Tugas Anfisman

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

TUGAS ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA

BRONKOPNEUMONIA

Disusun oleh :

Andhika Megantara (3311141006)

Ahmad Saeful Muluk (3311151169)

Fakultas Farmasi

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
PENDAHULUAN

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru-paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi
(Bennete, 2013) :
1. Pneumonia lobaris.
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis).
3. Bronkopneumonia.

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian
bawah yang sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas
bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia.
Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh
karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak (Bennete, 2013).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan


pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi
yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi
sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi
bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan
orang dewasa.

DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru-paru yang


melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013). Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non- infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al.,
2011).

EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika,
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).

ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia (Bradley et.al., 2011) :

1. Faktor Infeksi.
a. Pada neonatus: Streptococcus grup B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
b. Pada bayi:
i) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
dan Cytomegalovirus.
ii) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis dan Pneumocytis.
iii) Bakteri: Streptococcus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, dan Bordetella pertusis.
c. Pada anak-anak:
i) Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, dan RSV.
ii) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia.
iii) Bakteri: Pneumococcus dan Mycobakterium tuberculosis.
d. Pada remaja:
i) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia dan
C.trachomatis.
ii) Bakteri: Pneumococcus, Bordetella pertusis, dan
M.tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi:
a. Bronkopneumonia hidrokarbon: Terjadi karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti
pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat pemasukan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum.
Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak
yang terinhalasi. Jenis minyak hewani yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat merusak contohnya seperti, susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

KLASIFIKASI

Klasifikasi pneumonia pada umumnya berdasarkan anatomi dan etiologi.


Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan
etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley
et.al., 2011) :

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru.


a. Pneumonia lobaris.
b. Pneumonia interstitialis.
c. Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi.
a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumonia (CAP)).
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia).
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab.
a. Pneumonia bakteri.
b. Pneumonia virus.
c. Pneumonia mikoplasma.
d. Pneumonia jamur.
4. Berdasarkan karakteristik penyakit.
a. Pneumonia tipikal.
b. Pneumonia atipikal.
5. Berdasarkan lama penyakit.
a. Pneumonia akut.
b. Pneumonia persisten.

PATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim


paru-paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi IgA lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya
infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme
pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan
pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru-paru menimbulkan konsolidasi eksudatif


jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intraalveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi
neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan
menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran
darah yamg melewati paru-paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya
pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan desaturasi oksigen yang menyebabkan
peningkatan kerja jantung.

Stadium berikutnya diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi


progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Resolusi konsolidasi terjadi
setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya
direabsorbsi dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan
meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.
Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan
menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete,
2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti).


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru-paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru-paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida, maka
mempengaruhi perpindahan gas dalam darah dan mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya).
Disebut hepatisasi merah. Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh host sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru-paru
menjadi merah. Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga penderita akan bertambah sesak. Stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya).
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru-paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang rusak dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus
masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya).
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

MANIFESTASI KLINIK

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi


saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
Penderita sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan
cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit, penderita akan mendapat batuk setelah beberapa
hari di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif
(Bennete, 2013).

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia


ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013) :
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,
interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping
hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan
intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi
tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah
terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,
dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Sebaliknya, ruang interkostal
yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura semakin positif.
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir di mana jaringan ikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan


fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda adanya sumbatan
jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”,
yang dapat diamati dengan jelas ketika penderita beristirahat dengan
kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada
tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya
kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya


distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal, contohnya pada kondisi nyeri dada. Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas
atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru-paru (kolaps paru atau atelektasis) maka transmisi
energi vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan.
4. Pada auskultasi ditemukan crackles nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret


jalan napas atau jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan


corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir
lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete,
2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Jumlah


leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada penghitungan jumlah leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi
mikroorganisme dari paru-paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga
tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,


2011) :
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada.
2. Demam.
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles).
4. Foto thorax, menunjukkan gambaran infiltrat difus.
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam


rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri


dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley
et.al., 2011).

1. Penatalaksaan Umum.
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus.
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu
tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan: amoksisilin 10-25
mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi
dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi:

1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit.
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis.
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari.

Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus


dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman
yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok
usia.

1. Neonatus dan bayi < 2 bulan.


a. Ampicillin + aminoglikosid.
b. Amoksisillin - asam klavulanat.
c. Amoksisillin + aminoglikosid.
d. Sefalosporin generasi ke-3.
2. Bayi dan anak (2 bulan sampai 5 tahun).
a. Beta laktam amoksisillin.
b. Amoksisillin - asam klavulanat.
c. Golongan sefalosporin.
d. Kotrimoksazol.
e. Makrolid (eritromisin)
3. Anak > 5 tahun.
a. Amoksisillin atau makrolida (eritromisin, klaritromisin, azitromisin).
b. Tetrasiklin pada anak usia > 8 tahun.

Penggunaan antibiotik harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat,


minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau
tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam, diganti dengan
antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga
(sebelumnya perlu dipastikan dahulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,
abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
DAFTAR PUSTAKA

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.


http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (9 Marert 2013).

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age:
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7) : 617-630. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Penerbit IDAI.

Anda mungkin juga menyukai