SISTEM MUSKULOSKELETAL
NYERI SENDI SKENARIO 1
OLEH
KELOMPOK 1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi, histologi, biokimia dan fisiologi dari sendi?
2. Bagaimana mekanisme nyeri?
3. Apa diagnosis banding penderita tersebut?
C. ANALISA MASALAH
1. Bagaimana anatomi, histologi, biokimia dan fisiologi dari sendi?
1) ANATOMI PERSENDIAN
Gambar 1. Articulatio genus, sisi kanan, dalam posisi fleksi 900; dilihat
dari ventral; pasca pengangkatan Capsula articularis dan ligament
kolateral. (Paulsen F, Waschke J, 2012)
2) HISTOLOGI PERSENDIAN
Sendi dibagi menjadi 3 yaitu sinarthrosis, diarthrosis, dan amfiarthrosis.
a. Sinarthrosis : pergerakannya hanya sedikit
Sinarthrosis merupakan sendi yang tidak memungkinkan
tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama lain. Di
antara tulang yang saling berhubungan tersebut terdapat jaringan yang
dapat berupa jaringan ikat (Sindesmosis), seperti pada tulang
tengkorak antara gigi dan rahang, antara radius dan ulna. Atau jaringan
tulang rawan (sinkondrosis), misalnya antara kedua os pubika pada
orang dewasa. Jaringan tulang (sinostosis), misalnya pada
persambungan antara os olium, os iskium, dan os pubikum.
b. Diarthrosis : pergerakannya lebih bebas, mempunya kapsula
persendian, tulang rawan persendian dan cairan synovial.
Diarthrosis merupakan sambungan antara dua tulang atau lebih
yang memugkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain.
Diantara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang
disebut kavum artikularis. Diarthrosis disebut juga sendi synovial,
sendi yang tersusun atas bonggol sendi(kapsul artikularis), bursa sendi
dan jaringan ikat ( ligamentum).
Mempunyai mobilitas yang besar, persendian yang
menghubungkan tulang panjang, pada permukan sendi dilapisi oleh
tulang rawan hialin dan tidak mempunyai perikondrium. Diarthrosis
atau tulang rawan sendi mempunyai suatu ruang yang berisi cairan
yaitu cavum artikularis.
3) FISIOLOGI PERSENDIAN
Fungsi dari persendian secara umum untuk melakukan pergerakan
pada tubuh. Fungsi dari sendi lutut ini untuk membantu dalam pergerakan
kaki. Dan untuk menggerakan kaki ini juga diperlukan :
a. Muskulus yang membantu dalam pergerakan sendi
b. Capsul sendi yang berfungsi untuk melindungi bagian tulang yang
bersendi agar tidak lepas bila bergerak
c. Adanya permukaan tulang yang dengan bentuk tertentu yang mengatur
luasnya gerakan
d. Adanya cairan dalam rongga sendi yang berfungsi untuk mengurangi
gesekan antara tulang pada permukaan sendi
e. Ligamentum-ligamentum yang ada di sekitar sendi lutut yang
merupakan penghubung kedua buah tulang yang bersendi sehingga
tulang menjadi kuat untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh
Persendian pada sendi lutut termasuk dalam jenis sendi synovial
(synovial joint), yaitu sendi yang mempunyai cairan sinovial yang
berfungsi untuk membantu pergerakan antara dua buah tulang yang
bersendi agar lebih leluasa. Secara anatomis persendian ini lebih kompleks
daripada jenis sendi fibrous dan sendi cartilaginosa.
Permukaan tulang yang bersendi pada synovial joint ini ditutupi
oleh lapisan hyaline cartilage yang tipis yang disebut articular cartilage ,
yang merupakan bantalan pada persambungan tulang. Pada daerah ini
terdapat rongga yang dikelilingi oleh kapsul sendi. Dalam hal ini kapsul
sendi merupakan pengikat kedua tulang yang bersendi agar tulang tetap
berada pada tempatnya pada waktu terjadi gerakan.
4) BIOKIMIA PERSENDIAN
Pada dasarnya sendi adalah suatu tulang rawan. Oleh karena itu
tidak mendapatkan persarafan dan perdarahan. Tulang rawan sendi terdiri
dari 70 % air, sedangkan sekitar 90 % terdiri dari matriks ekstraseluler dan
hanya terdiri dari 2 % sel kondrosit. Tetapi walaupun hanya 2 %,
kondrosit berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekstraseluler.
Matriks ekstraseluler utama dari tulang rawan sendi adalah kolagen tipe II
dan proteoglikan. Sedangkan proteoglikan tersebut adalah
glikosaminoglikan yang terutama terdiri dari kondroitin sulfat dan keratan
sulfat. Sedangkan untuk cairan sendi ( terdiri dari sebagian besar as.
Hialuronan yang nantinya berperan dalam menentukan viskositas dari
cairan sendi tersebut.
2. Bagaimana mekanisme nyeri?
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu
serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal
terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar
nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,
juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju
otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari
sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula
spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem
nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis,
hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula
oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi
desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal
nosiseptif di kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen. (Anas Tamsuri, 2006).
b. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi,
obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam
urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko mereka
terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30 tahun
lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka
kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia
60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun
(Weaver, 2008).
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause,
kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan
level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini
menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda (Roddy dan Doherty,
2010).Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan
wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti
peningkatan kadar asam urat serum (penyebab yang paling sering adalah
karena adanya penurunan fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat
diuretik, dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum
(Doherty, 2009).
Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan
resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria dengan
indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk
pria yang indeks massa tubuh 35 atau lebih besar (Weaver, 2008).
Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion
exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion
cotransporter pada brush border yang terletak pada membran ginjal
bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi insulin akan
mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar
adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin
mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal
(Choi et al, 2005).
Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut
(terutama kerang dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko artritis
gout. Sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya
dieliminasi dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan
terjadinya hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko artritis gout
(Weaver, 2008). Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara
konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol
dapat mempercepat proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi
asam urat (Zhang, 2006). Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi
adenine nukleotida meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang
merupakan prekursor pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat
meningkatkan asam laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat
(Doherty, 2009). Alasan lain yang menjelaskan hubungan alkohol dengan
artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang tinggi
sehingga mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh (Zhang,
2006).
c. Patomekanisme
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya dalam
plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar monosodium urat pada plasma
bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya pembentukan
kristal. Hal ini terbukti pada beberapa penderita hiperurisemia tidak
menunjukkan gejala untuk waktu yang lama sebelum serangan artritis
gout yang pertama kali. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya
serangan artritis gout pada penderita hiperurisemia belum diketahui pasti.
Diduga kelarutan asam urat dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam
urat dan protein plasma (Busso dan So, 2010).
Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi dengan
fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara
mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan
fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi. Mekanisme kedua
adalah kristal monosodium urat berinteraksi langsung dengan membran
lipid dan protein melalui membran sel dan glikoprotein pada fagosit.
d. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis artritis gout terdiri dari artritis gout asimptomatik, artritis
gout akut, interkritikal gout, dan gout menahun dengan tofus. Radang
sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun
pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat
monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa
hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan
merasa lelah (Tehupeiory, 2006).
Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi
periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinis tidak didapatkan
tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat.
Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun
tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun,
atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa
penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka
dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa
sendi dan biasanya lebih berat (Tehupeiory, 2006). Kebanyakan orang
mengalami serangan artritis gout berulang dalam waktu kurang dari 1
tahun jika tidak diobati (Carter, 2006).
h. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan untuk
diagnosis definitif gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat (MSU)
di cairan sendi atau tofus.
Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa :
a) Hiperurisemia asimptomatis
Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi klinis berarti. Serangan
arthritis biasanya muncul setelah 20 tahun fase ini.
b) Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium akut stadium
interkritikal stadium kronis
c) Penyakit Ginjal
i. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk mengurangi
rasa nyeri, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya
kelumpuhan. Terapi yang diberikan harus dipertimbangkan sesuai dengan
berat ringannya artrtitis gout (Neogi, 2011). Penatalaksanaan utama pada
penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang diet, lifestyle,
medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan perawatan
komorbiditas (Khanna et al, 2012).
Penatalaksanaan :
a) Obat : analgesik, kolkisin dan kortikosteroid
b) Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama setelah serangan nyeri sendi
timbul. Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan dosis maksimal 6
mg.
c) Kortikosteroid sistemik jangka pendek (bila NSAID dan kolkisin
tidak berespon baik) seperti prednisone 2-3x5 mg/hari selama 3
hari.
d) NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 mg selama 3-5 hari.
e) Mengelola hiperurisemia (menurunkan kadar asam urat) dan
mencegah komplikasi lain. Agen penurun asam urat (tidak
digunakan selama serangan akut). Pemberian Allupurinol dimulai
dari dosis terendah 100 mg, kemudian bertahap dinaikkan bila
diperlukan, dengan dosis maksimal 800 mg/hari. Target terapi
adalah kadar asam urat < 6 mg/dl.
j. Pencegahan
a) Minum air yang cukup (8-10 gelas/hari)
b) Mengelola obesitas dan menjaga berat badan ideal.
c) Hindari mengkonsumsi alcohol
d) Pola diet sehat (rendah purin)
e) Rajin berolahraga
k. Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi severe
degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi.
Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang berperan dalam proses
inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi kronis sehingga
menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang.
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko
terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu
ginjal karena urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam
urat yang tidak terlarut (Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang
signifikan kelainan pada urin yang digambarkan pada penderita dengan
uric acid nephrolithiasis yaitu hiperurikosuria (disebabkan karena
peningkatan kandungan asam urat dalam urin), rendahnya pH (yang mana
menurunkan kelarutan asam urat), dan rendahnya volume urin
(menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin) (Sakhaee dan
Maalouf, 2008).
l. Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah system bukan penyakit
sendiri. Dengan kata lain prognosis penyakit artritis gout merupakan
prognosis penyakit yang menyertainya (Tehupeiroy, 2003). Artritis gout
sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar, dengan episode
serangan akut yang sering menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis
gout yang diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang
baik jika kepatuhan penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschild,
2013).
2. Artritis Reumatoid
a. Definisi
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit
autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial
dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala
karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik
yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).
Penyakit ini ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang
walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya.
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui dengan pasti tetapi penyakit ini
diduga akibat proses autoimun. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui 2
cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi protease,
kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini
dilepaskan bersama asam arakhidonat oleh leukosit PMN dari cairan
synovial. Enzim ini memecah kartilago, ligament, dan tendon, dan tulang
pada sendi. Destruksi jaringan jugan terjadi melalui kerja panur
rheumatoid. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi kolagen dan
proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel dalam panus tersebut.
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor
dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan
infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca
yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
c. Patomekanisme
Patomekanisme terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal, mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor
rematoid, suatu antibody terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi
reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang
saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran
imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator
keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada
akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi
disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Gambar 3. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
d. Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
a) Keluhan Umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
b) Kelainan Sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat
terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan
kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering
berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
c) Kelainan Diluar Sendi
1) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
2) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
5) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase
perforans
6) Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni.
h. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat.
Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten.
b) Radiologi
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan
ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi
tulang, atau subluksasi sendi.
i. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Artritis Reumatoid biasanya didasarkan pada gambaran klinis
dan radiografis.
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association)
yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium
yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan
spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas
90% dan sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002).
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
a) Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b) Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3
daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
c) Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan
tangan.
d) Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e) Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
f) Rheumatoid Factor serum positif
g) Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada
sendi yang terlibat.
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas
dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu.
j. Penatalaksanaan
Langkah pertama dari penatalaksanaan adalah memberikan pendidikan
yang cukup tentang penyakit kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja
yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi
pengertian tentang patofisiologi, penyebab dan prognosis penyakit ini,
regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi
penyakit ini, dan metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan
oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-
menerus.
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah
deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan
lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
a) NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak
melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi.
b) DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas,
penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun
kombinasi (Putra dkk,2013).
c) Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
d) Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya.
Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
e) Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang
diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat
ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement,
dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014).
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS KETERANGAN
1x500mg/hari/io Digunakan
ditingkatkan sebagai lini
setiap minggu pertama
Sulfasalazin 1-2 bulan
hingga
4x500mg/hari
Efek samping:
gangguan hati,
50-150 mg/hari gejala GIT,
Asatioprin 2-3 bulan
peningkatan TFH
Efek samping:
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari stomatitis,
proteinuria, rash
k. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:
a) Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health
Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan
mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-
B.
b) Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam
taichi.
c) Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan
diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang
pada sendi.
d) Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu
vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah
inflamasi akibat radikal bebas.
e) Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
(Candra, 2013)
f) Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu
upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
l. Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari
ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh
hingga tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi
dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk.
Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan
mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan
manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit
jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar
40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depannya.
Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014).
Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan
CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal
penyakit dan sosial ekonomi rendah.
3. Osteoatritis (OA)
a. Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang
melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga
menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam
Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana
didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena
proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi
tersebut (Hamijoyo, 2007).
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai
dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi.
OA adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat
kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh
adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang
baru pada permukaan sendi. Gangguan ini sedikit lebih banyak terjadi
pada perempuan daripada laki-laki dan terutama ditemukan pada orang-
orang yang berusia lebih dari 45 tahun.
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini adalah akibat proses penuaan normal, karena insidens
bertambah dengan meningkatnya usia. Berdasarkan etiopatogenesisnya
OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer
disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan
tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun
perubahan lokal pada sendi, sedangkan OA sekunder merupakan OA yang
ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan
dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit
sistemik, inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA
sekunder (Davey, 2006).
c. Patomekanisme
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan
inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis
yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.
a) Fase Inisiasi
Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya
melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi
dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan i-
embantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like
growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b
(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini
menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat
(DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1
memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
b) Fase Inflamasi
Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1
sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α
(TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan
gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk
inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya
pada kartilago sendi, dan menghasilkan kerusakan pada sendi.
c) Fase Nyeri
Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan
interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga
berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat
menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri
juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan
vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling
trabekula dan subkondrial.
d) Fase Degradasi
IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran
makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi
jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan
memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan
merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan
sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan
OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks
rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis
(Sudoyo et. al, 2007).
d. Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat
mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut.
a) Nyeri
Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada
sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat
osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau
ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap
yang lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat
membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.
b) Kekakuan Sendi
Kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah
duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
c) Krepitasi
Sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi
rawan.
d) Pembengkakan Pada Tulang
Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan
sebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal
Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya
keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada
tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi
yang progresif.
e) Deformitas Sendi
Pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami
pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut (Davey,
2006).
f. Faktor Resiko
a) Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di
sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi kalsifikasi tulang rawa dan
menurunkan fungsi kondrosit yang semuanya mendukung terjadinya
OA.
b) Jenis Kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun
prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-
laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak
usia 50-80 tahun. Hal trsebut diperkirakan karena pada masa usia 50-
80 tahun wanita mengalami pengurangan hormone estrogen yang
signifikan.
c) Ras/etnis
Prevalensi OA lutut pada pasien di Negara Eropa dan Amerika tidak
berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika-
Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar
dibandingkan ras Kaukasia.
d) Faktor Genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA lutut, hal
tersebutberhubungan dengan abnormalitas kode genetik untuk sintesis
kolagen yang bersifat diturunkan.
e) Gaya Hidup Kebiasaan Merokok
Banyaknya penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif
antara merokok meningkatkan kandungan racun dalam darah dan
mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan
terjadinya kerusakan tulang rawan. Merokok dapat merusak sel dan
menghambat proliferasi sel tulang rawan sendi. Merokok dapat
meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya tulang
rawan. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida
dalam darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat
menghambat pembentukan tulang rawan.
f) Penyakit Lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi
dan hiperurikemia, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas.
g) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat di modifikasi.
Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi.
Peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban sendi saat
berjalan terutama sendi lutut.
h. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan pemeriksaan
laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan
diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap
awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis OA karena
selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan
atau MRI (Amoako dan Pujalte, 2014).
Radiologi:
Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis,
seperti panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan, dan
tulang belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai
berikut:
Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang
terbentuk di tepi sendi.
Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan
penyempitan rongga sendi yang tidak sama.
Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya
kartilago dengan osteofit.
Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar
sendi yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif
Bagian yang sering terkena OA.
a) Lutut
Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga sendi.
Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang
utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan
penyempitan paling dini.
b) Tulang Belakang
Terjadi penyempitan rongga diskus.
Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra
yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar
syaraf atau kompresi medula spinalis.
Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata.
c) Panggul
Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan
yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan
asetabular. Sklerosis dan pembentukan kista subkondral. Penggantian
total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat.
d) Tangan
Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama. Sendi-sendi
interfalang proksimal ( nodus Bouchard ). Sendi-sendi interfalang
distal ( nodus Heberden ) (Patel, 2007).
i. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis pada penyakit ini umunya berdasarkan gambaran
klinis dan radiografis.
j. Penatalakasanaan
a) Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang
terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena.
b) Pengobatan bertujuan untuk mencegah progresifitas dan meringankan
gejala yang dikeluhkan.
c) Modifikasi gaya hidup, dengan cara: menurunkan berat badan, melatih
pasien untuk tetap menggunakan sendinya dan melindungi sendi yang
sakit.
d) Pengobatan Non Medikamentosa : Rehabilitasi Medik /Fisioterapi.
e) Pengobatan Medikamentosa analgesik topical. NSAID (oral): non
selective: COX1 (Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat,
Metampiron). selective: COX2 (Meloksikam).
Melindungi sendi dari trauma tambahan penting untuk memperlambat
perjalanan penyakit ini. Evaluasi pola kerja dan aktivitas sehari –hari
membantu menghilangkan segala kegiatan yang meningkatkan tegangan
berat badan pada sendi yang sakit. Tongkat dan alat bantu tambahan dapat
membantu mengurangi berat badan yang harus ditanggung oleh sendi lutut
dan panggul. Mengurangi berat badan bila pasien memiliki badan yang
gemuk dapat sangat menurunkan beban yang harus dipikul. Fisioterapi
penting untung menghilangkan nyeri. Obat-obat analgetik biasanya untuk
menghilangkan nyeri.obat analgetik yang dapat digunakan adalah
acetaminophen, aspirin, dan ibuprofen. OAINS juga bisa digunakan untuk
menghilangkan nyeri dan mengontrol sinovitis. Kortikosteroid oral
merupakan kontraindikasi untuk penyakit ini.
k. Pencegahan
a) Edukasi
Sangat penting bagi semua pasien OA diberikan edukasi yang tepat.
Dua hal yang menjadi tujuan edukasi adalah bagaimana mengatasi
nyeri dan disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada pasien ini sangat
penting karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan pasien
mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi
lebih mudah serta dapat diajak bersama-sama untuk mencegah
kerusakan organ sendi lebih lanjut. Edukasi yang diberikan pada
pasien ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA adalah penyakit
yang kronik, sehingga perlu dipahami bahwa mungkin dalam derajat
tertentu akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak serta
fungsi. Selain itu juga diberikan pemahaman bahwa hal tersebut perlu
dipahami dan disadari sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Agar
rasa nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi
aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan
sendi lutut dan lebih banyak beristirahat. Pasien juga disarankan untuk
control kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah
membaik atau ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan.
b) Terapi Fisik
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap
dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
Pada pasien OA dianjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang
memperberat sendi sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Hal ini
dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan tekanan
intraartikular bila ada efusi sendi dan bahkan bisa dapat menyebabkan
robekan kapsul sendi. Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan
pada sendi, sebaiknya dilakukan olah raga peregangan otot seperti m.
Quadrisep femoris, dengan peregangan dapat membantu dalam
peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi nyeri.
Pada pasien OA disarankan untuk senam aerobic low impact/intensitas
rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari tiga kali
seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau
dengan melakukan senam lantai. Senam lantai bisa dilakukan dimana
pasien mengambil posisi terlentang sambil meregangkan lututnya,
dengan cara mengangkat kaki dan secara perlahan menekuk dan
meluruskan lututnya
c) Diet
Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang
gemuk. Hal ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA.
Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi keluhan dan
peradangan. Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan risiko
progresifitas dari OA. Pada pasien OA disarankan untuk mengurangi
berat badan dengan mengatur diet rendah kalori sampai mungkin
mendekati berat badan ideal.
l. Prognosis
OA biasanya berjalan lambat. Masalah utama adalah nyeri yang dialami
apabila harus menanggung beban, dimana orang tersebut harus
membiasakan diri dengan cara hidup yang baru, meliputi perubahan pola
makan, manipulasi obat yang diberikan, dan pemakaian alat-alat bantu
tambahan.
E. KESIMPULAN