Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Guillain Barre Syndrom (GBS)

Oleh

M.Faisal Bayu Pratomo, S.Ked

18309123101008

Pembimbing

dr. Muhammad Welly Dafif, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FK UNLAM-RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN

Juli, 2019
DAFTAR ISI

1. HALAMAN JUDUL ................................................................................... 1

2. DAFTAR ISI................................................................................................ 2

3. BAB I: PENDAHULUAN........................................................................... 3

4. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 4

5. BAB III: PENUTUP .................................................................................... 23

6. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre adalah neuropati paralitik akut yang paling umum dan paling parah,
dengan sekitar 100.000 orang menderita gangguan ini setiap tahun diseluruh dunia. Ada beberapa
variasi pada sindrom ini yang dapat dikenali dengan kondisi klinis dan patologis yang berbeda,
manifestsi atau gejala klinis paling parah dan umum pada sidrom Guillai-Barre dengan gagal
napas dengan presentasi 20-30% kasus. Pengobata dengan Immunoglobulin Intravena atau
Plasmaparesis adalah pendekatan manajemen yang efektif dan efisien disamping pengobatn
supportif.1
Antibodi yang memperbaiki pelengkap terhadap ganglioside saraf perifer saja dan kombinasi
semakin diakui sebagai mekanisme penting kerusakan saraf, antibody baru terhadap anti gen saraf
lain seperti neurofascin telah dideskripsikan baru-baru ini.2
Sindrom Guillain-Barre dianggap sebagai postinfektif kebanyakan gangguan postinfeksi
dari Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Epsteinbarr virus dan M.pneumoniae,inflamasi dan
demielinasu neuropati perifer. Bentuk aksonal seperti sindrom Guillain-Barre disebut neuropati
aksonal motoric akut (AMAN) atau motoric akut dan neuropati aksonan sensorik, disebabkan oleh
mekananisme autoimun tertentu.3
Walaupun cenderung baik dalam segi prognosis, pasien dengan Sindrom Guillain Barre
biasanya juga mempunyai kecenderungan untuk mempunyai ”gejala sisa” seperti mengalami
nyeri, kelelahan atau keluhan sisa lainnya yang dapat bertahan berbulan-bulan ataupun bertahun-
tahun.4
Dari segi biaya penerimaan rumah sakit untuk pasien GBS sangat bervariasi dengan biaya
yang lebih tinggi dengan penyakit yang lebih parah. Penelitian pada rumah sakit dieropa rata-rata
perawatan pasien GBS dirumah sakit adalah sebesar 15.060 Euro.5
Gejala sensorik pada kaki biasanya menandai timbulnya penyakit diikuti oleh kelemahan
distal cepat progresif yang segera menyebar secara proksimal. Nyeri lumbal sering terjadi dan
mungkin merupakan peradangan pada akar saraf dan mungkin bertepatan dengan kerusakan pada
penghalang CSF saraf yang memungkinkan protein bocor ke dalam CSF.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut Panduan praktik klinik Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia, Guillain

Barre Syndrom adalah penyakit dimana system kekebalan tubuh seseorang menyerang system

saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot,kesemutan dan hilangnya reflex.2

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre

Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem

syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan.

Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang

dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini

sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon system otot terhadap kerja sistem

syaraf.1

Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem

kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau

dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau

setelah vaksinasi atau prosedur bedah.. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan

gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh

tubuh.4
B. Epidemiologi

Insidensi SGB meningkat sesuai dengan usia (0-6 per 100.000 per tahun pada anak-anak

dan 2-7 per 100.000 per tahun pada lansia usia diatas 80 tahun) dan penyakit ini sedikit lebih

serinng pada jenis kelamin pria dari pada wanita. 2 per 3 pasien dewasa melaporkan gejala

pernapasan atau gastrointestinal sebelumnya, infeksi saluran napas dalam 4 minggu setelah

onset kelemahan.6

C.Jejuni adalah infeksi utama, ditemukan pada 25-50% pada pasien dewasa dengan

frekuensi lebih tinggi pada negara-negara asia.

SGB diketahui dapat menyerang semua usia, beberapa studi epedemilogi mengatakan

bahwa pada usia remaja dan periode akhir dewasa muda akan meningatkan risiko infeksi dari

Cytomegalovirus dan C.jejuni.6

C. Etiologi

Etiologi dari SGB sendiri belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa sakit ini

dipengaruhi oleh system imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan

modulasi imun. Ada bukti bahwa hal ini terjadi karena mimikri molecular pada 2 bentuk SGB,

AMAN dan sindrom Miller Fisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan

saraf tepi.
Tabel.2.1. Etiologi Sindrom Guillain Barre

Organisme Penyebab SGB • Epstein-Barr virus

• Mycoplasma pneumoniae

• Campylobacter jejuni

• Cytomegalovirus

• HIV

Vaksinasi yang berpotensi menimbulkan • Rabies vaccine

SGB • Influenza vaccines

• Oral polio vaccine

• Smallpox vaccine

• Diphtheria and tetanus vaccines

• Measles and mumps vaccines

• Hepatitis vaccines

D. Patofisiologi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan

imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid

merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya

kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target

dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab

adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan

lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri

patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan

tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama
terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting

antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan

adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya

infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan

menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.2,8

Gambar 2.1 Patofisilologi SGB

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,

namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya

infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga

sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-

sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang

tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-

komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.2,8

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya

antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi

dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang

akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin.

Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin

yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf

perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi

sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. 2,11

Kebanyakan patogen yang diketahui menyebabkan GBS masuk ke tubuh melalui mukosa

atau epitel usus. Respon imun innate mengakibatkan penyerapan patogen oleh antigen presenting

cells (APC) yang immatur. Setelah bermigrasi ke nodus limpatikus, APC yang berdiferensiasi dan

matur dapat menghadirkan peptida pada molekul MHC kelas II dan mengaktivasi sel T CD4 yang

mengenali antigen dari patogen infeksius. Sel B juga diaktivasi oleh sel Th2 yang baru. Hal

tersebut memproduksi sel yang dimediasi oleh humoral yang respon terhadap patogen.

Dua per tiga kasus GBS berhubungan dengan infeksi akut sebelumnya yang disebabkan

oleh beberapa spesie bakteri dan virus. Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, Epstein-Barr

virus, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Varicella-zoster virus telah

ditemukan pada serum pasien setelah onset GBS. Pada kasus infeksi C. jejuni, antibodi diproduksi,

mengaktivasi sistem komplemen dan fagositosis bakteri. Untuk kasus yang jarang, antibodi yang

diproduksi melawan antigen C. jejuni dan juga mengikat gangliosida jaringan saraf, menyebabkan

aktivasi komplemen dan kerusakan oleh fagosit. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan jaringan

saraf perifer, yang mengakibatkan kerusakan axon dan demyelinisasi.14-17

Mekanisme yang paling sering untuk penyakit autoimun adalah molecular mimicry.

Molecular mimicry adalah situasi dimana patogen dan host memiliki antigen yang identik, yang

menginduksi antibodi dan respon sel imun T yang reaktif silang. Ada lebih dari satu cara respon
imun bisa menjadi reaktif silang. Patogen dan host bisa mempunyai homolog atau asam amino

identik, atau reseptor sel B dan sel T bisa mengenali peptida non homolog.18,19

Mekanisme Guillain Barre Syndrom dipercayai sebagai neuropati inflammatory yang

berdasar pada persilangan antara antigen neural dan antibodi yang diinduksi oleh infeksi yang

spesifik. Organisme infeksius, seperti C. jejuni, mengekspresikan lipooligosakarida pada dinding

bakteri yang sama dengan gangliosida. Peniruan molekul ini membentuk antibodi antigangliosida2.

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,

dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan

gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan

pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama

dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase

penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus

pada pengurangan nyeri serta gejala.

2. Fase plateau

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik

perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan

tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam

memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu

dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan

cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya

sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien
biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;

namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat

diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,

sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum

dimulainya fase penyembuhan.

3. Fase penyembuhan

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan

spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan

gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase

ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan

kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk

menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari

sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.

Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya

tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat

penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.1

Gambar 2.2 Grafik Perjalanan Penyakit SGB


E. Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi klinis dari SGB yaitu :

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis paling

umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom tersebut.

Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal.

Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah

menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi

segmental makrofag.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy

Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas GBS epidemik

pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien GBS merupakan

jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi

motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering

dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang

baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.

Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan

neuron motorik.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang berbeda

dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia

dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome

Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan oftalmoplegia.

Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada

beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b.

Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan

dorsal root ganglia.

5. Acute Neuropatic panautonomic

Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada GBS. Kadang-

kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian tinggi, karena

keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya

pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan

diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan,

kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk

ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi

ortostatik, serta disfungsi pencernaan.

6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)

Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari GBS. Hal ini ditandai dengan onset akut

oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan

penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun

presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran penting

dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan GBS aksonal,

dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan.13
Tabel 2.2. Klasifikasi SGB

Tipe Gejala Epidemiologi Konduksi Antibodies


Nerveous Antiganglioside
Acute Gejala Umumnya di Polineuropati Tidak ada
Inflammatory sensorik dan Eropa dan demielinisasi hubungan yang
demyelinating kelemahan Amerika jelas
polyneuropathy otot,seringkali utara
dengan
kelamahan
saraf kranial
dan
keterlibatan
saraf otonom
Acute motor Kelemahan Banyak Polineuropati GM1a/b , GD1a
axonal otot terdapat di aksonal & GalNac-GD1a
neuropathy terisolasasi asia dan potensial
tanpa gejala amerika aksi sensorik
sensorik tengah serta normal
kurang dari selatan biasa
10%, di sebut
keterlibatan “Sindrom
saraf kranial lumpuh cina”
jarang terjadi
Acute motor Kelemahan Polineuropati GM1, GD1a
and sensory otot yang aksonal,
axonal sama dengan potensial aksi
neuropathy AMAN tetapi sensoris
dengan berkurang
atau tidak ada
kehilangan
sensorik
Miller Fisher Ataxia, Lebih sering Umumnya GQ1b, GT1a
Syndrome kelemahan otot pria dari pada normal,
mata, areflexia wanita kasus kadang-
tetapi biasanya nya permusim kadang
tidak ada dan rata rta perubahan
kelemahan umur yang diskrit dalam
tungkai kena adalah konduksi
43 tahun sensorik
atau refleks
H terdeteksi
F. Manifestasi Klinik

Trias pada SGB adalah Kelemahan (Parase), kesemutan (Paraesteshia) dan kehilangan

reflex fisiologis (Arefleks), kelemahan ekstremitas bawah dan arflexia adalah tanda atau gejala

penting dalam penegakan diagnosis SGB, lalu proses yang progesif dari mulai hanya hari hingga

dalam 4 minggu, terdapat gejala sensorik ringan seperti kesemutan atau kebas, dan juga

keterlibatan nervus yang mempersarafi otot wajah dapat menjadi Strongly supporting diagnosis of

Guillain barre syndrome.4

Gejala yang lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung jari kaki atau tangan atau

mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan

telapak tangan tidak bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka

kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita

biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta

perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala tahap

berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya : kaki sudah melangkah dan reflek

telah hilang.

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk

menyingkirkan diagnosis-diagnosis lainnya. Diagnosis Guillain Barre Syndrome tergantung pada

pemeriksaan neurologis yang menunjukkan kelemahan motorik yang simetris dan penurunan

refleks otot.

1) Anamnesis

Kelemahan biasanya didahului riwayat infeksi non spesifik saluran pencernaan atau saluran

pernafasan 10 hari yang lalu atau infeksi bakteri seperti Campylobacter jejuni, Mycoplasma
pneumonia. Memakan makanan yang masih mentah, meminum susu yang sudah kadaluwarsa, dan

air minum yang terkontaminasi oleh baketri. West Nile virus juga dapat menyerupai GBS, namun

lebih sering menyerupai polio.Guillain-Barré syndrome juga dapat terjadi karena riwayat vaksin,

seperti vaksin rabies, influenza, poliomyelitis.15

Gejala tambahan seperti kebas dan berkurangnya/hilangnya sensasi nyeri suhu dan raba,

diikuti oleh gejala kelemahan otot. Terkadang berhubungan dengan nyeri pada daerah leher,

punggung, dan pantat. Kelemahan biasanya dimulai pada ekstremitas bawah dan terjadi secara

progresif naik ke atas, dimulai dari ekstremitas bawah, anggota bagian paha, tubuh dan sampai ke

bagian otot-otot pada daerah kepala, atau biasa disebut sebagai “Landry ascending paralysis”.

