Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.
Nasofaring meluas dari dasar tengkoraksampai batas palatum mole. Orofaring
meluas dari batas tadi sampai batas epiglotis, sedangkan dibawah garis batas ini
adalah laringofaring atau hipofaring.1
Tonsilitis akut adalah penyakit yang sering di jumpai pada anak-anak.
Etiologi tonsilitis bakterialis supuratif akut paling sering disebabkan oleh
streptokokus beta hemolitikus grup A, meskipun pneumokokus, stafilokokus, dan
Haemophilus influenza juga virus patogen dan dapat dilibatkan. Kadang-kadang
streptokokus non hemolitikus atau Streptokokus viridans ditemukan dalam
biakan, biasanya pada kasus-kasus berat. Streptokokus non hemolitikus dan
Streptokokus viridans mungkin dibiakkna dari tenggorokan orang yang sehat,
khususnya pada bulan-bulan musim dingin, dan pada saat epidemi infeksi
pernapasan akut, streptokokus hemolitikus dapat ditemukan dalam tenggorokan
orang yang kelihatannya sehat.1
Terdapat peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsila dengan
pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan bakteri patogen dalam kripta.
Mungkin adanya perbedaan dalam strain atau virulensi organisme dapat
menjelaskan variasi dari fase-fase patologis berikut:1
1. Perdangan biasa daerah tonsil saja
2. Pembentukan eksudat
3. Selulitis tonsila dan daerah sekitarnya
4. Pembentukan abses peritonsilar
5. Nekrosis jaringan
Abses Peritonsilar merupakan stadium lanjutan dari tonsilitis akut apabila
tidak diberikan penanganan yang tepat.

1
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan refarat ini adalah:
1.Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis tentang abses peritonsil.
2.Untuk memahami cara melakukan pendeteksian awal abses peritonsil.
3.Untuk mengetahui gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan abses peritonsil.
4.Untuk mengetahui tatalaksana dan pencegahan yang dilakukan apabila
menemukan pasien dengan abses peritonsil.

1.3 Manfaat
Manfaat yang didapat dari penulisan refarat ini adalah:
1. Untuk mempelajari cara penulisan refarat yang baik dan benar.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai cara
mendiagnosis pasien dengan abses peritonsil sebagai kompetensi dokter
umum pada tingkat fasilitas kesehatan layanan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Rongga Mulut dan Faring


Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak
di depan batas bebas palatum mole, arkus faringus anterior dan dasar lidah. Nasofaring
meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole. Orofaring meluas dari batas
tadi sampai batas epiglotis, sedangkan di bawah garis batas ini adalah laringofaring atau
hipofaring.2

2.1.1 Rongga Mulut


Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang
dipersarafi oleh saraf fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi oleh lapisan
tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah
vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibular dibagian bawah dan krista
alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring
dan dua gigi geraham . Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua
gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk
menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai
permukaan oklusal yang datar. Daerah di antara gigi molar paling belakang atas dan
bawah dikenal dengan trigonum retromolar.2

3
Gambar 2.1. Bagian-bagian dari Faring.6

Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian
besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk
faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole
menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan
menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian
dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi
frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut
menjadi kering atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada
beberapa pasien.2
Lidah merpakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalan terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf
hipoglosus. Perasaan dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf
glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.2
Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah dua pertiga bagian depan, sedangkan
saraf glosofaringeus mempersarafi cita rasa lidah sepertiga bagian belakang. Cita rasa
dibagi dalam daerah-daerah tertentu. Misalnya, rasa pahit dapat dirasakan pada lidah
bagian belakang. Permukaan lidah bagian atas dibagi menjadi dua pertiga depan dan
sepertiga bagian belakang oleh garis dari papila sirkumvalata yang berbentuk huruf V.
Foramen sekum yang terdapat di puncak dari huruf V merupakan tempat asal duktus

4
tiroglosus. Fungsi lidah untuk bicara dan menggerakkan bolus makanan pada waktu
pengunyahan dan penelanan.2

2.1.2 Faring
Dibelakang mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput
disebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra
servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan ke hidung melalui koana posterior.
Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba
eustasius kartilaginosa terdapat di depan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua
struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli
palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustaki, masuk
ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus
tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf
mandibularis melalui ganglion otic.2

Gambar 2.2. Gambar dari dinding faring bagian lateral.2

Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang
berisi beberapa kripta. Tampaknya tidak dapat dibuktikan adanya penurunan kekebalan

5
yang disebabkan oleh pengangkatan tonsila (atau adenoid). Celah di atas tonsila
merupakan sisa dari endodermal muara arkus brankial kedua; di mana fistula brankial
atau sinus internal bermuara. Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan
sekitar jaringan dan dapat meluas ke atas pada dasar palatum mole sebagai abses
peritonsilar.2,3
Hipofaring terbuka ke arah depan masuk ke introitus laring. Epiglotis dilekatkan
pada dasar lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini
menyebabkan terbentuknya dua valekula disetiap sisi. Di bawah valekula adalah
permukaan laringeal dari epiglotis. Dibawah muara glotis bagian medial dan lateral
terdapat ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di antara lipatan ariepiglotika dan
kartilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid, dan di bawah
terdapat muara esofagus.2,3
Esofagus bagian servikal terletak kurang lebih pada garis tengah leher
dibelakang trakea dan di depan korpus vertebra. Saraf laringeus rekurens terdapat pada
alur diantara esofagus dan trakea. Arteri karotis komunis dan isi dari selubung karotis
terletak dilateral esofagus. Pada lapisan otot faring terdapat daerah trigonum yang lemah
di atas otot berikut faringeus yang berkembang dari cricoid dan mengelilingi esofagus
bagian atas. divertikulum yang disebut divertikulum zenker dapat keluar melalui daerah
yang lemah ini dan berlawanan dengan penelanan.2,3

Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga
dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu kegagalan dari
otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faring akan
menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan
makanan ke dalam cabang trakeobronkial.2,3

2.1.3 Leher

Pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan thorax dari kepala.
Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari dibawah foregut, yang bermigrasi
ke rongga toraks dan aparatus brankial berkembang menjadi bentuk yang sekarang.

6
Migrasi dari jantung merupakan sebab mengapa beberapa struktur dari lahir bermigrasi
terakhir. Pada masa embrio awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi dari foregut
yang juga dapat dilihat dari luar. Tonjolan ini adalah aparatus bronkialis.3

Meskipun secara filogenik terdapat enam arcus brankialis, arkus kelima tidak
pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk ligamentum
arteriosum. Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar. Setiap arkus brankialis
mempunyai sepotong kartilago, yang berhubungan dengan kartilago ini adalah arkus
arteri, saraf dan beberapa mesenkim yang akan membentuk otot. Di belakang setiap
arkus terdapat alur eksternal yang terdiri dari ektodermal dan kantong internal yang
berisi endodermal. Daerah diantara ektodermal dan endodermal dikenal dengan lempeng
akhir.3

2.2 Aliran Darah, Persarafan, dan Aliran Limfatik

Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna.
beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah Sisi Lainnya.
ujung cabang Arteri maksilaris Interna cabang tonsillar Arteri fasialis cabang lingual
Arteri lingualis bagian dorsal cabang arteri tiroidea superior, dan arteri faringeal yang
naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas. Persarafan motorik sudah
dibicarakan. Persarafan sensorik nasofaring dan orofaring seperti dasar lidah, terutama
melalui pleksus faringeal dari saraf glosofaringeal. Pada bagian bawah faring terdapat
persarafan sensorik yang berasal dari saraf vagus melalui saraf laringeus Superior.
Aliran limfa faringeal meliputi rantai retropharyngeal dan faringeal lateral dengan jalan
selanjutnya masuk nodus servikalis profunda. Keganasan nasofaring seringkali
bermetastase ke rantai servikalis profunda.2,3

2.3 Fisiologi Faring

Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan


artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi pernapasan dan penelanan
akan dijelaskan dibawah ini.2

7
2.3.1 Pernapasan

Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan


makanan. Hubungan faring dan organ-organ lain yaitu, ronga hidung (koana) ke atas,
ronga mulut (istmus favsium) ke depan, depan lubang laring ke bawah, dan lubang
esophagus ke belakang. Rongga faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.2,4,5

Gambar 2.3 Saluran Pernapasan.6

Proses pernapasan meliputi dua proses, yaitu menarik napas atau inspirasi, serta
mengeluarkan napas atau ekspirasi. Dimana saat melakukan ekspirasi dan inspirasi itu
sangat besar kaitannya dengan saluran pernapasan bagian atas. Sewaktu menarik napas,
otot diafragma berkontraksi dari posisi melengkung ke atas menjadi lurus. Bersama
dengan itu, otot-otot tulang rusukpun berkontraksi. Akibat berkontraksi kedua otot
tersebut rongga dada mengembang sehingga tekanan dalam rongga dada berkurang dan
udara masuk. Saat manusia mengeluarkan napas, otot diafragma dan otot-otot tulang

8
rusuk melemas. Akibatnya, rongga dada mengecil dan tekanan udara keluar, jadi udara
mengalir dari tempat yang bertekanan besar ke tempat yang bertekanan lebih kecil.7

2.3.2 Penelanan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari
mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring, dan
tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah
yang sebenarnya adalah pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.
Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahioid
berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dan dengan demikian membuka hipofaring
dan sinus piriformis. Secara bersamaan otot laringis intrinsik berkontraksi dalam
gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian
belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh
kontraksi otot konstriktor faringitis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus
esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus
berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui
esofagus dan masuk ke lambung.1

2.4 Abses Peritonsil

2.4.1 Definisi
Abses peritonsil adalah infeksi dalam pada kepala dan leher yang paling umum
terjadi saat usia remaja. Abses Peritonsilar merupakan stadium lanjutan dari tonsilitis
akut apabila tidak diberikan penanganan yang tepat. Insidensi ini Infeksi ini dapat terjadi
pada semua kelompok umur, tetapi insidensi tertinggi adalah pada anak-anak hingga
remaja.3

9
2.4.2 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.8 Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.9

Kadang-kadang infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah


tonsila meluas sampai palatum mole. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses
peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi cepat dengan awitan awal dari tonsilitis atau
akhir dari perjalanan penyakit tonsilitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan
penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan
dewasa muda.3

2.4.3 Gejala Klinis

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan)
yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau, hipersalivasi, hot potato voice dan kadang-
kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.9

Pada kasus yang agak berat biasanya terjadi disfagia yang nyata nyeri alih ke
telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat dan khususnya trismus.
Pembengkakan mengganggu artikulasi dan jika nyata, bicara menjadi sulit, demam
sekitar 100oF, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi.2,3

Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena


ketidakmampuan pasien membuka mulut, pemeriksaan menyebabkan pasien merasa
tidak enak. Diagnosis jarang sanksi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris
yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah dengan edema dari palatum mole
dan penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsila sendiri tampak normal

10
juga terdorong ke medial dan pembengkakan terjadi lateral terhadap tonsila. Palpasi,
jika mungkin, membantu membedakan abses dari selulitis.2,3,9

2.4.4 Patologi dan Bakteriologi

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah
ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses
peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.8

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat) selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadisupurasi sehingga daerah tersebut
lebih luna. Pembengakakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral.9

Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan


menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus.9

Infiltrasi supuratif dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering pada fosa
supratonsilaris (70%). Hal ini menyebabkan edema palatum Mole pada sisi yang terkena
dan pendorongan uvula melewati garis tengah. Pembengkakan meluas ke jaringan lunak
sekitarnya menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus.9

Biakan tenggorokan diambil, tetapi seringkali tidak membantu dalam


mengetahui organisme penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotik terlebih
dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya dapat menunjukkan trauma
Streptococcus pyogenes, dan yang agak jarang Staphylococcus aureus.9

11
Tabel 2.1 Bakteri Patogen yang Mungkin dengan Pilihan Antimikroba Pada Pasien
Dengan Abses Peritonsilaris.2

Etiologi Antibiotik

Streptokokus Penisilin

Bakteroides Sefalosporin

Hemofilus Klindamisin

Fusobakterium

Staphylococcus aureus

Peptokokus

Sprinkle dan lainnya menemukan insidensi yang tinggi akibat dari bakteri
anaerob, yang memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tersebut
biasanya ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari famili Bacteroidaceae.2

2.4.5 Tatalaksana

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau


klindamisin, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan
kompres dingin pada leher.9,10

Jika terbentuk abses, maka memerlukan pembedahan drainase, baik dengan


teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul
dalam memastikan apakah berhubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses
yang sebenarnya telah terjadi. Jika ragu-ragu jarum ukuran 17 dapat dimasukkan
(setelah aplikasi dengan anestesi semprot) ke dalam tiga lokasi yang tampak paling
mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan, metode
ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotik. Jika jumlah pus banyak
ditemukan dan tidak cukup di drainase dengan metode ini, insisi yang lebih jauh dan

12
drainase dapat dilakukan. Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan
dengan selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan pada
kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fosa tonsilaris dan tidak
dapat dicapai dengan menggunakan teknik jarum.2

Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring


disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2cc xilokain dengan adrenalin 1/100.000
di suntikan. Pisau tonsila no. 12 atau no. 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi
yang dalam, yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa
dekat kutub atas fosa tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan
dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan untuk
mengumpulkan pus yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda
dengan trismus yang berat pembedahan drainase untuk abses peritonsilaris mungkin
dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion
sfenopalatina pada fosa nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus.
Anak-anak yang lebih muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan ke
tonsilektomi segera (tonsilektomi Quinsy) merasa bahwa ini merupakan prosedur yang
aman yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsila diangkat. Hal ini
mengurangi kebutuhan tonsilektomi terencana yang dilakukan enam minggu kemudian,
di mana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan kapsul tonsilaris kurang
mudah dikenali. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera disusun pada tabel dibawah
ini.2

13
Tabel 2.2 Indikasi-Indikasi untuk Tonsilektomi Segera Pada Abses Peritonsilaris.2

Obstruksi jalan napas atas

Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam

Riwayat abses peritonsilaris sebelumnya

Riwayat faringitis eksudatifa yang berulang

Di samping pembedahan drainase, apakah dengan aspirasi jarum atau dengan


insisi, pasien diobati dengan antibiotik dan irigasi cairan garam hangat. Walaupun
biakan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan karena pemberian antibiotik, terlebih
dahulu antibiotik diberikan yang efektif melawan Streptococcus, Staphylococcus, dan
anaerob oral. Pada individu dengan abses peritonsilaris ulangan atau riwayat episode
faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka waktu enam minggu
dan kemudian dilakukan tonsilektomi.2

2.4.5.1 Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih


dilakukan pada tahun 1867, menyatakan bahwa orang Indian Asiatic terampil dalam
tonsilektomi pada tahun 1000 SM. Frekuensi prosedur pembedahan menurun secara
drastis sejak munculnya antibiotik. Selain itu pengertian yang lebih baik dari indikasi-
indikasi untuk prosedur pembedahan ini telah menurunkan frekuensinya dari perkiraan
1,5 juta tonsilektomi di Amerika Serikat pada tahun 1970 menjadi insidensi 350.000
sampai 400.000 per tahun. Pada tahun 1985 karena pembedahan tonsila tidak bebas dari
morbiditas dan mortalitas adalah bijaksana untuk menyadari bahwa prosedur ini seperti
setiap pembedahan lainnya sebaiknya dilakukan secara optimal dengan keterampilan
dalam teknik pembedahan.2

14
Ø Rangkaian Masalah Mengenai Tonsilektomi
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidectomy dilakukan sering dalam usaha
untuk mengendalikan penyakit faring berulang obstruksi jalan nafas atas dan otitis
media kronis dengan munculnya antibiotik dan pengertian yang lebih baik dari fungsi
imunologi jaringan limfoid faring menjadi perlu untuk berhati-hati mempertimbangkan
kembali indikasi-indikasi pada prosedur ini.2
Usaha untuk memastikan manfaat adenotonsilektomi dan seleksi terhadap
kandidat yang membutuhkan prosedur pembedahan yang lebih baik, maka telah
dilakukan penelitian prospektif. Dalam tahun-tahun terakhir penelitian control terbaik
adalah McKee di Inggris pada tahun 1963, Mawson di Inggris pada tahun 1967 dan
Roydhouse di New Zealand pada tahun 1970. Peneliti-peneliti ini membandingkan
anak-anak dalam kelompok umur dengan kelompok kontrol berkenaan dengan episode
tonsilitis, infeksi pernafasan bagian atas, dan infeksi penyerta lainnya. Penelitian-
penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak pra-sekolah dengan riwayat penyakit
faring memperoleh manfaat paling besar jika dilakukan prosedur pembedahan ini, dan
manfaat ini paling nyata untuk satu sampai dua tahun segera setelah pembedahan.
Sesudah itu, efek manfaat antara dua kelompok menjadi kurang berarti. Kesulitan dalam
interpretasi dan hasil penelitian ini adalah berdasarkan kenyataan di mana randomisasi
komplit tidak dapat dicapai dan pasien yang yakin akan mendapatkan pembedahan
dipindahkan dari kelompok kontrol dan ditempatkan ke dalam kelompok pembedahan.
Selain itu, definisi pasti dari pengangkatan adenotonsilitis yang disetujui oleh seluruh
dokter masih belum diperoleh. Sekarang ini di Amerika Serikat, adenotonsilektomi
sering dilakukan tidak hanya untuk episode faringitis berulang tapi juga untuk episode
penyakit telinga tengah. Khususnya, adenoidektomi paling sering dilakukan untuk
mengatasi episode otitis media kronis atau berulang.2
Pada diskusi beberapa tahun terakhir timbul masalah mengenai peran tonsil dalam
perkembangan sistem kekebalan pada anak-anak. Sebelum adanya perkembangan
vaksin virus polio, disadari bahwa insidensi paralisis bulbar selama epidemi
poliomielitis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami

15
tonsilektomi. Bagaimanapun, insiden poliomielitis secara keseluruhan adalah sama pada
individu kontrol maupun individu yang sebelumnya mengalami tonsilektomi. Baru-baru
ini, penelitian yang mutakhir menunjukkan adanya seluruh kelompok utama dari
antibodi yang menghasilkan imunoglobulin dalam tonsil. Khususnya, immunoglobulin
ini termasuk IgG, IgA (jenis sekresi), IgM, dan yang terbaru adalah IgE dan IgD. Arti
klinis adanya antibodi ini masih belum dibuktikan, tetapi lokasi jaringan limfe faring
meletakkannya dalam posisi anatomi dan garis pertahanan pertama melawan
mikroorganisme. arti tonsila dalam perkembangan kemampuan imunologis mungkin
paling besar pada waktu tahun-tahun awal kehidupan. anak-anak dengan episode ulang
faringitis dan otitis media mengalami penurunan yang ringan dalam kemampuan
menghasilkan imunoglobulin tertentu (IgA).2

Ø Indikasi
Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang pasti untuk
tonsilektomi pada anak-anak terdapat sedikit perselisihan pendapat tentang indikasi
prosedur ini pada orang dewasa. tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda
yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses
peritonsilaris. Tonsilitis kronis dapat menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang
berlebihan.2
Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering,
mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut atau hipertrofi penyerta. Beberapa
episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Diskusi kemudian mengenai kapan
saat atau setelah berapa kali episode tindakan pembedahan dibutuhkan. Pedoman-
pedoman yang biasanya dapat diterima sekarang ini ditunjukkan pada bagian ini.2

16
a. Indikasi Absolut
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir Absolut adalah sebagai
berikut ini:2
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan penyerta
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
5. Abscess peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya.

b. Indikasi relatif
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. indikasi
yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus beta
hemolitikus grup A. Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan
organisme penyebab dari episode faringitis yang sekarang. Biakan
permukaan tonsil tidak selalu menunjukkan flora yang terdapat di dalam
tonsil. demikian juga, keputusan untuk mengobati dengan antibiotik tidak
selalu bergantung pada hasil biakan saja. Sprinkle menunjukkan bahwa
walaupun sebagian besar "sakit tenggorokan" disebabkan oleh infeksi virus,
Streptococcus pyogenes merupakan bakteri penyebab pada 40% pasien
dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. streptokokus grup B dan C,
adenovirus, virus EB dan bahkan virus herpes juga dapat menyebabkan
tonsilitis eksudatifa. Ia percaya bahwa kasus-kasus tertentu adenotonsilitis
berulang disebabkan oleh virus yang dalam keadaan tidak aktif (dormant)
yang terdapat dalam jaringan tonsilaris. Sekarang ini, tonsilektomi mungkin
hanya satu-satunya jalan untuk menetapkan lebih banyak flora mulut normal
pada pasien-pasien tertentu dengan adenotonsilitis berulang.2

17
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada
kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Mereka sebaiknya menyadari
kenyataan bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor yang
bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi yang
serius.2
Sekarang ini, disamping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi
yang paling dapat diterima pada anak-anak adalah berikut ini:2
1. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat)
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier)
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis (biasanya pada dewasa muda)
5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respon terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda)
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati
servikal persisten

Jika terdapat infeksi streptokokus berulang, mungkin terdapat karier pada orang-
orang yang tinggal serumah dan biakan pada anggota keluarga dan pengobatan dapat
menghentikan siklus infeksi rekuren.2
Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-indikasi ini
yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. seperti juga
indikasi pembedahan, tentu terdapat non Indikasi dan kontraindikasi tertentu yang juga

18
harus diperhatikan, karena telah menjadi metode untuk melakukan jenis pembedahan ini
untuk mengatasi masalah masalah ini.2

Ø Kontraindikasi
Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah di bawah ini:2
1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum untuk kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis

Tonsilektomi dapat dilakukan pada individu-individu yang mempunyai


deformitas palatoskisis. walaupun terdapat keadaan-keadaan yang meringankan terhadap
petunjuk prosedur pembedahan ini, dan pasien harus diberitahu mengenai kemungkinan
timbulnya efek pada kualitas suara akibat prosedur pembedahan.2

19
2.4.6 Komplikasi

Komplikasi dari abses peritonsil ada banyak, diantaranya yaitu:9,10

1. Abses pecah spontan, sehingga dapat menyebabkan perdarahan, dan terjadi


aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga
terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus
sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

20
BAB III
KESIMPULAN

Abses peritonsil adalah infeksi dalam pada kepala dan leher yang paling umum
terjadi saat usia remaja. Abses Peritonsilar merupakan stadium lanjutan dari tonsilitis
akut apabila tidak diberikan penanganan yang tepat.Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Pada abses peritonsil, selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat
odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri
telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau, hipersalivasi, hot
potato voice dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar submandibula dengan nyeri tekan
Penatalaksanaan untuk pasien yang menderita abses peritonsil pada stadium
infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada
leher. Sedangkan jika terbentuk abses, maka memerlukan pembedahan drainase, baik
dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase, tergantung dari
jumlah pus yang di keluarkan. Pada individu dengan abses peritonsilaris ulangan atau
riwayat episode faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka
waktu enam minggu dan kemudian dilakukan tonsilektomi dan tentunya dengan
mempertimbangkan indikasi dan kontraindikasinya juga.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi
Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
6. Jakarta: EGC; hal.263-27; 2013
2. Boies, L.R., dan Hilger, P.A. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Selulitis
Peritonsilaris dan Abses (Quinsy). Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC; hal320-355; 2013
3. Nicholas J. Galioto, MD. Peritonsillar Abscess. American Family Physician. Vol.7;
200-202; January 15 2008
4. Paramita DV. Juniati SH. Fisiologi dan Fungsi Mukosiliar Bronkus. Dep/SMF Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal THT - KL
Vol.9; No.2; 64-73; Mei - Agustus 2016
5. Fandi AW. Dewa AEP. Abses Peritonsil. SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Jurnal Ilmiah Kedokteran. 186-189; 2015
6. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6, Jakarta:
EGC; 2011
7. Saminan A. Efek Obstruksi pada Saluran Pernapasan Terhadap Daya Kembang
Paru. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 16; 1 April 2016
8. Cicameli GR. Grillone GA. Inferior Pole Peritonsilar Abscess. Otolaryngo Head
Neck Surg; 118:99-101; 2014
9. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Abses Peritonsil (Quinsy). Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI;202-206; 2017
10. Marbun EM. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Staf
Pengajar Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana. J.
KedoktMeditek Volume 22, No. 60; Sept-Des 2016

22

Anda mungkin juga menyukai