Anda di halaman 1dari 31

Judul : Atopic Dermatitis

Penulis : P.S Friedmann, M.R. Ardern-Jones, C.A. Holden

Diambil dari :

Penerjemah :

DERMATITIS ATOPI

DEFINISI
Dermatitis atopi adalah kondisi yang sulit didefinisikan karena dermatitis
tidak memiliki uji diagnostik dan memiliki gambaran klinis yang bervariasi.
Definisi berikut tampaknya adalah yang paling sesuai dengan hasil konsensus.
Dermatitis atopi (yang merupakan sinonim dari eksim atopi) adalah penyakit
radang kulit yang gatal, kronik, atau relaps kronik. Ruam pada dermatitis atopi
digambarkan sebagai papul gatal (biasanya vesikel pada bayi) yang mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, dan biasanya memiliki distribusi fleksural. Erupsi
dermatitis atopi biasanya diasosiasikan dengan kondisi atopi lainnya baik pada
individu tersebut maupun pada keluarga.

Dermatitis atopi dan non-atopi


Salah satu kendala dalam mendefinisikan dermatitis atopi adalah
ketidakjelasan hubungannya dengan atopi serta sifat alamiah dari atopi itu sendiri.
Dermatitis atopi dan penyakit yang disebabkan anafilaksis, misalnya akibat
gigitan serangga atau alergi makanan, mungkin berhubungan dengan antibodi IgE
sehingga dikelompokkan dalam penyakit atopi. Pengelompokkan tersebut tidak
dapat diterima sepenuhnya, karena 20-40% individu dengan dermatitis atopi bisa
saja memiliki kadar IgE total atau spesifik yang normal, dan jarang dikaitkan
dengan reaksi alergi yang spesifik; antibodi IgE pada darah seringkali muncul
secara insidental.
Masih merupakan perdebatan apakah kelompok dengan dermatitis dan
kadar IgE yang normal, disebut dermatitis atopi intrinsik atau dermatitis non-
atopi, dapat dibedakan secara klinis, imunologis, dan prognostik dengan
dermatitis atopi ekstrinsik. Telah dilaporkan hingga 50% bayi memiliki dermatitis
intrinsik, namun seiring dengan waktu, gambaran atopi menjadi lebih sering
ditemukan, dan bentuk intrinsiknya hanya ditemukan pada 5.4% pasien dewasa.

Terminologi
Kondisi ini memiliki nama yang bermacam-macam, serta masih dalam
perdebatan. Saat ini, dermatitis atopi dan dermatitis eksim adalah istilah yang
paling sering digunakan. World Allergy Organization menyebutkan bahwa
‘eksim’ seharusnya digunakan sebagai terminologi payung, dan dibagi lagi
menjadi eksim atopi dan eksim non-atopi. Terminologi lama seperti prurigo
Besnier, neurodermatitis diseminata, eksim Spatexudativ, dan prurigo diatesik
saat ini jarang digunakan. Kami tetap menyebutnya dengan sebutan dermatitis
atopi sampai terdapat pembagian penyakit tersebut yang relevan secara klinis
telah ditetapkan.

KRITERIA DIAGNOSIS
Hanifin dan Rajka mengusulkan kriteria diagnosis mayor dan minor
berdasarkan pengalaman klinis mereka. Kriteria ini memungkinkan keseragaman
diagnosis untuk penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental, namun
dianggap kurang membantu dalam penelitian berbasis populasi. Sehingga,
Williams mengkoordinasikan sebuah komite untuk memperbaiki kriteria Hanifin
dan Rajka sehingga menjadi kriteria diagnosis dermatitis atopi yang tervalidasi
dan dapat digunakan berkali-kali. Akhir-akhir ini telah diajukan modifikasi
kriteria diagnosis lainnya, namun kebanyakan dari mereka belum tervalidasi.
Akhir-akhir ini telah diajukan modifikasi kriteria diagnosis lainnya, namun
kebanyakan dari mereka belum tervalidasi.
Tabel 24.1 Modifikasi kriteria diagnosis dermatitis atopi Hanifin dan Rajka di Inggris
Agar memenuhi kriteria diagnosis dermatitis atopi menurut kriteria diagnosis Inggris, anak
harus memiliki:
 Kulit gatal (atau laporan dari orangtua bahwa anak menggaruk atau menggosok
kulitnya)
Ditambah dengan tiga atau lebih kriteria berikut:
1. Awitan kurang dari usia 2 tahun (tidak berlaku bila anak masih berusia di bawah 4
tahun)
2. Riwayat keterlibatan lipatan kulit (termasuk pipi pada anak berusia di bawah 10 tahun)
3. Riwayat kulit kering secara umum
4. Riwayat penyakit atopi lainnya pada individu tersebut ( atau riwayat penyakit atopi
lainnya pada keluarga dekat pada anak berusia kurang dari 4 tahun)
5. Dermatitis fleksural yang kasat mata (atau dermatitis pada pipi/dahi serta anggota
gerak bagian luar pada anak berusia di bawah 4 tahun)
PREVALENSI
Meskipun telah disepakati bahwa dermatitis atopi adalah penyakit yang
lumrah dijumpai, penentuan prevalensinya secara tepat sulit dilakukan karena
metode penelitian yang digunakan berbeda-beda. Misalnya, beberapa penelitian
mengumpulkan data yang hanya berdasarkan kuesioner, tanpa melakukan validasi
terhadap kualitas respon yang diberikan. Penelitian lain menggunakan
pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dermatologis untuk mengkonfirmasi data
yang didapatkan dari wawancara dan kuesioner. Ulasan mendalam terhadap studi
prevalensi dapat ditemukan pada McNally dan Phillips dan Williams. Penelitian
internasional terhadap asma dan alergi pada masa kanak-kanak (International
study of asthma and allergies in childhood atau ISAAC) menggunakan kuesioner
potong lintang terhadap sampel anak sekolah usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun di 56
pusat penelitian di seluruh dunia. Keluaran yang diukur adalah adanya riwayat
ruam yang gatal dan berulang pada lipatan-lipatan kulit dalam 12 bulan terakhir.
Secara keseluruhan, dari data pada penelitian ISAAC dan penelitian
lainnya, muncul sebuah pola bahwa eksim atopi banyak dijumpai di negara-
negara maju di dunia bagian Barat, dan paling jarang ditemui di luar negara-
negara barat serta di negara miskin. Sehingga, pada anak-anak Norwegia berusia 7
hingga 13 tahun, prevalensinya secara potong lintang adalah 19.7%. Pada anak-
anak Denmark berusia hingga 7 tahun, prevalensi seumur hidup adalah 22.9%,
sementara angka prevalensi yang dilaporkan di Jerman dan Swedia secara
berturut-turut adalah 13.1% dan 15.5%. Di Inggris, prevalensi titik pada anak usia
3 hingga 11 tahun adalah 11.5-14% dan prevalensi selama satu tahun adalah
11.5%. Di Jepang, dilaporkan angka prevalensi sebesar 9.5% dan 20% secara
berturut-turut pada anak usia sekolah dasar dan usia 3 tahun. Berkebalikan dengan
hal ini, di Tanzania, prevalensi titik dermatitis atopi pada anak usia 7-8 tahun
adalah 0.7%.
Penelitian terhadap warga negara imigran menunjukkan pola yang
menarik. Terdapat laporan yang membandingkan frekuensi eksim atopi pada
kelompok etnis/genetik tertentu di tempat asal mereka dengan kelompok yang
sama di rumah baru mereka. Misalnya, anak yang bermigrasi dari Tokelau ke
Selandia Baru memiliki prevalensi eksim atopik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan anak-anak di negara asalnya. Populasi imigran nampaknya memiliki
prevalensi eksim atopi yang lebih besar dibandingkan penduduk asli di wilayah
tersebut. Sehingga, anak-anak kulit hitam Afro-Karibean di London memiliki
prevalensi eksim atopi dua kali lebih tinggi (16.3%) dibandingkan prevalensi pada
orang-orang Kaukasia (8.7%). Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan bahwa
anak-anak imigran Turki memiliki prevalensi penyakit atopi yang lebih tinggi
secara signifikan (32.4%) dibandingkan anak-anak Swedia (6%).
Pengamatan ini mencerminkan dengan jelas bahwa faktor lingkungan
berperan penting dalam menentukan ekspresi penyakit-penyakit atopi.
Pertanyaannya adalah apakah negara-negara Barat memiliki lingkungan yang
secara aktif mendukung fenotipe atopi atau apakah negara-negara miskin memiliki
faktor-faktor yang menekan ekspresi fenotipe atopi.
Makin banyak bukti yang mendukung bahwa prevalensi penyakit atopi
secara umum, atau khususnya eksim atopi, telah meningkat dalam tiga hingga
empat dekade terakhir. Terdapat keprihatinan di antara pakar-pakar epidemiologi
bahwa penggantian metode pengkajian dan kesalahan metodologis dapat
mengacaukan kondisi yang sebenarnya. Namun, gambaran komposit dari masing-
masing penelitian menunjukkan bahwa insidensi kumulatif pada anak-anak usia 7
tahun kurang dari 3% bila mereka lahir sebelum tahun 1960, 4-8% pada mereka
yang lahir tahun 1960-1970, dan 8-12% pada mereka yang lahir setelah tahun
1970.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shultz Larsen, ditunjukkan bahwa
insidensi kumulatif meningkat secara progresif dari sekitar 3% pada anak kembar
yang lahir antara tahun 1960 dan 1964, menjadi 12% pada mereka yang lahir
antara 1975 dan 1979. Selnes melakukan survey terhadap sekelompok besar anak-
anak Norwegia (usia 7-13 tahun) pada tahun 1985 dan 1995, dan menemukan
bahwa insidensi kumulatif eksim atopi telah meningkat dari 13.2% menjadi 19.7%
dalam kurun waktu 10 tahun. Alasan dari peningkatan prevalensi ini tidaklah
jelas, namun terdapat beberapa kemungkinan kandidat lingkungan.
Konsekuensi dari peningkatan prevalensi eksim atopi adalah beban yang
berat pada pelayanan serta anggaran kesehatan. Di Inggris, biaya tahunan
dermatitis atopi diperkirakan sebesar 465 juta Euro, dan di Amerika Serikat,
pembiayaan asuransi untuk menutup biaya yang dikeluarkan untuk eksim atopi
diperkirakan mencapai 0.9 miliar hingga 3.8 miliar Dolar Amerika Serikat.

