Anda di halaman 1dari 17

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN

NOMOR : KM 52 TAHUN 2000

TENTANG

JALUR KERETA API

MENTERI PERHUBUNGAN,

Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang


Prasarana dan Sarana Kereta Api, telah diatur ketentuan mengenai
jalur kereta api;

b. bahwa untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, perlu ditetapkan Keputusan Menteri
Perhubungan tentang Jalur Kereta Api;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3479);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan


Sarana Kereta Api (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3777);

3. Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 175 Tahun 1999;

4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.91/OT.002/PHB-80


dan KM.164/OT.002/PHB-80 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2000;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG JALUR


KERETA API.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Kereta api adalah kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri
maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan atau sedang bergerak
di jalan rel;

2. Angkutan kereta api adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat yang lain dengan menggunakan kereta api;

3. Jalur kereta api adalah daerah yang meliputi daerah manfaat jalan kereta api,
daerah milik jalan kereta api, dan daerah pengawasan jalan kereta api termasuk
bagian bawahnya serta ruang bebas di atasnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas
kereta api;

4. Daerah manfaat jalan kereta api adalah jalan rel beserta bidang tanah atau bidang
lain di kiri dan kanannya yang dipergunakan untuk konstruksi jalan rel yang
selanjutnya disingkat Damaja;

5. Daerah milik jalan kereta api adalah daerah yang diperuntukkan bagi daerah
manfaat jalan kereta api dan pelebaran jalan rel maupun penambahan jalur
dikemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan konstruksi jalan rel
yang selanjutnya disingkat Damija;

6. Daerah pengawasan jalan kereta api adalah ruang sepanjang jalan rel di luar
daerah milik jalan kereta api yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu dan
diperuntukan bagi pengamanan dan kelancaran operasional kereta api yang
selanjutnya disingkat Dawasja;

7. Ruang bebas adalah ruang tertentu yang senantiasa bebas dan tidak mengganggu
gerakan kereta api sehingga kereta api dapat berjalan dengan aman;

8. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau
konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah dan di atas tanah atau
bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api;

9. Jembatan kereta api adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton
atau konstruksi lain yang menghubungkan tepi sungai, jurang dan lain-lain untuk
keperluan lalu lintas kereta api;

10. Terowongan kereta api adalah jalur terobosan di bawah tanah atau di bawah air
yang dibuat dan digunakan untuk lalu lintas kereta api;

Lintas adalah bagian dari jalur kereta api terdiri dari rangkaian beberapa petak jalan;

11. Badan Penyelenggara adalah badan usaha milik negara yang melaksanakan
penyelenggaraan angkutan kereta api;

12. Badan Usaha adalah badan hukum Indonesia;

13. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkeretaapian;

14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat.


BAB II

RENCANA UMUM JARINGAN JALUR

Pasal 2

(1) Prasarana kereta api yang berupa jalur, stasiun dan fasilitas operasional kereta
api harus disusun dalam Rencana Umum Jaringan Jalur Kereta Api.

(2) Rencana Umum Jaringan Jalur Kereta Api sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun dalam satu sistem terpadu dengan moda transportasi
lainnya dengan mempertimbangkan :

a. Rencana Umum Tata Ruang;


b. keterpaduan intra dan antar moda transportasi;
c. keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya;
d. keselamatan dan kelancaran operasi kereta api;
e. pertumbuhan ekonomi dan analisa efisiensi;
f. kelestarian lingkungan.

Pasal 3

(1) Rencana umum jaringan jalur kereta api terdiri dari :

a. jaringan jalur kereta api antar kota;


b. jaringan jalur kereta api kota.

(2) Jaringan jalur kereta api antar kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdiri dari :

a. lintas utama;
b. lintas cabang.

(3) Penyusunan jaringan jalur kereta api antar kota untuk lintas utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus mempertimbangkan ciri-ciri
sebagai berikut:

a. melayani jarak jauh atau sedang;

b. menghubungkan antar stasiun yang berfungsi sebagai pengumpul, yang


ditetapkan untuk melayani lintas utama.

(4) Penyusunan jaringan jalur kereta api antar kota untuk lintas cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, harus mempertimbangkan ciri-ciri
sebagai berikut :
a. melayani jarak sedang atau dekat;

b. menghubungkan antara stasiun yang berfungsi sebagai pengumpan


dengan stasiun yang berfungsi sebagai pengumpul atau antar stasiun yang
berfungsi sebagai pengumpan, yang ditetapkan untuk melayani lintas
cabang.

(5) Jaringan jalur kereta api kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan lintas utama yang tersusun dalam sistem angkutan kota.

(6) Jaringan jalur kereta api kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dapat menggunakan jaringan jalur kereta api antar kota.

(7) Rencana umum jaringan jalur kereta api ditetapkan oleh Menteri dengan
memperhatikan pertimbangan dari instansi terkait lainnya.

Pasal 4

(1) Rencana umum jaringan jalur kereta api disusun untuk kurun waktu 25 (dua
puluh lima) tahun mendatang.

(2) Rencana umum jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

(3) Dalam keadaan tertentu, peninjauan kembali dan/atau penyempurnaan rencana


umum jaringan jalur kereta api dapat dilakukan sewaktu-waktu.

(4) Peninjauan kembali rencana umum jaringan jalur kereta api sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dilakukan oleh Direktur Jenderal atas usul dari Kepala
Kantor Wilayah Departemen Perhubungan dan/atau Gubernur Kepala Daerah
Propinsi yang bersangkutan maupun atas dasar proses yang dilakukan sendiri
oleh Direktur Jenderal.

Pasal 5

Rencana perwujudan mengenai rencana umum jaringan jalur kereta api diatur dengan
Keputusan Direktur Jenderal.

BAB III

DAERAH MANFAAT JALAN, DAERAH MILIK JALAN DAN

DAERAH PENGAWASAN JALAN KERETA API

Bagian Pertama

Daerah Manfaat Jalan Kereta Api


Pasal 6

(1) Damaja merupakan jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri dan
kanannya yang dipergunakan untuk konstruksi jalan rel serta bagi
penempatan fasilitas operasional sarana kereta api dan/atau saluran air dan/atau
bangunan pelengkap lainnya.

(2) Bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipergunakan untuk :

a. kontruksi jalan rel;

b. peralatan persinyalan;

c. peralatan telekomunikasi;

d. instalasi listrik;

e. saluran air;

f. bangunan pelengkap lainnya, berupa :

1) menara dan bangunan pelengkapnya;


2) gardu listrik; atau
3) bangunan pengendalian operasi kereta api terpusat.

(3) Damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tanah bagian bawahnya
dan ruang bebas di atasnya.

(4) Batas damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari sisi terluar
bidang tanah atau bidang lain yang digunakan untuk penempatan konstruksi
jalan rel, peralatan persinyalan, peralatan telekomunikasi, instalasi listrik,
saluran air dan bangunan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(5) Batas damaja untuk jalan rel yang berada di permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau terowongan dan
jembatan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.

Pasal 7

(1) Bidang tanah di luar damaja yang dipergunakan untuk membangun bangunan
pelengkap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf f
diperlakukan sebagai Damaja.

(2) Bidang tanah di luar damaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
daerah tertutup untuk umum.
Pasal 8

(1) Apabila akan dilakukan pemasangan, pembangunan, perbaikan, penggantian


baru, pemindahan dan relokasi bangunan utilitas perkeretaapian pada damaja
yang terletak di permukaan tanah dan bergantung, di bawah permukaan tanah
dan di atas permukaan tanah pada jalur kereta api, harus memenuhi
persyaratan :

a. tidak mengganggu pengoperasian kereta api;

b. mengutamakan keselamatan konstruksi jalan rel;

c. memperhatikan pengembangan jalan rel;

d. memperhatikan kelestarian lingkungan;

e. memperhatikan utilitas yang ada;

f. keselamatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pengawasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal.

Pasal 9

(1) Apabila terjadi gangguan dan hambatan tertentu dalam penggunaan damaja,
Menteri melakukan upaya perbaikan dan/atau pengembalian ke dalam kondisi
semula.

(2) Gangguan dan hambatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. banjir;

b. gempa bumi;

c. longsor;

d. kebakaran.

Pasal 10

(1) Penggunaan ruang dan/atau bidang tanah di atas dan di bawah daerah manfaat
jalan kereta api dapat dilakukan oleh pihak lain dengan memperhatikan
ketentuan sebagai berikut :
a. tidak membahayakan konstruksi jalan rel;

b. tidak mengganggu fasilitas operasional;

c. tidak mengganggu saluran air;

d. tidak mengganggu bangunan perlengkapan lain;

e. tidak mengganggu operasional kereta api.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan ruang dan/atau tanah oleh pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal.

Bagian Kedua

Daerah Milik Jalan Kereta Api

Pasal 11

Damija terdiri dari damaja beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri dan kanannya
yang dipergunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel dan operasional sarana
kereta api.

Pasal 12

(1) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di permukaan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri dan kanan
daerah manfaat jalan kereta api, masing-masing sebesar 6 (enam) meter.

(2) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri
dan kanan serta bagian bawah daerah manfaat jalan kereta api, masing-masing
2 (dua) meter, serta bagian atas hingga permukaan tanah.

(3) Batas damija untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), adalah batas paling luar sisi kiri
dan kanan daerah manfaaat jalan kereta api, masing-masing sebesar 2 (dua)
meter.

Pasal 13

(1) Penggunaan lahan pada damija di luar damaja untuk keperluan lain selain
kepentingan operasi kereta api, dapat dilakukan atas izin Menteri.

(2) Penggunaan lahan pada damija sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
persyaratan sebagai berikut :

a. tidak membahayakan konstruksi jalan kereta api;


b. tidak mengganggu fasilitas operasional;

c. tidak mengganggu saluran air;

d. tidak mengganggu operasional kereta api;

e. tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya.

(3) Kegiatan yang dapat membahayakan konstruksi dan operasi berupa kegiatan
yang dapat merubah kinerja prasarana kereta api antara lain :

a. pemasangan utilitas;

b. pekerjaan galian dan/atau penimbunan;

c. pekerjaan pemancangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggunaan damija sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dan prosedur pengawasan diatur dengan Keputusan
Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga

Daerah Pengawasan Jalan Kereta Api

Pasal 14

(1) Dawasja di luar damaja merupakan bidang tanah di kiri kanan selebar 9
(sembilan) meter dari daerah milik jalan kereta api yang berfungsi sebagai
pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.

(2) Dawasja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk
kepentingan lain selain pengamanan operasi kereta api dengan ketentuan tidak
mengganggu operasional kereta api.

Pasal 15

(1) Batas dawasja di luar damaja harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. pada perlintasan dan lengkung, harus daerah bebas pandang;

b. pada jalur kereta api yang terletak di bawah permukaan


tanah/terowongan, batas dawasja berhimpit dengan damija;

c. pada jembatan, batas dawasja berhimpit dengan damija.


(2) Hal-hal yang mengganggu kelancaran dan operasi kereta api di daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk jari- jari lengkungan
minimum, berupa :

a. bangunan dan tanaman dengan tinggi tidak lebih dari 2 (dua) meter dari
kepala rel;

b. jarak 15 (lima belas) meter dari sisi terluar jalan rel.

(3) Tata cara pengamanan batas dawasja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.

BAB IV

JALAN REL

Pasal 16

(1) Jalan rel merupakan satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau
kontruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah dan di atas tanah atau
bergantung beserta perangkatnya yang berfungsi sebagai penyangga dan
pengarah jalannya kereta api.

(2) Jalan rel yang berfungsi sebagai penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa :

a. tubuh jalan rel;

b. viaduct/jembatan.

c. terowongan;

d. tiang.

(3) Jalan rel yang berfungsi sebagai pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa :

a. rel;

b. wesel;

c. kabel;

d. beton.

Pasal 17

(1) Jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus memenuhi standar teknis
penyangga dan pengarah.
(2) Standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan :

a. tekanan gandar;

b. kecepatan.

Pasal 18

(1) Konstruksi jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus dapat
berfungsi sesuai dengan letak jalan rel.

(2) Bentuk dan ukuran konstruksi jalan rel yang sesuai dengan letak jalan rel,
secara rinci sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 19

(1) Berdasarkan rencana umum jaringan jalur kereta api disusun rencana
pembangunan jalan rel.

(2) Rencana pembangunan jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan prioritas pentahapan dan study kelayakan yang
memuat analisis sekurang-kurangnya tentang :

a. kebutuhan pelayanan jasa angkutan kereta api;

b. kebutuhan prasarana dan sarana;

c. ketersediaan jasa angkutan moda lainnya;

d. kelestarian lingkungan;

e. finansial dan ekonomi.

Pasal 20

(1) Pembangunan jalan rel menjadi tanggung jawab Pemerintah.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. rancang bangun;

b. rencana operasi;

c. analisis dampak lingkungan;

d. pendanaan dan pembiayaan untuk jalan rel yang dimiliki oleh


Pemerintah.
(3) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, disusun
berdasarkan standar teknis konstruksi jalan rel sesuai rencana kecepatan dan
beban gandar.

(4) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk jalan rel yang
terletak dipermukaan tanah, di bawah dan di atas tanah, meliputi :

a. konstruksi jalan rel;

b. ruang bebas dan ruang bangun;

c. perlintasan sebidang;

d. lebar jalan rel;

e. lengkung vertikal dan horisontal;

f. kelandaian.

Pasal 21

Pembangunan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan dengan


ketentuan sebagai berikut :

a. sesuai dengan rencana umum jaringan jalur kereta api;

b. mendukung pengamanan penggunaan jalur kereta api dan kelancaran pelayanan


angkutan;

c. sesuai dengan standar teknis dan rancang bangun yang ditetapkan.

Pasal 22

(1) Penyediaan jalan rel, jembatan, dan terowongan kereta api untuk umum
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada
Badan Penyelenggara.

(2) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :

a. anggaran yang disediakan oleh Pemerintah;

b. anggaran yang disediakan oleh Badan Penyelenggara.

(3) Dalam hal penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
anggaran Pemerintah, pelaksanaan pelimpahan dilakukan oleh Menteri setelah
mendapat persetujuan Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan
negara.

(4) Badan Penyelenggara dapat menyediakan jalan rel, jembatan dan terowongan
berdasarkan pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan
ketentuan gambar dan standar teknis prasarana telah mendapat persetujuan
Menteri.

(5) Dalam hal Badan Penyelenggara menyediakan jalan rel, jembatan dan
terowongan yang dananya bukan berasal dari Pemerintah, dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

(6) Badan Penyelenggara dengan izin Menteri dan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan, dapat menyediakan prasarana yang dibutuhkan melalui
kerja sama operasi dengan pihak ketiga, dengan memenuhi semua standar
teknis prasarana yang bersangkutan serta perundang-undangan yang berlaku
tentang kerjasama.

Pasal 23

(1) Menurut kemampuan daya angkut lintasnya, jalur kereta api dibagi dalam 5
(lima) kelas.

(2) Pembagian kelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan :

a. frekuensi lalu lintas kereta api;

b. kecepatan maksimum yang diizinkan;

c. beban gandar yang dapat didukung jalan rel.

Pasal 24

(1) Jalur kereta api dibagi dalam beberapa kelas jalur.

(2) Kelas jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), meliputi :

a. jalur kereta api kelas I memiliki frekuensi minimum 105 kereta api per
satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas > 20.000.000 ton/tahun
dan/atau kecepatan maksimum 120 (seratus dua puluh) km/jam serta
beban gandar minimum 18 (delapan belas) ton;

b. jalur kereta api kelas II memiliki frekuensi antara 55 s/d 104 kereta api
per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas 10.000.000 -
20.000.000 ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 110 (seratus
sepuluh) km/jam serta beban gandar minimum 18 (delapan belas) ton;

c. jalur kereta api kelas III memiliki frekuensi antara 26 s/d 54 kereta api
per satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas 5.000.000 - 10.000.000
ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 110 (seratus sepuluh) km/jam
serta beban gandar maksimum 18 (delapan belas) ton;

d. jalur kereta api kelas IV memiliki frekuensi antara 13 s/d 25 kereta api
per satu jalur/hari atau memilki daya angkut lintas 2.500.000 - 5.000.000
ton/tahun dan/atau kecepatan maksimum 90 (sembilan puluh) km/jam
serta beban gandar maksimum 18 (delapan belas) ton.

e. jalur kereta api kelas V memiliki frekuensi maksimal 12 kereta api per
satu jalur/hari atau memiliki daya angkut lintas < 2.500.000 ton/tahun,
kecepatan maksimum 80 (delapan puluh) km/jam, beban gandar
maksimum 18 (delapan) ton.

(3) Jalur kereta api yang tidak termasuk dalam kelas-kelas jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.

Pasal 25

(1) Untuk mempertahankan jalur kereta api tetap dapat berfungsi sesuai dengan
kelasnya dan tetap laik operasi harus dilakukan perawatan.

(2) Perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan memperhatikan keselamatan dan kebutuhan operasional kereta api serta
kelestarian lingkungan, sesuai dengan standar perawatan jalur kereta api.

(3) Standar perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
didasarkan pada :

a. ketentuan umum perawatan;

b. geometri jalan rel;

c. kelas jalur sesuai dengan lintas.

(4) Ketentuan umum perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
meliputi :

a. perencanaan konstruksi jalan rel;

b. kecepatan dan beban gandar;


c. kelas jalur kereta api;

d. ruang bebas dan ruang bangun;

e. perlintasan sebidang;

f. lingkungan jalur kereta api.

(5) Geometri jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, meliputi :

a. umum;

b. lebar jalan rel;

c. lengkung vertikal dan horisontal;


d. kelandaian.

Pasal 26

(1) Perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), merupakan seluruh
kegiatan yang bertujuan untuk memulihkan dan/atau mempertahankan kondisi
jalur pada tingkat tertentu sesuai dengan kelas yang ditetapkan.

(2) Perawatan jalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan agar kereta
api dapat beroperasi sesuai dengan tingkat kualitas pelayanan yang ditetapkan
berdasarkan standar teknis atau petunjuk teknis perawatan.

(3) Kegiatan perawatan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang pelaksanaannya dijabarkan
dalam kegiatan setiap tahun.

(4) Kegiatan perawatan jalur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi
perawatan :

a. jalan rel, yang terdiri dari :

1) perbaikan rel;

2) perbaikan bantalan;

3) penambahan ballast;

4) pemecokan;

5) lingkungan.

b. jembatan;

c. wesel;

d. persinyalan;

e. instalasi listrik aliran atas;

f. telekomunikasi;

g. terowongan.

Pasal 27

(1) Kegiatan perawatan bangunan utilitas yang menggunakan atau mengganggu


daerah manfaat jalan, daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan kereta
api, harus dilakukan tanpa menimbulkan gangguan terhadap kelancaran,
keamanan, dan ketertiban lalu lintas.
(2) Tata cara perawatan di daerah manfaat jalan, daerah milik jalan dan daerah
pengawasan jalan kereta api guna memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi :

a. jadwal perawatan;

b. persyaratan teknis perawatan;

c. persyaratan perawatan perlintasan;

d. persyaratan perawatan lengkungan.

BAB V

JEMBATAN DAN TEROWONGAN KERETA API

Pasal 28

(1) Pembangunan dan perawatan jembatan kereta api harus memenuhi standar
teknis jembatan kereta api.

(2) Standar teknis jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. tipe dan jenis jembatan;

b. ruang bebas;

c. rencana muatan.

(3) Standar teknis jembatan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini.

Pasal 29

(1) Pembangunan dan perawatan terowongan kereta api harus memenuhi standar
teknis terowongan kereta api.

(2) Standar teknis terowongan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :

a. jenis konstruksi;

b. utilitas.

(3) Standar teknis terowongan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini.

Pasal 30
(1) Ruang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b,
mempunyai ukuran yang dibedakan berdasarkan kondisi jalur yaitu :

a. untuk jalur tunggal, pada bagian lintas lurus maupun melengkung;

b. untuk jalur ganda, pada bagian lintas lurus maupun melengkung.

(3) Gambar ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam
Lampiran V Keputusan ini.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Direktur Jenderal melaksanakan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Keputusan


ini.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

Kelas jalur kereta api yang telah ada sebelum Keputusan ini ditetapkan, harus
disesuaikan dengan kelas jalur kereta api dalam Keputusan ini selambat-lambatnya
dalam waktu 5 (lima) tahun sejak Keputusan ini ditetapkan.

Pasal 33

(1) Tanah milik Pemerintah yang dipergunakan untuk kepentingan


perkeretaapian di sepanjang jalur kereta api sebelum Keputusan ini ditetapkan
tetap menjadi milik Pemerintah.

(2) Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanah yang dipergunakan
sebagai jalur sesuai dengan Keputusan ini dan tanah yang tidak menjadi jalur
namun menjadi satu kesatuan dengan jalur yang bersangkutan.
BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal : 18 JULI 2000

MENTERI PERHUBUNGAN

ttd

AGUM GUMELAR, M.Sc.

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada :

1. Menteri Koordinator Bidang EKUIN;


2. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan;
3. Menteri Dalam Negeri;
4. Menteri Hukum dan Perundang-undangan;
5. Menteri Pertahanan;
6. Menteri Keuangan;
7. Sekretaris Negara;
8. KAPOLRI;
9. Gubernur Kepala Daerah Propinsi di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa;
10. Sekjen, Irjen, Dirjen Perhubungan Darat, Kabadan Litbang Perhubungan;
11. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan;
12. Direksi PT. (Persero) Kereta Api Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai