Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Problem-Based Learning (PBL)

2.1.1 Definisi Problem-Based Learning (PBL)

Konsep Problem-Based Learning (PBL) atau pembelajaran


berbasis masalah (PBM) didasarkan pada hasil penelitian Barrow dan
Tamblyn pada tahun 1980 dan pertama kali diimplementasikan pada
sekolah kedokteran di McMaster University Kanada tahun 1986
(Lidinillah, 2013). PBL adalah suatu metode pembelajaran berbasis
masalah yang berpusat pada mahasiswa. Konsep PBL dirancang untuk
membantu mahasiswa agar dapat mengembangkan keterampilan
berfikir dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah. Mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk
memecahkannya. Masalah-masalah ini akan merangsang mahasiswa
untuk mengeksplorasi berbagai sumber tentang ilmu-ilmu dasar
maupun klinis yang dibutuhkan (McKee nora, D’Eon Marcel, 2013).

Landasan teori dari PBL adalah kolaborativisme, dimana dalam


setiap kegiatan pembelajaran mahasiswa akan menyusun pengetahuan
dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah
dimiliki dan dari hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu
dalam kelompok diskusi (Lidinillah, 2013). Dengan analisis yang
dimiliki oleh masing-masing individu, masalah yang menjadi fokus
pembelajaran dapat diselesaikan dengan kontribusi yang khas pada
setiap kelompok. Sehingga mahasiswa memperoleh pengalaman belajar
yang beragam dengan metode ini, seperti kerjasama dan interaksi dalam
kelompok. Mahasiswa juga berlatih menggunakan bahasa-bahasa
kedokteran, mengevaluasi ide-ide yang diutarakan, dan menerima
umpan balik dari teman dan dosen (Dent J, 2013).
2.1.2 Tujuan Metode Problem-Based Learning (PBL)

Tujuan dari penerapan metode PBL secara umum ada tujuh, yaitu
mengembangkan keterampilan belajar mahasiswa melalui masalah atau
kasus, mengembangkan kemampuan belajar mandiri mahasiswa,
mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis dan
analisis serta menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengembangkan
keterampilan bekerja sama dalam kelompok, mengembangkan
keterampilan komunikasi mahasiswa baik verbal maupun tertulis,
mengembangkan keterampilan menggunakan content knowledge dan
intelectual skill yang diperoleh (Program Dasar Pendidikan Tinggi
Universitas Indonesia, 2012).

2.1.3 Karakteristik Problem-Based Learning (PBL)

Berdasarkan teori PBL yang dikembangkan Barrow tahun 1980,


Min Liu pada tahun 2005 menjelaskan karakteristik dari PBL, yaitu :

a. Learning is student centered


Proses pembelajaran dalam PBL lebih berpusat kepada mahasiswa
sebagai pembelajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori
konstruktivisme dimana mahasiswa dilatih untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b. Authentic problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada mahasiswa adalah masalah yang
otentik sehingga mahasiswa dengan mudah dapat memahami dan
menerapkannya dalam kehidupan profesinya nanti.
c. New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah dalam diskusi, mungkin saja
mahasiswa belum mengerti dan memahami masalah yang disajikan,
sehingga mahasiswa akan berusaha untuk mencari sendiri
pemecahan masalah yang disajikan melalui sumber-sumber yang
ada, baik dari buku atau sumber informasi dari lainnya.
d. Learning occurs in small groups
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pikiran dalam usaha
membangun pengetahuan secara kolaborativ, maka dalam metode
PBL pembelajaran dilakukan mahasiswa dalam kelompok kecil.
Kelompok diskusi yang dibuat menuntut setiap mahasiswa untuk
menganalisis serta memecahkan masalah yang disajikan dengan
mendengar dan mengutarakan pengetahuan yang dimiliki.
e. Teachers act as facilitators
Dalam metode PBL, dosen/pengajar hanya berperan sebagai
fasilitator. Namun, dosen harus selalu memantau perkembangan
aktifitas mahasiswa dalam pembelajaran serta mendorong
mahasiswa untuk mencapai taget yang ditentukan (Liu, 2005).

2.1.4 Prinsip Problem-Based Learning (PBL)

Metode pembelajaran problem-based learning (PBL) memiliki


empat prinsip penting, yaitu :

1. Learning should be a constructive process


Pembelajaran merupakan suatu proses dimana mahasiswa secara
aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Mahasiswa tidak
lagi secara pasif mendapatkan pengetahuan melalui perkuliahan satu
arah oleh dosen (one-way lecture). Mereka diharapkan memahami
suatu teori berdasarkan pengalaman dan interaksi lingkungan
sekitar.
2. Learning should be a self directed process
Dalam proses pembelajaran, mahasiswa memiliki tanggung jawab
mulai dari perencanaan, monitoring dan evaluasi proses belajar
mereka sendiri. Mahasiswa dituntut untuk dapat menentukan dan
mencapai tujuan belajar mereka sendiri. Termasuk menentukan
strategi belajar yang dianggap cocok dan menemukan kemungkinan
kelemahan yang dapat menghambat keberhasilannya dalam
mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan. Dalam hal
monitoring dan evaluasi, mahasiswa dituntut untuk dapat
mengevaluasi pencapaian apa saja yang sudah ia dapatkan dan
tindakan apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi berbagai
kekurangannya.
3. Learning should be a collaborative process
Dalam diskusi tutorial, mahasiswa didorong untuk berinteraksi antar
individu, melalui interksi dengan sesama anggota kelompok,
mahasiswa diharapkan mampu untuk saling memberikan suatu
pemahaman baru tentang suatu permasalahan yang disajikan.
4. Learning should be a contextual process
Proses pembelajaran dengan metode pembelajaran PBL akan
memfasilitasi mahasiswa untuk dapat belajar dengan permasalahan
yang bersifat nyata, yaitu masalah-masalah yang akan sering
mereka jumpai pada saat pendidikan klinik dan pada saat mereka
menjadi dokter (Fitri, 2014).

2.1.5 Pelaksanaan Problem-Based Learning (PBL)

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan kurikulum


yang telah banyak digunakan oleh fakultas kedokteran di Indonesia,
termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Abdurrab (FK Univrab)
yang merupakan satu-satunya institusi pendidikan dokter perguruan
tinggi swasta di Provinsi Riau dalam naungan Yayasan Universitas
Abdurrab (Valzon et al., 2018). Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) sendiri menggunakan metode pembelajaran berupa Problem-
Based Learning (PBL). Dalam Konsil Kedokteran Indonesia tahun
2012 sistem kurikulum yang digunakan harus dilaksanakan dengan
pendekatan atau strategi Student-Centered, Problem-Based, Integrated,
Community Based, Elective, Systematic (SPICES) (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2012).
Pada tahun 1984, harden dkk memulai konsep pendekatan SPICES
ini, yang kemudian banyak dipraktekkan dan di kembangkan dalam
dunia pendidikan kedokteran sampai saat ini. SPICES merupakan
gambaran komponen pembelajaran untuk menerapkan metode PBL.

Student-Centered berarti pembelajaran yang berorientasi pada


aktifitas mahasiswa. Mahasiswa adalah subjek yang secara aktif belajar
membangun pemahamannya melalui pengalaman yang telah dimiliki
serta pengalaman yang baru saja ditemukan.

Problem Based berarti pembelajaran dimulai dengan masalah yang


aktual dan otentik. Melalui suatu masalah, siswa akan mempelajari
konsep/teori sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian,
mahasiswa tidak hanya mendapatkan hasil (jawaban) tetapi juga
mengerti proses mendapatkan hasil (bagaimana memecahkan masalah).

Integrated bertujuan membantu mahasiswa mencapai tujuan


pembelajaran yang saling terkait. Mahasiswa dituntut untuk mampu
menghubungkan dan mengintegrasikan ilmu yang diperoleh sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.

Community Based berarti pendidikan harus berorientasi pada


kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, strategi pembelajaran SPICES
mengambil masalah aktual dan otentik yang terjadi dimasyarakat
sebagai triger untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna.

Electives bertujuan memberikan ruang kepada mahasiswa yang


memiliki karakteristik yang beragam. Pembelajaran inovatif harus
memperhatikan karakteristik setiap mahasiswa. Sebagai subjek,
mahasiswa dapat menentukan kapan dan dengan cara apa ia belajar.
Dosen bertindak sebagai sumber belajar, tutor, konselor, evaluator, dan
pembicara motivasi.
Systematic berarti mahasiswa harus belajar dan menguasai ilmu
secara sistematis, sebab substansi materi pelajaran umumnya hirarki.
Suatu materi kadang membutuhkan bahan lain sebagai prasyarat. Setiap
langkah prosedural merupakan prasyarat untuk langkah selanjutnya.
Dengan demikian, belajar secara sistematis dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Maharani and Laelasari,
2017).

2.2 Self-Directed Learning (SDL)

2.2.1 Definisi Self-Directed Learning (SDL)

Banyak artikel penelitian yang mencoba untuk menguji berbagai


aspek dari Self-Directed Learning, hanya beberapa dari artikel tersebut
memberikan definisi independen dan deskripsi konsep yang
menyeluruh.

Menurut Shokar, et al. (2002) Self-Directed Learning dianggap


sebagai pembelajaran seumur hidup yang sangat dibutuhkan oleh
mahasiswa kedokteran, sebab dengan pembelajaran seumur hidup
mahasiswa dapat terus-menerus mencari dan memperbaharui ilmu yang
mereka miliki.

Menurut Hendry dan Ginns (2009) Self-Directed Learning adalah


sebuah proses pengambilan keputusan sendiri oleh mahasiswa untuk
menentukan kadar kedalaman dan keluasan pembelajaran yang sedang
mereka jalani.

Teo dan Gey (2006) merujuk konsep Abdullah (2001)


mengemukakan bahwa Self-Directed Learning adalah kegiatan
pembelajaran yang berlangsung atas inisiatif dari mahasiswa itu sendiri.
Pendapat mereka lebih menekankan pada Self-management dan Self-
Monitoring yang mengindikasikan bahwa mahasiswa adalah
penanggung jawab sekaligus pengatur pembelajaran mereka sendiri.
Williamson (2007) mendefinisikan Self-Directed Learning sebagai
proses pembelajaran dimana mahasiswa mengambil tanggung jawab
dan mandiri dalam proses pembelajaran, definisi ini merujuk penelitian
Knowles (1975) yang menyatakan bahwa Self-Directed lerning adalah
sebuah proses ketika individu mengambil inisiatif untuk belajar dengan
atau tanpa bantuan orang lain (Dehnad et al., 2014).

2.2.2 Aspek-aspek Self-Directed Learning (SDL)

Menurut Gibbons (2002) aktivitas dan program Self-Directed


Learning berdasarkan atas lima aspek dasar yang menjadi elemen
penting, yaitu :