Kelemahan otot mengenai anggota tubuh secara simetris, namun 9% kasus ditemukan kelemahan

yang asimetris. Onset timbulnya gejala secara berangsur angsur dan terjadi progresifitas dalam

waktu hari-minggu.fase plateau dalam 1-28 hari . Khusus untuk kasus dengan onset yang terjadi

secara tiba-tiba, nyeri tekan dan nyeri pada otot sering terjadi pada fase inisiasi. Kelumpuhan bisa

mengakibatkan anak tidak bisa berjalan dan terparahnya kelumpuhan pada ke-empat ekstremitas

(tetraplegia). Maksimal kelemahan berlangsung selama 4 minggu saat munculnya gejala pertama

kali, lalu berangsur-angsur akan mengalami penurunan. Dysphagia dan kelemahan otot wajah

kadang merupakan tanda tanda awal gagal nafas. Pada fase ini pasien mempunyai risiko aspirasi

karena paralisis dari otot-otot kerongkongan.13

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neurologis lengkap, dari pemeriksaan motoric dan sensorik serta pemeriksaan

nervus cranialis wajib dilakukan. Pada pemeriksaan motorik biasanya didapatkan kelemahan otot

dan penurunan fungsi sensorik, menurun atau hilangnya sensasi rasa nyeri/suhu dan raba getar.

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tendon reflex yang menurun atau menghilang.
Gangguan fungsi otonom dapat mempengaruhi tekanan darah berupa hipotensi postural,

bradycardia atau tachycardia.

3) Kriteria diagnosis

Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological

and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:11

Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

 Terjadinya kelemahan motorik yang progresif pada lebih dari satu ekstremitas. Keparahan

bervariasi, mulai dari kelemahan minimal pada tungkai dengan atau tanpa ataksia ringan,

hingga paralisis total pada keempat ekstremitas dan batang tubuh, paralisis bulbar dan fasial,

dan oftalmuplegia eksternal.

 Hiporefleksi hingga arefleksia. Arefleksia universal adalah batasan yang diharapkan, namun

distal arefleksia dengan hiporefleksbisep dan lutut definit juga boleh digunakan apabila gejala

lain mendukung.

Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis Guillain Barre Syndrom

a. Ciri-ciri klinis

• Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu.

50% mencapai puncak dalam 2 minggu. 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

• Relatif simetris.

• Gejala gangguan sensibilitas ringan

• Gejala saraf kranial kurang lebih 50% terjadi parese N VI dan sering bilateral. Saraf otak

lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang

<5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
• Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai

beberapa bulan

• Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dengan gejala

vasomotor

• Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa

• Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkata pada LP serial

• Jumlah sel CSS <10MN/mm3

• Varian:

- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa

• Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar

kurang 60% dari normal.8

4) Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis GBS, perlu dilakukan menyingkirkan kemungkinan

diagnosis lain yang dapat menyebabkan kelemahan otot yang bersifat akut, seperti hipokalemic

periodic paralysis dan poliomyelitis.


Guillain-Bare Hipokalemic Poliomyelitis
Syndrome periodic paralysis

Onset Jam – Minggu Terjadi pada dekade 24-48 jam dari


pertama kehidupan onset sampai
dan bisa berulang paralisis

Demam saat Jarang Tidak ada Hampir selalu


lemah

Kelemahan Simetris Simetris/asimetris, Asimetris


bisa unilateral,
parsial

Progresifitas Ascending Ascending Descending

Tonus otot Menurun Menurun Menurun

Refleks Hilang Hilang Menurun/hilang


tendon

Sensorik Kebas, seperti Paresthesia Myalgia, tdk ada


kesemutan pada defisit sensorik
telapak kaki/tngn

Lesi VII, IX,X,XI,XII Tidak ada Terkadang


N.Cranialis

Respiratory Pada kasus berat Tidak ada Terkadang


insuffisiensi

Gangguan Pada kasus berat Ada Sangat jarang


otonom

Gangguan 30% kasus, 1-3 hari Tada Sangat jarang


berkemih
CSF Analysis Albumin-Cytologic Normal Peningkatan
dissociation ( <10 Limfosit 10-200 /
sel/mL, tidak mL
pernah >50 sel/mL)

NCV (mgg Penurunankonduksi, Normal Abnormal, 2


ke-3) penurunan,amplitudo mgg pertama
motoric normal

Diagnostic NCV Laboratorium darah Feses


jumlah kalium

Tabel 2.2 Diagnosis banding Guillain-Bare Syndrome.11

5) Pemeriksaan penunjang8,9

Pemeriksaan LCS dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Peningkatan lebih dari

2x baseline dengan kadar glukosa yang normal dan tidak ditemukan adanya pleocytosis. Sejumlah

10 white blood cells/mm3 dapat ditemukan. Kultur bakteri negatif dan kultur virus terkadang pada

kasus yang jarang didapatkan virus spesifik yang terisolasi. Terpisahnya antara protein didalam

LCS dan kurangnya respon sel merupakan nilai diagnostic untuk pasien Guillain-Barré syndrome.