ETIOLOGI
Baru-baru ini, mulai disadari bahwa kondisi atopi dan sindroma eksim
atopi dan asma melibatkan abnormalitas tidak hanya pada regulasi imun, namun
juga fungsi-fungsi primer dari epidermis dan epitel bronkus. Tidak jelas apakah
mereka tidak saling berkaitan satu sama lain, atau apakah ada keterkaitan dimana
epitel dan sistem imun saling meregulasi satu sama lain.

PENGARUH GENETIK
Pentingnya faktor genetik dalam penentuan ekspresi fenotipe atopi
dicerminkan pada data dari studi kembar. Sehingga, kembar monozigotik
memiliki concordance rate sebesar 0.72, sementara pada kembar dizigotik hanya
sebesar 0.23.
Empat skrining genom telah dilaporkan dari populasi Jerman/Skandinavia
(n = 839), Inggris (n = 383), Swedia (n = 470), dan Denmark (n = 424). Skrining
ini telah berhasil mengidentifikasi suseptibilitas lokus pada 1q21, 3p24-22, 3q21,
dan 17q25 kaitannya dengan dermatitis atopi. Beberapa lokus lain yang berkaitan
juga telah dilaporkan hubungannya dengan keparahan penyakit, atau IgE, atau
asma konkuren: 3p26-24, 3q14, 4p15-14, 13q14, 15q14-15, 17q21, 18q11-12,
18q21, 20p. Skrining genom untuk asma melaporkan beberapa lokus yang
tumpang tindih: 13q dan 20p. Menariknya, banyak lokus yang berhubungan
dengan dermatitis atopi juga tumpang tindih dengan lokus yang diketahui
berhubungan dengan psoriasis (1q, 3q, 17q, dan 20p), fakta yang cukup
mengejutkan mengingat kedua kondisi tersebut nyaris selalu ada secara eksklusif
pada praktik klinis. Informasi ini menunjukkan bahwa pengaruh genetik pada
kedua kondisi bisa saja saling tumpang tindih dalam memengaruhi epidermis.
Jelas, tumpang tindih antara lokus yang saling bersesuaian tidak
mengimplikasikan adanya faktor genetik kausatif yang sama, namun bahkan bila
gen yang sama diimplikasikan oleh penelitian tersebut, penting untuk mengamati
efek ekspresi gen dan fungsi protein pada kondisi tersebut, yang bisa jadi sangat
berbeda pada kedua penyakit.
Akhir-akhir ini, penelitian hubungan genetik telah berhasil
mengidentifikasi sejumlah gen yang berhubungan dengan ekspresi sindrom atopi,
kadar IgE, serta sitokin yang berkaitan dengan regulasi kadar IgE yang berbeda-
beda. Polimorfisme pada gen yang mengkode rantai  afinitas tinggi pada reseptor
IgE FCR1 menunjukkan hubungan yang signifikan dengan dermatitis atopi.
Gen pada kromosom 5q yang mengkode kelompok gen sitokin telah dihubungkan
dengan sindrom atopi mukosa dan termasuk hubungan polimorfisme pada gen IL-
4 dengan dermatitis atopi. Gen pada kromosom 16p11.2-12 yang mengkode rantai
 dari reseptor IL-4 telah dikaitkan dengan atopi. Gen yang mengkode kimase sel
mast telah dihubungkan dengan eksim atopi, namun hal ini belum terkonfirmasi.
Varian pada daerah promotor gen RANTES juga telah dilaporkan berhubungan
dengan eksim atopi, dan penelitian lebih lanjut telah menunjukkan bahwa varian
ini berhubungan dengan peningkatan produksi RANTES.
Fungsi sawar epidermis yang abnormal dikenal berhubungan erat dengan
eksim atopi, dan sampai baru-baru ini masih belum jelas apakah kulit kering
hanyalah merupakan konsekuensi dari proses inflamasi yang terjadi. Namun,
mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi tersebut diketahui berada dalam gen
filagrin, yang merupakan bagian dari kompleks diferensiasi epidermis pada
kromosom 1q21. Defek genetik ini dapat memprediksi awitan awal eksim atopi,
prognosis yang lebih buruk, serta menetapnya penyakit hingga dewasa. Menarik
bahwa meskipun filagrin tidak diekspresikan pada epitel bronkus, mutasi gen
filagrin juga diasosiasikan dengan asma atopi, serta berhubungan dengan
keparahan asma, terlepas dari eksim. Pengaruh genetik lainnya yang berkontribusi
terhadap fungsi sawar kulit yang abnormal adalah SPINK5 yang mengkode
LEKTI, sebyah serine protease inhibitor yang diekspresikan pada permukaan
epitel dan mukosa. Meskipun mutasi pada gen ini menentukan sindroma
Netherton, varian pada gen juga telah diasosiasikan dengan eksim atopi.

Faktor maternal dan pewarisan sifat


Terdapat banyak bukti bahwa penyakit atopi lebih sering diturunkan oleh
ibu dibandingkan oleh ayah. Beberapa survey yang berbasis populasi telah
menunjukkan bahwa risiko anak mengalami atopi secara signifikan lebih tinggi
bila ibu juga memiliki atopi. IgE pada darah di tali pusat lebih tinggi pada ibu
dengan atopi atau memiliki kadar IgE yang tinggi, sementara atopi atau kadar IgE
yang tinggi pada ayah tidak berhubungan dengan peningkatan IgE pada darah di
tali pusat.
Gen yang mengkode respinsivitas IgE, terletak di kromosom 11q13, lebih
sering diwariskan dari sisi ibu. Sehingga, dari 203 pasang saudara yang diteliti,
62% memiliki kesamaan pada alel maternal, sementara 38% tidak. Dari alel
paternal, proporsi yang diturunkan terhadap keturunannya mendekati 50%.

Faktor kehamilan/intrauterin
Bagaimana faktor-faktor maternal dapat memengaruhi ekspresi atopi
masih merupakan pertanyaan. Salah satu mekanisme yang mungkin adalah
melalui pencetakan genetika—dimana efek genomik paternal ditekan. Mekanisme
lainnya yang mungkin adalah pemrograman intrauterin—sebuah faktor yang
sangat berpengaruh, yakni keseimbangan antara nutrisi janin dan laju
pertumbuhan. Sejumlah kondisi non-dermatologis telah ditentukan sejak janin
masih dalam kandungan. Misalnya, angka kematian akibat penyakit jantung
koroner turun secara drastis pada individu yang lahir dengan berat badan lahir
kurang ari 2.5 kg dibandingkan pada individu yang lahir dengan berat badan lahir
lebih dari 4.3 kg. Untuk atopi, terdapat korelasi positif antara peningkatan berat
badan lahir dan eksim atopi. Faktor ketiga yang mungkin adalah awitan sensitisasi
imunologis melalui paparan intrauterin terhadap makanan dan alergen. Kadar IgE
pada darah di tali pusat adalah prediktor untuk terjadinya atopi di kemudian hari.
Paparan maternal terhadap beberapa agen, termasuk antigen, alkohol, rokok, dan
polutan lainnya, telah menarik perhatian, namun tidak ada yang benar-benar
terbukti merupakan faktor yang memengaruhi.

FAKTOR LINGKUNGAN
Laju peningkatan pada prevalensi eksim atopi terlalu cepat apabila hanya
diakibatkan oleh perubahan genetik pada populasi. Sehingga, faktor-faktor
lingkungan adalah hal-hal yang paling mungkin memengaruhi. Dua aspek utama
yang telah menarik perhatian adalah ‘polusi’ dan mikroba.
Prevalensi yang berbeda pada populasi dengan latar belakang genetik yang
sama dan hanya dipisahkan oleh letak geografis telah diamati di negara-negara
maju. Jatuhnya tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat
memberikan kesempatan untuk meneliti peran polusi industri dengan cara
membandingkan daerah timur yang ‘kotor’ dengan daerah barat yang ‘bersih’.
Dilakukan penelitian kohort pada anak usia prasekolah dari kota-kota di Timur
(Halle) dan di Barat (Duisberg) dan daerah pedesaan (Borken). Kuesioner yang
menilai riwayat atopi pada individu dan keluarga dan juga faktor-faktor lainnya
yang relevan seperti status sosio-ekonomi. Dilakukan pemeriksaan oleh
dermatologis terhadap seluruh anak tersebut. Kadar polutan di udara
dibandingkan, dan kadar sulfur dioksida empat kali lebih tinggi di Halle,
sementara debu dan nitrogen oksida cenderung sama pada masing-masing kota.
Prevalensi eksim atopi 17.5% di Halle, namun hanya 5.7-7.3% di Duisberg.
Namun, penemuan yang kontradiktif muncul pada penelitian yang
membandingkan prevalensi penyakit atopi di Leipzig (Jerman Timur) dan Munich
(Jerman Barat). Terdapat prevalensi yang sedikit lebih rendah di Leipzig
dibandingkan Munich. Sebagai perbandingan, prevalensi di daerah pedesaan di
Etiopia diperkitakan sekitar 0.3%, namun ini jauh lebih rendah dibandingkan
populasi urban pada negara yang sama.
Identifikasi polutan yang relevan yang dapat berkontribusi terhadap
ekspresi fenotipe atopi masih membingungkan. Sulit untuk melakukan
kuantifikasi terhadap polusi di dalam ruangan, yang bersumber dari asap rokok
atau nitrogen oksida pada sisa gas dari alat-alat masak dan pemanas.

