Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Apendiks vermiformis

2.1.1.1 Regio Abdomen

Gambar 2.1 Regio Abdomen


Sumber: Martini, 2014

6 Universitas Muhammadiyah Palembang


7

Tempat organ abdomen dibagi berdasarkan regio yaitu:

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar,


kantung empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon,
sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas
dan sebagian hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian
kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal
ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal
ginjal kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian
bawah duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon descenden, bagian distal
ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian
distal ileum dan ureter kanan.
8. Pubis meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri
dan ovarium kiri (Snell,2006).

2.1.1.2 Anatomi Apendiks


Apendiks vermiformis berupa pipa buntu yang terbentuk
seperti cacing dan berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal
peralihan ileosekal (ileocecal junction). Apendiks vermiformis
memiliki meso-apendiks yang menggantungnya pada mesenterium
bagian akhir ileum. Apendiks terletak pada regio iliaca kanan.
Dasar apendiks terletak pada 1/3 atas garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior dengan umbilicus (titik McBurney)

Universitas Muhammadiyah Palembang


8

dan pangkal apendiks vermiformis lebih ke dalam pada batas antara


bagian sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis miring antara
spina iliaca anterior superior dan anulus umbilicalis (titik
McBurney). Letak apendiks vermiformis berubah-ubah, tetapi
biasanya apendiks vermiformis terletak retrosekal namun sering
juga di temukan pada posisi lain (Snell, 2006).

Gambar 2.2 Anatomi Organ Peritoneal


Sumber: Anatomi Klinis Snell, 2006

Secara anatomis, posisi apendiks dapat bervariasi misalnya


searah dengan caecum, retrocaecal, paracolic, preileal, postileal, dan
subcaecal. Identifikasi posisi normal apendiks penting karena dalam
posisi variabel apendisitis dapat menghasilkan gejala dan tanda
yang terkait dengan posisi dan karenanya dapat meniru penyakit
lain. Oleh karena itu pengetahuan tentang variasi posisi ini sangat
penting untuk diagnosis dan pengobatan kondisi yang akurat
(Golalipur, 2003).

Universitas Muhammadiyah Palembang


9

Gambar 2.3 Letak Apendiks


Sumber: Richard, 2014

Apendiks vermiformis di pasok oleh arteri apendicularis,


cabang arteri caecalis posterior. Pembuluh darah ini tidak memiliki
kolateral sehingga apabila tersumbat apendiks akan mengalami
gangrene. Vena Appendicularis mengantar balik darah dari caecum
dan apendiks vermiformis. Pembuluh limfe dari caecum dan
apendiks menuju ke kelenjar limfe dalam meso-apendiks. Pembuluh
limfe eferen di tampung oleh nodi lymphoidei mesenterici superior
(Snell, 2006; Wim de Jong, 2010).
Persarafan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plexus mesenterica superior. Saraf eferen
menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama
saraf simpatis masuk kedalam medulla spinalis setinggi thorax X.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus

Universitas Muhammadiyah Palembang


10

mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis (Snell,


2006; Wim de Jong, 2010).

2.1.1.3 Fisiologi Apendiks


Apendiks menghasilkan mukus 1-2 ml per hari. Mukus itu
normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase
dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Immunoglobulin
tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh
tubuh. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara
teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan
lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi
tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (Wim de Jong,
2010).

2.1.2 Apendisitis
2.1.2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30
tahun (Wim de Jong, 2010).

2.1.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang. Namun, dalam tiga – empat dasawarsa

Universitas Muhammadiyah Palembang


11

terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Diduga disebabkan


meningkatnya konsumsi makanan berserat dalam menu sehari –
hari. Apendisitis dapat ditemukan disemua umur hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi terjadi
pada kelompok umur 20 – 30 tahun, setelah itu berkurang. Insiden
pada laki – laki dan wanita sama, kecuali pada umur 20 – 30 tahun
saat laki – laki lebih tinggi (Wim de Jong, 2016).
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:1 hingga 3:1. Risiko
secara keseluruhan adalah 9% untuk pria dan 6% untuk wanita.
Perbedaan dalam tingkat kesalahan diagnostik berkisar antara 12%
hingga 23% untuk pria dan 24% - 42% untuk wanita. Nilai-nilai ini
adalah rata-rata dari seluruh dunia, termasuk pelayanan medis yang
kurang canggih. Sebagian besar pasien kulit putih (74%) dan sangat
jarang pada warna kulit hitam (5%). Sementara diagnosis klinis
mungkin langsung pada pasien yang datang dengan tanda dan gejala
klasik. Pasien tanpa gejala memungkinkan terjadinya kesalahan
diagnosis dan keterlambatan perawatan (Hawkins, 2009; Ebell,
2008).

2.1.2.3 Etiologi
Penyebab utama dalam kasus apendisitis diantaranya adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fecalith),
hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam
tubuh, dan cacing askaris menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun,
diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit
dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang
paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan
apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica
(Wim de Jong, 2010).

Universitas Muhammadiyah Palembang


12

2.1.2.4 Patofisiologi
Penyebab utama di sebagian besar pasien dengan apendisitis
akut diyakini karena obstruksi lumen. Jika tidak diobati dengan baik
apendisitis akut akan menyebabkan usus buntu perforasi. Distensi
terjadi karena kapasitas luminal apendiks mengecil, dan tekanan
intraluminal dapat mencapai 50 hingga 65 mmHg. Saat tekanan
luminal meningkat, tekanan vena terlampaui dan iskemia mukosa
terjadi. Setelah tekanan luminal melebihi 85 mmHg, terjadi
trombosis venula di usus buntu, dan aliran arteri terus
mengsirkulasikan darah, terjadi kemacetan vascular sehingga
apendiks membengkak. Drainase limfatik dan vena sehingga terjadi
iskemia. Mukosa menjadi hipoksia dan mulai mengalami ulserasi,
bakteri intraluminal menginvasi dinding apendiks. Kebanyakan
Bakteri bersifat gram negatif, terutama Escherichia coli (76% dari
kasus), diikuti oleh Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) dan
Pseudomonas (20%) (Farmer, 2016).
Meskipun logis dan mungkin benar, teori ini belum terbukti.
Dalam review terbaru tentang etiologi dan patogenesis, beberapa
hasil penelitian menunjukkan perbedaan dengan pemikiran umum,
obstruksi usus buntu mungkin tidak menjadi penyebab utama dalam
sebagian besar pasien. Sebuah penyelidikan yang mengukur
tekanan intraluminal apendiks menunjukkan bahwa pada 90%
pasien dengan usus buntu phlegmonous, tidak terjadi peningkatan
tekanan intraluminal atau tanda-tanda obstruksi lumen. Tanda-tanda
obstruksi lumen apendiks, dinyatakan apabila terdapat peningkatan
tekanan intraluminal, pada semua pasien dengan Apendisitis
gangrenosa terjadi peningkatan tekanan intraluminal, tapi tidak
pada pasien dengan apendisitis phlegmonous (Svensson, 2012).
Data ini menunjukkan bahwa obstruksi bukan merupakan
faktor penting dalam penyebab apendisitis akut, meskipun mungkin

Universitas Muhammadiyah Palembang


13

timbul sebagai hasil dari proses inflamasi. Atas dasar bukti yang
tersedia, ada beberapa etiologi dari apendisitis, masing-masing yang
mengarah ke invasi dinding apendiks oleh bakteri intraluminal
(Sallinen, 2016).
Peradangan meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ
yang berdekatan. Akibatnya, serabut saraf aferen visceral yang
masuk ke sumsum tulang belakang di T8 - T10 terstimulasi,
menyebabkan nyeri epigastrium dan nyeri periumbilikalis yang
disebarkan oleh dermatomnya. Pada tahap ini, nyeri somatik pada
pasien biasanya bergeser ke kuadran kanan bawah. Jika dibiarkan
berlanjut, aliran darah arteri akan terhambat, dan infark terjadi,
mengakibatkan gangren dan perforasi, yang biasanya terjadi antara
24 dan 36 jam. Anoreksia, mual, dan muntah biasanya timbul saat
perburukan patofisiologi (Petroianu, 2012).
Sistem kekebalan apendiks memiliki pertahanan lokal dan
sistemik untuk mengenali pola molekuler mikroba dan untuk
memulai rangsang peradangan lokal yang menarik dan mengaktif
leukosit, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
menimbulkan rasa sakit, dan meningkatkan aliran darah ke jaringan
yang terinfeksi. Reaksi imunitas ini merupakan karakteristik
apendisitis akut. Apendisitis dikaitkan dengan IL-6 −174 C-alel dan
TNF-α yang mungkin mempengaruhi tingkat keparahan peradangan
pada usus buntu. Meningkat Ekspresi TNF dan menurunkan
inhibitor yang berkontribusi terhadap trombosis mikrovaskular
lokal, jaringan nekrosis, dan gangrene (Sarsu, 2015).
Sekitar 95% serotonin dalam tubuh ada di saluran cerna,
terletak terutama di sel neuroendokrin mukosa. Pada peradangan
apendiks serotonin sangat berkurang dalam epitelium (sel
enterochromaffin) dan lamina propria. Peningkatan sekresi
serotonin di apendiks dapat memainkan peran penting dalam