MRI pada medula spinalis dapat diindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti

penebalan pada cauda equina.

Nerve Conduction Velocity mengalami penurunan yang jelas dengan fungsi sensoris yang

menurun. Electromyography didapatkan hasil akut denervasi otot. Serum creatine kinase dapat

mengalami peningkatan atau normal. Antiganglioside antibodies, GM1 dan GD1, terkadang

mengalami peningkatan pada pasien GBS. Biopsi otot tidak diindikasikan karena tidak menunjang

diagnosis.
Serologi test Campylobacter dan Helicobacter dapat membantu menentukan penyebabnya,

namun bukan merupakan pengobatan utama. Pemeriksaan feses jarang postif karena infeksi

biasanya hanya bertahan selama 3 hari saja.

H. Tatalaksana

Immunoglobulin Intravena dan plasmapheresis adalah pengobatan yang efektif dari Sindrom

Guillain Barre, untuk alasan yang praktis IVig adalah pengobatan yang disukai. 10

Pada plasmapheresis, AAN pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa plasmapheresis

mempercepat pemulihan pasien nonambulant yang mendapatkan pengobatan dalam waktu 4

minggu setelah onset, dan plasmapheresis mempercepat pemulihan pasien SGB yang diperiksa

dalam waktu 2 minggu. Plasmapheresis biasanya diberikan dalam satu volume plasma, 50 mL/kg

pada 5 kesempatan terpisah dalam 1-2 minggu. Sedikit lebih banyak komplikasi yang diamati pada

plasmapheresis daripada IVIg. Efek samping plasmapheresis yang signifikan seperti hipotensi,

septicemia, pneumonia,pembekuan yang abnormal dan hipokalsemia. Gangguan

hemostatis ,keadaan kardiovaskular tidak stabil, infkesi aktif, dan kehamilan merupakan

kontraindikasi plasmapheresis.11

IVIg diteliti efektif untuk pasien penderita GBS pada tahun 199, sejak publikasi ini,

IVIg,dalam regimen 0,4 g/kg BB setiap hari selama 5 hari berturut-turut dan sudah di jadikan

pengobatan pilihan di perkotaan dan pusat, terutama karena kenyamanan dan ketersedianya lebih

besar. Tidak ada perbedaan yang ditemukan antara IVIg dan plasmapheresis sehubungan dengan

peningkatan kecacatan setelah 4 minggu. Kombinasi plasmapheresis dan IVIg ataupun IVIg dan

metilprednisolon tidak lebih efektif daripada IVIg tunggal.11


Berdasarkan PERDOSSI, tatalaksana yang diberikan untuk penderita GBS adalah:

❖ Pemberian IVIG 0,4 gram/kg BB/hari selama 5 hari plasma exchange digunakan sebagai lini
pertama pengobatan (Level A)

❖ Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga lebih banyak dipilih
(Level B)

❖ Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat singkat (Level C)

❖ Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasi (Level C)

❖ Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus dipertimbangkan (GPP/Good Practice
Point)

❖ Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas pasien.1


I. Komplikasi dan Prognosis

Meskipun dengan terapi, sekitar 3 persen pasien GBS meninggal dunia. Median lama rawat

inap adalah 7 hari, dan 25% pasien membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik. Prognosis lebih

buruk pada pasien yang tua, dengan gejala yang berat, dan pasien dengan gejala yang sangat cepat.

Masalah neurologis terjadi pada 20% pasien, dimana setengah dari pasien tersebut mengalami

kecacatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama disabilitas adalah berkurangnya respon

motorik, terdapat diare sebelumnya, keterlibatan axon, infeksi Campylobacter jejuni atau

cytomegalovirus, tidak bisa berjalan dalam 14 hari, usia tua, gejala yang berlangsung cepat, dan

keparahan gejala di fase puncak.7,8


Menurut PERDOSSI, prognosis GBS adalah sebagai berikut:

➢ Ad vitam : dubia ad bonam

➢ Ad Sanationam : Dubia ad bonam

➢ Ad fungsionam : dubia ad bonam.1


BAB III

PENUTUP

Menurut Panduan praktik klinik Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia, Guillain

Barre Syndrom adalah penyakit dimana system kekebalan tubuh seseorang menyerang system

saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot,kesemutan dan hilangnya reflex.

Insidensi SGB meningkat sesuai dengan usia (0-6 per 100.000 per tahun pada anak-anak

dan 2-7 per 100.000 per tahun pada lansia usia diatas 80 tahun) dan penyakit ini sedikit lebih

serinng pada jenis kelamin pria dari pada wanita. 2 per 3 pasien dewasa melaporkan gejala

pernapasan atau gastrointestinal sebelumnya, infeksi saluran napas dalam 4 minggu setelah

onset kelemahan.6

Etiologi dari SGB sendiri belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa sakit ini

dipengaruhi oleh system imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan modulasi

imun. Ada bukti bahwa hal ini terjadi karena mimikri molecular pada 2 bentuk SGB, AMAN dan

sindrom Miller Fisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi.2

Immunoglobulin Intravena dan plasmapheresis adalah pengobatan yang efektif dari Sindrom

Guillain Barre, untuk alasan yang praktis IVig adalah pengobatan yang disukai. 10
DAFTAR PUSTAKA

1. Willison, HJ, Jacobs, BC, & van Doorn, PA (2016). Sindrom Guillain-
Barré. The Lancet, 388 (10045), 717-727. doi: 10.1016 / s0140-6736 (16)
00339-1

2. Fujimura, H. (2013). Sindrom Guillain-Barré. Gangguan Saraf Perifer, 383–


402. doi: 10.1016 / b978-0-444-52902-2.00021-7

3. Winer, JB (2014). Pembaruan dalam Sindrom Guillain-Barré. Penyakit


Autoimun, 2014, 1–6. doi: 10.1155 / 2014/793024

4. Verboon, C., van Doorn, PA, & Jacobs, BC (2016). Dilema pengobatan pada
sindrom Guillain-Barré. Jurnal Neurologi, Bedah Saraf & Psikiatri, 88 (4),
346-352. doi: 10.1136 / jnnp-2016-314862

5. Van Leeuwen, N., Lingsma, HF, Vanrolleghem, AM, Sturkenboom, MCJM,


van Doorn, PA, Steyerberg, EW, & Jacobs, BC (2016). Penerimaan Rumah
Sakit, Transfer dan Biaya Sindrom Guillain-Barré. PLOS ONE, 11 (2),
e0143837. doi: 10.1371 / journal.pone.0143837

6. Kuwabara, S. (2004). Guillain-Barre Sindroma. Obat-obatan, 64 (6), 597–


610. doi: 10.2165 / 00003495-200464060-00003

7. Indonesia, P. D. S. S. (2016). Panduan praktik klinis neurologi.Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

8. Departemen Kesehatan Indonesia. 2015. Sindrom Guillain Barre. Jakarta,


Indonesia.

9. Archanna BN, Arun BT, Girish BK, Umamaheswara GSR, Shivaji R. Mortality
in mechanically ventilated patients of guillain bare syndrome. Ann Indian Acad
Neuronal. 2011: 14(4); 262-266

10. van Doorn Pieter A (2018), Current treatment in GBS and MG.4rd Congress of
the European Academy of Neurology,Lisbon Portugal.

11. AK Meena , SV Khadilkar , JMK Murthy,(2011).Pedoman Pengobatan


GBS, Departemen Neurologi, Institut Ilmu Kedokteran Nizam, Hyderabad,
India Departemen Neurologi, Grant Medical College, Mumbai, India Institute
of Neurological Sciences , Rumah Sakit CARE, Hyderabad, India. 14(5),73-81

24
12. van den Berg, B., van der Eijk, A. A., Pas, S. D., Hunter, J. G., Madden, R. G.,
Tio-Gillen, A. P., ... & Jacobs, B. C. (2014). Guillain-Barre syndrome
associated with preceding hepatitis E virus infection. Neurology, 82(6), 491-
497.

13. Walling, A. D., & Dickson, G. (2013). Guillain-Barré Syndrome.American


family physician, 87(3).

14. Pithadia, A. B., & Kakadia, N. (2010). Guillain-Barré syndrome (GBS).


Pharmacological reports, 62(2), 220-232.

25

Anda mungkin juga menyukai