Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumor kulit merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

pertumbuhan sel-sel kulit yang tidak terkendali, dapat merusak jaringan di

sekitarnya dan mampu menyebar ke bagian tubuh yang lain. Tumor kulit

merupakan perubahan sel kulit abnormal yang ditandai dengan meningkatnya

proliferasi dan diferensiasi sel (Kumar, 2007). Tumor terjadi akibat

pertumbuhan/proliferasi dan disertai diferensiasi yang tinggi pada sel. Dalam

keadaan fisiologis, sistem pertumbuhan sel dalam individu diatur oleh sistem

keseimbangan yang meliputi apoptosis dan proliferasi. Sehingga apabila sistem

tersebut terganggu akan menyebabkan proliferasinya tidak terkendali dan

terbentuk tumor (Sudiana, 2008). Penyakit tumor kulit dapat dibagi menjadi 2

jenis yaitu tumor jinak (benigna tumor) dan tumor ganas (malignant tumor). Kulit

merupakan sistem organ yang kompleks, dimana tumor jinak maupun ganas bisa

timbul pada tiap bagian.Dewasa ini, insidensi tumor kulit di Indonesia mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Penyebab tumor kulit yang paling utama adalah

sinar ultraviolet (UV) dari matahari (Brown, 2005).Zat-zat imunomodulator yang

akan digunakan untuk terapi banyak terdapat pada tanaman obat (Abbas et al,

2005). Sarang semut mengandung senyawa aktif yang berkhasiat seperti

flavonoid, tanin, polifenol, tokoferol yang mempunyai Sifat antikanker dan

antioksidan dengan melindungi sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas,

sehingga mencegah proses inflamasi pada sel tubuh (Muhammad, 2011).

1
2

Pemberian ekstrak sarang semut dengan dosis bertingkat 4mg/hari,

8mg/hari, 16 mg/hari terbukti menurunkan aktifitas proliferasi dan meningkatkan

indeks apoptosis (Sumarno, 2010). adanya flavonoid dalam ekstrak, mampu

mengikat radikal bebas secara langsung oleh penambahan atom hidrogen (Engida

et al, 2013, Prochazkova et al, 2011).Penelitian aktivitas antikanker terhadap

karsinoma serviks pada tanaman sarang semut sudah dilakukan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2010 dan memberikan hasil yang

signifikan dalam membasmi sel kanker pada kultur sel HeLa dan MCM-B2

(Soeksmanto dkk, 2010; Triana Hertiani et al, 2010). Namun pengobatan

tradisional dengan menggunakan sarang semut belum banyak dibuktikan dan

diterapkan khasiatnya (Subroto dan Saputro, 2006).

Menurut Riset yang ada menyatakan bahwa penyakit tumor termasuk

dalam penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan persentase 5,7 persen

dari keseluruhan penduduk Indonesia yang meninggal (Riset Kesehatan Dasar

tahun 2007). Hal tersebut dibuktikan bahwa setiap 1000 orang akan terdapat

sekitar 4 penderita yang mengidap penyakit tumor. Dalam kurun waktu 10 tahun

(2005-2015) kejadian ini akan terus meningkat. insidensi terjadinya kanker kulit

di Indonesia berada pada urutan ketiga terbanyak setelah kanker leher rahim

(17%) dan kanker payudara (11%) (Soehartati, 2011).

Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman obat yang banyak digunakan

dalam pengobatan tradisional atau modern. Salah satunya adalah spesies sarang-

semut (Myrmecodia) Genus Myrmecodia. Myrmecodia ini berasal dari Asia

Tenggara dan diperluas hingga Queensland, Australia. Myrmecodiapendens


3

merupakan tanaman endemik yang ditemukan di Papua, Indonesia. tanaman ini

digunakan sebagai obat herbal alternatif untuk mengobati berbagai macam

penyakit salah satunya tumor (Hamzar dan Mizaton, 2012).

Untuk itu perlu dilakukan penelitian pengaruh ekstrak sarang semut

(Myrmecodia pedens) terhadap peningkatan volume sel tumor kulit pada mencit

strain BALB/c yang diinduksi 7,12 Dimethylbenz(a) Anthracene (DMBA)

sebagai inisiator dan TPA sebagai promotor tumor kulit.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Adakah pengaruh pemberian

ekstrak sarang semut (Myrmecodia pedens) terhadap volume sel tumor kulit

mencit strain BALB/c?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak sarang semut (Myrmecodia

pedens) terhadap volume sel tumor kulit mencit strain BALB/c.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui jumlah volume sel tumor kulit pada mencit strain BALB/c

antara kelompok yang tidak diberi ekstrak sarang semut dengan


4

kelompok yang diberi ekstrak sarang semut dengan dosis 4 mg/hari, 8

mg/hari, 16 mg/hari.

1.3.2.2. Mengetahui perbedaan volume sel tumor kulit mencit strain BALB/c

antara kelompok yang tidak diberi ekstrak sarang semut dengan

kelompok yang diberi ekstrak sarang semut dengan dosis 4 mg/hari, 8

mg/hari, 16 mg/hari.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan informasi sebagai bahan masukan dan dasar penelitian lebih

lanjut mengenai pengaruh pemberian ekstrak sarang semut (Myrmecodia pedens)

terhadap volume sel pada mencit strain BALB/c yang diinduksi DMBA dan TPA

1.4.2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi pada masyarakat luas mengenai manfaat dan

kegunaan ekstrak sarang semut (Myrmecodia pedens) sebagai pengobatan

tradisional pada terapi tumor kulit.


BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1. Volume Sel Tumor Kulit

Secara umum jumlah sel yang ada pada suatu jaringan merupakan fungsi

kumulatif antara tumbuhnya sel baru dan keluarnya sel yang ada pada populasi.

Tumbuhnya sel baru dalam suatu jaringan sebagian besar ditentukan oleh

kecepatan proliferasinya, sementara sel dapat meninggalkan populasinya karena

kematian sel atau berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Oleh karena itu,

meningkatnya jumlah sel dalam populasi tertentu dapat terjadi karena

peningkatan proliferasi ataupun karena penurunan kematian atau diferensiasi sel

(Kumar et al., 2007).

Pada umumnya sel kanker tumbuh binear, secara eksponensial dari 1 sel

menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, dan seterusnya menjadi 2n sel sampai terbentuk

gerombolan sel berupa tumor. Makin besar tumor tersebut seakan-akan makin

cepat kanker itu tumbuh. Setelah mencapai besar tertentu pertumbuhan sel kanker

itu berubah dari tumbuh secara eksponensial menjadi secara Gompertz, yaitu

pertumbuhannya menjadi lambat dengan makin bertambah besarnya tumor.

Pertumbuhan yang lambat tersebut terjadi karena keterbatasan pasokan

darah, ruang tempat tumbuh dan daya imunitas tubuh. Besar rata-rata sel kanker

ialah 10 mμ dan tumor sebesar 1cm3 terdiri dari 109 (1 milyar) sel, sebesar 1dm3

terdiri dari 1012. Dengan beban sel sebanyak 1 trilyun (1012) sel atau setelah

menjalani 40 kali ganda sel kanker telah dapat membunuh penderita dan tidak ada

5
6

orang yang tahan hidup bila beban sel kanker itu telah mencapai jumlah 1013 sel

atau setelah sel itu menjalani 44-45 kali ganda. Karena kecepatan tumbuh kanker

tidak seimbang dengan kecepatan pasokan darah maka ada sebagian sel kanker

akan tidak tumbuh dan mengalami nekrosis (Sukardja, 2000).

2.1.1. Patofisiologi

Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari

perkembangan kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut

transformasi malignan (Ignatavicius & Workman, 2006). Transformasi sel

berlangsung melalui banyak tahap yang berasal dari satu sel yang berkembang

biak. Menurut Ignatavicius dan Workman (2006) terdapat empat tahap

karsinogenesis, yaitu:


1. Tahap inisiasi

Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing

sel menjadi ganas.Perubahan ini disebabkan oleh suatu karsinogen berupa bahan

kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang berperan sebagai organ inisiator dan

bereaksi dengan DNA yang menyebabkan DNA pecah dan mengalami hambatan

perbaikan DNA. Kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut

promotor menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen. Kerusakan

pada tahap ini masih memungkinkan untuk dipulihkan atau sebaliknya berlanjut

menjadi mutasi genetik. Pada proses berikutnya, mutasi genetik berlanjut secara

perlahan menuju keganasan. Tahap inisiasi yang ireversibel terjadi jika telah

melewati satu siklus pembelahan sel.


7

2. Tahap promosi

Pada tahap ini, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah

menjadi ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara faktor kedua

dengan sel yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen

penyebabnya disebut karsinogen komplit karena melengkapi tahap inisiasi dengan

tahap promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi genetik dalam

sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan pasangan gen dan

merubah pola komunikasi antar sel.

3. Tahap Progresi

Setelah tumor mencapai ukuran 1 cm, difusi nutrisi kedalam sel tidak efisien

lagi sehingga tumor membentuk Tumor Angiogenesis Factor (TAF) yang

mendorong pembentukan kapiler dan pembuluh darah yang membentuk cabang

baru kedalam tumor. Tahap ini melibatkan perubahan morfologi dan fenotif dalam

sel yang menunjukkan peningkatan perilaku keganasan seperti invasi terhadap

jaringan sekitarnya dan melakukan metastase ke bagian tubuh lain yang jauh.

4. Metastasis

Metastasis merupakan kemampuan sel untuk menyebar ke organ lain yang

jauh dari tempat asalnya yang dapat terjadi melalui perluasan sel ke jaringan

sekitarnya, melakukan penetrasi kedalam pembuluh darah, melepaskan sel tumor,

dan melakukan invasi ke jaringan sekitar (Ignatavicius & Workman, 2006).

Perjalanan penyakit kanker dapat dibagi berdasarkan luasnya atau stadium

penyakit. Kanker dapat diklasifikasikan menurut lingkungan biologik, tempat

secara anatomi, dan tingkat diferensiasinya (Ignatavicius & Workman, 2006).


8

1. Grading

Grading menunjukkan derajat keganasan sel kanker yang dibuat untuk

memperkirakan agresivitas neoplasma dengan menilai derajat

perbedaan sel tumor dan banyaknya jumlah sel tumor.Penilaian

grading ini bermakna dalam menilai prognosis dan terapi yang tepat.

Sistem standar dalam menentukan grade tumor malignan adalah

sebagai berikut:

G0 : grade tidak dapat ditentukan; jaringan normal.

G1 : sel tumor berdiferensiasi dengan baik; hanya sedikit

penyimpangan dari sel induk/ sel normal. Grade ini dianggap

perubahan malignan derajat rendah.

G2 : sel tumor berdiferensiasi sedang; nampak perubahan struktur

tetapi masih memiliki beberapa karakteristik sel normal. Sel

tumor ini bersifat lebih ganas dibandingkan G1.

G3 : sel tumor berdiferensiasi buruk; perubahan struktur sangat

menyolok dibandingkan dengan jaringan induknya, tetapi

jaringan induk masih dapat dibedakan.

G4 : sel tumor berdiferensiasi buruk dan sangat anaplastik; sama

sekali tidak ada kesamaan dengan jaringan induknya,

sehingga penentuan jaringan induk sulit dilakukan.

2. Staging

Staging menentukan ketepatan lokasi kanker dan derajat

metastasisnya saat didiagnosa. Staging menggambarkan stadium atau


9

tingkatan kanker yang didasarkan pada ukuran lesi primer, penyebaran

ke kelenjar limfe dan ada atau tidaknya metastase melintasi jalur darah

(Kumar et al , 2005). Stadium kanker juga akan mempengaruhi pilihan

terapi.

Cara yang paling banyak dianut saat ini dalam menentukan

stadium kanker adalah berdasarkan klasifikasi sistim TNM.Pada

sistem TNM dinilai tiga faktor utama yaitu Tumor size (T) atau ukuran

tumor, Node (N) atau kelenjar getah bening regional dan Metastase

(M) atau penyebaran jauh. Klasifikasi sistem TNM ini sangat

bervariasi tergantung jenis kankernya, namun pada prinsipnya tetap

sama. T1 sampai T4 ditentukan sesuai perubahan ukuran sel kanker

yang bertambah besar. Adapun klasifikasi tersebut adalah sebagai

berikut:

a. T (Tumor size), ukuran tumor:

Tx : tumor primer tidak dapat ditaksir

T0 : tidak ditemukan tumor primer

Tis : karsinoma in situ

T1, T2, T3, T4 : dari T1 sampai T4 tumor primer makin besar

dan makin jauh infiltrasi di jaringan dan alat

yang berdekatan.

b. N (Node), kelenjar limfe regional :

Nx : kelenjar limfe tidak dapat diperiksa

N0 : tidak terdapat metastasis pada kelenjar limfe


10

regional

N1, N2, N3 : menunjukkan banyaknya kelenjar regional yang

terlibat, dan ada / tidaknya infiltrasi di alat dan

struktur yang berdekatan

c. M (Metastase), penyebaran jauh :

M0 : metastasis belum dapat dinilai

M1 : metastasis ke organ jauh (di luar kelenjar getah

bening regional)

2.2. Siklus Sel

Peningkatan jumlah sel dalam populasi tertentu dapat terjadi karena

peningkatan proliferasi, penurunan apoptosis atau diferensiasi sel (Hartono,

2009). Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat

dan fase yang sudah ditentukan yang disebut siklus sel (Kumar et al., 2007).

Siklus sel terdiri dari:

1. Fase G1 (Gap 1)

Merupakan fase terpanjang setelah mengalami mitosis dan

persiapan sel untuk sintesis DNA.Sel tumbuh membesar dan

berfungsi normal dan sebagai kontrol mitosis selanjutnya.

Secara molekuler dalam fase G1 terjadi aktivasi kompleks

Cdk4/6-cyclin D. Pada fase pertengahan G1 tepatnya pada mid-G1,

cyclin D-Cdk4/6 aktif menginduksi sintesis cyclin E. interaksi cyclin

E-Cdk2 menginisiasi terjadinya replikasi oleh DNA pada fase S.


11

Akan tetapi sesaat sebelum memasuki fase S (fase G1 akhir) seluruh

signal akan diperiksa melalui area checkpoint restriction point atau

molecular gate (Kumar et al., 2007).

2. Fase S (Sintesis) merupakan fase replikasi DNA sehingga terbentuk

2 kromatid yang identik. Di fase ini terdapat 2 fase penting yaitu

transkripsi dan translasi.

3. Fase G2 (Gap 2) antara fase S dan Mitosis. Persiapan mitosis, fase

ini lebih pendek dibanding G1. Pada saat ini sentriol/sentrosom

mengalami duplikasi. Pada saat ini sel mengecek hasil sintesis potein

yang telah dibuat pada fase sintesis. Bila ada kerusakan DNA maka

akan diperbaiki oleh gen DNA polimerase atau diprogram apoptosis.

Setelah replikasi berjalan normal dan DNA telah terduplikasi,

maka siklus memasuki fase G2 dan terjadi sintesis protein untuk

mitosis.Peranan cyclin B-Cdk1 penting dalam mempromosikan fase

G2 ke dalam fase M, dengan sebelumnya melewati G2 checkpoint

(Kumar et al., 2007).

4. Fase mitosis.

Fase ini juga terdiri dari 4 fase, yaitu fase profase,

metafase, anafase dan telofase

a. Profase

DNA bersama dengan protein pendukungnya mengubah

bentuk DNA untaian panjang menjadi bentuk yang

terkondensasi seperti bentuk X. Kromatid mengalami


12

kondensasi menjadi lebih pendek dan lebih padat sehingga

terbentuk kromosom.Sentrosom yang telah menduplikasi, mulai

memproduksi mikrotubulus. Mikrotubulus terus diproduksi ke

segala arah, sebagian mikrotubulus dari kutub yang berlawanan

bertemu dan berikatan dan mendorong sentrosom bergerak ke

kutub sel. Kromosom terus mengalami kondensasi. Membran

nukleus menghilang, pecah menjadi fragmen kecil sehingga

kromosom terapung di dalam sitoplasma setelah itu nucleolus

menghilang.Setiap kromosom membentuk kinetokor pada setiap

sisi sentromer.Sentromer merupakan komplek protein, tempat

melekatnya mikrotubulus pada kromosom. Kinetokor memiliki

molekular motor yang menggunakan ATP untuk menarik

mikrotubulus. Mikrotubulus terus memanjang sehingga ujung

mikrotubulus bertemu dengan mikrotubulus dari kutub lain

menjadi mikrotubulus polar membentuk mitotic spindle.

Mikrotubulus yang menempel pada kinetokor disebut

mikrotubulus kinetokor.

b. Metafase

Kromosom akan berjajar di garis tengah gelondong

(equatorial plane), mikrotubulus kinetokor saling tarik menarik.

Setiap kinetokor harus berhubungan dengan mikrotubulus. Bila

ada yang terlewat, kinetokor akan memberikan sinyal sehingga


13

proses mitosis tidak berlanjut ke tahap selanjutnya (mitotic

spindle check point).

c. Anafase

Pada fase ini terjadi 2 peristiwa:

1) Protein yang mengikat 2 kromatid terputus.

2) Mikrotubulus kinetokor memendek menarik kromatid

kearah kutub sel. Mikrotubulus polar terus memanjang

untuk persiapan sitokinesis. Pada akhir anafase terjadi

peristiwa sitokinesis yaitu: akhir dari mitosis dimana terjadi

pembagian sitoplasma dan mulai terbentuk cleavage furrow

di tempat metafase plate akibat pengerutan ring yang

terbentuk oleh filamen aktin dan miosin. Cleavage furrow

semakin jelas sampai kedua sitoplasma dan sel terbagi

sempurna.

d. Telofase

Pada fase ini mikrotubulus kinetokor menghilang,

mikrotubulus polar terus memanjang untuk persiapan

sitokinesis.Kromosom mencapai kutub sel kemudian mulai

membentuk membran inti dengan menggunakan fragmen

membran inti sel induk yang kemudian menyelubungi

kromosom.Selanjutnya muncul nukleolus dan kromosom

mengalami penguraian (Kumar et al., 2007).


14

Fase sintesis, fase G1 dan fase G2 disebut fase interfase

yang merupakan 90% dari siklus sel. (Kumar et al., 2007)

Gambar 2.1. Siklus Sel (Kumar et al., 2007)

2.3. Proliferasi Sel Normal

Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat

dan fase yang sudah ditentikan yang disebut siklus sel. Masuk dan berkembangya

sel melalui siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas

suatu kelompok protein yang disebut cyclin. Pada tahapan tertentu siklus sel,

kadar berbagai cyclin meningkat setelah didegradasi dengan cepat saat sel

bergerak melalui siklus tersebut. Cyclin menjalankan fungsi regulsinya melalui

pembentukan kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi) protein yang

disintesis secara konstitutif yang disebut kinase yang bergantung cyclin (CDK,

cyclin-dependent kinases). Kombinasi yang berbeda dari cyclin dan CDK


15

berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini

menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat protein

terpilih (proteinfosforilat kinase; protein kontraregulasi yang disebut protein

defosforilat fosfatase). Fosforilasi dapat menimbulkan perubahan konformasi

bergantung pada proteinnya yang secara potensial dapat:

1. Mengaktivasi atau menginaktivasi suatu aktivitas enzimatik

2. Menginduksi atau mengganggu interaksi protein

3. Menginduksi atau menghambat pengikatan protein pada DNA

4. Menginduksi atau mencegah katabolisme protein. (Kumar et al.,

2007).

Contoh spesifik adalah CDK1, yang mengendalikan transisi penting dari

G2 menjadi M. Pada saat sel masuk ke dalam G2, cyclin B disintesis, dan berikatan

pada CDK1. Kompleks cyclin B-CDK1 ini diaktivasi melalui fosforilasi,

kemudian kinase aktif memfosforilasi berbagai protein yang terlibat dalam

mitosis, meliputi protein yang telibat dalam replikasi DNA, depolimerisasi lapisan

inti sel, dan pembentukan spindle mitosis. Setelah pembelahan sel, cyclin B

dipecah melalui jalur proteasom yang tersebar luas. Sel tidak akan mengalami

mitosis lebih lanjut sampai terdapat rangsang pertumbuhan dan sintesis cyclin

yang baru (Kumar et al., 2007).

Pertumbuhan dan differensiasi sel setidaknya melibatkan dua jenis sinyal

yang bekerja secara bersamaan. Sinyal pertama berasal dari molekul terlarut,

seperti faktor pertumbuhan dan penghambat pertumbuhan polipeptida. Sinyal


16

yang kedua melibatkan unsur tidak terlarut pada ekstra seluler matrik yang

berintegrasi dengan integrin sel. (Sarjadi, 2000).

Selain dari sintesis dan pemecahan cyclin, kompleks cyclin-CDK juga

diatur melalui pengikatan inhibitor CDK. Kompleks ini sangat penting dalam

mengatur tahapan siklus sel (G1  S dan G2 M), yaitu tahapan saat memeriksa

bahwa DNA-nya telah direplikasi dengan cukup atau semua kesalahan telah

dipulihkan sebelum bergerak lebih lanjut. Kegagalan pemantauan secara memadai

terhadap keakuratan replikasi DNA akan menyebabkan akumulasi mutasi dan

transformasi ganas yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, sebagai contoh, pada

saat DNA dirusak, protein suppressor tumor TP53 akan distabilkan dan

menginduksi transkripsi CDKN1A (dulu p21), suatu inhibitor CDK. Inhibitor ini

menahan sel dalam fase G1 atau G2 sampai DNA dapat diperbaiki; pada tahapan

tersebut, kadar TP53 menurun, CDKN1A berkurang, dan sel dapat melanjutkan

tahapan. Jika kerusakan DNA terlalu luas, TP53 akan memulai suatu kaskade

peristiwa untuk meyakinkan sel agar melakukan bunuh diri (Kumar et al., 2007).

2.4. Apoptosis

Apoptosis adalah jalur “bunuh diri” sel bukan “pembunuhan” sel yang

terjadi pada kematian sel nekrotik. Apoptosis merupakan proses yang aktif dan

bermanfaat terutama pada proliferasi dan diferensiasi sel (Hartono, 2009).

Apoptosis diinduksi oleh dua jalur utama yaitu jalur intrinsik dan

ekstrinsik.Jalur ekstrinsik diaktifkan saat ligan spesifik (flavonoid) berikatan

dengan reseptor kematian sel yang berada di permukaan sel, seperti reseptor
17

tumor necrosis factor (TNF), reseptor TNF-related apoptosis-inducing ligand

(TRAIL) dan FAS receptor (APO-1 atau CD95). Struktur ini lalu berikatan

dengan procaspase-8 untuk membentuk Death-Inducing Signaling Complex

(DISC). DISC mengakibatkan teraktifasinya caspase-8. Caspase-8 dapat

mengaktifkan Bid, suatu protein proapoptosis (Claudio et al., 2007).

Jalur intrinsik diawali dari mitokondria yang disebabkan stimulus

internal seperti kerusakan DNA dan stress oksidatif. Aktivasi jalur ini diikuti

translokasi Sitokrom c dan Apoptotic protease activating factor 1 (Apaf-1),

dikeluarkan dari mitokondria dan berfungsi sebagai faktor pro-apoptotik.

(Hartono, 2009).

Kedua jalur diatas menyebabkan aktivasi dari caspase-3 yang berfungsi

sebagai eksekutor (Hartono, 2009).

2.5. Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendens)

2.5.1. Biologi

Tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens) merupakan salah satu

tumbuhan epifit dari Hydnophytinae (Rubiaceae) yang dapat berasosiasi dengan

semut. Tanaman ini bersifat epifit, artinya tanaman yang menempel pada tanaman

lain, tetapi tidak hidup secara parasit pada inangnya, hanya sebagai tempat

menempel. Genus tanaman sarang semut dibagi menjadi beberapa spesies

berdasarkan struktur umbinya. Ditemukan sebanyak 26 spesies tanaman sarang

semut. Semua spesies dari tanaman tersebut memiliki batang menggelembung dan

berongga-rongga serta dihuni oleh semut. Tanaman ini dapat ditanam dengan
18

mudah tanpa adanya semut dan tetap membentuk batang menggelembung dan

berongga-rongga secara normal

2.5.2. Taksonomi

Gambar 2.2. Tanaman Sarang semut (Subroto dan Saputro, 2006).

Tanaman sarang semut diklasifikasikan dalam tingkat taksonomi sebagai

berikut:

Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia
Spesies : Myrmecodia pendens Merr. & Perry
(Subroto dan Saputro, 2006).

2.5.3. Kandungan Tanaman Sarang Semut

Uji penapisan kimia dari tumbuhan sarang semut menunjukkan bahwa

tanaman ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid, tanin

dan tokoferol. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa
19

fenolik yang banyak merupakan pigmen tanaman. Saat ini lebih dari 6.000

senyawa yang berbeda masuk ke dalam golongan flavonoid. Flavonoid

merupakan bagian penting dari diet manusia karena banyak manfaatnya bagi

kesehatan. Fungsi kebanyakan flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai

antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid

antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis

dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), antiinflamasi, mencegah

keropos tulang, dan sebagai antibiotik. Flavonoid dapat berperan secara langsung

sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri

atau virus. Fungsi flavonoid sebagai antivirus telah banyak dipublikasikan,

termasuk untuk virus HIV (AIDS) dan virus herpes. Flavonoid juga dilaporkan

berperan dalam pencegahan dan pengobatan beberapa penyakit lain seperti asma,

katarak, diabetes, rematik, migren, wasir, dan periodontitis (radang jaringan ikat

penyangga akar gigi). Penelitian-penelitian mutakhir telah mengungkap fungsi-

fungsi lain dari flavonoid, tidak saja untuk pencegahan, tetapi juga untuk

pengobatan kanker (Subroto dan Saputro, 2006).

2.5.4 Kandungan Kimia

2.5.4.1. Flavonoid

Proses apoptosis pada sel-sel kanker dapat dihambat oleh flavonoid yang

merupakan antioksidan alam. Flavonoid akan menghambat proliferasi sel kanker

dengan jalan menghambat enzim MAPK (Mitogen Activeted Protein Kinase)

(Triana Hertiani et al, 2010). Flavonoid juga melindungi struktur sel, peningkatan

efektivitas vitamin C, mencegah peradangan (anti-inflamasi), mencegah


20

pengeroposan tulang, dan sebagai antibiotik. Flavonoid juga mampu sebagai anti

virus HIV (AIDS) dan virus herpes. Beberapa penelitian juga berhasil

membuktikan fungsi-fungsi lain dari flavonoid tidak hanya untuk pencegahan

tetapi juga untuk pengobatan kanker. Mekanisme kerja flavonoid yang sudah

terungkap seperti inaktivasi karsinogen, antiproliferasi, penghambatan siklus sel,

induksi apoptosis, diferensiasi, inhibisi angiogenesis, dan pembalikan resistensi

multi-obat atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut (Subroto dan

Saputro, 2006).

2.5.4.2. Tanin

Protein dapat diikat dan diendapkan oleh tannin yang merupakan

polifenol tanaman rasa pahit. Umumnya tanin digunakan untuk penyamakan kulit

dan aplikasinya di bidang pengobatan seperti pengobatan diare, hemostatik

(menghentikan perdarahan), dan wasir (Subroto dan Saputro, 2006).

2.5.4.3. Polifenol

Polifenol umumnya merupakan senyawa yang memiliki sifat sebagai

antioksidan sehingga mampu menghambat aktivasi karsinogen (Ren W, dkk.

2003). Polifenol dalam tanaman obat dilaporkan mempunyai kemampuan untuk

menghambat aktivasi Nuclear Faktor Kappa B (NF-κB), suatu transcription

faktor yang berperan penting dalam regulasi molekul pembentukan protein anti

apoptosis. Polyphenol juga akan mempunyai efek menginduksi terjadinya

apoptosis melalui jalur TNF-α, di mana apoptosis sel akan dimulai dari Fas /

TNF-RI receptor (Hiroko D et al., 2002).


21

2.5.4.4. Tokoferol

Tokoferol adalah salah satu antioksidan penting yang bersifat larut dalam

lemak, termasuk di dalamnya adalah α-, β-, γ-, δ-tokoferol. Alfa-tokoferol dapat

menghambat produksi protein kinase C dan kolagenase, kedua enzim tersebut

berperan penting dalam memfasilitasi pertumbuhan sel kanker. Gamma-tokoferol

juga berperan dalam mengurangi kerusakan DNA yang disebabkan oleh ROS.

Alfa-tokoferol dan Gamma-tokoferol dalam saluran cerna dapat mengurangi

risiko terjadinya kanker kolorektal dengan cara meningkatkan status antioksidan

(Kasmanto, 2010).

2.6. Pengaruh DMBA dan TPA dengan Pertumbuhan Sel Tumor Kulit

Menumbuhkan dan mengembangkan sel tumor kulit mencit dapat

dilakukan dengan cara menginduksi kulit mencit dengan memberikan bahan kimia

secara topikal. Bahan kimia yang digunakan adalah 7,12-dimetilbenz [a] antrasena

(DMBA) dan TPA.DMBA merupakan salah satu zat karsinogen kuat dan sebagai

immunosupressor, sehingga DMBA berfungsi sebagai inisiator tumor. Selain

DMBA, TPA memegang peranan penting dalam proses promosi sel tumor.

Dengan adanya pengaruh dari DMBA dan TPA maka tumor kulit dapat

berkembang kearah papiloma jinak yang mengalami perubahan kearah SCC

(Squamous Cell Carcinoma), Dengan demikian, dua tahap karsinogenesis tersebut

dapat digunakan untuk memantau perkembangan suatu kanker (Miyata et al,

2001).
22

2.7. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sarang Semut (Myrmecodia pendens)

terhadap Volume Tumor Kulit

Tumor terjadi akibat adanya perubahan perilaku sel abnormal, yaitu sel

mempunyai kemampuan pertumbuhan/proliferasi dan disertai diferensiasi yang

tinggi. Dalam keadaan fisiologis, sistem pertumbuhan sel dalam individu diatur

oleh sistem keseimbangan yang meliputi apoptosis dan proliferasi. Apoptosis

diinduksi oleh dua jalur utama yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur ekstrinsik

diaktifkan saat ligan spesifik (flavonoid) berikatan dengan reseptor kematian sel

yang berada di permukaan sel, seperti reseptor tumor necrosis factor (TNF),

reseptor TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) dan fas receptor (APO-

1 atau CD95). Fas receptor akan aktif setelah berikatan dengan Fas ligand lalu

mengalami trimerisasi dan menyebabkan rekrutmen dari Fas Associated Death

Domain (FADD). Struktur ini lalu berikatan dengan procaspase-8 untuk

membentuk Death-Inducing Signaling Complex(DISC). DISC mengakibatkan

teraktifasinya caspase-8. Caspase-8 dapat mengaktifkan protein proapoptosis

(Claudio et al., 2007).

Jalur intrinsik diawali dari mitokondria yang disebabkan stimulus

internal seperti kerusakan DNA dan stress oksidatif. Aktivasi jalur ini diikuti

translokasi Sitokrom c dan Apoptotic protease activating factor 1 (Apaf-1),

dikeluarkan dari mitokondria dan berfungsi sebagai faktor pro-apoptotik.

Sitokrom c, Apaf-1, dATP dan procaspase-9 membentuk komplek yang disebut

apoptosom yang akan mengaktifkan caspase-9 (Hartono, 2009).


23

Kedua jalur diatas menyebabkan aktivasi dari caspase-3 yang berfungsi

sebagai eksekutor. Aktivitas caspase dikontrol oleh inhibitor of apoptosis protein

(IAPs) family. Diantara molekul yang sangat berperan dalam mengatur apoptosis

yaitu protein Bcl-2 famili, yang terdiri dari kelompok protein pro-apoptotis

(misalnya Bax dan Bak) dan protein anti-apoptosis (misalnya, Bcl-2, Bcl-Xl, Bcl-

W, dan Mcl-1). Bax dan Bak dibutuhkan untuk sinyal apoptosis. Pada sel yang

sehat, Bak dieliminasi oleh Mcl-1 dan Bcl-Xl pada membran selular, Sedangkan

Bax di sitosol terbentuk laten dan memerlukan pengaktifan dan translokasi ke

membran dimana dia juga dieliminasi oleh anti-apoptotic seperti Bcl-2 (Hartono,

2009).
24

2.8. Kerangka Teori

Ekstrak sarang semut

Tokoferol Flavonoid Tanin Polifenol

Sel

Cyclin D-CDK4/6 Cyclin B-CDK1 Ekstrisik Instrisik


dan Cyclin E-CDK2
FAS Mitokorida

Transisi Transisi
G1 ke S G2 ke M FADD Bax

Caspase 8 Cyt-C

Apaf-1

Caspase 3

Poliferasi Apoptosis

Volume sel Tumor Kulit


25

2.9. Kerangka Konsep

Ekstrak sarang semut Volume sel tumor


kulit

2.10. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian ekstrak

umbi tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens) terhadap volume sel tumor

kulit.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental

laboratorium dengan rancangan “randomized post test only control group design“.

3.2. Variabel Dan Definisi Operasional

3.2.1. Variabel penelitian

3.2.1.1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak sarang semut

(Myrmecodia pendens).

3.2.1.2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah volume tumor kulit

mencit strain BALB/c.

3.2.2. Definisi Operasional

3.2.2.1. Ekstrak sarang semut

Ekstrak sarang semut adalah ekstrak yang dibuat dari 149 g ekstrak

sarang semut kering menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%

sebanyak 1,2 liter, di dapatkan hasil 6,9 g ekstrak kental sarang semut. Dosis yang

diberikan terdiri dari 3 dosis bertingkat yaitu 4 mg/hari, 8 mg/hari, 16 mg/hari

diberikan dalam 0,2 ml aquadest secara peroral dengan sonde setiap hari selama 4

minggu pada mencit jantan strain BALB/c.

Skala : rasio

26
27

3.2.2.2. Volume Tumor

Volume tumor diukur pada hari ke 24, menggunakan micrometer 0-

25x0.001 mm, Volume tumoradalah volume yang diukur dengan menggunakan

rumus : (Cox, 2003).

R = P x L2 x 0,52

Keterangan :

R = volume tumor (mm3)

P = Panjang (mm)

L = Lebar (mm)

Skala data: Rasio.

3.3. Populasi Dan Sampel

3.3.1. Populasi

3.3.1.1. Populasi target

Semua mencit strain BALB/c kelamin jantan.

3.3.1.2. Populasi terjangkau

Semua mencit strain BALB/c bertumor yang dikembangkan di

Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas

Gadjah Mada.

3.3.2. Sampel

3.3.2.1. Besar sampel


28

Besar sampel ideal menurut kriteria WHO (2000)minimal 5 ekor atau

lebih. Dalam penelitian ini jumlah mencit strain BALB/c semua kelompok uji

secara keseluruhan adalah 24 ekor. Seluruh mencit dibagi dalam 4 kelompok.

3.3.2.2. Kriteria inklusi

1. Mencit strain jantan BALB/c.

2. Sehat dari pengamatan luar meliputi aktif bergerak, tidak cacat,

nafsu makan normal dan tidak terdapat luka luar.

3. Umur 3 bulan.

4. Berat 15-25 gram.

3.3.2.3. Kriteria eklusi

1. Tidak tumbuh tumor setelah dilakukan induksi.

2. Selama induksi dan perlakuan mencit tampak sakit (gerak tidak

aktif).

3.4. Instrumen Dan Bahan Penelitian

3.4.1. Alat untuk pembuatan ekstrak sarang semut

1. Maserator

2. Corong Buchner

3. Kertas saring

4. Tabung reaksi

5. Rotavapor

6. Lemari es

7. Freeze drying
29

3.4.2. Bahan untuk pembuatan ekstrak sarang semut

1. sarang semut

2. quadest

3. Etanol 96%

3.4.3. Alat untuk induksi DMBA dan TPA

1. Alat pengukur kaliper

2. Alat pemangkas rambut listrik

3. Pinset anatomi 10 cm

4. Alas fiksasi

3.4.4. Alat untuk pengamatan dan dokumentasi sediaan

1. camera Iphone 5 + SD Card

2. Unit Personal Computer Intel Pentium R Processor

3.4.5. Bahan untuk induksi DMBA dan TPA

1. Reagen 12 - O - tetradecanoylphorbol 13 - asetat

2. Etanol 96%

3. 7,12 - dimetilbenz [a ] antrasena ( DMBA )

4. Aseton

3.4.6. Alat untuk mengukur volume tumor

1. Micrometer 0-25x0.001 mm
30

3.5. Cara Penelitian

3.5.1. Cara pembuatan ekstrak sarang semut

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

maserasi. Metode maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk kering bahan

dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan pada ekstrak ini adalah

etanol 96%. Umbi tanaman kering dengan berat 149 gram dipotong kecil-kecil

lalu dihaluskan dengan blender dan dihasilkan serbuk kering. Sebanyak 149 gram

serbuk kering dimasukkan ke dalam maserator berisi 1,2 L ethanol 96% lalu

ditutup dan dibiarkan selama 3 hari. Setelah itu maserat disaring dengan corong

Buchner dan kertas saring dan dipindahkan dari endapan dengan hati-hati.

Maserat diuapkan dengan rotavapor dengan suhu 50oC sehingga diperoleh ekstrak

kental (dalam bentuk pasta). Lalu dimasukan dalam freeze drying sampai

mengering.

3.5.2. Perhitungan Dosis Ekstrak Sarang Semut

Dosis ekstrak sarang semut yang digunakan adalah dosis dengan konversi

dosis lazim ekstrak umbi tanaman sarang semut untuk manusia dewasa pada obat

ekstak sarang semut dalam bentuk kapsul terhadap dosis mencit dengan bobot 20

gram. Dosis lazim untuk manusia dewasa tersebut adalah 3 kali 1-2 kapsul perhari

dimana tiap kapsul mengandung tanaman sarang semut sebesar 500 mg. Sehingga

dosis tanaman tersebut perhari adalah sebesar 1500 -3000 mg. Faktor konversi

manusia terhadap mencit 20 gram adalah 0,0026 (Laurence & Bacharach, 1964).

Perhitungan :

Ekstrak sarang semut 1500-3000 mg


31

Dosis ekstrak sarang semut untuk mencit 20 gram adalah

= 3000 mg × 0,0026

= 7,8 mg/hari dibulatkan menjadi 8 mg/hari

Untuk penetapan dosis ekstrak sarang semut selanjutnya

menggunakan setengahnya dan kelipatan dua, maka didapatkan dosis

berturut-turut ialah 4 mg/hari, 8 mg/hari, dan 16 mg/hari.

3.5.3. Prosedur induksi DMBA dan TPA

1. Mencukur bersih rambut mencit area interscapular dengan ukuran 1,5

x 1,5 cm.

2. Induksi DMBA secara topikal dengan dosis 400 nmol (0,1 mg), yang

dilarutkan dalam 0,4 ml reagen aseton per ekor mencit ke daerah yang

telah dipotong rambutnya.

3. Induksi DMBA dilakukan setiap hari selama 2 minggu.

4. Setelah dua minggu, berikan induksi TPA pengolesan 12-0-

tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) secara topikal pada regio

interscapular dengan dosis 1,7 nmol (0,001 mg) dalam 0,1 ml aceton

per ekor mencit 2 x seminggu selama 6 minggu

5. Pemantauan klinis tumor harus dievaluasi oleh pengamat dengan

inspeksi visual.

6. Evaluasi mencit setiap minggunya. Hitung tumor yang teraba sampai

diameter 1 mm atau lebih besar. (Girardi et al., 2001).


32

3.5.4. Pemberian Perlakuan

1. Dua puluh ekor mencit strain BALB/c jantan berusia 3 bulan dengan

berat badan 15-25 gram dikelompokan dalam 4 kelompok masing –

masing 6 ekor.

2. Kemudian perlakuan diberikan selama 6 minggu di LPPT UGM pada

masing-masing kelompok sebagai berikut :

Kelompok 1 (K-)

Terdiri dari 6 ekor mencit bertumor yang diberi pakan standar dan

minum aquadest selama 2 minggu sebagai kontrol.

Kelompok 2

Terdiri dari 6 ekor mencit bertumor yang mendapatkan pakan standar

dan minum aquadest dan perlakuan pemberian ekstrak sarang semut 4

mg/hari selama 2 minggu.

Kelompok 3

Terdiri dari 6 ekor mencit bertumor yang mendapatkan pakan standar

dan minum aquadest dan perlakuan pemberian ekstrak sarang semut 8

mg/hari selama 2 minggu.

Kelompok 4

Terdiri dari 6 ekor mencit bertumor yang mendapatkan pakan standar

dan minum aquadest dan perlakuan pemberian ekstrak sarang semut

16 mg/hari selama 2 minggu.

3. Dilanjutkan dengan induksi TPA dan pemberian ekstrak sarang semut

di LPPT UGM, dilakukan induksi setiap hari selama 14 hari.


33

3.5.5. Pengukuran Volume Sel Tumor

Mencit diterminasi menggunakan cairan klorofom yang dibasahi pada

kapas dalam tabung bejana, mencit dimasukan dalam bejana yang bagian atasnya

ditutup dengan alumunium foil selama 30 sampai 60 detik. Mencit diletakan di

atas Styrofoam dan difiksasi dengan jarum pentul pada kedua kaki dan tangan.

Lalu diukur dengan micrometer dengan mengukur panjang dan lebar.

Volume Tumor adalah volume yang diukur dengan menggunakan rumus

: (Cox, 2003).

R = P x L2 x 0,52

Keterangan :

R = volume tumor (mm3)

P = Panjang (mm)

L = Lebar (mm)

3.6. Tempat dan Waktu

3.6.1. Tempat

Tempat pembuatan ekstrak umbi tanaman sarang semut dilakukan di

Laboratorium Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Semarang. Tempat penelitian dan perlakuan pada hewan coba di Laboratorium

Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada selama 6

minggu untuk induksi DMBA dan TPA. Tempat pengukuran volume tumor kulit

bertempat di Laboratorium biologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan

Agung Semarang.
34

3.6.2. Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan desember - januari

3.7. Analisis Data

Analisis data meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Kemudian

dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro Wilks, dan uji

homogenitas varian data dengan menggunakan uji Levene test. Didapatkan hasil

distribusi data tidak normal dan varian data homogen dilanjutkan untukuji

hipotesis dengan uji Kruskal wallis dilanjutkan dengan uji mann whitney untuk

mengetahui kelompok mana saja yang memiliki perbedaan bermakna.


35

3.8. Alur Kerja Penelitian

24 ekor mencit BALB/c diberi ransum pakan


standart dan minuman secara ad libitum selama 1
minggu

Randomisasi

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4


6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit

Minum aquades Minum aquades Minum aquades Minum aquades


+ + + +
pakan standar pakan standar pakan standar pakan standar
+ + + +
Induksi DMBA Induksi DMBA dan Induksi DMBA dan Induksi DMBA dan
selama 2 minggu ekstrak umbi ekstrak umbi tanaman ekstrak umbi tanaman
tanaman sarang sarang semut 8 sarang semut 16mg/hari
semut 4 mg/hari mg/hari selama 2 minggu
selama 2 minggu selama 2 minggu

Minum aquades Minum aquades Minum aquades Minum aquades


+ + + +
pakan99
standar pakan standar pakan standar pakan standar
+ + + +
Induksi TPA Induksi TPA dan Induksi TPA dan Induksi TPA dan
selama 2 ekstrak sarang semut ekstrak sarang semut ekstrak sarang semut
minggu 4 mg/hari selama 2 8 mg/hari selama 2 16 mg/hari selama 2
minggu minggu minggu

Terminasi

99
Pemeriksaan makroskopis volume tumor kulit
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A., Lichtman, A.H., Pober, J.S., Cellular and Molecular Immunology. 5th
ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2005. p. 4-15,22-3,65-80,81-103,182-
7,247-53,258-9,266,268-9,279-80,290-5.

Begg AC. Cell Proliferation in tumours in Basic clinical radiobiology ed 2nd.


Arnold. London. P. 1997;14-5

Brown, Graham, 2005, Lecture notes Dermatology Ed: 8, Erlangga Jakarta. 219-
232

Claudio, G, Beatrice, S., Rosaria, V., Carmela, S., Massimo D’Archivio, and
Roberta, M, 2007, Apoptosis in Cancer and Atherosclerosis: Polyphenol
Activities, Ann 1st Super Sanita, Vol.43, No.4, 406 – 416

Cox, C., Merajver, SD., Yoo,S., Dick, RD., Brewer, GJ., Lee, J., Teknos, TN.
2003. Inhibition of the growth of squamous cell carcinoma by
tetrathiomolybdate-induced copper suppression in a murine model.
Dalam : http://archotol.ama-assn.org/cgi/content/abstract/129/7/.
Dikutip tanggal 28 maret 2011
Engida, A.M., Kasim, N.S., Tsigie, Y.A., Ismadji, S., Huynh, L.H., Ju, Y.H. 2013.
Extraction, identification and quantitative HPLC analysis of flavonoids
from sarangsemut (Myrmecodia pendens). Ind. Crops Products 41: 392-
396.
Freedland SJ, 2009, Obese men have higher-grade and larger tumors: an analysis
of the duke prostate center database, Prostate Cancer and Prostatic
Diseases, vol 12, 259-263

Girardi M., et al., 2001, Regulation of cutaneous malignancy by γδ T cells,


Science 294:605–609.
Hamsar, M.N., Mizaton, H.H. 2012. Potential of ant-nest plants as an alternative
cancer treatment. J. Pharm. Res. 5: 3063-3066.

Hartono, 2009. Pengaruh Alpinia galanga (Lengkuas) terhadap Aktivitas


Proliferasi Sel dan Indeks Apoptosis pada Adenokarsinoma Mamma Mencit
C3H,Dalam:http://eprints.undip.ac.id/24719/1/Nani_Widjaja_Budi_
Hartono.pdf.Dikutip tanggal 3 Juli 2011.

Hiroko D, Teruhiko F, Shino N, Toshihiro K, Kazuo S.2002, Analysis of Cell


Growth Inhibitory Effect of Cathecin Through MAPK in Human Breast
Cancer Cell Line T47D. International Journal of Oncology.Vol 21 : 1301

36
37

Ignatavicius, D. & Workman, L. (2006).Medical surgical nursing: Critical


thinking for collaborative care.(5th ed.). St. Louis: Elsevier. (single volume: 0-
7216-0446-3; double volume: 0-7216-0671-7)

Kaplowitz, N.,2002, Biochemical and cellular mechanisms of toxic liver injury,


Semin, Liver, Dls, 22: 137-144

Kasmanto, 2010, Efek Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap
Kadar Interleukin 22 Pada Mencit Model Kanker Kolorektal, FK
Maranatha, Jakarta, hal. 2

Kementerian Kesehatan, 2008, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar,


RISKESDAS Indonesia Tahun 2007. Depkes, Jakarta.

Kumar V., Abbas, Fausto AK. Pathologic basis of disease 7th ed.
Philadelphia:Pennsylvania. Elsevier Saunders; 2005. p 26-32, 89-91,812-
13, 880-881, 956-59, 1129-38.

Kumar, V., Cotran, RS., Robbins,SL., 2007, Buku Ajar Patologi, Vol. 2, Penerbit
Buku kedokteran EGC, Jakarta, 794-796

Laurence DR, Bacharach AL, 2002, Evaluation of Drug Activities:


Pharmacometrics, Vol 1 part 3 pp, London, New York: Academic press;
hal. 315-456.

Miyata M, Furukawa M, Takahashi K, Gonzalez FJ, Yamazoe Y


(2001). "Mechanism of 7, 12-Dimethylbenz[a]anthracene-Induced
Immunotoxicity: Role of Metabolic Activation at the Target Organ". Jpn
J Pharmacol 86: 302–309.

Mozley DP, Bendtsen C, Zhao B, et.al, 2012, Measurement of Tumor Volumes


Improves RECIST-Based Response Assessment in Advanced Lung
Cancer, Translational Oncology, Vol 5, 19-25.

Muhammad, 2011, Sarang Semut dan Buah Merah Pembasmi Raga Penyakit
Ganas, Laksana, Yogyakarta H: 10-108

Nam, S., Smith, D.M., Dou, Q.P., 2001, Tannic Acid Potently Inhibits Tumor Cell
Proteosome Activity Increase p27 and Bax Expression, and Induces G1
Arrest and Apoptosis, Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention
10: 1083-1088.
Prochazkova, D., Bousova, I., Wilhelhelmova, N., 2011. Antioxidant and
prooxidantproperties of flavonoids. Fitoterapia 82: 513–523.

Putra, A., 2012, Molekuler Onkogenesis, Ed. I, Unissula Press, Semarang, 107-
119
38

Rastogi, R.P., Richa., Sinha., R.P., 2009, Apoptosis: Molecular Mechanisms and
Pathogenicity, EXCLI Journal 8: 155-181.

Ren, W., Qiao, Z., Wang, H., Zhu L., Zhang, L., 2003, Flavonoids: Promising
AnticancerAgents,Medicinal research Reviews, 23(4) : 519- 534.

Sarjadi, 2000, Patologi Umum dan Sistematik. 2nd ed. vol 2. Jakarta : EGC.24-37

Soehartati, 2011, Sixth Biggest Cancer Causes of Death in Indonesia, Department


of Radiology Faculty of Medicine University Physicians RSCM, Jakarta.
Dalam: www.wyomingScholar.com. 26/04/2011. Dikutip tanggal 2
Desember 2014.

Soeksmanto, A., Subroto, M.A., Wijaya, H., Simanjuntak, P., 2010, Anticancer
Activity test for Extract of Sarang Semut Plant( Myrmecodya Pendens)
to HeLa and MCM-B2 Cells, Pakistan Journal of Biological Science
13(3): 148-151.

Subroto, M.A., 2007. Sarang Semut Penakluk Penyakit Maut.


http://ilusa.ne/newslettet/berita.com

Subroto, M.A., Saputro, H.. 2006. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut.
Penebar Swadaya : Jakarta. 15-16

Sudiana, 2008, Patobiologi Molekuler Kanker, Salemba Medika, Jakarta, 45-53

Suharyanto, B., Prasetyo, R., 2004, Melanoma Maligna dan Permasalahannya,


Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FK UNAIR, Vol. 16 No. 2,
Surabaya

Sumarno., 2010, Pengaruh Ekstrak Sarang Semut Terhadap Aktivitas Proliferasi


Sel dan Indeks Apoptosis Kanker Payudara Mencit C3H, FK UNDIP,
Semarang, 7-8

Triana Hertiani, et al., 2010, Preliminary study on immunomodulatory effect of


sarang - semut tubers Myrmecodia tuberosa and Myrmecodia pendens,
OnLine Journal of Biological Science 10 (3): 136-141

Unandar, Budimulja. Morfologi Dan Cara Membuat Diagnosis; 2005, Rata


IGA.Tumor Kulit. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti,
penyunting. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-IV.Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,; h.35,229-
238

World Health Organization, 2000, General Guidelines for Methodologies on


Research and Evaluation of Traditional Medicine, WHO, England, 27-32
39

Anda mungkin juga menyukai