Universitas Muhammadiyah Palembang


14

patogenesis peradangan. Kejadian awal pada apendisitis dianggap


obstruksi lumen dengan berbagai etiologi. Sekali obstruksi terjadi,
sekresi mukosa epitel meningkatkan tekanan luminal. Itu
menjelaskan bahwa sel-sel enterochromaffin memiliki reseptor
tekanan, setelah merasakan peningkatan tekanan luminal,
melepaskan 5-HT ke dalam lamina propria. Menstimulasi serotonin
lokal untuk mensekresi intraluminal, pembengkakan vena,
vasokonstriksi dan kontraksi otot polos, yang mengubah proses
kongestif menjadi proses inflamasi. 5-HT3 yang banyak di reseptor
vagal dan neuron aferen splanik dan seterusnya sel
enterochromaffin menginduksi mual dan muntah (Barosso, 2015).
Selama tahap awal apendisitis, pasien mungkin hanya
merasakan nyeri periumbilikal karena persarafan Thoracal 10 pada
apendiks. Ketika peradangan semakin memburuk, suatu eksudat
terbentuk pada permukaan apendiks. Perforasi menghasilkan
pelepasan cairan inflamasi dan bakteri ke dalam rongga perut.
Penumpukan bakteri di rongga peritoneal yang semakin banyak
menimbulkan gejala klinis peritonitis. Lokasi dan luasnya
peritonitis (difus atau terlokalisir) tergantung pada tingkat dimana
omentum dan usus yang berdekatan dapat berisi tumpahan isi
luminal (Wim de Jong, 2010).

2.1.2.5 Gambaran Klinis


Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar – samar dan
tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di
sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan muntah.
Nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ke kanan bawah ke titik McBurney, nyeri terasa lebih tajam dan
lebih jelas letaknya. Terkadang tidak terdapat nyeri epigastrium tapi
terdapat konstipasi. Bila apendiks terletak di retrosekal tanda nyeri

Universitas Muhammadiyah Palembang


15

perut tidak begitu jelas, rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas major
yang menegang dari dorsal. Pada beberapa keadaan apendisitis agak
sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan
terjadi komplikasi. Tanda awal pada apendisitis akut adalah adanya
nyeri yang dimulai di epigastrium atau regio umbilicus disertai
mual dan anoreksi. Kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah dan
menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local di titik McBurney
yaitu nyeri tekan, nyeri tekan lepas dan defans muskuler.
Ditemukan tanda – tanda lain yaitu Rosving sign yang merupakan
rasa nyeri pada kuadran kanan bawah saat dilakukan penekanan
pada kuadran kiri bawah. Sedangkan saat penekanan dilepaskan
apabila terdapat nyeri dibagian kuadran kanan bawah disebut
Blumberg sign (Wim de Jong, 2010).

Gambar 2.4 Gejala dan Tanda Apendisitis akut


Sumber: Wim de Jong, 2010

Apendiks retrocaecal terletak di belakang sekum buntu berisi


gas dan dengan demikian mungkin sulit untuk memperoleh nyeri

Universitas Muhammadiyah Palembang


16

pada palpasi di daerah iliaka kanan. Iritasi pada otot psoas


sebaliknya dapat menyebabkan pasien untuk menahan sendi
panggul kanan tertekuk (psoas sign). Apendiks yang menggantung
ke arah bawah panggul dapat menyebabkan nyeri perut absen di
kuadran kanan bawah tetapi nyeri yang mendalam mungkin dialami
tepat di atas simfisis pubis. Apendisitis yang terletak di pelvis,
dapat menimbul diare dari apendiks yang meradang berkontak
dengan rektum. Peradangan apendiks apabila berkontak dengan
kandung kemih dapat menyebabkan peningkatan frekuensi
berkemih. Pada apendisitis perforasi dapat mengakibatkan
peritonitis lokal. Apendisitis retro-kolik yang lama juga disebut sub-
hepatic apendisitis dan hal itu dapat menyebabkan kesulitan
diagnosis dikarenakan memiliki gejala yang sama dengan
kolesistitis. Pada apendisitis retrocaecal dan retrocolic,
kemungkinan komplikasi gangren lebih besar karena dalam kasus
ini pembuluh darah tertekuk. Dalam posisi preileal apendiks
mengarah ke arah limpa dan apabila terjadi peradangan akan
menyebabkan peritonitis dan merupakan posisi yang paling
berbahaya. Apendiks Postileal disebut juga umumnya terjadi pada
anak-anak dan dalam kehidupan dewasa muda. Postileal apendiks
yang meradang dapat menyebabkan diare. Perforasi usus buntu atau
transmigrasi bakteri melalui dinding apendiks yang meradang pada
peritoneum parietal (Salwe, 2014).

2.1.2.6 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5oC
bila sudah lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Perut
kembung sering terlihat pada penderita komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada abses pra
apendikuler atau massa (Wim de Jong, 2010).

Universitas Muhammadiyah Palembang


17

Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada region iliaka


kanan, bias disertai nyeri tekan lepas. Defans muscular menandakan
peradangan peritoneum parietal. Nyeri tekan kanan bawah
merupakan kunci diagnosis pada kasus apendisitis. Penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri di kanan bawah yang biasa disebut
dengan rosving sign. Pada apendisitis retrosekal dan retroileal
dibutuhkan palpasi lebih dalam untuk menentukan adanya rasa
nyeri. Peristaltik usus sering normal tetapi bisa juga menghilang
karena adanya ileus paralitik pada peritonitis yang disebabkan oleh
apendisitis perforasi (Wim de Jong, 2010).
Pemeriksaan colok dubur akan terasa nyeri apabila jari
telunjuk mencapai titik infeksi, misal pada apendisitis pelvis.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks (Wim de Jong, 2010).
Uji psoas dilakukan dengan merangsang otot psoas lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha ditahan. Apabila
apendiks yang meradang menyentuh otot psoas major maka akan
menimbulkan nyeri (Wim de Jong, 2010).
Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks
bersentuhan dengan otot obturator internus, gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika. Pemeriksaan leukosit membantu menegakkan diagnosis
apendisitis akut, leukositosis biasanya terjadi pada apendisitis
komplikata (Wim de Jong, 2010).
Data laboratorium biasanya menunjukkan Elevated
Laukocytosis with shift to the left. Neutrofilia lebih dari 75% terjadi
pada sebagian besar kasus. Ini tidak berlaku untuk orang tua, pasien
immunocompromised, pasien dengan kondisi seperti keganasan
atau AIDS; leukositosis ada pada 15% pasien apendisitis (Petroianu,
2012).

Universitas Muhammadiyah Palembang


18

Pengukuran protein C-reaktif protein (CRP) sangat mungkin


meningkat pada apendisitis jika gejala muncul lebih dari 12 jam
Menariknya, kombinasi dari CRP yang meningkat, meningkatnya
sel darah putih, atau neutrophilia yang lebih besar dari 75%
meningkatkan kepekaan diagnosis 97%-100% untuk apendisitis
akut. Jadi, untuk pasien dengan nilai normal untuk ketiga studi,
kemungkinan akut radang usus buntu akan rendah (Petroianu,
2012).

2.1.2.7 Komplikasi
1. Peritonitis difus.
2. Perforasi dengan abses stercoral, yang ditutupi dengan
omentum atau ileal loop yang lebih besar, pada kasus
apendisitis retrocecal atau perforasi dengan Abses Douglas dan
peritonitis difus. Pada usia 0-4 tahun frekuensi perforasi
setidaknya 40%.
3. Thrombophlebitis vena apendikular dengan septic liver
abscesses.
4. Perlengketan usus.
5. Mukokel Appendicular: pada kasus appendicitis yang terdapat
perdarahan berlebih dan distensi alantoid pada apendiks distal
karena obliterasi (bekas luka, coprolith, benda asing, dll.)
dengan simtomatologi nyeri berulang (Paya, 2008)

2.1.3 Sistem Skoring Apendisitis

2.1.3.1 Alvarado Score


Alvarado Score adalah 10 butir skoring untuk diagnosis
apendisitis berdasarkan gejala dan tanda klinis serta pemeriksaan
laboratorium. Pada penelitian yang dilakukan oleh Douglas dan
MacPherson tahun 2004, skor tersebut efektif dalam

Universitas Muhammadiyah Palembang


19

mengklasifikasi penatalaksanaan pasien apendisitis, dimana pasien


dengan skor Alvarado kurang dari 4 tidak membutuhkan
apendektomi (Winn R, 2004).
Dibawah ini merupakan butir skoring yang dibuat oleh
Alvarado untuk mendiagnosis apendisitis:

Tabel 2.1 Penilaian Alvarado Score


Alvarado Score Score
Gejala Klinis
 Nyeri abdomen pindah ke fossa iliaka kanan 1
 Anoreksia dan nafsu makan menurun 1
 Mual atau muntah 1

Tanda Klinis
 Nyeri tekan lepas 1
 Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2
 Suhu >37,3oC / 99,1oF 1
Pemeriksaan Laboratorium
 Leukositosis (leukosit >10.000/ml) 2
 “Shift to the left” (Neutrofil >75%) 1
Total 10
Sumber: Mangema RS, 2014

Universitas Muhammadiyah Palembang


20

Berdasarkan sistem skoring di atas didapatkan pembagian


kemungkinan penyakit apendisitis sebagai berikut:

Tabel 2.2 Scoring Alvarado dan Manajemen Penatalaksanaan


Score Interpretasi Manajemen
0-3 Kemungkinan bukan Pasien dipulangkan dan apabila tidak terjadi
apendisitis (Unlikely perbaikan gejala segera kembali ke dokter
appendicitis)
4-6 Mungkin apendisitis Pasien di observasi selama 12 jam, apa bila
(Possible appendicitis) tidak didapatkan perbaikan dilakukan
apendektomi
7-10 Pasti apendisitis (Definite Pasien laki-laki langsung dilakukan prosedur
appendicitis apendektomi, sedangkan pasien wanita
dilakukan laparoskopi kemudian dilakukan
apendektomi
Sumber: Ohle Robert, 2011

2.1.3.2 Ripasa Score


Raja Isteri Pengiran Anak Saleha Appendicitis (RIPASA)
adalah sistem penilaian kualitatif sederhana berdasarkan 14
parameter tetap (dua demografi, lima gejala klinis, lima tanda klinis
dan dua investigasi klinis) dan satu parameter tambahan (Kartu
identitas warga negara asing) untuk mendiagnosis apendisitis
(Chong, 2010).

Universitas Muhammadiyah Palembang


21

Dibawah ini merupakan butir skoring RIPASA untuk mendiagnosis


apendisitis:

Tabel 2.3 Tabel RIPASA Score


RIPASA Score
Jenis Kelamin
 Laki-laki 1
 Perempuan 0.5

Usia
 Usia <39,9 1
 Usia >40 0.5

Gejala Klinis
 Nyeri Right Iliac Fossa 0.5
 Migrasi nyeri ke Right Iliac Fossa 0.5
 Anoreksia 1

 Mual dan Muntah 1

 Durasi gejala <48 jam 1

 Durasi gejala >48 0.5

Pemeriksaan Fisik
 Right Iliac Fossa Tenderness 1
 Guarding 2
 Rebound Tenderness 1

 Rosving Sign 2

 Demam (>37oC, <39oC) 1

Pemeriksaan Laboratorium
 Leukositosis 1
 Urinalisis Negatif 1

Kartu Identitas kewarganegaraan asing 1


Score 17,5

Universitas Muhammadiyah Palembang


22

Sumber: Chong, 2010


Berdasarkan sistem skoring didapatkan pembagian kemungkinan
penyakit apendisitis sebagai berikut:

Tabel 2.4 Interpretasi RIPASA Score


Score Interpretasi
<5 Probability of acute appendicitis is unlikely

5-7 Low probability of acute appendicitis

7,5-11,5 Probability of acute appendicits high

>12 Definite acute appendicitis

Sumber: Chong, 2010

Universitas Muhammadiyah Palembang


23

2.2 Kerangka Teori

Scoring Alvarado Obstruksi Apendiks

Bakteri terperangkap dan


berkembang biak

Apendisitis

Peningkatan tekanan
Lumen Apendiks menyempit Intraluminal

Menggangu drainase vena

Iskemia jaringan apendiks

Apendiks menjadi gangren

Apendisitis Komplikata
(Perforasi)

Sumber: Wim de jong, 2010

2.3 Hipotesis
H0: Tidak terdapat hubungan antara Alvarado Score dengan temuan hasil operasi
pada pasien apendisitis.

Universitas Muhammadiyah Palembang


24

H1: Terdapat hubungan antara Alvarado Score dengan temuan hasil operasi pada
pasien apendisitis.

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai