikan yang selalu menyusul seorang yang beriman setelah
kematiannya adalah: 1) ilmu yang ia sebarkan, 2) anak shaleh yang ia tinggalkan, 3)
mushaf
yang ia wariskan, 4) masjid yang ia dirikan, 5) rumah yang ia bangun untuk musafir, 6)
sungai
yang ia alirkan, dan 7) sedekah yang ia keluarkan dari hartanya semasa sehat dan
hidupnya.“
(HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah ra.)
Mengomentari hadits ini, Imam Suyuthi mengatakan: Dalam hadits Ibnu Majah ini disebutkan
ada tujuh perkara, sementara jika mengikutkan hadits lain, maka akan terkumpul menjadi
sepuluh yaitu: “Jika anak Adam mati, maka amal-amalnya tidak berjalan kecuali sepuluh:
Ilmu
yang ia sebarkan, do’a anak keturunan, menanam kurma, sedekah jariyah, mewariskan
mushaf,
benteng pertahanan, menggali sumur, mengalirkan sungai, rumah yang dibangunnya untuk
persinggahan pengembara, atau membangun tempat berdzikir.”
Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi menambahkan lagi satu hal hingga jumlahnya menjadi
sebelas, beliau berkata: “Dan mengajarkan Al-Qur’an yang mulia. Maka ambillah semuanya
(sebelas perkara) dari hadits-hadits dengan ringkas”. Dari sebelas perkara di atas jika dirinci
juga akan menjadi lebih banyak lagi. Apalagi Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barang siapa membuat suatu sunnah hasanah (perbuatan baik) dalam Islam, maka
baginya
pahala dan pahala orang-orang yang melakukan setelahnya tanpa sedikitpun mengurangi
pahala mereka...” (HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah)
Dalam redaksional lain, Rasulullah saw. juga bersabda:

“Barang siapa mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala-pahala para
pengikutnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka...” (HR. Muslim, Ahmad,
Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i dari riwayat Abu Hurairah ra.)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!
Ma’a syiral muslimin hafizhakumullah,
Bahasa sunnah hasanah itu tentu saja bisa dipahami sebagai bahasa umum yang tidak
terbatas pada aktivitas tertentu. Bahasa ini memberikan standar yang maknanya bisa
dijabarkan dengan berbagai macam upaya merintis aktivitas yang baik yang bernilai ibadah
yang bermanfaat dan dapat diikuti oleh sekalian orang banyak. Barangsiapa membuat sunnah
hasanah yang kemudian diikuti banyak orang, maka berarti ia berpeluang mendapatkan pahala
yang terus mengalir, derajat yang terus meningkat, dan juga dikenang orang sebagai Lisaana
Shidqin (buah tutur yang baik) hingga waktu yang panjang, ibaratnya sebagai umur kedua di
dunia sungguhpun ia sudah tiada.
Nabi Ibrahim as. telah menorehkan sejarah lisaana shidqin untuk manusia (yang akan datang)
kemudian sesudah beliau, sebagaimana telah kita saksikan hari ini. Meski beliau sudah tiada,
tetapi jejak beliau masih lestari hingga kini. Oleh karena itu, momentum menapaktilasi sejarah
teladan lisaana shidqin Nabi Ibrahim as. hari ini, baik melalui ibadah haji maupun qurban,
hendaknya bisa memacu dan memicu kita untuk mencontoh dan mengikuti apa yang telah
beliau perjuangkan, apa yang telah beliau lakukan, sehingga kita pun kelak bisa mendapatkan
pahala yang terus mengalir sebagai lisaana shidqin fil akhirin dengan sunnah hasanah yang
kita rintis sesuai dengan bidang dan kemampuan kita masing-masing. Semoga Allah swt.
Meridhai dan mengabulkan doa dan harapan kita.
Amin ya Robbal ‘alamin.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Wa lillaahilhamd!

(doa penutup)

Anda mungkin juga menyukai