Anda di halaman 1dari 56

Batubara

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat
volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk
inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak
kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya
bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi)
sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun
sesudah tertutup oleh endapan lainnya.

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).

peatification coalification

Endapan organik Gambut Batubara

Biokimia geokimia

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang


terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem
pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter.
Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa
CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan
fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan


fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982,
op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan
prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati
1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan
material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit,
hingga meta antrasit.
BATUBARA SEBAGAI SEDIMEN ORGANIK

Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri
dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa
tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak
air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian
menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan
menjadi batubara.

Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga


bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal ini biasanya
kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba. Pada umumnya sisa-
sisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan
yang biasa hidup di rawa-rawa. Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah
lapisan batubara tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang
sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya
yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi
kematangan suatu batubara.

Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu
yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi.
Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya
peat merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara
sendiri secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa
tumbuhan yang ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan
menjadi berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang
kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat menentukan
kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari
sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi
lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan
penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti
pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal
pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.

PENYUSUN BATUBARA

Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya
cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya
dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat,
lignin, dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada
spesies dari tumbuhan penyusunnya.

Lignin

Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah
susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari
lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin
yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat
pada rumput mempunyai susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya
lignin merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol.
Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin
merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.

Karbohidrat

Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung antara lima
sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai kombinasi antara
gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya
mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah
yang umumnya menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling
banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan
membentuk batubara.

Protein

Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai
protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai
asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya
muncul sebagai steroid, lilin.

Material Organik Lain

Resin

Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada
batangnya.

Tanin

Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.

Alkaloida

Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara.


Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam bentuk rantai.

Porphirin

Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin
biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang
tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini
telah diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi
perkembangan dari proses coalifikasi.

Hidrokarbon

Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen kartenoid.
Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan sistem aromatik
polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi material sterane-type dalam
pembentukan batubara. Ini menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses
pematangan, dan tidak adanya perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.

Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)

Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material
inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren
adalah material inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik
yang terdapat dalam lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan
unsur yang dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang
menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.

PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA

Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material


tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan
sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai macam proses kimia dan fisika.
Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan
terbentuknya peat.

Pembentukan Lapisan Source

Teori Rawa Peat (Gambut) - Autocthon

Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi sisa-sisa
tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu area yang sama.
Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu geologi yang cukup, yang
kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara yang dimulai dengan terbentuknya peat
yang kemudian berlanjut dengan berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori
ini adalah tidak mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya
kandungan mineral dalam batubara.

Teori Transportasi - Allotocton

Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari


degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa peat,
melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam lingkungan
aqueous seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadi
proses yang berbeda untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.

Proses Geokimia dan Metamorfosis

Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam proses.


Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur dan tekanan
yang normal dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalah proses pembentukan
batubara akan terjadi, dan bahkan akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari
proses awal ini adalah peat, atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses
biokimia mendominasi, yang mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen. Setelah
tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya didominasi oleh proses fisik dan
kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan tekanan. Temperatur dan tekanan
berperan penting karena kenaikan temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan
tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses
metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada
suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus didalam
waktu dalam skala waktu geologi.

HETEROATOM DALAM BATUBARA

Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan) dan berasal
dari luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan.

Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 – 1,5 % w/w
yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses pembentukan
batubara.

Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 % w/w terdapat pada lignit atau 1,5 -
2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan
yang terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak
lapisan source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya
sedimentasi.

Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 % w/w yang muncul
dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnya muncul dalam bentuk
pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan
kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara.
Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal
dari air laut.
PENYELIDIKAN BATUBARA BERSISTIM DALAM CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN
DI DAERAH BENAKAT MINYAK DAN SEKIRANYA, KABUPATEN MUARA ENIM
PROPINSI SUMATERA SELATAN

SARI

Batubara sebagai salah satu pilihan energi pengganti minyak bumi tedapat
hampir di seluruh kawasan Indonesia, guna memenuhi kebutuhan energi secara
berkesinanbungan perlu diadakan eksplorasi terhadap daerah-daerah yang secara
geologi diketahui mengandung formasi pembawa batubara. Sehubungan dengan
hal ini pada tahun anggaran 2001 satu tim dari Subdit Eksplorasi Batubara
melakukan penyelidikan endapan batubara di daerah Benakat Minyak, Kabupaten
Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Secara administratif daerah Benakat
Minyak termasuk kedalam wilayah Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim.
Secara geologi formasi pembawa batubara di daerah penyelidikan adalah Formasi
Muara Enim. Ditemukan 3 lapisan batubara dengan tebal rata-rata 3,00m, 5,00m
dan 10,30m. Dari hasil perhitungan sumberdaya didapatkan sumberdaya yang
terdapat di daerah penyelidikan 25.083.690 ton.

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Semenjak tiga Dasawarsa terahir pemerintah sedang meningkatkan
pembangunan di segala bidang, khususnya industri. Energi sebagai penggerak
pembangunan tersebut terutama minyak dan gas bumi cadangannya terbatas dan
di prioritaskan untuk komoditi ekspor. Hal ini mendorong untuk melakukan
kebijaksanaan efisiensi dan diversifikasi energi dengan mencari energi lain sebagai
pengganti minyak bumi. Batubara sebagai salah satu pilihan energi pengganti
minyak bumi terdapat hampir di seluruh kawasan Indonesia. Salah satu daerah
dimana terdapat endapan Batubara adalah Kab. Muara Enim Provinsi Sumatera
Selatan.
Guna memenuhi kebutuhan energi secara berkesinambungan perlu diadakan
eksplorasi ter-hadap daerah-daerah yang secara geologi diketahui mengandung
formasi pembawa batubara, tetapi belum diketahui besar sumberdaya serta kualitas
Batubara yang dikandungnya.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka pada tahun anggaran 2001
satu tim dari Sub Direktorat Batubara direncanakan akan melakukan penyelidikan
endapan batubara di Daerah Benakat Minyak dan sekitarnnya, Kabupaten Muara
Enim Propinsi Sumatera Selatan
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud penyelidikan ini adalah dalam rangka menginventarisasikan
sumberdaya Batubaa sesuai dengan tugas dan fungsi Sub Direktorat Batubara,
Direktorat Sumberdaya Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya
Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.
Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui potensi sumberdaya serpih
bitumen di daerah tersebut yang meliputi jenis, sumberdaya, prospek
pemanfaatannya dan kemungkinannya untuk pengembangan daerah.

1.3 Lokasi daerah Penyelidikan


Daerah penyelidikan secara administratif termasuk kedalam wilayah hukum
Kecamatan Talang ubi dan Muara Lakitan, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten
Musi Rawas, Propinsi Sumatera Selatan (Gambar 1). Sedangkan secara geografis
dibatasi oleh koordinat (Tabel 1) dengan luas daerah 105.000 Ha

Tabel 1. Koordinat daerah penyelidikan.


No Lintang Selatan Bujur Timur
1 03007’30” 103022’45”
2 03007’30” 103038’15”
3 03015’00” 103022’45”
4 03015’00” 103038’15”
5 03015’00” 103030’00”
6 030 15’00” 103045’00”
7 03030’00” 103030’45”
8 03030’30” 103045’45”

2 KEADAAN GEOLOGI
2.1 Geologi Regional
Secara regional daerah penyelidikan termasuk dalam Cekungan Sumatera
Selatan pada Antiklinorium Pendopo, stratigrafi cekungan tersebut disusun oleh
batuan sedimen yang terdiri Dari Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja, Gumai, Air
Benakat, Muara Enim, Kasai dan Aluvial. Batuan sedimen tersebut telah mengalami
gangguan tektonik sehingga terangkat membentuk lipatan dan pensesaran. Proses
erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian membentuk morfologi yang tampak
sekarang.

2.1.1 Penyelidik Terdahulu


Cekungan Sumatera Selatan adalah bagian dari cekungan besar Sumatttera
Tengah dan Selatan (De Coster, 1974; Harsa, 1975) yang dipisahkan dari Cekungan
Sumatera Tengah oleh Tinggian Bukit Tigapuluh.
Geologi daerah ini telah diketahui dengan baik dan telah dipublikasikan oleh
PERTAMINA, geologis PT. CALTEX dan PT. STANVAC (Pulunggono, 1969; Mertoyoso
dan Nayoan, 1975; Adiwidjaja dan De Coster, 1973; De Coster 1975; Harsa, 1978).

Pola strukturnya telah dibahas oleh Soedarmono, 1974. Penyelidikan terakhir


dilakukaan oleh tim Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Mineral pada tahun 1998
dan 1999 menginventarisasi batubara di daerah Rimba Ukur dan Talang Tambak.