1. Mahasiswa mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi.


Hal ini menunjukkan bahwa kontrol segala macam hal yang
berhubungan dengan pencapaian target belajar di ambil alih oleh
mahasiswa sendiri. Mahasiswa membentuk pendapat dan ide,
membuat keputusan, memilih aktifitas serta mengambil tanggung
jawab untuk diri mereka sendiri. Pengajar memberikan mahasiswa
tugas untuk mengembangkan pembelajaran mereka,
mengembangkan mereka secara individual, dan membantu mereka
untuk berlatih menjadi peran yang lebih dewasa. Self-Directed
Learning tidak hanya membuat mahasiswa belajar secara efektif
tetapi juga membuat siswa menjadi diri mereka sendiri.
2. Perkembangan keahlian
Kontrol yang telah dimiliki mahasiswa dalam pembelajarannya
tidak akan memiliki tujuan kecuali jika mahasiswa belajar untuk
fokus dan menerapkan talenta dan kemampuan mereka. Self-
Directed Learning menekankan pada perkembangan keahlian dan
proses menuju aktifitas produktif. Mahasiswa belajar untuk
mencapai hasil program, berfikir secara mandiri serta merencanakan
dan melaksanakan aktifitas mereka tentukan sendiri. Mahasiswa
mempersiapkan lalu berunding dengan pengajar. Hal ini
dimaksudkan untuk menyediakan kerangka yang memungkinkan
mahasiswa untuk mengidentifikasi minat mereka dan membekali
mereka untuk meraih kesuksesan.
3. Mengubah diri pada kinerja yang paling baik
Self-Directed Learning dapat gagal tanpa tantangan yang diberikan
kepada mahasiswa. Pertama, pengajar memberikan tantangan
kepada mahasiswa, lalu pengajar menantang kepada mahasiswa
untuk menantang diri mereka sendiri. Tantangan ini memerlukan
pencapaian sebuah level kinerja/performansi yang baru dalam
sebuah tempat yang familiar atau sebuah tempat yang diminati.
Menantang diri sendiri berarti mengambil resiko untuk keluar dari
sesuatu yang mudah dan familiar.
4. Manajemen diri mahasiswa
Dalam Self-Directed Learning, pilihan dan kebebasan dihubungkan
dengan kontrol diri dan tanggung jawab. Mahasiswa belajar untuk
mengekspresikan kontrol dirinya dengan mencari dan membuat
komitmen, minat dan aspirasi. Self-directed Learning memerlukan
keyakinan, keberanian, dan keuletan untuk menerapkannya. Dengan
menerapkan hal itu mahasiswa akan menjadi ahli untuk mengatur
waktu, usaha dan sumberdaya yang mereka butuhkan. Dalam
menghadapi hambatan, mahasiswa belajar untuk menghadapi
kesulitan mereka, menemukan alternatif, dan memecahkan masalah
mereka dalam rangka untuk menjaga produktifitas yang efektif.
Kombinasi dari kontrol yang bersumber dari dalam diri mahasiswa
dan keahlian kinerja akan menghasilkan kemampuan memanajemen
diri dalam Self-Directed Learning dengan baik.
5. Motivasi diri dan penilaian diri
Banyak prinsip dari motivasi yang dibangun untuk self-Directed
Learning, seperti mencapai tujuan atau minat yang tinggi. Ketika
mahasiswa menggunakan prinsip ini, maka dirinya menjadi elemen
utama dari motivasi tersebut. Dengan mengatur tujuan penting
untuk diri mereka, menyusun feedback untuk pekerjaan mereka, dan
mencapai kesuksesan, mereka belajar untuk menginspirasikan usaha
mereka sendiri. Persamaanya, mahasiswa akan belajar untuk
mengevalusai kemajuan diri mereka sendiri, mereka menilai
kualitas dari pekerjaan mereka dan proses yang didesain untuk
melakukannya. Dalam Self-Directed Learning, penilaian merupakan
hal yang penting dari belajar dan mahasiswa harus belajar
bagaimana mempelajarinya (penilaian diri). Mahasiswa sering
memulai evaluasi diri dalam belajar dengan meminta pendapat
pengajar tentang sebuah deskripsi standar sesuatu yang akan mereka
capai. Pada intinya, penilaian diri sangat memotivasi mahasiwa
untuk mencari prestasi terbaik yang mungkin terjadi untuk diraih
(Gibbons, 2002).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Directed Learning (SDL)

Mahasiswa yang berhasil dalam proses pembelajaran dengan


pendekatan Self-Directed Learning adalah mereka yang memiliki
inisiatif, mandiri, dan gigih dalam belajar. Lebih lanjut mereka
bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri, memandang masalah
sebagai suatu tantangan, memiliki rasa keingintahuan, dan disiplin.
Mereka mampu mengkombinasikan kepercayaan diri dan keinginan
yang kuat untuk belajar, mengorganisasi waktu, mengatur kecepatan
belajar, memiliki perencanaan, menikmati belajar, dan berorientasi pada
tujuan yang ingin dicapai (Guglielmino, 2008).

