Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KEPASTIAN HUKUM TRANSAKSI DERIVATIF DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA


DIHUBUNGKAN DENGAN POJK NOMOR 7/POJK.03/2016 TENTANG PRINSIP KEHATI-
HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT
BAGI BANK UMUM

Disusun Oleh:

Nama : Setiyana Ahmad Supangkat


NPM : 178040060
Konsentrasi : Magister Ilmu Hukum/
Hukum Ekonomi
Semester : III

TUGAS MATA KULIAH


HUKUM INVESTASI

Dosen : Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, SH., M.Hum.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga saya pribadi bisa menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum
Administrasi Daerah Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum Investasi pada program studi Magister
Ilmu Hukum pada Universitas Pasundan. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, SH., M.Hum. selaku dosen pada mata kuliah Hukum
Investasi yang telah memberikan kesempatan pembuatan makalah ini.

Saya pribadi menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka
dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Maret 2019

Penulis

Halaman 1 dari 13
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Permasalahan


b. Identifikasi Permasalahan
c. Metode Penelitian
d. Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI DAN LANDASAN YURIDIS

a. Landasan Teori
1) Penegrtian dan Perkembangan Transaksi Derivatif di Indonesia
2) Teori Kepastian Hukum
b. Landasan Yuridis
1) Dasar Hukum Perjanjian terkait Transaksi Derivatif
2) Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan terkait Transaksi Derivatif

BAB III PEMBAHASAN

Kepastian Hukum Transaksi Derivatif Dalam Sistem Hukum Indonesia

BAB IV PENUTUP

a. Kesimpulan
b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Halaman 2 dari 13
BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Permasalahan

Persaingan bisnis perbankan setelah krisis memasuki babak yang cukup signifikan,
setelah dunia perbankan mengalami kelesuan akibat krisis 1998 dan krisis 2008, kini banyak
bank dengan permodalan yang sehat mulai merambah di Indonesia dengan produk-produk
yang cukup bersaing. Bank asing atau bank dengan kepemilikan asing tidak kalah ikut
meramaikan perbankan di Indonesia, beberapa kelebihan yang dimiliki oleh bank asing yaitu
banyaknya inovasi-inovasi produk-produk perbankan, yang tidak hanya menjual produk-
produk yang bersifat konvensional atau plain vanilla semacam giro, tabungan dan deposito
akan tetapi menjual produk yang cukup eksotis, yang membuat nasabah tergiur dari segi
keuntungan yang didapat dari produk tersebut, produk eksotis tersebut mempunyai bunga /
imbal hasil yang tinggi jika dibandingkan dengan produk-produk yang bersifat konvensional.

Salah satu produk eksotis yang masuk ke Indonesia adalah produk yang merupakan
transaksi derivatif, transaksi derivatif merupakan transaksi yang nilainya merupakan
berdasarkan turunan dari transasksi pokok-nya, awalnya transaksi ini hanya untuk melindungi
pembayaran dalam export import saja dari risiko nilai tukar, namun demikian transaksi
semacam ini berkembang pesat bukan hanya sebagai sarana lindung nilai saja atau untuk
mengurasi risiko saja, akan tetapi menjadi dipergunakan untuk mencari keuntungan semata.

Keuntungan dimaksud dapat dinikmati oleh semua pihak baik dari sisi nasabah maupun
perbankan dari sisi perbankan, namun kerugian yang terjadi pun akan menjadi risiko tersendiri
yang bahkan akan menjadi persengketaan antara dua belah pihak yaitu Nasabah dengan Bank.
Tentunya hal tersebut merupakan hal yang sewajarnya apabila terjadi kerugian karena sudah
diperjanjikan sebelumnya dan seharusnya mengerti bahwa dalam bisnis berlaku semacam
prinsip bahwa High Profit maka didapat dari High Risk, dalam banyak kejadian potensi
gugatan hukum biasanya akan terjadi dari salah satu pihak saja yang merasa paling dirugikan
yaitu Nasabah. Sehingga dalam hal ini sebagai nasabah harus mendapatkan jaminan kepastian
hukum dalam transaksi derivatif ini.

b. Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas penulis mengindentifikasi permasalahan yang


diangkat pada makalah ini adalah: Bagaimanakah kepastian hukum dalam transaksi derivatif
dalam sistem hukum di Indonesia?

c. Tujuan Penelitian

Halaman 3 dari 13
Tujuan dari penelitian dalam makalah ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis
ketentuan terkait kepastian atau keabsahan dalam transaksi derivatif dari sudut pandang
hukum.

d. Kegunaan Penelitian

Atas penelitian dalam makalah ini diharapkan dapat berkontribusi berupa sumbangan
pemikiran dalam khususnya di bidang hukum terkait kepastian hukum dalam transaksi
derivatif .

e. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian denngan Spesifikasi penelitian ini berupa


deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan berbagai peraturan perundangan
yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif
dengan permasalah yang diteliti. Dengan metode pendekatan secara yuridis normatif yang
berusaha menggambarkan masalah-masalah yang dikaji dengan memberikan serangkaian
pemahaman baik secara yuridis melalui abstraksi pemikiran dalam bentuk kalimat maupun
secara normatif, dengan memadukan teori-teori dengan perundang undangan yang relevan
dengan makalah ini sehingga diharapkan dapat menghasilkan masukan yang bermanfaat
untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada Identifikasi Permasalahan
dimaksud, pendekatan ini berupa penelitian kepustakaan yang dominasi dengan
menggunakan data-data sekunder, baik yang berupa bahan hukum sekunder, maupun bahan
hukum tersier1, cara yang dipakai dalam metode ini menggunakan metode riset kepustakaan,
yaitu dengan membaca buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang relevan dengan Tugas ini,
bahan presentasi, dokumentasi, berita online dan sumber lain yang dianggap relevan dengan
judul.

f. Sistematika Penulisan

Penulis menyusun makalah ini dalam 4 (empat) BAB dengan sistematika sebagai
berikut:

• DAFTAR ISI
• BAB I PENDAHULUAN
• BAB II LANDASAN TEORI DAN LANDASAN YURIDIS
• BAB III PEMBAHASAN
• BAB IV PENUTUP
• DAFTAR PUSTAKA

BAB II

1
Koentjaraningrat, metode-Metode Penelitian, PT Gramedia, jakarta, 1985. Hlm. 10.

Halaman 4 dari 13
LANDASAN TEORI DAN LANDASAN YURIDIS

a. Landasan Teori

1) Pengertian dan Perkembangan Transaksi derivatif di Indonesia

Pasar Derivatif dimulai sekitar tahun 1950-an di Amerika Serikat. Pada masa itu
bursa financial futures dunia seluruhnya berbasis di Amerika Serikat dimana pada awalnya
semua produk derivatif diperdagangkan di bursa. Chicago Board of Trade (CBOT) dan
Chicago Mercantile Exchange (CME) adalah bursa financial futures yang pertama dan
sampai sekarang tetap merupakan pusat perdagangan derivatif tunggal terbesar. Bila
digabung dengan New York Mercantile Exchange (NYME), CBOT dan CME sampai
beberapa tahun terakhir ini telah menguasai sekitar 90% dari semua produk derivatif yang
diperdagangkan. Namun saat ini hanya setengahnya yang diperjualbelikan di Amerika
Serikat. Perkembangan London Internasional Futures and Options Exchange (LIFFE) dan
bursa-bursa di Eropa lainnya seperti Matif di Paris dan Deutsche Terminborse (DTB) di
Frankfurt ditambah dengan ekspansi di Tokyo, Hong Kong dan Singapura telah
menyebarluaskan pengaruh derivatif ke seluruh dunia. Pangsa pasar derivatif dunia yang
meningkat dengan pesat telah dicapai oleh produk derivatif ini dengan fakta bahwa volume
yang diperdagangkan terus-menerus membesar di Amerika Serikat.

Derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang
nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut
" produk turunan" (underlying product) daripada memperdagangkan atau menukarkan
secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan
uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang
menjadi acuan pokok.

Menurut Richard Robert, Derivatif merupakan istilah umum (generic term) untuk
sejumlah instrument keuangan yang diambil dari berbagai produk keuangan seperti tingkat
suku bunga (interest rates), kurs valuta asing (foreign exchange) dan saham (equity). Dilihat
dari jenisnya ada tiga jenis instrumen yang penting dalam derivatif yaitu forward, option
dan swap.2

Sedangkan transaksi derivatif adalah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran


pembayaran yang nilainya tergantung pada – diturunkan dari – nilai aset, tingkat referensi
atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu
suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity)

2
Richard Roberts, Inside International Finance, A Citizen’s Guide to The World’s Financial Markets, Institutions &
Key Players, (Orion Business Books, 1999), hal. 47

Halaman 5 dari 13
dan indeks (index) lainnya. Mayoritas transaksi derivatif adalah produk-produk Over the
Counter (OTC) yaitu kontrak-kontrak yang dapat dinegosiasikan secara pribadi dan
ditawarkan langsung kepada pengguna akhir, sebagai lawan dari kontrak-kontrak yang telah
distandarisasi (futures) dan diperjualbelikan di bursa. Menurut para dealer dan pengguna
akhir (end user) fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk melindungi nilai (hedging)
beberapa jenis risiko tertentu.

Di tahun 1980-an transaksi derivatif berkembang dengan demikian pesat, baik jenis
produk maupun pasar yang melibatkan transaksi miliaran dollar Amerika setiap harinya.
Pasar terpenting dari futures dan options di Eropa adalah EOE (European Options
Exchange), LIFFE (London International Financial Futures Exchange), LTOM (London
Traded Options Market) dan MATIF (Marche a Terme des Instruments Financiers). Dalam
transaksi derivatif, yang diperdagangkan hanya sebesar selisih (difference) dari
kemungkinan fluktuasi harga dengan kata lain jumlah notional (notional amount) tidak
diperdagangkan. Misalnya, dalam hal option, pembeli (call option/purchaser) dari option
membayar sejumlah premi dan penjual (seller) berkewajiban menanggung kerugian akibat
fluktuasi harga yang meningkat, sebaliknya apabila pergerakan harga menurun, maka si
penjual dapat memperoleh keuntungan yang jauh melebihi premi.

Dalam transaksi derivatif terdapat tiga karakteristik yang lazimnya merupakan ciri
khas dari trasnaksi tersebut, sebagai berikut ini :

a) Nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan variabel yang telah ditentukan
sering disebut dengan variabel yang mendasari/underlying, antara lain suku
bunga, harga instrumen keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing,
indeks harga atau indeks suku bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau
variabel lainnya. Untuk variabel non-keuangan, variabel tersebut tidak berkaitan
dengan pihak-pihak dalam kontrak ;
b) Tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto
dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan
untuk kontrak serupa lainnya yang diharapkan akan menghasilkan dampak yang
serupa sebagai akibat perubahan faktor pasar; dan
c) Diselesaikan pada tanggal tertentu di masa mendatang.

Dalam perkembangannya begitu banyak produk dari transaksi derivatif, namun


secara garis besar terdapat 4 (empat) jenis transaksi derivatif yang lazim diperdagangkan,
sebagai berikut:

Halaman 6 dari 13
1. Swap (Kontrak Swap)
Tukar menukar atau yang lebih dikenal sebagai swap dalam dunia keuangan
merupakan suatu instrumen derivatif, di mana terdapat dua pihak saling
mempertukarkan suatu aliran arus kas dengan aliran arus kas lainnya. Nilai swap
ini dihitung berdasarkan suatu nilai absolut atau notional amount yaitu suatu nilai
nominal yang digunakan untuk menghitung pembayaran terhadap suatu swap dan
produk manejemen risiko lainnya dimana nilai ini bukan suatu nilai yang
sesungguhnya (absolute).
Kebanyakan swap diperdagangkan dalam perdagangan derivatif dan diluar bursa
(Over The Counter-OTC), dengan ketentuan dan tata cara yang berbeda-beda
sesuai kesepakatan para pihak. Beberapa jenis swap juga diperdagangkan pada
bursa berjangka.

2. Future (Kontrak Berjangka)


Futures adalah kontrak berjangka panjang yang bersifat mengikat atau memberi
kewajiban kepada kedua belah pihak untuk membeli atau menjual underlying
asset tertentu (berupa valuta asing, tingkat bunga, ekuitas, atau komoditas)
berdasarkan tingkat harga yang ditetapkan saat ini yang penyelesaian
transaksinya dilakukan secara cash settelement di masa yang akan datang sesuai
dengan expiration date yang ditetapkan di dalam kontrak tersebut.

3. Forward (Kontrak Serah)


Kontrak serah atau yang dalam bahasa asing disebut forward contract adalah
suatu persetujuan antara dua belah pihak untuk menjual atau membeli suatu aset
(atau bentuk apapun juga) di suatu waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh
karena itu, tanggal penjualan dan tanggal penyerahan barang dilakukan berbeda.
Kontrak serah ini digunakan untuk mengendalikan dan meminimalkan risiko,
sebagai contoh risiko perubahan nilai mata uang (contoh: kontrak forward untuk
transaksi mata uang) atau transaksi komoditi (contoh: kontrak serah untuk
minyak bumi).
Transaksi forward adalah transaksi berjangka dengan penyerahan valuta pada
suatu tanggal tertentu dengan menggunakan kurs yang disepakati pada tanggal
transaksi. Transaksi Forward digunakan untuk mengantisipasi :
• Kebutuhan pembayaran hutang dalam mata uang asing
• Mengantisipasi fluktuasi kurs valuta asing
• Pembiayaan Eksport dan Import dalam valuta asing

4. Option (Kontrak Opsi)

Halaman 7 dari 13
Opsi merupakan suatu jenis kontrak antara 2 (dua) pihak dimana satu pihak
memberi hak kepada pihak lain untuk membeli aset tertentu pada harga dan
periode tertentu. Di sisi lain, kontrak juga mengizinkan pihak lain untuk menjual
aset pada harga dan periode tertentu. Pihak yang membayar dan menerima hak
disebut call option, sedangkan pihak yang menjual disebut put option.
Opsi, dalam dunia pasar modal, adalah suatu hak yang didasarkan pada suatu
perjanjian untuk membeli atau menjual suatu komoditi, surat berharga keuangan,
atau suatu mata uang asing pada suatu tingkat harga yang telah disetujui
(ditetapkan di muka) pada setiap waktu dalam masa tiga bulan kontrak. Opsi
dapat digunakan untuk meminimalisasi risiko dan sekaligus memaksimalkan
keuntungan dengan daya ungkit (leverage) yang lebih besar.

5. Hedging (Lindung Nilai)


Hedging adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan resiko yang terkait dari langkah tertentu yang diambil seseorang.
Dalam pasar uang atau dunia keuangan, hal ini banyak dilakukan untuk
mengurangi potensi kerugian yang mungkin timbul dari resiko investasi yang
dilakukan.
Hedging atau lindung nilai adalah merupakan suatu mekanisme yang
dilaksanakan di Bursa Berjangka dengan membuka suatu kontrak beli atau jual
atas suatu komoditi yang sama dengan komoditi yang akan diperdagangkan di
pasar fisik.

Pada umumnya jenis-jenis transaksi derivatif ini mempunyai kegunaan, setidaknya


dua kegunaan yang secara umum dipergunakan sebagai alasan oleh para pihak dalam
memilih transaksi derivatif ini, diantaranya:

1. Pihak End User (pengguna akhir)

Sebagian besar pengguna akhir derivatif yaitu sekitar 80% adalah perusahaan-
perusahaan, disamping badan-badan pemerintah dan sektor publik. Alasan-alasan
yang mendorong pengguna akhir menggunakan instrumen derivatif adalah:

 Untuk sarana lindung nilai (hedging);


 Memperoleh biaya dana yang lebih rendah;
 Mempertinggi keuntungan;
 Untuk mendiversifikasikan sumber-sumber dana; serta
 Untuk mencerminkan pandangan-pandangan pasar melalui posisi yang
diambil.

Halaman 8 dari 13
2. Pialang (Dealer)

Terdiri dari lembaga-lembaga keuangan yang bertindak sebagai pialang. Fungsi


dari dealer antara lain:

 Menjaga likuiditas dan terus menerus tersedianya transaksi;


 Memenuhi permintaan pengguna akhir dengan segera;
 Memberikan kemampuan untuk mempertinggi likuiditas pasar dan efisiensi
harga.

Dari kgunaan yang diperoleh para pihak sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
umumnya kegunaan tersebut berupa:

1. Sebagai sarana untuk Lindung Nilai / berfungsi sebagai Asuransi

Salah satu kegunaan derivatif adalah sebagai suatu alat untuk mengalihkan risiko.
Contohnya, petani dapat menjual kontrak berjangka atas hasil panenan kepada
spekulator sebelum panen dilakukan. Si petani melakukan lindung nilai atas
risiko naik atau turunnya harga panenan dan si spekulator menerima pengalihan
risiko ini dengan harapan imbalan yang besar. Sipetani mengetahui secara pasti
nilai jual hasil panen yang akan diperolehnya kelak dan si spekulator akan
memperoleh keuntungan apabila harga jual mengalami kenaikan namun apabila
harga jual mengalami penurunan maka ia akan mengalami kerugian.

2. Sebagai sarana untuk mencari keuntungan dengan Spekulasi dan Arbitrasi

Arbitrasi atau juga dikenal dengan istilah asing "arbitrage" ini bisa diartikan
sebagai suatu tindakan mengambil keuntungan dengan memanfaatkan perbedaan
antara satu aset acuan dan aset acuan lainnya misalnya dengan memanfaatkan
perbedaan antara nilai Indeks LQ-45 (ILQ-45) di Bursa Efek Jakarta ( spot market
) dan nilai ILQ-45 pada KBIE di Bursa Efek Surabaya ( futures market ), jadi
selain mengambil posisi di BES, juga harus mengambil posisi di BEJ sehingga
secara simultan mengambil posisi yang berlawanan antara di BEJ dan BES.

Spekulator dapat bertransaksi dengan spekulator lainnya juga dengan orang yang
membutuhkan lindung nilai (hedger). Pada umumnya transaksi pasar pasar
derivatif lebih didominasi oleh perdagangan spekulatif daripada perdagangan
lindung nilai dalam artian yang sesungguhnya.3

3
http://rinaelina.blogspot.com/2010/04/transaksi-derivatif_29.html (diakses 29 Maret 2019)

Halaman 9 dari 13
Beberapa permasalahan hukum yang terjadi adalah apabila terdapat kerugian dalam
transaksi derivatif dalam hal transaksi derivatif tersebut dipergunakan untuk spekulasi
dalam rangka mencari keuntungan. Banyak End User dalam hal ini nasabah yang merasa
dirugikan berkenaan dengan transaksi derivatif, entah karena belum memahami transaksi
ini yang merupakan transaksi High Risk atau beberapa bank asing memanfaatkan
ketidaktahuan End User untuk masuk kedalam transaksi derivatif ini dengan mengiming-
imingi imbal balik yang besar.

2) Teori Kepastian Hukum

Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum yang
berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut
prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya
dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak
ada undang-undang yang melarangnya. Dilema antara penegakan hukum yang
mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan
yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.

Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental
dengan konsep Negara hukum rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam
tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep Negara hukum the rule of law.

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu
kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum
tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam
undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan
rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dala undang-undang
tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan


adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia dimasyarakat, karena tidak mungkin
manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya
secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Menurut Satjipto Rahardjo,
untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya
peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan
sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa
dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang

Halaman 10 dari 13
dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga
tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu
kepastian hukum yang syarat akan keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of
rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).

Di Indonesia prinsip kepastian hukum tidak berlaku sebagai prinsip tunggal dalam
sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-
undang, hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyaratakat.
Hal ini berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa
keadilan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen juga menyatakan Indonesia adalah
‘negara hukum’ tanpa ada kata rechstaat. Perubahan ini untuk memberikan ruang, baik pada
asas kepastian hukum sekaligus pada asas keadilan. Hal ini dipertegas di dalam Pasal 28
huruf h UUD 1945 ayat 2 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.”

.Kesimpulan yang didapat dalam pasal-pasal tersebut adalah bahwa baik kepastian
hukum maupun pemenuhan rasa keadilan diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia.
Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema karena dalam praktek keduanya
diperlakukan seringkali secara terpisah, sehingga tidak heran bila kepastian hukum tidak
menjamin keadilan, dan keadilan kadang tidak berdasarkan pada kepastian hukum.

b. Landasan Yuridis
1) Dasar Hukum Perjanjian terkait Transaksi Derivatif

Halaman 11 dari 13
Dalam transaksi derivatif dilakukan dengan perjanjian yang mendasarinya, sehingga
mengikuti dengan ketentuan perjanjian yang berlaku di Indonesia.Perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.4 “Perjanjian adalah Suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal” Perjanjian atau bisa disebut juga dengan persetujuan bentuknya
berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
ataupun ditulis. Artinya pihak-pihak yang saling berjanji setuju untuk melakukan sesuatu.
Para pihak yang mengadakan perjanjian adalah agar antar mereka berlaku suatu perikatan
hukum sehingga mereka terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.

Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah:

“ Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukumkekayaan atau


harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi.”5

Dalam perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana pada Pasal
1338 ayat 1 KUH Perdata menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan
bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat
atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat
saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.6

Untuk membuat suatu perjanjian yang sah menurut hukum harus memenuhi empat
syarat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat yang pertama sahnya kontrak
adalah adanya kesepakatan pada para pihak, kesepakatan ini diatur dalam Pasal

4
R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001), hal. 36
5
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1981), hal.9
6
http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html diakses 29 Maret 2019 jam 10.56

Halaman 12 dari 13
1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Yang sesuai itu adalah penyataannya, karena kehendak itu tidak dapat
dilihat/diketahui oleh orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan
kehendak, yaitu dengan:
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna tetapi dapat diterima oleh pihak lawan.
4) Bahasa isyarat tetapi dapat diterima oleh pihak lawannya;
5) Diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima pihak lawan.7

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan
bahasa yang sempurna secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara
tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai
alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan


Maksudnya adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang
yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.
Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah kawin dan tidak
dibawah pengampuan.

c. Suatu hal tertentu


Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai
bendanya. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu hal tertentu artinya barang
yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian.

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di
dalam perjanjian mengenai karakteristik produk atau hal yang diperjanjikan
tersebut, sehingga terlihat ciri khas nya. Dengan demikian, perjanjian yang
objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya
perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat
dalam perjanjian.

7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Rineka Cipta, 1997), hal. 7

Halaman 13 dari 13
d. Suatu sebab yang halal
Sebab yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri. Jadi
sebab tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian
yang dimaksud.8
Menurut Subekti, “Sebab harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa yang
mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian.”9 Menurut Pasal 1337
KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-
undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal, mengakibatkan
perjanjian itu batal demi hukum.

Syarat-syarat diatas mutlak harus dipenuhi oleh para pihak yang akan mengadakan
perjanjian karena apabila tidak terpenuhinya salah satu syarat maka akan terdapat dua opsi
atas perjanjian tersebut yaitu pembatalan oleh salah satu pihak atau dapat batal demi hukum.

2) Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan terkait Transaksi Derivatif

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan pengatur seluruh
lembaga jasa keuangan di Indonesia, telah mengeluarkan ketentuan pada tanggal 26 Januari
2016 berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 /POJK.03/2016 Tentang Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum yang
membatasi kegiatan usaha bank terkait dengan transaksi derivatif ini, berikut beberapa pasal
terkait pengaturan transaksi derivatif dari sisi Bank Umum sebagai pihak yang menawarkan
produk Transaksi derivatif kepada masyarakat:

Pasal1 angka 2

“ Structured Product adalah produk Bank yang merupakan penggabungan antara 2


(dua) atau lebih instrumen keuangan berupa instrument keuangan non derivatif
dengan derivatif atau derivatif dengan derivatif, dan paling sedikit memiliki
karakteristik:

a. nilai atau arus kas yang timbul dari produk dikaitkan dengan satu atau
kombinasi variabel dasar seperti suku bunga, nilai tukar,komoditi, dan/atau
ekuitas; dan
b. pola perubahan atas nilai atau arus kas produk bersifat tidak reguler apabila
dibandingkan dengan pola perubahan variable dasar sebagaimana dimaksud
pada huruf a, sehingga mengakibatkan perubahan nilai atau arus kas tidak

8
Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2008) , hal. 175
9
R.Subekti, loc. cit

Halaman 14 dari 13
mencerminkan keseluruhan perubahan pola dari variabel dasar secara linear
(asymmetric payoff), yang antara lain ditandai dengan keberadaan:
1) optionality, seperti fitur caps, floors, collars, step up/step down, call/put;
2) leverage;
3) barriers, seperti knock in/knock out; dan/atau
4) binary atau digital ranges.
Pengertian derivatif dalam pengaturan ini mencakup derivatif melekat
(embedded derivatives) “

Pasal 7

” Bank dilarang menggunakan kata “deposit”, “deposito”,“terproteksi”, “giro”,


“tabungan”, dan/atau kata lain yang dapat memberikan persepsi kepada Nasabah
bahwa Bank memberikan proteksi pengembalian pokok Structured Product secara
penuh, dalam hal Structured Product yang diterbitkan oleh Bank tidak disertai
dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata uang asal pada saat jatuh tempo.

Pasal 15

“ (1) Dalam melakukan Kegiatan Structured Product, Bank wajib menetapkan


klasifikasi Nasabah.

(2) Klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Nasabah profesional;
b. Nasabah eligible; dan
c. Nasabah retail.

(3) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah professional sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf a jika Nasabah memiliki pemahaman terhadap
karakteristik, fitur, dan risiko dari Structured Product, yang terdiri atas:
a. perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,yang terdiri atas:
1. bank;
2. perusahaan efek;
3. perusahaan pembiayaan; atau
4. pedagang kontrak berjangka,

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di


bidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan, dan perdagangan
berjangka komoditi;

b. perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang


memenuhi persyaratan:

Halaman 15 dari 13
1. memiliki modal lebih besar dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan
2. telah melakukan kegiatan usaha paling sedikit 36 (tiga puluh enam)
bulan berturutturut;
c. Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah negara lain;
d. Bank Indonesia atau bank sentral negara lain; dan
e. Bank atau lembaga pembangunan multilateral.

(4) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah eligible sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf b jika Nasabah memiliki pemahaman terhadap karakteristik,
fitur, dan risiko dari Structured Product, yang terdiri atas:
a. perusahaan yang bergerak di bidang keuangan berupa:
1. dana pensiun; atau
2. perusahaan perasuransian, sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di bidang dana pension dan usaha
perasuransian;
b. perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang
memenuhi persyaratan:
1. memiliki modal paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan
2. telah melakukan kegiatan usaha paling sedikit 12 (dua belas) bulan
berturut-turut; dan
c. Nasabah perseorangan yang memiliki portofolio asset berupa kas, giro,
tabungan, dan/atau deposito paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing.
(5) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c jika Nasabah tidak memenuhi kriteria sebagai Nasabah
profesional dan Nasabah eligible.”

Pasal 17

“ (1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam melakukan pemasaran,


penawaran, dan pelaksanaan transaksi Structured Product.

(2) Dalam menerapkan transparansi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) Bank wajib:
a. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan
kepada Nasabah;
b. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat
yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah
dari transaksi Structured Product; dan
c. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi,
atau menutupi halhal yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari
transaksi Structured Product.”

Halaman 16 dari 13
Pasal 20

“ Bank wajib memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Nasabah mengenai
informasi perkembangan dan kinerja Structured Product maupun informasi
material lainnya yang berpengaruh terhadap kinerja Structured Product.”

Pasal 22

“ (1) Bank wajib memperhatikan kesesuaian antara tingkat risiko Structured Product
(Structured Product risk level assessment) dengan profil risiko Nasabah
dalam menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan
Nasabah.

(2) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product


dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5).

(3) Larangan menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product dengan


Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Structured Product yang
diterbitkan oleh Bank disertai dengan proteksi penuh atas pokok dalam mata
uang asal pada saat jatuh tempo.

(4) Bank dilarang menawarkan dan melakukan transaksi Structured Product


dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah eligible
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) dalam hal Structured
Product memenuhi paling sedikit 1 (satu) dari persyaratan:

a. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok yang ditanamkan


Nasabah; dan/atau
b. Structured Product yang merupakan penggabungan antara derivatif
dengan derivatif.

(5) Bank dilarang menggunakan Bank lain untuk bertindak sebagai agen penjual
Structured Product yang diterbitkan oleh Bank.”

BAB VIII
PERJANJIAN STRUCTURED PRODUCT

Pasal 27

Halaman 17 dari 13
“ (1) Kesepakatan antara Bank dengan Nasabah dalam melakukan transaksi
Structured Product wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis.

(2) Dalam hal Bank dan Nasabah sepakat mengenai kemungkinan penghentian
transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination),
klausula penghentian transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo
(early termination) wajib dicantumkan dalam perjanjian Structured Product.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan
dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh para pihak dengan
menggunakan tanda tangan basah.

(4) Bank wajib memastikan bahwa pihak yang menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pihak yang mempunyai
kewenangan secara hukum.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 26 ayat
(2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). “

Berdasarkan pasal 32 Bank yang tidak memenuhi ketentuan dikenakan sanksi


administratif berupa:

a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan dan pencabutan persetujuan untuk kegiatan usaha tertentu, baik
untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank secara keseluruhan;
d. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan/atau
e. pencantuman pemegang saham, pengurus atau pejabat eksekutif dalam daftar
tidak lulus di bidang perbankan.

Selanjutnya terdapat sanksi yang dapat memperberat selain sanksi tersebut diatas
yaitu dalam Pasal 34 berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari nilai transaksi Stuctured
Product yang dilakukan dan paling banyak sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh
miliar rupiah).10

10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 /POJK.03/2016 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum beserta perubahannya pada POJK NOMOR 6
/POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/Pojk.03/2016 Tentang Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum

Halaman 18 dari 13
BAB III

PEMBAHASAN

Kepastian Hukum Transaksi Derivatif Dalam Sistem Hukum Indonesia

Halaman 19 dari 13
Manfaat dari transaksi derivatif telah mengalami banyak inovasi, yang awalnya
dipergunakan untuk kegiatan lindung nilai sehingga terhindar dari risiko keuangan, menjadi
kegiatan untuk mencari keuntungan semata. Skema hukum yang berlaku untuk transaksi derivatif
ini di Indonesia mendasarkan pada perjanjian antara para pihak yaitu pihak dealer yang saat ini
hanya dilakukan oleh Bank Umum dengan Nasabah atau pengguna jasa bank tersebut. sehingga
dengan adanya perjanjian tersebut sebenarnya sudah mencerminkan adanya kepastian hukum
karena perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat nya sebagaimana
dalam asas Kebebasan Berkontrak. Sehingga apabila syarat sah nya terpenuhi, maka demi
kepastian hukum perjanjian ini akan terus berlanjut.

Dengan memperhatikan sejarah dari transaksi derivative yang berawal dari Amerika
Serikat, maka dapat diketahui bahwa transaksi ini terlahir bukan dari eropa continental yang
mendasarkan kepastian hukum akan tetapi terlahir dari negara anglo saxon yang lebih cenderung
mendasarkan kepada keadilan. Transaksi derivative ini pada awal muncul di Indonesia mempunyai
banyak ketidakpastian hukum karena belum adanya regulasi yang lengkap mengatur serta referensi
yang masih kurang dari aspek pengetahuan para ahli ekonomi di Indonesia, hal tersebut menjadi
sasaran empuk untuk bank Asing yang mempunyai keahlian terkait transaksi ini dalam
menawarkan kepada masyarakat Indonesia, karena belum terdapat aturan yang mengaturnya.

Sehingga untuk menjamin keteraturan dalam perjanjian tersebut serta untuk melindungi
sistem perekonomian Indonesia diperlukan aturan-aturan yang mengawasi kegiatan transaksi
derivatif tersebut, hal ini sesuai dengan pendapat dari Gustav radbuch dimana kepastian hukum
dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang, serta
ditambah dengan pendapat dari Sajipto Rahardjo yang menyatakan bahwa tidak hanya peraturan-
peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah
kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan
independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif.

Atas pendapat tersebut, di Indonesia sendiri telah terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur
untuk seluruh lembaga jasa keuangan termasuk Bank, yaitu Otoritas Jasa Keuangan dan Bank
Indonesia dengan kewenangannya masing-masing. Terkait dengan transaksi derivatif Otoritras
Jasa Keuangan (OJK) telah memberlakukan ketentuan berkenaan dengan structured product yang
merupakan produk terkait dengan transaksi derivatif yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor 7 /POJK.03/2016 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan
Structured Product Bagi Bank Umum beserta perubahannya pada POJK NOMOR 6
/POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/Pojk.03/2016
Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank
Umum.

Ketentuan tersebut sangat mengatur perbankan sebagai lembaga yang higly regulated,
dikarenakan banyak bank yang menawarkan produk transaksi derivatif dalam ketentuan tersebut
diatur prinsip kehati-hatian pada transaksi derivatif yang dilakukan, hal tersebut dikarenakan

Halaman 20 dari 13
transaksi derivatif tersebut apabila tidak diatur dapat berpengaruh pada perekonomian di Indonesia
serta dapat merugikan Nasabah.

Prinsip dari transaksi derivatif ini harus bersifat transparan, sehingga nasabah dapat
mengetahui risiko-risiko yang akan terjadi, dalam pembuatan perjanjian ini, hal ini diwajibkan
bagi dealer dalam hal ini Bank untuk mengungkapkan risiko-risiko yang melekat pada produk
derivatif ini serta untuk memastikan bahwa nasabah the memahami isi dari perjanjian terkait
transaksi derivatif. Hal tersebut sebagaimana kewajiban bank untuk menginformasikan kepada
nasabah beberapa hal berikut:

a. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada


Nasabah;
b. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin
diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah dari transaksi Structured
Product; dan
c. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau
menutupi hal-hal yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari transaksi
Structured Product.”

Bahkan dalam penamaan produk derivatif pun, Bank diwajibkan untuk tidak menggunakan
sebutan untuk produk yang konvensional seperti Giro, tabungan dan Deposito supaya nasabah
tidak salah faham dalam mengambil keputusan.

Intervensi pemerintah dalam Perjanjian yang dibuat antara Bank dengan Nasabah terkait
dengan transaksi derivatif diatur satu kalusula yang diwajibkan ada berdasarkan kesepakatan
antara kedua belah pihak yaitu klaususa terkait dengan kondisi penghentian transaksi pada saat
transaksi derivatif berjalan, hal ini dikarenakan sering terjadi pada transaksi derivatif yang sudah
merugi dan apabila tidak dihentikan maka kerugian akan menjadi lebih besar, dengan ketentuan
sebagai berikut :

Pasal 27 ayat (2) POJK

Dalam hal Bank dan Nasabah sepakat mengenai kemungkinan penghentian transaksi
Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination), klausula penghentian
transaksi Structured Product sebelum jatuh tempo (early termination) wajib dicantumkan
dalam perjanjian Structured Product.

Dalam menawarkan produt transaksi derivative kepada nasabah, Bank diwajibkan untuk
memilih nasabah yang secara keuangan mempunyai permodalan yang kuat untuk transaksi
derivatif ini sehingga dengan modal yang terukut maka potensi kerugian akan diminimalisirBank
hanya dapat menawarkan transaksi derivative hanya kepada nasabah golongan professional dan
golongan eligible saja, dimana dapat disimpulkan bahwa golongan ini merupakan golongan baik
secara peroerangan maupun perusahaan merupakan perusahaan dengan modal yang besar dan

Halaman 21 dari 13
faham atau setidaknya telah berpengalaman dalam bidang finansial, sehingga dapat dikatakan
bahwa nasabah tersebut sudah memahami risiko yang akan terjadi terkait transaksi derivative ini.

Bentuk intervensi pemerintah melalui OJK ini bersifat mengatur lembaga keuangan bank
atau dealer transaksi derivative, untuk senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjual
produk ini, bahkan pengaturan ini mempunyai sanksi finansial berupa denda kepada Bank yaitu
1% atau maksimal 27 miliar rupiah, sanksi ini akan memberatkan bank sebagai dealer karena
transaksi derivatif sifat merupakan transaksi yang cukup besar, hal ini tentunya akan membuat
efek yang cukup jera bagi dealer atau bank apabila transaksi derivatif tidak sesuai atau melanggar
ketentuan OJK ini.

Selanjutnya, apabila ditinjau dari aspek perjanjian salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
“causa yang halal” yang dapat berarti bahwa tidak boleh bertentangan dengan perundang-
undangan, jika dikaitkan dengan larangan bank sebagaimana tertuang dalam POJK, sebagai contoh
adalah larangan untuk menggunakan kata “deposito” pada produk atau menjual transaksi
derivative pada nasabah dengan kategori retail, hal ini dapat menyebabkan perjanjian tersebut batal
demi hukum karena bertentangan atau melawan ketentuan OJK ini.

BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :

Kepastian hukum terkait dengan transaksi derivatif di Indonesia diatur dalam perjanjian
yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak antara para pihak sepanjang syarat

Halaman 22 dari 13
sahnya perjanjian terpenuhi, namun pemerintah dalam hal ini OJK mengeluarkan ketentuan
yang dapat mengintervensi perjanjian transaki derivative dengan cara mengatur Bank
sebagai dealer dengan pengaturan yang cukup ketat. Pengaturan transaksi derivatif di
indonesia diperlukan bukan hanya dari aspek banyaknya ketentuan tertulis saja, namun
perlu dilengkapi dengan pengawasan yang cukup ketat dari lembaga pengawas dan
pengatur serta keberanian untuk menjatuhkan sanksi kepada Bank yang tidak mematuhi
ketentuan yang berlaku.

b. Saran

Saran Penulis terkait dengan pembahasan makalah ini adalah:

Ketentuan-ketentuan terkait dengan transaksi derivatif harus bersifat lebih preventif


dimana pengaturan ketentuan sebaiknya tidak menunggu jatuhnya korban kerugian akibat
transaksi ini terlebih dahulu, namun regulator harus memahami bahwa pada era persaingan
global ini banyak aspek perekonomian salah satunya produk investasi yang berasal dari
negara luar negeri yang sangat mungkin masuk ke Indonesia dengan karakter yang berasal
dari sistem hukum yang berbeda, sehingga hukum di Indonesia harus lebih responsive
terhadap perkembangan dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Koentjaraningrat, metode-Metode Penelitian, PT Gramedia, jakarta, 1985.

Halaman 23 dari 13
Richard Roberts, Inside International Finance, A Citizen’s Guide to The World’s Financial
Markets, Institutions & Key Players, (Orion Business Books, 1999),

R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001)

Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1981)

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Rineka Cipta, 1997),

Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UMM Press, 2008)

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 /POJK.03/2016 Tentang Prinsip Kehati-
Hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum beserta
perubahannya pada POJK NOMOR 6 /POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 7/Pojk.03/2016 Tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam Melaksanakan
Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum

Pranala Internet

http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html (diakses 28 Maret 2019)

http://rinaelina.blogspot.com/2010/04/transaksi-derivatif_29.html (diakses 29 Maret 2019)

Halaman 24 dari 13

Anda mungkin juga menyukai