2.1.2 Stratigrafi dan Struktur geologi


Kerangka stratigrafi daerah cekungan Sumatera Selatan pada umumnya
dikenal satu daur besar (megacycle) terdiri dari fase transgresi yang diikuti oleh fase
regresi. Formasi Lahat yang terbentuk sebelum trangresi utama pada umumnya
merupakan sedimen non marin. Formasi Yang terbentuk pada Farse Transgresi
adalah : Formasi Talang Akar, Baturaja, dan Gumai, Sedangkan yang terbentuk pada
fase regresi adalah Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Kasai.
Formasi Talang Akar merupakan transgresi yang sebenarnya dan dipisahkan
dari Formasi Lahat oleh suatu ketidakselarasan yang mewakili pengangkatan
regional dalam Oligosen Bawah dan Oligosen Tengah. Sebagian dari formasi ini
adalah fluviatil sampai delta dan marin dangkal. Formasi Baturaja terdiri dari
gamping yang sering merupakan terumbu yang tersebar disana sini. Formasi Gumai
yang terletak diatasnya mempunyai penyebaran yang luas, pada umunya terdiri dari
serpih marin dalam.
Formasi Air Benakat merupakan permulaan endapan regresi dan terdiri dari
lapisan pasir pantai. Formasi Muara enim merupakan endapan rawa sebagai fase
ahir regresi, dan terjadi endapan batubara yang penting. Formasi Kasai diendapkan
pada fase akhir regresi terdiri dari batulempung tufaan, batupasir tufaan,
kadangkala konglomerat dan beberapa lapisan batubara yang tidak menerus.
Kerangka tektonik Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari Paparan Sunda di
sebelah timur dan jalur tektonik bukit barisan di sebelah barat. Daerah Cekungan ini
dibatasi dari cekungan Jawa Barat oleh Tinggian Lampung (Koesoemadinata 1980).
Di dalam daerah cekungan terdapat daerah peninggian batuan dasar para
tersier dan berbagai depresi. Perbedaan relief dalam batuan dasar ini diperkirakan
karena pematahan dasar dalam bongkah-bongkah. Hal ini sangat ditentukan oleh
adanya Depresi Lematang di Cekungan Palembang, yang jelas dibatasi oleh jalur
patahan dari Pendopo- Antiklinorium dan Patahan Lahat di sebelah barat laut dari
Paparan Kikim.
Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan
satu cekungan besar yang dipisahkan oleh Pegunungan Tigapuluh. Cekungan ini
terbentuk akibat adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan pra tersier
serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara,
Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau
Depresi Lematang, masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar
(“basement”).
Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3 (tiga) antiklinurium utama, dari
selatan ke utara: Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo Benakat dan
Antiklinorium Palembang.
Pensesaaran batuan dasar mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi
normal memperlihatkan bahwa pembentukan batubara hampir bersamaan dengan
pembentukan sedimen tersier. Endapan batubara portensial sedemikian jauh hanya
terdapai pada pertengahan siklus regresi mulaai dari akhir Formasi Benakat dan
diakhiri oleh pengendaapan Formasi Kasai.Lapisan batubara terdapat pada horizon
anggota Formasi Muara Enim dari bawah keatas
Struktur geologi yang berkembang akibat gaya tegasan yang bekerja dengan
arah barat-daya – timur laut membentuk lipatan dan sesar. Struktur lipatan
membentuk antiklinorium Pendopo-Benakat. Jurus umum masing-masing antiklin
dan sinklin berarah baratlaut – tenggara yang sesuai dengan arah memanjang pulau
Sumatera.

2.2 Geologi Daerah Penyelidikan


2.2.1 Morfologi
Morfologi umum daerah penyelidikan merupakan perbukitan bergelombang
rendah dengan kemiringan lereng 100-200 dengan elevasi 25 m sampai dengan
125m dpl dan sering membentuk pematang yang berah umun baratlaut – tenggara
disusun olehsatuan batuan Tersier klastika halus yang memebentuk Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai
Terdapat dua pola lairan sungai utama di daerah penyelidikan yaitu sebelah
timur laut daerah penyelidikan umunya membentuk pola aliran dendritik, pola aliran
ini umumnya menempati batuan yang dibentuk oleh Formasi Air Benakat, sungai-
sungai pada satuan ini umumnya telah nenunjukan tahapan dewasa dengan tingkat
pengendapan yang cukup tinggi.
Sebelah barat daya daerah penyelidikan pola umum alirang sungainya
menunjukan pola aliran trellis. Aapola ini pada umumnya menempati satuan batuan
Formasi Muara-Enim dan Formasi Kasai. Sungai utama di daerah penyelidikan
terdiiri atas sungai Semanggus di daerah barat dan Sungai Benakat serta Sungai
Baung di daerah sebelah timur daerah penyelidikan. Pemisah aliran berarah hampir
utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan sungai-sungai
mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur daerah
penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung dan Sungai
Benakat sebagai sungai Utama.
Sungai-sungai di sebelah timur daerah penyelidikan umumnya merupakan
sungai sungai “Resekwen” dan “Obsekwen”, sedangkan disebelah barat daerah
penyelidikan sungai-sungainya merupakan sungai “Konsekwen” dan “obsekwen”
Secara umum morfologi daerah penyelidikan dikontrol oleh struktur lapisan
dan litologi pembentuk dimana daerah penyelidikan satu sayap homoklin dari suatu
antiklin dengan perbedaan litologi pembentuk antara Formasi Air benakat, Muara
Enim dan Kasai menghasilkan pola aliran sungai mengahsilkan pola aliran sungai
yang berbeda. Adapun tahapan daerah penyelidikan sudah pada tahapan dewasa.

2.2.2 Stratigrafi dan Struktur Geologi


Stratigrafi daerah penyelidikan mencakup 3(tiga) formasi yaitu: Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai dan endapan aluvial

Formasi Air Benakat


Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penyelidikan
berumur Miosen Tengah sampai awal Miosen atas. Satuan ini tersingkap di sebelah
timur dan timur laut daerah penyelidikan, pelamparannya meliputi daerah Sungai
Baung, Benakat Minyak dan Talang Mandung. Arah umum jurus pada formasi ini
barat laut tenggara dengan kemiringan berkisaar antara 20 0 – 400. Formasi Air
benakat meliputi 40% daerah penyelidikan. Ciri litologi dari formasi ini adalah ;
Bagian bawah di dominasi oleh batulempung abu-abu gelap kebiruan sampai abu-
abu gelap kecoklatan, setempat tufaan, lunak dan getas; bagian tangah disusun
oleh batupasir halus–sedang, glaukonit, hijau muda - abu-abu kecoklatan
mengandung kuarsa, feldfar dan fragmen batuan lain; bagian aatas disusun oleh
perselingan batupasir, batulempung, batulanau dan serpih dengan sisipan tipis pasir
kuarsa. Satuan batuan ini terjadi paeda fasa regresi, bersifat endapan laut dangkal.
Di daerah penyelidikan pada formasi ini tidak dijumpai batubara.

Formasi Muara Enim


Formasi Muara enim diendapkan secara selaras diatas Formasi Air Benakat.
Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang berumur Miosen
Atas – Pliosen Bawah. Shell, 1978 telah membagi formasi ini berdasarkan kelompok
kandungan lapisan batubara menjadi 4 (empat) anggota yaitu M1, M2, M3 dan M4.
Pada daerah penyelidikan berdasarkan hasil pemboran dangkal, tidak seluruh satuan
anggota tersebut ditembus oleh bor.
Formasi ini diendapkan sebagai kelanjutan dari fasa regresi dengan satuan
anggota terdiri atas :

Anggota M1
Terdiri dari perulangan batupasir, batulanau, abtulempung dan batubara.
Umumnya berwarna hhhijau muda – abu-abu kecoklatan, struktur lenticular umum
dijumpai pada batulempung. Batubara di anggota M1 daerah penyelidikan tidak
berkembang hanya dijumpai sebagai sisipan dengan ketebalan 0,10 m – 0,20 m

Anggota M2
Terdiri dari batulempung, batulempung karbonan, batulanau, batupasir dan
batubara. Batulempung karbonan berwarna abu-abu tua, umumnya masif sebagian
paralel laminasi dan “flaser bedding”, banyak dajumpai jejak tumbuhan dan
fragmen batubara. Satuan ini biasanya dijumpai sebagai batuan pengapit batubara,
Batubara pada Anggota M1 dijumpai 1 lapisan dengan ketebalan berkisar antara
10,00m sampai 7,20m,

Anggota M3
Terdiri atas batupassir, batulanau, batulempung dan batubara. Batupasir
abu-abu terang, berbutir sangat halus – halus terpilah baik, dominan kuarsa,
tersemen buruk. Batulanau abu-abu terang kehijauan-kecoklatan, kompak paralel
laminasi, mengandung jejak tumbuhan.
Batulempung bertindak sebagai pengapit batubara. Batubara pada Anggota ini
ditemukan 2 lapisan dengan ketebalan 7,00m dan5,00m.

Anggota M4
Anggota M4 tidak diketemukan di daerah penyelidikan. Penyebaran Formasi
Muara Enim Meliputi 15% daerah penyelidikan.

Formasi Kasai
Diendapkan diatas Formasi Muara Enim berumur Pliosen, tersusun dari
batulempung tufaan biru kehijauan dan biru, batupasir tufaan hijau, batuapung. Di
daerah penyelidikan tidak dijumpai adanya batubara di formasi ini. Penyebaran
Formasi Kasai terletak disebelah barat daerah penyelidikan

Endapan Alivial
Endapan Aluvial yang terdiri atas kerakal, kerikil, batupasir halus-kasar,
lepas-lepas. Endapan aluvial ini umumnya merupakan produk dari endapan Sungai
Semanggus.
Kenampakan struktur di daerah penyelidikan merupakan hasil dari gaya
tegasan utama yaitu gaya kompresif berarah baratlaut – timurlaut, yang
menghasilkan pola struktur lipatan regional antiklinorium dan sinklinorium yang
bersumbu baratlaut-tenggara. Di beberapa tempat tempat akibat tegasan tersebut
mengakibatkan terjadinya pensesaran baik sesar geser maupun sesar normal.

3 HASIL PENYELIDIKAN
3.1 Endapan Batubara
Untuk mendapatkan dimensi dan pelamparan batubara di daerah
penyelidikan, perlu dilakukan pengelompokan lapisan batubara berdasarkan hasil
pemetaan geologi permukaan berikut data bawah permukaan dari pemboran inti.
Dasar pengelompokan lapisan batubara adalah sebagai berikut :
1. Dimensi ketebalan masing-masing lapisan
2. Variasi, asosiasi dan tingkat kerapatan hasil temuan batubara, baik dari
singkapan atau pemboran dilihat pada posisi stratigrafi.
3. Kesinambungan secara lateral tiap-tiap lapisan.
4. Kualitas lapisan batubara.
5. Posisi stratigrafi dan kedudukan batubara dalam pandangan geologi.

3.1.1 Singkapan batubara


Daerah yang diselidiki sebagian besar merupakan hutan tanaman industri
sehingga banyak endapan lumpur dan kotoran hasil erosi yang menutupi alur-alur
sungai akibat pembukaan hutan sebelum penanaman. Oleh sebab itu agak sukar
untuk mencari singkapan batubara karena tertutup lumpur dan kotoran. Sebagian
dari singkapan yang didapatkan terendam oleh air sungai, sehingga ketebalan
batubara dan batuan pengapitnya tidak dapat di deskripsi dengan baik.
Dari lintasan pemetaan batuan khususnya batubara dijumpai sebanyak 35
lokasi singkapan, terutama banyak dijumpai pada anggota M2 dan M3 Formasi
Muara Enim. Pada Anggota M1 sangat sedikit dijumpai adanya singkapan batubara.
Hasil dari pemetaan geologi disarikan pada Tabel.2.

3.1.2 Hasil Pemboran inti


Sejalan dengan pemetaan geologi, pada daerah indikasi lapisan batubara
yang telah dipetakan dilakukan pemboran inti dengan tujuan untuk mengetahui
stratigrafi, tebal, serta berapa lapisan batubara yang ada sehingga hubungan antar
lubang bor dapat dikorelasi untuk mengetahui geometri daerah penyelidikan
Di daerah penyelidikan telah dilaksanakan pemboran batubara sebanyak 15
titik pemboran dengan kedalaman maksimal 75 m, total kedalaman seluruhnya
759m. Penempatan lokasi lubang bor ditentukan berdasarkan keadaan geologi dan
kondisi daerah setempat.

3.1.3 Korelasi Batubara


Dari data singkapan dan deskripsi inti bor, pada masing-masing lubang bor,
berdasarkan kesamaan strata, kedudukan lapisan batubara dalam pandangan
geologi serta kualitas batubara, Korelasi batubara pada daerah penyelidikan.
Berdasarkan korelasi batubara. Di daerah penyelidikan dadat dikorelasikan
ada tiga lapisan batubara masing-masing satu lapisan pada anggota M2 serta dua
lapisan pada anggota M3. Diantara lapisan lapisan utama tersebut terdapat
beberapa lapisan gantung yang merupakan sisipan.
Pembahasan masing lapisan batubara dari masing-masing anggota Formasi
Muara Enim adalah sebagai berikut :

Lapisan 1 (Manggus)
Lapisan ini dicirikan oleh adanya sisipan batubara yang mengandung sedikit
lapisan tufa “tonstein”. Lapisan ini ditemukan melampar secara lateral mulai dari
singkapan di Sungai Pangkul, hulu Sungai Baung (GS 24), Bor ME-14, daerah sungai
Kasai kecil ((GS9, GS3), Simpang Solar (GS10, GS11) sampai di daerah Suban Ulu
pada bor ME-03. Lapisan Manggus ini umumnya diapit oleh batulempung-karbonan
pada bagian atasnya dan batulempung kelabu tua yang berselingan dengan
batupasir halus pada bagian bawahnya. Ketebalan dari Lapisan Manggus ini sekitar
10,00m pada bagian selatan (ME 14, ME4R1). Pada bagian utara ME-03, lapisan ini
menipis secara mendadak dengan ketebalan hanya sekitar 1 m. Pada bagian ini
pengapit atas dari Lapisan Manggus adalah batupasir. Di sebelah utara daerah
Suban Ulu Lapisan Manggus tidak diketemukan, baru dijumpai lagi di daerah Sungai
Menang di bagian utara daerah penyelidikan.

Lapisan 2(Burung)
Lapisan ini secara stratigrafi berada diatas Lapisan Manggus pada anggota
M3, dicirikan oleh batubara yang berwarna coklat-kehitaman masif, dengan pengapit
atas batupasir halus sampai batulempung, pengapit bawah batulempung karbonan.
Pelamparam secara lateral ditemukan mulai daerah Kasai (GS1, GS9) ME-08 (Tebing
Maut), Simpang Solar (GS5), Sungai Bujang (SB1), Suban Ulu ME-01, Sungai
Lambanbatu (SB2, SB3,SB08), ME05 Sungai Deras. Lapisan ini mempunyai
ketebalan berkisar sekitar 5,00m. Di selatan daerah Kasai Lapisan Burung tidak
ditemukan baik dari singkapan maupun dari data pemboran, juga disebelah utara
sungai deras lapisan ini tidak tersingkap. Lapisan Burung ditemukan indikasinya
berupa singkapan yang kurang jelas di daerah Sungai Bemban. Di daerah Kasai
sekitar Lokasi Bor ME08 lapisan ini menunjukan kecenderungan bercabang
(“Spliting”)

Lapisan 3(Benuang)
Lapisan Benuang Mempunyai penciri yang hampir sama dengan Lapisan
Burung hanya secara stratigrafi lapisan ini terletak diatas Lapisan Burung masih
pada Anggota M3 Formasi Muara Enim, Lapisan Ini ditemukan melampar kerarah
selatan mulai daeri daerah Kasai(GS18), Tebing Maut (ME07), ME 11, ME13, GS0,
GS22 danGS 26. Kearah selatan dari GS26 (Rimba Suban Sundo) lapisan ini tidak
ditemukan, ketebalan lapisan ini berkisar antara 2m – 4m. sama dengan Lapisan
Burung yang berada diatasnya lapisan ini juga menunjukan adanya Spliting di
daerah Kasai.

3.2 Sumberdaya batubara


Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan sesuai dengan hasil korelasi
seperti telah diauraikan diatas, endapan Batubara di daerah penyelidikan yang
dapat dihitung jumlah sumberdayanya terdapat 3 lapisan. Perhitungan sumberdaya
batubara ditentukan atas dasar :
1) Penyebaran Batubara kearah jurus ditentukan berdasarkan pada singkapan yang
dapat dikorelasikan dan dibatasi sejauh 1000 m dari singkapan terakhir.
2) Penyebaran Batubara kearah kemiringan lebarnya dibatasi sampai kedalaman
50 m dihitung tegak lurus dari permukaan singkapan sehingga lebar kearah
kemiringan dapat dihitung dengan menggunakan rumus : L = 50 sin a, dimana a
adalah sudut kemiringan lapisan batubara.
3) Tebal lapisan batubara yang dihitung pada masing-masing lapisan merupakan
tebal rata-rata dari seluruh batubara yang termasuk kedalam lapisan tersebut,
dengan ketentuan ketebalan kurang dari 1,00 m tidak diperhitungkan.
Berdasarkan kriteria tersebut sumberdaya batubara dihitung berdasarkan
rumus :

Sumberdaya = [ Panjang (m) x Lebar (m) x Tebal rata-rata (m) x Berat Jenis (ton) ]
*) dimana BJ adalah berat jenis rata-rata

Dari hasil perhitungan didapat total sumberdaya batubara 25.083.690 ton.

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penyelidikan di lapangan, maka dapat diambil beberapa


kesimpulan sebagai berikut :
1. Formasi pembawa Batubara di daerah penyelidikan adalah Formasi Muara Enim.
2. Berdasarkan analisa Batubara di daerah penyelidikan baik di lapangan maupun
hasil rekonstruksi, ditemukan ada 3 lapisan Batubara
3. Jumlah Sumberdaya batubara yang terdapat di daerah penyelidikan adalah
25.083.690 Ton
Untuk penyelidikan selanjutnya sebaiknya dipusatkan pada daerah antara Suban
Ulu sampai dengan Ribo Sekampung dimana pada derah tersebut sebaran batubara
cukup banyak
DAFTAR PUSTAKA
De. Coster G. L.,1974, The Geologi of Central Sumaatera nad South Sumatera
Basins, Proceeding Indonesian petroleun Assoc, 4th Annual Convention.
Gafoer.S, Burhan. G, Dan Purnomo.J, 1986, Laporan Geologi Lembar Palembang,
Sumatera., Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Koesoemadinata, R.P., dan Harjono.,1977, Kerangka Sedimenter Endapan
Batubara Tersier Indonesia, PIT IAGI ke VI.
Shell Mijnbouw, 1978, Geological Map The South Sumatera Coal Province Scale 1 :
250.000.
Syufra Ilyas, 2000, Laporan Pengkajian Batubara Bersistem Dalam Cekungan
Sumatera Selatan di Daerah Talang Ubi Kabupaten Muara Enim Propinsi
Sumatera Selatan, DIT SDM, Tidak Diterbitkan.

Gambar 1. Lokasi Daerah Penyelidikan


Jajak
Pelayanan apa yang paling diharapkan dari PMG?
Kebijakan Inventarisasi Sumber Daya Mineral
Data dan Informasi Sumber Daya Mineral
Bimbingan Teknis
Laboratorium Kimia Mineral
Laboratorium Fisika Mineral
Peralatan Pemboran, Alat Berat dan Geofisika
Perpustakaan
Peta Sumber Daya Mineral
Semua Aspek
Vote

, 2008

Pusat Sumber Daya Geologi, Powered by Joomla! and designed by SiteGround


Fundamental of Coal Petrology

Asal-usul Peat (Gambut)

Lapisan batubara umumnya berasal dari peat(gambut) deposit di suatu rawa. Faktor-
faktor penting dalam pembentukkan peat:

 Evolusi perkembangan flora


 Iklim
 Geografi dan struktur daerah

Evolusi Perkembangan Flora

Batubara tertua yang berumur Hurorian Tengah dari Michigan berasal dari alga dan
fungi. Sedangkan pada jaman Devon Bawah dan Atas, batubara kebanyakan berasal
dari Psilophites (spt: Taeniocrada decheniana (lower devon)). Kebanyakan batubara dari
jaman ini memiliki rata-rata lapisan yang tipis(3-4m) dan tidak punya nilai ekonomis.

Pada Carbon Atas, tumbuhan mulai tinggi-tinggi hingga mencapai ketinggian lebih dari
30m namun belum seberagam sekarang. Pada jaman ini didominasi oleh:
Lepidodendron, Sigillaria, Leginopteris oldhamia, Calamitea. Jaman Upper
Carboniferous dikenal sebagai perioda bituminous coal.

Lapisan penting batubara berumur Perm terdapat di USSR, dominan terbentuk dari
Gymnosperm cordaites.

Pada jaman Mesozoic terutama Jura dan Cretaceous Bawah,


Gymnosperm(Ginkcophyta, Cycadophyta dan Cornifers) merupakan tumbuhan penting
pembentuk batubara, terutama di Siberia dan Asia Tengah.

Pada rawa-rawa berumur Cretaceous Atas dan Tersier tumbuhan Angiosperm tumbuh
dengan pesat di N. America, Europe, Japan dan Australia.

Jika dibandingkan dengan tumbuhan pada masa Carbon, tumbuhan pada jaman
Mesozoic terutama jaman Tersier lebih beragam dan spesifik serta menghasilkan
deposit peat yang tebal dan beragam dalam tipe fasiesnya.

Perkembangan dan evolusi flora akan berpengaruh pada keragaman jenis dan tipe
batubara yang dihasilkan.

Iklim

Pada iklim yang lebih hangat dan basah tumbuhan tumbuh lebih cepat dan beragam.
Lapisan-lapisan kaya batubara berumur Carbon Atas, Cretaceous Atas dan Tersier Awal
diendapkan pada iklim seperti ini. Namun pada hemisphere selatan dan Siberia juga
terdapat endapan batubara yang kaya yang diendapakan pada iklim yang sedang hingga
dingin, contohnya batubara inter-post glacial PermoCarbon Gondwana (dari
Ganganopteris glossopteris) dan batubara umur Perm dan Jura Bawah dari Angara
konitnen.
Lapisan batubara yang diendapkan pada iklim hangat dan basah biasanya lebih terang
dan tebal dibandingkan dengan yang diendapkan pada iklim basah.

Paleogeografi dan Tectonic Requirement

Formasi lapisan tergantung pada hubungan paleogeografi dan struktur pada daerah
sedimentasi. Pembentukan peat(gambut) terjadi pada daerah yang depresi permukaan
dan memerlukan muka air yang relatif tetap sepanjang tahun diatas atau minimal sama
dengan permukaan tanah. Kondisi ini banyak muncul pada flat coastal area dimana
banyak rawa yang berasosiasi dengan persisir pantai. Selain itu rawa-rawa juga muncul
di darat(shore or inland lakes). Tergantung pada posisi asli geografinya, endapan
batubara paralic(sea coast) dan limnic(inland) adalah berbeda.

Paralic coal swamps memiliki sedikit pohon atau bahkan tanpa pohon dan terbentuk
diluar distal margin pada delta. Pembentukkannya merupakan akibat dari regresi dan
transgresi air laut. Banyak coastal swamps besar yang berkembang dibawah
perlindungan sand bars dan pits sehingga dapat menghasilkan endapan batubara yang
tebal.

Back samps terbentuk dibelakang tanggul alam sungai besar. Pada back swamps,
peats(gambut) kaya dengan mineral matter akibat banjir yang sering terjadi. Peat
deposits hanya dapat terawetkan pada daerah subsidence. Akibatnya endapan yang kaya
batubara banyak berhubungan dengan daerah ini, seperti yang sering muncul pada
foredeep pada suatu pegunungan lipatan yang besar.

Sikuen sediment yang tebal dimana didalamnya terdapat lapisan tipis batubara(<2m)
dengan penyebaran yang besar dan keberadaan intercalation dari marine bed adalah
karakteristik dari batubara yang diendapkan di foredeeps dari suatu pegunungan lipatan
yang besar. Cyclothem adalah perulangan antara peat dengan inorganic sediment dan
sekuen ini sering berulang.

Pada bagian backdeeps dari suatu pegunungan lipatan yang besar, subsidence biasanya
lebih sedikit dan jumlah lapisan batubara lebih sedikit. Ketika paralic coals diendapkan
di foredeeps, kebanyakan limnic coals diendapkan di dalam cekungan kontinen yang
besar. Limnic coals memiliki karakter: terbentuk pada kontinen graben, jumlah
lapisannya sedikit tapi setiap lapisannya sangat tebal.
Kualitas Batubara

Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi
potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter
penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank).

Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara
yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat
dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon
padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk
menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas dan Klasifikasi Batubara

Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya


adalah analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
menentukan jumlah air, zat terbang, karbon padat, dan kadar abu, sedangkan analisis
ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti :
karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut


menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di
daerah penelitian.

Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing
and Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)(Tabel 5.2). Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matter free
(dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf)
maka digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) :

dimana :

FC = % karbon padat (adb)

VM = % zat terbang (adb)

M = % air total (adb)

A = % Abu (adb)

S = % sulfur (adb)

Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb


Tabel 5.2
Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

Fixed Carbon , Volatile Matter Calorific Value Limits BTU per pound
% , dmmf Limits, % , dmmf (mmmf)
Class Group Equal or Equal Equal or
Less Greater Less Agglomerating
Greater or Less Greater
Than Than Than Character
Than Than Than
1.Meta-anthracite 98 2 nonagglomerating
2.Anthracite
I Anthracite* 92 98 2 8
3.SemianthraciteC
86 92 8 14
1.Low volatile
78 86 14 22
bituminous coal
2.Medium
69 78 22 31
volatilebituminous coal
3.High volatile A
69 31 14000D commonly
II Bituminous bituminous coal
4.High volatile B
13000D 14000 agglomerating**E
bituminous coal
5.High volatile C
11500 13000
bituminous coal
10500 11500 agglomerating
1.Subbituminous A coal 10500 11500
III 2.Subbituminous B coal 9500 10500
Subbituminous
3.Subbituminous C
8300 9500 nonagglomerating
coal
1.Lignite A 6300 8300
IV. Lignite
1.Lignite B 6300

Contoh hasil analisa batubara


UJI MEKANIK

Selain analisis kimia, juga dilakukan sejumlah tes untuk menentukan parameter fisik
batubara, seperti uji densitas relatif , distribusi ukuran partikel, dll.

1. Densitas relatif:

Densitas relatif batubara tergantung pada rank dan mineral pengotornya. Data densitas
relatif diperlukan untuk membuat sampel komposit dalam menentukan banyaknya asap
(seam). Selain itu diperlukan juga sebagai faktor penting dalam mengubah cadangan
batubara dari unit volume menjadi unit massa.

Penentuan dilakukan dengan menghitung banyaknya kehilangan berat pada saat


dicelupkan ke dalam air. Cara terbaik adalah dari data berat batubara dengan
menggunakan piknometer. Grafik di bawah ini memberikan hubungan antara densitas
relatif terhadap kandungan abu untuk batubara dan serpih karbon di cekunagn Agades.

2. Distribusi Ukuran Partikel:

Distribusi ukuran pertikal pada batubara yang rusak tergantung pada metode
penambangan, cara penanganannya, serta derajat perekahan material tersebut. Distribusi
ukuran merupakan faktor kritis yang dapat menunjukkan bagian tumbuhan
penyusunnya. Penentuan dilakukan dengan metode ayakan. Grafik data pengeplotan
menghasilkan data rata-rata ukuran partikel dan derajat keseragaman partikel.

3. Uji Pengapungan (Float-sink testing):

Uji ini dilakukan untuk menentukan distribusi densitas partikel sampel dengan cara
mencelupkan sampel batubara ke dalam larutan yang diketahui densitas relatif. Selain
itu dilakukan juga penelitian lain seperti penghitungan energi spesifik.

Larutan yang digunakan biasanya mempunyai densitas berkisar antara 1,3 – 2,0.
Campuran larutan organik ini antara lain tetrabromoethane (R.D.2,89), perchlorethylene
(R.D.1,60), dan Toluena (R.D.1,60) yang sering digunakan karena viscositasnya rendah
dan sifat pengeringan yang baik.

Grafik yang diplot menunjukkan persentase material yang mengapung dan yang
tenggelam yang dihitung dalam basis kumulatif. Akhirnya dapat digunakan untuk
menentukan fraksi pengapungan dengan kandungan spesifik abu.

4. Uji Kerusakan Serpih (Shale breakdown test):

Ada beberapa masalah pada saat ekstraksi batubara, misalnya akibat pengotor (abu,dll)
yang biasanya diakibat oleh hadirnya mineral lempung, contoh montmorilonit pada
komponen non-batubara. Jumlah shale breakdown didapat dari proporsi material yang
ditentukan dengan analisis sedimentasi residu.
UJI LAINNYA UNTUK KARBONISASI

Karbonisasi adalah proses pemanasan batubara pada temperatur beberapa ratus derajat
untuk menghasilkan material-material:

1. Padatan yang mengalami pengayaan karbon yang disebut coke.


2. Larutan yang merupakan campuran hidrokarbon “tar” dan amoniacal liquor.
3. Hidrokarbon lain dalam bentuk gas yang didinginkam ke temperatur normal.

1. Free Swelling Index:

Tes ini dilakukan untuk menentukan angka peleburan dengan cara memanaskan
sejumlah sampel pada temperatur peleburan normal (kira-kira 800°C). Setelah
pemanasan atau sampai semua semua volatile dikelurkan, sejumlah coke tersisa dari
peleburan. Swelling number dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel dan kecepatan
pemanasan.

2. Tes karbonisasi Gray-King dan tipe coke:

Tes Gray-King menentukan jumlah padatan, larutan dan gas yang diproduksikan akibat
karbonisasi. Tes dilakukan dengan memenaskan sampel didalam tabung tertutup dari
temperatur 300°C menjadi 600°C selama 1 jam untuk karbonisasi temperatur rendah
atau dari 300°C menjadi 900°C selama 2 jam untuk karbonisasi temperatur tinggi.

3. Tes Karbonisasi Fischer:

Prinsipnya sama dengan metode Gray-King, perbedaan terletak pada peralatan dan
kecepatan pemanasan. Pemanasan dilakukan di dalam tabung alumunium selama 80
menit. Tar dan liquor dikondensasikan ke dalam air dingin. Akhirnya didapatkan
persentase coke, tar dan, air sedangkan jumlah gas didapat dengan cara
mengurangkannya. Tes Fischer umum digunakan untuk batubara rank rendah (brown
coal dan lignit) untuk karbonisasi temperatur rendah.

Data perbandingan Tes Gray-King dan Fischer:

4. Plastometer Gieseler:

Plastometer Gieseler adalah viskometer yang memantau viscositas sampel batubara


yang telah dileburkan. Dari tes ini direkam data-data sbb:

1. Initial softening temperature.


2. Temperatur viscositas maksimum
3. Viskositas maksimum.
4. Temperatur pemadatan resolidifiation temperatur.

5. Indeks Roga:
Indeks Roga menyatakan caking capacity. Ditentukan dengan cara memanaskan 1
gram sampel batubara yang dicampur dengan 5 gram antrasit pada 850°C selama 15
menit.

6. Tes lain yang dilakukan:

Biasanya dilakukan untuk menentukan:

1. Komposisi kimia (analisis proksimat, total belerang, analisis abu,dll)


2. Parameter fisik (distribusi ukuran, densitas relatif)
3. Uji kekuatan.
4. Tes Metalurgi.
Sumber Daya dan Cadangan

Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang
diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas
sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif
oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik
informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan
kajian kelayakan dinyatakan layak.

Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah
diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian
kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang.

Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara didasarkan pada tingkat keyakinan
geologi dan kajian kelayakan. Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu
aspek geologi dan aspek ekonomi.

Kelas Sumber Daya

1. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)

Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.

Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan
batubara yg diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama
dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada
umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran
serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops,
pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan
bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup
tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali
sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).

2. Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)

Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau
bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.

Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber
daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan
dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling
berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan
bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm
atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.
3. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)

Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau
bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara
relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan
alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika
eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi
ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling
berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit dan
bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm
atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

4. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)

Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau
bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan
penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah
sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan
kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius
0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub
bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

Penghitungan Sumber Daya

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di
daerah penelitian. Pemakaian metode disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang
diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut
penambangan). Karena data yang digunakan dalam penghitungan hanya berupa data
singkapan, maka metode yang digunakan untuk penghitungan sumber daya daerah
penelitian adalah metode Circular (USGS) (Gambar).

Aturan Penghitungan Sumberdaya Batubara dengan Metode Circular (USGS) (Wood et


al., 1983)

Penghitungan sumber daya batubara menurut USGS dapat dihitung dengan rumus

Tonnase batubara = A x B x C, dimana

A = bobot ketebalan rata-rata batubara dalam inci, feet, cm atau meter


B = berat batubara per stuan volume yang sesuai atau metric ton.

C = area batubara dalam acre atau hektar

Kemiringan lapisan batubara juga memberikan pengaruh dalam perhitungan sumber


daya batubara. Bila lapisan batubara memiliki kemiringan yang berbeda-beda, maka
perhitungan dilakukan secara terpisah.

1. Kemiringan 00 – 100

Perhitungan Tonase dilakukan langsung dengan menggunakan rumus Tonnase =


ketebalan batubara x berat jenis batubara x area batubara

2. Kemiringan 100 – 300

Untuk kemiringan 100 – 300, tonase batubara harus dibagi dengan nilai cosinus
kemiringan lapisan batubara.

3. Kemiringan > 300

Untuk kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus kemiringan
lapisan batubara
Lingkungan Pengendapan Batubara
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan
pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan
post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat
(rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi,


dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan
pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan
namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang
cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat
terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat
dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.

Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara


(Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain,
lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan
mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.

Tabel 2.1
Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara
(Diesel, 1992)
Environment Subenvironment Coal Characteristics
Gravelly braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to low
swamps, raised bogs TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to high
swamp, raised bogs, TPI, low to medium GI, low
sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, floodplains and mainly bright coals, high TPI,
upper delta plain basins, swamp, fens, raised bogs medium to high GI, low sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and marshes medium TPI, high to very high
GI, high sulphur
Backbarrier strand Off-, near-, and backshore, tidal transgressive : mainly bright
plain inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI, high
marshes sulphur

regressive : mainly dull coals, low


TPI and GI, low sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and mainly bright coal with high GI
marshes and medium TPI

Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain
dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta
dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).

Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di
atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah
endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan
tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.

Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded
bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di
bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-
fragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur
menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam
(natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee
yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple
lamination dan paralel lamination.

Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase
play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus – sedang dengan struktur sedimen
cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan
batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel
utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.

Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain.
Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air
limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara
berlapis.

Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena
lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok
untuk akumulasi gambut.

Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan
akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai
didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen,
1985).
PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM
DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB.
MUSIBANYUASIN, PROP. SUMATERA SELATAN

SARI
Daerah Lubukmahang terletak sekitar 185 km sebelah Baratlaut kota
Palembang atau secara geografis terletak antara 2o 15’ 00” - 2o 30’ 00” Lintang
Selatan dan antara 103o 30’ 00” - 103o 45” 00” Bujur Timur. Pada peta
BAKOSURTANAL terletak pada Lembar Peta No.1013-41 (Skala 1: 50.000)
Secara geologi daerah selidikan terletak dalam Cekungan Sumatera Selatan
di bagian utara Palembang, struktur geologi yang dijumpai berupa perlipatan
(antiklin dan sinklin) dengan pola umum Bartalaut - Tenggara, serta beberapa sesar
mendatar.
Stratigrafi daerah penyelidikan disusun oleh tiga formasi dari tua ke muda
terdiri atas Formasi Air Benakat (Miosen Tengah), Formasi Muara Enim (Miosen
- Pliosen) dan Formasi Kasai (Pliosen). Ketiga formasi sebagai penyusun di wilayah
ini tersebar merata dalam sistim lipatan Antiklin Tamiang dan Antiklin Keluang serta
Sinklin Dawas.
Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang diendapkan
sebagai kelanjutan dari fasa regresi. Lingkungan pengendapan batubara terjadi dari
sedimentasi perulangan kumpulan endapan delta sampai fluviatil pada akhir
pengendapan batubara.
Hasil dari pemetaan batubara dan korelasi pemboran inti sebanyak 16 titik
didapatkan 9 (sembilan) lapisan batubara dan beberapa lapisan gantung batubara,
mulai dari Anggota M1 sampai M4, dengan penyebaran yang menerus pada sayap
utara Antiklin Tamiang.
Sumberdaya batubara hasil perhitungan dengan ketebalan > 1,00 meter,
pada kedalaman sampai 50,00 meter dengan panjang terluar dari singkapan atau
lubang bor ke arah jurus 1.000 meter; total seluruhnya adalah 134 juta ton.
Kualitas batubara di daerah ini adalah: Moisture (adb) 9.75 - 12.4 %; Volatile
Matter (adb) 45.6 - 49.3 %; Ash Content (adb) 7.5 - 14.8 %; Total Sulphur (adb) 0.2 -
1.06 %; Spesific Gravity 1.39 - 1.54 ; Calorific Value (adb) 4745 - 5290 cal/gram atau
5290 - 6040 cal/gram (daf).

PENDAHULUAN

Luas daerah Penyelidikan Batubara Lubuk Mahang  75.000 ha secara


administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Bayung Lincir - Kabupaten Musi
Banyuasin - Propinsi Sumatera Selatan.
Secara geografis daerah penyelidikan dibatasi koordinat 2o 15’ 00” sampai 2o
30’ 00” Lintang Selatan dan 103 o 30’ 00” sampai 103o 45’ 00” Bujur Timur. Menurut
peta rupa bumi yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL masuk pada Lembar No 1013-
41 skala 1 : 50.000. Daerah tersebut terletak di sebelah kiri jalan lintas timur
Palembang - Jambi (km 185) dengan sarana dan prasarana cukup baik (Gambar 1.)
Tataguna lahan daerah penyelidikan ditempati oleh lahan pemukiman berikut
lahan pangan transmigrasi dan kebun plasma kelapa sawit PT. HINDOLI. Di bagian
selatan ditempati oleh kebun kelapa sawit milik PT. BERKAT SAWIT SEJATI dan di
bagian barat merupakan lahan hutan tanaman industri PT. INHUTANI dan hutan
lindung. Sebagian kecil daerah tengah lembar dipakai sebagai jalur pipa gas dan
areal kerja PT. GULF INDONESIA ex PT. ASAMERA.
Tujuan penyelidikan adalah untuk pengkajian secara bersistem endapan
batubara dalam Cekungan Sumatera Selatan meliputi keadaan geologi khususnya
yang berhubungan dengan kejadian lingkungan pengendapan batubara,
penyebaran, ketebalan, kualitas dan jumlah lapisan batubara, yang pada akhirnya
diharapkan dapat melengkapi data kajian Cekungan Sumatera Selatan, sehingga
dapat dibuat “data base” yang mudah untuk di akses guna kebijaksanaan yang lebih
lanjut.

GEOLOGI
Morfologi daerah selidikan merupakan perbukitan bergelombang rendah
dengan kemiringan lereng 10o - 20o dengan elevasi dari 25 m dpl sampai 120 m dpl
disusun oleh satuan batuan Tersier klastika halus terdiri dari Formasi air Benakat,
Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai.
Secara tektonik merupakan jalur belakang daratan (“back deep”) terletak
pada Cekungan Sumatera Selatan di bagian utara Palembang. Pada lembar peta ini
terdapat jalur perlipatan dikenal dengan Antiklin Keluang di bagian Selatan dan
Antiklin Tamiang di bagian Utara serta Sinklin Dawas di bagian tengah dengan arah
umum sumbu perlipatan yaitu Baratlaut - Tenggara. Jalur perlipatan tersebut
sebagian dipotong oleh sesar geser.
Stratigrafi daerah penyelidikan disusun oleh tiga formasi dari tua ke muda,
yaitu Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim yang tersingkap luas dan sebagian
kecil Formasi Kasai (Tabel.1).
Formasi Air Benakat berumur Miosen Tengah tersingkap disepanjang sumbu
Antiklin Keluang dengan lebar singkapan lebih dari 10 km sedangkan pada sumbu
Antiklin Tamiang lebar singkapan antara 4 km - 7,5 km dengan luas singkapan lebih
60% dari daerah yang diselidiki. Umumnya mempunyai kemiringan yang landai 4 o -
12o . Formasi ini diendapkan pada fase regresi, terdiri atas perselingan batulempung
dengan batupasir mengandung glaukonitik dan batulanau, bersifat endapan laut. Di
lapangan pada formasi ini tidak dijumpai batubara.
Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang tersingkap
pada masing-masing sayap antiklin dan sinklin. Pada formasi ini banyak tersingkap
batubara dan oleh Shell 1978 dikelompokkan menjadi empat anggota pembawa
batubara dari bawah keatas menjadi Anggota M1, M2, M3 dan paling atas Anggota
M4.
Pada sayap Utara Antiklin Tamiang batubara tersingkap mulai Anggota M1
sampai M4 dengan arah jurus Utara-Timur 295o - 335o dengan kemiringan berkisar
dari 5o - 15o, sedangkan pada Sinklin Dawas Formasi Muara Enim hanya tersingkap
mulai Anggota M1 sampai M3 dan batubara hanya dijumpai pada Anggota M2
dengan jurus Utara-Timur 110o - 130o dan 290o - 315o dengan kemiringan 8o - 14o.

Formasi ini diendapkan sebagai kelanjutan dari fase regresi, terdiri atas

perselingan batupasir dominan kuarsa, batulumpur dan batulempung, batulanau dan

sisipan batubara; berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal dengan lingkungan

pengendapan transisi.

Formasi Kasai merupakan formasi yang paling muda berumur Pliosen Akhir.
Batuannya bersifat tufaan dan tersingkap sedikit di bagian Timurlaut dan Baratdaya
lembar penyelidikan, di lapangan tidak dijumpai singkapan batubara.
Pemetaan Singkapan Batubara
Daerah yang dipetakan sebagian besar merupakan hutan yang baru dibuka
sehingga banyak endapan lumpur dan kotoran hasil erosi yang menutupi alur-alur
sungai. Oleh sebab itu agak sukar untuk mencari singkapan batubara karena
tertutup lumpur dan kotoran. Dari lintasan pemetaan batuan dan khususnya
batubara dijumpai sebanyak 54 lokasi singkapan, terutama banyak dijumpai pada
sayap Utara Antiklin Tamiang mulai dari anggota M1 sampai M4, sedangkan pada
Sinklin Dawas batubara umumnya hanya dijumpai pada Anggota M2 dengan jumlah
singkapan yang relatif lebih sedikit.

PEMBORAN INTI BATUBARA


Sejalan dengan pemetaan geologi, pada daerah indikasi lapisan batubara
yang telah dipetakan dilakukan pemboran inti dengan tujuan untuk mengetahui
stratigrafi, tebal, serta berapa lapisan batubara yang ada sehingga hubungan antar
lubang bor dapat dikorelasi untuk mengetahui geometri daerah penyelidikan.
Berdasarkan daerah yang telah dipetakan, telah dilaksanakan pemboran batubara
sebanyak 16 titik lubang bor, dengan kedalaman rata-rata 50,00 meter. Total
kedalaman seluruhnya 801,00 meter. Penempatan letak lubang bor ditentukan
berdasarkan keadaan geologi dan kondisi daerah setempat (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Geologi dan Sebaran Batubara daerah Lubuk mahang

Distribusi lubang bor di daerah selidikan adalah :


· 10 bor ditempatkan pada daerah sayap Utara Antiklin Tamiang
· 6 bor ditempatkan pada daerah Sinklin Dawas
Hasil selengkapnya pemboran batubara disarikan pada Tabel 3.

Korelasi Lapisan Batubara, Sumberdaya dan Kualitas


Dari deskripsi inti bor, pada masing-masing lubang bor, berdasarkan
kesamaan strata, kedudukan lapisan batubara dalam pandangan geologi serta
kualitas batubara, telah dibuat penampang korelasi batubara untuk sayap Utara
Antiklin Tamiang dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4, sedangkan untuk
Sinklin Dawas dapat dilihat pada Gambar 5. Penamaan masing-masing lapisan
merujuk kepada stratigrafi Shell, 1978. Korelasi batubara tersebut juga dipakai
sebagai acuan pola sedimentasi lingkungan pengendapannya.

Berdasarkan korelasi batubara dari bawah ke atas terdapat sembilan lapisan


batubara yang diberi nama (lapisan Merapi, Petai, Suban, Mangus, Burung, Benuang,
Kebon, Babat dan Lematang), tetapi dari lapisan yang ada tersebut terdapat lapisan
yang menipis tidak menerus maupun terjadi “splitting”. Diantara lapisan batubara
masih terdapat lapisan batubara yang tidak menerus disebut lapisan gantung dan
tidak diberi nama.
Sumberdaya batubara dihitung berdasarkan kemiringan lapisan sampai kedalaman
50,00 meter untuk masing-masing lapisan yang mempunyai ketebalan lebih besar
1,00 meter, dengan jarak terjauh dari singkapan atau lubang bor 1000 meter ke
arah jurus. Total sumberdaya batubara seluruhnya adalah 134.844.265 ton.
Analisa kualitas dan petrografi batubara telah dilaksanakan di laboratorium
Direktorat Sumberdaya Mineral dengan hasil disarikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Gambar komposisi kualitas batubara dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Dari hasil analisis tersebut batubara di daerah Lubuk Mahang dapat digolongkan ke
dalam batubara Subbituminous: Group Subbituminous B Coal sampai Group
Subbituminous A Coal.

Lingkungan Pengendapan Batubara


Sedimentasi batubara yang ada di wilayah penyelidikan dimulai dari Anggota
M1 paling bawah sampai Anggota M4 paling atas merupakan kumpulan “Facies
Deltaic” sampai “Fluviatil” di Cekungan Sumatera Selatan yang berumur Miosen
Tengah sampai Pliosen.
Batubara pada Anggota M1 yaitu lapisan Merapi batuan penyusunnya masih jelas
dipengaruhi oleh endapan laut yang dicirikan oleh lapisan batupasir yang bersifat
glaukonitan.
Gambar 6. Komposisi kualitas lapisan batubara di Lubuk Mahang
Gambar 7. Komposisi analisa petrografi lapisan batubara di Lubuk Mahang

Di atas lapisan Merapi terjadi pengendapan dominan pasiran dengan pola


“coarsening upward” seperti dicirikan oleh bor BLM.07, BLM.6, BLM.13 dan BLM.16.
Fasies ini menunjukkan prograding endapan delta yang diakhiri dengan terjadinya
endapan rawa. Pada fasa ini terjadi proses pengendapan batubara dari Anggota M2
dimulai dengan lapisan Petai yang diendapkan setempat menipis dan cenderung
tidak menerus. Pada sebagian lubang bor (BLM.6) di bagian atas lapisan ini
menunjukkan kontak “erosional surface” mencirikan telah mengalami proses
“chanelling” mungkin terjadi “crevasse splay”. Di atas lapisan Petai setelah
diendapkan lapisan “interburden” kemudian diendapkan lapisan Suban. Di atas
lapisan Suban setelah diendapkan lapisan “interburden” diakhiri dengan diendapkan
Lapisan Mangus. Pada sayap Utara Antiklin Tamiang lapisan Suban di BLM.7
mempunyai ketebalan 4,10 m cenderung menipis tajam ke arah jurus Timur-Barat
menjadi 2,10 m, demikian juga terjadi pada Sinklin Dawas yaitu pada BLM.16
(3,45m), BLM 14 (2,70 m) sedangkan BLM.13 (0,55m). Pada lapisan Mangus
pengendapan batubara mencirikan hal yang sama seperti pengendapan batubara
lapisan Suban. Rawa-rawa yang terdapat pada fasa ini cenderung masih
berhubungan dengan laut dangkal. Data ini didukung oleh adanya kandungan
sulphur total yang tinggi antara 0.97% - 2.48% pada lapisan Petai dan lapisan
Mangus.
Pada Anggota M3 “prograding” delta masih terus berlanjut dan diendapkan
batubara lapisan Burung dan lapisan Benuang pada rawa-rawa yang kurang atau
tidak dipengaruhi oleh air laut. Kondisi ini ditunjukkan oleh menurunnya kandungan
sulphur total yaitu antara 0.25% - < 0.52%. Pada fasa ini arus relatif lebih tenang
dengan diendapkan batubara yang agak tebal yaitu 2.75 - 7.70 m, tetapi pengaruh
endapan fluviatil sudah berpengaruh dengan terjadinya peningkatan kadar abu.
Anggota M4 merupakan endapan paling akhir dari Formasi Muara Enim
diendapkan batuan klastik yang cenderung lebih halus dengan sisipan batubara.
Pada Anggota M4 terdapat lapisan Kebon yang menipis dari arah Barat ke Timur,
demikian pula dengan lapisan Babat, sedangkan lapisan Lematang dijumpai tipis
dan tidak menerus. Pada anggota M4 batubaranya cenderung mempunyai nilai
kandungan abu yang tinggi.

KESIMPULAN
· Batubara di daerah Lubuk Mahang banyak tersingkap pada sayap Utara
Antiklin Tamiang ( 32 singkapan) dengan sebaran dimulai dari Anggota M1
sampai M4, sedangkan pada Sinklin Dawas ( 18 singkapan) batubara hanya
tersingkap pada Anggota M2.
· Arah jurus perlapisan batubara umumnya mengikuti arah sumbu perlipatan
yaitu Baratlaut - Tenggara dengan kemiringan lapisan 5o - 15o.
· Sumberdaya batubara dihitung berdasarkan kemiringan lapisan sampai
kedalaman 50,00 meter untuk masing-masing lapisan yang mempunyai
ketebalan lebih besar 1,00 meter, dengan jarak terjauh dari singkapan atau
lubang bor 1000 meter ke arah jurus. Total sumberdaya batubara seluruhnya
adalah 134 juta ton.
· Hasil analisis batubara menujukkan mutu batubara Subbituminous : Group
Subbituminous B Coal sampai Group Subbituminous A Coal. Berdasarkan korelasi
lubang bor dan analisis batubara lingkungan pengendapan menunjukkan hasil
perulangan pengendapan delta sampai fluviatil.

DAFTAR PUSTAKA

De. Coster G.L., 1974 The Geology of the Central Sumatra and Sumatra Basins,
Proceeding Indonesian Petroleum Assoc., 4th Annual Convention.
Gafoer S., Burhan G., dan Purnomo J., 1986; Laporan geologi lembar Palembang,
Sumatera, Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Ilyas, S., 1994; Eksplorasi Lanjutan Endapan batubara di daerah Tamiang -Bentayan,
Kab. Muis Banyuasin Prop. Sumatra Selatan, Dit. SDM, tidak
dipublikasikan
Koesoemadinata, R.P., & Hardjono., 1977; Kerangka Sedimenter Endapan Batubara
Tersier Indonesia, PIT : IAGI ke VI, tidak dipublikasikan.
Shell Mijnbouw, 1978; Geological Map of the South Sumatra Coal Province,
Scale 1 : 250.000
Pusat Sumber Daya Geologi, Powered by Joomla! and designed by SiteGround
LITBANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN
PEMANFAATAN BATUBARA

Kegiatan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara meliputi litbang,


perekayasaan dan pelayanan jasa di bidang karakterisasi, teknologi pengolahan,
konversi dan pembakaran batubara.

Litbang ini dilakukan secara terpadu dengan kelompok-kelompok litbang lain yang ada
di tekMIRA dengan sasaran utama mendukung program pemerintah dalam mengurangi
subsidi BBM/kayu bakar melalui diversifikasi energi, peningkatan penggunaan batubara
dalam negeri, penghematan dan peningkatan devisa melalui ekspor serta peningkatan
PNBP seperti terlihat dalam Gambar 1.

Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dirintis sejak awal
tahun 1970-an, dan terus berkembang mengingat batu bara yang semula hanya dibakar
untuk diambil panasnya, kemudian diproses untuk mendapatkan batubara dengan
kualitas yang lebih baik atau bahan yang lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan.

Sampai dengan akhir tahun 1980 sebagian besar kegiatan litbang teknologi pengolahan
dan pemanfaatan batubara masih dalam skala laboratorium. Namun sesudah itu kegiatan
litbang sudah mengarah kepada aplikasi dengan membangun berbagai pilot plant yang
diharapkan dapat mengetahui optimalisasi proses, pengujian produk pada pengguna dan
kelayakan ekonomi dari proses tersebut.

Untuk mempercepat implementasi hasil litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan


batubara pada skala industri, tekMIRA sedang dan akan membangun beberapa pilot
plant di Palimanan Cirebon dalam suatu Pusat Teknologi Batubara Bersih yang disebut
Clean Coal Technology Centre atau disingkat Coal Centre.
Kegiatan unggulan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara terdiri
dari peningkatan kualitas batubara peringkat rendah melalui proses Upgraded Brown
Coal (UBC), pengembangan briket, gasifikasi, pencairan dan pembuatan kokas.
Sedangkan hasil yang sudah dapat diimplementasikan diantaranya penggunaan briket
untuk peternakan ayam, pemindangan ikan, ekstraksi daun nilam dan penggunaan
batubara sebagai bahan bakar langsung pada industri bata, genteng, kapur dan industri
gula merah.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara didukung oleh fasilitas :

 Laboratorium penelitian dan penerapan.


 Laboratorium pengujian sifat kimia dan fisika yang telah terakreditasi
berdasarkan ISO 17025.
 51 orang tenaga fungsional terdiri dari peneliti, perekayasa dan teknisi dari
berbagai keahlian berdasarkan disiplin ilmu, yang berbeda-beda antara lain :
kimia dan fisika batubara, pengolahan batu bara dan teknologi pemanfaatan batu
bara.

Untuk lebih mempercepat program Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan


Batubara telah dilakukan kerjasama dengan berbagai institusi litbang baik di dalam
negeri maupun luar negeri, antara lain :

 Pembangunan pilot plant briket bio batubara kerjasama dengan NEDO-METI,


(Jepang).
 Pembangunan pilot plant peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan
proses UBC kerjasama dengan Kobe Steel (Jepang), JCOAL (Jepang) dan
BPPT.
 Pencairan batubara Indonesia kerjasama dengan NEDO (Jepang) dan BPPT.
 Daur ulang minyak bekas dengan menggunakan batubara sebagai absorban,
kerjasama dengan KOBE Steel (Jepang) dan LEMIGAS.
 Proses pengeringan teh dengan batubara melalui gasifikasi kerjasama dengan
PPTK Gambung.
 Pengujian sifat kimia dan fisika batubara kerjasama dengan PT. Surveyor
Indonesia, PTBA dan perusahaan batubara lainnya.

Pembangunan dan kegiatan litbang pilot plant briket biobatubara dan pilot plant UBC
dilakukan di SENTRA TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA DI
PALIMANAN CIREBON.

Karya Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara yang meliputi


teknologi pengolahan, teknologi konversi dan teknologi pembakaran yang
diaplikasikan, diantaranya :

1. Teknologi Pengolahan

 Peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses Upgraded Brown


Coal (UBC).
 Percobaan penerapan teknologi coal water fuel sebagai bahan bakar boiler pada
industri tekstil.
 Pengembangan metode penurunan kadar natrium batubara Lati, Berau,
Kalimantan Timur.
 Pengembangan metode pencampuran batubara (coal blending) Kalimantan
Tengah untuk pembuatan kokas metalurgi.
 Pencucian batubara.
 Desulfurisasi limbah batubara dengan flotasi kolom.

2. Teknologi Konversi

 Pengembangan briket kokas dari batubara dan green coke.


 Proyek pencairan batubara 2002 : uji tuntas (due diligence) pre-FS Batu Bara
Banko.
 Pengembangan briket bio coal Palimanan.
 Pemanfaatan produk gasifikasi batubara untuk pengeringan teh di Gambung
Ciwidey, Jawa Barat.
 Briket kokas untuk pengecoran logam.

3. Teknologi Pemanfaatan Batubara

3.1. Bahan Bakar Langsung

 Penyerapan gas SO2 dari hasil pembakaran briket bio batubara dengan unggulan
zeolit.
 Pengembangan model fisik tungku pembakaran briket biocoal untuk industri
rumah tangga, pembakaran bata/genteng, boiler rotan dan pengering bawang.
 Tungku hemat energi untuk industri rumah tangga dengan bahan bakar
batubara/briket bio batubara.
 Pembakaran kapur dalam tungku tegak system terus menerus skala komersial
dengan batubara halus menggunakan pembakar siklon.
 Tungku pembuatan gula merah dengan bahan bakar batubara.
 Pembakaran kapur dalam tungku system berkala dengan kombinasi bahan bakar
batubara - kayu.
 Pembakaran bata-genteng dengan batubara.

3.2. Non Bahan Bakar

 Pengkajian pemanfaatan batubara Kalimantan Selatan untuk pembuatan karbon


aktif.
 Daur ulang minyak pelumas bekas dengan menggunakan batubara peringkat
rendah sebagai penyerap.
Regional Geology of South Sumatera Basin

Stratigrafi Regional

Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra Selatan yang

merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang

terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara

Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di sebelah

utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur, dan

Bukit Barisan di sebelah barat.

Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar

sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada

akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan

diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh

Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut

Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan

kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi

suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana

pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back

reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang

Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi

Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu

serpihlautdalam.

Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti

oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir

pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras

di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana
lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan

non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung

dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini

berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan,

pumice dan konglemerat.

Batuan Dasar

Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum dan

batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan

Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan,

Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur

permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh

terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian

(Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah

mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir

kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak

teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini

juga tertutup hutan yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit

adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.

FormasiLahat

Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan

lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi

vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa.

Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :

Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava.

Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.


Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama.

Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran

didominasi oleh kuarsa. Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan

bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung

tufan berselingan dengan endapan mirip lahar.

Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.

Formasi Talang Akar

Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir

dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga

transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir

hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian

bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara.

Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.

Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m.

Formasi Baturaja

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan ketebalan

antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu,

batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya

foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-

neritik dan berumur Miosen Awal.

FormasiGumai

Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi

ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan.

Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan
batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa

perselingan antara batupasir dan serpih.

Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan

diendapkan pada lingkungan laut dalam.

Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.

Formasi Air Benakat

Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan
merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih
kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan,
glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan
sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air
Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.

FormasiMuaraEnim

Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini

diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut

dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m,

terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada

formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini

terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan

batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit.

Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.

FormasiKasai

Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan

ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di

bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir,

konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna

abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta

kayu yang terkersikkan.


Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan.

Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.

Sedimen Kuarter

Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-

Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih

tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil

hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap.

Satuan ini berumur resen.


Untuk Gantikan BBM Pemerintah akan Gunakan Batubara Cair

JAKARTA–Butuh payung hukum yang kuat dan dukungan dari presiden.


emerintah berencana menggunakan batubara cair untuk mengurangi beban penggunaan
bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat. “Kita harus mengurangi
konsumsi Bahan bakar Minyak, salah satunya adalah bagaimana batubara bisa kita
cairkan kemudian kita jadikan BBM dimana nantinya bisa menggantikan pemakaian
BBM,” kata Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro seusai bertemu wapres Jusuf Kalla di
Jakarta, Senin.

Menurut Purnomo untuk itu, ia membutuhkan payung hukum yang kuat dan kebijakan
secara nasional oleh Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Namun ketika
ditanyakan payung hukum seperti apa yang diinginkannya, Purnomo belum bisa
menjawab karena ia harus mempresentasikan hal ini kepada Presiden Yudhoyono
setelah kunjungan ke luar negeri.

“Yang jelas hal itu perlu dukungan dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla untuk keluarkan kebijakan untuk menggantikan BBM ini,” kata Purnomo.

Menurut rencana produksi batubara cair tersebut akan dilakukan di Sumatra Selatan
karena memiliki cadangan batubara yang sangat besar. Saat ini cadangan batubara
Indonesia sangat besar masih sekitar 70 tahun. Untuk itu bisa digunakan sebagai
pengganti BBM yang untuk kebutuhan nasional saat ini mencapai 85,6 juta kilo liter per
tahun. Penggunaan batubara cair, tambah Purnomo, saat ini juga telah dilakukan di
Afrika Selatan.

Sementara itu menanggapi peran OPEC akibat harga minyak dunia yang terus
meningkat, Purnomo mengatakan OPEC tidak bisa lagi lakukan kontrol atas harga
minyak dunia.

OPEC, tambahnya saat ini hanya memiliki pangsa pasar minyak dunia sebesar 40
persen. “OPEC tidak bisa berdaya dengan penjualan minyak yang tak bisa dikontrol,”
katanya. Meskipun, tambahnya saat ini OPEC telah berusaha untuk menaikan
produksinya hingga 500 ribu barel. Sejauh ini, tambahnya pemerintah Indonesia setuju
dengan segala usaha apapun juga untuk menurunkan harga minyak dunia.

Seiring dengan meningkatnya permintaan dan ketatnya produksi minyak dunia, harga
minyak di pasar dunia pada triwulan keempat tahun 2005 menurut perkiraan pengamat
perminyakan, Dr Kurtubi, bisa mencapai 60 dolar AS per barel.

“Sekarang kita sudah masuk ke triwulan kedua tetapi harga minyak masih bertahan pada
55 dolar AS. Saya khawatir kalau selama triwulan ini harga tetap bertahan pada kisaran
itu, harga minyak pada triwulan ketiga dan keempat akan jauh melebihi perkiraan saya,”
katanya kemarin.

Jika pada triwulan kedua tahun 2005 harga minyak dunia masih berkisar 55 dolar per
barel maka, menurut dia, Indonesia dan dunia harus bersiap-siap menerima kenyataan
melambungnya harga minyak West Texas Intermediate/WTI (yang menjadi acuan
perdagangan minyak mentah dunia-red) selama tahun
2005-2006 akan mencapai 60 dolar per barel.

Biasanya, kata dia, berdasarkan perilaku permintaan minyak di pasar dunia, pada
triwulan kedua harga minyak akan tertekan sehingga menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan harga minyak pada triwulan sebelumnya meskipun tidak akan
lebih rendah dari 40 dolar per barel (batas bawah patokan harga minyak OPEC).

Namun hingga memasuki masa-masa awal triwulan kedua tahun 2005 harga minyak di
pasaran dunia sama sekali tidak mengalami penurunan. “Hal ini terjadi karena faktor
fundamental dimana permintaan minyak dunia sangat tinggi tahun 2005. Saya
perkirakan jumlahnya mencapai 84 juta barel per hari atau sekitar
2 juta barel lebih banyak dibandingkan permintaan minyak tahun 2003 yang hanya 82,5
juta barel per hari,” katanya. Tingginya laju permintaan minyak pada tahun 2005 itu
menurut dia disebabkan oleh masih tingginya laju permintaan minyak dari China yang
belakangan ini juga diikuti oleh India.

Anda mungkin juga menyukai