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan Self-


Directed Learning seseorang, yaitu faktor yang terdapat didalam
dirinya (internal) dan faktor-faktor yang terdapat diluar dirinya
(eksternal). Faktor internal antara lain : jenis kelamin, cara belajar yang
digunakan, usia, suasana hati yang baik dan kesehatan, itelegensi,
pendidikan, dan pengalaman. Sedangkan faktor eksternal antara lain :
waktu belajar, tempat belajar, motivasi belajar, pola asuh orang tua,
aksesibilitas sumber belajar, tahun masuk universitas (Sugianto and
Lisiswanti, 2016).

2.2.3.1 Faktor internal

1. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang dapat


mempengaruhi Self-Directed Learning, adanya perbedaan biologis
antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan pada hal-hal
dibawah ini, yaitu :

a. Prestasi sekolah, perempuan dinilai lebih konsisten dari pada


laki-laki, kenyataan bahwa secara konsisten wanita mengerjakan
tugas verbal lebih baik, telah menempatkan perempuan di tempat
teratas dalam prestasi sekolah.
b. Kemampuan intelektual, kemampuan intelektual wanita secara
konsisten dianggap lebih tinggi daripada pria. Hal ini dilihat dari
beberapa test kemampuan dan bakat.

2. Cara belajar

Mahasiswa harus mengetahui cara belajar yang cocok untuk dirinya


sendiri, dengan mengetahui metode belajar yang tepat untuk dirinya,
mahasiswa akan lebih cepat memahami sesuatu yang dipelajarinya.

3. Usia

Individu dengan usia yang lebih tua dinilai lebih berpengalaman,


memiliki kemampuan, dan berkemauan dalam menjalani proses
belajar dengan pendekatan Self-Directed Learning. Sedangkan
individu dengan usia lebih muda cenderung bermain-main dalam
proses belajar, sehingga kurang berkonsentrasi dalam pembelajaran.
4. Suasana hati yang baik dan kesehatan
Suasana hati yang baik/mood dan kesehatan dianggap sangat
berpengaruh dalam keberhasilan proses Self-Directed Learning,
sebab mood dan kesehatan yang baik dapat meningkatkan keinginan
mahasiswa dalam belajar secara mandiri. Mood adalah salah satu
gejala utama dari respon tubuh yang dapat mempengaruhi fisik
maupun psikis seseorang.
5. Intelegensi
Sikap intelegensi dapat mengembangkan sikap kritis terhadap sikap-
sikap yang datang dari lingkungannya, mampu meningkatkan
adanya kontrol diri terhadap prilakunya terutama unsur-unsur
kognitif (mengetahui, menerapkan, menganalisa, mensintesa dan
mengevaluasi) dan juga afektif (menerima, menanggapi,
menghargai, membentuk, dan berpribadi), dan mampu melakukan
segala pekerjaan secara bebas tanpa pengaruh dari orang lain.
Sehingga intelegensia individu sangat berpengaruh dalam
pembentukan sikap belajar mandiri.
6. Pendidikan
Seorang yang berpendidikan seharusnya dapat lebih mengenali
dirinya sendiri, termasuk mengenali kelebihan dan kekurangan yang
ada didalam dirinya. Dengan mengetahuai kelebihan yang dimiliki,
seseorang dapat mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya
untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan dengan mengetahui
kekurangannya, seseorang akan dapat dengan cepat mendapatkan
solusi untuk mengatasi hambatan yang dihadapinya.
7. Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik, begitu pula dalam proses
pembelajaran, seseorang yang memiliki pengalaman gagal dalam
suatu proses belajar akan mencoba menemukan cara yang tepat
untuk mencapai keberhasilan di kesempatan belajar berikutnya,
sehingga pengalaman kegagalan tersebut tidak terulang kembali.
2.2.3.2 Faktor eksternal
1. Waktu belajar
Tidak optimalnya proses Self-Directed Learning dapat disebabkan
karena individu yang tidak dapat mengatur waktunya dan tidak dapat
memprioritaskan hal penting yang akan dikerjakan lebih dahulu.
2. Tempat belajar
Tempat belajar yang nyaman memberikan perasaan yang lebih baik
untuk berkonsentrasi dan dengan konsentrasi yang tinggi mahasiswa
dapat dengan mudah menerima ilmu yang dipelajari.
3. Motivasi belajar
Motivasi belajar adalah kekuatan yang menyebabkan mahasiswa
terlibat dalam suatu proses pembelajaran, fokus pada tujuan belajar,
dan mengerjakan tugas belajar. Motivasi dalam belajar dibagi
menjadi dua, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi
ekstrinsik terjadi karena adanya dorongan dari luar diri, contohnya
seperti ujian, nilai dan penghargaan dari orang lain. Sedangkan
motivasi intrinsik terjadi karena adanya kesadaran individu untuk
belajar, sebagai tanggung jawab terhadap pengetahuan pribadi..
4. Pola asuh orang tua
Keluarga terutama ibu dan ayah merupakan tempat pendidikan anak
yang pertama dan utama, sehingga orantua menjadi orang pertama
yang mempengaruhi, mengarahkan, dan mendidik anaknya. Tumbuh
kembang kepribadian anak tergantung pada pola asuh orang tua yang
diterapkan dalam keluarga. Pola asuh yang baik dalam bidang
pendidikan dapat membantu anaknya dalam membiasakan diri dalam
belajar sehari-hari.
5. Aksesibilitas sumber belajar
Terbatasnya akses sumber dalam belajar akan membatasi peluang
kesuksesan proses Self-Directed Learning pada mahasiswa. Sebab,
dalam proses pembelajaran secara mandiri dibutuhkan banyak
sumber yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk membangun
pengetahuan yang lebih baik (Aruan, 2013).
6. Tahun masuk universitas
Mahasiswa yang memasuki universitas lebih cepat mempunyai
kesiapan Self-Directed Learning lebih tinggi dibandingkan
mahasiswa yang baru memasuki universitas. Beberapa penilitian
telah menyebutkan bahwa kesiapan Self-Directed Learning pada
mahasiswa meningkat setiap penambahan semester yang dilalui
(Nyambe, Harsono and Rahayu, 2016).
2.2.4 Pengukuran Slef-Directed Learning
Salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat Self-Directed Learning adalah menggunakan Self
Directed Learning Readiness Scale (SDLRS) yang dikembangkan Lucy
M. Guglielmino pada tahun 1977 (Soliman, 2015). Pada tahun 2001
Fisher et al pertama kali mengadaptasinya kedalam bahasa inggris.
Kesiapan belajar mandiri atau Self Directed Learning Readiness
diketahui dari nilai total skor yang diperoleh dari hasil pengisian
SDLRS. Skor penilaian terdiri dari 40 item yang terdiri dari tiga
komponen, yaitu manajemen diri (self management) sebanyak 13 item,
keinginan untuk belajar (desire for learning) sebanyak 12 item, dan
kontrol diri (self control) sebanyak 15 item (Fisher et al, 2001).
SDLRS ini dirancang untuk mengukur sejauh mana seseorang
memiliki ketrampilan dan sikap-sikap yang sering dikaitkan dengan
kemandirian dalam belajar (Ambarsarie, Erlinawati and Triana, 2016).
Oleh karena itu, peneliti memilih SDLRS sebagai instrumen yang
digunakan dalam pengukuran tingkat kesiapan belajar mandiri atau Self-
Directed Learning Readiness (SDLR) mahasiswa program studi
pendidikan dokter Universitas Abdurrab Pekanbaru.
2.3 Kerangka teori

Mood & kesehatan


Jenis kelamin Usia

Intelegensi Cara belajar

Pendidikan Faktor internal Pengalaman

Self Directed Learning Readiness

Tempat belajar Waktu belajar


Faktor eksternal
Tahun masuk Motivasi
universitas belajar
Aksesibilitas Pola asuh
sumber belajar orang tua
Tahun pertama
Keterangan :
Tahun kedua
Diteliti
Tahun ketiga Tidak diteliti

2.4 Kerangka konsep

Self Directed Learning Readiness Mahasiswa tahun pertama

Self Directed Learning Readiness Mahasiswa tahun kedua

Self Directed Learning Readiness Mahasiswa tahun ketiga

2.5 Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat Self Directed Learning Readiness Scale pada


mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Abdurra (FK Univrab) angkatan
tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarsarie, R., Erlinawati, N. D. and Triana, D. (2016) ‘Analisis Self Directed


Learning Readiness terhadap Prestasi BelajarMahasiswa Semester 2 Tahun Ajaran
2015 / 2016 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Analysis of Self Directed Learning Readiness on First Year Student Learning
Achievement in Academic Year 2015 / 2016 at Faculty of Medicine and Health
Sciences , University of Bengkulu’, 1(2), pp. 283–287.
Aruan, N. (2013) Gambaran Kesiapan Self Directed Learning Pada Mahasiswa
Tahap Pendidikan Klinik Uin Syarif. jakarta.
Council, I. M. (2012) ‘STANDAR PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
INDONESIA’, in, pp. 1–38. Available at:
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Final_SPPDI,_21_Maret_20131.pdf.
Dehnad, A. et al. (2014) ‘Pursuing a Definition of Self-directed Learning in
Literature from 2000–2012’, Procedia - Social and Behavioral Sciences. Elsevier
B.V., 116, pp. 5184–5187. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.01.1097.
Dent J, H. R. (2013) Problem Based Learning, A Practical Guide for Medical
Teachers. Available at:
http://edomsp.sbmu.ac.ir/uploads/A_Practical_Guide_for_Medical_Teachers.pdf.
Fisher, M., King, J. and Tague, G. (2001) ‘Development of a self-directed
learning readiness scale for nursing education’, Nurse Education Today, 21(7), pp.
516–525. doi: 10.1054/nedt.2001.0589.
Fitri, A. D. (2014) ‘Penerapan Problem-Based Learning (PBL) dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi’, Jmj, 4(1), pp. 95–100.
Gibbons, M. (2002) The Self-Directed Handbook. San Francisco: JOSSEY-BASS
A Wiley imprint. Available at: www.josseybass.com.
Guglielmino, L. M. (2008) ‘Why Self-Directed Learning?’, International Journal
of Self-Directed Learning, 5(1), pp. 1–14.
Lidinillah, D. A. M. (2013) ‘Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)’, Jurnal Pendidikan Inovatif, 5(1), pp. 1–7.
Liu, M. (2005) ‘Motivating Students Through Problem-based Learning’, National
Education Computing Conference, pp. 1–24.
Maharani, A. and Laelasari, L. (2017) ‘Experimentation of Spices Learning
Strategies With the Method of Problem Based Learning (Pbl) To Build
Motivation and the Ability To Think Logically for Vocational School Students’,
Infinity Journal, 6(2), p. 149. doi: 10.22460/infinity.v6i2.p149-156.
McKee nora, D’Eon Marcel, T. krista (2013) ‘Problem-based learning for inter-
professional education: evidence from an inter-professional PBL module on
palliative caree’, Problem-based learning for inter-professional education, 4(1).
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4563657/.
Nyambe, H., Harsono and Rahayu, G. R. (2016) ‘Faktor-faktor yang
mempengaruhi self directed learning readiness pada mahasiswa tahun pertama ,
kedua dan ketiga di fakultas kedokteran universitas Hasanuddin dalam PBL’,
Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia, 5(2), pp. 67–77.
PDPT, U. (2012) ‘Materi PROBLEM BASED LEARNING ( PBL )’, pp. 1–10.
Soliman, M. and Al-Shaikh, G. (2015) ‘Readiness for self-directed learning
among First Year Saudi Medical students: A descriptive study’, Pakistan Journal
of Medical Sciences, 31(4), pp. 799–802. doi: 10.12669/pjms.314.7057.
Sugianto, I. M. and Lisiswanti, R. (2016) ‘Tingkat self directed learning readiness
( SDLR ) pada mahasiswa kedokteran’, Majority, 5(5), pp. 27–31.
Valzon, M. et al. (2018) Modul 6.2 Metodologi Penelitian Dan Statistika.
Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai