Anda di halaman 1dari 108

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI KAOLIN FACIAL WASH DENGAN


VARIASI KONSENTRASI SODIUM LAURILETER
SULFAT (SLES) DAN UJI DAYA BERSIHNYA
TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT
(Propionibacterium acnes)

SKRIPSI

ELSA MELIAN
11141020000024

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS/2018

i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI KAOLIN FACIAL WASH DENGAN


VARIASI KONSENTRASI SODIUM LAURILETER
SULFAT (SLES) DAN UJI DAYA BERSIHNYA
TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT
(Propionibacterium acnes)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ELSA MELIAN
11141020000024

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS /2018

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil kan,a saya sendiri,


dan semua sumber baik I'ang dikutip atau \.atrg dirujuk telah saya nl,atakan

dengan benar

Nama : Eisa Melian

NIM :11141020000024

Tanda Tangan :

Tanggal Agustus 2018

lll
ABSTRAK

Nama : Elsa Melian


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Formulasi Kaolin Facial Wash dengan Variasi
Konsentrasi Sodium Laurileter Sulfat (SLES) dan Uji
Daya Bersihnya terhadap Bakteri Penyebab Jerawat
(Propionibacterium acnes)

Kaolin memiliki kemampuan yang menjanjikan untuk dijadikan sebagai bahan


utama dalam pembuatan facial wash, mulai dari daya adsorbennya terhadap bakteri,
virus, partikel kecil (debu, kotoran), serta minyak di kulit, hingga nilai estetika yang
tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memformulasi kaolin facial wash
dengan memvariasikan konsentrasi sodium laurileter sulfat (SLES) (7,5%, 10%,
dan 15%) dan untuk mengetahui daya bersihnya terhadap bakteri
Propionibacterium acnes. Pada penelitian ini, formulasi dilakukan dengan
membuat 3 formula yang memvariasikan konsentrasi SLES, yang di setiap formula
mengandung 15% kaolin. Formula tersebut diantaranya, F1 (SLES 7,5%), F2
(SLES 10%), dan F3 (SLES 15%). Formula yang menunjukkan karateristik terbaik
dari hasil evaluasi fisik (organoleptis, pH, viskositas, tinggi dan stabilitas busa,
homogenitas, daya bersih terhadap noda lipstik, hedonik, dan stabilitas fisik) akan
dilanjutkan ke tahap pengujian daya bersihnya terhadap Propionibacterium acnes
di kulit. Hasil kaolin facial wash variasi konsentrasi SLES menunjukkan bahwa
variasi konsentrasi SLES berpengaruh secara nyata terhadap pH, viskositas, tinggi
dan stabilitas busa, daya bersih terhadap noda lipstik, dan stabilitas fisik.
Berdasarkan penelitian, F2 memberikan karakteristik facial wash terbaik karena
hasil parameter pengujian yang dilakukan telah memenuhi standar dan tidak
menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan sediaan. Oleh sebab itu, F2 dipilih untuk
dilakukan pengujian daya bersihnya terhadap Propionibacterium acnes
menggunakan uji swab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kaolin facial wash
konsentrasi SLES 10% efektif untuk membilas sebagian besar bakteri
Propionibacterium acnes yang terbalur di permukaan kulit karena hasil uji swab
terhadap sampel (F2) memiliki hasil dengan jumlah koloni ≤ 20 CFU/cm2 dan
sangat mendekati dengan hasil kontrol positif (pond’s facial wash antibacterial
with herbal clay) dibandingkan dengan kontrol negatif (aquadest).

Kata kunci: Kaolin, Kaolin facial wash, SLES, uji swab, Propionibacterium acnes

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRACT

Nama : Elsa Melian


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Formulation of Kaolin Facial Wash by Various Kind of
Sodium Laurylether Sulfate (SLES) Concentration and
Cleanliness Test of Bacterial Causes of Acnes
(Propionibacterium acnes)

Kaolin has a promising ability to serve as a key ingredient in the facial wash
manufacturing, ranging from the adsorbent of bacteria, viruses, small particles
(dust, dirt), and oils in the skin, to the aesthetic value of the main content in making
facial wash. The purpose of this research is to formulate kaolin facial wash by
varying the concentration of sodium laurylether sulfate (SLES) (7.5%, 10%, and
15%) and to determine cleanliness test of Propionibacterium acnes bacteria. In this
study, the formulation was performed by making 3 formulas that varying the
concentration of SLES, which in each formula contains 15% kaolin. These formulas
include, F1 (SLES 7.5%), F2 (SLES 10%), and F3 (SLES 15%). The formulas
showing the best characteristics of the results of physical evaluation (organoleptic,
pH, viscosity, height and foam stability, homogeneity, cleanliness of lipstick test,
hedonic test, and physical stability) will proceed to the stage of testing its
cleanliness of Propionibacterium acnes in the skin. The results of kaolin facial wash
variation of SLES concentration showed that variation of SLES concentration
significantly influenced pH, viscosity, height and foam stability, cleanliness of
lipstick test, and physical stability. Based on the research, F2 gives the best facial
wash characteristics because the result of the test parameters done has met the
standard and showed no signs of the instability of the preparation. Therefore, F2
was chosen to test its cleanliness of Propionibacterium acnes using swabbing
methode. The results showed that kaolin facial wash concentration of SLES 10%
was effective to rinse most of the Propionibacterium acnes bacteria on the surface
of skin because the result of swabbing test to sample (F2) had the number of
colonies ≤ 20 CFU/cm2 and very close to positive control result (Pond's facial wash
antibacterial with herbal clay) compared with the negative control (aquadest).

Keywords: Kaolin, Kaolin facial wash, SLES, swabbing test, Propionibacterium


acnes

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Alah SWT, dzat pemilik hukum sebab-
akibat, atas segala karunia yang diberikan sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi
ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya saya menyadari bahwa skripsi ini tidak akan
bisa selesai dengan sempurna tanpa adanya orang-orang yang memberikan saya
support, bimbingan serta doa. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Yuni Anggraein, M.Farm., Apt. selaku dosen pembimbing akadeimis yang
telah menjadi orang tua saya di kampus sekaligus dosen pembimbing skripsi
dan Bapak Saiful Bahri, M.Si. selaku dosen pembimbing yang sudah sangat
baik dan sabar di dalam membimbing saya dalam penyusunan skripsi.
2. Dosen penguji, yang telah banyak memberikan masukan terhadap skripsi ini.
3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Nurmeilis, M.Farm., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.
6. Orang tua (terutama papa), adik (Devita Ariandi) dan seluruh keluarga atas
segala doa dan bantuannya.
7. Kakak yang selalu ada untuk memberikan support, doa sekaligus bantuan dalam
menyelesaikan skripsi ini, Andi Reza F, S.Psi., MBA.
8. Teman-teman sesama penelitian serta teman-teman Farmasi A dan B 2014
untuk segala kehangatan dan keceriaan, serta bantuan yang telah diberikan
untuk menyelesaikan skripsi ini. Special Thanks To Muti, Inez, Ica, Jaki.
Saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Jika ada
yang ingin didiskusikan, bisa menghubungi melalui elzous.em@gmail.com.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
Jakarta, Agustus 2018

Penulis

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademik Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Elsa Melian


NIM : 11141020000024
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi karya ilmiah saya
dengan judul:

FORMULASI KAOLIN FACIAL WASH DEGAN VARIASI KONSENTRASI


SODIUM LAURILETER SULFAT (SLES) DAN UJI DAYA BERSIHNYA
TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT (Propionibacterium acnes)

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademis sebatas, sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : Agustus 2018
Yang menyatakan,

(Elsa Melian)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS. ............................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................. vi
ABSTRACT ........................................................................................... vii
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5
2.1 Acne vulgaris (Jerawat) ............................................................... 5
2.1.1 Patogenesis Acne ............................................................... 5
2.1.2 Propionibacterium acnes .................................................. 6
2.1.3 Pencegahan dan Pengobatan Acne .................................... 7
2.2 Antibakteri ................................................................................... 7
2.3 Clay .. ........................................................................................... 7
2.3.1 Kaolin . ............................................................................... 8
2.4 Sabun ........................................................................................... 9

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2.4.1 Klasifikasi Sabun ............................................................... 10
2.4.2 Metode Pembuatan Sabun ................................................. 11
2.4.3 Prinsip Kerja Sabun ........................................................... 12
2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun ........................................... 13
2.5 Sabun Pembersih wajah ............................................................... 18
2.6 Sifat Fisika & Kimia Sabun Cair ................................................. 19
2.6.1 Organoleptis. ...................................................................... 19
2.6.2 pH.............. ......................................................................... 19
2.6.3 Daya Busa. ......................................................................... 20
2.6.4 Daya Bersih. ....................................................................... 20
2.6.5 Viskositas dan Rheologi (Sifat Alir). ................................. 21
2.7 Uji Hedonik ................................................................... ............. 21
2.8 Uji Stabilitas ................................................................... ............ 22
2.9 Isolasi Bakteri .............................................................................. 25
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 30
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 30
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................... 30
3.2.1 Alat Penelitian ................................................................... 30
3.2.2 Bahan Penelitian ................................................................. 30
3.3 Prosedur Kerja ............................................................................. 30
3.3.1 Formulasi Kaolin Facial Wash .......................................... 30
3.3.2 Pembuatan Kaolin Facial Wash ........................................ 31
3.3.3 Evaluasi Sifat Fisika & Kimia Kaolin Facial Wash........... 32
3.3.4 Sterilisasi Alat ................................................................... 34
3.3.5 Uji Daya Bersih Kaolin Facial Wash Terhadap
Bakteri Penyebab Jerawat Propionibacterium acnes ........ 35
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 36
4.1 Formulasi Kaolin Facial Wash..................................................... 36
4.2 Evaluasi Formula Kaolin Facial Wash Variasi Konsentrasi SLES 38
4.2.1 Pengamatan Organoleptik .................................................. 39
4.2.2 Pengujian pH ...................................................................... 39

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4.2.3 Pengujian Homogenitas...................................................... 41
4.2.4 Pengujian Tinggi dan Stabilitas Busa................................. 41
4.2.5 Pengujian Daya Bersih terhadap Noda Bersih ................... 42
4.2.6 Pengujian Viskositas dan Rheologi .................................... 43
4.2.7 Pengujian Stabilitas Fisik (Cycling Test dan Uji Mekanik) 46
4.2.8 Pengujian Hedonik ............................................................. 50
4.3 Uji Daya Bersih Kaolin Facial Wash terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat Propionibacterium acnes ............................... 51
4.3.1 Perhitungan Jumlah Total Bakteri Propionibacterium
acnes .................................................................................. 51
4.3.2 Uji Swab Kaolin Facial Wash Terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat Propionibacterium acnes ..................... 51
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 57
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 57
5.2 Saran ........................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 58
LAMPIRAN ........................................................................................... 65

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kelarutan KOH ................................................................ 16
Tabel 2.2 Perbedaan dan Keuntungan Metode Isolasi Bakteri ........ 29
Tabel 3.1 Formula Kaolin Facial Wash .......................................... 31
Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Kaolin Faial Wash Variasi Konsentrasi
SLES ................................................................................ 38
Tabel 4.2 Hasil Pengujian pH Kaolin Facial Wash Sebelum dan
Sesudah Di-adjust ............................................................ 39
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Tinggi Busa dan Stabilitas Busa Kaolin
Facial Wash ..................................................................... 41
Tabel 4.4 Hasil Pengujian pH Formula Kaolin Facial Wash Sebelum
dan Sesudah Cycling Test ................................................ 47
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Viskositas Formula Kaolin Facial
Wash Sebelum dan Sesudah Cycling Test ....................... 48
Tabel 4.6 Hasil Rata-Rata Data Pengujian Hedonik Kaolin Facial
Wash ................................................................................ 50
Tabel 4.7 Hasil Total Plate Count Suspensi Bakteri Penyebab
Jerawat Propionibacterium acnes ................................... 53

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Saponifikasi Trigliserida ................................................. 11
Gambar 2.2 Splitting Lemak (Gliserol Sebagai Hasil Samping) dan
Reaksi Netralisasi Asam Lemak ...................................... 12
Gambar 2.3 Pembuatan Lapisan Tipis di Atas Permukaan Air ........... 12
Gambar 2.4 Asam Laurat .................................................................... 13
Gambar 2.5 Asam Miristat .................................................................. 14
Gambar 2.6 Asam Oleat ...................................................................... 14
Gambar 2.7 Propilen Glikol ................................................................ 17
Gambar 2.8 Asam Laktat..................................................................... 18
Gambar 4.1 Kurva Viskositas Ketiga Formula Kaolin Facial Wash di
Semua Rpm ..................................................................... 44
Gambar 4.2 Kurva Sifat Alir ............................................................... 44
Gambar 4.3 Kurva Viskositas Ketiga Formula Kaolin Facial Wash di
Semua Rpm Setelah Cycling Test.................................... 48
Gambar 4.4 Kurva Sifat Alir Sebelum dan Sesudah Cycling Test ...... 49

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Sertifikat Analisa Bahan Kaolin ...................................... 66
Lampiran 2. Sertifikat Analisa Asam Miristat ..................................... 67
Lampiran 3. Sertifikat Analisa Asam Laurat ....................................... 68
Lampiran 4. Sertifikat Analisa Sodium Laurileter Sulfat .................... 69
Lampiran 5. Sertifikat Analisa Propilen Glikol ................................... 70
Lampiran 6. Sertifikat Analisa Asam Laktat ....................................... 71
Lampiran 7. Sertifikat Analisa Nutrien Agar ....................................... 72
Lampiran 8. Sertifikat Analisa Propionibacterium acnes (ATCC) ..... 73
Lampiran 9. Alur Penelitian ................................................................. 74
Lampiran 10. Data Pengujian pH ........................................................... 75
Lampiran 11. Hasil Uji Statistik pH Kaolin Facial Wash (Variasi
Konsentrasi SLES) .......................................................... 75
Lampiran 12. Hasil Uji Homogenitas Kaolin Facial Wash (Variasi
Konsentrasi SLES) .......................................................... 78
Lampiran 13. Data dan Cara Perhitungan Tinggi Busa dan Stabilitas
Busa Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES) .. 79
Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa dan Stabilitas Busa
Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES) ........... 79
Lampiran 15. Hasil Uji Daya Bersih terhadap Noda Lipstik Kaolin
Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES) ....................... 81
Lampiran 16. Data Viskositas dan Rheologi Formula I, II, III Kaolin
Facial Wash ..................................................................... 82
Lampiran 17. Hasil Uji Mekanik ........................................................... 84
Lampiran 18. Hasil Cycling Test ........................................................... 84
Lampiran 19. Hasil Pengolahan Data Statistik Uji Hedonik ................. 85
Lampiran 20. Isolat Propionibacterium acnes ....................................... 85
Lampiran 21. Identifikasi Bakteri Hasil Peremajaan dengan Pewarnaan 86
Lampiran 22. Data Uji Swab .................................................................. 87
Lampiran 23. Hasil Uji Statistik Uji Swab Kaolin Facial Wash
Konsentrasi SLES 10% terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat Propionibacterium acnes ................................... 88
Lampiran 24. Formula Pond’s Facial Wash Antibacterial with Herbal
Clay (Kaolin) (Kontrol Positif) ....................................... 91

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Lampiran 25. Gambar Hasil Uji Swab (Sampel 200 mg) ...................... 92
Lampiran 26. Gambar Hasil Uji Swab (Sampel 500 mg) ...................... 92

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit wajah rentan terhadap gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh produksi minyak berlebih dari kelenjar minyak, faktor hormonal, atau
aktivitas sehari-hari di dalam dan di luar rumah (Widiawati, 2014). Gangguan
yang sering muncul pada kulit wajah adalah jerawat. Jerawat yang juga dikenal
dengan nama Acne vulgaris, merupakan kondisi kulit abnormal yang
disebabkan oleh gangguan produksi minyak berlebih dari kelenjar minyak
(Widiawati, 2014; Movita, 2013). Menurut Farida, kelebihan produksi minyak
dari kelenjar minyak atau sebaceous gland akan menyebabkan penyumbatan
pada saluran folikel rambut dan pori-pori kulit (Widiawati, 2014). Penyakit
kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit polisebasea ini sering terjadi
pada masa remaja (Movita, 2013) serta dianggap sebagai siklus fisiologis
karena dapat terjadi akibat perubahan hormonal yang umumnya diderita oleh
orang yang mempunyai jenis kulit berminyak (Widiawati, 2014).
Propionibacterium acnes (P.acnes) merupakan bakteri anaerobik
yang berperan penting dalam patogenesis timbulnya jerawat di kulit, terutama
di kulit wajah. Bakteri ini menggunakan gliserol dalam sebum sebagai sumber
nutrisi, kemudian membentuk asam lemak bebas dari sebum yang
menyebabkan sel-sel neutrofil memberikan respons berupa enzim yang dapat
merusak dinding folikel rambut sehingga terjadi inflamasi (Lucyani, 2014).
Pada dasarnya, reaksi tersebut terjadi apabila terdapat penumpukan kotoran
dan sel kulit mati pada saluran kandung rambut yang terpapar oleh bakteri
Propionibacterium acnes (Tanghetti, 2013; Widiawati, 2014).
Pembersihan wajah menggunakan sabun wajah merupakan langkah
awal untuk mencegah terjadinya acne (Movita, 2013). Sabun merupakan tipe
surfaktan yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan tegangan
antarmuka, serta memiliki sifat penyabunan, dispersibilitas, emulsifikasi, dan
pembersih (Mitsui, 1997). Kemampuan sabun tersebut dapat dimanfaatkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

untuk membersihkan wajah dari paparan debu, polusi, kotoran, serta minyak di
wajah yang dapat menginisiasi timbulnya jerawat.
Menurut Carretero dan Pozo (2010), clay atau mineral dapat
digunakan sebagai bahan aktif dalam kebutuhan pharmaceuticals dan
cosmetics. Pada kebutuhan pharmaceuticals, mineral dapat digunakan sebagai
agen terapeutik secara oral maupun topikal, sedangkan pada kebutuhan
kosmetik, mineral dapat digunakan untuk mengatasi masalah kecantikan secara
topikal. Salah satu jenis mineral yang memiliki sifat antimikroba dengan cara
mengadsorbsi bakteri dan virus adalah kaolin (WHO, 2005). Chung (1987)
menyatakan bahwa kaolin dapat mengadsorbsi S. aureus dan S. lutea (gram
positif). Unuabonah et al (2017) juga menyatakan bahwa kaolin dapat
digunakan sebagai desinfektan air dengan mengadsorbsi bakteri yang terdapat
di dalam air, yang dibuktikan dengan mengujikannya pada bakteri
Escherichiacoli (ATCC 25922), Vibro cholerae (ATCC 25837), dan
Salmonella typhimurium (ATCC 13311). Disamping itu, Eriatna (2017)
membuktikan sabun yang mengandung kaolin dengan konsentrasi 15% dapat
membilas bakteri air liur anjing dalam satu kali bilasan aquadest dengan
menggunakan uji swab. Rizka (2017) juga menegaskan bahwa mekanisme
kerja sabun padat kaolin terhadap bakteri air liur anjing adalah tidak dengan
cara membunuh bakteri melainkan dengan membilas (mengadsorbsi) bakteri
tersebut bersama dengan air. Keempat penelitian tersebut membuktikan bahwa
kaolin memiliki sifat antibakteri dengan cara mengadsorbsi bakteri uji. Sebagai
nilai tambah, kaolin tidak hanya mengadsorbsi bakteri dan virus, tetapi juga
dapat mengadsorbsi partikel kecil (debu, kotoran) dan minyak di kulit (WHO,
2005; Carretero dan Pozo, 2010)
Tidak hanya sebagai adsorben bakteri yang baik, kaolin juga memiliki
nilai estetika yang tinggi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Angkatavanich
et al (2009) yang membandingkan empat jenis tanah (kaolin, bentonit, veegum,
dan marl) pada sediaan clay liquid detergent untuk aplikasi cuci tangan dan
cuci piring, dimana sediaan dengan tanah kaolin memiliki penampilan
organoleptis yang paling baik. Selain itu, menurut Primadiati (2001) dalam
Widiawati (2014), kaolin dapat memberikan efek astringensia ringan yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

cocok untuk memperbaiki kulit berpori terbuka dan mengencangkan kulit.