Mikroba lingkungan—hipotesis higienitas


Interaksi dengan mikroba lingkungan bisa menjadi penting dalam
menyebabkan eksim atopi melalui beberapa cara. Pertama, paparan pada awal
kehidupan dapat mengkondisikan maturasi sistem imun sehingga disregulasi yang
berhubungan dengan produksi antibodi IgE serta pembentukkan alergi tidak
terjadi. Kedua, pada individu dengan fenotipe atopi, eksim dapat diinduksi atau
dieksaserbasi oleh toksin stafilokokus atau oleh keberadaan Malassezia di kulit.
Peran mikroba yang mungkin pada awal dari proses maturasi dari sistem imun
mungkin merupakan faktor mayor yang dapat menjelaskan perbedaan insidensi
atopi dan penyakit alergi antara negara bagian Barat dan negara berkembang. Ide
ini awalnya diajukan sebagai ‘hipotesis higienitas’, dan masih merupakan
kontroversi. Dukungan secara tidak langsung terhadap hipotesis ini berangkat dari
pengamatan bahwa sensitisasi alergi paling banyak terjadi pada anak-anak sulung,
serta lebih jarang pada anak dari keluarga yang besar. Namun, banyak penelitian
epidemiologis yang gagal menunjukkan penurunan infeksi pada anak dengan
dermatitis atopi.
Banyak penelitian telah meneliti dampak organisme tertentu atau rute
infeksi, dan beberapa penemuan menunjukkan bahwa mikroba yang masuk
melalui jalur fekal-oral memiliki efek protektif yang lebih besar terhadap
perkembangan penyakit alergi atopi daripada yang masuk melalui saluran napas.
Sehingga, paparan dini terhadap virus hepatitis A, Helicobacter pylorii, atau
Toxoplasma gondii dilaporkan mengurangi risiko atopi sebesar lebih dari 60%.
Sebaliknya, tampaknya paparan terhadap patogen respiratori tidak berhubungan
dengan efek ini.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi alergi antara daerah
pedesaan dan perkotaan dalam negara yang sama, yang juga dapat mencerminkan
kadar yang berbeda-beda dari paparan terhadap mikroba. Terlebih, terdapat
perbedaan pada prevalensi alergi antara anak-anak yang tinggal di peternakan dan
anak-anak yang tinggal di desa yang sama, namun tidak di area peternakan.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa kontak dengan hewan ternak dan unggas
adalah faktor kunci dan, meskipun kadar alergen di udara cenderung lebih tinggi
di daerah peternakan, kadar endotoksin bakteri juga jauh lebih tinggi di debu
rumah dari area peternakan. Namun, perbedaan ini hanya tampak pada penyakit-
penyakit respiratorik, dan tidak dengan eksim.
Potensi pentingnya endotoksin terletak pada dampak mereka yang besar
dalam mengatur respon yang diberikan oleh sistem imun. Kemungkinan bahwa
endotoksin mikroba memiliki peran yang penting dalam mendorong sistem imun
menuju respon produktif/protektif, dan menjauhi respon non-produktif kaitannya
dengan alergi, menunjukkan bahwa yang lebih penting adalah keluaran
imunologis setelah paparan terhadap faktor-faktor mikroba, dan bukan infeksi itu
sendiri. Dampak dari endotoksin bakteri terhadap fungsi imun akan didiskusikan
dalam segmen berikutnya mengenai disregulasi imun.

DISREGULASI IMUN
Limfosit T
Sistem imun janin normalnya memiliki kecenderungan untuk memberikan
respon Th2, yang diperlukan untuk mengurangi kesempatan janin dan ibu
bereaksi terhadap satu sama lain, yang berujung pada abortus spontan. Hal ini
tercerminkan dari produksi basal yang rendah dari interferon-. Pada masa post-
natal sistem imun terkesan matur dan produksi interferon- meningkat. Namun,
pada bayi yang ditakdirkan untuk memiliki dermatitis atopi infantil, produksi
basal dari interferon- relatif rendah dan dominasi Th2 berlanjut. Hal ini bisa jadi
menggambarkan kecacatan pada fungsi sel T.
Biopsi pada lesi dermatitis atopi yang mulai berkembang menunjukkan
bahwa sel T menginfiltrasi kulit pada tahap awal perkembangan penyakit. Infiltrat
seluler pada dermatitis atopi diketahui predominan limfosit T (CD4 +:CD8+ dengan
perbandingan 7:1), namun juga terdapat eosinofil, meskipun dalam jumlah yang
lebih sedikit. Sekelompok besar sel T lesi adalah CLA+ (reseptor pada proses
migrasi sel-sel kulit menuju organ) dan predominan CD45RO+, yang
menunjukkan adanya paparan terhadap antigen di masa lampau. Penanda aktivasi,
seperti IL-2R (CD25) dan HLA-DR, juga prominen.
Eksperimen hibridisasi in situ menunjukkan adanya peningkatan dari
jumlah sel yang mengekspresikan IL-4 dan IL-3, namun tidak dengan sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-5 atau IFN-, pada kulit tanpa lesi pada kulit dengan
dermatitis atopi dibandingkan kulit kontrol normal. Peneliti yang sama
menunjukkan jumlah sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13
yang jauh lebih besar pada kulit dengan lesi, dibandingkan dengan kulit tanpa lesi
maupun kontrol. Ekspresi IFN- mRNA tidak ditemukan pada dermatitis atopi
akut, namun hanya pada lesi kulit kronik dimana terdapat jumlah sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-3 yang jauh lebih rendah. Pada lesi kronik,
berkebalikan dengan lesi akut, terdapat predominasi sel-sel yang mengekspresikan
mRNA IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-. Produksi IL-5 dan GM-CSF penting
dalam mendukung pertumbuhan dan kehidupan eosinofil dan makrofag,
sementara IL-12 dan IFN- mendukung polarisasi Th1 pada limfosit T. Data ini,
menunjukkan peran dari sitokin klasik Th1 dan Th2, telah didukung oleh
investigasi serial dengan cara pengaplikasian alergen pada kulit atopi dengan
model tes plester atopi. Investigasi dengan cara ini dan biopsi serial menunjukkan
pola bifasik pada pelepasan sitokin. Ekspresi IL-4 predominan pada awal proses
dan mulai menurun setelah 24 jam, sementara ekspresi IFN- memuncak dalam
48-72 jam. Sehingga, meskipun perkembangan dari lesi akut dermatitis atopi
dicirikan oleh sitokin Th2, persistensi menjadi penyakit kronik juga dihubungkan
dengan Th1.
Bukti lebih lanjut terkait peran Th2 berangkat dari fakta bahwa alergen
menginduksi respon Th2 pada subyek dengan atopi. Lebih lanjut, jumlah sel Th2
meningkat pada organ target penyakit-penyakit alergi, memodulasi respon Th2
terhadap Th1 mungkin berhubungan dengan perbaikan penyakit, serta transfer dan
koreksi atopi dapat dicapai dengan transplantasi sumsum tulang.
Terdapat bukti bahwa pengiriman sinyal sel T berbeda pada individu atopi
(lihat di bawah). Maka, pada prinsip aktivitas berlebih dari AMP fosfodiesterase
siklik berhubungan dengan pengiriman sinyal termediasi cAMP yang lemah. Hal
ini berhubungan diferensiasi pada sel T atopi terhadap fenotip Th2. Selain itu, sel
T dari donor atopi berespon dengan allergen seperti Der p1 dari tungau debu yang
ditunjukkan dengan peningkatan produksi sitokin tipe Th2, yaitu IL-3 secara
spesifik. Ini bisa dihambat dengan inhibitor adenilat siklase — kinase yang
mentransduksi sinyal yang diinduksi-cAMP ke target yang lebih hilir.
Paradoksnya, itu juga dihambat oleh rolipram, inhibitor tipe IV cAMP
fosfodiesterase, dengan menghambat pemecahan cAMP, dapat menambah tingkat
cAMP intraseluler, oleh karena itu memiliki efek kebalikan dari penghambatan
pemecahan cAMP.
Kemokin adalah molekul mirip sitokin yang penting untuk pemanggilan
seluler ke jaringan sebagai respons terhadap cedera atau infeksi. Interaksi
kemokin-reseptor ada pada dermatitis atopi dengan menunjukkan peran penting
dalam homing sel T ke kulit. Peningkatan level lesi mRNA yang berkorelasi
dengan keparahan dermatitis atopi termasuk eotaxin (CCL11) dan CTACK
(CCL27).
Alasan mengapa sistem imun atopi merespons dengan turunan limfosit
Th2 tidak jelas, tetapi sebuah hipotesis yang menarik banyak perhatian adalah apa
yang disebut hipotesis higiene (lihat di atas). Mengatakan bahwa paparan dalam
kehidupan awal terhadap mikroba dari berbagai jenis, tetapi terutama mereka yang
memiliki endotoksin lipopolisakarida (LPS) seperti E. coli dan enteropatogen
lainnya, sangat mendorong respons imun terhadap tipe Th1. LPS mengaktifkan
produksi IL-12 oleh DC, yang meningkatkan produksi interferon-γ, oleh karena
itu dapat menyimpang aktivasi sel-T yang diinduksi oleh antigen lain yang hadir
pada saat yang sama menuju respon Th1.

Sel T pengatur dalam penyakit atopi


Respon over-aktif Th2 berperan penting pada manifestasi penyakit alergi.
Mekanisme di mana respon serupa tidak terjadi pada orang yang terpajan alergen
dan tidak terpengaruh tidak jelas. Ketertarikan pada peran sel pengatur dalam
dermatitis atopi dan alergi berasal dari dua pengamatan: pertama, bahwa model
murine penyakit autoimun dapat dicegah dengan transfer adoptif dari sel T
pengatur (Treg) dan, kedua, bahwa gangguan genetik dengan kurangnya sel T
pengatur (disregulasi imun polendokrinopati enteropati sindrom X-linked
(sindrom IPEX) akibat mutasi pada gen protein kotak P3 (FoxP3) kotak dahi)
lebih berhubungan dengan dermatitis spontan, hiper-IgE dan alergi makanan,
daripada gangguan lainnya.
Terdapat bukti peran Treg dalam menghambat respon spesifik-antigen Th2
pada berbagai keadaan klinis alergi: imunoterapi spesifik allergen (SIT) dari racun
hymenoptera, sensitivitas aeroallergen, alergi susu sapi, dan dermatitis kontak
alergi terhadap nikel. Glukokortikoid dilaporkan meningkatkan populasi sel Treg,
dan superantigen turunan staphylococcus yang dideteksi dan berhubungan dengan
keparahan pada dermatitis atopi dapat merusak fungsi sel Treg. Selain itu, peran
dari epitel dalam mengatur fungsi Treg disorot akhir-akhir ini dengan adanya
ekspresi keratinosit dari RANKL, yang merupakan peran penting dalam modulasi
kontrol sel dendritic terhadap populasi sel Treg.
Terlepas dari laporan-laporan tersebut, investigasi jumlah Treg darah tepi
dan fungsi supresif ditemukan normal pada individu dengan dermatitis atopi.
Verhagen et al. melaporkan bahwa jumlah sel FoxP3 + rendah pada lesi kulit
dermatitis atopi, namun terdapat ekspresi sitokin IL-10 dan TGF-β dan reseptor
yang menunjukkan bahwa sel Tr1 ada di dalam lesi dermatitis atopi.
Terpisah dari perubahan mekanisme pengaturan imun, mekanisme alergen
sendiri tampaknya membangkitkan respons yang berbeda pada individu atopi.
Dengan demikian, baik orang atopi dan non-atopi membuat antibodi IgG terhadap
Candida albicans, sedangkan antigen tungau debu rumah Der p1 membangkitkan
antibodi IgE dalam atopi, sedangkan pada non-atopi antibodi IgG. Telah
disarankan bahwa sifat ini terkait dengan fungsi alami dari banyak alergen sebagai
protease.

Imunoglobulin
IgE
Abnormalitas immunoglobulin utamanya berupa peningkatan produksi
IgE. Ini merupakan hasil dari munculnya spesies IgE spesifik berupa peningkatan
IgE serum total, terhadap antigen yang termakan atau terhirup. Sekitar 80% pasien
dengan dermatitis atopi mengalami peningkatan jumlah IgE total. Jika dermatitis
merupakan satu-satunya manifestasi atopi, jumlah IgE total kemungkinan hanya
sedikit lebih banyak dari normal. Meskipun level IgE normal, hampir selalu ada
IgE spesifik pada aeroalergen dan/atau alergen makanan. Bila terdapat asma
konkomitan atau rhinitis alergi, konsentrasi IgE jauh di atas normal. Ikatan
permukaan IgE pada sel dendritic (DC) epithelial oleh afinitas reseptor IgE (Fc
epsilon RI) merupakan mekanisme penting penangkapan dan internalisasi alergen
oleh DC, yang mana meningkatkan proses dan munculnya epitope antigenic pada
sistem imun adaptif. Ekspresi DC epithelial dari Fc epsilon R1 meningkat secara
signifikan pada individu dengan dermatitis atopi.Jumlah IgE juga meningkat
seiring dengan keparahan dan lamanya dermatitis, meskipun tnpa alergi
respiratori, dan pasien dengan IgE tinggi memiliki prognosis lebih buruk. Hal
yang berkebalikan juga pernah terjadi, individu dengan gejala klasik dermatitis
atopi selama setahun memiliki jumlah IgE normal, meskipun mereka memiliki
eksim persisten atau berulang di tangan, atau eksim diskoid.
Produksi IgE yang sangat banyak, setara dengan jumlah yang ditemui di
sindroma hiper-IgE, mungkin diinduksi oleh antigen Staphylococcus aureus.
Beberapa eksotoksin staphylococcus merupakan superantigen, yang dapat
mengatktivasi limfosit lebih banyak dan itu distimualsi oleh antigen spesifik,
menghasilkan ‘superstimulasi’ (Bab 13). Satu manifestasinya adalah sintesis IgE
berlebih. Kolonisasi staphylococci di kulit pasien dermatitis atopi dan eksotoksin
dengan karakteristik superantigen telah diisolasi dari mereka. Eksotoksin seperti
pada sindroma syok toksik toksin I, meskipun sudah menghambat sintesis IgE in
vitro dengan konsentrasi tinggi dari sel mononuklear, justru menstimulasi sintesis
IgE dengan sel mononuclear dari pasien dermatitis atopi dengan konsentrasi
rendah. Jalur ini berkontribusi dalam peningkatan sintesis IgE pada penyakit ini.
IgE terlibat dalam reaktivitasi autoimun dalam dua jalan. Pertama, ia
merupakan target antigen dari antibody IgG anti-IgE, kedua, ia juga dapat
autoreaktif, dengan spesifisitas protein sendiri. IgE muncul pada serum dengan
bentuk kompleks imun dengan IgG dan C3, namun jumlah kompleks tidak
berhubungan dengan konsentrasi IgE serum atau dengan keparahan kondisi kulit.
Sebanyak 32% dari IgE serum ada pada kompleks dengan berat molekular tinggi,
yang mana dapat memengaruhi interpretasi assay IgE serum. IgE anti-kompleks-
IgE juga ada, dengan spesifisitas terhadap epitop IgE CH 3 dan CH4. Ada beragam
kemampuan antibodi IgG anti-IgE bebas dalam mengeluarkan histamine dan
mediator lain dari sel mast dan basofil in vitro. Pada beberapa uji, tidak ada
histamin yang dilepaskan dan beberapa lainnya terdapat pelepasan histamine.
Kompleks autoantibodi yang serupa juga terjadi pada penyakit atopi lainnya.
Antibodi IgE autoreaktif dilaporkan melawan protein sendiri, yang mana
merupakan turunan protein kulit. Autoreaktivitas ini mungkin mengembangkan
pajanan sekunder hingga kronik pada antigen turunan kulit. Namun, diperkirakan
ketika sekali autoreaktivitas terjadi, maka hal tersebut akan memengaruhi
keparahan dan kronisitas dermatitis.

Imunoglobulin lainnya
Jumlah IgG, IgA, dan IgM pada dermatitis atopi biasanya normal namun
terdapat laporan yang menunjukkan peningkatan pada individu yang parah.
Namun, pada pasien dengan eksim berat dengan komplikasi infeksi kulit,
peningkatan IgG terjadi akibat antibodi terhadap bakeri. Pada kasus lain,
oeningkatan antibodi terjadi akibat antigen makanan. Perubahan pada total IgG
merupakan fenomena sekunder atau tidak terkait dan tidak berkontribusi apapun.
Kemudian, sintesis IgG in vitro oleh leukosit mononuclear lebih rendah daripada
sel orang normal, dan mengakibatkan menurunnya rensponsivitas dari sel B atopi.
Meskipun IgG total biasanya dalam batas normal, beberapa pasien
menunjukkan peningkatan subkelas IgG4. Namun, karena subkelas ini merupakan
yang terkecil dari keempat subkelas, peningkatan IgG4 tidak terlalu berpengaruh
terhadap IgG total. Antibodi IgG4 spesifik terhadap β-lactoglobulin dan telur.
Tidak ada relevansi klinis pada perbandingan jumlah antibodi IgG4 dengan IgE
tersebut, atau dengan hasil tes kulit. Pada anak eksim dengan komplikasi asma,
IgG4 sangat meningkat yang diiringi peningkatan IgE total. Mereka yang
mengalami peningkatan IgE atau IgG4 saja tidak memiliki eksim, namun hanya
asma. Tidak ada bukti jelas bahwa IgG4 menimbulkan reaksi anafilaksis, juga
bukan respon termediasi sel mast saat terpapar antigen, juga tidak berkontribusi
pada perubahan klinis dermatitis atopi. IgG4 mungkin bersifat protektif karena
muncul in vitro dan akan menghalangi sensitisasi basofil oleh IgE, disimpulkan
dari temuan peningkatan IgG4 dan antiovalbumin IgE yang relatif rendah pada
anak dengan dermatitis atopi.
Telah dikemukakan bahwa pasien atopi dengan defisiensi IgA dapat
meningkatkan absorbsi antigen berlebih lewat mukosa, yang dapat meningkatkn
produksi IgE. Modifikasi dari teori ini adalah defisiensi IgA dapat tidak terlihat,
terjadi selama beberapa bulan pertama pada bayi dan dapat meningkatkan
absorbsi alergi dan menyebabkan produksi IgE berlebih saat ia lebih tua.
Pendapat defisiensi IgA yang tidak terlihat pada bayi, khususnya yang
lahir dari orangtua atopi, merupakan predisposisi peningkatan antibodi IgE dan
ezkim atopi saat ia lebih tua, dan mungkin keadaan atopi dapat dihindari pada
bayi yang tidak terpajan alergen selama periode rentan. Alergen umumnya berupa
makanan, misal susu dan telur, dan eliminasi alergen makanan pada 6 bulan
pertama pada bayi risiko tinggi dapat mengurangi insiden eksim. Namun,
penghindaran alergen dengan pemberian ASI dan preparat soya tidak
berhubungan dengan penurunan insiden atopi, meskipun pada laporan ini
penhindaran total tidak terbukti saat periode kritis. Demikian juga, penghindaran
alergen oleh ibu saat kehamilan dan menyusui tidak memiliki manfaat yang jelas.

PATOGENESIS EKSIM
Peran alergi
Terdapat banyak faktor termasuk alergi, infeksi, emosi, iklim dan
pengaruh lingkungan lain yang dapat menjadi penyebab dermatitis atopi. Pada
kehidupan awal, bayi atopi dapat mengalami eksim sebagai sindroma
kemungkinan atopi, yang termasuk eksim, asma, dan rhinitis. Ada ketidakpastian
apakah hal ini merupakan sensitisasi alergi atau konsekuensi dari efek pro-
inflamasi dari staphylococcus dan superantigennya.
Epitel dari individu dengan atopi memiliki kerusakan signifikan dalam
melawan antimikroba bawaan. Maka, pada epitel bronkus pada pasien asma,
infeksi virus tidak memproduksi interferon-α dalam jumlah normal. Keratinosit
epidermal pada eksim atopi menghasilkan peptida antibakteri human beta defensis
(HBD0-1, -2, dan 03 dan katelisidin dalam jumlah yang kurang. Hal ini sepertinya
bukan defisiensi konstitutif namun merupakan hasil dari milieu sitokin (tingginya
IL-10) menyebabkan down-regulation dari produksi peptida antimikroba.
Konsekuensinya adalah menurunkan pertahanan terhadap Staphylococcus aureus,
M. furfur dan kemungkinan famili herpesvirus. Kolonisasi di kulit dari S. aureus
mengeksaserbasi eksim dalam dua jalan. Pertama, staphylococcus memproduksi
superantigen yang mana menyebabkan respon inflamasi dan menimbulkan reaksi
inflamasi eksim. Kedua, infeksi invasif dari staphylococcus menghasilkan flare
eksim terinfeksi yang akut.
Terdapat bukti bahwa sensistiasi imun terjadi pada alergen turunan
makanan juga aeroallergen. Usus bayi menunjukkan peningkatan permeabilitas
makromolekul dan terjadi lebih banyak pada bayi atopi. Hal ini mungkin
disebabkan karena ‘kebocoran menetap’ dan juga akibat defisiensi IgA yang tidak
terlihat, mekanisme klirens termediasi IgA kurang efektif dan dapat memasukkan
makromolekul turunan makanan dalam sirkulasi sistemik di mana mereka akan
mengnduksi sensistisasi imunologis. Peningkatan permeabilitas usus juga
menunjukkan reduksi fungsi pertahanan secara umum yang juga terlihat pada
epitel bronkus dan epidermis. Tidak jelas mengapa sel T sirkulasi reaktif terhadap
antigen makanan dan menyebabkan homing pada kulit dan menyebabkan
terjadinya proses eksim daripada gangguan pencernaan. Terdapat hipotesis bahwa
antara antigen turunan makanan entah bagaimana mengaktivasi sel T imatur untuk
menjadi homing kulit atau limfosit homing terstimulasi akibat antigen target
mencapai kulit lewat sirkulasi. Kemungkinan karena permeabilitas epidermis
dirusak oleh eksim, dan menyebabkan penetrasi aeroallergen lingkungan, selama
beberapa tahun kehidupan terjadi perkembangan progresif dari reaktivitas
terhadap aeroallergen, yang ditunjukkan oleh adanya respon spesifik IgE dan sel
T.
Peran alergen udara jelas baik pada sensitisasi awal dari individu atopi
maupun pajanan berikutnya terhadap manifestasi klinis. Tingkat alergen
lingukungan kemungkinan merupakan deteminan mayor pada terjadinya
sensitisasi dari individu dengan predisposisi genetic. Maka, anak yang lahir
sebelum musim serbuk bunga di Skandinavia memiliki risiko tinggi sensitisasi
serbuk bunga dari mereka yang lahir setelah musim tersebut Bayi yang lahir di
musim semi, saat jumlah tungau debu rumah (house-dust mites/HDM) sangat
banyak, memiliki risiko sensitisasi oleh HDM lebih besar, dan penghindaran
pajanan terhadap HDM dan alergen makanan pada tahun pertama kehidupan
berhubungan dengan pengurangan signifikan eksim dan asma yang terdeteksi
secara klinis. Penelitian baru di Jepang menunjukkan bahwa bayi atopi (terdeteksi
antibodi IgE terhadap beberapa makanan namun bukan HDM) dilindungi dari
kontak dengan HDM dengan membungkus tempat tidurnya dengan kantung bebas
debu, dan mengurangi sensitisasi HDM secara signifikan, ditunjukkan dengan
respon IgE dan tes skin prick. Namum, tidak diikuti dengan berkurangnya gejala
klinis. Risiko tersensitisasi HDM telah meningkat pesat oleh pajanan debu yang
mengandung 10 μg/g Der p1, padahal 2 μg/g sudah meningkatkan risiko
signifikan. Rupanya pada beberapa individu, priming respon imun terhadap
beberapa alrgen dapat dilakukan saat perkembangan intrauterin. Alternatif
lainnya, induksi sesnsitiasi dilakukan pasca kelahiran dan selama masa kanak-
kanak. Sensitisasi ditunjukkan dengan munculnya limfosit T pembantu antigen
spesifik dan spesifik antibodi dari kelas IgE.
Peran aeroallergen seperi HDM dapat memicu dan mempertahankan
dermatitis atopi dan telah menjadi subjek kontroversi dan ketidakpastian.
Sensitisasi imun dan reaktivitas alergi, ditunjukkan dengan adanya respon positif
dari tes kulit yang dilakukan dengan berbagai cara, dapat dideteksi pada mayoritas
pasien dengan dermatitis atopi. Tes prick dengan aero alergen, seperti Der p1 atau
ekstrak bulu hewan atau serbuk bunga, dapat meningkatkan respon flare setelah
10-15 menit. Hal ini dimediasi antibodi IgE spesifik pada sel mast di permukaan
kulit. Sementara IgE mengikat antigen, sel mast terpicu untuk degranulasi,
melepaskan histamin dan mediator lain. Patch intradermal atau epikutan dengan
pengelupasan kulit dengan selotip menimbulkan respon alergi trifasik (Gambar
24.1).

Gambar 24.1. Respon muncul melalui inokulasi alergen (ekstrak tungau debu rumah) pada
individu dengan dermatitis atopi. Respon alergi trifasik terlihat, terdiri dari respon segera (15
menit) bengkak kemerahan dan flare, respon 6 jam, dan respon 24-48 jam.
Terdapat fase segera 15 menit bengkak kemerahan dan flare akibat
pelepasan histamine dari sel mast kulit. Kemudian respon lambat yang
menunjukkan eritema dan reaksi oedematous dalam antara 6 sampai 24 ham, dan
ada respon lambat pada 48 jam. Setelah dirangsang intradermal, terdapat reaksi
papul eritema serupa dengan tes tuberklin, namun setelah rangsang patch muncul
reaksi eksimatous klasik. Respon positif dapat beragam tergantung pada lebih atau
kurang agresifnya pengelupasan kulit dengan selotip untuk merusak batas
permeabilitas stratum korneum dan dengan menggunakan alergen konsentrasi
tinggi. Penulis mendeteksi tes patch positif pada ekstrak HDM pada 88% orang
dewasa dan 60% anak-anak usia lebih dari 5 tahun. Beberapa telah menggunakan
tes patch atopi tanpa mengelupas kulit dengan selotip dan mendapat respon positif
terhadap aeroallergen pada sepertiga penderita eksim atopi.
Respon tes patch dapat muncul pada penderita eksim atopi dengan alergen
lainnya termasuk makanan dan Malassezia.
Respon eksimatous muncul pada reaksi tes patch terinduksi alergen yang
telah digunakan untuk model terjadinya eksim untuk investigasi peran dari
limfosit T. Mulai 8 jam ke depan, terdapat infiltrasi sel T CD4 +, 10-20%
mengekspresikan CD25+, rantai p55 pada reseptor IL-2, mengindikasikan bahwa
mereka telah teraktivasi di reseptor sel T lewat kontak antigen spesifik. Jumlah
pekerja yang dikloning sel T pada 12-24 ja pertama dari reaksi seperti itu dan
menunjukkan bahwa mereka didominasi oleh tipe Th2, memproduksi IL-4 dan IL-
5. Juga, hingga 24 jam setelah rangsangan intradermal dengan HDM, produksi IL-
4 dan IL-5 dideteksi setelah amplifikasi oleh reaksi rantai polymerase (PCR),
namun kemudian sel Th1 dan sitokinnya mendominasi. Selain infiltrasi limfosit,
terdapat infiltrasi berat eosinofil pada 6-24 jam pertama tes patch pada penderita
eksim atopi.
Pertanyaan krusial adalah apakah reaksi alergi terinduksi oleh alergen
apapun—aero atau makanan—merupakan kepentingan patogenik dari penyebab
lesi pada eksim atopi. Bukti terkuat adalah ini dapat menjadi kasus yang
diturunkan dari penelitian tentang efek penghindaran alergen tungau debu pada
lingkungan domestic. Sebuah penelitian buta-ganda kontrol-placebo oleh Tan et
al. menguji kombinasi pengukuran eradikasi tungau debu (kantung matras, bantal
dan sprei, vacuum cleaner tenaga tinggi dan semprotan mengandung agen
pembunuh tungau). Penelitiannya menunjukkan reduksi tinggi signifikan pada
jumlah Der p1 di karpet dan kasur. Hal ini berhubungan dengan perbaikan klinis
pada dewasa dan anak (di atas 6 tahun) dengan eksim atopi berat. Temuan ini
tidak di produksi ulang pada penelitian di Jerman yang menggunakan desain
serupa namun dengan semprotan acarisid dan denaturisasi alergen, atau penelitian
di Belanda yang menggunakan hanya bungkus tempat tidur.
Relevansi klinis dari alergi tehadap Malassezia ada pada penelitian yang
menunjukkan bahwa terapi itrakonazol untuk mengeradikasi jamur dan
menghasilkan perbaikan eksim dibandingkan dengan terapi betametason valerat.
Oleh karena itu, terdapat kumpulan bukti bahwa reaksi alegi terhadap alergen
umum mungkin berperan penting dalam patogenesis eksim atopi pada banyak
orang. Namun, reaksi-reaksi eksim tidak muncul di semua fase, dan pendekatan
dipersulit dengan kurangnya kekuatan tes untuk mengidentifikasi individu yang
diuntungkan dari penghindaran alergen tertentu.

Peran Infeksi
Pasien dengan dermatitis atopi lebih mudah mengalami infeksi kulit. Yang
paling sering adalah infeksi bakteri Staphylococcus aureus. Namun, Kutil yang
diinduksi oleh Human papilloma virus, infeksi jamur, virus (HSV1,2, coxsackie A,
pox virus, molluscum contagiosum) juga sering menjadi patogen penyebab,
dibeberapa kasus menjadi komplikasi yang berat
Kekebalan bawaan menjadi lemah pada pasien dermatitis atopi, sebagai
bentuk penurunan dari keratinocyte-derived antimicrobbial peptides (cathelicidin
LL-37, β-defensin 2 dan β-defensin 3), neutrophil chemoattractant IL-8, inducible
nitric oxide synthetase (iNOS) yang memediasi patogen mati melalui pelepasan
NO. Penurunan fungsi antimikroba terjadi sebagai hasil penurunan dermcidin-
derived antimicrobial peptides, yang diproduksi oleh kelenjar ekrin. Produksi dari
igA, kunci dari imunoglobulin antimikrobial epitelial, juga turun pada keringan
dan air mata pasien dermatitis atopi, yang membantu menjelaskan antara
pertumbuhan bakteri Staphylococcus baik pada mukosa dan kulit pasien tersebut
Kebanyakan individu dengan dermatitis atopi teridentifikasi memiliki S. Aureus
pada apusan kulit, terkadang dengan densitas yang tinggi, dan lebih sering pada
kulit yang terluka. Terlebih lagi, kemunculan S. Aureus pada kulit atopi secara
signifikan mengekspresikan superantigen dibanding non-atopi, berkaitan dengan
keparahan penyakit. Paparan langsung terhadap kulit terhadap superantigen
staphylococcus pada allergen patch test didapatkan hasil peningkatan respon
spesifik allergen secara in vivo. Penelitian lain memperlihatkan keratinosit
meningkatkan presentasi alergen terhadap sel T mengikuti paparan staphylococcal
enterotoxin B (SEB)- stimulated peripheral blood mononuclear cells (PBMC)
secara in vitro melalui up-regulation HLA kelas II dan ekspresi ICAM-1,
memberikan bukti potensi ajuvan produk staphylococus untuk alergi pada
manusia yang spesifik terhadap sel Th2. Selebihinya, staphylococcal superantigen
didapatkan mengurangi aktivitas sel R regulator pada manusia dan menangkal
resistensi sel T terhadap steroid, yang keduanya berkontribusi terhadap derajat
keparahan dermatitis atopi

Gangguan fungsi imun


Karakteristik imun dari atopi dermatitis adalah meningkatkan IgE antibodi
sebagai respon terhadap alergen. Kunci kegagalan dari gangguan regulasi imun
sebagai hasil dari produksi IgE muncul sebagai jalur diferensiasi yang diikuti
CD4+ sel limfosit T helper. Precursor Sel Th0 naif diinduksi oleh diferensiasi
dari Th2, yang karakteristiknya oleh produksi dari IL 4,5,13. Sel Th2 membantu
mengontrol tipe imunoglobulin yang dibuat oleh limfosit B, yang diinduksi oleh
IgE.

Mekanisme seluler
Mekanisme regulasi yang berkembang terkait sel Th2 muncul untuk
meningkatakan interaksi antara sel APC dendritic dan sel CD4+ limfosit T helper.
Pertanyaannya adalah apakah terdapat perbedaan antara sel dendritik pada
indiividu atopi dan sinyal yang diberikan ke sel T, atau terdapat defek pada sel T
itu sendiri

Sel Dendritik
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat mekanisme dari sel
dendritik dalam mengatur dan meregulasi diferensiasi dari sel T helper, dan
terdapat akumulasi bukti bahwa sel dentritik juga dibagi dalam subdivisi, sel
dendritik1 yang kecenderungan menginduksi Th1, dan sel dendritik 2 yang
cenderung menginduksi Th2. Stimulus yang adekuat dan kritis, sinyal 1, diberikan
saat presentasi peptida antigen yang terjadi di celah molekul MHC kelas II.
(Gambar 24.2).

Sinyal sitokin:
IL-12 untuk Th1
IL-4 untuk T2

Sel T Sel dendritik

Gambar 24.2 Aktivasi limfosit T naif melalui interaksi dengan sel antigen presenting dendritik.
Sinyal 1 berasal dari interaksi reseptor sel-T (TCR) dengan kompleks MHC kelas II dan peptida
antigenik (lingkaran biru) yang terletak di dalam alurnya, di permukaan sel dendritik. Sinyal 2
dihasilkan dari interaksi molekul co-stimulator (CD80, 86, dan 40) pada sel dendritik dengan
reseptor lawannya. CD28 dianggap memberikan sinyal positif sedangkan CTLA-4 tampaknya
memberikan sinyal negatif atau penghambatan. Sinyal 3 diberikan oleh sitokin terlarut termasuk
IL-1β dan IL-12 yang mendorong diferensiasi sel-T menuju fenotip Th1, dan IL-4 yang
mendukung diferensiasi terhadap tipe Th2. Sel-sel Th17 adalah subset CD-4 yang baru-baru ini
dijelaskan, yang ditandai dengan produksi IL-17 dan membutuhkan IL-23 untuk ekspansi dan
kelangsungan hidup. Subdivisi lebih lanjut muncul dengan diferensiasi sel T regulator, diskusi
penuh yang berada di luar cakupan bab ini.
Sinyal 2 datang via interaksi dari ko-stimulasi pada permukaan molekull
seperti CD 80 dan 86 pada sel dendritik, yang reseptornya CD28 dan CTLA3 pada
sel T. Di sistem murin, sinyal via CD80 menginduksi diferensiasi Th1 dan CD86
menginduksi diferensiasi sel Th2. Bukti sinyal dari CD28 memberikan bukti
positif dan penyampaian melalui CTLA4 baik memberikan sinyal inhiisi atau
aktivasi dari sel T regulator yang memiliki efek supresi. Lalu, ikatan antara CD40
pada interaksi sel T dengan ligan CD40 pada sel dendritik merupakan sinyal
terkuat pada fenotipe Th1. Sitokin yang dikeluarkan oleh sel dendritik
memberikan sinyal 3 yang penting untuk diferensiasi akhir menjadi Th1 atau Th2.
IL-12 memengaruhi respon Th1 dan IL-4 memengaruhi respon Th2 (Gambar 24.2
dan 24.3).
+
Sel T CD4 naif

Kontak

Sel T efektor Sel T regulatorik

Gambar 24.3 Diferensiasi limfosit T CD4 +. Sel T naif prekursor memiliki potensi untuk
berdiferensiasi menjadi sel Th1, Th2 atau Th17, tergantung pada sinyal yang mereka terima
selama interaksi dengan sel penyajian antigen dendritik (APC) (lihat juga Gambar 24.2).
Bergantung pada permukaan interaksi molekul stimulasi co sel dan keberadaan sitokin tertentu,
diferensiasi diarahkan. IL-12 adalah penentu kritis generasi Th1, yang bertindak melalui faktor
transkripsi T-bet, IL-4 menggerakkan pembentukan Th2 melalui GATA-3 dan IL-6 dan TGFβ
menggerakkan sel Th17 melalui STAT3, Smads dan RORγt. Monosit atopik (dan karenanya sel
dendritik yang mungkin) menghasilkan peningkatan jumlah prostaglandin E2 (PGE2), yang
membantu mendorong diferensiasi sel-T menuju fenotip Th2. Sel T prekursor timus (Tp) dapat
berkembang menjadi sel T regulator alami, yang menghambat aksi sel T efektor dengan cara yang
bergantung pada kontak.
Terdapat sedikit bukti langsung bahwa fungsi sel dendritik terganggu pada
individu atopi. Namun begitu, telah diamati bahwa monosit dari donor atopi
memproduksi kuantitas yang besar prostaglandin E2 dan IL-10 dibanding sel dari
non atopi. PGE2 dapat mensupresi produksi dari interferon, sitokin yang
diproduksi oleh limfosit Th1, namun diferensiasi dari Th0 naif melalui fenotipe
Th1. Sama dengan IL-10 keduanya sama memiliki efek supresi dan merubah TH0
menjadi fenotipe Th2. Sel dendritik dari individu atopi memiliki perangai yang
sama.
Karakteristik sel dendritik pada individu atopi yang banyak menarik
perhatian adalah temuan antigen spesifik IgE pada permukaannya. IgE terikat
secara kuat pada reseptor IgR, FceR1, yang secara normal ditemukan dalam sel
mast dan basofil. Terdapat kontroversi baik FceR1 pada sel dendritik dibedakan
dari sel mast dan basofil yang memengaruhi rantai alfa dan gama, tapi hanya
sedikit rantai beta. Ini mungkin mengganggu kapasitasnya baik untuk ekspresi
pada permukaan sel atau aktivasi secara intraseluler. FceR1 diinduksi oleh sel
dendritik oleh IL-4 dan kemungkinan level yang tinggi dari IgE. Ikatan
permukaan dari IgE pada sel dendritik secara in vitro menunjukan fungsi antigen
focusing yang membolehkan sel dendritik untuk mempresentasikan antigen ke sel
T secara lebih efisien. Lalu, sel T dapat diaktivasi oleh respon 1 dari ratusan atau
ribuan dari antigen. Namun, belum jelas pathogenesis penting tentang eksim
atopi.

Modulasi epidermal pada fungsi sel dendritik


Temuan terakhir memberikan bukti bahwa lingkungan epidermal secara
kritis berpengaruh terhadap pengaturan sel dendritik untuk diferensiasi dari Th0
menuju fenotipe Th2 (Gambar 24.4).
Gambar 24.4 Interaksi antara epidermis dan sistem kekebalan pada dermatitis atopi. Epidermis
telah meningkatkan permeabilitas (kelainan genetik di laggrin) dan mengurangi pertahanan
antimikroba bawaan. Selain itu, produksi thymic stromal lymphoprotein (TSLP) dan prostaglandin
E2 mengkondisikan sel dendritik untuk menginduksi diferensiasi Th2. Pertemuan ulang sel Th2
dengan antigen di kulit ditingkatkan oleh peradangan lokal yang diinduksi oleh faktor-faktor
seperti produk mikroba, dan aktivasi menghasilkan pelepasan sitokin Th2 inflamasi dan
menginduksi regulasi gen lebih lanjut yang terlibat dalam pertahanan antimikroba dan
pembentukan pelindung kulit
Epidermal keratinosit pada eksim atopi memproduksi sitokin yang sama
dengan IL-7 yang disebut dengan thymic stromal lymphopoietin (TSLP). Sitkoin
ini juga diproduksi oleh epitel bronkus atopi, korpuskulum hassel di timus dan sel
mast yang diaktivasi oleh ikatan silang resepto IgE. FceR1. Mencit yang memiliki
overekspresi TSLP pada epidermis secara spontan berkembang menjadi lesi
inflamasi kulit yang berpengaruh terhadap eksim atopi. Temuan krusial bahwa
TSLP sel dendritik apabila berinteraksi dengan sel T naic akan berdiferensiasi
menjadi sel Th2. Pada kondisi TSLP terkondisikan sel dendritik meningkatkan
Th2 untuk memproduksi tidak hanya sitokin Th2 IL4,5 dan 13, tapi juga TNF
alfa, yang disebut juga sel Th2 inflamatorik. Sehingga jelas bahwa disregulasi
sistem imun dan disfungsi epidermal secara fungsional dikatikan dengan peran
penting proses pemrograman sistem imun.

Farmakologi dan abnormalitas vaskuler


Pembuluh darah kecil pada dermatitis atopi memiliki tendensi untuk
memberikan respon vasokontriksi
1. Kepucatan setelah bersentuhan – demografis putih
2. Kepucatan yang tertunda dengan asetilkolin
3. White reaction terhadap asam ester nikotinik
4. Reaksi abnormal terhadap histamin pada kulit
5. Suhu jari yang rendah
6. Vasokonstriksi pasca terpapar suhu rendah
Tidak ada dari tanda tersebut yang patognomoni. Kepucatan dengan
asetilkolin dan obat terkait merupakan karakteristik dari dermatitis atopi, yang
terjadi kurang sering dibanding penyakit atopi yang lain. Baik perubahan
farmakoligis pada dermatitis atopi secara sekunder terhadap inflamasi kulit atau
pengaturan kembali farmakologi dan abnormalitas sistem imun sekunder terhdap
defek umum, tidak diketahui. Namun, pola ini pada respon vascular mengarahkan
kepada teori B-adrenergic theory yang diusulakn oleh szentivany. Walau teori ini
tidak bertahan lama, tapi mengarahkan kepada observasi abnormalitas di tahap
jalur pensinyalan second messenger intraseluler. Pada individu atopi, penguatan
cAMP memberikan hasil overeaktif pada cAMP-fosfodiesterase yang
diasosiasikan dengan beberapa karakterstik fenotipe. Prinsip yang diobservasi
oleh hanifin dan chan, mengikuti peningkatan sintesis IgE yang menjadi
karakteristik individu atopi. Pada in vitro, munvul keterkaitan untuk menurunkan
produksi IFN gama secara canpur dengan perpiheral blood mononuclear cells
(PBMC) dari pasien dengan atopi dermatitis. Namun, sel T atopi menunjukan
peningkatan produksi interferon gamma secara in vitro, sehingga disimpulkan
bahwa monosit menghasilkan inhibitor terhadap sintesis IFN gamma. Atopi
PBMCs memproduksi peningkatan PGE2 dan bersumber dari monosit. Sudah
dijelaskan sebelumnya oleh Betz dan Fox bahwa PGE2 menginhibisi PGE2
dengan indometasin yang meningkatkan produksi IFN gamma oleh atopi PBMC.
Monosit atopi juga memproduksi peningkatan IL-10 yang menginhibisi produksi
dari IFN gamma.
Hainfin sebelumnya menunjukan PBMC dari subjek atopi memiliki respon
cAMP yang tumpul terhadap agent yang bertindak pada adenyl cyclase seperti
histamin, isoprenalin da prostaglandin. Ini ditemukan peningkatan aktivitas PDE,
sehingga cAMP mudah untuk di hidrolisis. Abnormalitas juga ditemukan pada
orang dengan penyakit atopi sistem respirasi. Sawai et al, menunjukan bahwa
tidak ada korelasi antara cAMP-PDE terhadap keparahan eksim. Abnormalitas ini
ditemukan pada darah umbilikus dari bayi yang eksim.
Peningkatan aktivitas cAMP-PDE menunjukan lokasi predominan dari
monosit. Chan et al. memiliki penelitain tenang PDEs pada leukosit atopi. Mereka
mendapatkan 3 bentuk isoform yang umum untuk kedua monosit, limfosit dan
semuanya aktif dibanding non atopi. Namun, atopi monosit memiliki isoform
tambahan yang secara spesifik untuk cAMP dan kalsium/kalmodulin dependen.
Juga PDE lebih suseptibel dibanding kontrol PDE terhadap inhibisi oleh Ro20-
1723, inhibitor PDE tipe 4. Perlu dicatat tidak ada perbedaan bermakna ekspresi
PDE dan aktivitas pada sel sehat maupun donor atopi
Satu aspek yang membuat interpretasi data diatas level aktivitas PDE sulit
adalah aktivitas PDE adalah subjek untuk modulasi berbagai faktor. Aktivitas
PDE diinduksi oleh peningkatan cAMP, sebuah adminstrasi jangka panjang dari
B-adrenergic-agonits. Hal ini menjadi jawaban pertanyaan mengapa peningkatan
PDE ditemukan pada atopi asma, sebagai terapi yang diterima secara kronis pada
pasien. Pada monosit pasien sehat, aktivitas PDE meingkat oleh sitokin IL-4 dan
IFN gamma. Namun, monost dari pasien dermatitis atopi, IFN gamma pada
konsentrasi rendah tanpa efek dan pada konsentrasi tinggi menurunkan aktivitas
PDE. Perbedaan ini karena sel atopi, aktivitas PDE sudah diinduksi secara
maksimal
Bentuk PDE terdiri dari setidaknya 7 kelompok. Perbedaan antara mereka
adalah afinitas terhadap cAMP atau cGMP terhadap berbagai inhibitor, dan pada
beberapa kasus, pada sel dan distribusi jaringan mereka. PDE tipe 3 adalah cAMP
spesifik dan memiliki karakteristik dengan inhibisi oleh rolipram dan Ro20-1724.
PDE tipe 4 muncul pada sel inflamasi, seperti sel mast, eosinofil, monosit,
makrofag, dan limfosit.
Beberapa aktivitas dan sel mononuklear dimediasi oleh cAMP dan diturunkan
aktivitasnya oleh inhibitor PDE4, peningkatan PGE2, produksi spontan dari IgE
oleh sel B, dan pengluaran histamin oleh basofil. Peningkatan spotan produksi
basofil, peningkatan spotan IL-10 diturunkan sebagai efek peningkatan anti-CD3
pada produksi IL4, migrasi dari eusinofil, transmigrasi dari limfosit secara in vitro
tapi tidak dengan monosit melalui monolayer sel endotel, dan pelepasan IL5
diinduksi oleh alergen.
cAMP merupakan second messenger yang terletak di tengah-tengah beberapa
jalur (Gambar 24.5).

Aktivasi faktor
transkripsi

Gambar 24.5. Pemberian sinyal intraseluler yang berinteraksi dengan cAMP dalam sel T.
Reseptor sel T (TCR) menerima sinyal pengaktif dari antigen presenting cells dendritik. Ini
mengaktifkan fosfolipase Cγ (PLCγ), yang membelah membran fosfatidil inositol bisfosfat (PIP2)
menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol trisfosfat (IP3). DAG mengaktifkan protein kinase C
(PKC), yang mengaktifkan berbagai target termasuk faktor transkripsi. Itu juga dapat
mengaktifkan adenylate cyclase (AC), yang menghasilkan cAMP. Reseptor membran yang
digabungkan ke protein G (G protein coupled receptor, GPCR) diaktifkan oleh sinyal ligan
mereka melalui generasi cAMP, yang pada gilirannya mengaktifkan protein kinase A (PKA).
cAMP terdegradasi oleh aksi cAMP fosfodiesterase tipe 4 (PDE4), yang secara konstitutif terlalu
aktif dalam sel atopik. Hal ini melemahkan atau mematikan pensinyalan cAMP, yang dapat
mengubah keseimbangan ‘cross-talk’ antara jalur pensinyalan yang berbeda.
Perbedaan mekanisme penyampaian berpengrauh pada reseptor permukaan
mana yang teraktivasi. Sel T reseptor mengaktivasi fosfolipase Cy, yang merubah
fospatidil inositol bisfosfate untuk melepas diasil gliserol dan inositol trifosfat.
IP3 mengaktivasi pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivitas
DAG protein kinase C (PKC). PKC dapat diaktivasi oleh adenilat siklase,
kemudian mengaktivasi cAMP yang kemudian mengaktifkan protein kinase A.
Intensitas efek dari cAMP menjadi tumpul karena overaktfitias dari PDE4. Jalur
inositol dari peripheral blood mononuclear cells menunjukan bukti aktivasi
kronik dan hiporesponsif terhadap stimulus. Bukti jelas dari pengaruh gangguan
sinyal second messenger pada diferensiasi limfosit T terhadap sel T helper tipe 2.
Kepentingan lebih lanjut pada pembuluh darah, sistem saraf dan imun pada eksim
atopi belum dikembangkan lagi.

Neuropeptida
Neuropeptda memediasi vasodilatasi, edema, gatal, nyeri, sekresi kelenjar
dan beberapa perubahan minor, seperti mengatur aktivitas dari sel T. Agen
vasoaktif dan neuropeptida pro inflamasi memdiasi perubahan pada jaringan dan
stimulus sensori. Secara teori, neuropeptida dapat berperan penting dalam
menentukan karakteristik dermatiti atopi, termasuk perubahan vaskula, gatal, dan
gejala yang berkaitan dengan keringat dan infiltrasi leukosit. Neuropeptida yang
yang sudah diteliti antara lain subsansi P (SP), calcitonin gene related peptide
(CGRP), unmyelinated C sensory fiber, somatostatin (SOM), vasoactive intestinal
polypeptide (VIP), yang bersama dengan asetilkolin di fibra simpatis
postganglion, dan neuropeptida y (NPY) di fibra adrenergik. Pada ekstrak kulit
yang diperiksa, didapatkan jumlah yang banyak dari VIP pada lesi atopi dan
penurunan dari SP. SP juga dilaporkan tidak berubah.
Pemeriksaan imunohistokimia menunjukan NPY-positive dendritic
epidermal cells pada dermatitis atopi likenifikasi, tapi tanpa fibra somatostatin.
Pada kulit normal menunjukan sebaliknya, tidak didapatkan NPY pada dendritic
cell dan normal somatostatin fibril. Telah dilaporkan juga bahwa NPY fiber
(adrenerrgic) lebih sedikit daripada normal, namun CGRp dan SP (senssorik)
meningkat
Reaktivitas dermatitis atopi terganggu terhadap injeksi neuropeptida.
Injeksi intradermal SP menimbulkan respon weal and flare. Pada dosis rendah
merupakan pengaruh langsung dari pembuluh darah sedangkan dosis tinggi SP
menginduksi degranulasi dari sel mast dengan histamin mediated weal and flare.
Penemuan sebaliknya dilaporkan pada injeksi SP pada pasien dermatitis atopi.
Coulson dan Holden mengobservasi peningkatan volume pada atopi dibandingkan
non atopi pada weal yang terbentuk, tapi tidak berpengaruh pada flare yang ada.
Di studi yang lain, walaupun injeksi SP memiliki weal yang sama, ditemukan
lebih sedikit flare pada dermatitis atopi.
Efek reaktivitas vaskular dan pruritus, neuropeptida berperan penting
dalam rekruirmen granulosit dengan meregulasi molekul adhesi termasuk VCAM-
1 pada sel endotelial. Mereka juga memodulasi fungsi limfosit secara in vitro.
Peningkatan produksi SP oleh interferon gamma dan IL 4 oleh limfosit dari atopi
donor memiliki efek yang kurang signifikan. VIP tidak berpengaruh pada
produksi limfosit dan sitokin. Neuropeptida berperan dalam kompleks yang
meregulasi limfosit pada dermatitis atopi

Pruritus
Gejala utama yang menyertai eksim atopi adalah pruritus. Mediator dan
mekanisme yang bertanggung jawab atas gejala ini masih sama sekali tidak jelas.
Gejala gatal pada pasien dengan eksim atopi diinduksi oleh rangsangan yang
menyebabkan keringat, baik termal dan emosional, serta kontak dengan serat,
terutama wol. Petunjuk mengenai mediator berasal dari efek agen terapeutik
dengan mekanisme aksi yang jelas. Dengan demikian, meskipun ada anggapan
umum bahwa degranulasi sel mast melalui mekanisme spesifik alergen spesifik
IgE penting dalam eksim atopi, antihistamin umumnya memiliki sedikit efek
terhadap pruritus eksim atopi. Antagonis H1 yang lebih tua dapat meningkatkan
kenyamanan subjektif melalui sedasi dan tidur yang lebih dalam. Siklosporin
menyebabkan penghentian pruritus yang sangat cepat yang mungkin
mengindikasikan keterlibatan produk T-limfosit seperti sitokin. Namun,
siklosporin memiliki efek pada sel selain limfosit dan, misalnya, dapat
menghambat pembentukan prostaglandin.
Seperti yang dijelaskan di atas, respons terhadap neuropeptida tampak
berubah pada eksim atopi. Neopeptida seperti substansi P (SP), VIP, somatostatin,
dan neurotensin yang memicu gatal, bersama dengan peradangan neurogenik
dalam bentuk eritema dan weal serta flare. Capsaicin mengurangi ujung saraf
nociceptive dari CGRP dan SP dan dilaporkan mengurangi pruritus pada eksim
atopi. Asetilkolin (ACh), archytepal neurotransmitter, mengaktifkan vasodilatasi
dan keringat. ACh juga diproduksi in vitro oleh keratinosit. Kadar ACH
meningkat pada kulit lesi eksim atopi, dan injeksi intradermal ACh memunculkan
pruritus dari rasa sakit pada pasien dengan eksema atopi. Namun, penggunaan
agen antikolinergik untuk pengobatan pruritus eksim atopi belum menjadi ukuran
terapi yang berguna.
Telah disarankan bahwa opioid dapat berperan dalam pruritus eksim atopi;
bukti tidak langsung untuk ini berasal dari pengamatan bahwa antagonis reseptor
opioid seperti nalokson atau nalmefene dapat mengurangi pruritus. Namun, yang
lain gagal mereproduksi pengamatan ini.
Protease, termasuk tryptase dan chymotryptase dilepaskan oleh sel mast,
dan telah diusulkan bahwa mereka berperan dalam menyebabkan pruritus. Injeksi
intradermal dari sel mast tryptase memunculkan pruritus, eritema, infeksi leukosit,
dan edema. Protease mengerahkan berbagai efek melalui aktivasi protease
activated receptors (PAR) termasuk PAR 2 khususnya. Reseptor PAR-2
ditemukan pada sel endotel, saraf sensorik dan keratinosit, dan berperan dalam
proses inflamasi akibat degranulasi sel mast. Dengan ketersediaan antagonis PAR-
2 yang lebih besar untuk digunakan dalam situasi klinis, akan lebih mudah untuk
menilai pentingnya fungsional reseptor ini.
Ada spekulasi bahwa sitokin dapat berkontribusi pada pruritus eksim
atopi. Supernatan yang kaya sitokin dari limfosit yang distimulasi mitogen dapat
menginduksi pruritus ketika disuntikkan ke penderita eksim atopi tetapi tidak
dengan kontrol yang sehat. Berbagai macam sitokin dilepaskan dalam eksim
atopi. Mereka termasuk IL-2, 4, 5, 6, 8, 10, 13, IFN-γ dan TNF-α. Sebagian besar
telah disuntikkan ke kulit manusia tanpa menghasilkan pruritus yang signifikan.
Pengecualiannya adalah IL-2, yang dapat menghasilkan kemerahan dan gatal
ketika digunakan dalam terapi keganasan. Kemungkinan yang belum dieksplorasi
adalah sinergisme antara beberapa mediator di atas.
Sitokin yang baru-baru ini dideskripsikan, interleukin-31, diekspresikan
secara berlebihan pada epidermis tikus transgenik. Ini disertai dengan gatal,
ekskoriasi, dan dermatitis yang semakin memburuk. Selain itu, IL-31 sangat
diekspresikan oleh homing kulit, sel T positif-CLA dalam epidermis eksim atopi.
Reseptor untuk IL-31 diekspresikan oleh keratinosit dan menginfeksi makrofag
dalam eksim atopi. Pemicu yang paling kuat dari peningkatan ekspresi IL-31 yang
diidentifikasi sejauh ini adalah superantigen staphylococcus.

Anda mungkin juga menyukai