TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Apendisitis
2.1.2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30
tahun (Wim de Jong, 2010).
2.1.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang. Namun, dalam tiga – empat dasawarsa
2.1.2.3 Etiologi
Penyebab utama dalam kasus apendisitis diantaranya adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fecalith),
hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam
tubuh, dan cacing askaris menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun,
diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit
dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang
paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan
apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica
(Wim de Jong, 2010).
2.1.2.4 Patofisiologi
Penyebab utama di sebagian besar pasien dengan apendisitis
akut diyakini karena obstruksi lumen. Jika tidak diobati dengan baik
apendisitis akut akan menyebabkan usus buntu perforasi. Distensi
terjadi karena kapasitas luminal apendiks mengecil, dan tekanan
intraluminal dapat mencapai 50 hingga 65 mmHg. Saat tekanan
luminal meningkat, tekanan vena terlampaui dan iskemia mukosa
terjadi. Setelah tekanan luminal melebihi 85 mmHg, terjadi
trombosis venula di usus buntu, dan aliran arteri terus
mengsirkulasikan darah, terjadi kemacetan vascular sehingga
apendiks membengkak. Drainase limfatik dan vena sehingga terjadi
iskemia. Mukosa menjadi hipoksia dan mulai mengalami ulserasi,
bakteri intraluminal menginvasi dinding apendiks. Kebanyakan
Bakteri bersifat gram negatif, terutama Escherichia coli (76% dari
kasus), diikuti oleh Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) dan
Pseudomonas (20%) (Farmer, 2016).
Meskipun logis dan mungkin benar, teori ini belum terbukti.
Dalam review terbaru tentang etiologi dan patogenesis, beberapa
hasil penelitian menunjukkan perbedaan dengan pemikiran umum,
obstruksi usus buntu mungkin tidak menjadi penyebab utama dalam
sebagian besar pasien. Sebuah penyelidikan yang mengukur
tekanan intraluminal apendiks menunjukkan bahwa pada 90%
pasien dengan usus buntu phlegmonous, tidak terjadi peningkatan
tekanan intraluminal atau tanda-tanda obstruksi lumen. Tanda-tanda
obstruksi lumen apendiks, dinyatakan apabila terdapat peningkatan
tekanan intraluminal, pada semua pasien dengan Apendisitis
gangrenosa terjadi peningkatan tekanan intraluminal, tapi tidak
pada pasien dengan apendisitis phlegmonous (Svensson, 2012).
Data ini menunjukkan bahwa obstruksi bukan merupakan
faktor penting dalam penyebab apendisitis akut, meskipun mungkin
timbul sebagai hasil dari proses inflamasi. Atas dasar bukti yang
tersedia, ada beberapa etiologi dari apendisitis, masing-masing yang
mengarah ke invasi dinding apendiks oleh bakteri intraluminal
(Sallinen, 2016).
Peradangan meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ
yang berdekatan. Akibatnya, serabut saraf aferen visceral yang
masuk ke sumsum tulang belakang di T8 - T10 terstimulasi,
menyebabkan nyeri epigastrium dan nyeri periumbilikalis yang
disebarkan oleh dermatomnya. Pada tahap ini, nyeri somatik pada
pasien biasanya bergeser ke kuadran kanan bawah. Jika dibiarkan
berlanjut, aliran darah arteri akan terhambat, dan infark terjadi,
mengakibatkan gangren dan perforasi, yang biasanya terjadi antara
24 dan 36 jam. Anoreksia, mual, dan muntah biasanya timbul saat
perburukan patofisiologi (Petroianu, 2012).
Sistem kekebalan apendiks memiliki pertahanan lokal dan
sistemik untuk mengenali pola molekuler mikroba dan untuk
memulai rangsang peradangan lokal yang menarik dan mengaktif
leukosit, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
menimbulkan rasa sakit, dan meningkatkan aliran darah ke jaringan
yang terinfeksi. Reaksi imunitas ini merupakan karakteristik
apendisitis akut. Apendisitis dikaitkan dengan IL-6 −174 C-alel dan
TNF-α yang mungkin mempengaruhi tingkat keparahan peradangan
pada usus buntu. Meningkat Ekspresi TNF dan menurunkan
inhibitor yang berkontribusi terhadap trombosis mikrovaskular
lokal, jaringan nekrosis, dan gangrene (Sarsu, 2015).
Sekitar 95% serotonin dalam tubuh ada di saluran cerna,
terletak terutama di sel neuroendokrin mukosa. Pada peradangan
apendiks serotonin sangat berkurang dalam epitelium (sel
enterochromaffin) dan lamina propria. Peningkatan sekresi
serotonin di apendiks dapat memainkan peran penting dalam
perut tidak begitu jelas, rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas major
yang menegang dari dorsal. Pada beberapa keadaan apendisitis agak
sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan
terjadi komplikasi. Tanda awal pada apendisitis akut adalah adanya
nyeri yang dimulai di epigastrium atau regio umbilicus disertai
mual dan anoreksi. Kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah dan
menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local di titik McBurney
yaitu nyeri tekan, nyeri tekan lepas dan defans muskuler.
Ditemukan tanda – tanda lain yaitu Rosving sign yang merupakan
rasa nyeri pada kuadran kanan bawah saat dilakukan penekanan
pada kuadran kiri bawah. Sedangkan saat penekanan dilepaskan
apabila terdapat nyeri dibagian kuadran kanan bawah disebut
Blumberg sign (Wim de Jong, 2010).
2.1.2.6 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5oC
bila sudah lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Perut
kembung sering terlihat pada penderita komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada abses pra
apendikuler atau massa (Wim de Jong, 2010).
2.1.2.7 Komplikasi
1. Peritonitis difus.
2. Perforasi dengan abses stercoral, yang ditutupi dengan
omentum atau ileal loop yang lebih besar, pada kasus
apendisitis retrocecal atau perforasi dengan Abses Douglas dan
peritonitis difus. Pada usia 0-4 tahun frekuensi perforasi
setidaknya 40%.
3. Thrombophlebitis vena apendikular dengan septic liver
abscesses.
4. Perlengketan usus.
5. Mukokel Appendicular: pada kasus appendicitis yang terdapat
perdarahan berlebih dan distensi alantoid pada apendiks distal
karena obliterasi (bekas luka, coprolith, benda asing, dll.)
dengan simtomatologi nyeri berulang (Paya, 2008)
Tanda Klinis
Nyeri tekan lepas 1
Nyeri tekan fossa iliaka kanan 2
Suhu >37,3oC / 99,1oF 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis (leukosit >10.000/ml) 2
“Shift to the left” (Neutrofil >75%) 1
Total 10
Sumber: Mangema RS, 2014
Usia
Usia <39,9 1
Usia >40 0.5
Gejala Klinis
Nyeri Right Iliac Fossa 0.5
Migrasi nyeri ke Right Iliac Fossa 0.5
Anoreksia 1
Pemeriksaan Fisik
Right Iliac Fossa Tenderness 1
Guarding 2
Rebound Tenderness 1
Rosving Sign 2
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis 1
Urinalisis Negatif 1
Apendisitis
Peningkatan tekanan
Lumen Apendiks menyempit Intraluminal
Apendisitis Komplikata
(Perforasi)
2.3 Hipotesis
H0: Tidak terdapat hubungan antara Alvarado Score dengan temuan hasil operasi
pada pasien apendisitis.
H1: Terdapat hubungan antara Alvarado Score dengan temuan hasil operasi pada
pasien apendisitis.