Anda di halaman 1dari 67

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN DEMAM TIPHOID

Pengertian Dispepsia

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein

(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion

yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia

didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau

terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari

gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat

kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley &

Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan

struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia

fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau

lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan

endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal

gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi

lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang

berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif

dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis

pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung

menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien

tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).


Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2

klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.

Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”

setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome

merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait

dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

Dispepsia Fungsional

Postprandial Distres Syndrome


Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:


1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung
empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke
daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)

2.2. Epidemiologi

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik

pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab

yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan

presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%

tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-

40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.

Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan

peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).

Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia

dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria

Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi

3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional

dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke

sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya

menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional

daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di

Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum

perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia

pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan

perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1

(Kumar dkk, 2012).

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan

meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada

umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,

22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada

umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur

kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.

Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak

mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit

di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien

yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).


2.3. Patofisiologi Dispepsia Fungsional

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus

peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini

menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang

heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang

dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme

patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,

ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan

perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf

otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan

Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara

tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan

defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus

lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori

dibawah ini (Yehuda, 2010) :

2.3.1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai

saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli

Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan

insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli

berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan

kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot

sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat.

Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari

biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa

sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

2.3.2. Ketidaknormalan Motilitas

Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien

dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam

lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas

antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang

“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal

seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila

terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung

menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada

beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik

sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa

sebagai predictor ulkus peptikum.

2.3.3. Gangguan Sensori Visceral

Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap

distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang

sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi

lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat

menginduksi nyeri pada bagian ini.


2.3.4. Faktor Psikososial

Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang

dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan

keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol

yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat.

Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis

dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga,

merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam

lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan

kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).

2.3.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin

Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur

endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada

keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan

dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran

hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam

lambung (Gene, 2012).

2.3.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif

Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks

serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf

otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf

simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan

pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang


mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan

sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi

oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem

saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung

yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin,

dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi

persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi

bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan

gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis

maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin

atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau

menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga

menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi

pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung. Terjadinya

ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter

menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang

dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa

memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).

2.3.7. Perubahan Dalam Sistem Imun

Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan

menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron

bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem

endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau
kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary

axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor

psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem

noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan

pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan

neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T,

dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres

dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya

akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung

dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini

berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa

ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

2.4. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau

ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa

kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,

kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang

memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional

terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,

dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).

Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung

pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau

berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial


distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome)

(Abdullah & Gunawan, 2012).

Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli

daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk

perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa

kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak

berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa

genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan

dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

2.5. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah

adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila

ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu

dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak

ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia

fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by

exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak

ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &

Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia

fungsional seperti table 2.2 berikut:


Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia
Fungsional Dispepsia Fungsional
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
 Rasa cepat kenyang.
 Nyeri epigastrium.
 Rasa terbakar di
epigastrium. dan
 Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6
bulan sebelum diagnosis.
(Diterjemahkan dari Chang, 2006).
2.6. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit

untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa

masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia

bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen

penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya

gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah

selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus

memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya

mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien

dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran

terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd &

McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat
subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan

menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau

sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya

kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta

kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan

dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar,

yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi.

Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan

untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial-

Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan

tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan,

2011).

2.6.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari

psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama

antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater

berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu :

Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik,

psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia.

Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III)

dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus

mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal

interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd

& McClelan, 2011). :

 Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini

menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk

dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.

 Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah

dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu

kelainan structural.

 Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien

dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan

keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan

terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan

dari pasien dispepsia

 Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi

yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP

harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah

pemutusan hubungan dilakukan.

 Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.

Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat

mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.

 Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison

dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan

kesehatan mutakhir
2.6.2. Penanganan Secara Farmakologi

Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan

gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan

disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi

yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2

receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or

mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat

psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.

Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan

struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan

gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama

Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).

2.6.3. Penanganan Secara Psikoterapi

Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada

beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan

bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan

pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien

untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-

gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti

dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu

pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang

akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan

ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi


cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional.

Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah

episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-

ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik

relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).

2.6.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi

Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian

dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan

melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti

pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic

community (Soo dkk, 2004).

2.7. Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah

topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang

digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring

berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan

mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi

perilakunya (Feist & Feist, 2009).

Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat

psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif

menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk

beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait

digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap


orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya,

mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk

bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

2.7.1. Big Five Personality

Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam

psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam

lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis

faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion,

agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008).

Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait

kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang

cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten.

Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa individu

tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi. Definisi

yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama:

traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan tingkah

laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa

traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas

bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits memperkenankan

seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku seseorang selanjutnya (Feist

& Feist, 2009).


2.7.2. Dimensi Big Five Personality

Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah

sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) :

a. Neuroticism (N)

Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki

kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri

sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang

memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap

hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi,

sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang,

bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.

b. Extraversion (E)

Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor

tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang,

periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu,

individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan

lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E

rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti

memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal,

mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.

Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin

hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,


individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang,

pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya.

c. Openness (O)

Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi

dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang

mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-

orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan

pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O).

Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan

penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki

ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan

mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.

Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang

berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.

d. Agreeableness (A)

Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut

dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih

mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan

yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini

juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang

yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik.

Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka


mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif

dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.

e. Conscientiousness (C)

Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol,

teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi

conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan

will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini

adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu

yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan

tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam

tugas-tugasnya.

Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005).


Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah
Mudah khawatir, gugup, Neuroticism Tenang, rileks, tidak
emosional, merasa tidak emosional,
aman, tidak mampu, mudah memiliki daya tahan
panik terhadap stres, merasa aman,
puas atas diri sendiri

Suka bergaul, aktif, banyak Extraversion Suka menyendiri, sederhana,


bicara, orientasi pada orang tidak berlebihan dalam
lain, optimis, terbuka kesenangan, menjauhkan
terhadap perasaannya, diri, orientasi pada tugas,
penuh kasih sayang pemalu, serius

Memiliki rasa ingin tahu Openness Sederhana, minat yang


yang besar, minat yang menetap, tidak artistik, tidak
.
luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan
menjaga tradisi

Bersifat lembut, baik hati, Agreeableness Suka mengejek, tidak sopan,


mudah percaya, penolong, curiga, kasar, tidak
pemaaf, penurut, jujur kooperatif, pendendam,
cepat marah, suka
memerintah dan manipulatif

Orang yang suka mengatur, Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak


dapat diandalkan, pekerja bisa diandalkan, lalai,
keras, disiplin, rapi, pemalas, tidak perhatian,
ambisius dan tekun ceroboh, memiliki kemauan
yang lemah

2.7.3. Pengukuran Big Five Personality

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality,

diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain

(Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen

untuk mengukur Big Five personality, yaitu:

a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992).

b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis

Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang

digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini

terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective

markers.
2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional

Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang

membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan

pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian

dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori

psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi

struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar),

preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari

ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling

penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan

ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness

berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau

ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind,

namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas

(Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan,

terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat

berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik-

konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam

bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam

bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul dalam

bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits misalnya

terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau paranoid,

bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian


histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian

histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah

sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi

sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila

berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud

Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk,

2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep

struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling

mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip

kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari

id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan

atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai

baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan

individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego

menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi

ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil

diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety).

Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif

atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya

bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila berlangsung

lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ

lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan

dkk,2010;Krueger& Tackett, 2006).


Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari

kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian

dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma, keluarga

meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita, 2004).

Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan individu

tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang berlangsung lama

akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1) adanya perasaan

negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak yakin, 2) peningkatan

gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial aksi sel, 3) selektif dalam

perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada lokasi tertentu, 4) peran

kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah hipotalamus dan amigdala

terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai respon terhadap stimulus yang

ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi di nukleus paraventrikular

dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan pengeluaran kortisol dari

kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh darah dan meningkatkan

glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan

neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan kemauan. Amigdala sentral

dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH di lateral hipotalamus. CRH

di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari sistem saraf otonomik. Proyeksi

neuron ke intermediolateral cell coloumn ke spinal cord akan mengaktifkan sistem

otonom simpatik preganglion. Jalur CRH juga mengaktifkan Locus coeruleus

sehingga norepinephrine dikeluarkan ke


reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik

(Lenzenweger & Clarkin, 2005).

Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan

aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan

dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga

menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka

perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut

(Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur

kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism,

sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness

masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses

psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan

dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex

pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis

akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar

kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi

rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang

bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap

adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman.

Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia

fungsional ( Ammerman, 2006).


BAB III

KERANGKA BERFIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN


HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berfikir

Gangguan dispepsia fungsional dan dispepsia organik merupakan bagian

dari gangguan gastrointestinal dan memiliki karakteristik umum yang ditandai

oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural melalui

pemeriksaan klinik, laboratorium dan pemeriksaan endoskopi. Patogenesis

dispepsia meliputi beberapa mekanisme yang mungkin, antara lain: Infeksi

Helicobacter pylori (H. pylori), ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori

visceral, perubahan sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, sistem

imun dan faktor psikososial. Faktor lain yang juga berpengaruh timbulnya

dispepsia fungsional antara lain: depresi, kecemasan, stress, jenis kelamin, umur,

pendidikan, pekerjaan. Kaitan antara kepribadian seseorang dengan dispepsia

merupakan suatu mekanisme yang kompleks antara faktor organobiologi dengan

faktor psikososial. Kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan

mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi

perilakunya. Kepribadian mempengaruhi kognitif, emosi dan motivasi seseorang

dalam menghayati health awareness. Big five Personality traits model dapat

digunakan sebagai teori kepribadian yang dikaitkan dengan penyakit dispepsia

fungsional. Big five Personality traits model merupakan dimensi kepribadian ke

dalam lima dimensi yaitu Neuroticism (N) Extraversion (E), Openness to

Experience (O), Agreeableness (A) dan Conscientiousness (C). Model personality


traits yang dikembangkan secara leksikal ini dikenal dengan Big Five model.

Berdasarkan teori Psikoanalisis dari S. Freud mengembangkan suatu konsep

struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Struktur kepribadian ego yang

paling memegang peranan penting terhadap terbentuknya kepribadian dan

munculnya dispepsia fungsional. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian

yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia.

Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan

rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego.

Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik dan berlangsung lama,

maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety) yang selanjutnya akan

membentuk suatu Neurotism Personality Trait, atau apabila tuntutan berasil diatasi

dengan baik maka ego tidak terancam dan muncullah sikap sabar, mengalah,

menerima, yang pada akhirnya membentuk suatu Agreeableness Personality Trait.

Pada dimensi trait kepribadian Big Five model yang memiliki skor yang rendah,

dimana ego merasa terancam maka ego akan melakukan reaksi defensif atau

pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa

bermacam-macam, salah satunya yang imatur adalah : konversi, dan represi. Bila

gejala koversi dan represi terus berlangsung lama, akan memunculkan keluhan-

keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal

dengan istilah sindrom dispepsia.


Bagan di bawah ini menunjukkan hubungan antara Big five Personality traits

model dengan gangguan dispepsia

Faktor Penyebab : Big Five personality traits:

 Infeksi H. Pylori
 Ketidaknormalan motilitas
 Extraversion
 Gangguan sensori visceral  Openness
 Faktor psikososial  Agreeableness
 Faktor sistem saraf otonom,  Conscientiesness
neuroendokrin, sistem imun
 Kecemasan,Depresi,Stres, jenis
kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan

Diagnosis setelah
endoskopi : fungsional
dan organik

Gejala Dispepsia :

 Rasa penuh setelah makan


yang mengganggu.
 Rasa terbakar di epigastrium
 Nyeri epigastrium
 Rasa cepat kenyang.

Gambar 3.1. Kerangka Berpikir


3.2. Kerangka Konsep

 Depresi
 Kecemasan
 Stres
 Jenis kelamin
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Umur
 Status pernikahan

Independent Variables Dependent Variables:

Big Five personality traits: Dispepsia Fungsional


 Neuroticism
 Extraversion
 Openness
 Agreeableness
 Conscientiesness

Keterangan : ----------- (garis putus-putus) : variabel yang diteliti

Gambar 3.2 kerangka konsep penelitian

3.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka kerangka berpikir dan konsep yang telah

diuraikan di atas, maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut

1. Terdapat pengaruh antara Neuroticism trait dengan dispepsia fungsional pada

pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Terdapat pengaruh antara Extraversion trait dengan dyspepsia fungsional

pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.


3. Terdapat pengaruh antara Openness trait dengan dispepsia fungsional pada

pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

4. Terdapat pengaruh antara Agreeableness trait dengan dispepsia fungsional

pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

5. Terdapat pengaruh antara Conscientiousness trait dengan dyspepsia

fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

Denpasar.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.1.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah Denpasar.

4.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai pada Agustus sampai September 2015

4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi dengan menggunakan rancangan

penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan potong lintang

(cross sectional analytic) untuk mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits

dengan dispepsia fungsional pada pasien rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam di

RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus, yaitu

individu yang mengalami keluhan dispepsia dan sudah terdiagnosis dengan

dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah dilakukan pemeriksaan

endoskopi, kemudian dilakukan wawancara dan kuesioner pada pasien dispepsia

fungsional dan dispepsia organik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil evaluasi ini berupa hasil wawancara dan kuesioner dengan responden.

36
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Populasi

Eligible
sampling:
Dispepsia

Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik

Big Five personality traits:


 Openness
 Conscientiesness
 Extraversion
 Agreeableness
 Neuroticism

Gambar 4.1. Rancangan Penelitian

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi Target

Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan dispepsia

4.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan

dispepsia yang pernah rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar yang tercatat di buku register selama periode

tahun 2014.

4.3.3. Sampel (intended sample)

Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah sampel

yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir

informed consent.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu:

1. Seluruh penderita yang menderita dispepsia fungsional dan dispepsia

organik yang tercatat di register rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari bulan Januari 2014 sampai

Desember 2014, yang telah dilakukan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang ( endoskopi ) sesuai standar medik yang

berlaku dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik

oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUP Sanglah.

2. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani formulir informed

consent.

3. Mampu membaca dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia

b. Kriteria Ekslusi

1. Penderita dengan dispepsia fungsional atau dispepsia organik yang

yang tinggal di luar Bali, atau sudah meninggal


2. Penderita dispepsia yang mengalami gangguan jiwa berat seperti

Skizofrenia, Retardasi Mental Berat

3. Penderita dengan penyakit kronik seperti Diabetes Melitus, Hipertensi,

Gagal Ginjal, Sirosis Hepatis, dan penyakit keganasan

4. Penderita dispepsia yang terganggu fungsi panca indra terutama

pengeliatan dan pendengaran

5. Penderita yang tidak tercatat no HP atau telepon rumah pada komputer

registrasi RSUP

6. Menolak ikut dalam penelitian

c. Besar Sampel

Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar


sampel untuk penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009):
= (1,96)2× 0,20 × (1 ' 0,20)
2
2 = 3 ,84 × 0,20 × 0,8
0,1
n =(nn) n n

2 2
n 0,1

n =(nn) n n
2
2
n

n = 0,614 0,01

n = 61,4 dibulatkan menjadi 62orang

Keterangan:

Zα =Kesalahan tipe I ditetapkan 5% = 1, 96

d =Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar

10%

Q =1 – P

P =Proporsi dispepsia sebesar 20 % (Harahap, 2010)


d. Penentuan Sampel

Pasien rawat jalan yang tercatat di register poliklinik Penyakit Dalam di

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31

Desember 2014. Sampel penelitian memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi,

dan dipilih secara simple random sampling: dimulai dengan membuat daftar

identitas pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel, kemudian pemilihan

diawali dengan menjatuhkan pensil untuk menentukan sampel pertama, sedangkan

untuk sampel berikutnya dengan kelipatan tiga, sampai besar sampel terpenuhi.

Sampelnya adalah yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh dokter

Penyakit Dalam dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik

3.4. Variabel Penelitian

Pada penelitian ini variabel merupakan karakteristik sampel penelitian

yang diukur baik secara numerik maupun nominal (Sastroasmoro, 2011). dan

disusun menurut rancangan penelitian cross sectional analytic.

4.4.1. Variabel Bebas

Variabel bebas yang diteliti adalah Big Five Personality Traits terdiri dari :

Neuroticism trait, Extraversion trait, Openness trait, Agreeableness trait, dan

Conscientiousness trait

4.4.2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah dispepsia fungsional

4.4.3. Variabel Perancu

Variabel perancu pada penelitian ini adalah : kecemasan, depresi, stress,

jenis kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan, dan pekerjaan


4.5. Definisi Operasional Variabel

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-

variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi

operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.

a. Big five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam

psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun

dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan

menggunakan analisis faktor. Lima dimensi personality traits tersebut

adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan

conscientiousness (Friedman & Schustack, 2008). Data disajikan dalam

bentuk numerik.

b. Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan gastrointestinal

fungsional dan memiliki karakteristik umum yang ditandai oleh adanya

gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural memenuhi

salah satu gejala atau lebih gejala rasa penuh setelah makan yang

mengganggu, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, rasa terbakar di

epigastrium dan tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil

endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan

timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset

gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis dan didiagnosis oleh Dokter

Penyakit Dalam. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal

dikotomi (Abdullah & Gunawan, 2012 ).


c. Dispepsia organik adalah kelainan struktural pada organ gastrointestinal,

dimana penyebabnya sudah jelas setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi

serta didiagnosis oleh Ahli Penyakit Dalam. Misalnya adanya ulkus

peptikum atau duodenum, karsinoma lambung, atau cholelithiasis.

d. Umur adalah umur yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) pasien

yang juga dikonfirmasi melalui wawancara saat dilakukan penelitian dan

pada rekam medis. Data disajikan dalam bentuk skala non kategorikal.

e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tertera di kartu tanda penduduk

(KTP) dan tertera di catatan medik responden. Data disajikan dalam bentuk

skala kategorikal nominal.

f. Pendidikan adalah pendidikan yang dapat diklasifikasi kedalam kelompok :

Tidak Sekolah, SD, SMP, SMA atau sederajat, Diploma atau Sarjana

g. Pekerjaan adalah dapat diklasifikasi kedalam kelompok : Bekerja, dan

Tidak Bekerja

h. Status pernikahan meliputi : tidak menikah, menikah, duda, dan janda

i. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan

lingkungan, misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi

masalah keluarga atau hubungan antar teman dengan menggunakan

kuesioner DASS 42 (Rathus & Nevid, 2007).

j. Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan

dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu, disertai

beberapa gejala berhubungan (Maslim, 2001).


k. Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan

ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang

hiperaktif (Maslim, 2001). Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan

Depression Anxiety Stres Scale (DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crawford &

Henry, 2003; Kholifah, 2013 ).

 Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi > 9

Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9

 Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan > 7

Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7

 Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stres > 14

Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14

Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.

4.6. Bahan dan Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: formulir kuesioner

yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor demografi (umur, jenis kelamin,

pendidikan, status pernikahan dan pekerjaan). Instrumen pengumpulan data yang

digunakan adalah berbentuk kuesioner yang berbentuk skala Likert. Kuesioner

adalah salah satu jenis alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan. Instrumen

pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur. Adapun dua alat

ukur tersebut adalah:

a. Alat ukur Big Five personality

Big Five personality akan diukur dengan IPIP-FFI (International

Personality Item Pool-Five Factor Inventory). Alat ukur ini merupakan


alat ukur kepribadian yang dibuat oleh Lewis Goldberg. Skala ini

berjumlah 50 item yang memilki rentang diri sangat tidak sesuai (skala

1) sampai sangat sesuai (skala 5), dimana setiap variabelnya terdiri dari

10 item (5 favorable dan 5 unfavorable) yaitu openness to experience,

conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism.

Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan

penilaian Cronbach’s alpha dengan nilai di atas 0,6 (Donnellan dkk,

2006).

b. Alat ukur depresi, kecemasan dan stres

Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42

menilai ada tidaknya depresi, kecemasan, dan stres. Instrumen DASS 42

terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,

psikologi dan perilaku. Nilai depresi, kecemasan, dan stres ditentukan

oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing

kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21,

24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4,

7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Sedangkan stres ditunjukkan

oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan

penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond & Lovibond, 1995;

Crawford & Henry, 2003; Kholifah, 2013).


4.7. Analisis Statistik

Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan mengenai

kelengkapan data tersebut. Data hasil penelitian dilakukan perhitungan dan

dianalisis secara statistik dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak

komputer. Jika ada data yang belum lengkap akan dilengkapi kemudian dilakukan

serangkaian analisis statistik menggunakan SPSS.20 sebagai berikut:

4.7.1. Statistik Deskritif

Analisis statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik data

sampel variabel usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,

kecemasan, depresi, dan stres

4.7.2. Uji normalitas data

Data mengenai umur dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data

dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p <

0,05. Levene’s test digunakan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok.

4.7.3. Uji parametrik t tidak berpasangan.

Uji parametrik t-test tidak berpasangan digunakan untuk uji hipotesis pada

data numerik yang berdistribusi normal. Uji non-parametrik Mann-Whitney

digunakan untuk uji perbandingan pada data yang tidak berdistribusi normal,

sedangkan uji Chi-Square digunakan untuk uji perbandingan pada data kategorik

(Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05 (p <

0,05)
4.7.4.Statistik Bivariat

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dengan variabel tergantung

dilakukan analisis multivariat, dengan terlebih dahulu melakukan analisis bivariat

menggunakan regresi logistik terhadap masing-masing variabel Big Five

personality traits (neuroticism, openness, extraversion, agreeableness, dan

conscientiousness) sebagai variabel bebas dengan dyspepsia fungsional sebagai

variabel tergantung dengan metode enter. Variabel yang dimasukkan ke dalam

analisis multivariat apabila nilai p < 0,5.

4.7.5. Statistik Multivariat

Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik

terhadap masing-masing variabel Big Five personality traits (neuroticism,

openness, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) sebagai variabel

bebas dihubungkan dengan dispepsia sebagai variabel tergantung setelah dikontrol

dengan variabel depresi, kecemasan, stress. Pendidikan, pekerjaan, status

pernikahan, jenis kelamin, umur dengan metode enter.

4.8. Alur Penelitian

4.8.1. Tahap Persiapan

Sampel penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia

organik dipilih secara simple random sampling. Instrument kuesioner dan

wawancara terpimpin disiapkan.

4.8.2. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian semua yang menyangkut etika penelitian

dikonsultasikan dengan Komisi Etika Penelitian Unit penelitian dan


Pengembangan Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar guna mendapatkan surat

kelaikan etika. Semua penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan

dispepsia organik diberikan penjelasan rinci tentang tujuan penelitian dan setelah

memahami barulah dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent.

4.8.3. Alur Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah mendapatkan kelaikan etik

(ethical clearence) dari RSUP Sanglah. Alur adalah sebagai berikut :

Pasien Dispepsia Fungsional dan dispepsia organik yang sudah tegak


diagnosa yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi
dan tercatat di buku register poliklinik

Informed Consent

Sampling Simpel random


sampling

Dispepsia fungsional Dispepsia organik

Wawancara
Kuesioner IPIP-FFI untuk Big five personality traits
Kuesioner DASS 42 untuk cemas, depresi, stres

Pengumpulan data

Analisis statistik Data

Laporan Hasil Penelitian

Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian


BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Dasar

Berdasarkan data register kunjungan pasien yang melakukan pemeriksaan

endoskopi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah selama tahun 2014 adalah

sebanyak 647 orang, 370 orang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini.

Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Sebanyak 13

orang tidak dimasukan sebagai sampel karena alasan menolak, alamat tidak jelas

( tidak tercantum nomor HP atau telepon rumah di komputer registrasi), atau

alamat tidak ditemukan. Pada akhir penelitian ini didapatkan total sampel sebesar

62 orang, dan mereka bersedia mengisi kuesioner Big Five Personality Traits dan

DASS 42. Hasil yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh sampel, didapatkan 62

kuesioner yang terisi secara lengkap. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat

dilihat pada Tabel 5.1.


Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Karakteristik Jumlah
N %
Umur 51,31 ± 14,830
Jenis kelamin
Laki-laki 35 56,50
Perempuan 27 43,50
Pekerjaan
Bekerja 24 38,70
Tidak bekerja 38 61,30
Pendidikan
Tidak sekolah 8 12,90
SD 14 22,60
SMP 4 6,50
SMA 30 48,40
Diploma/sarjana 6 9,70
Pernikahan
Tidak menikah 12 19,40
Menikah 32 51,60
Duda 11 17,70
Janda 7 11,30
Dispepsia
Fungsional 27 43,50
Organik 35 56,50
Depresi
Tidak Depresi 54 87,10
Depresi 8 12,90
Cemas
Tidak Cemas 49 79,00
Cemas 13 21,00
Stres
Tidak Stres 55 88,70
Stres 7 11,30
Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD

Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa karakteristik umur didapatkan rerata

51,31 ± 14,830. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki lebih tinggi yaitu

sebesar 56,50%, sedangkan proporsi perempuan sebesar 43,50%. Berdasarkan

karakteristik pekerjaan yang tercatat, proporsi tertinggi adalah tidak bekerja

sebesar 61,30%, dan terendah bekerja sebesar 38,70%. Proporsi tertinggi


berdasarkan tingkat pendidikan adalah SMA sebesar 48,40%, dan terendah adalah

SMP sebesar 6,50%. Berdasarkan status pernikahan yang tercatat, proporsi

tertinggi adalah menikah sebesar 51,60% dan terendah adalah janda sebesar

11,30%. Sedangkan responden yang mengalami depresi didapatkan pada 12 orang

(12,90%), kecemasan didapatkan pada 13 orang (21,00%) dan stres didapatkan

pada 7 orang (11,30%).

Dari 62 responden yang menjadi sampel penelitian, 27 orang (43,50%)

termasuk dalam kategori dispepsia fungsional dan sisanya sejumlah 35 orang

(56,50%) dispepsia organik. Data variabel umur akan diuji normalitas data dengan

uji Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p >

0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua

rerata umur tersebut dengan menggunakan uji t tidak berpasangan bila data

berdistribusi normal. Bila distribusi data tidak normal maka kedua rerata umur

dilakukan analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Uji beda karakteristik

subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik dapat dilihat

pada Tabel 5.2.


Tabel 5.2 Uji beda karakteristik subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan
dispepsia organik
Dispepsia Dispepsia
Fungsional Organik
Variabel Nilai p
N (%) N (%)
Total = 27 Total = 35
Umur 48,29 ± 14,525 53,66 ± 14,838 0,134**
Jenis kelamin
Laki-laki 12 (44,40%) 23 (65,70%)
0,094***
Perempuan 15 (55,60%) 12 (34,30%)
Pekerjaan
Bekerja 14(51,90%) 10 (28,60%) 0,062***
Tidak bekerja 13 (48,10%) 25(71,40%)
Pendidikan
Tidak sekolah 3 (11,10%) 5 (14,30%)
SD 3 (11,10%) 11 (31,40%)
SMP 3 (11,10%) 1 (2,90%) 0,121*
SMA 14 (51,90%) 16 (45,70%)
Diploma/Sarjana 4 (14,80%) 2 (5,70%)
Pernikahan
Tidak Menikah 8 (29,60%) 4 (11,40%)
Menikah 14 (51,90%) 18 (51,40%) 0,059*
Duda 2 (7,40%) 9 (25,70%)
Janda 3 (11,10%) 4 (11,40%)
Depresi
Tidak Ada 26 (96,30%) 28(80,00%)
Ada 1 (3,70%) 7 (20,00%) 0,123** **
Kecemasan
Tidak Ada 15 (55,60%) 34(97,10%)
Ada 12 (44,40%) 1 (2,90%) 0,000** **
Stres
Tidak Ada 25 (92,60%) 30 (85,70%)
Ada 2 (7,40%) 5 (14,30%) 0,455** **

Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD


* Uji Mann-Whitney
* Independent sampel test
* Uji Pearson Chi-Square
* Uji Fisher’s exact
Pada kelompok dispepsia fungsional kami dapatkan umur dengan rerata

48,29 ± 14,525, dan rerata umur untuk kelompok dispepsia organik adalah 53,66

± 14,838. Kedua data tersebut didapatkan berdistribusi normal dengan nilai p

adalah 0,200 (p ˃ 0,05), dan homogen pada levene test dengan nilai p adalah 0,69
( p ˃ 0,05). Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua rerata umur tersebut

menggunakan uji t tidak berpasangan. Uji beda kedua rerata umur tersebut

didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai p adalah 0,134 ( -5,9

± SE 3,906; CI 95%: -13,754 sampai 1,872; t = -1,521; p = 0,134). Pada variabel

jenis kelamin, dan pekerjaan yang merupakan variabel katagorikal, uji beda

menggunakan pearson chi-square test. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada

perbedaan bermakna pada variabel jenis kelamin dan pekerjaan (nilai p > 0,05).

Pada variabel pendidikan dan variabel pernikahan, uji beda menggunakan uji

Mann-Whitney. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna

pada variabel pendidikan, dan variabel pernikahan (nilai p > 0,05). Pada variabel

depresi, kecemasan, dan stress yang merupakan variabel katagorikal uji beda tidak

dapat menggunakan pearson chi-square test karena terdapat sel yang bernilai

kurang dari 5 sehingga digunakan uji alternatif fisher’s exact test, pada uji beda

tersebut didapatkan perbedaan bermakna pada variabel kecemasan (nilai p < 0,05).

Secara statistik didapatkan bahwa variabel kecemasan pada kedua

kelompok ada perbedaan secara signifikan (p ˂ 0,05). Sedangkan variabel umur,

jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pernikahan, depresi, dan stres pada kedua

kelompok secara statistik tidak didapatkan perbedaan secara signifikan (p ˃ 0,05).

5.2 Uji Hipotesis

Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah ada

pengaruh antara masing-masing variabel pada Big Five personality traits dengan

dispepsia fungsional Peneliti ingin menguji lima hipotesis tentang pengaruh


kelima variabel pada Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional.

Sebagai langkah awal dilakukan analisis bivariat masing-masing variabel pada Big

Five personality traits (Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness

dan Neuroticism) sebagai variabel bebas dengan dispepsia fungsional sebagai

variabel tergantung. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Analisis Bivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits Sebagai
Variabel Bebas dan Dispepsia fungsional Sebagai Variabel Tergantung
Variabel Big Five Unadjusted CI 95% OR
B p Value
personality traits Odd Ratio Low High
Neuroticism 0,576 0,562 0,416 0,760 0,000
Extraversion 0,290 1,337 1,108 1,612 0,002
Openness -0,182 1,200 1,025 1,404 0,023
Agreeableness 0,267 1,306 1,135 1,504 0,000
Conscientiousness -0,743 0,476 0,323 0,701 0,000

Sesuai kesepakatan, variabel personality traits pada analisis bivariat yang

akan dimasukkan kembali pada analisis multivariat menggunakan regresi logistik

apabila memiliki nilai p < 0,25. Sehingga ada lima variabel personality traits yang

bisa dimasukkan ke dalam analisis multivariat, yaitu Openess, Concienstiousness,

Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism. Dari hasil analisis bivariat, dapat

dikatakan bahwa dispepsia fungsional berpengaruh dengan Openess,

Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism.

Dari analisis multivariat antara personality traits sebagai variabel bebas

dengan dispepsia fungsional sebagai variabel tergantung setelah dikontrol dengan

variabel kecemasan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.4.


Tabel 5.4 Analisis Multivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits
sebagai Variabel Bebas dengan Dispepsia Fungsional sebagai Variabel Tergantung
setelah dikontrol dengan variabel kecemasan
Big Five Adjusted CI 95% OR
B p value
Personality Traits OR Low High
Neuroticism 0,515 0,598 0,396 0,901 0,014
Extraversion -0,144 0,866 0,395 1,898 0,719
Openness -0,347 1,415 0,741 2,700 0,293
Agreeableness -0,090 0,914 0,580 1,441 0,699
Conscientiousness -0,435 0,647 0,404 1,035 0,070
Anxiety_nominal 0,313 1,367 0,025 75,859 0,879

Pada tabel di atas dapat kita lihat ada satu trait yang memiliki nilai p <

0,05 dan nilai CI 95% yang tidak bersinggungan dengan nilai satu yaitu

Neuroticism (p=0,014; CI 95% 0,396-0,901). Neuroticism menunjukkan Adjusted

OR sebesar 0,598 dan nilai B yang positif yang berarti setiap kenaikan 1 unit

skala Neuroticism akan meningkatkan kemungkinan terjadinya dispepsia

fungsional sebesar 0,515 kali. Dengan kata lain setiap kenaikan 10 unit skala

Neuroticism akan meningkatkan risiko terjadinya dispepsia fungsional sebesar

5,15 kali. Dengan demikian hipotesis pertama yaitu Neuroticism memiliki

pengaruh terhadap dispepsia fungsional terbukti.

Sedangkan untuk openness walaupun memiliki nilai OR > 1 namun secara

statistik tidak signifikan (nilai p > 0,05). Begitu pula untuk extraversion,

agreeableness, dan conscientiousness secara statistik tidak signifikan (p > 0,05).

Ini berarti extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya dispepsia fungsional. Dengan

demikian hipotesis kedua yang menyatakan adanya pengaruh extraversion dengan

dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis ketiga yang menyatakan adanya

pengaruh openness dengan dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis keempat


yang menyatakan adanya pengaruh agreeableness dengan dispepsia fungsional

tidak terbukti. Hipotesis kelima yang menyatakan adanya pengaruh

conscientiousness dengan dispepsia fungsional juga tidak terbukti.


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan Karakteristik Dasar

Data deskriptif pada penelitian ini dapat digambarkan dari data yang

diperoleh diantaranya yaitu: 62 orang sampel yang dipilih secara simple random

sampling ditemukan perbedaan angka prevalensi antara dispepsia fungsional

dengan dispepsia organik pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam

RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 43,50% pada dispepsia fungsional dan

56,50% pada dispepsia organik. Angka ini serupa dengan data penelitian yang

dilakukan oleh Kumar dkk, yang menemukan perbedaan prevalensi dispepsia

fungsional dengan dispepsia organik di Mumbai India sebesar 34,2% dan 65,80%

(Kumar dkk, 2012), bahkan penelitian yang dilakukan oleh Nwokediuko dkk, di

Nigeria menemukan angka prevalensi dispepsia fungsional lebih tinggi

dibandingkan dengan dispepsia organik yaitu sebesar 64,90% (Nwokediuko dkk,

2012). Meningkatkan angka prevalensi dispepsia fungsional pada beberapa

penelitian mungkin berkaitan dengan stresor psikososial. Seperti penelitian yang

dilakukan oleh Cheng dkk, didapatkan derajat stresor psikososial berhubungan

bermakna pada penderita dispepsia fungsional. Semakin banyak stresor

psikososial yang dialami, semakin tinggi sindrom dispepsia yang menyertai

penderita dispepsia fungsional. Adapun stresor psikososial pada dispepsia

fungsional terbanyak ditemukan berturut – turut adalah masalah pekerjaan (47,5


%), masalah hubungan suami/istri (22,5 %), masalah anak (17,5 %) dan masalah

hubungan antar manusia (12,5 %) (Cheng dkk, 2005).

Dilihat dari proporsi umur dengan menggunakan rerata ± SD, didapatkan

pada dispepsia fungsional yaitu: 48,29 ± 14,525, dan 53,66 ± 14,838 pada

dispepsia organik. Angka yang diperoleh ini mirip dengan penelitian yang

dilakukan oleh Mahadeva & Lee di Mumbai India, didapatkan angka prevalensi

menurut umur pada dispepsia fungsional maupun organik ˃ 40 tahun,

kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor ketahanan tubuh itu sendiri,

bertambahnya umur seseorang maka semakin rentan terhadap kejadian penyakit

(Mahadeva & Lee, 2006).

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pada dispepsia fungsional jenis

kelamin perempuan mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis

kelamin laki-laki yaitu sebesar 55,60%, berbanding terbalik dengan dispepsia

organik dimana prevalensi jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 71,40%. Angka ini mirip dengan

angka yang diperoleh oleh Widya dkk, dimana perbandingan jenis kelamin

perempuan : laki-laki pada dispepsia fungsional adalah 2 : 1, sedangkan pada

dispepsia organik perbandingan jenis kelamin perempuan : laki-laki adalah 1 : 2

(Widya dkk, 2015) atau data yang diperoleh pada tahun 2009 pada pemeriksaan

endoskopi yang dilakukan di bagian Endoskopi RS Wahidin Sudiro Husodo,

ditemukan dispepsia organik lebih banyak pada laki-laki sedangkan dispepsia

fungsional lebih banyak pada wanita (Tenri dkk, 2011). Tingginya prevalensi

dispepsia fungsional pada perempuan, hal ini karena pada perempuan lebih rentan
untuk mengalami stres, pola makan sering tidak teratur dan pada wanita sering

menjalankan program diit yang salah, menggunakan obat-obat pelangsing yang

justru membuat produksi asam lambung terganggu. Diit ketat dengan hanya

mengonsumsi buah-buahan atau sayuran, akan menimbulkan gangguan

pencernaan, atau pada perempuan yang mengalami kehamilan trimester pertama,

sering mengalami gejala yang mirip dispepsia (Widya dkk, 2015), atau penelitian

yang dilakukan oleh Farejo dkk, mengatakan bahwa perempuan memiliki

ekspektasi yang berbeda terhadap perasaan tidak nyaman ketika mengalami gejala

seperti perut kembung atau nyeri perut, hal ini karena penyakit ini dianggap subjek

sensitif dan kondisi memalukan yang mungkin lebih sulit bagi perempuan untuk

mengatasi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih sering datang kontrol ke

pelayanan kesehatan untuk memeriksakan keluhannya ini ( Farejo dkk, 2007).

Sedangkan angka prevalensi dispepsia organik lebih tinggi didapatkan pada laki-

laki, hal ini berkaitan dengan pola hidup yang cenderung tidak sehat dibandingkan

dengan perempuan seperti misalnya: kebiasaan merokok, konsumsi kafein (kopi),

alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi (softdrink), makanan yang

menghasilkan gas (tape, nangka, durian), atau konsumsi obat-obat tertentu

(Nwokediuko dkk, 2012).

Berdasarkan proporsi tertinggi jenis pekerjaan didapatkan 51,90% adalah

bekerja pada kelompok dispepsia fungsional dan sebesar 71,40% tidak bekerja

pada kelompok dispepsia organik. Angka ini mirip dengan penelitian yang

dilakukan oleh Cheng dkk, bahwa dispepsia fungsional lebih banyak ditemukan

pada orang yang bekerja di kantoran. Dalam penelitian tersebut disimpulkan


semakin tinggi beban kerja, lama jam kerja, dan posisi jabatan yang semakin

tinggi maka kejadian untuk menderita dispepsia fungsional akan semakin tinggi

(Cheng dkk, 2011). Sedangkan pada dispepsia organik lebih banyak tidak bekerja,

ini sesuai dengan penelitian Tenri dkk, yang mengatakan pada dispepsia organik

lebih banyak berhubungan dengan faktor usia, penyakit yang bersifat kronis atau

berulang dan faktor ketahanan tubuh yang semakin menurun dengan

bertambahnya usia (Tenri dkk, 2011).

Dilihat dari proporsi kecemasan yang dialami oleh kedua kelompok pada

penelitian ini ditemukan secara statistik ada perbedaan secara signifikan (p ˂

0,05). 44,40% pada kelompok dispepsia fungsional mengalami kecemasan, dan

berbeda dengan kelompok dispepsia organik didapatkan sebesar 97,10% tidak

mengalami kecemasan. Hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

oleh Daniela dkk, menunjukkan bahwa ada hubungan antara dispepsia organik dan

dispepsia fungsional dengan kecemasan dimana 25% dari penderita ulkus

duodenal, 31,2% pasien dispepsia fungsional ditemukan gangguan jiwa dalam

bentuk kecemasan. Pada Penelitian tersebut disimpulkan bahwa pasien dispepsia

ada hubungannya dengan kecemasan dimana dispepsia fungsional lebih tinggi

tingkat kecemasannya dibandingkan pasien dispepsia organik (Daniela dkk, 2012),

ataupun penelitian yang dilakukan oleh Pertti dkk, menemukan bahwa baik

penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik pernah mengalami

kecemasan dengan tingkatan yang bervariasi dari ringan, sedang dan berat, dan

disimpulkan penderita dispepsia fungsional lebih banyak mengalami kecemasan

daripada dispepsia organik (Pertti dkk, 2011). Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Ghoshal dkk, terdapat penemuan yang sangat berarti bahwa tidak

ada hubungan yang bermakna antara kejadian dispepsia organik dengan derajat

kecemasan, ini membuktikan bahwa pada dispepsia organik murni penyebabnya

bukan kecemasan tetapi kecemasan yang timbul akibat dari perjalanan

penyakitnya, mungkin karena penderita merasa tidak pernah merasa sembuh dari

penyakitnya, fakta ini menguatkan bila penderita dispepsia organik itu tidak ada

satupun yang terbebas dari rasa cemas oleh karena keluhan atau gejala gastritis

dan ulkus tersebut. Jadi disini faktor fisik dan psikis saling berinteraksi dan dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan (Ghoshal dkk, 2011).

6.2. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis

Pengaruh Neuroticism dengan dispepsia fungsional menunjukkan bahwa

dispepsia fungsional lebih mudah terjadi pada individu dengan kepribadian yang

pencemas, temperamental, mengasihi diri sendiri, emosional, dan retan terhadap

gangguan stres. Sedangkan mereka yang tidak mengalami dispepsia fungsional

merupakan cenderung lebih tenang, rileks, tidak emosional, memiliki daya tahan

terhadap stres, merasa aman, dan puas atas diri sendiri. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa mereka yang mengalami dispepsia fungsional merupakan

orang-orang yang memiliki sifat mudah khawatir, gugup, kemarahan, merasa tidak

aman, tidak mampu dan mudah panik, kurang kontrol diri, kerapuhan, sedangkan

mereka yang tidak mengalami dispepsia fungsional merupakan orang-orang yang

memiliki temparamental datar, puas akan diri sendiri dan tidak emosional (Feist &

Feist, 2009).
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian lain yang dilakukan oleh

Ambarwati pada penelitian kuantitatif dengan sampel 90 orang penderita dispepsia

fungsional dilakukan di RSCM dan beberapa klinik di Jakarta. Penelitian ini

mempergunakan cara penyebaran angket yang diadaptasi dari NEOP1-R buatan

McCrae dan Costa (1990). Hasilnya ternyata trait neuroticism dan trait

extraversion masing-masing memiliki pengaruh yang cukup kuat pada penderita

dispepsia fungsional. Jika dibandingkan per subgrup dispepsia fungsional terlihat

kalau pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia serta non-specific dyspepsia

cenderung lebih dipengaruhi trait neuroticism. Dan pasien-pasien pada subgrup

dysmotility-like dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait extraversion.

Selanjutnya dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara depth

interview dan observasi terlihat bahwa pengaruh trait neuroticism membuat

penderita menjadi sosok yang selalu worrying, emotional, insecure, dan

inadequate (Ambarwati, 2005).

Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Chun dkk, pada 187

pasien rawat jalan (72,2% pasien wanita, usia rata-rata 42,6 tahun) dengan

dispepsia fungsional berdasarkan kriteria Roma III. Pasien diwawancarai dan

dievaluasi dengan Brief Symptom Rating Scale, dan hasilnya ternyata trait

neuroticism berpengaruh secara signifikan dengan timbulnya dispepsia fungsional

terutama pada sub group postprandial distress syndrome (Chun dkk, 2009).

Penelitian yang berkaitan dengan terapi dilakukan oleh Tanum & Malt

menemukan pengaruh antara kepribadian dan respon terhadap pengobatan dengan


tetracyclic antidepressant mianserin atau plasebo pada pasien dengan gangguan

dispepsia fungsional pada 48 pasien dengan mengisi kuesioner Buss-Durkee

Hostility Inventory, Neuroticism Extroversion Openness -Personality Inventory

(NEO-PI), and Eysenck Personality Questionnaire (EPQ), neuroticism + lie

subscales secara komplit. Hasilnya skor level rendah neuroticism dengan

pengobatan dengan obat tetracyclic antidepressant mianserin pada pasien

dispepsia fungsional mempunyai efek terapi yang lebih baik dibandingkan dengan

penderita dispepsia fungsional yang mempunyai skor level sedang sampai tinggi

neuroticism (Tanum & malt, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Branka dkk, mendapatkan bahwa

pemeriksaan yang dilakukan pada 60 pasien dengan dispepsia fungsional

kemudian diberikan kuesioner kepribadian Eysenck mengungkapkan bahwa

kecemasan tetinggi ditemukan pada dispepsia fungsional dan memiliki skor

neuroticism yang tinggi (Branka dkk, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Guowen dkk, menemukan bahwa pasien

dengan dispepsia fungsional memiliki skor neuroticism yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami dispepsia fungsional (Guowen

dkk, 2009). Individu dengan skor tinggi pada neuroticism memiliki

kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri

sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stress sehingga

cenderung mudah mengalami dispepsia fungsional. Sesuai dengan teori S. Freud

pada psikoanalitik klasik yaitu: teori kepribadian yang membagi struktur mind ke

dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang


sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Konflik yang terjadi pada masa

awal-awal kehidupan, sangat berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah

dewasa. Semua konflik-konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau

tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Apabila timbul konflik saat

dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan

akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu. Pada kepribadian

cemas (neuroticism) konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah sadar akan

dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi sebagai bentuk

mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila berlangsung berulang kali

akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud Somatisasi, salah satunya

dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009).

Penelitian lain memperoleh hasil bahwa ditemukan ada pengaruh antara

dimensi extraversion terhadap dispepsia fungsional. Makin rendah skor dimensi

extraversion maka semakin tinggi risiko mengalami dispepsia fungsional.

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cano dkk, yang

mendapatkan bahwa skor extraversion yang rendah berpengaruh dengan dispepsia

fungsional. Individu dengan extraversion yang rendah tidak bisa menikmati hidup,

tidak bisa fokus pada pekerjaan, merasa tidak bertujuan dalam hidup, kadang-

kadang disebabkan oleh perasaan negatif, seperti suasana hati yang rendah,

kekecewaan, kecemasan, dan depresi. Di sisi lain, dispepsia fungsional

menyebabkan diri ketidakpuasan dan menodai diri. Hal ini disebabkan oleh fakta

bahwa pasien menganggap dispepsia disebabkan karena kegiatan yang dia


lakukan. Individu dengan dispepsia memiliki hubungan sosial yang lebih rendah

dibandingkan dengan individu normal (Cano dkk, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Tobon dkk, menemukan bahwa individu

dengan dispepsia fungsional memiliki skor neuroticism yang tinggi, skor

extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness yang rendah.

Penelitian ini mendapatkan conscientiousness yang rendah hanya berpengaruh

secara indirect terhadap dispepsia fungsional (Tobon dkk, 2013). Hal ini mungkin

disebabkan karena individu yang memiliki skor rendah dalam concienstiousness

cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah

menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya sehingga mudah

mengalami stress (Tobon dkk, 2013).

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa ditemukan pengaruh yang kurang

signifikan antara dimensi agreeableness terhadap dispepsia fungsional. Makin

rendah skor dimensi agreeableness maka semakin tinggi risiko mengalami

dispepsia fungsional. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang ada,

dimana orang dengan skor agreeableness yang rendah cenderung argumentatif,

tidak kooperatif atau tidak simpatik sehingga diperkirakan lebih mungkin

mengalami dispepsia fungsional. Individu dengan tingkat agreeableness yang

rendah cenderung suka mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung,

cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif

(Cloninger, 2012).

Pada penelitian ini openness ditemukan berpengaruh yang kecil dengan

terjadinya dispepsia fungsional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Openness


digambarkan dengan individu yang bersedia untuk melakukan penyesuaian

terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah

bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu

untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Pada individu

dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang

berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. Individu

seperti ini akan cenderung mengalami dispepsia fungsional (Cloninger, 2012).


BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dispepsia merupakan sindrom gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan

yang berpusat di perut bagian atas. Dispepsia setelah dilakukan endoskopi tidak

hanya disebabkan oleh adanya kelainan struktural pada organ lambung atau yang

lebih dikenal dengan dispepsia organik, tetapi juga oleh faktor psikis, atau lebih

dikenal dengan dispepsia fungsional. Angka prevalensi dispepsia fungsional yang

berkunjung ke poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah, hampir sepertiga pasien

yang dilakukan pemeriksaan endoskopi didiagnosis dengan dispepsia fungsional.

Dimensi kepribadian merupakan salah faktor yang berpengaruh timbulnya

dispepsia fungsional. Pada penelitian ini didapatkan neuroticism traits memiliki

hubungan yang bermakna dengan dispepsia fungsional. Neuroticism adalah

dimensi kepribadian yang cenderung mengalami kecemasan, temperamental,

mudah khawatir, gugup, mudah panik bagi yang memiliki skor tinggi nuroticism.

7.2 Saran

Tingginya angka prevalensi dispepsia fungsional di poliklinik Penyakit Dalam

RSUP Sanglah dapat digunakan sebagai indikator bahwa sub divisi CLP (

Consultation Liaison Psychiatry) di Ilmu Kesehatan Jiwa bisa menjembatani

berbagai disiplin ilmu di dalam penanganan pasien dispepsia fungsional. Dalam

beberapa penelitian juga prevalensi dispepsia organik yang mengalami gangguan

psikiatri khususnya kecemasan cukup tinggi, maka diharapkan dimasa depan ada

penelitian yang menghubungkan kepribadian neurotism dengan dispepsia organik,

66
dan perlunya pasien dispepsia organik mendapat penanganan di bidang psikiatri

selain Ilmu Penyakit Dalam. Di masa depan juga diharapkan ada penelitian yang

bersifat prospektif untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara Big Five

Personality Traits dengan dispepsia fungsional ataupun dispepsia organik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu


Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Divisi
Gastroenterologi, 39(9).
Ambarwati, A. S. 2005. “Gambaran trait kepribadian, kecemasan dan stres,
serta strategi coping pada penderita dispensia fungsional”(Tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia. Retreved Mei 19, 2015, Available from
lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=97051
Ammerman, R. T. 2006. Comprehensive handbook of personality and
psychopathology. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Andre, Y., Machmud, R., Widya, A. M. 2013. Hubungan Pola Makan
dengan Kejadian Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional. Retreved Mei 19,
2015, Availlable from https://ml.scribd.com/doc/210276959/JURNAL-SKRIPSI.
Appendix B: Roma III. 2010. Diagnostic criteria for functional
gastrointestinal disorders. Am J Gastroenterol, 105:798–801.
Branka, F.F., Randjelovic, T., Ille, T., Markovic, O., Milovanovic, B.,
Kovacevic, N. 2013. Anxiety, personality traits and quality of life in functional
dyspepsia-suffering patients. European Journal of Internal Medicine, 24(1): 83-86.
Brun, R. & Kuo, B. 2010. Functional Dispepsia. Ther Adv Gastroenterol, 3
(3): 145-164.
Cahyanto, M. E., Ratnasari, N., Siswanto, A. 2014. Symptoms of
depression and quality of life in functional dispepsia patients . J Med SSccii,
46(2) : 88 – 93.
Cano, E., Quiceno, J., Vinaccia, S., Milena, A.G., Toban, S., Sandin, B.
2006. Quality of life and associated psychological factors in patients with
functional dyspepsia. Colombia: Universidad De San Buenaventura. 3(5).
Retreved September 30, 2015, Available from
http://www.scielo.org.co/scielo.php?pid=S165792672006000300007&script=sci_
arttext&tlng=pt
Chang, L. 2006. From Rome to Los Angeles: The Rome III Criteria for the
Functional GI Disorders. Medscape Gastroenterology.
Cheng, C., Hui, W.M., Kum, S.L. 2005. Psychosocial Factors and
Perceived Severity of Functional Dyspeptic Symptoms: A Psychosocial
Interactionist Model. Psychosomatic Medicine, 66:85–91.
Chun, H.Y., Ming, J.L., Cheng, S.L., Huey, T.Y., Tang,H.W. 2009.
Psychopathology and personality trait in subgroups of functional dyspepsia based
on rome III criteria. Am J Gastroenterol, 104:2534-2542. Retreved September 25,
2015, Available from
http://www.nature.com/ajg/journal/v104/n10/abs/ajg2009328a.html
Cloninger, S. C. 2012. Theories of Personality: Understanding Persons.
th
6 edition. United State: Pearson Prentice Hall.
Crawford, J., Henry, J. 2003. The Depresson Anxiety Stres Scale (DASS):
Normative Data and Latent Structure in A Large Non-Clinical Sample. Br J Clin
Psychol, 42(2): 111-131.
Dahlan, M. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
nd
Penelitian kedokteran dan Kesehatan. 2 edition. Jakarta: Salemba Medika.
Daniela, M.T., Micut, R., Dragos, D. 2012. A review of the
psychoemotional factors in functional dyspepsia. Romania: Internal Medicine
Department, University Emergency Hospital Bucharest. 59(4):278-285.
Djojoningrat, D. 2006. Dispepsia fungsional dalam Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam FKUI.
Donnellan, M. B., Oswald, F. L., Baird, B. M., Lucas, R. E. 2006. The
MINI-IPIP Scales: Tiny-Yet-Effective Measures of The Big Five Factors of
Personality. Journal of Psychological Assesment, 193: 203.
Drug, V., Stanciu, C. 2007. Functional Dispepsia: Recent Advances
(Progresses) in Pathophysiology and Treatment. A Journal of Clinical Medicine,
2(4): 311-315.
Faresjo, A., Welen, K., Tomas F. 2007. Functional dyspepsia affects
woman more than men in daily life: A case-control study in primary care. Gender
Medicine, 1(5): 62-73.
th
Feist, J. & Feist, J. G. 2009. Theories of Personality. 7 edition. New
York: The McGraw-Hill Companies.
Friedman, H. S. and Schustack, M. W. 2008. Kepribadian: Teori Klasik
rd
dan Riset Modern. 3 edition. Jakarta: Erlangga.
Gene, N. 2012. Borderline personality disorder : an evaluation of its
connection to the brain and clinical issues. London: Traumatic Stres Service
Clinical Treatment Centre Maudsley Hospital.
Ghoshal,U.C., Singh, R., Young, F.C., Xiaohua, H., Chun, B.Y.,
Kachintorn, U. 2011. Epidemiology of uninvestigated and functional dyspepsia in
asia: facts and fiction. Journal of Neurogastroenterology and Motility, 17(3): 235.
Grantika, P. A. 2015. “Hubungan big five personality traits dengan nyeri
kepala primer pada siswa-siswi sekolah menengah atas di denpasar” (Tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
Guowen, Z., Jiang, Q., Liexin, L. 2004. The influence of personality,
psychological factors on functional dyspepsia. Journal of Guangxi Medical
University. Retreved September 25, 2015, Available from
http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-GXYD200403011.htm
Harahap, H.S. 2010. Karakteristik pasien dispepsia yang rawat inap.
Retreved Mei 15, 2015, Available From
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20335/7/Cover.pdf.
John, O. P., Robins, R.W., Pervin, L. A. 2008. Handbook of personality:
theory and research. New York: The Guilford Press
Kandulski, A., Venerito, M., Malfertheine, P. 2011. Therapeutic Approach
in Functional (Nonulcer) Dispepsia. In: Duvnjak M, editor. Dispepsia in Clinical
Practice. New York: Springer Science+Business Media. p. 143-151.
Kholifah, A. 2013. “Gambaran Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah
Menghadapi Menstruasi Pertama (Menarche) di Sekolah Dasar Negeri
Gegerkalong Girang 2” (Skripsi). Jakarta: Universitas Indonesia.
Koenigsberg, H.W., Siever,L. J., Lee, H., Pizzarello, S., New, A. S., &
Goodman, M. 2009. Neural correlates of emotion processing in borderline
personality disorder. Psychiatry Research: Neuroimaging, 172: 192–199.
Krueger, R. F. & Tackett, J. L. 2006. Personality and psychopathology.
New York:The Guilford Press.
Kumar, A., Jignesh, P., Prabha, S. 2012. Epidemiology of functional
dispepsia. J Assoc Physicians India, 60: 9-12.
Kumar, A., Patel, J., Sawant, P. 2012. Epidemiology of functional
dyspepsia. India: Assoctiation of physicians. 60.
Larsen, R., J. & Buss, M., D. 2002. Personality Psychology: Domains of
Knowledge about Human Nature. New York: McGraw-Hill.
Lee, H., Jung, H., Huh, K. B. 2014. Current status of functional dispepsia
in Korea. The Korean Journal of Internal Medicine, 29(2): 156-165. Retreved Mei
15, 2015, Availablle on http://dx.doi.org/10.3904/kjim.2014.29.2.156.
Lenzenweger, M. F. & Clarkin, J. F. 2005. Mayor theories of personality
disorder. New York: The Guilford Press.
Lovibond, S. & Lovibond, P. 1995. Manual for the Depression Anxiety
nd
Stres Scale. 2 edition. Sydney: Psychology Foundation.
Loyd, R. A. & McClelan, D. A. 2011. Update on the Evaluation and
Management of Functional Dispepsia. American Academy of Family Physicians.
Texas A&M Health Science Center College of Medicine, Bryan, Texas. Retreved
Mei 15, 2015, Availlable from.www.aafp.org/afp.
Magnavita, J. J. 2004. Handbook of personality disorders. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Mahadeva, S., Lee, K.G. 2006. Epidemiology of functional dyspepsia: A
global perspective. World Journal of Gastroenterology. 12(17): 2661-2666.
Martens, A., Greenberg, A., Allen, J. J. B. 2008. Self-esteem and
autonomic psychology: Parallels between self-esteem and vagal tone as buffers of
threat. Personality and Psychology Review, 12: 370-389.
Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Micut, R., Tanasescu, M. D., Dragos, D. 2012. A review of the
psychoemotional factors in functional dispepsia. Educate Medicala Continua,
59(4): 278-286.
Musana, A. K., Yale, S. H., Lang, K. A. 2006. Managing Dispepsia in a
Primary Care Setting. Clin Med and Research, 4(4): 337-342.
New, A. S. & Siever, L. J. 2008. The Neurobiology and Genetics of
Borderline Personality Disorder. London: Traumatic Stres Service Clinical
Treatment Centre Maudsley Hospital.
Nwokediuko, C.S., Ijoma, U., Obienu, O. 2012. Functional dyspepsia:
subtypes, risk factors, and overlap with irritable bowel syndrome in a population
of african patients. Nigeria: University of Nigeria Teaching Hospital.
O’Mahony, S., Dinan, T. G., Keeling, P. W., Chua, A. S. B. 2006. Central
Serotonergic and Noradrenergic Receptors in Functional Dispepsia. World J
Gastroenterol, 12(17): 2681-2687.
Oldham, J. M., Skodol, A. E., Bender, D. S. 2009. Essentials of personality
disorders. Washington, DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
Pertti, A., Nicholas, J., Agreus,L., Johansson,S.E., Elisabeth, B.S.,
Storskrubb, T., Ronkainen,J. 2011. Functional dyspepsia impares quality of life in
the adult population. Alimentary Pharmacology and Therapeutics, Wiley-
Blackwell. 33(11): 121.
Pervin, L. A., Cervone, D., John, O. P. 2005. Personality: Theory and
th
Research. 9 edition. New York: John Willey & Sons, Inc.
Pulanic, R. 2011. Epidemiology. In: Duvnjak M, editor. Dispepsia in
Clinical Practice. New York: Springer Science+Business Media. p. 19-27.
Randall, C.W., Zaga-Galante, J., Vergara-Suarez, A. 2014. Non-Ulcer
Dispepsia: A Review of the Pathophysiology, Evaluation, and Current
Management Strategies. Retreved Mei 15, 2015, Availablle on
http://dx.doi.org/10.4172/2165-8048.S1-002.
Rathus, S. and Nevid, J. 2007. Psychology and The Challenge of Life :
th
Adjustment in The New Millennium.12 edition. Denver: John Wiley&Sons, Inc.
RSUP Sanglah, D.,B. 2013. Bank data RSUP Sanglah tahun 2013.
Retreved Mei 15, 2015, Availlable from
bankdata.denpasarkota.go.id/download.php/?i=467
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. 2010. Teori kepribadian dan
psikopatologi. Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara Publisher. p. 372-394.
Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis. CV
Sagung Seto. Jakarta.
Soo, S., Forman, D., Delaney, B.C., Moayyedi, P. 2004. A Sistematic
Review of Psychological Therapies for Nonulcer Dispepsia. Am J Gastroenterol,
99: 1817-1822.
Tack, J., Talley, N. J., Camilleri, M., Holtmann, G. H. P., Malagelada, J.
R., Stanghellini, V. 2006. Functional Gastroduodenal Disorders.
Gastroenterology, 130: 1466-1479.
Talley, N. J. & Holtmann, G. 2008. Approach to the Patient with Dispepsia
and Related Functional Gastrointestinal Complaints. In: Yamada T, Alpers DH,
Kalloo AN, Kaplowitz N, Owyang C, Powel DW, editors. Principles of Clinical
Gastroenterology. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd. p. 38-61.
Tanum, L., Malt, U.F. 2009. Personality traits predict treatment outcome
with an antidepressant in patients with functional gastrointestinal disorder.
Scandinavian Journal of Gastroenterology, 35(9): 935-941. Retreved September
25, 2015, Available from
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/003655200750022986
Tenri, S.U., Jayalangkara, A., Hawaidah, Patellongi, I. 2011. Anxiety
relationship with dyspepsia of organic.1(3): 253-261.
Tobon, S., Vinaccia, S. A., Sandin, B. 2013. Life stress and psychological
factors in functional dyspepsia. Retreved September 30, 2015, Available from
http://revistas.um.es/analesps/article/view/27681/0
Widya, A.M., Muya, Y., Herman, B.R. 2015. Karakteristik penderita
dyspepsia fungsional yang mengalami kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(2). Retreved September 30, 2015, Available from
http://jurnal.fk.unand.ac.id
Widyasari, I. 2011. “Hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian
introvert dengan dispepsia fungsional” ( Tesis ). Surakarta: Universitas
Muhammadiah. Retreved Mei 15, 2015, Available from
http://eprints.ums.ac.id/15978/1/cover_ika.pdf
Yehuda, R. 2010. Functional dispepsia. Chapel Hill: UNC Center for
functional GI and motility disorders.

Anda mungkin juga menyukai