ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN DEMAM TIPHOID
Pengertian Dispepsia
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau
terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari
gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat
kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley &
fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau
lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan
gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi
lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang
dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis
pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung
menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :
Dispepsia Fungsional
2.2. Epidemiologi
tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-
40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.
Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi
3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional
daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di
perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1
meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada
umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,
22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada
umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan
saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat.
Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari
biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa
seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa
distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol
yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat.
Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis
dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga,
merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam
keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi
oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem
saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung
dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis
menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi
menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron
endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau
kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary
axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor
psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan
dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya
dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung
pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau
daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk
perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa
berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila
ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &
untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa
masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia
mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien
McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat
subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan
kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta
kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan
tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan,
2011).
antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater
berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu :
Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III)
dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus
mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal
interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd
Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini
menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk
kelainan structural.
yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP
kesehatan mutakhir
2.6.2. Penanganan Secara Farmakologi
disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi
bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan
pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien
untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-
gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti
dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu
pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang
akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan
Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah
episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-
ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik
dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan
2.7. Kepribadian
Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah
topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang
digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring
berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan
psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif
menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk
beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait
psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam
lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis
Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa individu
tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi. Definisi
yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama:
laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa
a. Neuroticism (N)
sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang
memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap
b. Extraversion (E)
tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang,
periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu,
lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E
memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal,
mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.
c. Openness (O)
orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan
pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O).
penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki
ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan
Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang
d. Agreeableness (A)
dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih
yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini
juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang
yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik.
e. Conscientiousness (C)
conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan
will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini
adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu
yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan
tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam
tugas-tugasnya.
diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain
(Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen
b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis
Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang
digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini
markers.
2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional
pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian
ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling
ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness
berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau
ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind,
(Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan,
terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat
konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam
bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam
bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul dalam
terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau paranoid,
Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk,
struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling
mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip
atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai
baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan
ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil
diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety).
Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif
atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya
lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ
kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian
dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma, keluarga
tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang berlangsung lama
negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak yakin, 2) peningkatan
gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial aksi sel, 3) selektif dalam
terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai respon terhadap stimulus yang
di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari sistem saraf otonomik. Proyeksi
menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka
pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis
kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi
rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang
adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman.
oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural melalui
imun dan faktor psikososial. Faktor lain yang juga berpengaruh timbulnya
dispepsia fungsional antara lain: depresi, kecemasan, stress, jenis kelamin, umur,
faktor psikososial. Kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan
dalam menghayati health awareness. Big five Personality traits model dapat
struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Struktur kepribadian ego yang
rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego.
Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik dan berlangsung lama,
maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety) yang selanjutnya akan
membentuk suatu Neurotism Personality Trait, atau apabila tuntutan berasil diatasi
dengan baik maka ego tidak terancam dan muncullah sikap sabar, mengalah,
Pada dimensi trait kepribadian Big Five model yang memiliki skor yang rendah,
dimana ego merasa terancam maka ego akan melakukan reaksi defensif atau
pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa
bermacam-macam, salah satunya yang imatur adalah : konversi, dan represi. Bila
gejala koversi dan represi terus berlangsung lama, akan memunculkan keluhan-
keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal
Infeksi H. Pylori
Ketidaknormalan motilitas
Extraversion
Gangguan sensori visceral Openness
Faktor psikososial Agreeableness
Faktor sistem saraf otonom, Conscientiesness
neuroendokrin, sistem imun
Kecemasan,Depresi,Stres, jenis
kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan
Diagnosis setelah
endoskopi : fungsional
dan organik
Gejala Dispepsia :
Depresi
Kecemasan
Stres
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Umur
Status pernikahan
Denpasar.
BAB IV
METODE PENELITIAN
(cross sectional analytic) untuk mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits
dengan dispepsia fungsional pada pasien rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam di
fungsional dan dispepsia organik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil evaluasi ini berupa hasil wawancara dan kuesioner dengan responden.
36
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Populasi
Eligible
sampling:
Dispepsia
dispepsia yang pernah rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar yang tercatat di buku register selama periode
tahun 2014.
inklusi dan eksklusi. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah sampel
yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir
informed consent.
a. Kriteria Inklusi
di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari bulan Januari 2014 sampai
consent.
b. Kriteria Ekslusi
registrasi RSUP
c. Besar Sampel
2 2
n 0,1
n =(nn) n n
2
2
n
n = 0,614 0,01
Keterangan:
10%
Q =1 – P
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31
dan dipilih secara simple random sampling: dimulai dengan membuat daftar
untuk sampel berikutnya dengan kelipatan tiga, sampai besar sampel terpenuhi.
yang diukur baik secara numerik maupun nominal (Sastroasmoro, 2011). dan
Variabel bebas yang diteliti adalah Big Five Personality Traits terdiri dari :
Conscientiousness trait
bentuk numerik.
salah satu gejala atau lebih gejala rasa penuh setelah makan yang
d. Umur adalah umur yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) pasien
pada rekam medis. Data disajikan dalam bentuk skala non kategorikal.
e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tertera di kartu tanda penduduk
(KTP) dan tertera di catatan medik responden. Data disajikan dalam bentuk
Tidak Sekolah, SD, SMP, SMA atau sederajat, Diploma atau Sarjana
Tidak Bekerja
i. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan
j. Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan
adalah salah satu jenis alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan. Instrumen
pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur. Adapun dua alat
berjumlah 50 item yang memilki rentang diri sangat tidak sesuai (skala
1) sampai sangat sesuai (skala 5), dimana setiap variabelnya terdiri dari
2006).
terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,
kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21,
24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4,
7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Sedangkan stres ditunjukkan
oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.
komputer. Jika ada data yang belum lengkap akan dilengkapi kemudian dilakukan
dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p <
Uji parametrik t-test tidak berpasangan digunakan untuk uji hipotesis pada
digunakan untuk uji perbandingan pada data yang tidak berdistribusi normal,
sedangkan uji Chi-Square digunakan untuk uji perbandingan pada data kategorik
(Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05 (p <
0,05)
4.7.4.Statistik Bivariat
dispepsia organik diberikan penjelasan rinci tentang tujuan penelitian dan setelah
Informed Consent
Wawancara
Kuesioner IPIP-FFI untuk Big five personality traits
Kuesioner DASS 42 untuk cemas, depresi, stres
Pengumpulan data
endoskopi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah selama tahun 2014 adalah
sebanyak 647 orang, 370 orang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini.
orang tidak dimasukan sebagai sampel karena alasan menolak, alamat tidak jelas
alamat tidak ditemukan. Pada akhir penelitian ini didapatkan total sampel sebesar
62 orang, dan mereka bersedia mengisi kuesioner Big Five Personality Traits dan
DASS 42. Hasil yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh sampel, didapatkan 62
kuesioner yang terisi secara lengkap. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat
Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa karakteristik umur didapatkan rerata
51,31 ± 14,830. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki lebih tinggi yaitu
tertinggi adalah menikah sebesar 51,60% dan terendah adalah janda sebesar
(56,50%) dispepsia organik. Data variabel umur akan diuji normalitas data dengan
0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua
rerata umur tersebut dengan menggunakan uji t tidak berpasangan bila data
berdistribusi normal. Bila distribusi data tidak normal maka kedua rerata umur
subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik dapat dilihat
48,29 ± 14,525, dan rerata umur untuk kelompok dispepsia organik adalah 53,66
adalah 0,200 (p ˃ 0,05), dan homogen pada levene test dengan nilai p adalah 0,69
( p ˃ 0,05). Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua rerata umur tersebut
menggunakan uji t tidak berpasangan. Uji beda kedua rerata umur tersebut
didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai p adalah 0,134 ( -5,9
jenis kelamin, dan pekerjaan yang merupakan variabel katagorikal, uji beda
menggunakan pearson chi-square test. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada
perbedaan bermakna pada variabel jenis kelamin dan pekerjaan (nilai p > 0,05).
Pada variabel pendidikan dan variabel pernikahan, uji beda menggunakan uji
Mann-Whitney. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna
pada variabel pendidikan, dan variabel pernikahan (nilai p > 0,05). Pada variabel
depresi, kecemasan, dan stress yang merupakan variabel katagorikal uji beda tidak
dapat menggunakan pearson chi-square test karena terdapat sel yang bernilai
kurang dari 5 sehingga digunakan uji alternatif fisher’s exact test, pada uji beda
tersebut didapatkan perbedaan bermakna pada variabel kecemasan (nilai p < 0,05).
jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pernikahan, depresi, dan stres pada kedua
Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah ada
pengaruh antara masing-masing variabel pada Big Five personality traits dengan
Sebagai langkah awal dilakukan analisis bivariat masing-masing variabel pada Big
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits Sebagai
Variabel Bebas dan Dispepsia fungsional Sebagai Variabel Tergantung
Variabel Big Five Unadjusted CI 95% OR
B p Value
personality traits Odd Ratio Low High
Neuroticism 0,576 0,562 0,416 0,760 0,000
Extraversion 0,290 1,337 1,108 1,612 0,002
Openness -0,182 1,200 1,025 1,404 0,023
Agreeableness 0,267 1,306 1,135 1,504 0,000
Conscientiousness -0,743 0,476 0,323 0,701 0,000
apabila memiliki nilai p < 0,25. Sehingga ada lima variabel personality traits yang
Pada tabel di atas dapat kita lihat ada satu trait yang memiliki nilai p <
0,05 dan nilai CI 95% yang tidak bersinggungan dengan nilai satu yaitu
OR sebesar 0,598 dan nilai B yang positif yang berarti setiap kenaikan 1 unit
fungsional sebesar 0,515 kali. Dengan kata lain setiap kenaikan 10 unit skala
statistik tidak signifikan (nilai p > 0,05). Begitu pula untuk extraversion,
PEMBAHASAN
Data deskriptif pada penelitian ini dapat digambarkan dari data yang
diperoleh diantaranya yaitu: 62 orang sampel yang dipilih secara simple random
dengan dispepsia organik pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 43,50% pada dispepsia fungsional dan
56,50% pada dispepsia organik. Angka ini serupa dengan data penelitian yang
fungsional dengan dispepsia organik di Mumbai India sebesar 34,2% dan 65,80%
(Kumar dkk, 2012), bahkan penelitian yang dilakukan oleh Nwokediuko dkk, di
pada dispepsia fungsional yaitu: 48,29 ± 14,525, dan 53,66 ± 14,838 pada
dispepsia organik. Angka yang diperoleh ini mirip dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mahadeva & Lee di Mumbai India, didapatkan angka prevalensi
kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor ketahanan tubuh itu sendiri,
dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 71,40%. Angka ini mirip dengan
angka yang diperoleh oleh Widya dkk, dimana perbandingan jenis kelamin
(Widya dkk, 2015) atau data yang diperoleh pada tahun 2009 pada pemeriksaan
fungsional lebih banyak pada wanita (Tenri dkk, 2011). Tingginya prevalensi
dispepsia fungsional pada perempuan, hal ini karena pada perempuan lebih rentan
untuk mengalami stres, pola makan sering tidak teratur dan pada wanita sering
justru membuat produksi asam lambung terganggu. Diit ketat dengan hanya
sering mengalami gejala yang mirip dispepsia (Widya dkk, 2015), atau penelitian
ekspektasi yang berbeda terhadap perasaan tidak nyaman ketika mengalami gejala
seperti perut kembung atau nyeri perut, hal ini karena penyakit ini dianggap subjek
sensitif dan kondisi memalukan yang mungkin lebih sulit bagi perempuan untuk
Sedangkan angka prevalensi dispepsia organik lebih tinggi didapatkan pada laki-
laki, hal ini berkaitan dengan pola hidup yang cenderung tidak sehat dibandingkan
bekerja pada kelompok dispepsia fungsional dan sebesar 71,40% tidak bekerja
pada kelompok dispepsia organik. Angka ini mirip dengan penelitian yang
dilakukan oleh Cheng dkk, bahwa dispepsia fungsional lebih banyak ditemukan
tinggi maka kejadian untuk menderita dispepsia fungsional akan semakin tinggi
(Cheng dkk, 2011). Sedangkan pada dispepsia organik lebih banyak tidak bekerja,
ini sesuai dengan penelitian Tenri dkk, yang mengatakan pada dispepsia organik
lebih banyak berhubungan dengan faktor usia, penyakit yang bersifat kronis atau
Dilihat dari proporsi kecemasan yang dialami oleh kedua kelompok pada
mengalami kecemasan. Hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Daniela dkk, menunjukkan bahwa ada hubungan antara dispepsia organik dan
ataupun penelitian yang dilakukan oleh Pertti dkk, menemukan bahwa baik
kecemasan dengan tingkatan yang bervariasi dari ringan, sedang dan berat, dan
daripada dispepsia organik (Pertti dkk, 2011). Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Ghoshal dkk, terdapat penemuan yang sangat berarti bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara kejadian dispepsia organik dengan derajat
penyakitnya, mungkin karena penderita merasa tidak pernah merasa sembuh dari
penyakitnya, fakta ini menguatkan bila penderita dispepsia organik itu tidak ada
satupun yang terbebas dari rasa cemas oleh karena keluhan atau gejala gastritis
dan ulkus tersebut. Jadi disini faktor fisik dan psikis saling berinteraksi dan dapat
dispepsia fungsional lebih mudah terjadi pada individu dengan kepribadian yang
merupakan cenderung lebih tenang, rileks, tidak emosional, memiliki daya tahan
terhadap stres, merasa aman, dan puas atas diri sendiri. Sehingga dapat
orang-orang yang memiliki sifat mudah khawatir, gugup, kemarahan, merasa tidak
aman, tidak mampu dan mudah panik, kurang kontrol diri, kerapuhan, sedangkan
memiliki temparamental datar, puas akan diri sendiri dan tidak emosional (Feist &
Feist, 2009).
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian lain yang dilakukan oleh
McCrae dan Costa (1990). Hasilnya ternyata trait neuroticism dan trait
Selanjutnya dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara depth
Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Chun dkk, pada 187
pasien rawat jalan (72,2% pasien wanita, usia rata-rata 42,6 tahun) dengan
dievaluasi dengan Brief Symptom Rating Scale, dan hasilnya ternyata trait
terutama pada sub group postprandial distress syndrome (Chun dkk, 2009).
Penelitian yang berkaitan dengan terapi dilakukan oleh Tanum & Malt
dispepsia fungsional mempunyai efek terapi yang lebih baik dibandingkan dengan
penderita dispepsia fungsional yang mempunyai skor level sedang sampai tinggi
sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stress sehingga
pada psikoanalitik klasik yaitu: teori kepribadian yang membagi struktur mind ke
dewasa. Semua konflik-konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau
tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Apabila timbul konflik saat
dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan
akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu. Pada kepribadian
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cano dkk, yang
fungsional. Individu dengan extraversion yang rendah tidak bisa menikmati hidup,
tidak bisa fokus pada pekerjaan, merasa tidak bertujuan dalam hidup, kadang-
kadang disebabkan oleh perasaan negatif, seperti suasana hati yang rendah,
menyebabkan diri ketidakpuasan dan menodai diri. Hal ini disebabkan oleh fakta
secara indirect terhadap dispepsia fungsional (Tobon dkk, 2013). Hal ini mungkin
cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah
dispepsia fungsional. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang ada,
cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif
(Cloninger, 2012).
terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah
untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Pada individu
7.1 Simpulan
yang berpusat di perut bagian atas. Dispepsia setelah dilakukan endoskopi tidak
hanya disebabkan oleh adanya kelainan struktural pada organ lambung atau yang
lebih dikenal dengan dispepsia organik, tetapi juga oleh faktor psikis, atau lebih
mudah khawatir, gugup, mudah panik bagi yang memiliki skor tinggi nuroticism.
7.2 Saran
RSUP Sanglah dapat digunakan sebagai indikator bahwa sub divisi CLP (
psikiatri khususnya kecemasan cukup tinggi, maka diharapkan dimasa depan ada
66
dan perlunya pasien dispepsia organik mendapat penanganan di bidang psikiatri
selain Ilmu Penyakit Dalam. Di masa depan juga diharapkan ada penelitian yang
bersifat prospektif untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara Big Five