Penelitian tersebut membuktikan bahwa kaolin berpotensi menjadi bahan dasar
facial wash yang menjanjikan.
Sodium Laurylether Sulfate (SLES) merupakan surfaktan anionik
yang paling banyak digunakan untuk kosmetik atau produk-produk perawatan
diri. SLES berbentuk gel, mudah mengental dalam garam, menunjukkan
kelarutan yang baik dalam air, serta mudah menimbulkan busa dan risiko iritasi
rendah dibandingkan dengan Sodium Laurylsulfate (SLS) (Spiess, 1996; EMA,
2015). Sifat-sifat SLES tersebut dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan pada
formulasi kaolin facial wash untuk menghasilkan sediaan dengan karakteristik
yang baik.
Melihat kemampuan SLES tersebut, serta belum diujikannya daya
antibakteri kaolin terhadap Propionibacterium acnes, peneliti ingin
memformulasikan sabun pembersih wajah berbahan dasar kaolin (15%)
dengan variasi konsentrasi SLES (7,5%, 10%, 15%), kemudian mengujikan
daya bersihnya terhadap Propionibacterium acnes di kulit.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, antara lain:
1. Berapakah konsentrasi Sodium Laurylether Sulfate yang dapat
memberikan karakteristik kaolin facial wash yang baik?
2. Bagaimanakah daya bersih kaolin facial wash terhadap bakteri
Propionibacterium acnes di kulit?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi kaolin facial wash dan
untuk mengetahui daya bersihnya terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Menentukan konsentrasi Sodium Laurylether Sulfate yang dapat
memberikan karakteristik kaolin facial wash yang baik.
2. Mengetahui daya bersih kaolin facial wash terhadap bakteri
Propionibacterium acnes.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini, antara lain:
1. Memberikan informasi konsentrasi Sodium Laurylether Sulfate yang baik
dalam memberikan stabilitas dan kekentalan terhadap formula kaolin facial
wash.
2. Memberikan informasi bagaimanakah daya bersih kaolin facial wash
terhadap bakteri Propionibacterium acnes.
3. Memberikan peluang pada produsen produk kosmetik untuk menciptakan
produk facial wash yang inovatif dengan formula yang sederhana.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acne vulgaris (Jerawat)


Acne vulgaris atau jerawat adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif
kronik pada unit polisebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Acne sering
menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarkhe
atau haid pertama. Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-laki
karena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki (Movita,
2013).
Acne memiliki gambaran klinis yang beragam, mulai dari komedo, papul,
pustul, hingga nodus dan jaringan parut sehingga disebut dermatosis polimorfik
dan memiliki peranan poligenetik. Pola penurunannya tidak mengikuti hukum
Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah menderita acne berat pada masa
remajanya, anak keturunannya akan memiliki kecenderungan serupa pada masa
pubertas. Meskipun tidak mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan
memberi dampak sosioekonomi pada penderitanya (Movita, 2013).

2.1.1 Patogenesis Acne


Patogenesis acne meliputi empat faktor, yaitu hiperpoliferasi epidermis
folikular sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi,
dan aktivitas Propionibacterium acnes (P. acnes). Sekresi kelenjar sebasea dipicu
oleh pembentukan hormon androgen yang berlebih sehingga pada usia pubertas
akan banyak jerawat timbul pada wajah, dada, punggung. Androgen akan
meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum. Selain
itu, androgen juga merangsang poliferasi keratinosit pada duktus sebaglandularis
dan akroinfundibulum. Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu infundibulum,
menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah sehingga terjadi
sumbatan pada muara folikel rambut yang menyebabkan akumulasi keratin,
sebum, bakteri, dan menimbulkan dilatasi folikel rambut bagian atas sehingga
membentuk mikrokomedo (Movita, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

Propionibacterium acnes (P.acnes) merupakan suatu bakteri anaerob


yang berperan penting dalam patogenensis timbulnya jerawat di kulit, terutama di
kulit wajah. Propionibacterium acnes juga merupakan flora normal kelenjar
polisebasea. Remaja dengan acne memiliki konsentrasi Propionibacterium acnes
lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa acne, tetapi tidak terdapat korelasi antara
jumlah Propionibacterium acnes dengan kondisi berat acne (Movita, 2013).
Jerawat dapat disebabkan oleh berkembangnya komedo menjadi inflamasi apabila
terinfeksi oleh Propionibacterium acnes, bakteri ini menggunakan gliserol dalam
sebum sebagai sumber nutrisi, kemudian Propionibacterium acnes akan
membentuk asam lemak bebas dari sebum yang menyebabkan sel-sel neutrofil
menunjukkan respons untuk mengeluarkan enzim yang dapat merusak dinding
folikel rambut sehingga dapat menyebabkan inflamasi (Lucyani et al., 2014). Pada
dasarnya, reaksi tersebut terjadi apabila terdapat penumpukan kotoran dan sel
kulit mati pada saluran kandung rambut, yang kemudian terpapar oleh bakteri
Propionibacterium acnes (Tanghetti, 2013; Widiawati, 2014).

2.1.2 Propionibacterium acnes


Klasifikasi Propionibacterium acnes : (Dwidjoseputro, 2010)
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomicetales
Keluarga : Propionibacteriaceae
Marga : Propionibacterium
Jenis : acnes
Propionibacterium acnes merupakan bakteri Gram positif, tidak membentuk
spora, berbentuk batang yang tersusun dalam rantai pendek atau berkoloni
membentuk Y atau V dengan panjang 1 – 5 µm dan lebar 0,4 – 0,7 µm, bersifat
anaerob hingga aerotoleran, pleomorfik dan nonmotil, serta tumbuh dengan
sangat pesat pada suhu 30°C – 37°C (Smith et al., 1996; Jawetz et al., 2001;
Mcdowell et al., 2016). Propionibacterium acnes adalah bakteri yang umumnya
berperan terhadap terjadinya jerawat. Bakteri ini menghasilkan asam lemak bebas
melalui hidrolisis trigliserida kelenjar sebasea oleh lipasenya. Asam lemak ini

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

juga menyebabkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun


dan mendukung terjadinya jerawat (Jawetz and Adelberg,’s, 2013).

2.1.3 Pencegahan dan Pengobatan Acne


Terapi dan pencegahan acne dimulai dari pembersihan wajah
menggunakan sabun. Beberapa sabun sudah mengandung antibakteri, misalnya
triclosan yang menghambat kokus Gram positif. Selain itu, juga banyak sabun
mengandung benzoil peroksida atau asam salisilat (Movita, 2013).
Menurut Wasitaatmadja (1997) pengobatan topikal pada jerawat
merupakan pencegahan awal pembentukkan komedo dengan tujuan untuk
menekan peradangan dan kolonisasi bakteri agar tidak berkembang menjadi acne
serta penyembuhan lesi jerawat. Bahan topikal untuk pengobatan acne sangat
beragam seperti, sulfur, sodium sulfasetamid, resorsinol, dan asam salisilat, sering
ditemukan sebagai obat bebas. Benzoil peroksida merupakan antimikroba kuat,
tetapi bukan antibiotik sehingga tidak menimbulkan resistensi (Movita, 2013).

2.2 Antibakteri
Antibakteri merupakan agen pembasmi atau penghambat pertumbuhan
bakteri, khususnya bakteri yang merugikan bagi manusia. Antibakteri yang
digunakan harus bersifat sangat toksik bagi bakteri, tetapi relatif tidak toksik bagi
hospes (Jain and Basal, 2003). Menurut Brooks (2005), antibakteri dibedakan
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat
pertumbuhan dinding sel bakteri, antibakteri yang mengakibatkan perubahan
permeabilitas membran sel bakteri atau menghambat pengangkutan aktif melalui
membran sel bakteri, antibakteri yang menghambat sintesis protein bakteri, dan
antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri, sedangkan,
aktivitas antibakteri dibagi menjadi dua macam, antara lain aktivitas bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi tidak membunuhnya) dan aktivitas
bakterisidal (membunuh bakteri dalam kisaran yang luas).

2.3 Clay
Clay merupakan sumber mineral terbesar dan tersebar luas, yang banyak
digunakan untuk kepentingan industri secara komersial. Umumnya dalam teori

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

geologi, istilah “clay” memiliki beberapa arti, di antaranya, butiran halus mineral,
tanah liat mineral dengan ukuran partikel lebih kecil dari lanau (lumpur), sedimen
butiran halus yang sebagian besar mengandung mineral tanah liat. Dalam definisi
terakhir, clay diartikan juga sebagai butiran halus serpihan non-aluminosilicates
dan tanah argillaceous (WHO, 2005).
Menurut Nesse (2012), clay didefinisikan sebagai partikel yang berukuran
kurang dari 1/265 mm (0,004 mm) atau kurang dari 0,002 mm. Beberapa
kegunaan dari clay dalam dunia industri antara lain, pelapis dan pengisi kertas,
bahan pembuat keramik, kosmetik, produk tahan api, produk bangunan, semen
porttland, adsorben, sebagai aditif makanan, dan obat-obatan (Nesse, 2012).
Clay atau mineral dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam kebutuhan
pharmaceuticals dan cosmetics. Pada kebutuhan pharmaceuticals, mineral dapat
digunakan sebagai agen terapeutik secara oral maupun topikal, sedangkan, pada
kebutuhan kosmetik, mineral dapat digunakan untuk mengatasi masalah
kecantikan secara topikal. Clay atau mineral digunakan dalam produk kosmetik
berupa solar protector, pasta gigi, krim, bedak dan emulsi, bathroom salts dan
deodorant. Mineral berwarna opaque (kaolinite, smectites, dan talc) dengan
kapasitas adsorbsi yang tinggi biasanya digunakan dalam formula kosmetik
sebagai krim, bedak, emulsi untuk memberikan penampilan opacity dan menutupi
cela. Selain dapat melekat dan membentuk lapisan pelindung di kulit, opaque
minerals juga dapat menyerap minyak dan kotoran (toxin) (Carretero dan Pozo,
2009).

2.3.1 Kaolin
Kaolin merupakan tanah liat Cina yang mengandung 10 – 95 % mineral
kaolinit, biasanya mineral kaolinit yang terkandung dalam kaolin sebesar 85 – 95
%. Selain mengandung mineral kaolinit, kaolin juga mengandung quartz dan
mika, serta mengandung sebagian kecil feldspar, illite, montmorillonite, ilmenite,
anastase, haematite, bauxite, zircon, rutile, kyanite, silliminate, graphite,
attapulgite, dan, halloysite (WHO, 2005).
Kaolin terbentuk akibat pelapukan batu granit. Kaolin berwarna putih,
putih keabu-abuan, atau sedikit berwarna. Kaolin terbuat dari lembaran kristal
triklinik yang tipis, pseudoheksagonal, dan fleksibel dengan diameter 0,2 – 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

µm, serta memiliki kerapatan 2,1 – 2,6 g/cm3. Kaolinit dapat mengadsorbsi
molekul kecil seperti substansi lechitin, quinolin, paraquat dan diquat, protein,
poliakrilonitril, bakteria, dan virus (WHO, 2005). Oleh karena itu, kaolin dapat
berfungsi sebagai adsorben (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009). Mekanisme
adsorbsi kaolin adalah dengan pertukaran kation karena kaolin memiliki muatan
negatif yang memungkinkan pertukaran ion bermuatan positif di permukaannya
(Otto dan Haydel, 2013). Dalam pertukuran kation tersebut, terdapat istilah
kapasitas tukar kation yang merupakan suatu kemampuan kapasitas mineral untuk
mengadsorbsi suatu molekul melalui pertukaran kation. Kapasitas pertukaran
kation kaolinit jauh lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas pertukaran kation
monmorilonit (mineral yang banyak terdapat dalam bentonit), yaitu sebesar 2 –
10 meq / 100 g tergantung pada ukuran partikel. Namun, laju reaksi pertukarannya
cepat, hampir seketika (WHO, 2005). Kapasitas adsorbsi tanah kaolin meningkat
dalam keadaan asam dibandingkan dalam keadaan basa (Rahman., Nayuki Ki.,
and Take o, 2015).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1979), kaolin adalah alumunium
silikat hidrat alam yang telah dimurnikan dengan pencucian dan pengeringan,
mengandung bahan pendispersi dengan rumus kimia Al2O3.2SiO2.2H2O (Rowe.,
Paul J., dan Marian E, 2009). Kaolin berbentuk serbuk ringan, putih, bebas dari
butiran kasar, tidak berbau, dan tidak berasa, serta licin (Departemen Kesehatan
RI, 1979). Ketika kaolin terbasahi oleh air, kaolin akan tampak keruh dan
menimbulkan bau seperti tanah. Kaolin digunakan sebagai diluen dalam formulasi
tablet dan kapsul, juga digunakan sebagai pembawa suspensi. Kaolin praktis tidak
larut dalam dietileter, etanol 95%, air, pelarut organik lainnya, asam encer dingin,
dan larutan alkali hidroksida. Kaolin merupakan bahan atau material yang stabil
dan tidak beracun, serta tidak toksik (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).

2.4 Sabun
Sabun merupakan surfaktan atau campuran surfaktan yang memiliki
struktur kimia dengan panjang rantai karbon C12 hingga C16 atau C18 dan memiliki
sifat mengurangi tegangan permukaan serta tegangan antarmuka sehingga jika
digunakan dengan air dapat membersihkan lemak (kotoran) (Aufa, 2010; Mitsui,
1997). Pada umumnya, sabun yang memiliki panjang rantai karbon kurang dari

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

C12 dihindari penggunaannya karena dapat menimbulkan iritasi kulit, sedangkan


sabun yang memiliki panjang rantai karbon lebih dari C18, akan membentuk sabun
yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa (Maripa dkk (2015) dalam Mauliana,
2016).
Sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan
sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau tanpa
penambahan zat lain serta tidak menyebabkan iritasi (Standar Nasional Indonesia,
1994). Menurut Paye., Andre O., dan Maibach (2006), ketika asam lemak
disaponifikasi oleh logam alkali (natrium atau kalium), akan terbentuk garam
yang disebut dengan sabun dan gliserol sebagai produk sampingnya. Molekul
sabun memiliki bagian kepala dan ekor yang tersusun dari rantai karbon, hidrogen,
dan oksigen. Bagian kepala merupakan gugus hidrofil (rantai karboksil) yang
berfungsi untuk mengikat air dan bagian ekor merupakan gugus hidrofob (rantai
hidrokarbon) yang berfungsi untuk mengikat kotoran dan minyak (Purnamawati,
2016).
Sabun memiliki dua tipe, yaitu sabun berbasis sapo (asam lemak dan alkali)
dan berbasis surfaktan. Sabun berbasis sapo menghasilkan busa yang sangat
banyak dan daya detergensinya (daya bersih) sangat baik, serta dapat
mengencangkan kulit (skin tightness effect), sedangkan, sabun berbasis surfaktan
menghasilkan busa yang relatif lebih sedikit sehigga memperkecil timbulnya
iritasi kulit, serta memiliki daya bersih yang baik. Sabun berbasis kombinasi sapo
dan surfakan dapat meningkatkan skin tightness effect yang ditimbulkan,
memberikan kelembutan yang lebih baik pada kulit, dan mengurangi iritasi kulit
(Paye., Andre O., dan Maibach, 2006).

2.4.1 Klasifikasi Sabun


Berdasarkan fisiknya, sabun dibagi menjadi dua jenis, di antaranya:
(Ophardt, 2003)
1) Sabun Padat (Hard Soap)
Sabun padat merupakan sabun yang terbuat dari alkali natrium dan asam lemak
rantai panjang (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Berdasarkan tingkat
transparannya, sabun padat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Sabun opaque, sabun yang memiliki tampilan tidak tembus cahaya,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

b. Sabun translucent, sabun yang memiliki tampilan agak tembus cahaya,


c. Sabun transparan, sabun yang memiliki tampilan tembus cahaya.
2) Sabun Cair (Soft Soap)
Sabun cair (Soft Soap), sabun yang terbuat dari alkali potasium dan asam
lemak rantai panjang (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Menurut Standar
Nasional Indonesia (1996), sabun cair adalah sediaan pembersih kulit
berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar sabun atau deterjen dengan
penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan tanpa menimbulkan
iritasi kulit.

2.4.2 Metode Pembuatan Sabun

Gambar 2.1 Saponifikasi Trigliserida


[Sumber: Paye., Andre O., dan Maibach, 2006]

Teknis pembuatan sabun di industri dimulai dari penerimaan bahan-bahan


utama pembuat sabun (seperti lemak dan minyak) dan diakhiri dengan proses
pencetakkan sabun ke dalam bentuk yang diinginkan, serta dikemas untuk dijual.
Pada umumnya, terdapat dua proses yang mendasar dalam pembuatan sabun, yaitu
saponifikasi dan netralisai (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Saponifikasi
atau reaksi penyabunan adalah reaksi antara minyak atau lemak dengan alkali
menghasilkan gliserol dan garam (sabun) (Parasuram, 1995), sedangkan, reaksi
netralisasi adalah minyak atau lemak diubah menjadi asam lemak terlebih dahulu
melalui proses splitting (hidrolisis) sehingga menghasilkan asam lemak yang
kemudian direaksikan dengan soda kausatik (alkali) dan menghasilkan sabun serta
air (Parasuram, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

Gambar 2.2 Splitting Lemak (Gliserol Sebagai Hasil Samping) dan Reaksi
Netralisasi Asam Lemak
[Sumber: Paye., Andre O., dan Maibach, 2006]

2.4.3 Prinsip Kerja Sabun


Menurut Wasitaatmadja (1997), kotoran berupa minyak tidak cukup
dibersihkan hanya dengan air, tetapi juga memerlukan zat lain seperti sabun yang
memiliki sifat surfaktan untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak
dan air. Prinsip kerja sabun mirip seperti prinsip kerja surfaktan karena sabun
terdiri atas molekul hidrokarbon nonpolar (hidrofobik) dan ion karboksilat
(hidrofilik). Jika sabun dilarutkan ke dalam air, ujung hidrofilik sabun akan
tertarik ke dalam air dan melarutkannya, tetapi bagian hidrofobik sabun ditolak
oleh air sehingga membetuk lapisan di atas pemukaan air dan menurunkan
tegangan permukaan air. Bila sabun mengenai sesuatu yang berlemak atau
beminyak (sebagian besar kotoran), bagian hidrofobik sabun akan membalut
kotoran tersebut sehingga kotoran teremulsikan dan larut (Ashar, 2006).

Gambar 2.3 Pembuatan Lapisan Tipis di Atas Permukaan Air


[Sumber: Purnamawati, 2016]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun


Pada umumnya, bahan dasar pembentuk sabun terdiri atas lemak atau
minyak dan alkali kausatik seperti NaOH atau KOH. Selain itu, terdapat pula
bahan tambahan yang ditujukan untuk memperbaiki penampilan dan cara kerja
sabun, seperti surfaktan, humektan, antioksidan, fragrance, pewarna,
preservative, serta bahan tambahan khusus seperti fillers, exfoliants, antiacne, dan
antiirritants (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006).
Berikut merupakan uraian bahan yang digunakan dalam formulasi kaolin
facial wash:
1. Asam Laurat

Gambar 2.4 Asam Laurat


[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

Asam laurat atau asam dodekanoat merupakan suatu asam lemak


karboksilat yang diisolasi dari sayuran dan lemak hewan atau minyak, seperti
misalnya minyak kelapa dan minyak biji sawit (palm kernel oil) mengandung
asam laurat dengan konsentrasi tinggi. Asam laurat memiliki rumus kimia
C12H24O2 dengan berat molekul 200,32 g/mol, berbentuk serbuk kristal putih
dengan bau khas minyak yang lemah. Asam laurat memiliki titik didih 298,9°C,
kerapatan 0,883 g/cm3 (pada suhu 20°C); 0,8679 g/cm3 (pada suhu 50°C), titik
leleh 44°C – 48°C, dan viskositas 7,3 mPa s (dinamik); 8,41 mPa s (kinetik) pada
suhu 50°C. Selain itu, asam laurat memiliki kelarutan dalam air 4,81 mg/ml (suhu
25°C); sangat mudah larut dalam eter, etanol 95%, dan metanol; larut dalam
aseton; sukar larut dalam chloroform; serta miscible dalam benzena (Rowe., Paul
J., dan Marian E, 2009).
Asam laurat sangat luas digunakan dalam preparasi kosmetik, sebagai zat
tambahan dalam industri makanan, dan dalam formulasi farmasetikal, serta dapat
digunakan sebagai enhancer pada sediaan topikal (Rowe., Paul J., dan Marian E,
2009). Dalam dunia kosmetik, asam laurat biasanya digunakan sebagai bahan
baku pembuatan sabun (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Penggunaan asam
laurat dalam produk kosmetik termasuk dalam pembuatan sabun berkisar 0,1% -

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

25% (Anonim, 1987). Asam laurat stabil dalam suhu ruang dan harus disimpan
dalam tempat yang sejuk dan kering (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
2. Asam Miristat

Gambar 2.5 Asam Miristat


[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

Asam miristat atau asam tetradekanoat secara alami terdapat dalam


minyak biji pala dan banyak terdapat dalam lemak hewan serta sayuran. Asam
miristat memiliki rumus kimia C14H28O2 dengan berat molekul 228,37 g/mol,
berbentuk serbuk kristal putih yang berminyak dengan bau khas yang lemah.
Asam miristat memiliki titik leleh 44°C – 48°C. Asam ini larut dalam eter, etanol
95%, aseton, chloroform, aromatik, dan pelarut chlorinated; praktis tidak larut
dalam air (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
Asam miristat digunakan dalam formulasi farmasetikal oral dan topikal,
yang berfungsi sebagai penetration enhancer (Rowe., Paul J., dan Marian E,
2009). Dalam dunia kosmetik, asam miristat biasanya digunakan sebagai bahan
baku pembuatan sabun (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Penggunaan asam
miristat dalam produk kosmetik termasuk dalam pembuatan sabun berkisar 0,1%
- 25% (Anonim, 1987).Asam miristat harus disimpan dalam tempat yang tertutup
baik, sejuk, dan kering (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
3. Asam Oleat

Gambar 2.6 Asam Oleat


[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

Asam oleat atau asam (Z)-9-oktadekenoat merupakan suatu asam lemak


karboksilat yang dihasilkan dari hidrolisis minyak sayur dan lemak hewan, seperti
olive oil, hasil hidrolisis minyak atau lemak tersebut berupa asam lemak cair.
Asam oleat memiliki rumus kimia C18H34O2 dengan berat molekul 282,47 g/mol,
berbentuk cairan berminyak, berbau dan berasa seperti lemak, berwarna
kekuningan hingga cokelat pucat. Asam oleat memiliki titik didih 286°C,
kerapatan 0,895 g/cm3, titik leleh 13°C – 14°C, dan viskositas 26 mPa s (dinamik).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Selain itu, asam oleat memiliki kelarutan yang miscible dalam eter, etanol 95%,
chloroform, heksan, serta fixed dan volatile oil; larut dalam aseton; praktis tidak
larut dalam air (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
Asam oleat digunakan sebagai agen pengemulsi dalam formulasi makanan
dan farmasetikal topikal. Asam ini juga dapat digunakan sebagai penetration
enhancer dalam formulasi transdermal. Asam oleat mudah teroksidasi, jika
terpapar udara, asam ini akan menghitam dan berbau khas yang sangat menyengat.
Asam oleat harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya,
serta di tempat yang sejuk dan kering (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
Penggunaan asam oleat dalam produk kosmetik termasuk dalam pembuatan sabun
berkisar 0,1% - 25% (Anonim, 1987).
4. Sodium Lauryl Eter Sulfat (SLES)
Sodium Lauril Eter Sulfat (SLES) memiliki rumus kimia R-(OCH2CH2)n-
OSO3-Na+ dengan R adalah rantai alkil (C12 atau lauril) dan kebanyakan derajat
etoksilat (n) adalah 2 atau 3 (Shipp, 1996). SLES merupakan surfaktan anionik
yang paling banyak digunakan untuk kosmetik atau produk-produk perawatan diri
(Spiess, 1996). SLES berbentuk gel sehingga konsentrasi yang tinggi dapat
menyebabkannya sukar larut dalam air dan berwarna transparan hingga
kekuningan (Shipp, 1996). Surfaktan ini memiliki pH 7 – 9, mudah mengental
dengan garam dan menunjukkan kelarutan yang baik dalam air. Berdasarkan
sifatnya tersebut, SLES merupakan deterjen (agen pembersih) sekaligus agen
pengemulsi, pembasah, dan pembusa yang baik (Spiess, 1996).
Di Eropa, Lauril Eter Sulfat (apalagi dalam bentuk garam sodium) paling
banyak digunakan sebagai surfaktan primer, sedangkan, Lauril Sulfat menjadi
pilihan kedua setelah Lauril Eter Sulfat. Berdasarkan sifat deterjensinya, Lauril
Sulfat lebih baik jika dibandingkan dengan Lauril Eter Sulfat. Akan tetapi, Lauril
Sulfat mudah menyebabkan iritasi, serta memiliki kelarutan dan pembentukan
busa yang kurang baik dibandingkan dengan Lauril Eter Sulfat. European
Medicines Agency (2015) yang membahas review SLS sebagai eksipien
menyebutkan bahwa SLES efektif pada rentang pH yang luas, baik dalam larutan
asam maupun basa dan dalam air sadah yang akan menyebabkan SLES lebih
menimbulkan busa yang ekstra dibandingkan dengan SLS. Lauril Sulfat dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

Lauril Eter Sulfat terdapat dalam sediaan pada konsentrasi antara 25% - 30% (high
active concentration), biasanya dalam rentang 6% - 70% bahan aktif (Shipp,
1996).
5. KOH
KOH atau kalium hidroksida (potassium hydroxida atau causatic
potassium) merupakan suatu agen pembasa yang dibuat dengan mengelektrolisis
KCl. Dalam keadaan yang belum dimurnikan, KOH kemungkinan masih
mengandung Cl. KOH tersedia dalam bentuk pelet, flake, atau dalam bentuk lain,
berwarna hampir putih hingga putih, merupakan padatan keras dan menunjukkan
struktur kristalin, serta sangat higroskopis dan mudah menyerap air. KOH
memiliki berat molekul 56,11 g/mol, pH 13,5 dalam 0,1 M larutan air, dan titik
leleh 360°C – 380°C (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009). KOH memiliki
kelarutan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kelarutan KOH

[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

KOH sangat luas digunakan dalam formulasi farmasetikal untuk meng-


adjust pH. Substansi ini dapat juga direaksikan dengan asam lemah untuk
membentuk garam (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009), kebanyakan dialikasikan
dalam pembuatan sabun (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). KOH harus
disimpan dengan baik dan benar, dalam wadah tertutup rapat yang tidak terdapat
unsur logam, serta diletakkan di tempat yang sejuk dan kering (Rowe., Paul J.,
dan Marian E, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

6. Propilen Glikol

Gambar 2.7 Propilen Glikol


[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

Propilen gikol merupakan hasil konversi dari 1,2-propilen oxide, yang


merupakan hasil hidrolisis klorohidin dengan chlorine water. Propilen gikol
memiliki rumus kimia C3H8O2 dengan berat molekul 76,09 g/mol, berbentuk
cairan jernih, agak kental, tidak berbau dan berasa manis. Propilen gikol memiliki
titik didih 188°C, kerapatan 1,038 g/cm3 pada suhu 20°C, titik leleh -59°C, dan
viskositas 58,1 mPa s pada suhu 20°C. Selain itu, propilen gikol memiliki
kelarutan yang miscible dalam etanol 95%, chloroform, gliserin, dan air; larut
dalam eter (1:6); tidak mudah larut dalam light mineral oil atau fixed oil, tetapi
larut dalam essential oil (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
Dalam industri kosmetik, propilen glikol sering digunakan sebagai pelarut
dan humektan. Konsentrasi propilen glikol yang digunakan sebagai humektan
berkisar ≈ 15%. Dalam rentang konsentrasi 15% - 30%, propilen glikol dapat
bertindak sebagai preservative. Propilen glikol stabil dalam wadah tertutup baik
pada suhu ruang dan suhu sejuk , tetapi tidak stabil dalam penyimpanan suhu
panas dengan wadah terbuka (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
7. Aqua Destilata
Aqua destilata (aquadest) atau air suling merupakan air yang dimurnikan
dengan beberapa proses, yaitu koagulasi, settling, penyaringan, aerasi, klorinasi,
pendidihan hingga 15-20 menit, dan penyaringan dengan penambahan karbon
aktif (charcoal filtration) yang kemudian melalui beberapa proses akhir (destilasi,
deionisasi, reverse osmosis, dan filtrasi membran). Aq dest memiliki rumus kimia
H2O dengan berat molekul 18,02 g/mol, berbentuk larutan steril yang jernih, tidak
berbau dan berasa, serta aman untuk dikonsumsi. Aquadest memiliki titik didih
100°C, kerapatan 1 g/cm3, titik leleh 0°C, dan viskositas 0,89 mPa s pada suhu
25°C. Selain itu, aquadest kompatibel dengan banyak material. Aquadest dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

industri farmasetikal, makanan, dan kosmetik sangat dibutuhkan sebagai pelarut


dan pembawa (vehicle) (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
8. Asam Laktat

Gambar 2.8 Asam Laktat


[Sumber: Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009]

Asam laktat terdiri atas campuran dari asam 2-hidroksipropionat, asam


laktoillaktat dan asam polilaktat lainnya, serta air. Asam laktat praktis tidak
berbau, tidak berwarna atau agak kekuningan, cairan kental, higroskopis, dan
nonvolatil. Oleh karena sifatnya yang higroskopis, asam laktat harus di simpan
dalam tempat tertutup baik pada suhu sejuk dan kering. Eksipien ini banyak
digunakan dalam industri makanan, kosmetik, dan farmasetikal sebagai acidifying
agent, acidulant (rentang konsentrasi dalam sediaan topikal 0,015% – 6,6%).
Dalam sediaan topikal seperti sediaan kosmetik, asam laktat dapat memberikan
softening dan conditioning effect pada kulit(Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
9. Parfum
Parfum merupakan bahan tambahan pada produk kosmetik yang dapat
memengaruhi penerimaan konsumen. Umumnya, penggunaan parfum untuk
menutupi bau dari asam lemak pada formulasi sabun padat. Parfum yang
digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan produk
akhir (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006).

2.5 Sabun Pembersih Wajah


Sabun pembersih wajah merupakan salah satu pembersih yang tidak hanya
digunakan untuk membersihkan sel kulit mati, kotoran, minyak, dan kosmetik,
tetapi juga merupakan langkah awal dalam perawatan kulit sehari-hari, serta
membantu mempersiapkan kulit saat pemberian pelembab atau perawatan lainnya
terhadap kulit wajah. Karateristik yang diharapkan dari sediaan sabun pembersih
wajah adalah mampu membersihkan kulit wajah baik dari kotoran yang ada di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

permukaan kulit wajah atau make up, membantu membersihkan sel-sel kulit mati,
membersihkan mikroorganisme (bakteri), meminimalisir kerusakan pada
epidermis dan stratum korneum (Draelos, 2010).
Menurut Draelos (2010), mekanisme pembersihan pada sediaan sabun
pebersih wajah terbagi menjadi 3, yaitu secara kimia, fisika, dan gabungan dari
keduanya. Mekanisme secara kimia merupakan mekanisme yang paling sering
dan umum terjadi, yang disebabkan oleh adanya surfaktan dan pelarut.
Berdasarkan tipenya, facial wash atau facial foam termasuk tipe lathering
cleanser karena mampu menghasilkan busa pada saat penggunaannya. Disamping
itu, surfaktan yang terdapat dalam facial wash atau facial foam tipe lathering
cleanser ini merupakan surfaktan dengan rantai hidrofobik yang lebih pendek
karena dapat menghasilkan busa yang lebih banyak dan lebih cepat. Mekanisme
pembersihan yang terjadi pada lathering cleanser termasuk ke dalam mekanisme
kimia, yaitu melalui proses emulsifikasi, yang surfaktannya akan mengemulsikan
kotoran dan minyak, kemudian membersihkannya dari kulit pada saat pembilasan
dengan air (Draelos, 2010).

2.6 Sifat Fisika dan Kimia Sabun Cair


2.6.1 Organoleptis
Penilaian organoleptis sabun cair dapat dilihat dari segi bentuk, bau, dan
warna. Organoleptis suatu produk harus sangat diperhatikan karena organoleptis
produk dapat memengaruhi minat konsumen. Berikut merupakan persyaratan
organoleptis sabun cair: (SNI 06-4085-1996)
a) Bentuk : Sabun harus terdapat dalam bentuk cair atau lunak.
b) Bau : Bau sabun harus sesuai dengan fragrance yang
ditambahkan.
c) Warna : Warna sabun dapat diatur dengan zat pewarna sesuai
keinginan produsen.

2.6.2 pH
pH sabun cair yang dipersyarakat oleh SNI adalah dalam rentang 6 – 8
(Wasitaadmadja, 1997). Sedangkan, pH untuk facial wash perlu disesuaikan
dengan pH kulit wajah yang berkisar 4,5 – 6,5 (Noor dan Desy, 2009). Nilai pH

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

suatu bahan dapat memengaruhi daya absorpsi bahan tersebut melalui kulit yang
dapat mengakibatkan iritasi kulit ataupun membuat kulit kering. Sabun dengan
pH yang terlalu asam dapat mengiritasi kulit karena daya absorbsi bahan melalui
kulit meningkat, sedangkan sabun dengan pH yang terlalu basa dapat membuat
kulit kering (Ayu et al., 2010; Buchmann, 2001). Nilai pH juga merupakan
indikator daya busa suatu sabun.

2.6.3 Daya Busa


Menurut Schramn (2005), busa merupakan dispersi koloid, yaitu gas
yang terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan. Daya pembusaan suatu
sabun merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan mutu suatu
sabun. Dalam penggunaannya, busa berperan dalam proses pembersihan dan
pelimpahan wangi sabun pada kulit (Gromophone (1983) dalam Hernani.,
Bunasor., dan Fitriati 2010). Daya pembusaan sabun yang meliputi kualitas,
kuantitas, dan kecepatan pembentukkan busa dinilai dari stabilitas busa yang
dibuat dalam skala angka (Piyali et al (1999) dalam Harris., Yudhomenggolo.,
dan Putut, 2016).
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
% 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐵𝑢𝑠𝑎 = 𝑥 100%
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙
Menurut Deragon et al (1968), kriteria stabilitas busa yang baik, yaitu apabila dalam
5 menit diperoleh kisaran stabilitas busa antara 60% - 70% (Rozi, 2013).

2.6.4 Daya Bersih


Daya bersih (daya deterjensi) adalah proses pembersihan permukaan
padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan
pencuci berupa larutan surfaktan. Sabun berbasis deterjen merupakan bahan
yang digunakan untuk meningkatkan daya pembersihan oleh air. Proses
deterjensi terjadi melalui pembentukkan misel oleh surfaktan yang membentuk
globul zat pengotor. Pelepasan globul zat pengotor ini terjadi melalui penurunan
tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar
muatan (Hanson, 1992).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

2.6.5 Viskositas dan Rheologi (Sifat Alir)


Menurut Shmitt (1996) dalam Nurhadi (2012), viskositas merupakan salah
satu parameter penting yang menunjukkan stabiltas produk baik produk kosmetik
maupun toiletries selama distribusi produk. Viskositas adalah tahanan dari suatu
cairan untuk mengalir, semakin besar viskositas akan semakin besar pula tahanan
alirnya. Adanya viskositas yang tinggi dalam sediaan akan mengurangi frekuensi
tumbukan antarpartikel sehingga sediaan menjadi lebih stabil. Disamping itu,
temperatur dapat memengaruhi viskositas, semakin tinggi temperatur akan
menyebabkan viskositas menurun (Shinko, 2011).
Istilah rheologi digunakan untuk menggambarkan aliran-aliran cairan dan
deformasi dari padatan. Rheologi atau sifat alir terlibat dalam pencampuran dan
aliran bahan-bahan, pengemasan sediaan ke dalam wadah, dan pemindahan
sebelum penggunaannya (apakah dicapai dengan penuangan dari botol,
pengeluaran dari tube, atau pelewatan melalui jarum suntik). Rheologi suatu
produk tertentu yang konsistensinya berupa cairan, semi padat, hingga padat dapat
memengaruhi penerimaan konsumen, stabilitas fisik, dan bahkan ketersediaan
hayati (Shinko, 2011).

2.7 Uji Hedonik


Uji hedonik merupakan salah satu teknik dari metode afektif pada uji
sensori (uji organoleptik). Metode afektif merupakan uji sensori yang didasarkan
pada pengukuran kesukaan (atau penerimaan) atau pengukuran tingkat kesukaan
relatif. Metode afektif menguji kesukaan dan atau penerimaan terhadap suatu
produk dan membutuhkan jumlah panelis tidak terlatih dalam jumlah banyak yang
sering dianggap untuk mewakili kelompok konsumen tertentu (Anonim, 2006).
Uji hedonik merupakan teknik pengujian yang paling banyak digunakan
untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut
skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka,
sangat tidak suka dan lain-lain. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan
menurut rentangan skala yang dikehendaki (Ayustaningwarno, 2014). Dalam
analisis datanya, skala hedonik ditransformasikan ke dalam skala angka dengan
angka menaik menurut tingkat kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan).
Dengan data ini dapat dilakukan analisa statistik (Anonim, 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

Biasanya, pengujian ini menggunakan seorang panelis tidak terlatih.


Panelis tidak terlatih merupakan kelompok orang berkemampuan rata-rata yang
tidak terlatih secara formal, tetapi memiliki kemampuan untuk memebedakan dan
mengomunikasikan reaksi dari penilaian kesukaan (penerimaan) yang diujikan.
Jumlah anggota panel terlatih berkisar 15 – 20 orang atau 5 – 10 orang dengan
seleksi (Soekarto (2006) dalam Ayustaningwarno, 2014).

2.8 Uji Stabilitas


Stabilitas merupakan kemampuan suatu produk obat atau kosmetik untuk
bertahan dalam spesifikasi yang diterapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk
(Djajadisastra, 2004). Tujuan dari pengujian stabilitas produk kosmetik menurut
Guideline on stability testing of cosmetic products (2004) adalah untuk
memastikan bahwa produk obat atau kosmetik baik produk baru maupun
modifikasi memenuhi standar kualitas fisik, kimia, dan mikrobiologis dalam segi
fungsionalitas dan estetika saat disimpan pada keadaan yang sesuai. Suatu produk
kosmetik dikatakan stabil ketika fungsionalitas dan estetika produk masih berada
dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu penyimpanan dan
penggunaan (Djajadisastra, 2004).
Pada umumnya, emulsi dianggap tidak stabil secara fisik, jika fase
terdispersi pada penyimpanan cenderung membentuk agregat; jika agregat naik ke
permukaan atau turun ke dasar, emulsi tersebut akan membentuk suatu lapisan
pekat; dan jika semua atau sebagian cairan dari fase terdispersi tidak teremulsi
dengan baik, juga akan membentuk lapisan yang berbeda pada permukaan atau
dasar emulsi. Selain itu, suatu emulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh
kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisik dan kimia lainnya
(Ansel, 1989). Adapun beberapa gejala yang menjadi indikator terjadinya
kerusakan emulsi di antaranya: (Soetopo., dkk, 2004)
a. Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, yang salah satu
lapisannya mengandung fase dispersi lebih banyak daripada lapisan lainya.
Creaming bersifat reversible (jika dikocok perlahan, lapisan yang terpisah
akan terdispersi kembali).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

b. Flokulasi merupakan penggabungan globul yang bergantung pada gaya tolak-


menolak elektrostatis (zeta potensial) (Djajadisastra, 2004).
c. Koalesen dan cracking (breaking) adalah pecahnya emulsi karena film yang
meliputi partikel rusak dan butiran minyak akan menyatu (koalesen).
Koalesen dan cracking bersifat irreversible (tidak dapat diperbaiki). Hal ini
dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan
CaO / CaCl2 exicatus.
2. Peristiwa fisika, seperti pemenasan, penyaringan, pendinginan,
pengadukan.
d. Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi w/o menjadi o/w atau
sebaliknya secara mendadak yang bersifat irreversible.

Faktor-faktor yang memengaruhi stabilitas sediaan dapat diklasifikasikan


ke dalam tiga kategori, yaitu stabilitas fisika, stabilitas kimia, dan stabilitas biologi
(Carstensen and Rhodes, 2000).

a) Stabilitas Fisika, meliputi:


1) Suhu: Paparan suhu yang ekstrim dapat menyebabkan reaksi oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis, yang menginisasi degradasi pada kebanyakan obat.
2) pH: Perubahan pH dapat menyebabkan dekomposisi kebanyakan obat.
3) Kelembaban: Adanya air (kondisi lembab) dapat mengatalisis reaksi
oksidasi, hidrolisis, dan oksidasi dan emungkinkan tumbuhnya mikroba.
4) Cahaya: Paparan cahaya dapat mengganggu kstabilan obat dengan
menginisiasi terjadinnya oksidasi.
5) Bentuk sediaan: Bentuk sediaan padat lebih stabil jika dibandingkan dengan
bentuk sediaan cair.
6) Oksigen: Paparan oksigen pada sediaan dapat menganggu stabilitas sediaan.
b) Stabilias Kimia, meliputi: Inkompatibilitas, reaksi antara komponen dalam
formula dengan komponen lainnya, reaksi antara komponen formula dengan
wadah.
c) Stabilitas Biologi, meliputi: Cemaran mikroba yang bersal dari air, udara,
wadah, personel, dan instrumen.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Untuk memperoleh nilai kestabilan suatu sediaan farmasetik (kosmetik)


dalam waktu yang singkat, dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat. Menururt
Djajadisastra (2004), uji stabilitas dipercepat dutujukan untuk memperoleh
informasi yang diinginkan pada waktu sesingkat mungkin, dengan cara
menyimpan sampel pada kondisi yang dirancang untuk mempercepat terjadinya
perubahan baik fisik maupun kimia pada sampel yang biasanya terjadi pada
kondisi normal. Apabila hasil pengujian suatu sediaan pada uji dipercepat selama
3 bulan memperoleh hasil yang stabil, hal tersebut menunjukkan bahwa sediaan
tersebut stabil pada penyimpanan suhu kamar selama 1 tahun (Djajadisastra,
2004). Terdapat beberapa pengujian stabilitas dipercepat, antara lain:
a. Elevated temprature
Setiap kenaikan suhu 10°C akan mempercepat reaksi 2 – 3 kalinya, tetapi
secara praktis cara ini agak terbatas karena pada kenyataannya suhu yang jauh
di atas normal akan menyebabkan perubahan yag tidak pernah terjadi pada
suhu normal. Uji ini digunakan sebagai indikator kestabilan (Djajadisastra,
2004).
b. Elevated humidities
Umumnya, uji ini dilakukan untuk menguji kemasan produk. Jika terjadi
perubahan pada produk dalam kemasan karena pengaruh kelembaban, hal ini
menandakan bahwa kemasannya tidak memberikan perlindungan yang cukup
terhadap atmosfer (Djajadisastra, 2004).
c. Cycling test
Cycling test merupakan pengujian menggunakan perubahan suhu dan atau
kelembaban pada interval waktu tertentu sehingga produk dan kemasannya
mengalami tekanan (stress) yang bervariasi daripada tekanan konstan yang
kadangkala lebih parah daripada penyimpanan dalam suatu kondisi saja.
Tujuan dari pengujian ini adalah sebagai simulasi perubahan suhu dan atau
kelembaban setiap tahun bahkan setiap harinya. Uji ini dilakukan untuk
menguji produk kosmetik terhadap kemungkinan mengalami kristalisasi atau
berawan dan untuk menguji kestabilan emulsi (Djajadisastra. 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

d. Uji Mekanik (Centrifugation test)


Prinsip dasar uji sentrifugasi terletak pada penggunaan gaya sentrifugal untuk
memisahkan dua atau lebih zat, seperti dua cairan yang berbeda atau cairan
dan padatan, serta merupakan uji yang berguna untuk menilai dan
memprediksi umur simpan emulsi (Smaoi et al., 2012). Uji sentrifugasi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu sampel disentrifugasi dengan kecepatan
3750 rpm selama 5 jam (Wade, A & Weller P.J, 1994) dan sampel yang
disimpan dalam berbagai kondisi disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm
selama 20 menit (Mahmood dan Naveed, 2013).

2.9 Isolasi Bakteri


Isolasi bakteri dari permukaan suatu benda (solid) mati atau hidup (bagian
tubuh seberti kulit dan mukosa) terdapat dua metode, yaitu isolasi bakteri non-
destruktif (Non-destructive recovery method) dan isolasi bakteri destruktif
(Destructive recovery method). Isolasi bakteri non-destruktif (Non-destructive
recovery method) adalah isolasi bakteri dari permukaan suatu benda mati atau
hidup tanpa merusak permukaan benda tersebut, sedangkan, isolasi bakteri
destruktif (Destructive recovery method) adalah isolasi bakteri dengan merusak
permukaan benda yang menjadi objek analisis. Isolasi bakteri non-destruktif
(Non-destructive recovery method) meliputi Swabbing method, friction
(scrubbing) method, dan printing method. Di sisi lain, isolasi bakteri destruktif
(Destructive recovery method) meliputi rinsing and immersion method, sonication
method, dan scraping and grinding procedure (Ismail et all., 2013).
1) Isolasi Bakteri Non-Destruktif (Non-Destructive Recovery Method)
a. Swabbing Method
Prosedur konvensional swabbing method yaitu dengan
menggunakan cotton swab disertai dengan stick aplikator untuk mengambil
bakteri dari permukaan benda mati atau hidup. Cotton swab diusapkan ke
permukaan benda mati atau hidup untuk mengisolasi bakteri atau spora fungi
dan mengekstraksi bakteri atau spora fungi tersebut menggunakan media cair
(pepton water) atau cairan fisiologis (NaCl 0,9%) dengan menyelupkan
cotton swab tersebut ke dalam media cair atau cairan fisiologis, yang
kemudian larutan tersebut divortex. Setelah itu, bakteri atau spora fungi yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

telah diekstraksi dari cotton swab ditumbuhkan ke dalam media tumbuh


secara pour plate atau spread.
Di sisi lain, dalam prosedur modern swabbing method, cotton swab
yang digunakan adalah cotton swab kalsium alginat. Setelah bakteri atau
spora fungi diisolasi menggunakan cotton swab kalsium alginat, bakteri atau
spora fungi yang terisolasi dapat langsung ditanam ke dalam media tumbuh,
tidak perlu diekstraksi menggunakan pepton water atau NaCl 0,9%.
b. Friction (Scrubbing) Method
Friction (Scrubbing) method digunakan untuk mengambil
mikroorganisme uji pada sampel dengan luas permukaan >100 cm2.
Prosedur friction (scrubbing) method sama seperti prosedur swabbing
method, bedanya hanya pada alat yang digunakan untuk mengisolasi
mikroorganisme dari permukaan sampel uji. Alat yang digunakan untuk
mengisolasi mikroorganisme dalam friction (scrubbing) method biasanya
sponge steril, kain tenun (wool), sikat gigi. Dalam friction (scrubbing)
method, pengisolasian mikroorganisme pada permukaan sampel uji harus
menggunakan tekanan ketika mengusapkan alat pengisolasi agar tercipta
gesekan antara alat pengisolasi dan permukaan sampel sehingga
mikroorganisme pada permukaan sampel terisolasi dengan baik.
c. Printing Method
Printing method merupakan metode pilihan kedua yang
direkomendasikan ISO 18593:2004 untuk mengisolasi bakteri dari
permukaan sampel uji setelah swabbing method. Isolasi bakteri pada
permukaan benda solid (sampel uji) menggunakan printing method
dilakukan dengan cara menempelkan media Agar pada permukaan sampel
uji (Agar contact). Setelah itu, media Agar dalam cawan petri yang telah
mengandung mikroorganisme pada permukaan sampel uji diinkubasi pada
masa tertentu sesuai jenis mikroorganisme yang diisolasi (bakteri 37°C
selama 24 jam; jamur 15°-30°C selama 7 hari). Metode ini lebih singkat
pengerjaannya dibandingkan swabbing method dan friction (scrubbing)
method karena tidak perlu melakukan ekstraksi mikroorganisme dari alat
pengisolasi dan melakukan penanaman mikroorganisme hasil isolasi pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

media tumbuh. Akan tetapi, metode ini memiliki kekurangan, yaitu harus
dijaga kesterilan perlakuan dan permukaan sampel uji untuk meminimalkan
koloni yang tumbuh.
Disinfeksi dan prosedur pencucian dapat merusak
mikroorganisme dan menyebabkan peningkatan waktu inkubasi sampai 14
hari. Biasanya, Agar contact dilakukan dengan media Agar berdiameter 55
atau 65 mm dan media Agar tersebut ditempelkan pada lima bagian berbeda
dari permukaan sampel uji yang besar.
Oleh karena keterbasan, swabbing method atau scrubbing method menjadi pilihan
utama yang digunakan untuk isolasi bakeri di permukaan benda solid yang sulit
untuk dijangkau dibandingkan dengan printing method.
2) Isolasi Bakteri Destruktif (Destructive Recovery Method)
a. Rinsing and Immersion Method
Umumnya rinsing and immersion method dilakukan dengan cara
memasukkan sampel uji atau alat pengisolasi (cotton swab, sponge) yang
telah mengandung mikroorganisme hasil isolasi dari sampel uji ke dalam
sebuah kantung plastik yang bersamaan kedalamnya dimasukkan buffer steril
(sodium sitrat 1%) atau aqua dest. Kemudian, kantung plastik tersebut
diguncangkan dengan kuat dalam waktu yang singkat atau lama. Pada tahap
ini, dapat merusak permukaan sampel uji. Setelah itu, larutan bilas dipisahkan
ke dalam wadah lain dalam keadaan steril untuk keperluan analisis
mikrobiologikal. Metode ini, hanya dapat dilakukan pada sampel uji yang
memiliki luas permukaan yang sempit.
b. Sonication Method
Sonication method menggunakan gelombang ultrasonik untuk
merusak membran sel atau agregat molekular dengan memasukkan seluruh
permukaan benda padat ke dalam wadah ultrasonik (sonikator). Penggunaan
sonication method digabungkan dengan metode perendaman dan agatasi
(immersion and agitation methods) untuk mengisolasi mikroorganisme dari
permukaan benda padat. Biasanya benda padat yang dijadikan sebagai sampel
uji untuk isolasi bakteri adalah benda padat yang terbuat dari logam atau
stainless steel. Berdasarkan penelitian isolasi bakteri yang telah dilakukan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

menggunakan sonication method, frekuensi dan waktu yang diatur pada


sonikato untuk melakukan isolasi bakteri adalah 28 kHz selama 4 menit (luas
permukaan sampel uji 10 cm2) dan 38 kHz selama 5 menit (luas permukaan
sampel uji 25 cm2). Jika menggunakan sonikator portable, frekwensi dan
waktu yang digunakan adalah 40 kHz selama 10 detik (luas permukaan
sampel uji 10 cm2).
c. Scraping and Grinding Procedure
Metode destruktif merupakan pilihan metode isolasi bakteri terbaik
untuk sampel uji dengan permukaan yang tidak beraturan atau berpori. Selain
itu, mikroorganisme berpenetrasi melalui permukaan dengan kedalaman 2 –
3 mm untuk mengisolasi mikroorganisme tersebut, metode destruktif dapat
menjadi pilihan sebagai metode isolasi mikroorganisme tersebut.
Grinding procedure merupakan metode destruktif yang jarang
digunakan karena harus merusak sampel dan sampel harus tipis agar mudah
untuk digiling. Oleh karena kedua alasan tersebut, grinding procedure
digunakan sebagai metode preparasi sampel isolasi bakteri. Scraping and
grinding procedure hanya digunakan untuk sampel uji yang mudah
dihancurkan, tidak dapat digunakan pada sampel uji seperti stainless steel
atau permukaan plastik yang keras.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

Tabel 2.2 Perbedaan dan Keuntungan Metode Isolasi Bakteri


Tipe
Permukaan Ukuran
Metode Destruktif Keuntungan Kekurangan
yang Dapat Sampel
Diaplikasikan
Swabbing Tidak Halus Sempit - Terstandar - Membutuhkan
(terbatas) - Dapat aplikator
digunakan -Reproduktivitas
dalam proses buruk
pabrik - Tingkat
- Variable pengambilan
contamination(a) bakteri rendah

Friction Tidak Halus atau Luas (> - Dapat - Membutuhkan


2
kasar 100 cm ) digunakan aplikator
dalam proses - Reproduktivitas
pabrik buruk
- Tingkat
pengambilan
bakteri rendah

Printing Tidak Halus Luas (> - Terstandar - Membutuhkan


100 cm2) - Dapat aplikator
digunakan - Reproduktivitas
dalam proses buruk
pabrik - Tingkat
- Variable pengambilan
contamination(a) bakteri rendah

Rinsing, Ya Halus dan Sempit - Dapat


Imersion kasar dan luas digunakan
dalam proses
pabrik
- Variable
contamination(a)

Sonication Ya Halus dan Sempit dan - Dapat


kasar luas digunakan
dalam proses
pabrik
- In-depth
extraction(a)

Scraping, Ya Halus dan Sempit - In-depth


Grinding kasar extraction
(a)
Variable contamination  Banyak / sedikitnya konsentrasi mikroorganisme pada permukaan yang sama
[Sumber: Ismail et all., 2013]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta serta Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
waktu November 2017 hingga Mei 2018.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan meliputi timbangan analitik (GH-202, AND,
Jepang), thermometer, penjepit kayu, batang pengaduk, pipet tetes, kaca arloji,
spatula, beaker glass (Iwaki) , overhead stirrer (RW 20 Digital, IKA),
sentrifugator (sentrifuge 5417R, eppendorf), sentrifuge tube (eppendorf),
inkubator (France Etuves), autoklaf (ALP Ogawa Seiki), jarum ose, api bunsen,
mikropipet (Thermoscientific), gelas ukur (Iwaki), alumunium foil, cotton swab
steril, cawan petri, viskometer (6R Haake, Jerman), pH meter (F – 52 Horiba).

3.2.2 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan meliputi kaolin (Kamin), asam laurat (Indonesia),
asam miristat (Indonesia), asam oleat, sodium laurileter sulfat (SLES) (Ecosol),
propilen glikol (Arrow Chemical Group, China), KOH, aquadest, parvum, media
plate count agar (PCA), NaCl fisiologis (Ecosol), asam laktat (Purac, Thailand),
biakan Propionibacterium acnes ATCC 11827, media NA (Oxoid Limited,
England).

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Formulasi Kaolin Facial Wash
Formula sabun yang digunakan dalam formulasi kaolin facial wash adalah
sabun berbasis kombinasi sapo (asam lemak dan alkali) dan surfakan yang
bertujuan untuk meningkatkan skin tightness effect, memberikan kelembutan yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

lebih baik pada kulit, dan mengurangi iritasi kulit. Berikut merupakan Formula
kaolin facial wash dengan variasi SLES.

Tabel 3.1 Formula Kaolin Facial Wash


Formula
Bahan Fungsi
F1 F2 F3
Asam Laurat 3,5% 3,5% 3,5% Basis sabun
Asam Miristinat 1,25% 1,25% 1,25% (saponifikasi)
Asam Oleat 1,5% 1,5% 1,5%

Sodium 7,5% 10% 15% Surfaktan


Laurileter Sulfat (Pengental)
(SLES)

KOH 1,8% 1,8% 1,8% Agen


pembasa

Kaolin 15% 15% 15% Adsorben

Propylen glikol 8% 8% 8% Humektan

Aquadest ad 100 % 100 % 100 % Vehicle

Parfum qs qs qs Pewangi

Asam Laktat qs qs qs Pengatur


keasaman
[Sumber: Paye., Andre O., dan Maibach, 2006 dengan modifikasi]

3.3.2 Pembuatan Kaolin Facial Wash


Bahan yang digunakan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Asam laurat,
asam miristat, dan asam oleat (fase 1) dipanaskan di dalam cawan penguap di atas
penangas air hingga mencapai suhu 80°C - 85°C dan diaduk selama 5 menit. Pada
saat yang sama, ke dalam beaker glass dimasukkan KOH yang telah dilarutkan
dengan sebagian air dan propilen glikol (fase 2) untuk dipanaskan hingga
mencapai suhu 80°C - 85°C dan diaduk menggunakan stirrer hingga jernih serta

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

dilakukan pula pelarutan SLES dalam sisa air dengan pemanasan pada suhu 70°C
dan pengadukan menggunakan stirrer dengan kecepatan 200 rpm (fase 3). Setelah
fase 1 dan fase 2 telah mencapai suhu 80°C - 85°C, fase 2 dimasukan ke dalam
fase 1. Campuran diaduk selama 30 menit (suhu dijaga 80°C - 85°C)
menggunakan stirrer hingga terbentuk sistem sabun (garam) yang homogen.
Sistem sabun yang telah terbentuk dan homogen ditambahkan fase 3 dan diaduk
menggunakan stirrer hingga terbentuk masa kental. Kemudian, kaolin
dimasukkan sedikit demi sedikit disertai dengan pengadukan perlahan
menggunakan stirrer hingga terbentuk campuran yang kalis dan homogen.
Selanjutnya, parfum dimasukkan ke dalam campuran secukupnya dan diaduk
hingga homogen (Akzonobel, 2013 dengan modifikasi).

3.3.3 Evaluasi Sifat Fisika dan Kimia Kaolin Facial Wash


1) Organoleptik
Penampilan sediaan diamati menggunakan pancaindera, meliputi
warna, bentuk, dan bau (SNI 06-4085-1996).

2) pH
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Pemeriksaan pH diawali dengan kalibrasi alat pH meter menggunakan larutan
dapar pH 7 dan pH 4. Kemudian, elektroda dicelupkan kedalam sediaan, catat
nilai pH yang tertera pada layar. Jika pH terlalu asam atau terlalu basa, pH di-
adjust dengan agen pengasam atau pembasa hingga (mendekati) range pH
balance kulit wajah (4,5 – 6,5) (Noor dan Desy, 2009). Pengukuran dilakukan
pada suhu ruang.

3) Homogenitas
Sediaan ditimbang sebanyak 0,1 gram. Kemudian, diletakkan
diantara dua kaca object, lalu diperhatikan apakah terdapat partikel kasar atau
ketidakhomogenan di bawah cahaya (Depkes RI, 1979).

4) Viskositas dan Rheologi


Viskositas diukur menggunakan viskometer 6R haake dengan
mengamati angka pada display angka viskometer dengan kecepatan tertentu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

pada suhu ruang. Sediaan sebanyak 200 g dimasukkan ke dalam wadah


berupa beaker glass 100 cc, kemudian spindel yang sesuai dicelupkan ke
dalam sediaan sampai batas yang ditentukan, lalu diputar pada beberapa
kecepatan geser tertentu sampai display angka viskometer menunjukkan nilai
yang konstan, sedangkan, rheologi diukur dengan mengubah kecepatan
viskometer sehingga didapat viskositas dan tegangan geser (% Torque) pada
berbagai kecepatan geser (rpm) (Noor dan Desy, 2009).
Kurva viskositas dibuat dengan memplotkan nilai kecepatan geser
(rpm) sebagai sumbu X dan viskositas (cPs) sebagai sumbu Y, sedangkan,
kurva rheologi dibuat dengan memplotkan nilai kecepatan geser (rpm)
sebagai sumbu X dan tegangan geser (% Torque) sebagai sumbu Y ( Islam et
al (2004) dalam Rukmana, 2016).

5) Tinggi Busa dan Stabilitas Busa


Sebanyak 1 gram sabun dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
berisi 9 mL aquadest, kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit. Busa
yang terbentuk diukur tingginya menggunakan penggaris (tinggi busa awal).
Tinggi busa diukur kembali setelah 1 jam (tinggi busa akhir), kemudian
stabilitas busa dihitung dengan rumus (Piyali et al (1999) dalam Harris.,
Yudhomenggolo., dan Putut, 2016):
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
% 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐵𝑢𝑠𝑎 = 𝑥 100%
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙

6) Daya Bersih
Pengujian daya bersih kaolin facial wash dilakukan secara
kualtitatif. Sebanyak 0.5 gram kaolin facial wash (F1, F2, dan F3) dibalurkan
pada punggung tangan yang terdapat noda lipstick sepanjang 4 cm dan
diusapkan hingga berbusa selama 1 menit. Kemudian, noda lipstick dibilas
dengan aquadest sebanyak 100 ml. Hasil pencucian noda dibandingkan
dengan indikator bersih dalam rentang 1 – 5 (Wilkinson dan Moore, 1982).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

7) Uji Hedonik
Pengujian dilakukan terhadap kekentalan sabun dan banyaknya busa
yang ditimbulkan dari sabun. Skala penilaian yang diberikan yaitu (1) tidak
suka, (2) agak tidak suka, (3) biasa, (4) agak suka, (5) suka. Responden yang
digunakan adalah responden terlatih dari kalangan mahasiswa farmasi UIN
Syarif Hidayatullah sebanyak 25 responden. Hasil uji hedonik dianalisis
dengan uji Kruskal Wallis menggunakan SPSS (Harris., Yudhomenggolo.,
dan Putut, 2016).

8) Stabilitas Fisik
a. Cycling Test
Sebanyak 200 gram sampel sabun disimpan pada suhu 4°C
selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke dalam oven yang bersuhu
40°±2°C selama 24 jam (satu siklus) (Carstensen and Rhodes, 2000). Uji
dilakukan sebanyak 6 siklus, lalu dievaluasi pH, viskositas, dan
sentrifugasi.

b. Uji Mekanik (Sentrifugasi)


Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge,
kemudian dimasukkan ke dalam sentrifugator. Setelah itu, sentrifugator
dijalankan dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Lalu diamati
apakah terjadi pemisahan fase (Mahmood dan Naveed, 2013).

3.3.4 Sterilisasi Alat


Alat-alat yang terbuat dari besi dan kaca, swab serta media kultur
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Alat-alat yang
terbuat dari kaca atau gelas diutamakan sterilisasi menggunakan oven pada suhu
160°-170°C selama 2 jam, sedangkan alat-alat seperti spatula besi dan loops
disterilkan dengan dipanaskan diatas bunsen (Sarles et al., 1956; Harley, 2005;
Ryan and Ray, 2004 dalam Eriatna, 2017).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

3.3.5 Uji Daya Bersih Kaolin Facial Wash terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat Propionibacterium acnes
A. Pembuatan Suspensi Bakteri
Propionibacterium acnes yang telah diremajakan pada media Nutrient
Agar diambil satu ose, kemudian dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis
sebanyak 10 ml. Selanjutnya, suspensi dihomogenkan dengan vortex. Suspensi
tersebut dibandingkan dengan larutan Mc Farland 3 (9 x 10⁸ cfu/ml). Setelah
itu, suspensi bakteri yang terbentuk dibuat pengenceran 108 – 106.
Sebanyak 1 ml suspensi bakteri 9 x 10⁸ cfu/ml dicuplik dan dilakukan
pengenceran 107 dengan penambahan NaCl fisiologis 9 ml. Kemudian,
dilakukan pengenceran dengan cara yang sama hingga pengenceran 106.
Sebanyak 0,1 ml pengenceran 106 suspensi bakteri dikultur pada media PCA
yang kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam untuk mengetahui
jumlah koloni yang tumbuh. Penghitungan jumlah koloni bakteri dilakukan
duplo.

B. Uji Swab Kaolin Facial Wash terhadap Bakteri Penyebab Jerawat


Propionibacterium acnes
Sebelum melakukan uji swab, punggung tangan disterilkan terlebih
dahulu. Sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri P. acnes dibalurkan ke punggung
tangan kemudian diratakan penyebarannya menggunakan ujung spatula dengan
luas penyebaran 3 cm x 4 cm. Punggung tangan dicuci menggunakan kaolin
facial wash (konsentrasi SLES 10%) seberat 200 mg sebanyak 1 kali yang
kemudian dibilas dengan aquadest steril dan di-swab menggunakan cotton swab,
lalu uji dilakukan kembali dengan menggunakan kaolin facial wash (konsentrasi
SLES 10%) seberat 500 mg. Cotton swab dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang telah berisi 10 ml larutan NaCl fisiologis 0,9 % dan dihomogenkan
menggunakan vortex. Setelah itu, sebanyak 0,1 ml dilakukan spread pada media
PCA hingga suspensi mengering dan diinkubasi selama 48 jam (37°C),
kemudian dihitung jumlah bakteri yang bertahan (Eriatna, 2017 dengan
modifikasi).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formulasi Kaolin Facial Wash


Pembuatan kaolin facial wash pada penelitian ini dilakukan dengan
memvariasikan konsentrasi sodium laurileter sulfat (SLES). Variasi
konsentrasi SLES bertujuan untuk memperoleh konsentrasi SLES yang dapat
memberikan karakteristik facial wash yang baik. Formula sabun yang
digunakan dalam formulasi kaolin facial wash adalah formula sabun berbasis
kombinasi sapo (asam lemak dan alkali) dan surfakan. Sabun berbasis
kombinasi sapo dan surfakan ini dapat meningkatkan skin tightness effect yang
ditimbulkan, memberikan kelembutan yang lebih baik pada kulit, dan
mengurangi iritasi kulit (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kaolin merupakan salah satu
jenis mineral yang dapat membilas (mengadsorbsi) bakteri bersamaan dengan
air, yang sangat terbukti pada Staphylococcus aureus (Chung and Gye-Ju
Rhee, 1987) serta memiliki nilai estetika yang paling baik dibandingkan jenis
mineral lainnya (bentonit, veegum, marl). Di samping itu, sabun dengan
kandungan kaolin berkonsentrasi 15% terbukti dapat membilas bakteri yang
terdapat pada air liur anjing dalam satu kali bilasan (Eriatna, 2017). Oleh
karena itu, pembuatan facial wash pada penelitian ini menggunakan kaolin
dengan konsentrasi 15%.
Sodium Laurileter Sulfat (SLES) merupakan surfaktan anionik yang
paling banyak digunakan untuk kosmetik atau produk-produk perawatan diri
(Spiess, 1996). SLES memiliki kelarutan yang baik dalam air, pembentuk busa
yang baik, mudah mengental dalam garam, serta memiliki risiko iritasi yang
rendah dibandingkan dengan sodium lauril sulfat (SLS) (Spiess, 1996; EMA,
2015). Selain itu, SLES efektif pada rentang pH yang luas, baik dalam larutan
asam maupun basa, serta dalam air sadah sehingga memungkinkan SLES
menimbulkan busa lebih banyak dibandingkan dengan SLS (EMA,2015).
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kaolin facial wash
meliputi asam laurat, asam oleat, asam miristat, sodium laurileter sulfat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

(SLES), propilen glikol, KOH, aqua destilata, dan parfum. Pada proses
pembuatan facial wash, terdapat tiga fase, yaitu fase minyak, fase air, dan
surfaktan. Pada fase minyak, asam laurat, asam miristat, dan asam oleat dilebur
di atas penangas air hingga suhu 80°C-85°C dan diaduk selama 5 menit sampai
melebur sempurna. Ketiga asam tersebut berfungsi sebagai basis pembentuk
sabun (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). Asam laurat dan asam miristat
memiliki titik leleh 44°C-48°C, sedangkan, asam oleat memiliki titik leleh
13°C-14°C (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009) sehingga asam laurat dan
asam miristat dipanaskan terlebih dahulu hingga melebur, kemudian diikuti
dengan asam oleat agar asam oleat tidak terlalu lama dipanaskan (tidak
teroksidasi). Jenis alkali yang cocok untuk digunakan dalam formula facial
wash yang termasuk soap soft adalah kalium hidroksida (Paye., Andre O., dan
Maibach, 2006). Pada fase air, terdapat KOH yang terlebih dahulu dilarutkan
dalam sebagian aqua desilata yang diikuti dengan penambahan propilen glikol,
yang juga dipanaskan di dalam beaker glass hingga suhu 80°C-85°C dan
diaduk menggunakan magnetic stirrer hingga jernih. Propilen glikol digunakan
sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan
kelembaban kulit (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009).
Setelah kedua fase mencapai suhu 80°C-85°C, fase minyak
dimasukkan ke dalam fase air dan dilakukan pengadukan selama 30 menit
hingga terjadi reaksi saponifikasi dan sistem sabun (garam) terbentuk.
Mengingat sifat SLES yang mengental dalam garam (Spiess, 1996), SLES
yang telah dilarutkan dalam sisa aquadest (dengan pemanasan pada suhu 70°
C dengan kecepatan pengadukkan 200 rpm) dimasukkan ke dalam sistem
sabun yang telah terbentuk dan dilakukan pengadukkan hingga terbentuk
campuran homogen yang kental. Selanjutnya, kaolin ditambahkan ke dalam
campuran tersebut dan diaduk hingga terdispersi dalam sistem emulsi sabun
dan terbentuk campuran yang kalis, yang kemudian diikuti dengan
penambahan parfum, serta dilakukan peng-adjust-an pH menggunakan asam
laktat sebanyak 11 ml. Kaolin facial wash yang telah terbentuk di-adjust
hingga pH 6,1 – 6,8 (6,5 ± 0,4). Adjust pH dilakukan agar pH facial wash
berada dalam (atau mendekati) range pH kulit wajah (± 4,5 – 6,5) karena terlalu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

asam atau basa suatu pH sediaan dapat meningkatkan daya absorbsi bahan
melalui kulit, jika pH sabun terlalu asam dapat meneyababkan iritasi kulit dan
jika pH sabun terlalu basa dapat menyebabkan keringnya kulit (Ayu et al.,
2010; Buchmann, 2001; Wasitaatmadja, 1997; Tranggono, 2007). Setelah itu,
dilakukan evaluasi sifat fisika kimia sabun.
Terdapat tiga formula dengan komposisi SLES yang berbeda sebagai
berikut: formula I dengan konsentrasi SLES 7,5%, formula II dengan
konsentrasi SLES 10%, dan formula III dengan konsentrasi SLES 15%.
Evaluasi seputar organoleptik, pH, homogenitas, tinggi dan stabilitas busa,
daya bersih terhadap noda lipstik, viskositas dan rheologi, hingga stabilitas
fisik (cycling test dan uji mekanik), dan hedonik dilakukan pada ketiga formula
tersebut. Formula yang memiliki karakteristik terbaik, yang ditunjukan dari
hasil evaluasi (stabilitas fisik, kekentalan dan daya busa (uji hedonik), dan daya
bersih terhadap noda lipstik) akan dilanjutkan untuk diuji daya bersihnya
terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

4.2 Evaluasi Formula Kaolin Facial Wash Variasi Konsentrasi SLES


Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Kaolin Faial Wash Variasi Konsentrasi SLES
Organoleptik Stabilitas
Formula Nilai pH Viskositas
Bentuk Warna Bau Busa (%)
I Agak Putih- Khas 6,14 ± 1370 cPs 63,43 ±
kental keabuan sabun 0,01 3,34
II Kental Putih- Khas 6,61 ± 5050 cPs 73,16 ±
keabuan sabun 0,06 3,28
III Terlalu Putih- Khas 6,83 ± 17500 cPs 81,53 ±
kental keabuan sabun 0,04 6,97
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Tabel 4.1 merupakan hasil evaluasi dan pengamatan fisik setelah 24


jam sediaan dibuat. Setelah hasil sediaan diamati, sediaan dimasukkan ke
dalam refrigator pada suhu 4°C dengan tujuan untuk diakukannya cycling test
selama 12 hari (6 siklus).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

4.2.1 Pengamatan Organoleptik


Hasil pengamatan organoleptik kaolin facial wash setelah 1x24 jam
diperoleh hasil yang baik. Dari pengamatan organoleptik, tidak terdapat
perbedaan dari segi warna dan bau pada setiap formula facial wash. Akan
tetapi, dari segi bentuk, ketiga formula kaolin facial wash menghasilkan
peningkatan kekentalan yang cukup signifikan seiring dengan penambahan
konsentrasi SLES. Mengingat sifat SLES sebagai agen pengemulsi yang baik,
mudah mengental dalam garam, serta bentuk SLES yang kental seperti gel
(Spiess, 1996; Shipp, 1996), peningkatan kekentalan pada ketiga formula
dengan variasi konsentrasi SLES yang meningkat merupakan suatu hasil yang
jelas akan terjadi. Selain itu, warna putih-keabuan yang timbul pada ketiga
formula merupakan warna yang ditimbulkan dari kaolin selaku zat aktif dalam
formula.

4.2.2 Pengujian pH
Tabel 4.2 Hasil Pengujian pH Kaolin Facial Wash Sebelum dan Sesudah Di-
adjust
Formula pH Sebelum Di-adjust pH Setelah Di-
adjust
I 8,94 ± 0,01 6,14 ± 0,01
II 8,99 ± 0,02 6,61 ± 0,06
III 9,68 ± 0,04 6,83 ± 0,04
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Derajat keasaman atau pH merupakan parameter kimia untuk


mengetahui suatu sediaan bersifat asam atau basa. Jumlah alkali dan suatu
surfaktan yang bersifat basa dalam sabun memengaruhi besarnya nilai pH
(Widiyanti, 2009; Barel et al., 2001). pH sabun umumnya memiliki nilai di
sekitar nilai 10 (Mitsui, 1997). Akan tetapi, facial wash (sediaan opikal) secara
umum memiliki pH yang berada dalam (atau mendekati) rentang pH balance
kulit, yaitu 4,5 – 6,5 (Tranggono, 2007). Berdasarkan hasil evaluasi pH kaolin
facial wash variasi konsentrasi SLES menunjukkan nilai pH yang relatif basa
(8,93 – 9,68). pH sabun yang relatif basa dapat membantu kulit untuk membuka
pori-porinya kemudian busa dari sabun mengikat sebum dan kotoran lain yang
menempel di kulit (Setyoningrum, 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Akan tetapi, kisaran pH yang didapat terlalu basa untuk ukuran pH


pada facial wash, yang memungkinkan busa yang terbentuk akan mengikat
sebum terlalu banyak sehingga menyebabkan kulit wajah menjadi kering. Di
samping itu, penggunaan facial wash dengan pH terlalu basa akan menaikkan
pH kulit wajah secara signifikan yang dapat meningkatkan potensi tumbuhnya
bakteri (misalnya, propionibacterium), serta jika facial wash dengan pH terlalu
basa digunakan pada kulit wajah yang rentan berjerawat, akan menimbulkan
reaksi peradangan dan iritasi pada kulit wajah (Barel., Paye, M., dan Maibach,
2009). Namun, facial wash dengan pH yang terlalu asam, jika digunakan
dalam jangka panjang dapat menurunkan pH kulit wajah sebanyak 0,3 unit,
sedangkan facial wash dengan pH sedikit asam sampai netral akan
meningkatkan sedikit pH kulit wajah, tetapi hanya bersifat sementara (Barel.,
Paye, M., dan Maibach, 2009). Oleh karena itu, pada akhir pembuatan kaolin
facial wash, dilakukan pengaturan pH facial wash dengan kisaran pH 6,5 ± 0,4
yang masih mendekati range pH balance kulit. Jika pH semua formula kaolin
facial wash variasi konsentrasi SLES setelah di-adjust dibandingkan dengan
pH sabun komersil (pond’s facial wash antibacterial with herbal clay (kaolin)),
pH semua formula kaolin facial wash variasi konsentrasi SLES setelah di-
adjust memiliki nilai pH yang ideal, yaitu mendekati range pH balance kulit
(6,18 – 6,83), untuk ukuran sediaan topikal (facial wash) dibandingkan dengan
pH sabun komersil yang terdapat di luar range dan tidak mendekati range pH
balance kulit (9,53).
Hasil analisis statistik pH pada semua formula kaolin facial wash
variasi konsentrasi SLES sebelum dan sesudah di-adjust menunjukkan data
terdistribusi normal dan homogen sehingga dilanjutkan dengan uji One way
ANOVA (uji parametrik) yang menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti
perbedaan konsentrasi SLES berpengaruh nyata terhadap pH kaolin facial
wash. Berdasarkan hasil uji One way ANOVA terhadap pH formula kaolin
facial wash variasi konsentrasi SLES sesudah di-adjust dengan sabun komersil
menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan pH yang
bermakna antara pH formula kaolin facial wash variasi konsentrasi SLES

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

sesudah di-adjust dengan sabun komersil (pond’s facial wash antibacterial


with herbal clay (kaolin).

4.2.3 Pengujian Homogenitas


Sediaan kaolin facial wash diuji homogenitasnya dengan diletakkan
pada dua kaca objek dan diperoleh hasil yang homogen berupa cairan kental
berwarna putih-keabuan. Hasil pengujian homogenitas ini dapat dilihat pada
Lampiran 12. Berdasarkan hasil pengujian ini, ketiga formula kaolin facial
wash dikatakan homogen karena memiliki hasil dengan warna putih-keabuan
yang merata dan tidak terdapat butiran partikel kasar (Depkes RI, 1979).

4.2.4 Pengujian Tinggi dan Stabilitas Busa


Tabel 4.3 Hasil Pengujian Tinggi Busa dan Stabilitas Busa Kaolin Facial
Wash
Formula Tinggi Busa (cm) Stabilitas Busa (%)
I 1,00 ± 0,10 63,43 ± 3,34
II 2,37 ± 0,12 73,16 ± 3,28
III 4,37 ± 0,87 81,53 ± 6,97
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD
Busa merupakan dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu
zat pembusa. Struktur busa yang relatif stabil dan terdiri atas kantong-kantong
udara yang terbungkus oleh lapisan tipis (Ayu, et al., 2010). Pemeriksaan tinggi
busa merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah suatu deterjen atau
surfaktan dapat menghasilkan sediaan yang memiliki kemampuan dalam
menimbulkan busa (Saputri dkk, 2014). Tidak ada syarat tinggi busa minimum
atau maksimum untuk sediaan sabun atau facial wash. Daya busa yang
dihasilkan lebih dikaitkan pada nilai estetika yang disukai oleh konsumen,
yaitu umumnya konsumen beranggapan bahwa sabun yang baik adalah sabun
yang menghasilkan banyak busa, padahal banyaknya busa tidak selalu
sebanding dengan kemampuan sabun tersebut untuk membersihkan kotoran
(Purnama, 2006). Menurut Suryani, dkk (2007), pembusaan sabun dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu adanya bahan aktif sabun atau surfaktan, penstabil
busa, dan bahan penyususn sabun yang lain.
Hasil evaluasi tinggi busa dan stabilitas busa pada semua kaolin facial
wash berurut-turut diperoleh dengan kisaran 1,00 cm – 4,37 cm dan 63,43% -

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

81,53%. Dari hasil pengujian tinggi dan stabilitas busa kaolin facial wash,
didapat tinggi dan stabilitas busa yang meningkat seiring dengan menigkatnya
konsentrasi SLES sebagai surfaktan pembentuk busa. Sejalan dengan teori,
konsentrasi SLES yang meningkat dapat meningkatan tinggi dan stabilitas busa
karena adanya surfaktan yang merupakan salah satu faktor pembusaan sabun.
Akan tetapi, nilai stabilitas busa yang diperoleh tidak terlalu besar hanya
sekitar 63, 43% - 81,53%. Namun, nilai stabilitas busa tersebut masih
memenuhi kriteria stabilitas busa yang baik, yang jika dalam waktu 5 menit
diperoleh kisaran stabilitas busa antara 60% – 70% (Deragon et al, dalam Rozi,
2013).
Hasil uji statistik One way ANOVA terhadap semua formula kaolin
facial wash variasi konsentrasi SLES menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti
perbedaan konsentrasi SLES berpengaruh nyata terhadap tinggi dan stabilitas
busa kaolin facial wash.

4.2.5 Pengujian Daya Bersih terhadap Noda Lipstik


Daya bersih (daya deterjensi) adalah proses pembersihan permukaan
padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan
pencuci berupa larutan surfaktan (Hanson, 1992). Daya bersih juga merupakan
karakteristik suatu sabun yang menunjukkan kemampuan sabun untuk
mengangkat kotoran. Pengukuran daya bersih dilakukan dengan
membersihkan noda lipstik yang terdapat di punggung tangan dengan
menggunakan formula kaolin facial wash variasi konsentrasi SLES F I (7,5%),
F II (10%), dan F III (15%) selama 1 menit, yang kemudian hasilnya
dibandingkan dengan indikator bersih 1 – 6. Uji ini biasa digunakan untuk
pengujian daya bersih agen pembersih wajah, seperti milk cleanser, facial wash
(Wilkinson and Moore, 1982).
Hasil pengujian daya bersih terhadap noda lipstik ini dapat dilihat
pada Lampiran 15. Berdasarkan hasil pengujian ini, ketiga formula kaolin
facial wash variasi SLES menunjukkan indikator bersih yang meningkat, yaitu
F I (SLES 7,5%) menunjukkan nilai indikator 5, F II (SLES 10%), dan F III
(SLES 15%) menunjukkan nilai indikator 6. Hal ini menyatakan bahwa
meningkatnya konsentrasi SLES memberikan daya bersih yang meningkat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

pula. Berdasarkan penelitian Sujianti (2010) mengatakan bahwa, semakin


tinggi konsentrasi SLES dalam sabun cair semakin tinggi pula daya bersih dari
sabun cair yang dihasilkan.

4.2.6 Pengujian Viskositas dan Rheologi


Viskositas dan sifat alir merupakan dua parameter yang menjadi
perhatian dalam sediaan sabun cair (facial wash). Pengujian viskositas
bertujuan untuk mengetahui konsistensi sediaan, yang akan berpengaruh
terhadap pengaplikasian sediaan, seperti mudah dituang dari wadah, tetapi
tidak mudah mengalir dari tangan. Oleh karena itu, viskositas merupakan
salah satu parameter yang dapat berpengaruh terhadap tingkat penerimaan
suatu produk oleh konsumen (Karsheva et al., 2007; Christiani, 2015).
Sementara itu, pengaplikasian sifat alir terlibat dalam proses pencampuran
dan aliran bahan-bahan, pegemasan bahan ke dalam wadah, dan pemindahan
sebelum penggunaan. Karakteristik ini mampu memengruhi penerimaan
konsumen, stabilitas fisik, dan bahkan ketersediaan hayati (Sinko, 2006;
Karsheva et al., 2007).
Berdasarkan hasil viskositas yang diperoleh pada tabel 4.1, dapat
dilihat viskositas ketiga formula memiliki viskositas yang meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi SLES, yaitu F I (SLES 7,5%) berkisar
1370 cPs, F II (SLES 10%) berkisar 5050 cPs, dan F III (SES 15%) berkisar
17500 cPs. Data viskositas diambil dari titik yang mulai melandai (Martin.,
Swarbick J., dan Cammarata A, 2008), yaitu pada titik 50 rpm. Sebagian besar
facial wash yang beredar di pasaran memiliki bentuk setengah padat yang
masih dapat mengalir sehingga persyaratan keketalannya mengikuti batas
persyaratan viskositas sediaan setengah padat yang baik, yaitu 4000 cPs –
40.000 cPs (Wasitaatmadja, 1997). Berdasarkan hasil pengukuran viskositas
ketiga formula, yang masuk dalam kisaran viskositas sediaan setengah padat
yang baik adalah formula II dan formula III. Data viskositas formula kaolin
facial wash variasi konsentrasi SLES dapat dilihat pada lampiran 16.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

1000000
Viskositas F I

Viskositas (cPs)
800000
Viskositas F II
600000
Viskositas F III
400000
200000
0
0 50 100 150 200 250
Laju geser (rpm)

Gambar 4.1 Kurva Viskositas Ketiga Formula Kaolin Facial Wash di


Semua Rpm.

Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi konsentrasi SLES yang


bertindak sebagai surfaktan sekaligus pengental, viskositas kaolin facial wash
yang dihasilkan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh bentuk dasar dari
SLES yang berupa gel dan kemampuan SLES yang dapat mengentalkan masa
ketika dipadukan ke dalam suatu garam (hasil saponifikasi) (Shipp, 1996;
Spiess, 1996).

Gambar 4.2 Kurva Sifat Alir (a) F II Konsentrasi SLES 10 %, (b) F I


Konsentrasi SLES 7,5%, (c) F III Konsentrasi SLES 15%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Kurva sifat alir dibuat dengan memplot data usaha untuk memutar
spindel (tegangan geser / % Torque) pada sumbu Y dan kecepatan spindel
(laju geser / rpm) pada sumbu X ( Islam et al (2004) dalam Rukmana, 2016).
Hasil rheogram semua formula kaolin facial wash menunjukkan aliran
nonnewton yang bergantung waktu dengan tipe sifat alir pseudoplastis
tiksotropik karena memperlihatkan titik asal mendekati titik (0,0) (titik laju
geser yang paling redah) sehingga tidak terdapat yield value (titik potong)
yang memotong sumbu tegangan geser dan terdapat sedikit celah “hysteresis
loop” yang terbentuk dari kurva aliran menurun yang melewati sebelah kiri
(atas) kurva aliran menaik (Sinko, 2006; Kuncari dkk, 2014). Daerah loop
yang terbentuk menandakan seberapa cepat (waktu yang dibutuhkan untuk)
suatu struktur kembali seperti semula setelah gaya dihilangkan (Herh et al,
1998).
Viskositas suatu bahan pseudoplastis tidak dapat dinyatakan dengan
suatu nilai tunggal karena viskositasnya berkurang dengan menigkatnya laju
geser (Sinko, 2006). Oleh karena itu, sistem pseodoplastis disebut pula
sebagai sistem geser encer (Kuncari dkk, 2014).
Sistem pseudoplastis tiksotropik biasanya mengandung partikel-
partikel asimetri dengan berbagai titik kontak yang menyusun suatu jaringan
tiga dimensi di seluruh sampel. Oleh karena itu, pada keadaan diam, struktur
ini memberikan bentuk yang rigid pada sampel (menyerupai suatu gel),
sedangkan ketika sampel dituang atau ditekan keluar dari wadah (diberikan
gaya), aliran mulai terjadi karena struktur tiga dimensi yang rigid tersebut
mulai pecah (titik kontak terganggu) dan partikel-partikel mulai berbaris,
yang tidak terbentuk kembali (membentuk struktur tiga dimensi) dengan
segera jika gaya dihilangkan (Sinko, 2006). Oleh karena loop yang terbentuk
sempit atau hampir berhimpit, diduga waktu yang dibutuhkan oleh ketiga
sampel untuk membentuk kembali struktur tiga dimensi tidak membutuhkan
waktu yang lama. Sifat aliran pseudoplastis tiksotropik memiliki konsistensi
yang cukup tinggi dalam wadah, tetapi dapat dituang (ditekan keluar tube)
dan disebar dengan mudah (Martin., Swarbick J., dan Cammarata A, 2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

4.2.7 Pengujian Stabilitas Fisik (Cycling Test dan Uji Mekanik)


Untuk meminimalisir waktu dan biaya, pengujian stabilitas fisik
terhadap sediaan hanya dilakukan dengan perubahan suhu dan atau
kelembaban yang ekstrim, yaitu cycling test. Cycling test merupakan
pengujian menggunakan perubahan suhu dan atau kelembaban pada interval
waktu tertentu sehingga produk dan kemasannya mengalami tekanan (stress)
yang bervariasi daripada tekanan konstan, yang dapat dijadikan sebagai
simulasi perubahan suhu dan atau kelembaban setiap tahun bahkan setiap
harinya (Djajadisastra, 2004). Uji ini bertujuan untuk menguji kestabilan
sistem emulsi pada formula kaolin facial wash. Uji cycling test dilakukan
pada suhu rendah 4°C selama 24 jam dan kemudian suhu tinggi 40°C ± 2°C
selama 24 jam (satu siklus), yang dilakukan sebanyak 6 siklus (12 hari).
Dari hasil pengamatan secara organoleptis, satu di antara tiga
formula kaolin facilal wash terjadi pemisahan fase, yaitu formula I dengan
konsentrasi SLES 7,5%. Fase yang terpisah diduga merupakan fase cair dan
fase terdispersi dari kaolin facilal wash karena kurangnya konsentrasi SLES
untuk mengentalkan dan menjaga kestabilan sediaan. Dalam formula sabun
lain (seperti formula sabun dalam formulation guide ajinomoto 2016), SLES
dengan konsentrasi 7,5% sudah dapat mengentalkan sistem sabun, tetapi
dalam formula tersebut juga ditambahkan surfaktan sekunder dan suatu
thickening agent yang dapat membuat formula menjadi lebih stabil. Menurut
Sinko (2006) kekentalan sangat menentukan kestabilan suatu sistem, semakin
kental suatu sistem emulsi atau suspensi, semakin tinggi pula kestabilan
sistem tersebut. Dua formula lainnya, yaitu formula II (konsetrasi SLES 10%)
dan formula III (konsentrasi SLES 15%) secara organoleptis terlihat stabil,
tidak terjadi pemisahan fase. Adapun parameter lain yang dapat dijadikan
sebagai penentu kestabilan post cycling test, antara lain uji mekanik
(sentrifugasi), viskositas dan sifat alir, serta pH.

1. Uji Mekanik (Sentrifugasi)


Uji mekanik atau senrifugasi bertujuan untuk megetahui
kestabilan sistem emulsi setelah dilakukan pemusingan yang sangat kuat.
Uji mekanik dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel ke dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

centrifuge tube kemudian diputar dengan kecepatan 5000 rpm selama 20


menit (Mahmood dan Naveed, 2013). Hasil dari uji mekanik sesudah dan
sebelum cycling test menunjukkan penampakan yang sama yang dapat
dilihat pada Lampiran 17. Pada formula I (konsentrasi SLES 7,5%), hasil
menunjukkan pemisahan, yang berarti formula tidak stabil, sedangkan
pada formula II (konsentrasi 10%) dan formula III (konsentrasi SLES
15%), hasil menunjukkan tidak terdapat pemisahan, yang berarti formula
stabil.

2. Pengujian pH
Tabel 4.4 Hasil Pengujian pH Formula Kaolin Facial Wash Sebelum
dan Sesudah Cycling Test
Formula pH Sebelum Cycling pH Sesudah Cycling
Test Test
I 6,14 ± 0,01 5,82 ± 0,02
II 6,61 ± 0,06 6,32 ± 0,01
III 6,83 ± 0,04 6,59 ± 0,02
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Nilai pH dari suatu sediaan topikal setidaknya berada dalam


atau mendekati kisaran pH balance yang sesuai dengan pH kulit, yaitu
4,5 – 6,5. Nilai pH tidak boleh terlalu asam karena dapat menyebabkan
iritasi kulit dan juga tidak boleh terlalu basa karena dapat
menyebabakan kulit bersisik (Kuncari dkk, 2014). Hasil pegujian pH
setelah cycling test pada semua formula masih berada dalam kisaran pH
balance kulit dengan perubahan sebesar 0,3 unit. Walaupun terjadi
perubahan pH, hasil pengujian pH setelah cycling test pada semua
formula masih terdapat dalam range pH produk, yaitu 4,5 – 6,5 (range
pH balance kulit). Berdasarkan ICH suatu produk dikatakan stabil jika
tidak melewati batas pH-nya setelah dilakukan uji stabilitas
(Carstensen dan Rhodes, 2000) sehingga hasil pengujian pH setelah
cycling test pada semua formula masih dapat dikatakan stabil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

3. Pengujian Viskositas dan Sifat alir


Tabel 4.5 Hasil Pengujian Viskositas Formula Kaolin Facial Wash Sebelum
dan Sesudah Cycling Test
Formula Viskositas Sebelum Viskositas Sesudah
Cycling test (cPs) Cycling test (cPs)
I 1370 740
II 5050 5070
III 17500 10400
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Gambar 4.3 Kurva Viskositas Ketiga Formula Kaolin Facial Wash di


Semua Rpm Setelah Cycling Test

Hasil pengukuran viskositas ketiga formula kaolin facial wash


variasi konsentrasi SLES setelah cycling test menunjukkan hasil yang
berbeda dari pengukuran viskositas sebelum cycling test. Hal ini terjadi
karena sediaan diberikan stress berupa perubahan suhu yang ekstrim.
Menurut Sinko (2006) kekentalan suatu sediaan dipengaruhi oleh suhu,
semakin tinggi suhu, kekentalan akan menurun, sedangkan semakin rendah
suhu, kekentalan akan meningkat.
Hasil viskositas formula kaolin facial wash variasi konsentrasi SLES
setelah cycling test yang mendekati hasil pengukuran viskositas sebelum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

cycling test hanya pada formula II (konsentrasi SLES 10%). Walaupun


formula III (konsentrasi SLES 15%) menghasilkan viskositas yang masih
memberikan penampakan fisik yang sama dengan facial wash sebelum
cycling test, nilai viskositas sebelum dan sesudah cycling test sangat berbeda
signifikan sehingga dari segi nilai viskositas formula III dikatakan tidak
stabil. Berbeda dengan formula I (konsentrasi SLES 7,5%), hasil pengukuran
viskositas setelah cycling test menunjukkan kisaran viskositas yang
memberikan penampakan fisik yang berbeda secara bermakna (sangat cair),
yang sesuai dengan perbedaan nilai viskositas sesudah dan sebelum cycling
test. Suatu sediaan dikatakan stabil, apabila tidak terjadi perubahan yang
bermakna pada sediaan setelah uji stabilitas dilakukan (Carstensen dan
Rhodes, 2000). Di samping itu, viskositas formula II dan III, baik sebelum
maupun setelah cycling test, masuk dalam kisaran viskositas sediaan setengah
padat yang baik, yaitu 4000 cPs – 40.000 cPs (Wasitaatmadja, 1997).

Gambar 4.4 Kurva Sifat Alir Sebelum dan Sesudah Cycling Test (a) F I
Konsentrasi SLES 7,5%, (b) F II Konsentrasi SLES 10%, (c) F III Konsentrasi
SLES 15%.

Hasil rheogram menunjukkan sifat alir ketiga formula setelah


cycling test, tidak menunjukkan perubahan sifat alir, yang berarti, ketiga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

formula setelah dilakukan cycling test tetap memiliki sifat alir pseudoplastis
tiksotropik.

Dari seluruh hasil pengamatan parameter uji cycling test, dapat


disimpulkan bahwa formula II (konsentrasi SLES 10%) merupakan formula
yang paling stabil dari ketiga formula.

4.2.8 Pengujian Hedonik


Tabel 4.6 Hasil Rata-Rata Data Pengujian Hedonik Kaolin Facial Wash
Formula
No. Parameter
FI F II F III
1. Kekentalan 2,20 ± 1,04 3,88 ± 1,33 3,40 ± 1,41
2. Daya Busa 2,04 ± 1,10 4,28 ± 0,79 4,24 ± 1,09
Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Uji hedonik merupakan uji sensori yang didasarkan pada pengukuran


kesukaan (penerimaan) atau tingkat kesukaan relatif. Menurut
Ayustaningwarno (2010), uji hedonik merupakan teknik pengujian yang paling
banyak untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tujuan
dilakukannya uji hedonik (kesukaan) dalam penelitian ini adalah untuk
memilih formula mana yang paling disukai oleh responden yang kemudian
akan dilanjutkan ke uji daya bersih terhadap Propionibacterium acnes.
Berdasarkan hasil uji hedonik, formula yang paling disukai
(kekentalan dan daya busa) oleh para responden adalah formula II dengan
konsentrasi SLES 10%. Hal ini ditunjukkan oleh hasil rata-rata data uji
hedonik, yaitu kekentalan dengan skala 3,88 ± 1,33 dan daya busa dengan
skala 4,28 ± 0,79. Hasil uji kruskal wallis (Lampiran 19) menunjukkan nilai sig
< 0,05, yang berarti, terdapat perbedaan yang signifikan dari hasil uji hedonik
baik dari segi kekentalan dan daya bersih. Hasil uji statistik ini juga dipertegas
dengan perolehan rank means yang paling besar pada data hasil uji hedonik
formula II, yaitu kekentalan dengan rank 48,76 dan daya busa dengan rank
48,72. Diduga, formula II paling disukai karena dari segi kekentalan tidak
terlalu kental dan lebih mudah menyebar, sedangkan dari segi daya busa, busa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

yang ditimbulkan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan formula I dan III.

4.3 Uji Daya Bersih Kaolin Facial Wash terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat Propionibacterium acnes
4.3.1 Perhitungan Jumlah Total Bakteri Propionibacterium acnes
Sebelum melakukan uji daya bersih kaolin facial wash terhadap
bakteri penyebab jerawat Propionibacterium acnes menggunakan uji swab,
peneliti melakukan perhitungan jumlah bakteri Propionibacterium acnes yang
dicuplik sebanyak 100 μl dari suspensi bakteri (setara dengan Mcfarland III (3
x 108 CFU/ml)) yang telah dilakukan pengenceran hingga 106. Tujuan
dilakukannya pengenceran adalah untuk memperkecil atau mengurangi jumlah
mikroba yang tersuspensi dalam cairan (Wasteson dan Homes, 2009). Selain
itu, jumlah minimum populasi bakteri yang diperlukan untuk pengujian adalah
sebesar 106 CFU/ml karena menurut Buckle et al (1987), bakteri dengan
jumlah sel tersebut dapat menyebabkan penyakit atau bersifat patogen pada
tubuh manusia.
Hasil perhitungan koloni bakteri yang tumbuh pada media, yaitu
sebesar > 300 x 106 CFU/ml. Jumlah koloni bakteri yang dicuplik tidak dapat
dihitung karena perhitungan bakteri hanya dapat dilakukan pada plate dengan
jumlah koloni berkisar 25 – 250 atau 30 – 300 (Pratiwi, 2008). Akan tetapi
jumlah koloni bakteri yang tercuplik ini sangat cukup untuk digunakan pada
pengujian daya bersih kaolin facial wash konsentrasi SLES 10% dengan
metode swab karena bakteri yang terbasuh di permukaan kulit tidak dapat
seluruhnya terambil.

4.3.2 Uji Swab Kaolin Facial Wash terhadap Bakteri Penyebab Jerawat
Propionibacterium acnes
Dari hasil uji swab, bakteri Propionibacterium acnes yang telah
dibalur di punggung tangan dibersihkan dengan aquadest (konrol negatif),
kaolin facial wash konsentrasi SLES 10%, dan pond’s facial wash
antibacterial with herbal clay (kaolin) (kontrol positif) yang kemudian dibilas
dengan 100 ml aquadest steril sebanyak 1 kali selama 1 menit menghasilkan
data sebagai berikut:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Tabel 4.7 Hasil Total Plate Count Suspensi Bakteri Penyebab Jerawat
Propionibacterium acnes
Jumlah Bakteri
Perlakuan
(cfu/cm2)
Suspensi bakteri yang diswab di punggung tangan (kontrol 328,00 ± 45,96
bakteri)
Pembilasan dengan aqua dest (kontrol negatif) 72,00 ± 4,74
Pembilasan dengan kaolin facial wash 200 mg (swab basah) 4,00 ± 0,85
Pembilasan dengan kaolin facial wash 200 mg (swab kering) 2,00 ± 2,12
Pembilasan dengan kaolin facial wash 500 mg (swab basah) 2,00 ± 0,71
Pembilasan dengan kaolin facial wash 500 mg (swab kering) 1,00 ± 0,71
Pembilasan dengan kontrol positif 200 mg (swab basah) 1,00 ± 0,71
Pembilasan dengan kontrol positif 200 mg (swab kering) 1,00 ± 0,71
Pembilasan dengan kontrol positif 500 mg (swab basah) 1,00 ± 0,71
Pembilasan dengan kontrol positif 500 mg (swab kering) 1,00 ± 0,71

Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD; Kontrol positif : Pond’s facial wash antibacterial with
herbal clay (kaolin).

Berdasarkan tabel tersebut jumlah bakteri Propionibacterium acnes


yang terbalur pada punggung tangan (3 x 4 cm) berkurang seiring dilakukannya
pembilasan dengan aquadest steril (kontrol negatif), kaolin facial wash
konsentrasi SLES 10% (sampel), dan pond’s facial wash antibacterial with
herbal clay (kaolin) (kontrol positif). Bakteri uji yang digunakan berasal dari
suspensi bakteri Propionibacterium acnes dengan pengenceran 106. Penelitian
ini dilakukan dengan melihat berkurangnya jumlah bakteri yang tumbuh pada
media untuk menentukan keefektivan daya bersih kaolin facial wash
konsentrasi SLES 10% terhadap bakteri penyebab jerawat Propionibacterium
acnes yang dibandingkan dengan kontrol negatif (aquadest) dan kontrol positif
(pond’s facial wash antibacterial with herbal clay).
Berdasarkan Hygenic standard of desinfection, hasil total plate count
dikategorikan baik apabila jumlah cemaran sebanyak ≤ 20 cfu/cm2 (Diez et al,
2007). Hasil uji swab kaolin facial wash konsentrasi SLES 10% (sebanyak 200
mg dan 500 mg) dan pond’s facial wash antibacterial with herbal clay (kaolin)
(kontrol positif) (sebanyak 200 mg dan 500 mg) dapat menghilangkan sebagian
besar bakteri penyebab jerawat Propionibacterium acnes yang terbalur pada
punggung tangan baik dalam keadaan basah maupun kering. Kaolin facial

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

wash konsentrasi SLES 10% dan pond’s facial wash antibacterial with herbal
clay (kaolin) (kontrol positif) dikategorikan baik karena hasil total plate count
menunjukkan jumlah bakteri Propionibacterium acnes yang tumbuh ≤ 20
cfu/cm2, sedangkan hasil total plate count pada pembilasan hanya
menggunakan aquadest steril selaku kontrol negatif menunjukkan jumlah
bakteri Propionibacterium acnes yang tumbuh > 20 cfu/cm2, yang
menunjukkan bahwa pembilasan hanya menggunakan aquadest steril tidak
bisa menghilangkan sebagian besar bakteri (dalam artian, memiliki hasil total
plate count dengan kategori buruk).
Pembilasan hanya menggunakan aquadest steril tidak dapat membilas
sebagian besar bakteri karena tidak terdapat zat pembersih yang dapat
mengemulsikan atau melarutkan bakteri, seperti halnya sabun. Molekul sabun
dalam kaolin facial wash berperan dalam melarutkan bakteri
Propionibacterium acnes yang terdapat di permukaan kulit. Molekul sabun ini
memiliki bagian kepala yang merupakan gugus hidrofil (rantai karboksil) dan
bagian ekornya merupakan gugus hidrofob (rantai hidrokarbon) (Purnamawati,
2016) sehingga, apabila molekul sabun dilarutkan ke dalam air, ujung
hidrofilik (bagian kepala) sabun akan tertarik ke dalam air dan melarutkannya,
tetapi bagian hidrofobik (bagian ekor) sabun ditolak oleh air sehingga
membetuk lapisan di atas pemukaan air dan menurunkan tegangan permukaan
air (Ashar, 2006). Dengan demikian, ketika molekul sabun dalam kaolin facial
wash kontak dengan bakteri yang terdapat pada permukaan kulit (sebagian
besar kotoran), bagian hidrofobik molekul sabun akan membalut bakteri
(kotoran) tersebut sehingga bakteri (kotoran) terlarut dan terbilas bersamaan
dengan aqua dest steril.
Akan tetapi, berdasarkan penelitian terdahulu (Rizka dan Eriatna,
2017), telah dibuktikan bahwa sabun tanpa adanya komposisi tanah (kaolin)
dengan konsentrasi yang sesuai belum dapat mengangkat seluruh bakteri yang
terbalur (terdapat) di permukaan kulit. Hal ini terjadi karena kaolin dapat
mengadsorbsi molekul kecil seperti substansi bakteria dan virus (WHO, 2005).
Mekanisme adsorbsi kaolin ini adalah dengan pertukaran kation karena kaolin
memiliki muatan negatif yang memunginkan terjadinya pertukaran ion

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

bermuatan positif di permukaannya (Otto dan Haydel, 2013). Dalam


pertukaran kation tersebut, terdapat istilah kapasitas tukar kation yang
merupakan suatu kemampuan kapasitas mineral untuk mengadsorbsi suatu
molekul melalui pertukaran kation. Kapasitas pertukaran kation kaolinit hanya
sebesar 2 – 10 meq / 100 g tergantung pada ukuran partikel, tetapi laju reaksi
pertukarannya cepat, hampir seketika (WHO, 2005). Atas dasar pertukaran
kation ini, kaolin dapat membantu kerja sabun dalam mengangkat dan
membilas bakteri yang terdapat di permukaan kulit bersamaan dengan
aquadest steril.
Hasil total plate count pada sampel berkurang seiring dengan
banyaknya sabun yang digunakan untuk pembilasan, seperti yang tertera pada
Tabel 4.7. Di samping itu, hasil total plate count yang diperoleh dari sampel
(kaolin facial wash variasi SLES 10%) sebanyak 500 mg dalam keadaan basah
(2,00 ± 0,71 cfu/cm2) dan keadaan kering (1,00 ± 0,71 cfu/cm2) menunjukkan
hasil yang lebih mendekati kepada hasil kontrol positif (pond’s facial wash
antibacterial with herbal clay (kaolin)), baik dalam keadaan basah (1,00 ± 0,71
cfu/cm2) maupun dalam keadaan kering (1,00 ± 0,71 cfu/cm2). Hal ini semakin
menegaskan bahwa, semakin banyak sabun yang digunakan semakin banyak
pula bakteri yang terbilas.
Hasil total plate count pada sampel dalam keadaan basah dan kering,
baik dalam banyaknya sampel sebanyak 200 mg maupun 500 mg, terdapat
perbedaan jumlah koloni bakteri (Tabel 4.7), walaupun perbedaan jumlah
koloni bakteri secara statistik tidak signifikan, tetapi perbedaan tersebut tidak
terjadi pada hasil total plate count kontrol positif. Diduga, hal ini disebabkan
oleh perbedaan dari segi komposisi bahan formula sampel dengan bahan
formula kontrol positif, yang pada kontrol positif mengandung bahan pengawet
berupa sodium benzoat, metilparaben, DMDM hidantoin, potasium sorbat, dan
iodopropinil butilkarbamat serta antibakteri lain, seperti ekstrak daun mimba
(Neem / Azadirachta Indica) dan ekstrak herba selasih (Ocimum Basilicum),
sedangkan pada formula sampel tidak terdapat bahan pengawet (seperti
antimikroba) dan bahan aktif lain yang memiliki sifat antibakteri selain
daripada kaolin. Terdapatnya bahan pengawet, yang bersifat antimikroba untuk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

menghambat tumbuhnya mikroba pada sediaan (Mitsui, 1997), dapat


membunuh bakteri (mikroba) yang terdapat di permukaan kulit (Movita, 2013)
dengan menghambat metabolisme mikroba, dengan cara mengganggu
biosintesis protein mikroba (Garner., Ingo., dan Antje, 2014) sehingga mikroba
akan mengalami kerusakan sel dan pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Adanya zat antibakteri lain selain kaolin yang telah disebutkan,
semakin memperkuat dugaan bahwa terjadinya perbedaan hasil total plate
count pada sampel dan kontrol positif baik dalam keadaan basah maupun
kering karena adanya perbedaan komposisi bahan aktif lain sebagai antibakteri.
Pada beberapa penelitian menegaskan bahwa, ekstrak daun mimba (Neem /
Azadirachta Indica) dan ekstrak herba selasih (Ocimum Basilicum) memiliki
aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram
negatif dan Gram positif dengan menghambat reaksi nitrifikasi pada sel bakteri
(ekstrak daun mimba (Neem / Azadirachta Indica)) dan mengganggu susunan
serta fungsi membran sel bakteri yang dapat menyebabkan hilangnya material
sitoplasma sel bakteri (ekstrak herba selasih (Ocimum Basilicum)) (Khair-ul-
Bariyah et al, 2012; Ravva dan Anna, 2015; A. Silva et al, 2015). Nitrit
merupakan sumber energi bagi bakteri, apabila proses nitrifikasi dihambat,
bakteri tidak mendapatkan nitrit yang cukup untuk kelangsungan hidupnya
(Dwijoseputro 2010). Dari penjelasan di atas, adanya bahan pengawet dan zat
antibakteri lain yang terdapat dalam komposisi sabun dapat menyebabkan
perbedaan jumlah koloni bakteri yang tumbuh, baik dalam keadaan basah
maupun kering pada sampel dan kontrol positif.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa data yang diperoleh
terdistribusi normal dan homogen sehingga digunakan metode uji One way
ANOVA (uji parametrik). Hasil uji One way ANOVA menunjukkan nilai sig
< 0,05 yang berarti, terdapat pebedaan yang signifikan antara kelompok sampel
dan kelompok kontrol sehingga perlu dilanjutkan uji lanjutan (uji Post Hoc)
menggunakan uji LSD untuk melihat perbedaan mean antar variabel. Hasil uji
LSD antar data kelompok sampel dengan kontrol positif menunjukkan sig >
0,05 yang berarti tidak terdapat perbedaan jumlah koloni bakteri yang
signifikan antara hasil pembilasan menggunakan sampel dan kontrol positif

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

(pond’s facial wash antibacterial with herbal clay (kaolin)), baik dalam
keadaan basah maupun kering. Di sisi lain, hasil uji LSD antara data sampel
dengan kontrol negatif menunjukkan sig < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan
jumlah koloni bakteri yang signifikan antara hasil pembilasan menggunakan
sampel dan kontrol negatif (aquadest), baik dalam keadaan basah maupun
kering. Hal ini menegaskan bahwa kaolin facial wash variasi SLES 10% efektif
untuk membilas sebagian besar bakteri Propionibacterium acnes yang terdapat
di permukaan kulit karena hasil uji swab terhadap sampel memiliki hasil yang
sangat mendekati dengan hasil kontrol positif dibandingkan dengan kontrol
negatif.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Karakteristik kaolin facial wash yang paling baik di antara ketiga formula
kaolin facial wash dengan variasi konsentrasi Sodium Laurylether Sulfate
(SLES) yang diujikan (7,5% (Formula I), 10% (Formula II), dan 15%
(Formula III)) terdapat pada formula II dengan konsentrasi SLES 10%.
2. Kaolin facial wash dengan konsentrasi Sodium Laurylether Sulfate 10%
terbukti efektif membersihkan bakteri penyebab jerawat (Propionibacterium
acnes) di kulit.

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan uji cemaran mikroorganisme terhadap facial wash untuk
mengetahui apakah formula facial wash tanpa pengawet dapat bertahan
setelah jangka waktu pemakaian.
2. Perlu dilakukan uji pembanding daya bersih formula facial wash tanpa
pengawet dan dengan tambahan pengawet, untuk mengetahui apakah hasil
daya bersihnya mengalami perbedaan yang signifikan atau tidak.
3. Perlu dilakukan uji stabilitas penyimpanan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

DAFTAR PUSTAKA

A, Silva V., et al. 2015. Antibacterian Activity of Ocimum basilicum Essential Oil
and Linalool on Bacterial Isolates of Clinical Importance. International
Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research. Vol. 7, No. 6, page:
1066-1071.
Akzonobel. 2013. Soap Based Facial Wash Paste. KM130701-1.b.
Angkatavanich, J., et al. 2009. Development of Clay Liquid Deterent For Islamic
Clenasing And The Stability Study. Internationa Journal of Cosmetic Science
2009, 31, 131-141. The Halal Science Center, Chulalongkon University,
Bangkok.
Anonim, 1987. Final Report on The Safety Assessment of Oleic Acid, Lauric Acid,
Palmitic acid, Myristic Acid, and Stearic Acid. Journal of The American
College of Toxicology. No 3, Vol 6. Mary Ann Liebert, Inc., Publisher.
Anonim, 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori) Dalam Industri
Pangan. ebookpangan.com.
Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Terjemahan : F. Iprahim.
Jakarta: UI Press.
Ashar, TT. 2006. Various Techniques of Soap Making. Journal a Day. 33801.
Aufa, D. A. 2010. Surfaktan Untuk Detergent. (Makalah: Universitas Diponegoro).
Ayu, Dewi Fortuna., et al. 2010. Evaluasi Mutu Sabun Padat Dari Minyak Goreng
Bekas Makanan Jajanan Di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dengan
Penambahan Natriul Hidroksida dan Lama Waktu Penyabunan. Prosiding
SEMNAS 2010: Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Badan Standar Nasional Indonesia. 1994. Standar Mutu Sabun Mandi: SNI 06-
3532-1994. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional.
Badan Standar Nasional Indonesia. 1996. Standar Mutu Sabun Mandi: SNI 06-
4085-1996. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional.
Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I. 2009. Handbook of Cosmetic Science and
Technology, 3rd Edition. Ney York: Informa Healthcare USA, Inc.
Brooks, G. F., J. S. Butel dan S. A. Morse 2005. Medical Microbiology. Ney York:
Mc Graw Hill.
Buchmann, S., 2001. Main Cosmetics Vehicle, in Barel, O. A., Marc Paye.,
Howard., Imaibach. 2009. Handbook of Cosmetic Science and Technology,
3rd ed. New York: Informa Healtcare USA Inc. Pp. 165.
Buckle, F A., R A Edwards., G H Fleet., dan M Wotton. 1987. Ilmu Pangan.
Jakarta: UI Press.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Carretero, M. Isabel and Manuel Pozo. 2010. Clay and Non-Clay Minerals in The
Pharmaceutical and Cosmetic Industries Part II. Active Ingredient. Review
Article Elsevier, 47, 171-181.
Carstensen, Jens T and C. T Rhodes. 2000. Drug Stability – Principles and
Practices, 3rd Edition. New York: Marcel Dekker. Ink.
Christiani, Maria Verita Vita. 2015. Formulasi Sabun Cair Transaran Ekstrak
Rimpang Lengkuas (Alpina galanga): Pengaruh Cocoamiopropyl Betaine dan
Gelatin Terhadap Sifat Fisik Sediaan. Skripsi: Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
Chung, Kyeong – Soo and Gye – Ju Rhee. 1987. Studies on The Adsorption
Properties of Korean Kaolin IV The Adsorption of Bacteria by Activated
Halloysiste. Vol 10, No 4, 228 – 231. College of Pharmacy, Chung-Nam
National University, Korea.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan.
Diez, Berta et al. 2017. Antimicrobal Organic-Inorganic Composite Mmbranes
Including Sepiolite-Supported Nanomeals. FSC Advances. 7, page: 2323-
2332.
Djajadisastra, J. 2004. Seminar Setenga Hari HIKI: Cosmetic Stability. Depok:
Departemen Farmassi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Universitas Indonesia.
Draelos, Z. D. 2010. Cosmetic Dermatology: Products and Procedures, Chapter 12.
USA: Wiley-Blackwell.
Dwidjoseputro, D. 2010. Dasar-DasarMikrobiologi. Jakarta: Djambatan
European Medicines Agency (EMA). 2015. Background Review for Sodium
Laurilsulfate Used As An Excipient. London: Committee for Human
Medicinal Products (CHMP).
Eriatna, Aulia Wardahani. 2017. Aktivitas Antibakteri Sabun Clay Bentonit Dan
Kaolin Terhadap Bakteri Air Liur Anjing. Skripsi: Progran Studi Farmasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Garner, Nicole., Ingo Eilks., and Anjte Siol. 2014. Parabens as Preservatives in
Personal Care Products. Reaserchgate. No. 103, page: 38-43.
Hanson, A. L. 1992. Encyclopedia of Science and Technology Vol-5 7th Edition.
London: Mc Graw-Hill, Inc.
Harris, May Valdi., Yudhomenggolo Sastro Darmanto., dan Putut Har Riyadi.
2016. Pengaruh Kolagen Ikan Air Tawar Yang Berbeda Terhadap
Karakteristik Fisik Dan Kimia Sabun Mandi Padat. Jurnal Peng. & Biotek
Hasil Penelitian. Vol 5, No. 2, ISSN: 2442 – 4145.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Herh, Peter., et al. 1998. The Rheology of Pharmaceutical and Cosmetic


Semisolids. Aplication Note American Laboratory, page: 12-14.
Hernani, Tati K., Bunasor., dan Fitriati. 2010. Formulasi Sabun Transparan
Antijamur dengan Bahan Aktif Ekstrak Lengkuas (Alpina galanga L.
Swartz.), Bul Littro. Vol 21, No. 2, 192 – 205. Bogor: Balitro Litbang
Penelitian.
Ismail, Rached., et al. 2013. Methods for Recovering Microorganisms from Solid
Surfaces Used in The Food Industry: A Review of The Literature.
International Journal of Environmental Research And Public Health. Vol 10,
ISSN 1660 – 4601.
Jain, A, Basal E. 2003. Inhibition of Propionibacterium acnes – Induced Mediators
of Inflamation by Indian Herbs. Phytomedicine. Vol 10, 34 – 38.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. 2001. Mikrobiologi Kedokteran Edisi
XXII, diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Jakarta: Salemba Medika.
Jawetz, Melnick and Adelberg,’s. 2013. Medical Microbiology 26th Edition, E-
book, International Edition ISBN 978-0-07-181292-4. New Delhi: Tata
McGraw Hill Publishing Company Limited.
Karsheva, M., Georgiva, S., dan Handjiva, S. 2007. The Choice of The Thickener
A Way to Iprove The Cosmetic Sensory Proerties. Journal of The University
of Chemical Technology and Metallurgy, vol. 42, No. 2 (187-194).
Khair-ul-Bariyah, S., D. Ahmed., and M. Ikram. 2012. Ocimum Basilicum: A
Review on Phytochemical and Pharmacological Studies. Pakistan Journal of
Chemistry. ISSN (online): 2222-307X
Kuncari, Ema Sri., Iskandarsyah., dan Praptiwi. 2014. Evaluasi, Uji Stabilitas Fisik
dan Sineresis Sediaan Gel Yang Mengandung Minoksidil, Apigenin dan
Perasan Herba Seledri (Apium graveolens L.). Bul. Penelitian. Kesehatan,
vol. 42, No. 4 (213-222).
Lucyani, Neny. 2014. Uji Efektivitas Antibakteri Sediaan Krim Tipe M/A Dari
Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Pontianak (Citrus nobilis Lour. Var.
Microcarpa) Terhadap Isolat Propionibacterium acnes Secara In Vitro.
Naskah Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjugpura.
Maripa, Baiq Risni., Yeti Kurniasih., dan Ahmad. 2015. Pengaruh Konsentrasi
NaOH Terhadap Kualitas Sabun Padat dari Minyak Kelapa (Cocos nucifera)
yang Ditambahkan Sari Bunga Mawar (Rosa L). Naskah Publikasi: Pendidian
Kimia, FMIPA IKIP.
Martin, A., Swarbick J., dan Cammarata J. 2008. Farmasi Fisik:Dasar-Dasar
Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta: Universitas Indonesia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Mauliana. 2016. Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi Asam
Stearat dan Natrium Lauril Sufat. Skripsi: Progran Studi Farmasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mahmood, Tariq and Naveed Akhtar. 2013. Stability of A Cosmetic Multiple
Emultion Loaded with Green Tea Extract. The Scientific World Journal.
Departement of Pharmacy, Faculty of Pharmacy and Alternative Medicine,
The Islamia University of Bahawalpur, Pakistan.
McDowell, Andrew., et al. 2016. Proposal to Reclassify Propionibacterium acnes
Type I as Propionibacterium acnes subsp. Acnes subsp. nov. and
Propionibacterium acnes Type II as Propionibacterium acnes subsp.
defendens subsp. nov. International Journal of Systematic and Evaluationary
Microbiology (2016), 66, 5358-5365.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Amsterdam-Netherlad: Elsevier Science
B.V.
Movita, Theresia. 2013. Acne Vulgaris. Artikel Ilmiah Continuing Medical
Education, CDK-203/ Vol 40, No. 4.
Nesse, Willim D. 2012. Introduction to Mineralogy, Second Edition. New York:
Oxford University Press, Inc.
Noor, Siti Umrah dan Desy Nurdyastuti. 2009. Lauret-7-Sitrat Sebagai Detergensia
dan Peningkat Busa pada Sabun Cair Wajah Glysine soja (Sieb.) Zucc. Jurnal
Ilmu Kefermasian Indonesia. Vol 7, No. 1.
Nugroho, Yusuf Adi. 2014. Cemaran Bakteri dan Koliform pada Layar Telepon
Genggam Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Bogor. Skripsi: Institut Pertanian Bogor Fakultas Kedokteran Hewan.
Nurhadi, Siely Cicilia. 2012. Pembuatan Sabun Mandi Gel Alami dengan Bahan
Aktif Mikroalga Chlorella pyerenoidosa Beyerinckk dan Minyak Atsiri.
Skripsi: Program Studi Teknik Industri Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Ma Chung.
Ophardt, C. E. 2003. Soap. http://elmhurst.edu/chm/vchembook/554soap.html.
Diakses pada tanggal 7 Januari 2018.
Otto. C. C and S. E. Haydel. 2013. Microbicidal Clays: Composition, Activity,
Mechanism of Action, and Therapeutic Aplications. Formatex. 1169 – 1180.
Parasuram, K. S. 1995. Soaps and Detergents. New Delhi: Tata McGraw Hill
Publishing Company Limited.
Paye, Marc; Andre O. Barel, and H. I. Maibach. 2006. Handbook of Cosmetic
Science and Tecjnology, 2nd Edition. New York: CRC Press.
Pratiwi, Sylvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Purnamawari, Debbi 2006. Kajian Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Asam Sitrat
Terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi: Fakultas Tekhnologi Pertanian
IPB.
Rahman, Ari., Nayuki Ki shimoto., and Take o Urabe. 2015. Adsorption
Characteristics of Clay Adsorbents – Sepiolite, Kaolin and Synthetic Talc –
fo Reoval of Reactive Yellow 138:1. Water and Environtment Journal. Vol
29, 375 – 382. Faculty of Science and Technology, Ryukoku University,
Japan.
Ravva, Subbarao V and Anna Korn. 2015. Effect of Neem (Azadirachata indica)
on The Survival of Escherichia coli O157:H7 in Dairy Manure. International
Journal of Environmental Research and Public Health. 12, page: 7794-7803.
Rizka, Ramaza. 2017. Formulasi Sabun Padat Kaolin Penyuci Najis Mughalladzah
Dengan Variasi Konsentrasi Minyak Kelapa Dan Asam Stearat. Skripsi:
Progran Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rowe, Raymond C., Paul J Sheskey and Marian E quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Rozi, Muhammad. 2013. Formulasi Sediaan Sabun Mandi Transparan Minyak
Atsiri Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dengan Cocoamid DEA Sebagai
Surfaktan. Naskah Publikasi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Rukmana, Nurul Fitri. 2016. Identifikasi Pengaruh pH Terhadap Sifat Reologi
Polimer (Karbopol 940, Xanthan Gum, Na CMC, Na Alginat, dan Tragakan)
Tunggal dan Kombinasi. Skripsi: Progran Studi Farmasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Saputri, Wiradika., Naniek Setiadi Radjab., dan Kori Yati. 2014. Perbandingan
Optimasi Natrium Lauril Sulfat Fisik Sabun Mandi Cair Ekstrak Air Kelopak
Bunga Rosela (Hisbiscus sabdariffa L). Jakarta: Fakultas Farmasi dan Sains
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.
Schramn, Laurier L. 2005. Emulsion, Foams, and Suspensions. Germany: Wiley
VCH Verlag GmbH & Co. KgaA, Weinheim.
Setyoningrum, Elisabeth Nita Maharani. 2010. Optimasi Formula Sabun
Transparan dengan Fase Minyak Virgin coconut Oil dan Surfaktan
Cocoamidopropil Betaine : Aplikasi Desain Faktorial. Skripsi: Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Shipp, J. J. 1996. Hair-care Products, Dalam Chemistry and Technology of The
Cosmetics and Toiletries Industry Second Edition. London: Blackie
Academic & Professional.
Sinko, P. J. 2006. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmastika Edisi 5,
diterjmahkan oleh Tim Ahli Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Smaoui, Slim., et al. 2012. Cosmetic Emulsion From Virgin Olive Oil: Formulation
and Bio-physical Evaluation. African Journal of Biotechnology. Vol 11, No.
40.
Smith, MA., Alperstein P., France KE., Vellozzi EM., dan Isenberg HD. 1996.
Susceptibility Testing of Propionibacterium acnes ComparingvAgar Dilution
with E test. Journal of Clinical Microbiology, 34 (4), 1024-1026. The Long
Island Campus for teh Albert Einstein College of Medicine, New Hyde Park,
New York.
Soetopo, Seno., dkk. 2004. Ilmu Resep Teori Jilid II (Cetakan Kedua). Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Spiess, E. 1996. Raw Materials, Dalam Chemistry and Technology of The
Cosmetics and Toiletries Industry Second Edition. London: Blackie
Academic & Professional.
Suryani, A., S. Windarwati dan E. Hambali. 2007. Pemanfaatan Gliserin Hasil
Samping Produksi Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku (sawit, jarak, kelapa)
Untuk Sabun Transparan. Bogor: Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi.
Jakarta LPPM IPB.
Tanghetti, Emil A. 2013. The Role of Inflamation in The Pathology of Acne.
Literature Review, Clinical Aesthetic, 6 (9).
The European Cosmetic Toiletry And Perfumery Association. 2004. Guidelines On
Stability Testing of Cosmetic Products. London: CTFA.
Tranggono, R.I., Latifah, F, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Unuabonah, Emanuel L., et al. 2017. Desinfetion of Water with New Chitosan –
Moified Hybrid Clay Composite Adsorbent. Heliyon. Vol 3.
Wade, A., H. W., and P. J. Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients
Second Edition. London: Pharmaceutical Press.
Wasitaatmadja; S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI-Press.
Wasteson, Y., dan Hornes, E. 2009. Pathogenic escherichia coli found in food.
International Journal of Food Microbiology. 12 (103-114).
WHO Geneva. 2005. Environental Health Criteria 231, Bentonite, Kaolin, And
Selected Clay Minerals. Swiss: WHO Geneva.
Widiawati, Wahyu dan Dewi Lutfiati. 2014. Perbedaan Hasil Penyembuhan Kulit
Wajah Berjerawat Antara Masker Lidah Buaya Dengan Masker Non Lidah
Buaya. e-Journal Edisi Yudisium Februari 2014, 03 (01), 217-225.
Widiyanti, Yunita.2009. Kajian Pengaruh Jenis Minyak Terhadap Mutu Sabun
Transparan. Skripi: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Wilkinson J. B and Moore R. J. 1982. Harry’s Cosmeticology, 7th Edition. London:


George Godwin.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 1. Sertifikat Analisa Bahan Kaolin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 2. Sertifikat Analisa Asam Miristat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 3. Sertifikat Analisa Asam Laurat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

Lampiran 4. Sertifikat Analisa Sodium Laurileter Sulfat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Lampiran 5. Sertifikat Analisa Propilen Glikol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Lampiran 6. Sertifikat Analisa Asam Laktat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Lampiran 7. Sertifikat Analisa Nutrien Agar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Lampiran 8. Sertifikat Analisa Propionibacterium acnes (ATCC)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Lampiran 9. Alur Penelitian

Formulasi kaolin facial


wash dengan variasi
SLES

Evaluasi formulasi
kaolin facial wash Stabilitas,
dengan variasi SLES
Daya busa & kekentalan
(uji hedonik),
Daya bersih terhadap
Formula kaolin facial noda lipstik.
wash dengan hasil
evaluasi terbaik (memiliki
karekteristik terbaik)

Uji daya bersih kaolin facial wash


terhadap bakteri penyebab jerawat
(Propionibacterium acnes) (Uji Swab)

Analisa data dengan uji


statistik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Lampiran 10. Data Pengujian pH


Sebelum di-adjust Setelah di-adjust Sabun Komersial
Pengulangan
Formula pH Rata-Rata Formula pH Rata-Rata pH Rata-Rata
8,93 6,16
F1 8,95 8,94 ± 0,01 F1 6,14 6,14 ± 0,01 1. 9,61
8,93 6,13
9,01 6,67
F2 8,97 8,99 ± 0,02 F2 6,57 6,61 ± 0,06 2. 9,48 9,53 ± 0,07
8,99 6,59
9,73 6,87
F3 9,67 9,68 ± 0,04 F3 6,82 6,83 ± 0,04 3. 9,5
9,65 6,79

Keterangan: Sabun Komersil: pond’s facial wash antibacterial with herbal clay
(kaolin)

Lampiran 11. Hasil Uji Statistik pH Kaolin Facial Wash (Variasi


Konsentrasi SLES)
Uji Normalitas dan Homogenitas Data pH Kaolin Facial Wash (Variasi
Konsentrasi SLES)
Hasil Uji Normalitas
Data Nilai Sig. Keterangan
pH kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,167
(Variasi Konsentrasi SLES) Sebelum adjust terdistribusi normal (H0)
pH Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES) Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,081
(Sebelum CT ) Setelah adjust x Sabun Komersial terdistribusi normal (H0)
pH Kaolin Facial Wash(Variasi Konsentrasi Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,644
SLES) Setelah Cycling Test terdistribusi normal (H0)
Hasil Uji Homogenitas
Data Nilai Sig. Keterangan
pH kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,331
(Variasi Konsentrasi SLES) Sebelum adjust terdistribusi homogen (H0)
pH Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES) Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,389
(Sebelum CT ) Setelah adjust x Sabun Komersial terdistribusi homogen (H0)
pH Kaolin Facial Wash(Variasi Konsentrasi Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,355
SLES) Setelah Cycling Test terdistribusi homogen (H0)
Keterangan:
H0 : Populasi nilai variabel x berdistribusi normal/homogen
H1 : Populasi nilai variabel x tidak berdistribusi normal/homogen
Penarikan Kesimpulan :
Jika sig < α (0,05) maka H0 ditolak, H1 diterima.
Jika sig > α (0,05) maka H0 diterima, H1 ditolak.

Keterangan: CT  Cycling test; Sabun Komersil  pond’s facial wash antibacterial with
herbal clay (kaolin)

Uji One way ANOVA Data pH Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES)
Sebelum adjust

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Lampiran 11. Lanjutan

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

Uji One way ANOVA Data pH Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES)
Setelah adjust (Sebelum Cycling Test) x Sabun Komersil ( pond’s facial wash
antibacterial with herbal clay (kaolin))

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

Lampiran 11. Lanjutan


Uji One way ANOVA Data pH Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES)
Setelah Cycling Test

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

Lampiran 12. Hasil Uji Homogenitas Kaolin Facial Wash (Variasi


Konsentrasi SLES)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

Lampiran 13. Data dan Cara Perhitungan Tinggi Busa dan Stabilitas
Busa Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES)
Formula Tinggi Busa t0 (cm) Rerata Tinggi Busa t1 (cm) Rerata Stabilitas Busa (%) Rerata
1 0,6 60
F1 0,9 1 ± 0,10 0,6 0,63 ± 0,58 66,67 63,43 ± 3,34
1,1 0,7 63,64
2,3 1,7 73,91
F2 2,5 2,37 ± 0,12 1,9 1,73 ± 0,15 76 73,16 ± 3,28
2,3 1,6 69,57
3,4 2,5 73,53
F3 4,6 4,37 ± 0,87 3,9 3,6 ± 0,98 84,78 81,53 ± 6,97
5,1 4,4 86,27

Keterangan: Data rerata merupakan nilai rata-rata ± SD

Contoh Perhitungan Stabilitas Busa Formula Kaolin Facial Wash


Tinggi busa setelah 1 jam (t1)
% Stabilitas Busa Selama 1 Jam = x 100%
Tinggi busa awal (t0)

0,63
= x 100%
1

= 63,43%
Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa dan Stabilitas Busa Kaolin
Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES)
Uji Normalitas dan Homogenitas Data Tinggi Busa Kaolin Facial Wash (Variasi
Konsentrasi SLES)
Hasil Uji Statistik Tinggi Busa
Hasil Uji Normalitas
Data Nilai Sig. Keterangan
Tinggi Busa Kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,912
(Variasi Konsentrasi SLES) terdistribusi normal (H0)
Hasil Uji Homogenitas
Data Nilai Sig. Keterangan
Tinggi Busa Kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,012
(Variasi Konsentrasi SLES) terdistribusi homogen (H0)
Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa
Hasil Uji Normalitas
Data Nilai Sig. Keterangan
Stabilitas Busa Kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,997
(Variasi Konsentrasi SLES) terdistribusi normal (H0)
Hasil Uji Homogenitas
Data Nilai Sig. Keterangan
Stabilitas Busa Kaolin Facial Wash Sig > 0,05 → Populasi nilai
0,524
(Variasi Konsentrasi SLES) terdistribusi homogen (H0)
Keterangan:
H0 : Populasi nilai variabel x berdistribusi normal/homogen
H1 : Populasi nilai variabel x tidak berdistribusi normal/homogen
Penarikan Kesimpulan :
Jika sig < α (0,05) maka H0 ditolak, H1 diterima.
Jika sig > α (0,05) maka H0 diterima, H1 ditolak.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

Lampiran 14. Lanjutan


Uji One way ANOVA Data Tinggi Busa Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi
SLES)

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

Uji One way ANOVA Data Stabilitas Busa Kaolin Facial Wash (Variasi
Konsentrasi SLES)

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 15. Hasil Uji Daya Bersih terhadap Noda Lipstik Kaolin Facial
Wash (Variasi Konsentrasi SLES)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Lampiran 16. Data Viskositas dan Rheologi Formula I, II, III Kaolin
Facial Wash

Data Viskositas FI (SLES 7,5%) Data Viskositas FII (SLES 10%) Data Viskositas FIII (SLES 15%)
Sebelum Setelah Cycling Sebelum Setelah Cycling Sebelum Cycling Setelah Cycling
Rpm Cycling Test Test Cycling Test Test Test Test

cPs I cPs II cPs I cPs II cPs I cPs II cPs I cPs II cPs I cPs II cPs I cPs II

0,3 42310 49640 30240 12480 215470 2E+05 161350 239890 848200 600200 309200 322000
0,5 33830 32980 20190 8240 134770 1E+05 99900 174000 511000 577100 244900 304100
0,6 29890 31810 16010 7200 115430 98630 83710 156350 442300 542500 213200 302200
1 19930 19530 10390 4690 77580 85170 58540 106510 356000 455000 169800 259900
1,5 14280 13770 7200 2350 56340 55760 42810 77580 268200 337700 129100 210000
2 11370 10700 6160 2310 44990 41380 36190 62250 243800 267000 103500 176700
2,5 9540 9540 5150 2390 38670 38160 31480 53340 213700 220100 - -
3 8530 8340 4190 1950 34490 33390 28020 46220 - - 75000 137400
4 6890 6770 3210 1630 28120 28710 23230 36380 146300 147100 61900 110300
5 5570 5650 2770 2780 24320 24190 20150 30280 116500 119600 54600 90100
6 5050 5200 2540 2440 21200 20130 17870 26030 97000 99900 48800 78200
10 3490 3490 1800 1700 14690 15590 13000 17400 66800 56200 33900 50500
12 3060 3120 1610 1460 13390 10350 11410 15060 57300 53100 29600 44300
20 2290 2250 1150 1090 9270 9210 7900 10380 39100 37000 19900 28800
30 1800 1800 950 1010 6320 6830 6660 7900 27400 27500 14500 19900
50 1370 1350 740 810 5050 5380 5070 5510 17500 17800 10400 12900
60 1230 1230 610 760 3850 3060 4460 4930 15300 15300 9300 11400
100 880 940 450 470 2620 2370 3360 3360 ERROR ERROR 6700 6800
200 600 600 260 260 1530 1530 ERROR ERROR ERROR ERROR 4400 4400

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


83

Lampiran 16. Lanjutan

Data Hasil Rata-Rata Rheologi FI,FII, dan FIII

FI FII FIII

Rpm
% Tq % Tq % Tq % Tq Post % Tq Post
% Tq Awal
Awal Post CT Awal CT CT

0,3 3,1 2,2 10,9 12,1 25,4 9,2


0,5 4,2 2,5 12,1 12,4 25,5 12,2
0,6 4,4 2,4 12,7 12,5 26,5 12,7
1 4,9 2,5 13,7 14,6 35,6 16,9
1,5 5,3 2,7 14,8 26 40,2 19,3
2 5,6 3 15,8 28 48,7 20,7
2,5 5,9 3,2 16,4 29,6 53,4 22,5
3 6,3 3,1 17,1 31 - 24,7
4 6,8 3,2 18,8 33,2 58,5 27,3
5 6,9 3,4 20,7 35,1 59,7 29,3
6 7,5 3,8 21,3 36,8 63,8 33,9
10 8,7 4,5 26,7 42,5 66,8 35,5
12 9,1 4,8 26,5 44,2 68,8 39,9
20 11,4 5,7 31,7 - 74 43,5
30 13,5 7,1 37,5 55,9 83,3 52,2
50 17,1 9,2 44 63,3 87,5 55,9
60 18,4 - 46,5 66,9 91,8 67
100 22 11,2 59 84 - 89
200 30 13 95,5 - - -
100 23,5 11,7 59,2 84 - 89
60 18,4 - 45,9 66,9 91,8 68
50 16,8 10,1 45,2 63,8 89,2 55,8
30 13,5 7,5 40,3 59,2 84,5 54,5
20 11,2 5,4 34,1 - 78,8 49,7
12 9,3 4,3 27,6 45,1 68,7 47,7
10 8,7 4,2 25,8 43,5 66,2 43,2
6 7,8 3,6 23,3 39 63,9 40,5
5 7 3,4 22 37,8 59,8 36,9
4 6,7 3,2 20,1 36,3 58,8 35
3 6,2 2,9 18,1 34,6 - 34,1
2,5 5,9 2,9 17,9 33,3 53 31,2
2 5,3 2,9 16,6 31,1 48,4 25,3
1,5 5,1 2,3 15,5 29 40,6 21,5
1 4,8 2,3 13,9 26,6 35,5 25,9
0,6 4,7 2,1 12,7 23,4 24,6 19,3
0,5 4,1 2 12,3 21,7 25,4 15,1
0,3 3,7 1,8 11,6 17,9 25,3 10,2
Keterangan: % Tq Awal  % Torque sebelum cycling test; CT  Cycling test.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


84

Lampiran 17. Hasil Uji Mekanik

Lampiran 18. Hasil Cycling Test

SLES 7,5 SLES 10 SLES 15

SLES 15 SLES 10
SLES 7,5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


85

Lampiran 19. Hasil Pengolahan Data Statistik Uji Hedonik

Data Hasil Uji Hedonik


FI FII FIII
KK DB KK DB KK DB
2 2 5 5 2 5
1 2 5 5 3 5
2 1 5 5 2 5
3 3 4 5 2 5
5 1 3 5 1 2
2 2 3 4 4 3
3 3 5 4 4 5
2 3 5 4 4 5
2 1 5 3 4 4
1 5 1 4 5 4
2 2 4 4 5 3
2 1 5 4 4 5
4 3 1 5 5 4
3 1 1 4 4 4
1 1 4 2 5 5
3 3 3 4 5 5
1 2 3 5 5 5
1 1 5 5 1 1
1 1 4 4 1 3
1 1 5 3 2 5 Keterangan:
3 4 4 5 3 5 KK: Kekentalan
3 3 5 5 3 4 DB: Daya Busa
3 1 5 5 2 5
2 2 3 4 4 4
2 2 4 4 5 5
2,20 ± 1,04 2,04 ± 1,01 3,88 ± 1,33 4,28 ± 0,79 3,4 ± 1,41 4,24 ± 1,09 
;;; Data merupakan nilai rata-rata ± SD

Lampiran 20. Isolat Propionibacterium acnes

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


86

Lampiran 21. Identifikasi Bakteri Hasil Peremajaan dengan Pewarnaan


Pembuatan preparat kering (Eriatna, 2017)
Satu tetes NaCl dilekkan di Tambahkan 1 ose hasil peremajaan
atas kaca objek steril, bakteri Propionibacterium acnes,

Keringkan hingga terbentuk preparat kering dengan melakukan


fiksasi di atas nyala api bunsen sebanyak 3x.

Pewarnaan Gram (Eriatna, 2017)


Pada preparat kering bakteri Propionibacterium acnes Diamkan 2 menit,
ditambahkan 1 tetes zat pewarna gentian violet / kristal kemudian bilas dengan
violet, aqua dest steril,

Tambahkan 1 tetes lugol, Tambahkan 1 tetes lugol,


Bilas dengan diamkan 1 menit, kemudian
diamkan 1 menit, kemudian
alkohol 96%, bilas dengan aqua dest steril,
bilas dengan aqua dest steril,

Bilas dengan aq dest steril, Diaman selama 1


Diamkan selama 30 menit
kemudian tambahkan zat menit, bilas dengan
hingga zat warna melarut,
warna safranin, aq dest steril,

Jika sel yang terwarnai berwarna Keringkan dengan


merah  bakteri gram negatif; Jika Amati dengan
tissue, kemudian
sel yang terwarnai berwarna ungu  mikroskop
tambahkan minyak
perbesaran 100 x
bakteri gram positif. imersi,

Hasil pewarnaan isolat hasil peremajaan Propionibacterium acnes (basil ungu)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


87

Lampiran 22. Data Uji Swab


Data hasil uji swab sebelum diolah (Hasil Perhitungan Plate Counter)

SB SBA SSB 200 SSK 200 SSB 500 SSK 500 SKB 200 SKK 200 SKB 500 SKK 500

432 90 3 3 2 1 1 1 1 1
Jumlah koloni bakteri CFU
354 82 5 0 1 0 0 0 0 0

Keterangan:
SB: Swab Bakteri; SBA: Swab Bakteri Air (kontrol negatif); SSB: Swab Sabun
Basah; SSK: Swab Sabun Kering; SKB: Swab Kontrol Basah; SKK: Swab
Kontrol Kering.

Perhitungan jumlah bakteri (CFU/cm2) (Nugroho, 2014):

Jumlah Bakteri (𝐶𝐹𝑈⁄𝑚𝑙 )


2
Jumlah Bakteri (CFU/cm ) =
Jml Isolat (ml)xLuas Permukaan Kulit (𝑐𝑚2 )

Jumlah Bakteri (CFU/ml) = Jumlah koloni x Faktor pengenceran


1
Faktor Pengenceran =
Tingkat Pengenceran

Contoh perhitungan jumlah bakteri hasil uji swab:


1
Jumlah Bakteri (CFU/ml) = 432 x 100 = 432 x 1 = 432 CFU/ml

432 𝐶𝐹𝑈⁄𝑚𝑙
Jumlah Bakteri (CFU/cm2) =
10−1 (ml) x 12 (𝑐𝑚2 )

= 360 CFU/cm2
SB SBA SSB 200 SSK 200 SSB 500 SSK 500 SKB 200 SKK 200 SKB 500 SKK 500
360 75 3 3 2 1 1 1 1 1
Jumlah koloni bakteri CFU/cm
295 68,3 4,2 0 1 0 0 0 0 0

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


88

Lampiran 23. Hasil Uji Statistik Uji Swab Kaolin Facial Wash
Konsentrasi SLES 10% terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat Propionibacterium acnes
Uji Normalitas Data Uji Swab Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES
10%) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat Propionibacterium acnes

Uji Homogenitas Data Uji Swab Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi SLES
10%) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat Propionibacterium acnes

Uji One way ANOVA Data Uji Swab Kaolin Facial Wash (Variasi Konsentrasi
SLES 10%)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


89

Lampiran 23. Lanjutan


Post Hoc Test

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


90

Lampiran 23. Lanjutan


Post Hoc Test

Keterangan : Sig < 0,05  Berbeda bermakna; Sig > 0,05  Tidak berbeda
bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


91

Lampiran 24. Formula Pond’s Facial Wash Antibacterial with Herbal Clay
(Kaolin) (Kontrol Positif)

Bahan
Fungsi
Kontrol Positif
Asam Miristat Basis sabun
Asam Stearat (saponifikasi)
Asam Laurat

KOH Agen pembasa

Asam Salisilat Antikomedogenik


Ekstrak Daun
Azadirachta indica
Antibakteri
Ekstrak Daun/Bunga
Ocimum basilicum
Agen pembersih
Dekil Glukosida
(surfaktan)
Agen pengemulsi
Gliseril Stearat
(softening agent)
Silika Hidrat Abrasived
Parvum Pewangi
Gliserin Humektan
Poliquaternium-7 -
Disodium EDTA Antikelat
Butilen Glikol
Agen pengental
Glikol Distearat
Aquadest Vehicle
pH adjuster
Asam Laktat
(Humektan)
Kaolin Adsorben
Sodium Klorida
Thickening agent
Sodium Sulfat
Potasium Sorbat
Sodium Benzoat
Metilparaben Agen antimikrobial
DMDM Hidantoin (preservativ)
Iodopropinil
Butilkarbamat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


92

Lampiran 25. Gambar Hasil Uji Swab (Sampel 200 mg)

Keterangan: a. Jumlah bakteri dalam 0,1 ml; b. Kontrol (Agar kosong); c. Kontrol
bakteri; d. SBA (Kontrol negatif); e. SKB/SKK (Kontrol positif); f.
SSK; g. SSB.

Lampiran 26. Gambar Hasil Uji Swab (Sampel 500 mg)

Keterangan: a. Jumlah bakteri dalam 0,1 ml; b. Kontrol (Agar kosong); c. Kontrol
bakteri; d. SBA (Kontrol negatif); e. SKB/SKK (Kontrol positif); f.
SSK; g. SSB.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai