Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, ditandai
oleh inflamasi paru akibat proses di paru baik secara langsung (pulmoner) maupun
tidak langsung (ekstrapulmoner). Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
adalah salah satu penyakit paru akut yang memerlukan perawatan di intensive care
unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.

Kondisi ARDS adalah suatu keadaan gagal napas yang ditandai dengan
hipoksemia berat, compains paru yang buruk dan infitrat difus pada pemeriksaan
radiologi; edema karena gagal jantung dapat disingkirkan (walaupun pada
kenyataannya sangat sulit keadaan ini). Kondisi ARDS dikenal sebagai manifestasi
atau bagian dari suatu inflamasi sistemik seperti SIRS. Karena definisi ARDS
sesungguhnya tidak spesifik. Terdapatnya infiltrat yang bilateral pada paru dapat
pula disebabkan oleh berbagai hal seperti paeumonia, kontusio paru, trauma dada,
aspirasi, kelainan autoimun, inhalasi, perdarahan intrapulmonum, dan kondisi non
pulmonum. Penyebab yang bermacam-macam ini sama seperti terapinya yang juga
beraneka ragam. Kelainan paru yang ada dapat merupakan gambaran klinik yang
paling menonjol, tetapi dapat juga secara klinis lebih jelas disfungsi organ di luar
paru.

Saat ini disepakati bahwa ARDS merupakan keadaan akhir yang paling parah
dari spectrum acute lung injury sebagai suatu dampak dari pertukaran gas yang
buruk. Dalam hal ini perlu dicari penyakit yang mendasarinya baik langsung
maupun tak langsung. Diagnosis ARDS sering terlambat karena tingkat kesadaran
klinisi yang masih rendah terutama pada pasien dengan ARDS ringan sehingga
perlu adanya perbaikan dalam pengelolaan pasien ARDS. Beberapa studi kohort di
luar negeri menunjukkan mortalitas pasien ARDS berkisar antara 32-45 % dengan
masalah nonrespirasi sebagai penyebab kematian pada pasien ARDS masih sulit
disingkirkan.

1
Secara garis besar pengobatan ditujukan pada 2 hal yaitu targeted treatment
(bila memungkinkan) dan kedua adalah nontargeted treatment (biasanya
memungkinkan). Baru- baru ini dikemukakan bahwa pengobatan yang terbaik bagi
penderita ARDS adalah terapi suportif diantaranya meliputi antikoagulan karena
sampai saat ini tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan permiabilitas
membran kapiler alveolar yang rusak

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Acute lung injury ditandai oleh inflamasi paru yang menetap pada membran
kapiler alveolar sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan
selanjutnya menyebabkan edema paru serta atelektasis tanpa adanya tanda gagal
jantung kiri. ARDS adalah kelainan yang bersifat sangat progresif, awalnya
bermanifestasi kondisi sebagai sesak napas (dyspneu dan tachypneu) yang
kemudian dengan cepat berubah menjadi gagal napas. Pada klasifikasi oleh AECC,
ALI dibagi menjadi beberapa derajat, dan ARDS merupakan ALI dengan derajat
berat. Baik ALI maupun ARDS merupakan suatu kumpulan gejala atau "sindrom"
yang dapat disebabkan oleh banyak hal. Patofisiologi keduanya yang menunjukkan
cedera paru dengan gambaran klinis yang serupa, membuat banyak ahli
mempelajarinya sebagai satu kesatuan.
American European Concencus Conference Committee (AECC) pada tahun
1994. Merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang
terdiri dari empat komponen di bawah ini yaitu hipoksemia (tekanan oksigen parsial
arteri terhadap fraksi oksigen yang diinspirasi [Pao/Fio,] 200 mmHg) dengan onset
yang akut disertai dengan infiltrat bilateral pada foto toraks tanpa bukti hipertensi
atrium kiri. Bentuk yang lebih ringan dari ARDS disebut ALI (acute lung injury)
karena ALI merupakan prekursor ARDS. Definisi dari AECC ini digunakan secara
luas oleh klinisi dan peneliti, akan tetapi terdapat beberapa batasan yang dijumpai
sehingga definisi ini kembali di revisi

B. ETIOLOGI
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan dalam gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan factor resiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik
terhadap parenkim paru dan merupakan factor resiko terbesar terjadinya ARDS.

3
Orang yang berisiko terkena ARDS adalah mereka yang berisiko atau
memiliki penyakit-penyakit mendasar yang terkait dengan sindrom tersebut. Yang
paling umum adalah sepsis, infeksi parah yang menyebar ke seluruh tubuh melalui
aliran darah. Korban trauma dan mereka yang aspirasi isi lambung ke paru-paru
juga berisiko tinggi terkena ARDS. Penyebab yang kurang umum dari cedera
langsung adalah penghirupan gas beracun konsentrasi tinggi, yang dapat terjadi
dengan penghirupan asap yang parah dan dalam kecelakaan industri.

Tabel 1. Faktor resiko umum penyebab ARDS/ALI

4
C. PATOGENESIS
Sebagian dari etiologi ARDS tidak diketahui dengan jelas. Walaupun saat
ini beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli tetapi mekanisme yang
sesungguhnya masih belum jelas.Hingga saat ini, konsep utama patogenesis ARDS
masih berpusat pada kerusakan epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular.
Secara umum ada 2 mekanisme yang mendasari kejadian ARDS yaitu
stimuli langsung seperti inhalasi zat beracun, aspirasi dari cairan lambung, dan
trauma toraks. Semua keadaan ini akan menyebabkan pelepasan berbagai mediator
seperti TNFa, NO, dan PMN yang akan merusak parenkim paru. Baru-baru ini suatu
penelitian bahwa penderita yang sering kontak dengan tembakau dan alkohol
mendapat kemudahan menderita ARDS. Penyakit dasar kelainan paru seperti
emfisema, asma, bronkitis kronik dapat bertindak sebagai penyebab maupun
sebagai predictor negatif terhadap morbiditas dan mortalitas ARDS
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I
dan sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I
berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit
tipe I adalah pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit
tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai
aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih
resisten terhadap kerusakan.
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan
pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar
dan kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Kerusakan epitelium
alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan
menyebabkan fibrosis.
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists,
soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-
8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar. Perubahan patofisiologi yang terjadi
pada ARDS adalah edema paru interstistial dan penurunan kapasitas residu
fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus.

5
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam
jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga
alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak
mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga
paru menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu :
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan
epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai
sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.

6
(a) Fase Alveolus normal; (b) Fase Eksudatif: (c) Fase Proliferatis; (d) Fase
Fibrotik pada pathogenesis ARDS

D. DIAGNOSIS
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang menjadi
faktor risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi
kasar yang jelas dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respons
dengan pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian besar
kasus disertai dengan mutiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang
umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan saluran cerna
seperti perdarahan saluran cerna

7
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:

 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),


hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis
respiratorik pada proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis
respiratorik.
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis),
anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel,
peningkatan kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab
ARDSnya)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular
disseminata yang merupakan bagian dari MODS.5

Radiologi : Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang
difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran
confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung. Dari CT scan tampak
pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine).

E. DIAGNOSIS BANDING
F. PENATALAKSANAAN

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom metabolik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan skizofrenia, dengan tingkat prevalensi dua kali lipat dari populasi
nonpsikiatri.
Salah satu yang menjadi etiologi dalam sindroma metabolik yaitu
penggunaan antipsikotik yang ditinjau dari mekanisme kerja obat dan menyebabkan
terjadinya keadaan sindrom metabolik.

8
Mekanisme dimana obat antipsikotik dapat menyebabkan sindrom
metabolik adalah sebagai berikut: antagonisme reseptor histamin-1 (H1) ,
antagonisme reseptor Serotonin-2C (5HT-2C), antagonisme reseptor Muskarinik-3
(M3). Jika reseptor yang disebut diblok maka akan menyebabkan peningkatan nafsu
makan, gangguan pada regulasi insulin yang selanjutnya peningkatan berat badan
akan mempermudah terjadinya obesitas dan diabetes melitus serta penyakit
kardiovaskuler dan inilah yang disebut metabolic highway.
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kesadaran yang lebih besar di antara
psikiater tentang kejadian Sindroma metabolic pada pasien dengan penggobatan
menggunakan antipsikosis atipikal, termasuk kebutuhan untuk penilaian sistematis
efek samping ini pada pasien yang menerima terapi antipsikotik.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai